makalah pkn.docx
-
Upload
ahmad-mukhroji-wiratama -
Category
Documents
-
view
41 -
download
2
Transcript of makalah pkn.docx
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangHak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era sebelum reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri. Dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk membuat makalah tentang HAM. Maka dengan ini penulis mengambil judul “Hak Asasi Manusia”.
Secara teoritis Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer), dan negara.
Berdasarkan beberapa rumusan hak asasi manusia di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa sisi pokok hakikat hak asasi manusia, yaitu :
a) HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun di warisi, HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.
b) HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal usul sosial, dan bangsa.
c) HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia?
2. Perkembangan HAM
3. Macam-Macam HAM
4. Hak Asasi Manusia Menurut Undang-Undang
5. Apa itu pelanggaran HAM?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hak Asasi Manusia
Secara harfiah hak asasi manusia (HAM) dapat dimaknakan sebagai hak-hak yang dimiliki seseorang karena keberadaannya sebagai manusia. Hak-hak ini bersumber dari pemikiran moral manusia dan diperlukan untuk menjaga harkat dan martabat suatu individu sebagai seorang manusia. Dengan kata lain, HAM secara umum dapat diartikan sebagai hak-hak yang melekat pada diri segenap manusia sehingga mereka diakui keberadaannya tanpa membedakan seks, ras, warna kulit, bahasa, agama, politik, kewarganegaraan, kekayaan, dan kelahiran.
Berikut ini Pengertian HAM dari beberapa ahli :
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya (Kaelan:
2002).
Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights,
United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah
hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup
sebagai manusia.
John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan
Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
masyarakat.
2.2 Perkembangan Pemikiran HAM
Perkembangan HAM dibagi dalam 4 generasi, yaitu :
1. Generasi pertama berpendapat bahwa pemikiran HAM hanya berpusat pada bidang
hukum dan politik. Fokus pemikiran HAM generasi pertama pada bidang hukum dan
politik disebabkan oleh dampak dan situasi perang dunia II, totaliterisme dan adanya
keinginan Negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan sesuatu tertib hukum
yang baru.
2. Generasi kedua pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak
sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jadi pemikiran HAM generasi kedua menunjukan
perluasan pengertian konsep dan cakupan hak asasi manusia. Pada masa generasi kedua,
hak yuridis kurang mendapat penekanan sehingga terjadi ketidakseimbangan dengan hak
sosial-budaya, hak ekonomi dan hak politik.
3. Generasi ketiga sebagai reaksi pemikiran HAM generasi kedua. Generasi ketiga
menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum
dalam suatu keranjang yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan. Dalam
pelaksanaannya hasil pemikiran HAM generasi ketiga juga mengalami ketidakseimbangan
dimana terjadi penekanan terhadap hak ekonomi dalam arti pembangunan ekonomi
menjadi prioritas utama, sedangkan hak lainnya terabaikan sehingga menimbulkan
banyak korban, karena banyak hak-hak rakyat lainnya yang dilanggar.
4. Generasi keempat yang mengkritik peranan negara yang sangat dominant dalam proses
pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi dan menimbulkan dampak
negative seperti diabaikannya aspek kesejahteraan rakyat. Selain itu program
pembangunan yang dijalankan tidak berdasarkan kebutuhan rakyat secara keseluruhan
melainkan memenuhi kebutuhan sekelompok elit. Pemikiran HAM generasi keempat
dipelopori oleh Negara-negara di kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan
deklarasi hak asasi manusia yang disebut Declaration of the basic Duties of Asia People
and Government
Konsep Dasar dan Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia
(1) Konsep Dasar Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia
manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya
oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata
berdasarkan martabatnya sebagai manusia.10 Dalam arti ini, maka meskipun setiap
orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan
kewarganegaraan yang berbeda- beda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah
sifat universal dari hak-hak tersebut.
Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable).
Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun
bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan
karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat
pada dirinya sebagai makhluk insani.
Asal-usul gagasan mengenai hak asasi manusia seperti dipaparkan di atas
bersumber dari teori hak kodrati (natural rights theory). Teori kodrati mengenai hak itu
bermula dari teori hukum kodrati (natural law theory), yang terakhir ini dapat dirunut
kembali sampai jauh ke belakang hingga ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga
ke zaman modern melalui tulisan-tulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas.11 Hugo
de Groot --seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai “bapak hukum
internasional”, atau yang lebih dikenal dengan nama Latinnya, Grotius,
mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan memutus asal-
usulnya yang teistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional.
Dengan landasan inilah kemudian, pada perkembangan selanjutnya, salah seorang kaum
terpelajar pasca-Renaisans, John Locke, mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak
kodrati. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya
revolusi hak dalam revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada
abad ke-17 dan ke-18.
Dalam bukunya yang telah menjadi klasik, “The Second Treatise of Civil
Government and a Letter Concerning Toleration” Locke mengajukan sebuah postulasi
pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup,
kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat
dicabut atau dipreteli oleh negara.12 Melalui suatu ‘kontrak sosial’ (social contract),
perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada negara. Tetapi,
menurut Locke, apabila penguasa negara mengabaikan kontrak sosial itu dengan
melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di negara itu bebas menurunkan sang
penguasa dan menggantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati
hak-hak tersebut. Melalui teori hak-hak kodrati ini, maka eksistensi hak-hak individu
yang pra-positif mendapat pengakuan kuat.
Gagasan hak asasi manusia yang berbasis pada pandangan hukum kodrati itu
mendapat tantangan serius pada abad 19. Edmund Burke, orang Irlandia yang resah
dengan Revolusi Perancis, adalah salah satu di antara penentang teori hak-hak kodrati.
Burke menuduh para penyusun “Declaration of the Rights of Man and of the Citizen”
mempropagandakan “rekaan yang menakutkan mengenai persamaan manusia”.
Deklarasi yang dihasilkan dari Revolusi Perancis itu baginya merupakan “ide-ide yang
tidak benar dan harapan-harapan yang sia-sia pada manusia yang sudah ditakdirkan
menjalani hidup yang tidak jelas dengan susah payah.”13 Tetapi penentang teori hak
kodrati yang paling terkenal adalah Jeremy Bentham, seorang filsuf utilitarian dari
Inggris. Kritik Bentham yang mendasar terhadap teori tersebut adalah bahwa teori hak-
hak kodrati itu tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya. Bagaimana
mungkin mengetahui dari mana asal hak-hak kodrati itu, apa sajakah hak itu dan apa
isinya?
Bentham dengan sinis menertawakan teori hak-hak kodrati itu dengan
mengatakan: “Bagi saya, hak sebagai kata benda (berlawanan dengan kata sifat), adalah
anak kandung hukum: dari hukum riil lahir pula hak-hak riil; namun dari hukum
imajiner; hukum kodrati --yang dikhayal dan direka para penyair, ahli-ahli pidato dan
saudagar dalam rupa racun moral dan intelektual-- lahirlah hak-hak rekaan ... Hak-hak
kodrati adalah omong kosong yang dungu: hak yang kodrati dan tidak bisa dicabut
adalah omong kosong yang retorik, atau puncak dari omong kosong yang berbahaya!”.14
Lebih lanjut, dalam sebuah risalahnya yang lain, Bentham mengulang kembali cercaan
sinisnya pada teori hak-hak kodrati. Ia menulis, “Bagi saya hak dan hukum merupakan
hal yang sama, karena saya tidak mengenal hak yang lain. Hak bagi saya adalah anak
kandung hukum: dari berbagai fungsi hukum lahirlah beragam jenis hak. Hak kodrati
adalah seorang anak yang tidak pernah punya seorang ayah”.15 Serangan dan penolakan
kalangan utilitarian itu kemudian diperkuat oleh mazhab positivisme,16 yang
dikembangkan belakangan dengan lebih sistematis oleh John Austin. Kaum positivis
berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara.
Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat.17 Ia tidak datang
dari “alam” atau “moral”.
Namun demikian, kecaman dan penolakan dari kalangan utilitarian dan positivis
tersebut tidak membuat teori hak-hak kodrati dilupakan orang. Jauh dari anggapan
Bentham, hak-hak kodrati tidak kehilangan pamornya, ia malah tampil kembali pada
masa akhir Perang Dunia II. Gerakan untuk menghidupkan kembali teori hak kodrati
inilah yang mengilhami kemunculan gagasan hak asasi manusia di panggung
internasional.18 Pengalaman buruk dunia internasional dengan peristiwa Holocaust Nazi,
membuat dunia berpaling kembali kepada gagasan John Locke tentang hak-hak kodrati.
“Setelah kebiadaban luar biasa terjadi menjelang maupun selama Perang Dunia II,
gerakan untuk menghidupkan kembali hak kodrati menghasilkan dirancangnya
instrumen internasional yang utama mengenai hak asasi manusia,” tulis Davidson.19 Hal
ini dimungkinkan dengan terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1945,
segera setelah berakhirnya perang yang mengorbankan banyak jiwa umat manusia itu.
Dengan mendirikan PBB, masyarakat internasional tidak ingin mengulang terjadinya
kembali Holocaust di masa depan, dan karena itu “menegaskan kembali kepercayaan
terhadap hak asasi manusia, terhadap martabat dan kemuliaan manusia, terhadap
kesetaraan hak-hak laki-laki dan perempuan, dan kesetaraan negara besar dan kecil”.20
Dari sinilah dimulai internasionalisasi gagasan hak asasi manusia. Sejak saat
itulah masyarakat internasional bersepakat menjadikan hak asasi manusia sebagai
“suatu tolok ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa” (“a
commond standard of achievement for all peoples and all nations”). Hal ini ditandai
dengan diterimanya oleh masyarakat internasional suatu rezim hukum hak asasi
manusia internasional yang disiapkan oleh PBB atau apa yang kemudian lebih dikenal
dengan “International Bill of Human Rights”.
Dari paparan di atas cukup jelas bahwa teori hak-hak kodrati telah berjasa dalam
menyiapkan landasan bagi suatu sistem hukum yang dianggap superior ketimbang
hukum nasional suatu negara, yaitu norma hak asasi manusia internasional. Namun
demikian, kemunculannya sebagai norma internasional yang berlaku di setiap negara
membuatnya tidak sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai hak-hak
kodrati. Substansi hak-hak yang terkandung di dalamnya juga telah jauh melampaui
substansi hak-hak yang terkandung dalam hak kodrati (sebagaimana yang diajukan John
Locke). Kandungan hak dalam gagasan hak asasi manusia sekarang bukan hanya
terbatas pada hak-hak sipil dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya. Bahkan belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak-hak
“baru”, yang disebut “hak-hak solidaritas”. Dalam konteks keseluruhan inilah
seharusnya makna hak asasi manusia dipahami dewasa ini.
(2) Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia
Karel Vasak, seorang ahli hukum dari Perancis, membantu kita untuk memahami
dengan lebih baik perkembangan substansi hak-hak yang terkandung dalam konsep hak
asasi manusia. Vasak menggunakan istilah “generasi” untuk menunjuk pada substansi
dan ruang lingkup hak-hak yang diprioritaskan pada satu kurun waktu tertentu. Ahli
hukum dari Perancis itu membuat kategori generasi berdasarkan slogan Revolusi
Perancis yang terkenal itu, yaitu: “kebebasan, persamaan, dan persaudaraan”.21 Menurut
Vasak, masing-masing kata dari slogan itu, sedikit banyak mencerminkan
perkembangan dari kategori-kategori atau generasi-generasi hak yang berbeda.
