Taubat Pelaku Jarimah Hirabah Perampokan Perspektif Imam...
-
Upload
duongxuyen -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
Transcript of Taubat Pelaku Jarimah Hirabah Perampokan Perspektif Imam...
TAUBAT PELAKU JARIMAH HIRABAH (PERAMPOKAN) PERSPEKTIF
IMAM MALIK DAN RELEVANSINYA DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SH.I.)
Oleh :
FINALTO
NIM : 104045101548
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
TAUBAT JARIMAH HIRABAH (PERAMPOKAN) FERSPEKTIF IMAM
MALIKI DAN RELEVANSINYA DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHi)
Oleh:
FINALTO
104045101548
Di bawah Bimbingan
Prof. Dr.H.M. Abduh Malik
Nip. 150094391
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H / 2008 M
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji serta syukur kehadirat Allah SWT. Alhamdulillah
atas rahmat dan hidayah yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Selawat beserta salam kehadirat suri tauladan ummat
sedunia, Nabi Muhammad SAW, karena dengan segenap perjuangannya penulis
dapat menikmati keragaman dunia.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan Akademik
Jurusan Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada bidang
Syariah. Penulis menyadari dalam penulisan skripsi yang berjudul “Taubat Pelaku
Jarimah Hirabah (Perampokan) Perspektif Imam Malik dan Relevansinya di
Indonesia” tidak luput dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang tulus pada seluruh pihak yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan skiripsi ini, khususnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri “ Syarif
Hidayatullah” Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri “ Syarif Hidayatullah” Jakarta.
3. Bapak . Asmawi, M.Ag, ketua Program Studi Jinayah Siyasah Universitas Negeri
“ Syarif Hidayatullah” Jakarta.
4. Bapak Prof. Dr.H.M. Abduh Malik. selaku Pemimbing yang telah Memimbing
penulis dengan sepenuh hati, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Ayahanda (Junaidi) dan Ibunda (Nursua), atas semua pengorbanan, kasih sayang,
dukungan baik moril maupun materil dan doa yang tak hentinya untuk
kesuksesan penulis. Kakak-kakakku (Paslim Pindari beserta istri) terima kasih
atas semua pengorbanan kalian untuk penulis, dan terima kasih untuk semua
dukungannya. Adiku dan bibiku (Helti dan Suniarti), semoga harapan dan cita-
cita kalian dapat terwujud, I love you All.
6. Teman-temanku Cevi, Nandes, Aris, Komson, Oji, Amin, Devison. Riko, Johan,
Hilmi, Pay, Unay, Rijal, Reva, Putih, Irna dan Zulfa, yang selalu berbagi
pengalaman dan saling memberi dukungan kepada penulis good luck .
7. Teruntuk Adek Meri Juniana terima kasih atas semua dukungan yang adek
berikan. Semua kenangan kita akan terukir abadi dalam sanubariku.
8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang
tidak dapat penulis tuliskan satu persatu.
Akhir kata penulis sangan mengharapkan kritik dan saran yang bermanfaat bagi
semua pihak, khususnya bagi kemajuan penulis dimasa yang akan datang, semoga
Allah berkenan membalas seluruh kebaikan dan kemudahan yang telah diberikan,
serta bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Jakarta, 1 Desember 2008
FINALTO
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Pembataan dan Perumusan Masalah............................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 8
D. Review Pustaka ............................................................................. 9
E. Metode Penelitian.......................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan .................................................................... 12
BAB II TINJAUAN TENTANG JARIMAH HIRABAH MENURUT HUKUM
ISLAM
A. Pengertian Jarimah Hirabah dan Taubat........................................ 14
B. Macam-macam Jarimah ................................................................ 16
C. Unsur-unsur Jarimah Yang Dapat Dikenakan Hukuman................ 35
D. Sanksi Bagi Pelaku Jarimah Hirabah ............................................ 37
BAB III TAUBAT DALAM HUKUM ISLAM MENURUT IMAM MALIK
DAN PEMAAFAN DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Sekilas Biografi Imam Malik ......................................................... 44
B. Syarat-syarat Taubat dan Cara Bertaubat Menurut Imam Malik......... 47
C. Dasar Pemikiran Imam Malik Tentang Taubat Yang Dapat
Mengugurkan Hukuman Jarimah Hirabah..................................... 52
D. Pemaafan Bagi Pelaku Tindak Pidana Dalam hukum Pidana di
Indonesia ....................................................................................... 53
BAB IV ANALISA TENTANG PELAKU JARIMAH HIRABAH MENURUT
IMAM MALIK DAN RELEVANSINYA DI INDONESIA
A. Faktor Penyebab Gugurnya Hukuman Pelaku Jarimah Hirabah
Dalam Hukum Islam ..................................................................... 61
B. Analisa Tentang Taubat pelaku Jarimah Hirabah Dan
Relevansinya di Indonesia........................................................... 63
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 65
B. Saran ............................................................................................. 66
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN TENTANG JARIMAH HIRABAH MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Jarimah Hirabah dan Taubat
1. Pengertian Jarimah
Menurut pengertian secara etimologi kata jarimah berasal dari kata
jarama, atau jarim, artinya perbuatan dosa atau jahat, berbuat salah atau
melakukan maksiat, dan disebut mujrim artinya orang yang berbuat dosa, jahat,
atau melanggar larangan-larangan syara’. Yang dimaksud dengan perbuatan yang
dilarang adalah perbuatan yang melanggar atau mengabaikan perbuatan-
perbuatan yang diperintahkan oleh syara’. Sedangkan yang dimaksud dengan
perbuatan maksiat ialah perbuatan yang menentang, mengabaikan, perintah
ataupun larangan-larangan syara’.1
Maka jarimah dapat berarti melakukan perbuatan terlarang (haram) yang
mengakibatkan adanya hukuman terhadap perbuatan tersebut atau meninggalkan
perbuatan yang tidak boleh ditinggalkan, sehingga perbuatan tersebut juga akan
dikenai sanksi atau hukuman.2
Dari uraian tentang pengertian kata jarimah di muka, dapat dipahami
bahwa jarimah adalah perbuatan, tindak kejahatan, atau pristiwa kriminal yang
1 Warsum, Hukum Pidan Islam, 1991, h. 2-3. 2 Abdul Qadir ‘Audah, at-tasyri al-Jina-I al-islam Muqaranan bi al-Qanun al-wad’I (Beirut :
Miassasah al-Risalah, 1994), 1 h. 66.
dilakukan oleh seseorang. Karena perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan,
karena tindakan seperti ini berupa kejahatan yang merugikan, membahayakan,
atau merusak jiwa ataupun harta seseorang. Jarimah diartikan pula perbuatan-
perbuatan dosa atau kemaksiatan, oleh karena itu orang yang melakukannya
dikenakan hukuman sebagai pertanggungjawaban atas akibat perbuatannya.
Sedangkan perampokan adalah terjemahan dari kata al-hirabah yang oleh para
Ulama Fiqh diartikan sebagai qath’u al-thariq, yang berarti tindakan menghambat
orang di suatu jalan. Pengertian ini dipahami dalam konteks adanya tindakan
sekelompok orang, atau perorangan, sebagai penyamun yang sengaja mencegat
orang-orang yang melalui sebuah jalan secara menakutkan untuk mengambil
barang bawaannya. Tim penyusun R.U.U. Hukum Pidana Islam Mesir tahun 1975
mendefinisikan hirabah sebagai tindakan pencegatan orang yang melewati sebuah
jalan yang dengan sengaja mengancam nyawa, dan atau mengambil hartanya, atau
untuk menakut-nakuti.3
2. Pengertian Taubat
Sedangkan Pengertian Taubat adalah pernyataan maaf kita kepada tuhan
atas kesalahan yang kita lakukan dengan sengaja ataupun tidak. Akan tetapi
secara harfiah taubat berarti kembali, maksudnya kembali dari perbuatan yang
salah dan dosa menuju perbuatan yang baik (amal saleh) yang disertai penyesalan
yang mendalam terhadap kesalahan dan dosa yang pernah dilakukan dan bertekad
tidak akan mengulangi lagi, yang dibuktikan dengan tindakan nyata.
3 Muhammad Athiyah, hal.78.
Akan tetapi bila seseorang melakukan tindak pidana, seperti dalam
jarimah hirabah, taubat tidak mempunyai tampilan khusus atau proses simbolik
petunjuk, adanya taubat bisa ditandai dengan pengembalian harta kepada
pemiliknya ketika meharib mempunyai kemampuan untuk mengembalikan, dan
mengembalikan harta hasil rampasan sebelum ia ditangkap artinya belum masuk
dalam kekuasaan imam.4
B. Macam-macam Jarimah
1. Zina
Zina secara harfiah artinya fahisyah, yaitu perbuatan keji. Zina dalam
pengertian istilah adalah hubungan kelamin diantara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan
perkawinan.5
Para fuqaha (ahli hukum Islam) mengartikan bahwa zina, yaitu
melakukan hubungan seksual dalam arti memasukan zakar (kelamin pria) ke
dalam vagina wanita yang dinyatakan haram, bukan karena subhat, dan atas dasar
syahwat. Wanita yang dinyatakan haram adalah wanita yang bukan istrinya dan
amat (budak). Seorang pria yang menggauli dalam arti melakukan hubungan seks
dengan seorang wanita yang bukan istrinya, jika wanita yang digauli itu diduga
istrinya, atau sarirahnya atau amatnya, tidaklah termasuk perbuatan zina.
4 Asna’ Mataiib Syarh Raudit Talib (Penerbit al-Mayymaniyyah), cet, 1; Hassyiyah Abi al-
Abas Ahmad ar-Ramliy (Penerbit al-Mayymaniyyah), Jld. IV, h. 155 5 Abdurahman, Hukum Pidana Dalam Syariat Islam 1992, h.31.
Misalnya seorang pria yang mempunyai seorang istri yang sah. Suami tidak bisa
membedakan mana istri dan mana saudara kembar istrinya. Pintu kamar tidak
dikunci, dan kondisi kamar gelap gulita. Pria tersebut masuk ke kamar lantas
menggauli wanita yang diduga istrinya itu. Perbuatan pria dalam kasus seperti ini
tidak termasuk perbuatan zina, karena syubhat. Hubungan seksual atas dasar
perkosaan, maka pihak yang diperkosa tidak termasuk perbuatan zina.
a. Larangan hukum zina
Di dalam Al-Qur’an dinyatakan sebagai perbuatan keji dalam firman
Allah sebagai berikut:
�ا ا����� إ��� آ�ن ��� � و�ء ����� و#"!�
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, itu adalah suatu perbuatan
yang keji. Dan suatu jalan yang buruk (QS.Al-Israa (17):32.
1. Larangan melakukan zina atas dasar Nas (teks)
Alasannya yaitu kalimat laa taqrabuzzinaa, maknanya jangan melakukan
zina, seperti kalimat laa taqrabu shalaata maknanya janganlah melakukan
shalat.
2. Larangan melakukan zina atas dasar Mafhum Aulawy
Redaksi yang terdapat pada ayat di atas adalah laa taqrabuu, yang arti
harfiahnya adalah jangan mendekati. Atas dasar itu makna yang
terkandung dari ayat tersebut adalah larangan mendekati zina. Maksudnya
melakukan perbuatan yang mengarah ke perbuatan zina.
Ada beberapa perilaku yang dilarang dalam Alqur’an diantaranya
firman Allah SWT dalam Surah An-Nuur (24): 30-31.
�ا ��و59% ذ7� أزآ� 5�% 34 ��012+/�* ی.-,�ا +* أ�)�ره% وی:;<و34 ��012+/�ت ی.--* +* } 30{إن� ا@ ?��� ��1ی)/=�ن
�5/+ �5F�+�#5*� إG/ی* زیH�و59*� و#ی�ره*� وی>;:* ��(�أ�9 �2I �*ه�1J� *��5*� و#یH�ی* زی/5G*� إ#� ��=�5G�*� أو و��-��
�5G�*� أو إ?�ا5�*� أو =�ء /�5K*� أو أ/��5G�*� أو أ=�ء �5K*� أو ءا�ءا5K*� أو +L� ا"5*� أو��+NO2 أی5��1*� أو �/M إ?�ا5�*� أو �/M أ?
�2I وا�ی* �% ی:5P3 ا��;�Q�9ل أو ا���ا� *+ ���=�* T�� أو�� اSر��Gا� �*5G/زی *+ *�;Jر529*� ��=2% +�یU� *�ء و#ی-�L�/رات ا��I
�ا إ�� ا@ �19=���ن � أی,� ا01�+/و"<2;" %O�2=� ن�
Artinya: “ Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:”Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang meeka perbuat.” (31)”Katakanlah kepada wanita yang
beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutup kain
kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak
yang mereka miliki, atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasannya
yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nuur (24):
30-31.
b. Had pidana zina
Sebagai konsekuensi atau larangan zina Allah berfirman dalam Surah An-
Nuur (24), 2 sebagai berikut:
ا���ا��� وا���اH29�� M�وا آ�3 واH29 �K�+ �15/�+ H�ة و#"P?Uآ% ��15 رأ�� �ن ��@ وا��/+0" %G/دی* ا@ إن آ M� *�+ �;KY �15��م اZ?� و�� PI H5ا
ا01�+/�*
Artinya: “Wanita yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka derahlah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya sampai mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika
kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman terhadap mereka disaksikan oleh sekumplan orang-orang yang
beriman. (QS. An-Nuur (24):2)
Hadits Nabi:
Hوزی �/I @ا Mة رض�ی�ه M�إن ر�9 +* ا�=�اب ..... ا�* ?��IH* أی�ر��ل ا@ إ# M� N�-4 : �� ر��ل ا@ ص�2 ا@ ��2I و�2% �!�ل أ
��GOب ا@ : ��GOب ا@ "=���، �!�ل اZ?� ه� أ�!� +/� �//�� b4�� ،%=��/M آ�ن �2I �;�LI هPا ���� ��+�أ"� : واPKن �M �!�ل *T 34 �4ل
�K�1� ش�ة وو��Hة �N��L . %وإ�M أ?��ت أن �2I ا�/M ا��9 �/+ NیHG=�وأن �2I . أه3 ا�=�?U� %2��M و أن �2I ا�/K�+ H29 M� و".�ی�I eم
�رة و�9ءوا �!�رئ . ا+�أة هPا ا��%9G����!�ل ر��ل ص�د�g� ،*�4ءوا �� 3�!� ،��2I hHی i�5، ووض/+ iض�: �5% �!�ا��G إذا ا��5G إ�� +
2�ح" Mذا هk� ،hHی i��� *آHی iا: ، �!�ل ار��ی� +>H1، إن ���5 : أو �!����15 ر��ل ا@ ص�2 ا@ ��2I و�%2 �+U� ،�//�� �1"�OG� �/O9% و��ا�
. +H!2� .��2I l;G رای�G ی�15�2I �/g ی!��5 ا�>�gرة �/;�L: ���19، �4ل
Artinya: “Dari Abu hurairah dan Zaid bin Khalid r.a.: sesungguhnya seorang
lelaki Arab Badwi dating menghadap Rasulullah SAW. Seraya berkata: “Ya
Rasulullah saya tidak memohon kepada engkau selain putusan bagiku
berdasarkan kitabullah (Al-Qur’an). “ periwayat yang lain dan dia lebih
mengerti dari pada dia, berkata: “ Ya, putuskanlah kami berdasarkan kitabullah
dan izinkan saya, : “lalu beliau bersabda: Katakan (jelaskan dulu perkaranya),
“Dia berkata, “Sesungguhnya anak saya menjadi buruh pada orang ini lalu ia
bezina dengan istri majikan ini. Dan sesungguhnya saya telah beritahu bahwa
hukuman atas anak saya ini adalah rajam lalu saya menebusnya dengan seratus
ekor kambing dan seorang hamba wanita. Setelah saya menanyakan ulam, lalu
memberitahukan saya bahwa hukuman atas anak saya dera seratus kali dan
hukuman buangan setahun; Dan sesungguhnya atas istri majikannya itu adalah
rajam. “ Lalu Rasulullah bersabda: Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya,
sungguh saya akan memutuskan perkara anatara kamu berdasarkan kitabullah;
Hamba sahaya dan kambing itu ambil kembali. Dan hukuman atas anakmu, dera
seratus kali dan pembuangan/pengasingan setahun. Pergilah wahai Unais
kepada istri lelaki itu. Jika ia mengakui perbuatannya, maka rajamlah dia”
(Muttafaq ‘alaih dan susunan matan hadits ini menurut riwayat Muslim)
Dalam hal ini zina zina terbagi dua yaitu:
1. Zina muhsan ialah perzinaan antara laki-laki dan perempuan yang belum
menikah. Hukumannya adalah didera seratus kali sebagaiamana yang
terdapat dalam nas Al-qur’an.
�15�ا���ا��� وا���اH29�� M�وا آ�3 واH29 �K�+ �15/�+ H�ة و#"P?Uآ% H5 �ن ��@ وا���م اZ?� و��/+0" %G/دی* ا@ إن آ M� ��رأ
K;� +�* ا01�+/�*Y �15� PIا
Artinya: “Wanita yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
derahlah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya sampai mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari
akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman terhadap mereka
disaksikan oleh sekumplan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nuur
(24):2)
Namun sebagian ulama fiqih menambahkan hukukaman dengan
diasingikan selama satu tahun, dengan berpegang pada hadits Rasulullah Saw
bersabda:
��O���H29 �K�+ة و".�ی�I eم �O��ا Artinya: “ Jika yang belum menikah berzinah dengan yang belum menikah
maka hukumannya di dera seratus kali dan diasingkan selama setahun.
2. Zina Ghair Muhsan ialah perzinahan antara laki-laki dan perempuan yang
sudang menikah. Hukuman bagi pezina yang sudah menikah adalah
dirajam dengan batu kerikil sampai mati. Ada yang berpendapat didera
lalu dirajam .
Pendapat yang pertama adalah pendapat mayoritas ulama, sementara
pendapat yang kedua, adalah pendapat yang menyatukan anatar hukuman dera
dan rajam, pendapat teresebut merupakan pendapat mazhab Zhahiriyah dan iman
Ahmad bin Hanbal. Pendapat yang kedua berdalil dengan hadits yang
diriwayatkan dari Ubadah bin al-Shamit. Dari Nabi Saw, dia berkata:
�K�+H2� e�m��� e�mرة- ود+� أور9% -ا��g<��� Artinya: “ Pelaku zina yang sudah menikah (laki-laki ataupun perempuan) di
dera dan dirajam dengan batu.
c. Tujuan hukuman pidana zina
Sanksi terhadap pelaku zina demikian berat, mengingat dampak negatif
yang ditimbulkan akibat perbuatan zina, baik terhadap diri, keluarga, dan
masyarakat. Diatntara dampak negatif, yaitu sebagi berikut:
1. Penyakit kelamin seperti virus HIV Aids, penyakit gonorchoe atau
syiphilis, merupakan penyakit yang mencemaskan. Penyakit tersebut
terjangkit melalui hubungan kelamin. Di beberapa negara, terutama
negara-negara yang mentolerir, paling tidak memberikan peluang kepada
warganya melakukan perzinaan, termasuk Indonesia telah dirisaukan
dengan isu mewabahnya penyakit kelamin yang membahayakan.
2. Perbuatan zina, menjadikan seseorang enggan melakukan pernikahan
sehingga dampak negatifnya cukup kompleks, baik terhadap kondisi
mental maupun fisik seseorang.
3. Keharmonisan hubungan suami istri akan berkurang lantaran salah satu
pihak, yaitu suami atau istri telah mengadakan hubungan dengan lawan
jenisnya bukan dengan suami/istrinya yang sah. Ketidakpuasan dalam
pemenuhan seksual antara suami istri besar kemungkinan menimbulkan
ketidakharmonisan hubungan dalam keluarga.
4. Di Negara-negara yang menghormati kesusilaan, masyarakatnya akan
mencela seorang wanita yang hamil tanpa ada suami yang sah, terutama di
Indonesia.
2. Qodzaf
Qodzaf menurut bahasa adalah ramyu asy-syai yang artinya melempar
sesuatu. Maksud yang dikendaki syara’ adalah melemparkan tuduhan zina (wathi)
kepada orang lain atau tidak mengakui keturunan (nasab) dari istri yang sah.6
Bentuk qodzaf ini dapat berupa ucapan, seperti ‘engkau telah berzina”,
atau menyebar luaskan berita yang menyatakan bahwa seorang telah berzina.
Bentuk lain adalah pengingkaran terhadap nasab. Tidak mengakui keturunan atau
menyangkal janin dalam kandungan seorang tersebut istri. Bentuk terakhir ini
biasanya terjadi dalam rumah tanga. Bila tuduhan suami tersebut dapat
dibuktikan, maka si istri dapat dikenakan hukuman hadd zina, dan bila ternyata
6 Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al-Hudud fi al-Islam, h. 202.
tuduhan itu tidak dapat terbukti, maka si suami dapat dikenakan hukman hadd
qodzaf. Akan tetapi untuk menghindari hukuman tersebut, (suami dan istri) dapat
bermula’anah (li’an, walaupun resikonya sangat berat, karena telah berani
berbohong di hadapan Allah SWT, maka siksa yang berat akan di dapat di akhirat
nanti.