Penggunaan istilah “generasi” dalam melihat perkembangan hak asasi manusia memang
bisa menyesatkan. Tetapi model Vasak tentu saja tidak dimaksudkan sebagai
representasi dari kehidupan yang riil, model ini tak lebih dari sekedar suatu ekspresi dari
suatu perkembangan yang sangat rumit. Bagaimana persisnya generasi-generasi hak
yang dimaksud oleh Vasak? Di bawah ini garis-garis besarnya dielaborasi lebih lanjut. (a)
Generasi Pertama Hak Asasi Manusia
“Kebebasan” atau “hak-hak generasi pertama” sering dirujuk untuk mewakili hak-
hak sipil dan politik, yakni hak-hak asasi manusia yang “klasik”. Hak-hak ini muncul
dari tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan absolutisme negara dan
kekuatan-kekuatan sosial lainnya --sebagaimana yang muncul dalam revolusi hak yang
bergelora di Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18. Karena itulah
hak-hak generasi pertama itu dikatakan sebagai hak-hak klasik. Hak-hak tersebut pada
hakikatnya hendak melindungi kehidupan pribadi manusia atau menghormati otonomi
setiap orang atas dirinya sendiri (kedaulatan individu). Termasuk dalam generasi
pertama ini adalah hak hidup, keutuhan jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka
dari penindasan, perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan
berkeyakinan, kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari
penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas
dari hukum yang berlaku surut, dan hak mendapatkan proses peradilan yang adil.
Hak-hak generasi pertama itu sering pula disebut sebagai “hak-hak negatif”.
Artinya tidak terkait dengan nilai-nilai buruk, melainkan merujuk pada tiadanya campur
tangan terhadap hak-hak dan kebebasan individual. Hak-hak ini menjamin suatu ruang
kebebasan di mana individu sendirilah yang berhak menentukan dirinya sendiri. Hak-
hak generasi pertama ini dengan demikian menuntut ketiadaan intervensi oleh pihak-
pihak luar (baik negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya) terhadap kedaulatan
individu. Dengan kata lain, pemenuhan hak-hak yang dikelompokkan dalam generasi
pertama ini sangat tergantung pada absen atau minusnya tindakan negara terhadap hak-
hak tersebut. Jadi negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya, karena akan
mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut. Inilah yang
membedakannya dengan hak-hak generasi kedua, yang sebaliknya justru menuntut
peran aktif negara. Hampir semua negara telah memasukkan hak-hak ini ke dalam
konstitusi mereka.
(b) Generasi Kedua Hak Asasi Manusia
“Persamaan” atau “hak-hak generasi kedua” diwakili oleh perlindungan bagi hak-
hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara
menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan
sampai pada kesehatan. Negara dengan demikian dituntut bertindak lebih aktif, agar
hak-hak tersebut dapat terpenuhi atau tersedia.22 Karena itu hak-hak generasi
kedua ini dirumuskan dalam bahasa yang positif: “hak atas” (“right to”), bukan dalam
bahasa negatif: “bebas dari” (“freedom from”). Inilah yang membedakannya dengan
hak-hak generasi pertama. Termasuk dalam generasi kedua ini adalah hak atas
pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas
kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan
yang sehat, dan hak atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesusasteraan, dan kesenian.
Hak-hak generasi kedua pada dasarnya adalah tuntutan akan persamaan sosial.
Hak-hak ini sering pula dikatakan sebagai “hak-hak positif”. Yang dimaksud dengan
positif di sini adalah bahwa pemenuhan hak-hak tersebut sangat membutuhkan peran
aktif negara. Keterlibatan negara di sini harus menunjukkan tanda plus (positif), tidak
boleh menunjukkan tanda minus (negatif). Jadi untuk memenuhi hak-hak yang
dikelompokkan ke dalam generasi kedua ini, negara diwajibkan untuk menyusun dan
menjalankan program-program bagi pemenuhan hak-hak tersebut. Contohnya, untuk
memenuhi hak atas pekerjaan bagi setiap orang, negara harus membuat kebijakan
ekonomi yang dapat membuka lapangan kerja. Sering pula hak-hak generasi kedua ini
diasosiasikan dengan paham sosialis, atau sering pula dianggap sebagai “hak derivatif” -
-yang karena itu dianggap bukan hak yang “riil”.23 Namun demikian, sejumlah negara
(seperti Jerman dan Meksiko) telah memasukkan hak-hak ini dalam konstitusi mereka.
(c) Generasi Ketiga Hak Asasi Manusia
“Persaudaraan” atau “hak-hak generasi ketiga” diwakili oleh tuntutan atas “hak
solidaritas” atau “hak bersama”.24 Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara
berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil. Melalui tuntutan
atas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan terciptanya suatu
tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya hak-hak
berikut: (i) hak atas pembangunan; (ii) hak atas perdamaian; (iii) hak atas sumber daya
alam sendiri; (iv) hak atas lingkungan hidup yang baik; dan (v) hak atas warisan
budaya sendiri. Inilah isi generasi ketiga hak asasi manusia itu.25 Hak-hak generasi
ketiga ini sebetulnya hanya mengkonseptualisasi kembali tuntutan-tuntutan nilai
berkaitan dengan kedua generasi hak asasi manusia terdahulu.
Di antara hak-hak generasi ketiga yang sangat diperjuangkan oleh negara-negara
berkembang itu, terdapat beberapa hak yang di mata negara-negara Barat agak
kontroversial.26 Hak-hak itu dianggap kurang pas dirumuskan sebagai “hak asasi”.
Klaim atas hak-hak tersebut sebagai “hak” baru dianggap sahih apabila terjawab dengan
memuaskan pertanyaan-pertanyaan berikut: siapa pemegang hak tersebut, individu atau
negara?; siapa yang bertanggungjawab melaksanakannya, individu, kelompok atau
negara? Bagaimana mekanisme pelaksanaannya? Pembahasan terhadap pertanyaan-
pertanyaan mendasar ini telah melahirkan keraguan dan optimisme di kalangan para ahli
dalam menyambut hak-hak generasi ketika itu.27 Tetapi dari tuntutannya jelas bahwa
pelaksanaan hak-hak semacam itu --jika memang bisa disebut sebagai “hak”-- akan
bergantung pada kerjasama internasional, dan bukan sekedar tanggungjawab suatu
negara.
(d) Keberkaitan (Indivisibility) dan Kesalingtergantungan (Interdependence)
Antonio Cassese pernah mengatakan bahwa Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia merupakan buah dari beberapa ideologi, suatu titik temu antara berbagaikonsep mengenai manusia dan lingkungannya. Dengan demikian, apa yang ada dalam
Deklarasi tersebut tidak lain adalah kompromi.
Negara Barat mungkin memang telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi
pendekatan internasional terhadap hak asasi manusia. Kontribusi-kontribusi tersebut
tidak diragukan lagi telah membantu pengembangan teori modern hak asasi manusia.
Menurut catatan sejarah, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia merupakan produk
suatu era yang didominasi oleh “Negara Barat”, dan sedikitnya merefleksikan suatu
konsep barat tentang hak asasi manusia. Terdapat pengaruh faham liberal-Barat dalam
draft pertama Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang dianggap sebagai “suatu
standar bersama yang merupakan sebuah pencapaian bagi seluruh umat manusia dan
seluruh bangsa.”28 Tetapi juga dapat dilihat di dalamnya kontribusi kaum Sosialis,
terutama mengenai apa yang kemudian disebut Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Adalah Karl Marx, yang melalui kritiknya atas konsep “kebebasan”,29 yang
memberi kontribusi sangat penting bagi pandangan universal terhadap hak asasi
manusia. Pemikirannya kemudian berkembang ke suatu ide untuk saling
menyeimbangkan antara konsep liberal kebebasan individu dan konsep hak warga
negara. Di kemudian hari, negara-negara dunia ketiga juga memberikan kontribusi
penting dalam menegaskan eksistensi hak asasi manusia. Dekolonisasi dan munculnya
sejumlah negara-negara merdeka baru sedikit banyak merefleksikan kemenangan hak
asasi manusia, terutama hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dalam
forum internasional. Kondisi inilah yang di kemudian hari berujung pada pengakuan
terhadap hak kolektif atau hak kelompok.
Dengan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa semua pihak yang berperan dalam
apa yang kita kenal sekarang sebagai dunia modern telah turut memberi kontribusi
penting dalam konteks pengakuan universal terhadap hak asasi manusia. Ini berarti
bahwa dalam konteks historis, konsep hak asasi manusia telah diakui secara universal.
Terlepas dari inkosistensi dan multi-interpretasi prinsip-prinsip hak asasi manusia,
terutama dalam hal intervensi kemanusiaan atau prinsip non-intervensi, negara-negara
anggota PBB tetap mencapai kemajuan dalam menegakkan hak asasi manusia.
Perbedaan pandangan antara negara-negara maju/Barat, yang lebih menekankan
pentingnya hak-hak individu, sipil dan politik, dengan negara-negara
berkembang/Timur, yang lebih menekankan pentingnya hak-hak kelompok, ekonomi
dan sosial, berujung pada penciptaan suatu kesepakatan bahwa hak asasi manusia harus
diperhitungkan sebagai satu kesatuan yang menyeluruh.30 Artinya, hak-hak sipil, politik,
ekonomi, sosial dan budaya saling berkaitan (indivisible) dan saling membutuhkan
(interdependence), dan harus diterapkan secara adil baik terhadap individu maupun
kelompok. Hubungan antara berbagai hak yang berbeda sangatlah kompleks dan dalam
prakteknya tidak selalu saling menguatkan atau saling mendukung. Sebagai contoh, hak
politik, seperti hak untuk menjadi pejabat publik, tidak dapat dicapai tanpa terlebih
dahulu terpenuhinya kepentingan sosial dan budaya, seperti tersedianya sarana
pendidikan yang layak.
(3) Universalisme dan Relativisme Budaya
Sejauh ini pembahasan telah menguraikan asal-usul munculnya hak asasi manusia
sebagai norma internasional yang berciri universal serta perkembangannya dalam
ilustrasi generasi-generasi hak.
Salah satu wacana yang paling hangat dalam masa dua dekade terakhir adalah
konflik antara dua “ideologi” yang berbeda dalam penerapan hak asasi manusia dalam
skala nasional, yaitu universalisme (universalism) dan relativisme budaya (cultural
relativism). Di satu sisi, universalisme menyatakan bahwa akan semakin banyak budaya
“primitif” yang pada akhirnya berkembang untuk kemudian memiliki sistem hukum dan
hak yang sama dengan budaya Barat. Relativisme budaya, di sisi lain, menyatakan
sebaliknya, yaitu bahwa suatu budaya tradisional tidak dapat diubah. Berikut ini adalah
pembahasan lebih lanjut tentang dua ‘ideologi’ tersebut.
(a) Teori Universalis (Universalist theory) Hak Asasi Manusia
Doktrin kontemporer hak asasi manusia merupakan salah satu dari sejumlah
perspektif moral universalis. Asal muasal dan perkembangan hak asasi manusia tidak
dapat terpisahkan dari perkembangan universalisme nilai moral. Sejarah perkembangan
filosofis hak asasi manusia dapat dijelaskan dalam sejumlah doktrim moral khusus
yang, meskipun tidak mengekspresikan hak asasi manusia secara menyeluruh, tetap
menjadi prasyarat filosofis bagi doktrin kontemporer. Hal tersebut mencakup suatu
pandangan moral dan keadilan yang berasal dari sejumlah domain pra-sosial, yang
menyajikan dasar untuk membedakan antara prinsip dan kepercayaan yang “benar” dan
yang “konvensional”. Prasyarat yang penting bagi pembelaan hak asasi manusia di
antaranya adalah konsep individu sebagai pemikul hak “alamiah” tertentu dan beberapa
pandangan umum mengenai nilai moral yang melekat dan adil bagi setiap individu
secara rasional.
Hak asasi manusia berangkat dari konsep universalisme moral dan kepercayaan
akan keberadaan kode-kode moral universal yang melekat pada seluruh umat manusia.
Universalisme moral meletakkan keberadaan kebenaran moral yang bersifat lintas
budaya dan lintas sejarah yang dapat diidentifikasi secara rasional. Asal muasal
universalisme moral di Eropa terkait dengan tulisan-tulisan Aristotle. Dalam karyanya
Nicomachean Ethics, Aristotle secara detail menguraikan suatu argumentasi yang
mendukung keberadaan ketertiban moral yang bersifat alamiah. Ketertiban alam ini
harus menjadi dasar bagi seluruh sistem keadilan rasional. Kebutuhan atas suatu
ketertiban alam kemudian diturunkan dalam serangkaian kriteria universal yang
komprehensif untuk menguji legitimasi dari sistem hukum yang sebenarnya “buatan
manusia”. Oleh karenanya, kriteria untuk menentukan suatu sistem keadilan yang benar-
benar rasional harus menjadi dasar dari segala konvensi-konvensi sosial dalam sejarah
manusia. “Hukum alam” ini sudah ada sejak sebelum menusia mengenal konfigurasi
sosial dan politik. Sarana untuk menentukan bentuk dan isi dari keadilan yang alamiah
ada pada “reason”, yang terbebas dari pertimbangan dampak dan praduga.