Satu prinsip dalam Fiqh Jinayah adalah bahwa seorang yang menuduh
orang lain dengan suatu yang haram itu. Apabila tuduhannya itu tidak dapat
terbukti, maka di wajibkan dikenakan hukuman.7
Asas legalitas Jarimah Qazaf secara jelas disebutkan dalam al-Qur’an:
�5دة أH�ه% � %5L;أ� nء إoH55% ش�� *Oن أزوا59% و�% ی�وا��Pی* ی�+أر�i ش�5دات ��@ إ��� 1�* ا�)��د�4* واL+�J�� أن� �=/N ا@ 2I�� إن
/I رؤاHوی *���5 ا�=Pاب أن " H5 أر�i ش�5دات ��@ إ��� آ�ن +* ا�O�ذ5�2 إن آ�ن +* ا�)��د�4*I @ا e-T أن� �L+�J�وا *�� 1�* ا�O�ذ
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka
tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian
orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sessungguhnya dia
adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa
laknat Allah atasnya jika ia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu
dihindarkan dari hukuman dengan bersumpah empat kali atas nama Allah
(bahwa) sesungguhnya sauminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang
berdusta, dan sumpah yang kelima, bahwa laknat Allah atasnya bila suaminya itu
termasuk orang-orang yang benar. (Qs. An-Nuur (24): 6-9.
�ا �Uر�=� شoH5ء H29��وه% ث�1��* "Uن ا1�>)/�ت ث%� �% ی�وا��Pی* ی�+�H29ة و#"!2��ا 5�% ش�5دة أ�Hا وأو7r� ه% ا�;��!�ن�ا +* إ#� ا��Pی* "�
�ر ر���%;T @ن� اk� ا��=H ذ7� وأص2> Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
7 H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah, h. 63.
derahlah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali derah, dan janganlah
kamu teriam kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-
orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang berdaulat sesudah itu dan
memperbaiki (dirinya) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. An-Nuur (24):4.
إن� ا��Pی* ی�+�ن ا1�>)/�ت ا�.���ت ا01�+/�ت �=/�ا M� ا�H,��� واZ?�ة %�:I ابPI %5�و
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik,
yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan
akhirat, dan bagi mereka azab yang besar. (QS. An-Nur (24):23.
Dalam jarimah qodzaf ini beberapa unsur yang harus ada sehingga dapat
dikatakan sebagai suatu jarimah, yaitu pertama, adanya ucapan yang
mengandung tuduhan atau penolakan terhadap keturunan, kedua tertuduh haruslah
salamat dari tuduhan tersebut. dan ketiga adanya kesengajaan untuk berbuat jahat
atau adanya itikad yang tidak baik.8
3. Riddah (al-Murtad)
Pengertian Murtad
Secara etimologi, kata riddah merupakan isim masdhar dari kata ( ار��اد )
yang berarti mundur, kembali ke belakang.9
10ا��9�I* ا�Q�یl ا�Pي �9ء +/� : ا��دة
Artinya: “Riddah (murtad) adalah: kembali mundur dari jalan di mana dia
datang.
11ا��9�ع I* ا� Mء إ�� �T�h : ا��دة
8 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Isalam, h. 79-80. 9 Ahmad Warson Munawwri, h. 522. 10 Sayid Sabiq, h. 450. 11 Wahbah al-Zuhaili, h. 183.
Artinya: Riddah (murtad) adalah: kembali dari sesuatu kepada yang lainnya.
Sementara secara terminologis, para ulama menefinisikannya sebagai
berikut:
�اء � �;Oم إ�� ا���Sدی* ا *I ع��ل����r� ا��9!���12 أو ���;=3 ا�O1;� أو
Artinya: “Keluar dari agama Islam menjadi kafir, baik dengan niat, perkataan,
maupun perbuatan yang menyebabkan orang yang bersangkutan dikatagorikan
kufur/kafir.
hا�دون إآ hر��G?�� �;Oم إ�� ا���Sا *I u2% ا�=�34 ا����L1ع ا��ر9
H13+* أ�
Artinya: “Keluarnya seorang Muslim yang telah dewasa dan berakal sehat dan
beragama Islam kepada kekafiran, dengan kehendaknya sendiri tanpa paksaan
dari siapa pun.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan murtad (riddah) adalah:
keluarnya seorang muslim dari agama yang dianutnya (agama islam) kepada
kekafiran dengan menyatakan atau melakukan sesuatu yang menyebabkan orang
tersebut kafir.
Umpanya mengingkari adanya Tuhan, mendustakan Rasulullah,
menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal, menyembah kepada
berhala, melemparkan kitab suci al-Qur’an ke dalam kotoran,14
dan lain-lain.
Adapun Syarat-sayarat murtad (riddah)
Seorang dapat dinyatakan murtad dengan persyaratan sebagai berikut:15
1. Berakal, karena tidak murtadnya orang gila.
12 Ibid, h. 183 13 Sayid Sabiq, h. 451. 14 Wahbah al-Zuhaili, h. 183. 15 Ibid,. h. 184-186.
2. Telah mencapai usia baligh (dewasa), karena tidak murtadnya anak kecil
yang telah mencapai usia mumayyiz menurut ulama Syafi’iyya, sementara
jumhur ulama berpendapat sebaliknya.
3. Dilakukan atas kehendak sendiri, karena tidak sah murtadnya orang yang
dipaksa, dengan catatan hatinya tetap bersihteguh dalam keimanannya.
Dalam hubungan ini, seorang Sahabat Nabi bernama ‘Ammar ibn Yasir
pernah dipaksa mengucapkan kata-kata kekufuran (kalimat la-kufr) sehingga ia
terpaksa mengucapkannya, maka terunlah ayat 106 surat al-Nahl:
� v*r1Q+ ��24و h�إی�1�� إ#� +* أآ H=� *+ @��S�ی�1ن وO�* +�* +* آ;� %�:I ابPI %5�ا@ و *�+ e-T %5�2=� راHص �;O��� ش�ح
Artinya: “barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia
mendapat kemurkaan Allah) kecuali orang yang dipaksa kafir, padhal hatinya
tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi, orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpahnya
dan baginya Azab yang besar. (Q.S. AL-Nahl (16): 106.
4. Minum Khamr
Ada beberapa yang diberikan oleh para ulama berkenaan dengan jarimah
ini. Al-Bughari memberikan nama syaribul kahmar, atau Dawud menamakannya
al-haddu fil khamr. Ibnuh Majah menyebutnya dengan Haddus sakran, Imam
Srafi’i Haddul khamr dan Imam Hanafidengan haddus syurb.16
Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian As-Syurbu
(meminum). Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, sebagaimana
dikutip oleh Abdul Qadir Audah bahwa pengertian As-Syurbu (meminum) adalah
16 Drs. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinnayah), CV. Pustaka Setia, Bandung
2000, h. 95
minum-meminam yang memabukan baik minuman tersebut dinamakan khamr
atau bukan khamr, baik berasal dari perasan anggur maupun berasal dari perasan
bahan yang lain. Sedangkan pengertian As-syurbu menurut Imam Abu Hanifah
adalah meminum minuman khamr saja, baik yang diminum itu banyaj maupun
sedikit.17
Dari pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa khamr menurut Imam
Abu Hanifah adalah minuman yang diperoleh dari perasan Anggur. Dengan
demikian imam Abu Hanifah membedakan antara khamr dan muskir (mabuk).
Khamr diharamkan minumnya baik sedikit maupun banyak dan
keheramannyaterletak pada dzatnya (lidzatihi). Adapun selain khamr yaitu muskir
yang terbuat dari bahan-bahan selain dari perasab buah anggur yang sifatnya
memabukan, keharamannnya tidak terletak pada minuman itu sendiri (lidzatihi),
tetapi pada minuman terakhir yang menyebabkan mabuk. Jadi menurut Abu
Hanifah orang yang muskir baru dikenakan hukuman apabila yang meminumnya
tersebut mabuk. Apabila tidak mabuk maka tidak dikenai hukuman.18
Tampaknya pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmadiah
yang diikuti oleh dunia Islam yakni bahwa minum khamr atau minum yang lain
yang memabukan adalah haram, baik bannyak maupun sedikit.19
Seperti yang dikemukakan oleh H. Arif Furqan, dkk dalam bukunya
(Islam Dan Disiplin Ilmu Hukum). Delik pidana yang dimaksud dalam
17 Drs. H. Ahmad Wardi Muchlish, Hukum Pidana Islam, h. 73 18 Ibid, h. 74 19 Prof. Drs. H.A.Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatn dalam Islam), h. 97
pembahasan ini yaitu seluruh tindakan untuk mengkonsumsi makanan atau
minuman melalui pencernaan atau jaringan seperti pennyuntikan dan cara yang
membuat pemakainya mengalami gangguan kesadaran.20
Larangan ini dijelaskan oleh Allah dalam Surah al-Baqarah (2): 219.
Sebagai berikut:
34 15��إث% آ��� و+/�i� 2�/��س وإث151 �L�1�وا �1J�ا *I 7��2rLی %O� @7� ی���* اPآ �2�7� +�ذا ی/;!�ن 34 ا�=;rL+* ��;=�15 وی �أآ�
اZی�ت �=�O;G" %O�2�ون
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang Khamar dan judi, katakanlah:
“pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.”Dan mereka bertanya
kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: yang lebih dari keperluan.
”Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu
berfikir. (QS,Al-Baqarah (2):219.
Kemudian dinyatakan tidak boleh melakukan sholat dalam keadaan
mabuk sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah sebagai berikut:
��ن �12�ا +�"!=" ��G� رى�O� %Gا ا�)��ة وأ��� ی�أی,�5 ا��Pی* ءا+/�ا #"!�
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. (QS.
An-Nisa (4):43.
Dan terakhir tegas-tegas dinyatakan bahwa khamar salah satu perbuatan
setan dan karenanya harus dijauhi. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagai
berikut:
Zوا �L�1�وا �1J�ا إ���1 ا��)�ب واZز#م رy9 +�* ی�أی,�5 ا��Pی* ءا+/�ن<2;" %O�2=� h��/G9�� ن�Q�� 31I ا�
20 Prof. Dr. H. Zinudun Ali, Hukum Pidana Islam, h. 78.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minuman) khamar,
berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah
termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maaidah (5): 90.
Unsur-unsur jarimah minum khamr;
1. Minum minuman yang memabukan
Seperti telah dijelaskan bahwa ketiga Imam Madzhab yaitu Imam Malik,
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad mengharamkan minuman khamr dan
minuman lain yang memabukan baik sedikit maupun banyak dan baik
mabuk ataun tidak. Jadi dengan minum itu sendiri sudah merupkan
jarimah. Disyaratkan benda yang memabukan itu itu berupa minuman,
namun selain minuman tetap haram namun hukumnya bukan hukum
hadmelainkan hukuman ta’zir.
2. Ada niat yang melawan hukum (itikad jahat)
Yang dimaksud dengan itikad jahat adalah sudah tau bahwa minuman
yang memabuukan itu haram, tetapi tetap diminum juga. Oleh karena itu
tidak dikenai sanksi seseorang yang minum minuman khamr atau minum
lain yang memabukan, sedangkan ia tidak tahu bahwa yang diminum itu
adalah minuman yang memabukan atau tidak tahu bahwaminuman itu
haram.21
21 Prof. Drs. H.A.Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatn dalam Islam), h.98
5. Pencurian
Pengertian Pencurian
Kata pencurian adalah terjemahan dari kata bahasa Arab al-Sariqah, yang
menurut etimologi berarti melakukan sesuatu tindakan terhadap orang lain secara
tersembunyi, misalnya; istaraqqa al-sama’a (mencuri dengar) dan musaraqqat
al-nazara (mencuri pandang).22
Yang dimaksud dengan pencurian disini adalah mengambil harta orang
lain secra diam-diam tanpa sepengetahuan pemiliknya.23
Dari definisi tersebut
dapat dapat dilihat bahwa Unsur-unsur pencurian adalah:
a. Megambil harta secar diam-diam, pengambilan itu dapat dikatakan sempurna,
jika harta itu diambil dari tempatnya dan telah dipindah tangan dari
pemiliknya kepada pelaku pencurian.
b. Harta yang dicuri disyaratkan harta yang berharga, memilki tempat
penyimpanan yang layak dan sampai pada nisab.
c. Harat yang dicuri itu adalah harta orang lain dan tidak subhat.
d. Ada itikad tidak baik untuk memiliki harta yang bukan haknya.
Pelaku pencurian yang terbukti, baik berdasarkan dua orang saksi atau
berdasarkan pengakuan dari palaku, dapat dihukum dengan potong tangan.
Sebagaimana firman Allah:
22 Ibnu al-Manzhur. Lisan al-‘arab. Dar al-Ma’rif , juz III, hal, 1998. Al-Muqry al-Fayyumi.
Al-Misabah al-Minir, juz.I. h. 274 (tanpa menyebutkan tahun dan penerbit), dan lihat juga. Wahbah al-
Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Dar al-Fikr Damaskus, Cet. II th. 1989, juz VI, h. 92. 23 Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al-Hudud fi al-Islam, h. 215
�ا أیHیo�9 �15ء ��1 آ�O� ��L# +�* ا@ وا@ =Q4�� �4ر��Lرق وا���Lوا�%�O� ��یI
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. (QS.
Al-Maaidah (4): 38.
Hukum potong tangan ini diterapkan apabila harta yang dicuri sampai pada
nisab yang sudah ditentukan, para ulama berbeda pendapat mengenai ukuran
nisab ini, Imam Syafi’i, Malik Dan Ahmad berpendapat bahwa nisabnya adalah
seper-empat Dinar emas atau tiga Dirham dan yang seharga dengannya.
Sedangkan Hanafi menetapkan nisab sepuluh dirham.24
6. Hirabah (perampokan)
Perampokan adalah pengambilan harta orang lain secara terang-terangan
atau disertai dengan kekerasan. Tindakan ini dapat dilakukan oleh satu kelompok
atau satu orang yang memiliki kekuatan untuk melakukan intimidasi terhadap
orang lain.25
Sumber hukum dari jarimah hirabah ini adalah ayat al-qur’an yang
berbunyi:
�ن M� اZرض �L�دا أن =Lوی ����ن ا@ ور��إ���1 9�اؤا ا��Pی* ی>�ر2�ا أو ی)�2��ا أو"!i�Q أیHی5% وأر529% +�* ?�ف أو ی/;�ا +* اZرض �G!ی
M� اZ?�ة PIاب I:�%ذ7� 5�% ?�ي M� ا�H,��� و%5�Artinya: ”Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka
dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal
balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu
(sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka peroleh
siksaan yang besar. (Qs. Al-Maidah (5): 33.
24 Ibid, h. 224-228 25 Muhammad bi Muhammad Abu Syahbah, al-Hudud Fi al-Islam, h. 224-228
Atas dasar ini ulama mensyaratkan pada seorang perampok harus
mempunyai kekuatan fisik untuk memaksa. Bahkan Imam Abu Hanifah dan
Imam Ahmad mensyaratkan seoarng prampok harus membawa senjata tajam,
sedangkan menurut Imam Syafii.yang penting seorang perampok harus
mempunyai kekuatan fisik untuk memksa26
bahkan Imam Maliki menganggap
pelaku perampokan cukup menggunakan tipu daya tanpa menggunakan kekuatan
dan dalam keadaan tertentu menggunakan anggta tubuh, seperti meninju dan
memukul dengan kepalan tangan.27
Sanksi bagi pelaku perampokan menurut Imam Malik ialah perampokan
itu diserahkan kepada hakim untuk memilih hukuman mana yang lebih sesuai
dengan perbuatan dari alternatif hukuman yang tercantum dalam Surah Al-
Maaidah ayat 33 tersebut. Hanya saja Imam Malik membatasi pilihan tersebut
untuk selain dibunuh atau disalib.28
Akan tetapi jika pelaku perampokan bertaubat
sebelum perkaranya diangkat kepengadilan (menyerahkan diri) khususnya pada
pelaku yang hanya meng-intimidasi dan merampas harta.
Adaupun syarat-syarat pelaku hirabah yang dapat dikenakan hukuman
adalah:29
1. Pelaku Hirabah orang mukallaf.
26 H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah, h. 88 27 Alaudin al-Kasani, Bada’i as-Sana’i fi Tartibisy Syara’i, Jld, VII, h. 90 28 Ibid 29 Said Sabiq Fiqih Sunnah, Jld 9. h. 177
2. Pelaku hirabah membawa senjata.
3. Lokasi hirabah jauh dari keramaian.
4. Tindakan hirabah secara terang-terangan.
7. Bughat (Pemberontakan)
Pengertian Bughat
Ada perbedaan dikalangan ulama dalam memberikan definisi
pemeberontakan (al-Bagyu). Ulama Malikiyyah mengartikan denga penolakan
untuk taat kepada Imam yang telah ditetapkan, tanpa ada upaya untuk
mengulingkannya. Ulama Hanafiyah mendefinisikan dengan keluarnya seorang
dari ketaatan kepada yang iama yang tanpa alasan. Sedangkan ulam Syafi’iyah
lebih cendrung kepada pengertian bahwa al-Bagyuitu adalah sekelompok orang
beserta pememimpinnya yang menyalahi imam dengan car tidak mentaati dan
melepaskan diri darinya serta menimbulkan kekacauan.30
Tindakan larangan ini ditegaskan dalam firman Allah Swt yang berbunyi :
�2I �1اهH�إ N.�2�ا U�ص2>�ا ��/k� �15ن GG4ن +* ا01�+/�* ا�G;KY وإناZ?�ى �!�"2�ا ا����G� M.�" MG ";�ء إ�� أ+� ا@ k�ن �ءت U�ص2>�ا
��*�QL!1�ا ,e<ا إن� ا@ ی�QL4ل وأH=��� �15/ Artinya: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang
maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang
berbuat aniaya itu sehingga mereka kembali kepada perintah Allah. Jika
golongan telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah keduanya
dengan adil. Dan berlaku adilah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil. (QS. Al-Hujarat (49): 9.
30 Mahmud Fuad, Ahkam al-Hudud, h. 16.
Upaya pemberontakan ini dapat dikatan sebagai kejahatan yang benar-
benar kejahatan besar apabila terdapat beberapa unsur, yaitu :
1. Mempunyai idealisme atau motivasi untuk menggulingkan pemerintah.
2. Sifat gerakannya melawan pemerintahan yang sah.
3. Memiliki kekuatan atau senjata yang cukup kuat sebagai alat dan sarana
untuk menjalankan upayanya.
4. Mempunyai camp base atau pusat sebagai daerah kekuasaan.
5. Memliki pendukung yang cukup kuat.
Pemberonntakan merupakan delik poltik yang pada perkembangannya
dapat mengancam aksistensi kekuasaan Negara. Dengan demikian setiap ada
upaya yang mengarah kepada menculnya kekuatan-kekuatan yang tidak sejalan
dengan pemerintah yang sah harus segera ditindak, sehingga tidak menimbulkan
tekanan-tekanan terhadap stabilitas Negara.
C. Unsur-unsur Jarimah Yang Dapat Dikenakan Hukuman
Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, bahwa yang dimaksud dengan
jarimah ialah larangan-larangan syara’, orang yang melanggar larangan itu dikenakan
hukuman atau sanksi hadd atau ta’zir. Larangan tersebut adakalanya besifat perintah
meninggalkannya dan atau juga dicegah. Larangan yang dimaksud harus dari sumber
yang jelas, yakni berdasarkan nash-nash syara’ dan baru dapat dianggap jarimah
apabila dapat dikenakan hukuman, yaitu perbuatan yang dilarang tetapi dilakukan
oleh orang-orang yang sudah baligh, berakal sehat, dan dilakukan secara sengaja.
Dari penjelasan tersebut maka diketahui bahwa tiap jarimah mengandung
unsur umum sebagai berikut:
1. Ada nash-nash yang melarang perbuatan dan mengancamnya hukuman-
hukuman-hukuman, unsure yang demikian disebut unsur formil atau rukun
syar’i.
2. Adanya tinndakan yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan maupun
sikap tidak berbuat, unsur yang demikian disebut unsur matriel
3. Ada orang yang melakukan perbuatan, dan orang itu telah dapat dianggap
telah dapat bertanggung jawab terhadap tindakannya karena ia sudah
mukallaf, unsur demikian disebut unsur moril.31
Dari ketiga unsur diatas harus ada atau terdapat pada suatu perbuatan yang
termasuk jarimah atau perbuatan yang dilarang. Sedangkan unsur khusus dari jarimah
itu sehingga dapat dijatuhkan hukuman atas si pelaku adalah adanya barang bukti,
bahwa perbuatan itu telah dilakukan, seperti pencurian. Unsur khusus dalam kasus
pencurian antara lain adalah dilakukan dengan diam-diam atau sembunyi.
Disisi lain dapat pula diberikan contoh kasus, misalnya dalam kasus menuduh
orang lain berzina. Selain dari hal yang dituduhkan telah memenuhi unsur unsur
umum, yakni ada nash al-Qur’an yang melarang zina, dilakukan oleh orang mukallaf,
si tertuduh baru dapat dianggap betul-betul berbuat zina apabila ada empat orang
saksi yang menyatakan secara rinci di muka Hakim bahwa memang benar mereka
menyaksikan perbuatan zina antara si A (laki-laki) dengan si B (perempuan) di suatu
31 Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana,1993, h. 6
tempat. Jika tuduhan itu hanya disaksikan oleh tiga orang saksi, atau tidak cukup
empat orang, maka si tertuduh tidak dapat dikenakan hukuman rajam atapun dera.