Dasar dari doktrin hukum alam adalah kepercayaan akan eksistensi suatu kode
moral alami yang didasarkan pada identifikasi terhadap kepentingan kemanusiaan
tertentu yang bersifat fundamental. Penikmatan kita atas kepentingan mendasar tersebut
dijamin oleh hak-hak alamiah yang kita miliki. Hukum alam ini seharusnya menjadi
dasar dari sistem sosial dan politik yang dibentuk kemudian. Oleh sebab itu hak alamiah
diperlakukan sebagai sesuatu yang serupa dengan hak yang dimiliki individu terlepas
dari nilai-nilai masyarakat maupun negara. Dengan demikian hak alamiah adalah valid
tanpa perlu pengakuan dari pejabat politis atau dewan manapun. Pendukung pendapat
ini adalah filsuf abad ke 17, John Locke, yang menyampaikan argumennya dalam
karyanya, Two Treaties of Government (1688). Intisari pandangan Locke adalah
pengakuan bahwa seorang individu memiliki hak-hak alamiah yang terpisah dari
pengakuan politis yang diberikan negara pada mereka. Hak-hak alamiah ini dimiliki
secara terpisah dan dimiliki lebih dahulu dari pembentukan komunitas politik manapun.
Locke melanjutkan argumentasinya dengan menyatakan bahwa tujuan utama pelantikan
pejabat politis di suatu negara berdaulat seharusnya adalah untuk melindungi hak-hak
alamiah mendasar individu. Bagi Locke, perlindungan dan dukungan bagi hak alamiah
individu merupakan justifikasi tunggal dalam pembentukan pemerintahan. Hak alamiah
untuk hidup, kebebasan dan hak milik menegaskan batasan bagi kewenangan dan
jurisdiksi negara. Negara hadir untuk melayani kepentingan dan hak-hak alamiah
masyarakatnya, bukan untuk melayani monarki atau sistem.
Dalam universalisme, individu adalah sebuah unit sosial yang memiliki hak-hak
yang tidak dapat dipungkiri, dan diarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi.
Dalam model relativisme budaya, suatu komunitas adalah sebuah unit sosial. Dalam hal
ini tidak dikenal konsep seperti individualisme, kebebasan memilih dan persamaan.
Yang diakui adalah bahwa kepentingan komunitas menjadi prioritas utama. Doktrin ini
telah diterapkan di berbagai negara yang menentang setiap penerapan konsep hak dari
Barat dan menganggapnya sebagai imperialisme budaya. Namun demikian, negara-
negara tersebut mengacuhkan fakta bahwa mereka telah mengadopsi konsep nation-
state dari Barat dan tujuan modernisasi sebenarnya juga mencakup kemakmuran secara
ekonomi.
(b) Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativism Theory)
Isu relativisme budaya (cultural relativism) baru muncul menjelang berakhirnya Perang
Dingin sebagai respon terhadap klaim universal dari gagasan hak asasi manusia
internasional. Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan
merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral.31 Karena itu hak
asasi manusia dianggap perlu dipahami dari konteks kebudayaan masing-masing negara.
Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang sama yang harus
dihormati. Berdasarkan dalil ini, para pembela gagasan relativisme budaya menolak
universalisasi hak asasi manusia, apalagi bila ia didominasi oleh satu budaya tertentu.
Gagasan bahwa hak asasi manusia terikat dengan konteks budaya umumnya
diusung oleh negara-negara berkembang dan negara-negara Islam. Gagasan ini begitu
mengemuka pada dasawarsa 1990-an --terutama menjelang Konferensi Dunia Hak
Asasi Manusia di Wina--, disuarakan dengan lantang oleh para pemimpin dan
cendikiawan (yang biasanya merepresentasikan kepentingan status quo) di negara-
negara tersebut. Para pemimpin negara-negara di kawasan Lembah Pasifik Barat,
misalnya, mengajukan klaim bahwa apa yang mereka sebut sebagai “nilai-nilai Asia”
(Asian Values) lebih relevan untuk kemajuan di kawasan ini, ketimbang “nilai-nilai
Barat” (seperti hak asasi manusia dan demokrasi) yang dinilai tidak begitu urgen bagi
bangsa-bangsa Asia. Yang paling terkenal dalam mengadvokasi “nilai-nilai Asia” itu
adalah Lee Kwan Yew, Menteri Senior Singapura, dan Mahathir Mohammad, mantan
Perdana Menteri Malaysia.
“Di Asia Tenggara yang dicari itu tidak begitu berkaitan dengan demokrasi,
melainkan dengan pemerintahan yang bertanggungjawab, yakni suatu kepemimpinan
yang transparan dan tidak korup”,32 ujar Lee Kwan Yew dalam sebuah ceramahnya di
Jepang. Menurut Lee, yang terlebih dahulu dicari oleh bangsa-bangsa di Asia adalah
pembangunan ekonomi yang ditopang dengan kepemimpinan yang kuat, bukan
memberikan kebebasan dan hak asasi manusia. Yang terakhir itu akan diberikan apabila
negara-negara di kawasan ini mampu menstabilkan pertumbuhan ekonomi dan memberi
kesejahteraan kepada rakyat mereka. Dalam nada yang hampir sama Mahathir
Mohammad berpendapat, “saat kemiskinan dan tidak tersedianya pangan yang memadai
masih merajalela, dan kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat tidak terjamin, maka prioritas
mesti diberikan kepada pembangunan ekonomi”.33 Atas dasar ini Mahathir menolak
pemaksaan standar-standar hak asasi manusia dari satu negara ke negara lain. “Asia
tampaknya tidak memiliki hak apapun untuk menetapkan nilai-nilainya sendiri tentang
hak asasi manusia,”34 kecam Mahathir terhadap upaya-upaya internasionalisasi hak
asasi manusia. Singkatnya, baik bagi Lee maupun Mahathir, ide hak asasi manusia tidak
urgen bagi bangsa-bangsa Asia.
Apa sebetulnya yang ingin dikemukakan oleh elit yang memerintah di Asia
dengan bertameng di balik “nilai-nilai Asia” itu? Apakah memang untuk tujuan
memajukan hak asasi manusia?, atau ada kepentingan lain di luar hak asasi manusia
yang diinginkan oleh mereka?
Perdebatan mengenai isu ini dengan gamblang menunjukkan pada kita
bahwa di balik gagasan “nilai-nilai Asia” para pemimpin di kawasan ini ingin
mengemukakan pembenaran bagi penyimpangan-penyimpangan substansial dari
tafsiran internasional yang baku tentang kaidah-kaidah hak asasi
manusia.35 Dengan mengajukan “nilai-nilai Asia” mereka menolak dijadikannya hak
asasi manusia sebagai parameter dalam kerja sama pembangunan internasional. Lebih
jauh sebetulnya di balik gagasan “nilai-nilai Asia” para pemimpin di kawasan itu
gamang dengan diterapkannya “conditionality” dalam kerja sama pembangunan.
“Conditionality” yang dimaksud adalah menjadikan catatan hak asasi manusia sebagai
persyaratan dapat-tidaknya kerja sama pembangunan dilakukan. Singkatnya, ada
kepentingan tersembunyi (vested interest) para penguasa di kawasan itu dalam upaya
advokasi “nilai-nilai Asia” sehebat-hebatnya.
Relativisme budaya (cultural relativism), dengan demikian, merupakan suatu ide
yang sedikit banyak dipaksakan, karena ragam budaya yang ada menyebabkan jarang
sekali adanya kesatuan dalam sudut pandang mereka dalam berbagai hal, selalu ada
kondisi di mana “mereka yang memegang kekuasaan yang tidak setuju”.36 Ketika suatu
kelompok menolak hak kelompok lain, seringkali itu terjadi demi kepentingan
kelompok itu sendiri. Oleh karena itu hak asasi manusia tidak dapat secara utuh bersifat
universal kecuali apabila hak asasi manusia tidak tunduk pada ketetapan budaya
yang seringkali dibuat tidak dengan suara bulat, dan dengan demikian tidak dapat
mewakili setiap individu. Sebagai contoh, dalam pandangan liberal Barat, setiap sistem
selain sistem liberal dominan tidak akan kondusif untuk menegakkan hak asasi
manusia. Penganut faham liberal berpendapat bahwa setiap sistem politik selain liberal
tidak dapat melindungi dan memajukan hak asasi manusia. Oleh karenanya, menurut
mereka, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia hanya dapat dicapai dengan
mengubah sistem politik itu sendiri. Di sisi lain, mereka mengatakan bahwa hanya
sistem liberal yang dapat menjamin pencapaian hak asasi manusia. Jika pendapat ini
dianggap absolut, maka hak asasi manusia hanya akan menjadi ajang pertempuran
ideologi dengan satu tujuan, yaitu untuk menegakkan rezim liberal di seluruh dunia.
Ini hanya akan menciptakan suatu lingkaran perdebatan dan konfrontasi mengenai
interpretasi dan implementasi hak asasi manusia.
Terdapat perbedaan dalam konsep filosofis hak asasi manusia. Negara-negara
Barat selalu membela prioritas mereka mengenai hak asasi manusia. Bagi mereka, hak
asasi manusia telah secara alamiah dimiliki oleh seorang individu dan harus diakui
secara penuh dan dihormati oleh pemerintah. Bagi negara-negara Timur dan non-liberal,
hak asasi manusia dianggap ada hanya dalam suatu masyarakat dan dalam suatu negara.
Hak asasi manusia tidak ada sebelum adanya negara, melainkan diberikan oleh negara.
Dengan demikian, negara dapat membatasi hak asasi manusia jika diperlukan.
Perbedaan lain muncul pada tingkat implementasi dalam memajukan dan
menegakkan hak asasi manusia. Bagi negara-negara Barat, konsep “keseimbangan”
antara kepentingan untuk menghormati urusan dalam negeri negara asing dan keperluan
untuk melakukan apapun yang mungkin bagi penghormatan terhadap hak asasi manusia
seorang individu adalah sebagai berikut: dalam kasus di mana pelanggaran yang
dilakukan di negara lain telah menjadi semakin serius, sistematis dan skalanya meluas,
negara lain atau organisasi internasional diperbolehkan untuk campur tangan, bahkan
apabila hal tersebut berpotensi menimbulkan perdebatan, ketegangan dan konflik.
Sementara dalam pandangan negara-negara Timur, intervensi terhadap pelanggaran
yang terjadi di negara lain dan kemudian menuduh pemerintah negara tersebut telah
gagal menegakkan hak asasi manusia adalah suatu tindakan yang tidak logis dan tidak
layak.37 Contoh lebih jauh adalah anggapan adanya “dominasi kultural” yang
dilakukan oleh Barat terhadap perspektif Timur. Dominasi kultural berarti bahwa
mereka yang berasal dari kelompok dominan berpendapat bahwa apa yang baik bagi
mereka juga pasti baik bagi seluruh isi planet.38 Sebagai analogi, sistem nasional atau
regional yang dominan memiliki kecenderungan untuk menganggap dirinya sebagai
universal bagi yang lainnya. Dalam hal hak asasi manusia, kecenderungan tersebut
sampai pada titik di
mana ada tekanan politik untuk mengakui satu generasi atas generasi lainnya. Hasilnya
adalah suatu faham hak asasi manusia yang ideologis dan interpretasi yang bersifat
politis terhadap hak-hak tersebut.
Harus diingat bahwa gagasan tentang “dominasi kultural” Barat merupakan salah
satu kritik terkuat dari negara-negara Timur, terutama negara-negara Asia Timur dan
Asia Tenggara. Mereka menyatakan bahwa konsep hak di Barat yang bersifat destruktif
dan sangat individualis tidak sesuai dengan nilai-nilai dan budaya Asia, di mana
komunitas harus diutamakan atas individu.39 Para pemimpin Asia menentang apa yang
mereka sebut sebagai “imperialisme budaya” nilai-nilai barat, dan menuduh Barat telah
mencoba untuk memelihara budaya kolonial dengan memaksakan suatu konsep hak
yang tidak mencerminkan budaya Asia.
(c) Memadukan Universalisme dengan Pluralisme
Telah diakui secara umum bahwa dalam prakteknya hak asasi manusia
dikondisikan oleh konteks sejarah, tradisi, budaya, agama, dan politik-ekonomi yang
sangat beragam. Tetapi dengan segala keberagaman tersebut, tetap terdapat nilai-nilai
universal yang berpengaruh. Martabat manusia, kebebasan, persamaan dan keadilan
merupakan sebagian nilai yang mengesampingkan perbedaan dan merupakan milik
kemanusiaan secara utuh. Lepas dari adanya berbagai perdebatan, universalitas dan
keterkaitan (indivisibility) hak asasi manusia merupakan bagian dari warisan
kemanusiaan yang dinikmati umat manusia di masa sekarang. Tidaklah mudah untuk
memaksakan konsep universalitas hak asasi manusia kepada beragam tradisi,
budaya dan agama. Oleh karena itu penting untuk menggali kesamaan konsep yang
prinsipil, yaitu martabat umat manusia. Seluruh agama, sistem moral dan filosofi telah
mengakui martabat manusia sebagai individu dengan berbagai ragam cara dan
sistem. Tidak dapat disangkal bahwa hak untuk mendapatkan kehidupan,
misalnya, mendapatkan pengakuan universal sebagai suatu “hak”. Di sisi lain
perbudakan atau ketiadaan kebebasan, misalnya, sangat bertentangan secara
alamiah dengan martabat manusia.
Bertrand Ramcharan, seorang profesor hukum di Universitas Columbia,
mendefinisikan konsep universalitas hak asasi manusia melalui pertanyaan-pertanyaan
sederhana.40 Apakah manusia ingin hidup atau mati? Apakah manusia mau disiksa atau
diperbudak? Apakah manusia mau hidup bebas atau hidup dalam penjara? Apakah
manusia mau diperbudak? Apakah manusia mau menyatakan pendapat khususnya
mengenai bagaimana warga negara diatur dalam suatu pemerintahan? Tidak dibutuhkan
suatu proses pemikiran yang rumit bagi seorang individu untuk menentukan pilihan
untuk hidup atau mati, bebas atau terpenjara. “Ujian demokratis” universalitas ini
merupakan dasar bagi afirmasi mengenai apa yang dianggap sebagai hak asasi manusia
universal.
Berangkat dari hal tersebut, dapat ditarik nilai dan kriteria yang diterima secara
universal oleh seluruh negara. Secara praktis seluruh negara di dunia sependapat bahwa
apa yang mereka akui sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia adalah:
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Ini berarti bahwa
seluruh negara setuju mengenai setidaknya beberapa nilai yang mendasar. Secara
prinsipil perjanjian ini kemudian berkembang menjadi setidaknya suatu inti penting dari
hak asasi manusia di seluruh negara di dunia, atau setidaknya sebagian besar dari
negara-negara tersebut. Hal ini juga yang menjadi landasan bahwa kesepakatan dapat
dicapai untuk bentuk-bentuk hak asasi yang lainnya.
(4) Hak Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia
Para pejuang hak-hak perempuan di berbagai wilayah dunia melontarkan kritik
bahwa hukum dan sistem hak asasi manusia itu adalah sistem yang sangat maskulin dan
patriarki, yang dibangun dengan cara berfikir dan dalam dunia laki-laki yang lebih
memperhatikan dan kemudian menguntungkan laki-laki dan melegitimasi situasi yang
tidak menguntungkan perempuan.41 Hal tersebut dilihat dari beberapa hal pertama,
pendikotomian antara wilayah publik dan privat; kedua, konsepsi pelanggaran hak asasi
manusia sebagai pelanggaran yang dilakukan oleh negara; ketiga, pendekatan
‘kesamaan’ (sameness) dan ‘perbedaan’ (differences) yang dipakai oleh beberapa
instrumen pokok hak asasi manusia; keempat, pemilahan dan prioritas hak sipil dan
politik, ketimbang hak ekonomi, sosial dan budaya.
Hak asasi manusia khususnya pendekatan hak asasi manusia yang konvensional
lebih menekankan pengakuan jaminan terhadap hak-hak dalam lingkup publik
sementara wilayah domestik tidak dijangkau demi alasan melindungi hak privasi
seseorang. Pemilahan antara wilayah lingkup dan publik dan prioritas perlindungan hak
pada wilayah publik sangat dilematis dalam konteks penegakan hak asasi manusia
terhadap manusia yang berjenis kelamin perempuan. Sebab, dalam banyak pengalaman
perempuan, wilayah domestik dan privat ini malah menjadi arena di mana kekerasan
dan diskriminasi berlangsung sangat serius dan massif. Namun, situasi kekerasan
tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan hanya dikategorikan
sebagai perlakuan kriminal semata.
Konsepsi pemilahan publik dan domestik pun berjalin dengan pandangan bahwa
pelaku pelanggaran hak asasi manusia adalah negara (state actor) yang kemudian
meminggirkan berbagai pengalaman perempuan. Dalam kasus “penyiksaan” (torture),
misalnya, pendekatan hak asasi manusia konvensional hanya akan melihat kasus
penyiksaan sebagai pelanggaran hak asasi manusia jika dilakukan oleh aparat negara
dan terjadi di wilayah publik.42 Hal ini mengabaikan situasi yang sering dialami oleh
perempuan korban kekerasan rumah tangga (yang mengalami penyiksaan), di mana
kekerasan yang dilakukan oleh aktor negara dan kekerasan berlanjut karena aktor
negara tidak segera bertindak terhadap pelakunya.
Di samping itu, beberapa instrumen pokok memang telah meletakkan prinsip-
prinsip non-diskriminasi khususnya atas dasar jenis kelamin. Pendekatan yang dipakai
dalam prinsip non-diskriminasi tersebut adalah “setiap orang adalah sama” khususnya di
mata hukum, sehingga orang harus “diperlakukan sama” (sameness). Perlakuan berbeda
dan perlindungan khusus hanya diberikan kepada perempuan yang menjalankan fungsi
reproduksinya seperti melahirkan dan menyusui, karena asumsinya perbedaan antara
laki-laki dan perempuan hanya pada perbedaan biologis (difference).43 Pendekatan ini
dipandang tidak melihat akar masalah perempuan di mana kekerasan dan diskriminasi
itu akibat dari relasi kekuasaan yang timpang dan telah berjalan sejak lama. Akibanya
perempuan selalu berada pada posisi yang tidak beruntung (disadvantages) di hampir
seluruh aspek kehidupan yang tidak mudah dikembalikan kepada posisi yang lebih baik
jika tidak ada perlakuan dan perlindungan khusus. Perlakuan dan perlindungan khusus
hanya pada perempuan yang sebagai “ibu” menjalankan peran domestik saja. Sementara
perempuan yang tidak menjadi “ibu” dan banyak perempuan yang tidak pula berperan
sebagai “ibu” berada pada posisi yang lemah dan tidak beruntung karena relasi timpang
dan dampak dari ketertindasan tidak dijamin perlindungannya, diperlakukan sama
dengan pihak (laki-laki) yang memiliki situasi yang lebih beruntung.44 Perlakuan sama
menyebabkan situasi yang lebih senjang untuk tujuan atau hasil pencapaian keadilan.
Perlakuan yang sama tidak akan menjamin perempuan dan laki-laki bisa secara sama
mengakses pendidikan dan fasilitas kesehatan jika tidak ada jaminan atau landasan
untuk tersedianya langkah-langkah strategis dan khusus untuk menghapus atau
menghilangkan hambatan perempuan untuk mengakses secara sama terhadap
pendidikan atau akses lainnya.
Selain itu, pendekatan hak asasi manusia klasik memprioritaskan dan sekaligus
memilah-milah hak sipil dan politik dan meninggalkan hak ekonomi, sosial dan budaya.
Penekanan tentang hak hidup, misalnya, banyak dilakukan terkait dengan hak untuk
bebas dari hukuman mati. Tidak untuk menyatakan bahwa hak itu tidak penting, namun
pemilihan wilayah yang diprioritaskan berdampak pada banyaknya kasus-kasus yang
terkait dengan hak hidup lainnya dari aspek sosial dan budaya tidak diperlakukan setara.
Misalnya, banyak perempuan yang mati pada saat melahirkan akibat layanan dan
fasilitas kesehatan yang tidak memadai, perempuan migran yang mati akibat perlakuan
sewenang-wenang majikan dan tidak adanya perlindungan hukum bagi mereka, bukan
jadi area yang dianggap penting dalam konteks hak hidup. Padahal peristiwa ini adalah
peristiwa yang sangat dekat dengan keseharian hidup perempuan.
Berbagai kritik dan advokasi yang dilontarkan atas kelemahan sistem hak asasi
manusia dari perspektif pengalaman perempuan berdampak pada adanya perkembangan
pemikiran baru tentang konsep hak asasi manusia.
Pemikiran para pejuang perempuan diakomodir dan diadopsi dalam hukum hak
asasi manusia sejak dirumuskannya instrumen internasional yang spesifik untuk
menghadapi persoalan diskriminasi terhadap perempuan, yaitu Konvensi tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada tahun 1976 dan
mulai berlaku pada tahun 1979. Konvensi ini meletakkan pemikiran dasar bahwa
diskriminasi terhadap perempuan sebagai hasil dari relasi yang timpang di dalam
masyarakat yang dilegitimasi oleh struktur politik dan termasuk hukum yang ada.
Konvensi meletakkan pula strategi/langkah-langkah khusus sementara yang perlu
dilakukan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini menjadi
salah satu kerangka kerja internasional untuk perwujudan hak-hak perempuan.45
Konvensi ini dianggap sebuah lompatan yang cepat terhadap realitas masyarakat
internasional yang masih bergumul dengan pandangan yang sempit dalam melihat
realitas perempuan.46 Oleh karena itu, dalam jangka waktu yang cukup lama sejak
pemberlakuannya, konvensi ini sempat tidak banyak berdampak dalam perubahan cara
pandang arus besar. Dengan pandangan patriarkis yang masih kuat, pengadaan konvensi
yang spesifik ini malah dianggap sebagai upaya untuk ‘mengistimewakan’ perempuan
sehingga membuat hak antara laki-laki dan perempuan tidak setara, di sisi lain justru
dianggap merupakan penyempitan terhadap pemaknaan hak perempuan yang seolah-
olah hak perempuan hanyalah hak yang diatur dalam Konvensi tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Hal ini disadari banyak pejuang hak
perempuan, yang kemudian pada saat yang sama juga dilakukan segala upaya
pengakuan internasional tentang persoalan diskriminasi yang sudah akut dan upaya
untuk mempengaruhi cara pandang publik.
Upaya ini dimulai dengan diselenggarakannya Konferensi Internasional Tahunan
Perempuan dan Tribunal Internasional Tahunan Perempuan di Mexico City pada tahun
1975 yang dilanjuti dengan Konferensi Dunia tentang Perempuan dan Forum LSM di
Copenhagen 1980 dan kemudian Konferensi yang sama pun dilanjutkan pada tahun
1985 di Nairobi dan kemudian pada tahun 1990.47 Aktivitas ini berdampak pada
kelompok-kelompok hak asasi manusia internasional di PBB.