Dari uraian mengenai unsur-unsur jarimah yang dapat dikenakan hukuman di
muka, maka dapat dipahami bahwa unsur-unsur jarimah yang dapat menentukan
apakah seseoarng pelaku suatu jarimah yang dapat dijatuhi hukuman, walaupun sudah
ada dasar hukum dari al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah Saw jika yang
merupakan unsur-unsur umum, tetapi diperlukan juga unsur-unsur khusus, yang ada
pada pelaku ataupun jenis jarimah masing-masing.32
D. Sanksi Bagi Pelaku Jarimah Hirabah
Mengenai sanksi bagi pelaku jarimah hirabah (perampokan) menurut hukum
Pidana Islam dikategorikan kedalam jarimah hirabah. Yang dimaksud dengan jarimah
hirabah adalah tindakan kekerasan, pemberontakan, pengrusakan, ataupun pengacau
keamanan dalam masyarakat, seperti; merusak tanaman, ternak, citra agama,
penculikan anak-anak dan wanita, perampasan harta, dan lain sebagainya yang
dilakukan secara bergerombol ataupun sendirian secara pemaksaan dengan
menggunakan senjata untuk memudahkan aksinya.
Hirabah dalam konteks perampokan atau pencurian dengan kekerasan,
termasuk tindakan kejahatan terhadap harta benda orang lain, dilakukan tanpa
prikemanusian, atau dilakukan secara kejam dan tidak hanya terhadap harta si korban,
bahkan dapat menimpa jiwa dan kehormatan apabila melakukan perlawanan untuk
32 Warsum Jinayat, Hukum Pidana Islam1991, h. 6-7
mempertahankan harta benda miliknya itu. Oleh karena itu Islam memberikan
hukuman yang berat terhadap pelaku hirabah seperti perampokan tersebut.
Menurut Imam Malik hukumannya untuk pelaku perampokan itu diserahkan
kepada hakim untuk memilih hukuman mana yang lebih sesuai dengan perbuatan dari
alternatif hukuman yang tercantum dalam Surah al-Maidah 35 tersebut.33
Adapun yang mejadi perbedaan yaitu; perbedaan penafsiran terhadap huruf
aw yang terdapat dalam Surat al-Maidah ayat 33, yang berbunyi:
2�ا �G!دا أن ی�L� رضZا M� ن�=Lوی ����ن ا@ ور��إ���1 9�اؤا ا��Pی* ی>�رأو ی)�2��ا أو"!i�Q أیHی5% وأر529% +�* ?�ف أو ی/;�ا +* اZرض ذ7� %5�
M� اZ?�ة PIاب I:�%?�ي M� ا�H,��� و%5�Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah mereka dibunuh,
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan berimbal balik atau
dibuang dari negeri(tempat kediamannya).(QS.Al-Maaidah (5):33.
Jumhur ulama berpendapat bahwa huruf aw dalam ayat tersebut dimaksudkan
untuk bayan (penjelasan) dan tafshil (rincian). Dengan demikian menurut mereka
hukuman-hukuman tersebut sesai dengan berat ringannya perbuatan (jarimah) yang
dilakukan oleh pelaku perampokan, akan tetapi imam Malik berpendapat bahwa huruf
aw dalam surah Al-Maaidah ayat 33 dimaksudkan untuk takhyir (pilihan). Dengan
demikian, menurut Imam Malik ayat tersebut mengandung arti bahwa hakim diberi
kebebasan untuk memilih hukuman yang di pandangnya paling tepat dan sesuai
dengan jenis jarimah perampokan yang dilakukan oleh pelaku.34
33 Abd Al- Qodir Audah, II, cit., h. 647. 34 Abd Al-Qadir Audah, II, h. 647
Hanya saja Imam Malik membatasi pemilihan hukum untuk tindak pidana
jenis pembunuhan, antara hukuman mati dan salib. Alasannya adalah karena setiap
pembunuhan hukumannya adalah dibunuh (hukuman mati), sehingga tidaklah tepat
apabila tindak pembunuhan dalam perapokan dihukum dengan potong tangan dan
kaki atau pengasingan. 35
Berikut ini adalah rincian untuk masing-masing hukuman dari perbuatan
tersebut:
1. Hukuman untuk menakut-nakuti.
Hukuman untuk jenis tindak pidana perampokan yang menakut-nakuti
adalah pengasingan sesuai dengan firman Allah surah al-Maaidah ayat 33:
...أو ی/;�ا +* اZرض Artinya : …atau diasingkan dari tempat negerinya…(Qs. Al-Maaidah (4):33.
Menurut Imam Malik, bahwa penguasa berhak memilih antara menghukum
mati muharib, menyalib,memotong tangan, atau mengasingkan perintah memilih
ni berdasarkan atas ijtihad dan kesungguhan untuk mencapai maslahat umum.
Jika muharib termasuk yang mempunyai wawasan dan pemikiran yang luas.
Ijtihad diarahkan untuk menghukum mati atau menyalib karena potong tangan
tidak bisa menghilangkan bahaya yang dapat ditimbulkan si pelaku. Jika pelaku
orang yang tidak mempunyai pikiran, tetapi memiliki kekuatan, ia harus dijatuhi
hukuman potong kakidan tangan bersilang. Jika pelaku tidak mempunyai sifat
35 Ibid, h. 648
tersebut, ia hanya dijatuhi hukuman ringan dan hukuman yang sudah ada, yaitu
diasingkan dan ta’zir.36
2. Hukuman untuk Mengambil Harta Tanpa Membunuh
Imam Malik berpendapat, bahwa sesuai dengan penafsiran huruf aw
dalam surah al-Maaidah ayat 33. Hukuman untuk pelaku perampokan dalam
pengambilan harta ini adalah diserahkan kepada hakim untuk memilih hukuman
yang terdapat dalam surah al-Maaidah ayat 33, asal jangan pengasingan hal ini
karena hirabah itu adalah pencurian berat, sedangkan hukuman pokok untuk
pencuri adalah potong tangan. Oleh karena itu, untuk perampokan jenis kedua ini
(mengambil harta) tidak boleh lebih ringan daripada potong tangan.37
3. Hukuman untuk membunuh tanpa mengambil harta
Menurut pendapat Imam Malik apabila mereka membunuh saja dan tidak
mengambil/merampas harta, maka hendaklah mereka dibunuh dan boleh
sesudahnya ditepang (disalib) pula.38
Jika mau, ia bisa memutuskan hukuman
mati dan penyaliban atau hukuman mati tanpa penyaliban.39
4. Hukuman untuk membunuh dan mengambil harta.
Menurut pendapat Imam Malik yang paling kuat, bahwa pelaku
dihukum mati yang dilaksanakan setelah penyaliban. Dengan demikian, menurut
pendapat ini, orang yang terhukum disalib dalam keadaan hidup, baru kemudian
36 Al-Mudaawwanah al-Kubra (Penerbit Sa’adah), cet. 1, Jld. XV1. h. 98-99 Nihayatul
Mujtahid, Jld. II, 380-381 37 Abd Al-Qodir Audah, II. h. 650-651 38 Ibid, II, h. 654-652. lihat di Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 101-104. 39 Al-Mudawwanah al-Kubra (Penerbit Sa,adah), cet.I, Jld XV1. h. 99
ia dibunuh dalam keadaan disalib. Alasan mereka adalah bahwa hukuman salib
adalah salah satu jenis hukuman, dan hukuman tidak dapat dikenakan terhadap
orang yang mati. Oleh karena itu, orang yang terhukum harus disalib pada saat ia
masih hidup.40
Mengenai sanksi atau hukuman Hirabah (perampokan) menurut hukum
Pidana Islam ialah:
a. Jika perampok itu merampas harta dan membunuhnya, maka
hukumannya adalah dibunuh dengan cara disalib.
b. Jika perampok hanya membunuh korbannya, tidak mengambil hartanya
maka hukumannya dibunuh saja.
c. Jika perampok itu hanya merampas korbannya, tidak membunuh maka
hukukmannya adalah dipotong tangan dan kakinya secara silang.
d. Jika perampok itu hanya menakut-nakuti atau hanya mengacau
keamanan umum maka hukumannya di buang atau diasingkan jauh-jauh
atau dipenjarakan saja.
Dari pernyataan diatas dapat dipahami, bahwa hukuman bagi pelaku
perampokan sangat berat, karena sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya
yaitu merusak dan merugikan pihak atau orang lain dengan cara melanggar atau
melawan hukum yang ditetapkan Allah.
Berdasarkan firman Allah sebagai berikut:
40 Ibid, II, h. 653-654. dan lihat juga Wahbab Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, h. 141.
lihat di Ahmad Wardi.
�ن M� ا=Lوی ����ن ا@ ور��Zرض �L�دا أن إ���1 9�اؤا ا��Pی* ی>�ر2�ا أو ی)�2��ا أو"!i�Q أیHی5% وأر529% +�* ?�ف أو ی/;�ا +* اZرض �G!ی
%�:I ابPI ة�?Zا M� %5�و ���,Hا� M� ذ7� 5�% ?�ي Artinya : ”Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka
dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal
balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu
(sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka peroleh
siksaan yang besar. (Qs. Al-Maidah (5): 33.
Ayat di atas dapat dipahami bahwa hukuman bagi orang-orang yang
memerangi (melanggar) hukum Allah dan Rasul-Nya, atau berbuat kesalahan atau
kejahatan di muka bumi ini adalah dibunuh, disalib, potong kaki dan tangannya
secara silang atau dibuang dari negerinya.
Di samping itu Imam Malik berpendapat, apabila si pelaku perampokan
itu membunuh, maka hukumannya adalah dibunuh pula. Dalam hal ini penguasa
atau hakim tidak boleh memilih untuk memotong tangan atau kaki, atau
diasingkan. Dan pilihan tersebut hanya berlaku pada panjatuhan hukuman mati
atau penyaliban atasnya. Apabila si pelaku hanya mengambil harta, maka
hukumannya tidak lain kecuali dibuang atau diasingkan dari negerinya. Pilihan
hanya terdapat penjatuhan hukuman mati penyaliban ataupun potong tangan dan
kaki secara silang.41
Menurut fuqaha, sebuah tindak pidana di anggap hirabah jika tidak keluar
dari empat bentuk, yaitu;
1. Menakut-nakuti tanpa mengambil harta dan tidak membunuh.
41 Abd Al-Qodir Audah, II. h. 650-651
2. Mengambil harta tanpa membunuh.
3. Membunuh tanpa mengambil harta.
4. Pembunuhan dan mengambil harta.
Apabila kejahatan yang dilakukan oleh si pelaku keluar dari empat poin
diatas, misalnya seperti terjadinya perkosaan, hal ini tidak dikategorikan
kejahatah hirabah akan tetapi kejahatan diluar hirabah yang ketepan hukumnya
tidak ada dalam Al-qur’an surat Al-Maaidah (5): 33. Namun bila dalam
perampokan itu terjadi perkosaan (hا�آS�� maka wanita itu dibebaskan dari (ا��طء
hukuman had. Sebagaimana dalam firman Allah Swt:
�ر ر���%;T @2�� إن� اI %د �� إث�I #غ و�� ��T ��Q1�* اض Artinya: ”Tetapi barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang ia tidak mengingikannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya.” (Al-Baqarah (2): 173.