Keberadaan Deklarasi Wina dan Kerangka Aksi (Vienne Declaration and
Platform for Action) 1993 sebagai hasil dari Konferensi Dunia tentang Hak Asasi
Manusia merupakan momentum baru perkembangan konsep hak asasi manusia yang
melihat hak asasi manusia secara universal, integral dan saling terkait satu dengan
lainnya. Tak kalah pentingnya, Deklarasi ini menegaskan konsepsi tentang hak asasi
perempuan sebagai hak asasi manusia yang universal:
“The human rights of women and of the girl-child are an inalienable, integral and indivisible part of universal human rights. The full and equal participation of women in political, civil, economic, social and cultural life, at the national, regional and international levels, and the eradication of all forms of discrimination on grounds of sex are priority objectives ofthe international community”.48
Lebih lanjut, penegasan bahwa kekerasan terhadap perempuan atau sering disebut
kekerasan berbasis jender (gender-based violence) merupakan isu hak asasi manusia
sehingga upaya-upaya untuk menghapuskannya adalah bagian dari upaya penegakan
hak asasi manusia. Sebagai kerangka aksi, Deklarasi Wina kemudian menekankan
agar hak asasi perempuan harus menjadi bagian yang integral dalam seluruh aktivitas
dari hak asasi manusia yang dijalankan oleh PBB dan setiap instrumen hak asasi
manusia yang terkait dengan perempuan. Tidak hanya di tingkat PBB tapi juga
diharapkan pemerintah, organisasi antar pemerintah dan LSM juga diharapkan
mengintensifkan upaya untuk promosi dan perlindungan hak asasi perempuan dan anak
perempuan.
Pada konferensi ke-4 tentang Perempuan di Beijing 1995, dihasilkan pula
Pedoman Aksi Beijing (The Beijing Platform for Action) yang meletakkan 12 area kritis
terkait dengan pemenuhan hak perempuan sebagai hak asasi manusia.
Konseptualisasi hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia dan kekerasan
terhadap perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kerangka kerja untuk
menghapuskannya meletakkan setiap instrumen hak asasi manusia dimaknai ulang.
Pengakuan tersebut harus meliputi pula pengakuan tentang berbagai penyebab
timbulnya diskriminasi. Beberapa Mekanisme HAM PBB yang berbasis pada
perjanjian kemudian melakukan adopsi dengan mengeluarkan Komentar
Umum/Rekomendasi Umum untuk mengkaji ulang persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan.
1) Komite HAM untuk Hak Sipil dan Politik mengeluarkan Komentar Umum No.
28 tahun 2000 tentang Persamaan Hak antara Laki-laki dan Perempuan (pasal
3) (General Comment No. 28: Equality of rights between men and women (article
3) tahun 2000).49 Pada Komentar Umum tersebut komite menegaskan bahwa
setiap negara yang sudah meratifikasi konvensi hak sipil dan politik, tidak saja
harus mengadopsi langkah-langkah perlindungan tapi juga langkah-langkah
positif di seluruh area untuk mencapai pemberdayaan perempuan yang setara
dan efektif. Langkah ini termasuk pula penjaminan bahwa praktek-praktek
tradisi, sejarah, agama dan budaya tidak digunakan untuk menjustifikasi
pelanggaran hak perempuan. Dengan adanya Komentar Umum ini Komite ingin
memastikan bahwa negara pihak dalam membuat laporan terkait hak-hak sipil
dan politik harus menyediakan informasi tentang bagaimana pengalaman
perempuan yang banyak dilanggar haknya dalam setiap hak yang dicantumkan dalam
Konvensi. 50
2) Komite tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
meletakkan pula kerangka langkah-langkah khusus sementara (temporary special
measures) untuk penghapusan diskriminasi langsung dan tidak langsung (direct and
indirect discrimination) yang terjadi terhadap perempuan yang sangat
mempengaruhi penikmatan hak asasi perempuan dalam Rekomendasi Umum No. 25
(2004).51 Dirasa penting membedakan adanya situasi khas perempuan secara
biologis dan situasi yang tidak menguntungkan akibat dari proses penindasan dan
situasi yang tidak setara yang cukup lama hadir. Komite menekankan bahwa posisi
perempuan yang tidak beruntung tersebut perlu disikapi dengan pendekatan
persamaan hasil (equality of result) sebagai tujuan dari persamaan secara substantif
(subtantive equality) atau de facto tidak saja persamaan secara formal (formal
equality).
3) Komite tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya mengeluarkan Komentar Umum
No. 16 (2005) tentang Persamaan Hak antara Laki-laki dan Perempuan dalam
menikmati seluruh hak ekonomi, sosial dan budaya (Pasal 3) (The equal right of
men and women to the enjoyment of all economic, social and cultural rights (art. 3
of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights). Komite
menegaskan bahwa perempuan seringkali diabaikan haknya untuk menikmati hak-
hak asasi mereka karena status yang dinomorduakan oleh tradisi dan praktek budaya
dan berdampak pada posisi perempuan yang tidak beruntung.
“ Many women experience distinct forms of discrimination due to the intersection of sex with such factors as race, colour, language, religion, political and other opinion, national or social origin, property, birth, or other status, such as age, ethnicity, disability, marital, refugee or migrant status, resulting incompounded disadvantage.”52
Komite mencatat ada banyak pengalaman perempuan yang tidak dapat menikmati haknya sebagaimana tercakup dalam Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya seperti hak atas perumahan yang layak, hak atas makanan yang layak, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, dan hak atas standart kesehatan yang layak dan hak atas air. Dengan rekomendasi ini, Komite meletakkan kerangka tentang persamaan (equality), non-diskriminasi (non discrimination) dan langkah-langkah sementara (temporare measures) yang menjadi acuan bagi para negara yang terikat dengan Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Perkembangan pemikiran dan konsep hak asasi manusia sebagai pemikiran yang
dinamis dan senantiasa kontekstual masih akan terus berlanjut, termasuk dalam konteks
hak asasi perempuan. Beberapa kritik para pejuang hak asasi manusia telah disikapi
namun masih ada banyak isu yang belum selesai. Harus disadari bahwa proses
membongkar cara pandang hak asasi manusia konvensional dengan pendekatan hak
asasi manusia yang baru bukan proses yang mudah. Namun, upaya untuk
mengefektifkan penikmatan hak secara adil adalah agenda yang tidak pernah berhenti.
B. Tonggak-Tonggak Sejarah Hak Asasi Manusia Kontemporer
Sekarang kita kembali pada pembahasan tentang hak asasi manusia sebagai norma
internasional dengan lebih mendalam. Pada uraian di muka telah dipaparkan
perkembangan gagasan hak asasi manusia hingga akhirnya diterima sebagai norma
internasional, dan kemudian diikuti dengan pembahasan terhadap gagasan yang
menantang universalisasi hak asasi manusia yang disuarakan oleh negara-negara
berkembang dengan mengusung gagasan relativisme budaya. Sekarang kita kembali
pada pembahasan mengenai diterimanya gagasan hak asasi manusia sebagai norma yang
berlaku bagi setiap negara. Kalau pembahasan di muka uraian difokuskan pada evolusi
gagasannya, pembahasan kali ini mencoba menelisik tonggak-tonggak terpenting
sejarah lahirnya hak asasi manusia sebagai “Magna Charta” di pentas hukum
internasional.
(1) Sebelum Perang Dunia IISejak bangkitnya sistem negara modern serta penyebaran industri dan kebudayaan
Eropa ke seluruh dunia, telah berkembang serangkaian kebiasaan dan konvensi yang
unik mengenai perlakuan manusiawi terhadap orang-orang asing. Konvensi itu, yang
diberi nama “Hukum Internasional mengenai Tanggungjawab Negara terhadap
Pelanggaran Hak-hak Orang Asing”, dapat dianggap mewakili perhatian awal yang
besar terhadap promosi dan perlindungan hak asasi manusia di tingkat internasional.
Para pendiri hukum internasional, khususnya Francisco de Vitoria (1486-1546), Hugo
Grotius (1583-1645) dan Emmerich de Vattel (1714-1767), sedari awal menyadari
bahwa semua orang, baik orang asing maupun bukan, berhak atas hak-hak alamiah
tertentu, dan karenanya, mereka menekankan pentingnya memberi perlakuan yang
pantas kepada orang-orang asing.53
Tetapi baru pada abad ke-19 mulai menyingsing dengan jelas minat dan perhatian
internasional terhadap perlindungan hak-hak warga negara. Perdamaian Westphalia
(1648), yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun dan yang menetapkan asas
persamaan hak bagi agama Katolik Roma dan Protestan di Jerman, telah membuka jalan
ke arah itu.54 Satu setengah abad kemudian, sebelum Perang Dunia II, beberapa upaya
yang patut dicatat sebagai tonggak-tonggak penting, walaupun pada pokoknya tidak
berkaitan, dalam upaya menggalakkan perhatian terhadap warga negara melalui sarana
hukum internasional mulai membentuk apa yang dewasa ini dinamakan “Hukum Hak
Asasi Manusia Internasional”. Tonggak-tonggak penting itu antara lain, doktrin
perlindungan negara terhadap orang asing, intervensi kemanusiaan, serta tonggak
penting lainnya seperti akan dielaborasi lebih jauh dalam sub-sub bahasan di bawah ini.
(a) Hak Asasi Manusia dan Hukum Internasional Tradisional
Pada awal pertumbuhannya, hukum internasional hanya merupakan hukum yang
mewadahi pengaturan tentang hubungan antara negara-negara belaka. Subyeknya sangat
eksklusif, yakni hanya mencakup negara. Entitas-entitas yang lain, termasuk individu,
hanya menjadi objek dari sistem itu,55 atau penerima manfaat (beneficiary) dari sistem
tersebut. Individu, sebagai warga negara, tunduk sepenuhnya kepada kewenangan
negaranya. Dalam arti ini, negara tentu dapat saja membuat ketentuan-ketentuan demi
kepentingan warga negaranya (individu), namun ketentuan-ketentuan semacam itu tidak
memberikan hak-hak substantif kepada individu yang dapat mereka paksakan melalui
prosedur pengadilan. Negara-lah yang membela hak atau kepentingan warga negaranya
apabila mendapat perlakuan yang bertentangan dengan aturan atau perlakuan semena-
mena dari negara lainnya.
Apa yang dikatakan di atas dikenal dengan doktrin “perlindungan negara terhadap
orang asing” atau “state responsibility for injury to alliens”, yang dikenal dalam hukum
internasional ketika itu. Berdasarkan doktrin hukum internasional itu, orang-orang asing
berhak mengajukan tuntutan terhadap negara tuan rumah yang melanggar aturan.
Biasanya, hal ini terjadi ketika seorang asing mengalami perlakuan sewenang-wenang
di tangan aparat pemerintah, dan negara tersebut tidak mengambil tindakan apapun atas
pelanggaran itu. Doktrin “perlindungan negara terhadap orang asing” tersebut,
khususnya mengenai standar minimal dan kesamaan perlakuan, kemudian diambil alih
oleh perkembangan-perkembangan dalam hukum hak asasi manusia internasional.
Meskipun tujuan utama klaim negara semacam itu bukanlah untuk mendapatkan
kompensasi bagi warga negaranya yang dirugikan, melainkan untuk membela hak-hak
negara itu sendiri --yang secara tidak langsung telah dilanggar melalui perlakuan yang
buruk terhadap warga negaranya.
(b) Intervensi Kemanusiaan
Demikianlah posisi individu dalam hukum internasional tradisional, yang sering
ditandai menurut kebangsaannya. Berdasarkan dalil itu, negara-negara lain tidak
mempunyai hak yang sah untuk melakukan intervensi dengan alasan melindungi warga
negaranya, seandainya mereka diperlakukan dengan semena-mena. Suatu kekecualian
terhadap dalil ini adalah apa yang disebut dengan doktrin “intervensi kemanusiaan”,
yang memberikan hak yang sah untuk melakukan intervensi. Berdasarkan “hak” ini,
negara dapat mengintervensi secara militer untuk melindungi penduduk atau sebagian
penduduknya yang berada dalam suatu negara lain jika penguasa negara tersebut
memperlakukan mereka sedemikian rupa sehingga “melanggar hak asasi mereka dan
menggoncangkan hati nurani umat manusia.” Doktrin ini dipopulerkan oleh Hugo
Grotius. Tetapi banyak yang meragukan apakah hak semacam ini benar-benar ada, yang
jelas doktrin ini sering disalahgunakan oleh negara-negara kuat yang berusaha
memperbesar pengaruh politik mereka. Sejumlah negara besar pada abad ke-19
memakai hak intervensi kemanusiaan yang diklaim itu, antara lain, untuk mencegah
Kekaisaran Ottoman memusnahkan kaum minoritas di Timur Tengah dan di wilayah
Balkan.