Begitu juga Nabi SAW. Mengatakan orang yang dipaksa perbuatan yang
dilarang, di dibebaskan dari hukuman.
ر�I i* أ+�G ا�>�Qء : وا����ل ��2I ا�)�ة وا��Lم ی!�ل .�OG�ه�ا ��2Iوا�/��Lن و+� ا
Artinya: “Rosulullah SAW mengatakan : di bebaskan umatku dari hukum,
mereka yang keliru (tersalah) lupa dan karena dipaksa.”
Adapun bagi pelaku, menurut Imam Malik dan Syafi’i berpendapat wajib
si pria memberikan suatu pemberian (اقHص) kepada si wanita itu.
Menurur Imam Malik, yang sumbernya dari Ibnu Syihab seperti yang
disebutkan dalam Al-Muatta’ (ء�Y� bahwa Abdul Malik bin Marwan pernah (ا�1
mengambil putusan pria yang menggagahi seorang wanita secara paksa ia wajib
memberikan sesuatu yang bersifat materi kepada perempuan yang dugaghinya.42
42 Abdul Malik Muhammad, Prilaku Zina Dalam Pandangan Hukum Islam dan KUHP, Cet.
Pertama, h. 143
BAB III
TAUBAT DALAM HUKUM ISLAM MENURUT IMAM MALIK DAN
PEMAAFAN DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Sekilas Biografi Imam Malik
Imam Malik imam yang kedua dari imam-imam empat serangkai dalam Islam
dari segi umur. Beliau dilahirkan di kota Madinah, suatu daerah di negeri Hijaz tahun
93 H/12 M, dan wafat pada hati Ahad, 10 Rabi’ul Awal 179 H/798 M di Madinah
pada masa pemerintahan Abbasyiah dibawah kekuasaan Harunal-Rasyid. Nama
lengkapnya ialah Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abu ‘Amir ibn al-
Harits. Beliau adalah keturunan bangsa Arab dusun Zu Ashbah, sebuah dusun di kota
Himyar, jajahan Negeri Yaman.
Imam Malik adalah seorang yang berbudi mulia, dengan pikiran yang cerdas,
pemberani dan teguh mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Beliau seoarng
yang mempunyai sopan santun dan lemah lembut, suka menengok orang sakit,
mengasihani orang miskin dan suka memberi bantuan kepada orang yang
membutuhkannya. Beliau juga seorang yang sangat pendiam, kalau bicara dipilihnya
mana yang perlu dan berguna serta menjauhkan diri dari segala macam perbuatan
yang tidak bermanfaat. Di samping itu juga beliau seorang yang suka begaul dengan
Handai Taulan, orang yang mengerti agama terutama para gurunya, bahkan begaul
dengan para pejabat pemerintah atau wakil-wakil pemerintah.
Imam Malik terdidik di kota Madinah pada masa pemerintahan kholifah
Sulaiman ibn Abd Malik dari Bani Umaiyah VII. Pada waktu itu di kota tersebut
hidup beberapa golongan pendukung Islam, antara lain: golongan sahabat Anshar dan
Muhajirin serta para cerdik pandai ahli hukum Islam. Suasana seperti itulah imam
Malik tumbuh dan mendapat pendidikan dari beberapa guru yang terkenal. Adapun
guru yang pertama dan bergaul lama serta erat adalah Imam Abd. Rahman ibn
Hurmuz salah seorang ulama besar di Madinah. Kemudian beliau belajar fiqh kepada
salah seorang ulama besar kota Madinah, yang bernama Rabi’ah al-Ra’yi ( wafat
pada tahun 136 H ). Selanjutnya Imam Malik belajar ilmu Hadits kepada imam Nafi’
Maula Ibnu Umar (wafat pada tahun 117 H), juga belajar kepada Imam ibn Syihab al-
Zuhry.
Menurut riwayat yang dinukil Moenawar Cholil, bahwa diantara para guru
Imam Malik yang utama itu tidak kurang dari 700 orang yang tergolong ulama
tabi’in.
Adapun metode isdtidlal Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam
berpegang kepada: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ Ahl al-Madinah, Fatwa Sahabat,
Khabar Ahad dan Qiyas, Al-Istihsan, al-Mashlahah al-Mursalah, Sadd al-Zara’I,
Istishab, dan Syar’ u Man Qablana Syar’un Lana.
Karya-Karya Imam Malik:
Pertama : diantara karya-karya Imam Malik adalah Kitab al-Muwathta’. Kitab
tersebut ditulis tahun 144 H. atas anjuran khalifah Ja’far al-Manshur. Menurut hasil
penelitian yang dilakukan Abu Bakar al-Abhary, atas Rasulullah SAW. Sahabat dan
tabi’in yang tercantum dalam kitab al-Muwathta’ sejumlah 1.720 buah. Pendapat
Imam Malik ibn Anas dapat sampai kepada kita melalui dua buah kitab, yaitu al-
Muwathta dan al-Mudawanah al-kubra. Dalam kitab al-Muwathta terdapat dua aspek
yaitu hadits dan aspek fiqh.
Kedua : kitab al-mudawanah al-Kubra berisi tentang kumpulan risalah yang
memuat kurang dari 1.036 masalah dari fatwa Imam Malik yang dikumpulkan Asad
ibn al-furat al-Naisabury yang berasal dari Tunis.
Mazhab Imam Malik pada mulanya timbul dan berkembang dikota madinah,
tempat kediaman beliau, kemudian tersiar ke negeri Hijaz.
Perkembangan Mazhab Maliki sempat surut di Mesir, karena pada masa itu
berkembang pula Mazhab Syafi’i dan sebagian penduduknya telah mengikuti mazhab
Syafi’i tetapi pada zaman pemerintahan Ayyubiyah, mazhab Maliki kembali hidup.
Sebagimana di Mesir, demikian pula di Andalusia, di masa pemerintahan
Hisyam ibn Add. Rahmany, para ulama yang mendapat kedudukan tinggi menjabat
sebagai hakim Negara, adalah mereka yang mengatur mazhab Maliki, sehingga
mazhab Maliki ini bertambah subur dan berkembang pesat disana. Dengan demikian
tepatlah apa yang dikatakan Imam ibnu Hasyim, “dua aliran mazhab yang kedua-
duanya tersiar dan berkembang pada permulaannya adalah kedudukan dan kekuasaan,
yaitu: Mazhab Hanafi di Timur dan Mazhab Maliki di Andalusia.
Diantara para sahabat Imam Malik yang berjasa mengembangkan mazhabnya
antara lain: ‘Utsman ibn al-Hakam al-Juzami,Abd Rahman ibn Kahalid ibn Yazid ibn
Yahya, Abd. Rahman ibn al-Qasim, Asyab ibn Abd Aziz, Ibn al-Hakam, Haris ibn
Miskin dan orang-orang yang semasa dengan mereka.43
B. Syarat-Syarat Taubat dan Cara Bertaubat Menurut Pendapat Imam Malik
Syarat-syarat taubat maksudnya disini adalah syarat-ayarat taubat yang dapat
menggugurkan hukuman. Dalam hal ini. Imam Malik mengemukakan: Taubat itu
meliputi lahir bathin, tetapi hukum melihatnya dari segi lahirnya. Masalah bathin
hanya Allah semata yang mengetahuinya. Jika pelaku hirabah melakukan perampasan
harta atau perampokan taubat sebelum tertangkap, maka taubatnya diterima dan
segala konsekwensinya berlaku. Tetapi sebagian ulama mensyaratkan bahwa yang
bertaubat itu menyerahkan diri kepada penguasa atau pemerintah, lalu penguasa atau
pemerintah menerimanya.44
1. Hadd gugur atas dirinya.
�ر ر���%;T @ا أن� ا�12I�� %5�2I رواH!" ا +* 3�4 أن�� إ#� ا��Pی* "�
Artinya : “kecuali orang-orang yang taubat (diantara mereka) sebelum
kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasannya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-Maidah (5): 34.
�ر ر���% ;T @2�� إن� اI ب�Gن� ا@ یk� �212� وأصF H=� 1�* "�ب +* Artinya:“Maka barangsiapa bertaubat (diantara pencuri-pencuri itu)
sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya
Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Qs. Al-Maidah (5): 39.
43 Huzaimah Tahido Yango, Pengantar Perbandingan Mazhab. Logos Wacana Ilmu, 2003. 44 Said Sabiq Fiqh Sunnah 1987.9, H. 191.
Nabi Muhammad Saw bersabda:
�� e�آ1* # ذ e��Pا� *+ eK��Gا�
Artinya: “orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tak punya
dosa.
Dengan demikian, orang yang tak punya dosa tak bisa di jatuhi hadd.
2. Had tidak bisa gugur atas dirinya.
Menurut pendapat imam Malik, yang berdasarkan firman Allah berikut:
H29�� M�ةا���ا��� وا���اH29 �K�+ �15/�+ H�وا آ�3 وا
Artinya: “perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
derahlah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali. (Qs. An-Nur (24): 2.
Dan firman Allah:
�ا أیHی=Q4�� �4ر��Lرق وا���L�15وا�
Artinya : “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya. (Qs. Al-Maidah (5): 38.
Ayat diatas dapat dipahami bahwa orang yang melakukan perbuatan yang keji
atau kejahatan harus dikenakan hukuman, tetapi jika ia bertaubat dan memperbaiki
diri maka bebaskan ia dari hukuman dan Allah menerimah taubatnya, demikian
pendapat Imam Malik.45
Landasan berikutnya adalah berdasarkan firman Allah berikut ini:
��2I ب�Gن� ا@ یk� �212� وأصF H=��ر ر���% 1�* "�ب +* ;T @إن� ا
Artinya: “Maka barangsiapa bertaubat (diantara pencuri-pencuri itu)
sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya
45 Ibid. h. 195.
Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Qs. Al-Maidah (5): 39.
Ayat diatas dapat dipahami, bahwa siapa yang bertaubat setelah melakukan
kejahatan dan memperbaiki dirinya, Maka Allah menerima taubatnya. Jika Allah
sendiri telah menerima taubat hamba-hamba-Nya yang menyesal atau insyaf atas
kejahatan yang telah dilakukannya dan bebaskan dari hukumannya. Maka manusia
tidak boleh menghukumnya Allah-lah yang berhak menghukum orang-orang yang
bersalah, tetapi yang bersalah, dia pula yang berhak memberi pengampunan atas
orang yang berdosa itu.
Penjelasan diatas didukung pula oleh hadis Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh imam at-Tarmidzi dari Ibnu Umar r.a sebagi berikut:
�4ل ر��ل ا@ ص�2 ا@ I : ��2I* ا�* 1I� رض� ا@ I/�15 �4ل�� ا�=�H +� �% ی.� T� : و�%2�رواh (ان ا@ �I و39 ی!�3 "
46)ا�G�P+ى
Hadits di atas menjelaskan, bahwa Allah SWT itu sesungguhnya tetap
menerima taubat hamba-hambanya, sebelum nyawanya berada ditenggorokan.
Selanjutnya pendapat yang mengatakan haddnya tidak gugur, pendapat ini
berasal dari Imam Malik beralasan dengan firman Allah surat An-Nur berikut ini:
�15�ا���ا��� وا���اH29�� M�وا آ�3 واH29 �K�+ �15/�+ H�ة و#"P?Uآ% �?Zم ا��ن ��@ وا��/+0" %G/دی* ا@ إن آ M� ���15 رأ� و�� PI H5ا
K;� +�* ا01�+/�*Y
46 Al-Baqi 1347 H. 1 : 779).
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akherat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (QS. An-Nur (24): 2.
Ayat diatas menjelaskan bahwa perempuan dan laki-laki yang berzina, maka
hukum deralah masing-masing sebanyak seratus kali dera (pukulan)
�ا أیHیo�9 �15ء ��1 آ�O� ��L# +�* ا@ وا@ =Q4�� �4ر��Lرق وا���Lوا� %�O� ��یI
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. Al-Maidah (5): 38
Ayat ini dapat dipahami, bahwa siapa yang mencuri, baik Ia laki-laki maupun
perempuan harus dipotong tangannya.
Dalil yang mereka pergunakan untuk mengatakan, bahwa hadd tidak gugur
dengan bertaubat karena mereka beranggap bahwa sesungguhnya hadd itu kifarat,
tidak bisa gugur dengan bertaubat. Selain itu hadd merupakan ketentuan yang harus
diterima olehnya, sebagimana hadd bagi pelaku hirabah yang telah dapat dibekuk
atau ditangkap oleh pihak yang berwajib.47
Pertanyaan selanjutnya Gugurnya hadd itu karena bertaubat. Ataukah karena
taubat dan perbaikan tingkah lakunya? Terhadap hal ini ada dua pendapat, yakni :
1. Hadd gugur karena taubat (saja).
47 Said Sabiq 1987. 9, h. 196.
Karena taubat itu sendiri menggurkan had. Jadi ini disamakan dengan
taubatnya pelaku hirabah sebelum dapat dibekuk. Dan mengembalikan harta
ramapsannya kepada pihak korban.
2. Selain taubat, perbaikan tingkah lakunya juga turut menentukan apakah hadd
menjadi gugur atau tidak.
Dalam hal ini Firman Allah menyatakan:
�ر ر���%;T @2�� إن� اI ب�Gن� ا@ یk� �212� وأصF H=� 1�* "�ب +* Artinya: “Maka barangsiapa bertaubat (diantara pencuri-pencuri itu)
sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya
Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Qs. Al-Maidah (5): 39.
Sebagai logisnya pendapat ini, maka taubat dan perbaikan tingkah laku dapat
di ketahui setelah beberapa waktu kemudian.
Pendapat ini sesunggunya pendapat yang memberikan batasan waktu kepada
sesuatu yang seharusnya tidak perlu pembatasan waktu. Karena bagi pelaku hirabah
setelah bertaubat tidak mempunyai batasan untuk berbuat baik. Maksudnya tanpa
pembatasan waktu, seketika ia telah menujnjukan perilaku setelah ia mengucapkan
atau bertaubat saat itu pula ia menunjukan sikap ataupun tingkah laku yang baik.48
48 Said Sabiq, Fiqh Sunnah. Jld. 9, h. 197.
C. Dasar Pendapat Imam Malik Tentang Taubat Yang Dapat Menggugurkan
Hukuman Jarimah Hirabah.
Sebagaimana telah diketahui dari uaraian dimuka, bahwa taubat dapat
menggurkan hukuman atau sanksi jarimah hirabah (perampokan menurut pendapat
Imam Malik adalah berdasarkan fiman Allah dalam berikut ini:
�ر ر���%;T @ا أن� ا�12I�� %5�2I رواH!" ا +* 3�4 أن�� إ#� ا��Pی* "�
Artinya: “kecuali orang-orang yang taubat (diantara mereka) sebelum kamu dapat
menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasannya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-Maidah (5): 34.
Ayat diatas dapat dipahami, bahwa Allah mengampuni bagi orang-orang
yang melakukan kejahatan setelah ia bertaubat dan sebelum perkaranya di adili oleh
hakim atau sebelum tertangkap oleh penguasa. Artinya jika ia sudah tertangkap oleh
yang berwajib baru berbuat, maka hukumnya tetap harus dilaksanakan. Karena
kemungkinan besar ia berbuat disebabkan akan hukum, jika tidak tertangkap ia tidak
berbuat.49
Kemudian menurut pendapat Imam Malik, bahwa taubat dapat menggugurkan
hukuman jarimah hirabah yang menakut-nakuti dan merampas harta, yang mana
pelaku taubat sebelum perkaranya diangkat kepengadilan dan mengembalikan harta
secara utuh kepada si korban. Diterimamnya taubat sebelum ditangkap bisa
memeberikan harapan bagi pelaku untuk bertaubat dan berhenti dari melakukan
gangguan keamanan dan merusak. Hal inilah yang mebuat hukuman hudud layak
digugurkan. Tidak ada alasan untuk memberikan harapan kepada orang yang taubat
49 Said Sabiq, fiqh Sunnah 1987.jld. 9.h. 195.
setelah ditangkap karena ia sudah tidak mampu melakukan gangguan keamanan dan
merusak 50
Ayat diatas juga dapat dipahami, bahwa siapa yang melakukan kejahatan,
kemudian ia menyesal atau bertaubat dan memperbaiki kesalahan-kesalahan, maka
Allah mengampuninya. Karena Allah itu mempunyai sifat pengampun dan penyayang
terhadap hamba-hambanya.
Taubat bagi pelaku hirabah sebelum mereka ditangkap atau diadili oleh hakim
merupakan pertannda mereka mulai menyadari dan menyesali perbuatan kejahatan
yang dilakukan, mereka insyaf dan kemudian hendak memperbaiki diri atau
membersihkan diri dari dosa-dosa dan tidak akan mengulangi perbuatan-perbuatan
itu51
.
Disisi lain Imam Malik berpendapat bahwa:
Taubat itu menggurkan had yang berkenaan dengan hak Allah saja, adapun
yang berkenaan dengan hak manusia tetap dituntut.52
Demikian uraian mengenai masalah taubat bagi pelaku jarimah hirabah
menurut Imam Malik. Dari uraian tersebut diketahui bahwa taubat dapat
mengugurkan hukuman apabila ia bertaubat sebelum ditangkap dan di adili.
50 Muhammad Abdullah bin Qudamah, al-Mugniy’ ala Mukgtasa al-Kharaqiy (Penerbit al-
Manar), h. 20 51 Asna’ Matalib Syarh Raudit thalib (Penerbit al-Maymaniyyah), cet 1, Hasyiyyah Abi al-
Abbas Ahmad ar-Ramliy (Penerbit Al-Maymaniyyah), jld. IV, h. 155 52 Said Sabiq, Fiqh Sunnah. Jld. 9, h. 191
D. Pemaafan Bagi Pelaku Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana di Indonesia
1. Pengertian Garasi dan Amnesti
Grasi dan Amnesti di dalam bahasa belanda itu ditulis dengan “Gratie dan
Amnesti” yang mana artinya: grasi adalah merupakan ampunan dari hukuman yang
telah dijatuhkan dengan putusan pengadilan, yang telah diperoleh kekuatan hukum
yang tetap padanya. Dan yang berhak memberikan grasi adalah presiden. Sedangkan
amnesti adalah merupakan penghapusan hukuman pidana secara umum mengenai
perbuatan-perbuatan pidana tertentu, dengan tidak melihat apakah sudah diperiksa
dan ataupun diputus.53
Amnesti hanya dapat diberikan dengan undang-undang
ataupun atas kuasa Undang-undang oleh presiden dengan mendapat nasehat dari
Mahkamah.
Selain dari pada itu ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwasanya
grasi adalah merupkan upaya hukum yang diajukan oleh terpidana (pelaku tindak
pidana) kepada Presiden, sehingga dengannya orang itu tak harus menjalani hukuman
yang dijatuhkan oleh hakim terhadap dirinya jikalau presiden mengabulkannya.54
Dalam arti bahwa grasi adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden atas
permintaan, yang dapat berupa penghapusan hukuman ataupun berupa pengurangan
hukuman. Sedangkan amnesti adalah suatu pengampunan yang diberikan oleh
presiden terhadap terpidana atau pelaku tindak pidana tanpa harus adanya permintaan.
53 Martias Gelar Imam Radjo Mulano, Pembahasan Hukum (Penjelasan Istilah-istilah Hukum
Belanda-Indonesia) (Jakarta:Ghalia Indoneisa, 1982), Cet.Ke-1, h. 96 54 Sutachod Kertanegara SH, dan Pendapat-pendapat Para Ahli Hukum, Hukum Pidana
Kumpulan Kuliah II, Balai Lektur Mahasiswa, Tth), h. 239
Ataupun juga suatu ketentuan dimana dinyatakan bahwa kejahatan tertentu yang telah
dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang, tidak mempunyai akibat hukum bagi
orang yang tersangkut dari kejahatan.55
Atau dapat dikatakan juga bahwa amnesti
adalah wewenang Kepala Negara dengan Undang-undang atau atas kuasa undang-
undang, dan dengan diberikannya amnesti ini maka semua akibat hukum pidana
terhadap orang-orang yang telah melakukan suatu delik dihapuskan atau ditiadakan,
dan amnesti ini mempunyai akibat hukum yang lebih luas, sebab amnesti ini dapat
diberikan kepada mereka yang telah dihukum maupun kepada yang belum di
hukum.56
Dari kedua istilah diatas tersebut dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya
keduanya adalah sama, yaitu sama-sama merupakan pemberian pengampunan kepada
pelaku tindak pidana oleh kepala negara atau Presiden. Dan jika diberikan karena
permintaan. Maka disebut grasi, dan jika diberikan kepada sekelompok orang
terpidana atau kepada keseluruhan mereka dan tanpa adanya permohonan atau
permintaan, maka hal itu disebut amnesti.
Sebenarnya grasi itu disebut dengan istilah “guns betoon” yang artinya
kemurahan hati, yaitu kemurahan hati dari seorang raja terhadap orang-orang yang
melakukan pelanggaran tindak pidana dengan cara mengampuni dan memaafkan, dan
bisa disebut juga sebagai hadiah, karenanya diangap bukan suatu tindakan hukum.
Bagi orang yang mendapatkannya diberikan kebebasan, artinya ia bisa menerima atau
55
Ibid, h. 233 56 Ibid,
bahkan menolaknya karena hal tersebut bukan merupakan sebuah tindakan hukum,
melainkan hanya bersifat sebagai hadiah yang diberikan oleh kepala negara atau
penguasa terhadap orang yang dikehendakinya dengan pertimbangan-pertimbangan
tertentu yang dianggap penting. Namun seiring dengan perkembangan jaman, mak
istilah itu berubah menjadi “Daad Vanreegt” yang artinya tindakan hukum, dalam
arti, pada saat sekarang ini bahwa grasi adalah merupakan suatu tindakan hukum
yang berproses pada hukum.