(c) Penghapusan Perbudakan
Pemaparan di atas menggambarkan bahwa sebetulnya telah terjadi perkembangan
kemanusiaan pada hukum internasional sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20. Hal
yang paling menonjol di antaranya adalah penghapusan perbudakan. Meskipun ekonomi
perbudakan pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 secara komersial telah menjadi
kurang menarik bagi negara-negara Eropa dibandingkan masa sebelumnya, gerakan
penghapusan perbudakan itu juga dilandasi oleh motif kepedulian kemanusiaan yang
besar. Praktek perbudakan mula-mula dikutuk dalam Traktat Perdamaian Paris (1814)
antara Inggris dan Perancis, namum selang 50 tahun kemudian, Akta Umum Konferensi
Berlin yang mengatur kolonisasi Eropa di Afrika menyatakan bahwa “perdagangan
budak dilarang berdasarkan asas-asas hukum internasional”.
Aksi internasional menentang perbudakan dan perdagangan budak itu terus
berlanjut sepanjang abad 20. Liga Bangsa-Bangsa mengesahkan Konvensi Penghapusan
Perbudakan dan Perdagangan Budak pada tahun 1926, dan melarang praktek
perbudakan di wilayah-wilayah bekas koloni Jerman dan Turki yang berada di bawah
Sistem Mandat (Mandates System) Liga Bangsa-Bangsa pada akhir Perang Dunia I.
Konvensi 1926 ini masih tetap merupakan dokumen internasional utama yang melarang
praktek perbudakan, meskipun konvensi ini telah diamandemen dengan suatu Protokol
pada tahun 1953, dan pada tahun 1956 ditambah dengan suplemen mengenai definisi
tindakan-tindakan yang termasuk dalam perbudakan di zaman modern.
(d) Palang Merah Internasional
Kemajuan besar yang lain dalam hukum kemanusiaan internasional pada paruh
kedua abad ke-19 adalah pembentukan Komite Palang Merah Internasional (1863), dan
ikhtiar organisasi itu dalam memprakarsai dua konvensi internasional untuk melindungi
korban perang dan perlakuan terhadap tawanan perang, yang dikenal dengan Konvensi
Jenewa. Prakarsa dan usaha-usaha Palang Merah Internasional ini berlanjut melewati
dua perang dunia dan sesudahnya. Organisasi internasional ini telah mensponsori
sejumlah konvensi yang tidak semata-mata menangani status dan perlakuan terhadap
para prajurit yang berperang, tetapi juga perlakuan terhadap penduduk sipil pada masa
perang dan pembatasan terhadap cara-cara berperang (conducts of war).56 Singkatnya
organisasi internasional ini telah berjasa melahirkan apa yang sekarang kita kenal
dengan hukum humaniter internasional (international humanitarian law).
(e) Liga Bangsa-Bangsa
Segera setelah berakhirnya Perang Dunia I, masyarakat internasional membentuk
Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) melalui Perjanjian Versailles. Selain
membentuk Liga Bangsa-Bangsa (LBB), Perjanjian Versailles juga melahirkan apa
yang dikenal sekarang dengan Organisaasi Perburuhan Internasional (International
Labour Organization).57 Tujuan utama Liga tersebut adalah “untuk memajukan
kerjasama internasional, mencapai perdamaian dan keamanan internasional”. Memang
Liga tersebut tidak secara eksplisit membuat ketetapan mengenai perlindungan hak asasi
manusia. Namun, dari dokumen pendiriannya, yang disebut Covenant of the League of
Nations, negara-negara anggotanya diwajibkan untuk berupaya ke arah sasaran-sasaran
kemanusiaan seperti menetapkan kondisi kerja yang manusiawi bagi individu, larangan
perdagangan perempuan dan anak, pencegahan dan pengendalian penyakit, serta
perlakuan yang adil terhadap penduduk pribumi dan wilayah jajahan. Liga ini memiliki
tiga organ utama, yaitu Dewan, Majelis, dan Sekretariat.
Salah satu prestasi terbesar Liga Bangsa-Bangsa bagi kemanusiaan adalah
dibentuknya Sistem Mandat (Mandates System) di bawah organisasi ini. Dengan sistem
ini, bekas koloni Jerman dan Turki yang kalah perang ditempatkan di bawah
“perwalian” negara-negara pemenang perang. Jadi “suatu kepercayaan suci atas
peradaban” diserahkan kepada negara-negara perwalian untuk menata dan menyiapkan
wilayah-wilayah mandat tersebut sampai mereka memiliki pemerintahan sendiri.
Bahasa paternalistik yang digunakan dalam Covenant boleh jadi kurang disukai
sekarang ini, namun yang jelas, negara perwalian diharuskan menjamin tidak ada
diskriminasi rasial dan agama di wilayah-wilayah yang berada di bawah perwaliannya.
Ternyata, beberapa wilayah mandat mencapai kemerdekaannya sebelum Perang Dunia
II. Wilayah-wilayah mandat yang belum mencapai kemerdekaan sebelum Perang Dunia
II, seperti Namibia dan Palestina, selanjutnya dialihkan kepada sistem perwalian
berdasarkan Piagam PBB.
Di samping itu, Liga Bangsa-Bangsa juga menjalankan fungsi pengawasan yang
berkaitan dengan “kewajiban-kewajiban yang menjadi perhatian internasional”, sebuah
prosedur dan mekanisme yang memungkinkan perlindungan bagi kelompok-kelompok
minoritas. Dengan mekanisme ini, kelompok minoritas yang merasa dilanggar haknya
dapat mengadukan masalahnya kepada Dewan Liga. Setelah mendapat pengaduan itu,
Dewan dapat mengajukan masalah itu kepada Komite ad hoc untuk Kaum Minoritas,
yang bertugas mendamaikan atau mencoba mencari penyelesaian masalah tersebut
dengan cara membangun persahabatan antara para pihak yang bertikai. Liga Bangsa-
Bangsa resmi dibubarkan pada 18 April 1946, enam bulan setelah Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) didirikan.
(2) Setelah Perang Dunia II
Doktrin dan kelembagaan hukum internasional yang dipaparkan di atas telah ikut
mendorong perubahan yang radikal dalam hukum internasional, yaitu berubahnya status
individu sebagai subyek dalam hukum internasional. Individu tidak lagi dipandang
sebagai obyek hukum internasional, melainkan dipandang sebagai pemegang hak dan
kewajiban. Dengan status ini, maka individu dapat berhadapan dengan negaranya
sendiri di hadapan Lembaga-Lembaga Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa.
Perubahan ini dipercepat dengan meledaknya Perang Dunia II yang memberikan
pengalaman buruk bagi dunia internasional. Agar tidak mengulangi pengalaman
yang sama, masyarakat internasional membangun konsensus baru yang lahir dalam
bentuk norma, doktrin, dan kelembagaan baru dalam hukum internasional. Berikut ini
akan dibahas norma, doktrin, dan kelembagaan hukum internasional yang lahir pada
periode pasca Perang Dunia II yang melahirkan hukum hak asasi manusia internasional.
(a) Hak Asasi Manusia Internasional Modern
Hukum internasional yang lama (tradisional) telah berhasil mengembangkan
berbagai doktrin dan kelembagaan yang dirancang dan ditujukan untuk melindungi
berbagai kelompok orang, mulai dari kaum budak, kaum minoritas, bangsa-bangsa
pribumi, orang-orang asing, hingga tentara (combatants). Dari perkembangan hukum dan
kelembagaan inilah kemudian terbangun landasan konseptual dan kelembagaan
hukum hak asasi manusia internasional kontemporer.58 Karena itu, kita tidak bisa
memahami dengan mendalam hukum hak asasi manusia internasional saat ini tanpa
didahului oleh pemahaman yang cukup tentang akar-akar historis yang melahirkannya
itu.
Sangat berbeda dengan doktrin dan kelembagaan yang mendahuluinya, hukum hak
asasi manusia internasional modern menempatkan individu sebagai subyeknya. Individu
ditempatkan sebagai pemegang hak (right-holders) yang dijamin secara internasional,
semata-mata karena ia adalah individu, bukan karena alasan
kebangsaannya dari suatu negara. Justru sebaliknya, status negara dalam hukum yang
baru ini ditempatkan sebagai pemegang kewajiban (duty-holders).59 Jadi relasi antara
pemegang hak dan kewajiban itulah yang menjadi pokok perhatian hukum
internasional yang baru ini. Relasi keduanya ini kemudian diwadahi dalam struktur
kelembagaan yang baru, yang didesain oleh PBB, melalui berbagai macam mekanisme
atau prosedur pengaduan dan pemantauan hak asasi manusia dalam sistem PBB.
Prosedur dan mekanisme yang dimaksud, lebih jauh akan dibahas pada bab-bab berikut
dalam buku ini. Hukum internasional yang baru itu tumbuh dan berkembang dari
perjanjian- perjanjian internasional hak asasi manusia yang terus meningkat sejak
1948, selain berasal dari kebiasaan dan doktrin internasional. Peningkatan pada jumlah
instrumen- instrumen hak asasi manusia internasional diiringi pula dengan semakin
banyaknya jumlah negara yang mengakui dan terikat dengannya. Hal itu berarti semakin
banyak negara yang tunduk pada pengawasan internasional yang dibangun berdasarkan
hukum hak asasi manusia internasional tersebut. Implikasinya adalah bahwa
eksklusivitas kedaulatan negara menjadi berkurang, dan negara tidak dapat lagi
mengklaim dengan absah bahwa masalah hak asasi manusia sepenuhnya merupakan urusan
domestiknya.
(b) Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa
Perkembangan hukum hak asasi manusia yang dipaparkan di atas bermula dari
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai sebuah traktat multilateral yang mengikat
secara hukum semua negara anggota PBB, Piagam itu memuat dengan eksplisit pasal-
pasal mengenai perlindungan hak asasi manusia. Dalam mukadimahnya tertera tekad
bangsa-bangsa yang tergabung dalam PBB untuk “menyatakan kembali keyakinan pada hak
asasi manusia, pada martabat dan nilai manusia”. Pasal 1 (3) mencantumkan bahwa salah
satu tujuan PBB adalah “memajukan dan mendorong pernghormatan terhadap hak asasi
manusia dan kebebasan dasar bagi semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin,
bahasa, atau agama”. Selanjutnya dalam Pasal 55 ditegaskan pula, bahwa PBB “harus
memajukan ... penghormatan universal terhadap, dan ketaatan kepada, hak asasi manusia
dan kebebasan dasar bagi setiap orang”. Hal ini diperkuat lebih lanjut oleh Pasal 56,
yang menyatakan bahwa semua anggota PBB “berjanji akan mengambil tindakan
bersama dan sendiri-sendiri ... bagi tercapainya tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam Pasal
55”. Jadi, internasionalisasi hak asasi manusia dimulai dengan Piagam PBB tersebut.
Memang terdapat perbedaan pandangan berkenaan dengan karakteristik legal dari
kewajiban Piagam tersebut.60 Beberapa ahli hukum berargumentasi bahwa persyaratan
“memajukan” (“promoting”) penghormatan dan ketaatan terhadap hak asasi manusia
hanyalah bersifat anjuran, bukan kewajiban hukum terhadap para anggota. Lebih lanjut
mereka mengemukakan bahwa kewajiban untuk memajukan hak asasi manusia tidak
harus menyiratkan kewajiban untuk melindungi (protecting) hak asasi manusia.
Sebaliknya ahli hukum yang lain, mengajukan argumentasi bahwa Pasal 56 memberikan
kewajiban yang jelas kepada semua anggota untuk mengambil tindakan positif menuju
pada penghormatan dan ketaatan terhadap hak asasi manusia. Dengan demikian, tidak
dapat dikatakan bahwa sebuah negara yang menyangkal hak asasi manusia sedang
menjalankan kewajibannya untuk menghormati hak asasi manusia. Akhir dari
perdebatan ini adalah disetujuinya secara umum bahwa ketentuan hak asasi manusia
dalam Piagam menciptakan kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia yang secara
hukum mengikat anggotanya.