Sehingga untuk pemberian grasi ini harus ada persetujuan dan ditandatangani
oleh menteri kehakiman, karena merupakan tindakan hukum, bagi siapa saja yang
mendapatkannya maka dia harus dapat menerimanya sebagai “Guns betton’
(kemurahan hati atau hadiah) maka siapun bisa untuk menolak dan tak mesti
menerimanya.57
Perbandingan antara Grasi dan Amnesti yang mengandung
penghapusan pelaksanaan tindak pidana adalah sebagai berikut.58
a. Pemberian grasi tidak meniadakan kesalahan atau sifat melawan hukum dari
tindakan yang dilakukan oleh terpidana yang karenanya cap dia sebagai
terpidana atau narapidana tetap adanya. Lain halnya dengan amnesti yang
mana ia meniadakan adanya kesalahan adan atau sifat melawan hukum dari
tindakan tertentu tersebut. Karenanya bagi mereka yang menerima amnesti
tidak ada lagi padanya cap terpidana ataupun narapidana.
57 Ibid, h.238 58 S. R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di indonesia dan penerapannya. (Jakarta: Alumni
AHEAM-PETEHEAM, 1996), Cet. Ke-4. h.44)
b. Grasi itu diberikan kepada seseorang atau terpidana dengan menyebut nama,
sedangkan amnesti diberikan kepada pelaku-pelaku tanpa menyebut nama-
nama dari suatu kejahatan tertentu yang dilakukan dalam waktu dan daerah
tertentu.
c. Pemberian grasi tidak meniadakan ketentuan pengulangan (residiv) sebagai
tindakan yang pertama, sedangkan untuk pemberian amnesti meniadakan
tindakan tersebut sebagai dasar atau alasan untuk penerapan ketentuan
resediv.
2. Dasar Alasan adanya Grasi dan Amnesti
Dalam bukunya Satochid menyatakan alasan dari pemberian grasi adalah
demi untuk memperbaiki akibat dari pelaksanaan undang-undang yang dianggap
dalam beberapa hal kurang adil, dan demi untuk kepentingan Negara dan Bangsa.59
Hal itu seiring dengan pendapat, E. Utrecht yang menjelaskan bahwasanya grasi itu
lebih bersifat suatu koreksi atas keputusan hakim, yaitu suatu koreksi yang diadakan
berdasarkan alasan-alasan yang diketahui sesudah hakim memutuskan perkara yang
bersangkutan.60
Oleh karenanya berdasarkan pada ketentuan-ketentuan ini, maka setiap
hukuman yang dijatuhkan dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, itu
masih dapat dimohonkan grasi.
59 Satochid Kartanegara SH. Cet., h.240. 60 E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hkum Pidana II, (Surabaya: Pustaka Pinta Mas, 19870,
Cet. Ke-3, h.251.
Namun E. Utrecht juga menambahkan bahwa alasan-alasan diberikannya grasi
terhadap terpidana diantaranya adalah:
a. Adanya kepentingan keluarga dari yang terhukum.
b. Yang terhukum diduga menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Yang terhukum ia pernah sangat berjasa bagi masyarakat.
d. Yang terhukum berkelakuan baik di penjara dan memperlihatkan keinsyafan
atau kesalahannya.61
Namun dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1954 disebutkan bahwa
Presiden atas kepentingan Negara, dapat memberikan amnesti adan abolisi kepada
orang-orang yang melakukan tindak pidana. Hal ini merupakan kewenangan Presiden
sebagai kepala Negara. Amnesti ini adalah suatu pengampunan dari presiden yang
dapat menghapuskan semua akibat hukum pidana bagi orang-orang yang telah
melakukan suatu tindakan pidana. Amnesti ini juga dapat diberikan kepada orang-
orang yang telah melakukan tindak pidana dengan tidak terkait oleh waktu kapan
amnesti akan diberikan. Jadi amnesti dapat diberikan sesudah maupun sebelum ada
keputusan pengadilan.62
Pada dasarnya amnesti adalah merupakan hak yang diberikan kepada presiden
untuk menghapuskan hak penuntutan dari penuntut umum yang penghentiannya serta
sekaligus penghapus hak (menyuruh) melaksanakan pidana dari penuntut umum
61 Ibid 62 Ali Yuswandi, Penuntutan, Hapusnya Kewenangan Menuntut dan Menjalankan Pidana,
(Jakarta: CV pedoman Ilmu Jaya. 1995), Cet. Ke-1, h. 113-114
terhadap pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana tertentu demi kepentingan negara.
Adapun cara pemberian amnesti itu dapat dilakukan dengan dua kemungkinan, yaitu;
a. Diberikan dengan undang-undang
b. Berdasarkan undang-undang
Upaya hukum grasi adalah sebagai salah satu upaya hukum atas putusan
hakim dalam perkara pidana. Ia mempunyai sifat berbeda (khusus) dibandingkan
upaya hukum seperti “banding” maupun “kasasi”. Karena di dalam upaya hukum
seperti banding maupun kasasi, pihak pemohon pada dasarnya tidak mengakui
dirinya bersalah dan meminta kepada pengadilan yang lebih tinggi untuk memeriksa
dan mengadili sendiri atas perkara yang dimohonkan banding atau kasasi tersebut.63
Adapun pada upaya hukum grasi ini pada dasarnya telah mengakui dirinya
bersalah dan menerima putusan hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim
kepadanya dan atas kesalahannya tersebut pemohon mengajukan permohonan ampun
kepada presiden dan meminta agar hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya dapat
dikurang bahkan dihapuskan.64
Dari uraian-uraian diatas tadi sedikitnya penulis akan memberikan catatan
terhadap perbedaan-perbedaan dan sedikit kesamaan yang ada dalam hukum (Pidana
Indonesia) dan Hukum Islam.
1. Dalam Hukum Islam grasi dan amnesti dikenal dengan istilah al-Afu
(pemaafan), yang mana pengampunan/pemaafan tersebut boleh dilakukan
63 Departemen Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia, h.90. 64 Ibid, h.91.
apabila perkara tersebut belum ditangani atau sampai kepada tangan
pengadilan atau penguasa, hal ini hanya terdapat pada jarimah hirabah,
pencurian, dan qazap. Untuk pemaafan atau pengampunan tersebut, hanyalah
dapat diberikan oleh korban pelaku tindak pidana tersebut, bukan oleh
penguasa. yang mana pemaafan tersebut adakalanya dengan diyat, peringanan
atau rekonsiliasi tanpa diyat.
2. Grasi dan amnnesti adalah merupakan Pemberian pengampunan yang dapat
mengurangi atau menghapuskan sangsi hukuman yang telah diberikan pada
pelaku tindak pidana. Begitu pula dalam hukum Islam yang dikenal dengan
istilah Al-Afu dari korban.
3. Bahwa grasi dan amnesti yang terdapat pada Hukum Pidana Indonesia adalah
mempunyai makna pengurangan, penghapusan hukuman atupun tuntutan.
Yang mana inti dari keduanya adalah sama, yaitu adanya benntuk
pengampunan atapun penghapusan.
4. Perbedaan yang paling mendasar adalah: bahwa dalam Hukum Islam
Pembagian tindak pidana sangat mempengaruhi terlaksananya sangsi
hukuman pada pelaku tindak pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Al-QUR’AN AL-KARIM.
Al-Muaatha
Al-Mudawwanah
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Di terjemahkan Oleh; Moh. Nabhan Husein. Bandung:
PT. Alma’Arif Jalan : Tamblong. No.48-50. Jilid 9-10.
Bahriesj, Husein. Kamus Hadits Sahih Bukhari Muslim. Bandung: PT. Al Huda.
Amin Suma, Muhammad. Dkk.: Pidana Islam di Indonesia. Pustaka Firdaus 2001.
Abdurrahman. Perbandingan Mazhab. Bandung: Sinar Baru, 1991.
Djazuli, H.A, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi: Kejahatan Dalam Islam),
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1997,cet. ke-2.
Undang-undang, No. 22 tahun 2002 tentang Grasi.
Abbas, Siradjudin. Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i. Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 1983.
Asqalani,al-Hafiz Ibnu Hajar .t.t. Bulugh al-Maram. Mesir: Syirkati an- Nur Aisiyah.
Al-Bukhari. Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismai’il. 1182 H. Sahih Bukhari. Mesir:
Maktabah Dar al-Kutub al-Arabiyah.
Chalil, Mounawar. Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab. Jakarta: Bulan Bintang,
1992.
Depag RI. Al-Fiqih. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Dan Pengembangan
Pendidikan Tinggi Agama,1988.
Debdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Doi, Abdurrahman. Hukum Pidana Dalam Syariat Islam. Jakarta: Andes
Utama,1992.
Ghazali, M. Bahri dan Djumadris. Perbandingan Mazhab. Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1992.
Haliman. Hukum Pidana Syari’at Islam. Jakarta: Bulan Bintang,1970.
Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtajid. Diterjemahkan Oleh Imam Ghozali Said dan A.
Zainudin. Jakarta: Pustaka Amani1995, Jilid 5.
Malik bin Anas. Al-Muwatha’. Diterjemahkan oleh Adib Bisri Musthopa. Semarang:
asy-Syifa’, 1995. Jilid 2.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir al-Maraghi. Diterjemahkan oleh Bahrun
Abubakar. Semarang: Toha Putra, 1984. Jilid 2.
Marsum. Jinayat (Hukum Pidana Islam). Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
------- Jarimah Ta’zir. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Muslim, Ibnu al-Hajjaj. t.t. Sahih Muslim. Mesir: Mustafa al-Babi Wa Auladuh
Rifa’I Moh. Et. Al. Terjemah Khulasah Kifayah al-Akhayar. Semarang: Toha
Putra,1978.
Sabig, Sayyid. 1990. Fiqih Sunnah. Diterjemahkan oleh A. Ali. Bandung: al-
Ma’arif,1990. Jilid 9 dan 10.
As-San ‘ani, Muhammad bin Isma’il. Subul as-Salam. Surabaya: al-Ikhlas,1995
Jilid 3.
Ash-Shddieqy, M. Hasbi. Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab. Jakarta: Bulan
Bintang, 1974.
-------Hukum-Hukum Fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Asy-Syarqawi, Abdurrahman. Kehidupan Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam
Mazhab. Diterjemahkan oleh Ismuha, Jakarta: Raja Garafindo Persada, 1994.
Asy-Syaukani, Muhammad Ibnu Ali. 1347 h. Nail al-Autar. Mesir: Mustafa al-Babi
al-Halabi WA Auladuh. Jus 5.
Asy-Syurbasi, Ahmad. Sejarah Dan Biografi Empat Mazhab. Diterjemahkan oleh
Sabil Huda dan A. Ahamadi. Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
Thalib, Moh. t.t. Fiqih Nabawi. Surabaya: al-Ikhlas.