(c) The International Bill of Human Rights
“International Bill of Human Rights” adalah istilah yang digunakan untuk
menunjuk pada tiga instrumen pokok hak asasi manusia internasional beserta optional
protocol-nya yang dirancang oleh PBB. Ketiga instrumen itu adalah: (i) Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights); (ii) Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and
Political Rights); dan (iii) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya(International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights). Sedangkan
optional protocol yang masuk dalam kategori ini adalah, “the Optional Protocol to the
Covenant on Civil and Political Rights” (Protokol Pilihan Kovenan Hak-hak Sipil dan
Politik).61 Disebut sebagai instrumen pokok karena kedudukannya yang sentral dalam
corpus hukum hak asasi manusia internasional.
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia disahkan oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa Bangsa pada tahun 1948. Deklarasi ini boleh dikatakan merupakan
interpretasi resmi terhadap Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, yang memuat lebih
rinci sejumlah hak yang didaftar sebagai Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini berfungsi
sebagai “standar pencapaian bersama”. Karena itu ia dirumuskan dalam bentuk
deklarasi, bukan perjanjian yang akan ditandatangani dan diratifikasi. Meskipun
demikian, deklarasi itu telah terbukti menjadi langkah raksasa dalam proses
internasionalisasi hak asasi manusia. Seiring dengan perjalanan waktu, status legal
deklarasi itu terus mendapat pengakuan yang kuat. Selain dipandang sebagai interpretasi
otentik terhadap muatan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, deklarasi ini juga
berkembang menjadi hukum kebiasaan internasional yang mengikat secara hukum bagi
semua negara.62 Dengan demikian pelanggaran terhadap deklarasi ini merupakan
pelanggaran terhadap hukum internasional.
Dua kovenan yang menyusul, yakni Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, disahkan
oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tahun 1966. Tetapi kedua
Kovenan itu baru berlaku mengikat secara hukum pada tahun 1976. Dua instrumen
pokok hak asasi manusia internasional itu menunjukkan dua bidang yang luas dari hak
asasi manusia, yakni hak sipil dan politik di satu pihak, dan hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya di pihak lain. Kedua instrumen ini disusun berdasarkan hak-hak yang
tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, tetapi dengan penjabaran
yang lebih spesifik. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, misalnya,
menjabarkan secara lebih spesifik hak-hak mana yang bersifat “non-derogable” dan
hak-hak mana yang bersifat “permissible”. Begitu pula dengan Kovenan Internasional
tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang memuat secara lengkap hak-hak
ekonomi dan sosial, merumuskan tanggung jawab negara yang berbeda dibandingkan
dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Jadi sebetulnya dua
Kovenan ini dibuat untuk menjawab masalah-masalah praktis berkaitan dengan
perlindungan hak asasi manusia.
Perkembangan pemikiran HAM dunia bermula dari:
Magna Charta
Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM di kawasan Eropa dimulai dengan lahirnya magna Charta yang antara lain memuat pandangan bahwa raja yang tadinya
memiliki kekuasaan absolute (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggung jawabannya dimuka hukum(Mansyur Effendi,1994).
Piagam Magna Charta (Piagam Agung 1215) :
Piagam Magna Charta (Piagam Agung 1215) adalah piagam penghargaan atas
pemikiran dan perjuangan HAM yang dilakukan oleh rakyat Inggris kepada Raja John yang
berkuasa pada tahun 1215.Magna Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip
dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting
daripada kedaulatan raja.Pada awal abad ke XII, muncul piagam Magna Carta atau
Piagam Agung.Terjadi pada pemerintahan Raja John
4
Lackland yang menjabat menggantingan Raja Richard.Raja John yang bertindak sewenang-
wenang terhadap rakyat dan kelompok bangsawan mengakibatkan rasa tidak puas kaum
bangsawan dan berhasil membuat suatu perjanjian yang disebut Magna Charta.Magna
Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215 di Inggris yang dibuat untuk membatasi kekuasaan
Raja John di Inggris.
Isi dari Magna Charta tersebut adalah :
1) Raja beserta keturunannya, berjanji akan menghormati kemerdekaan, hak, dan
kebebasan Gereja di Inggris.
2) Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untu memberikan hak-hak
sebagai berikut :
a) Para petugas kemanan dan pemungut pajak akan menghormati hak-hak
penduduk.
b) Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa bukti dan sanksi
yang sah.
c) Seseorang yang bukan budak tidak akan di tahan, ditangkap, dinyatakan
bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa alasan hukum sebagai dasar
tindakannya.
d) Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur di tahan, raja
berjanji akan mengoreksi kesalahannya.
Magna Charta ini merupakan dokumen kenegaraan yang memberi jaminan hak-
hak asasi manusia.Sebenarnya dokumen ini dimaksudkan untuk menjamin hak-hak serta
wewenang para bangsawan, tetapi kemudian oleh umum dipandang sebagai jaminan
terhadap hak-hak asasi manusia dari rakyat yang dalam perkembangan selanjutnya tidak
dikenal lagi bangsawan-bangsawan sebagai penguasa melainkan hanya Sang Raja sebagai
pemegang puncak kekuasaan pemerintahan.
Melalui magna charta ini, raja yang tadinya mempunyai kekuasaan absolut (raja
sebagai pencipta hukum dan tidak terikat hukum) :
1) mulai dibatasi kekuasannya,
2) dapat dimintai pertanggungjawabannya di muka umum. Lalu sistem monarki pun
beralih ke monarki konstitusional di mana kekuasaan raja tinggal sebagai simbol
belaka
Bill Of Rights ( UU Hak 1689) : perlakuan yang sama dimuka hukum :
Pada tahun 1689, Bill of Rights dikeluarkan dan menjadi undang-undang yang diterima
oleh parlemen Inggris sebagai bentuk perlawanan terhdap Raja James II.Isi dari dokumen
ini adalah :
1) Kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen
2) Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat
3) Pajak, undang-undang, dan pembentukan tentara tetap harus seizing parlemen
4) Hak warga negara untuk memeluk agama menurut kepercayaannya masing-masing
5) Parlemen berhak untuk mengubah keputusan raja.
Lahirnya BILL OF RIGHTS di Inggris pada 1689 yang mengedepankan adagium bahwa
manusia sama di muka hukum (equality before law) .
Deklarasi HAM Perancis 1789 : manusia lahir merdeka dan suci, tidak boleh ada
penangkapan semena-mena :
Lahirnya THE AMERICAN DECLARATION OF INDEPENDENCE di AS (1776) dan
DECLARATION DES DROITS DE L’HOMME ET DU CITOYEN (Deklarasi Hak-hak Manusia
dan Warganegara) di Perancis (1789).Ini merupakan prinsip HAM modern yang
menjadian acuan masakini .Gagasan HAM muncul sebagai penolakan campur tangan
terhadap kepentingan individu, terutama yang dilakukan oleh negara (negative rights).
Prinsipnya, manusia itu merdeka sejak masih ada di dalam rahim ibu.
Deklarasi HAM di Perancis menjadi dasar dari THE RULE OF LAW yang antara lain
menekankan bahwa :
Tidak boleh ada penangkapan dan penahanan semena-mena tanpa alasan
Prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence)
Kebebasan mengeluarkan pendapat (freedom of expression)
Kebebasan mengatut agama yang dikehendaki (freedom of religion)
Perlindungan hak milik (the right of property).
Declarations Of Human Rights PBB 1948 :
Lahirnya THE UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS yang diciptakan oleh
PBB pada 10 Desember 1948 (10 Desember = HARI HAM INTERNASIONAL). Deklarasi ini
adalah reaksi dari malapetaka HAM selama PD II yang dipelopori Hitler (Nazi Jerman).
Menurut piagam PBB pasal 68 pada tahun 1946 telah terbentuk Komisi Hak-hak Manusia
( Commission on Human Rights ) beranggota 18 orang. Komisi inilah yang pada akhirnya
menghasilkan sebuah Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia ( Universal
Declaration of Human Rights ) yang dinyatakan diterima baik oleh sidang Umum PBB di
Paris pada tanggal 10 Desember 1948.
Kesadaran dunia international untuk melahirkan Deklarasi Universal tahun 1948 di Paris,
yang memuat salah satu tujuannya adalah menggalakkan dan mendorong penghormatan
terhadap Hak Asasi Manusia dan kebebasan asasi bagi semua orang tanpa membedakan
ras, jenis kelamin, bahaswa atau agama (pasal 1). Pasal tersebut diperkuat oleh ketetapan
bunyi pasal 55 dan pasal 56 tentang kerja sama Ekonomi dan Sosial International, yang
mengakui hak-hak universal HAM dan ikrar bersama-sama Negara-negara anggota untuk
kerja sama dengan PBB untuk tujuan tersebut. Organ - organ PBB yang lebih banyak
berkiprah dalam memperjuangkan HAM di antaranya yang menonjol adalah Majelis Umum,
Dewan ECOSOC, CHR, Komisi tentang Status Wanita, UNESCO dan ILO.
Maksud dan tujuan PBB mendeklarasikan HAM sewperti tertuang dalam piagam
Mukadimahnya :
1) Hendak menyelamatkan keturunan manusia yang ada dan yang akan datang dari
bencana perang.
2) Meneguhkan sikap dan keyakinan tentang HAM yang asasi, tentang harkat dan
derajat manusia,dan tentang persamaan kedudukan antara laki-laki dan
perempuan, juga antara bangsa yang besar dan yang kecil.
3) Menimbulkan suasana di mana keadilan dan penghargaan atas berbagai kewajiban
yang muncul dari segala perjanjian dan lain-lain sumber hukum internasional
menjadi dapat dipelihara.
4) Memajukan masyarakat dan tingkat hidup yang lebih baik dalam suasana
kebebasan yang lebih leluasa.
Piagam Atlantik (Atlantic Charter) :
Piagam Atlantik (Atlantic Charter) 14 Agustus 1941 yang ditandatangani oleh Franklin
Delano Roosevelt (Presiden Amerika Serikat) dengan Winston Churchill (Perdana Menteri
Inggris).Isi pokok dari piagam itu adalah sebagai berikut :
a) tidak boleh ada perluasan daerah tanpa persetujuan penduduk asli;
b) Setiap bangsa berhak menentukan dan menetapkan bentuk pemerintahannya
sendiri;
c) Setiap bangsa berhak mendapat kesempatan untuk bebas dari rasa takut dan
bebas dari kemiskinan.
The American declaration
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Rousseau dan Montesquuieu. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir ia harus dibelenggu.
The French declaration
Selanjutnya, pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration (Deklarasi Perancis), dimana ketentuan tentang hak lebih dirinci lagi sebagaimana dimuat dalam The Rule of Law yang antara lain berbunyi tidak boleh ada penangkapan tanpa alasan yang sah. Dalam kaitan itu berlaku prinsip
presumption of innocent, artinya orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah.
The four freedom
Ada empat hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang diperlukannya, hak kebebasan dari kemiskinan dalam Pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan yang damai dan sejahtera bagi penduduknya, hak kebebasan dari ketakutan, yang meliputi usaha, pengurangan persenjataan, sehingga tidak satupun bangsa berada dalam posisi berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap Negara lain ( Mansyur Effendi,1994).
Periode Sebelum Kemerdekaan (1908 – 1945) :
Perkembangan pemikran HAM dalam periode ini dalam organisasi pergerakan sebagai
berikut :
1) Budi Oetomo :
Pemikirannya, “Hak Kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.” Dalam
konteks pemikiran HAM, pemimpin Budi Oetomo telah memperlihatkan adanya
kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi – petisi yang
dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar
goeroe desa.
Bentuk pemikiran HAM Budi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan
mengeluarkan pendapat.
2) Perhimpunan Indonesia :
Pemikirannya “Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination).”
3) Sarekat Islam :
Pemikirannya “Hak penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan
diskriminasi rasial.”
4) Partai Komunis Indonesia :
Pemikirannya, “Hak sosial dan berkaitan dengan alat-alat produksi.”
5) Indische Party :
Pemikirannya, “Hak untuk mendapatkan kemerdekaan dan perlakuan yang sama.”
6) Partai Nasional Indonesia :
Pemikirannya, “Hak untuk memperoleh kemerdekaan.”
7) Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia :
Pemikirannya meliputi :
a) hak untuk menentukan nasib sendiri.
b) hak untuk mengeluarkan pendapat.
c) hak untuk berserikat dan berkumpul.
d) hak persamaan di muka hukum
e) hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara.
Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI
antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad
Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI
berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat,
hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan.
Periode Setelah Kemerdekaan (1945 – Sekarang) :
1) Periode 1945 – 1950 :
Pemikiran HAMnya menekankan pada hak-hak mengenai :
a) hak untuk merdeka (self determination).
b) hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan.
c) hak kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh
pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45.
komitmen terhadap HAM pada periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat
Pemerintah tanggal 1 November 1945.Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan
kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat
Pemerintah tanggal 3 November 1945.
Sebagai implementasi pemikiran HAM di atas, pemerintah mengeluarkan Maklumat
Pemerintah tanggal 3 November 1945, tentang Partai Politik dengan tujuan untuk
mengatur segala aliran yang ada dalam masyarakat dan pemerintah berharap partai
tersebut telah terbentuk sebelum pemilu DPR pada bulan Januari 1946.
2) Periode 1950 – 1959 :
Pemikiran HAM dalam periode ini lebih menekankan padasemangat kebebasan
demokrasi liberal yang berintikan kebebasan individu.
Implementasi pemikiran HAM dalam periode ini lebih memberi ruang hidup bagi
tumbuhnya lembaga demokrasi yang antara lain :
a) Partai politik dengan beragam ideologimya.
b) Kebebasan pers yang bersifat liberal.
c) Pemilu dengan sistem multipartai.
d) Parlemen sebagai lembaga kontrol pemerintah.
e) Wacana pemikiran HAM yang kondusif karena pemerintah memberi
kebebasan.
Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan
sebutan periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini
mendapatkan momentumyang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan
yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan
tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran
dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “ pasang” dan menikmati “ bulan madu
“ kebebasan.
Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek, yaitu :
Pertama, semakin banyak tumbuh partai – partai politik dengan beragam
ideologinya masing – masing.
Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul – betul menikmati
kebebasannya.
Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung
dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis.
Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari
kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat
dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif.
Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang
kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang
kebebasan.
3) Periode 1959 – 1966 :
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi
terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi Parlementer.
Pada sistem ini ( demokrasi terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan
presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan
inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur
poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu
hak sipil dan dan hak politik.
4) Periode 1966 – 1998:
Dalam periode ini, pemikiran HAM dapat dilihat dalam tiga kurun waktu yang
berbeda :
a) tahun 1967 (awal pemerintahan Presiden Soeharto) :
Berusaha melindungi kebebasan dasar manusia yang ditandai dengan adanya
hak uji materiil (judicial review) yang diberikan kepada Mahkamah Agung.
b) tahun 1970 – 1980 :
Pemerintah melakukan pemasungan HAM dengan sikap defensif (bertahan),
represif (kekerasan) yang dicerminkan dengan produk hukum yang bersifat
restriktif (membatasi) terhadap HAM.Alasan pemerintah adalah bahwa HAM
merupakan produk pemikiran Barat dan tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur
budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila.
c) tahun 1990-an :
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak
memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi
pemerintah dari represif dan defensif menjadi ke strategi akomodatif terhadap
tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM.
Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM
adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM )
berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993.Lembaga ini
bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta memberi
pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan
HAM.
d) Periode 1998 – sekarang :
Pada periode ini, HAM mendapat perhatian yang resmi dari pemerintah dengan
melakukan amandemen UUD 1945 guna menjamin HAM dan menetapkan UU No
39 Tahun 1999 tentang hak asasi-asasi manusia. Artinya bahwa pemerintah
memberikan perlindungan yang signifikasi terhadap kebebasan HAM dalam
semua aspek, yaitu aspek hak [politik, sosial, ekonomi, budaya, keamanan,
hukum, dan pemerintahan.
4.HAM pada Tatanan Global dan di Indonesia.
Sebelum konsep HAM diratifikasi PBB, terdapat beberapa konsep utama mengenai
HAM yang telah berkembang sebelumnya, yaitu :
1) HAM menurut konsep negara-negara Barat/Liberalisme :
a) Ingin meninggalkan konsep negara yang mutlak.
b) Ingin mendirikan federasi rakyat yang bebas, negara sebagai koordinator
dan pengawas.
c) Filosofi dasar : hak asasi tertanam pada diri individu manusia.
d) Hak asasi lebih dulu ada daripada tatanan negara.
2) HAM menurut konsep sosialis :
a) Hak asasi hilang dari individu dan teritegrasi dalam masyarakat.
b) HAM tidak ada sebelum negara ada.
c) Negara berhak membatasi HAM apabila situasi menghendaki.
3) HAM menurut konsep bangsa-bangsa Asia dan Afrika :
a) Tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama/sesuai dengan kodratnya.
b) Masyarakat sebagai keluarga besar artinya penghormatan utama untuk
kepala keluarga.
c) Individu tunduk kepada kepala adat yang menyangkut tugas dan kewajiban
anggota masyarakat.
4) HAM menurut konsep PBB :
Konsep HAM ini oleh sebuah komisi PBB yang dipimpin oleh Elenor Roosevelt (10
Desember 1948) dan secara resmi disebut “Universal Declaration of Human
Rights”.Di dalamnya menjelaskan tentang hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan
kebudayaan yang dinikmati manusia di dunia yang mendorong penghargaan
terhadap hak-hak asasi manusia.
Sejak tahun 1957, konsepHAM tersebut dilengkapi dengan tiga perjanjian, yaitu:
Hak Ekonomi Sosial dan Budaya,
Perjanjian internasional tentang hak sipil dan politik,
Protokol opsional bagi Perjanjian hak sipil dan politik internasional.
Pada Sidang Umum PBB tanggal 16 Desember 1966 ketiga dokumen tersebut
diterima dan diratifikasi, dan saat ini sekitar 100 negara dan bangsa telah
meratifikasinya.
Universal Declaration of Human Rights menyatakan bahwa setiap orang
mempunyai :
a. Hak untuk hidup.
b. kemerdekaan dan keamanan badan.
c. hak untuk diakui kepribadiannya menurut hukum.
d. hak untuk memperoleh perlakuan yang sama dengan orang lain menurut
hukum.
e. hak untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana seperti diperiksa
di muka umum, dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah.
f. hak untuk masuk dan keluar wilayah suatu Negara.
g. hak untuk mendapat hak milik atas benda.
h. hak untuk bebas untuk mengutarakan pikiran dan perasaan.
i. hak untuk bebas memeluk agama serta mempunyai dan mengeluarkan
pendapat.
j. hak untuk berapat dan berkumpul.
k. hak untuk mendapatkan jaminan sosial.
l. hak untuk mendapatkan pekerjaan.
m. hak untuk berdagang.
n. hak untuk mendapatkan pendidikan.
o. hak untuk turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat.
p. hak untuk menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan.
DUHAM 1948, yang penyusunan rancangannya dilakukan oleh Komisi HAM PBB
(United Nations Commission on Human Rights) selama dua tahun sejak 1946,
merupakan “katalog” HAM yang terdiri dari 30 pasal. Dalam garis besarnya
DUHAM 1948 menetapkan hak dan kebebasan setiap orang yang harus diakui
dan dihormati serta kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap orang.
DUHAM 1948 adalah sebuah deklarasi.Sebagai dekalarasi, stricto sensu, DUHAM
1948 bukan instrumen internasional yang mengikat secara hukum. Oleh karena itu,
agar ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum, ketentuan-ketentuan
tersebut harus dituangkan ke dalam instrumen atau intrumen internasional yang
mengikat secara hukum, seperti traktat atau perjanjian (treaty), persetujuan
(agreement), konvensi (convention), kovenan (covenant), atau protokol (protocol).
Instrumen-instrumen internasional demikian akan megikat secara hukum negara-
negara yang menjadi pihak padanya melalui prosedur yang ditetapkan oleh
instrumen yang bersangkutan, seperti ratifikasi (ratification), aksesi (accession),
penerimaan (acceptance), atau persetujuan (approval).
Dalam Deklarasi Universal tentang HAM (Universal Declaration of Human Rights)
atau yang dikenal dengan istilah DUHAM, HAM terbagi ke dalam beberapa jenis,
yaitu :
Hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi)
Hak legal (hak jaminan perlindungan hukum)
Hak sipil dan politik
Hak Subsistensi ( hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang
kehidupan), serta
Hak ekonomi, hukum dan budaya.
Hak personal, hak legal, hak sipil, dan hak politik yang terdapat dalam Pasal 3 - 21
dan DUHAM tersebut memuat :
a. hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi;
b. hak bebas dari perbudakan dan penghambaan;
c. hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam,
tak berkeprimanusiaan ataupun merendahkan derajat manusia;
d. hak untuk memperoleh pengakuan hukum di mana saja secara pribadi;
e. hak untuk pengampunan hukum secara efektif;
f. hak bebas dari penangkapan, penahanan atau pembuangan yang
sewenang-wenang;
g. hak untuk peradilan yang inde-penden dan tidak memihak;
h. hak untuk praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah;
i. hak bebas dari campur tangan yang sewenang-wenang terhadap kekuasaan
pribadi, keluarga, tempat tinggal maupun surat-surat;
j. hak bebas dari serangan terhadap kehormatan dan nama baik;
k. hak atas perlindungan hukum ter-hadap serangan semacam itu;
l. hak bergerak;
m. hak memperoleh suaka;
n. hak atas satu kebangsaan;
o. hak untuk menikah dan memben-tuk keluarga;
p. hak untuk mempunyai hak milik;
q. hak bebas berpikir, berkesadaran dan beragama;
r. hak bebas berpikir dan menyatakan pendapat;
s. hak untuk berhimpun dan berserikat;
t. hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan dan hak atas akses yang
sama terhadap pelayanan masyarakat.
Sedangkan hak ekonomi, hukum dan budaya berdasarkan pernyataanDUHAM
menyangkut hal-hal sebagai berikut, yaitu:
a. hak atas jaminan hukum;
b. hak untuk bekerja;
c. hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama;
d. hak untuk bergabung ke dalam serikat-serikat buruh;
e. hakuntuk istirahat dan waktu senggang;
f. hak atas standar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan ke-
sejahteraan;
g. hak atas pendidikan;
h. hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari
masyarakat.
Sementara itu HAM di Indonesia dinyatakan dalam UUD 1945 (amandemen I-IV UUD
1945) yang memuathak asasi manusia yang terdiriatas :
a. hak kebebasan untuk mengeluarkan pendapat;
b. hak kedudukan yang sama di dalam hukum/pemerintahan;
c. hak kebebasan berkumpul;
d. hak kebebasan beragama;
e. hak penghidupan yang layak;
f. hak kebebasan berserikat;
g. hak memperoleh pengajaran atau pendidikan.
Selanjutnya secara operasional beberapa bentuk HAM yang terdapat dalam UU
Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM sebagai berikut:
a. hak hidup;
b. hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan;
c. hak mengembangkan diri;
d. hak memperoleh keadilan;
e. hak atas kebebasan pribadi;
f. hak atas rasa aman;
g. hak atas kesejahteraan;
h. hak turut serta dalam pemerintahan;
i. hak wanita;
j. hak anak.
5. HAM di Indonesia : Permasalahan dan Penegakannya.
Sejalan dengan amanat Konstitusi, Indonesia berpandangan bahwa perlindungan HAM
harus didasarkan pada prinsip bahwa hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial budaya, dan
hak pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan baik dalam
penerapan, pemantauan, maupun dalam pelaksanaannya (Wirayuda, 2005). Sesuai
dengan pasal 1 (3), pasal 55 dan 56 Piagam PBB upaya pemajuan dan perlindungan HAM
harus dilakukan melalui suatu konsep kerjasama internasional yang berdasarkan pada
prinsip saling menghormati, kesederajatan, dan hubungan antarnegara serta hukum
internasional yang berlaku.
HAM di Indonesia didasarkan pada Konstitusi NKRI, yaitu: Pembukaan UUD 1945 (alinea
I), Pancasila sila ke-4, Batang Tubuh UUD 1945 (pasal 27, 29 dan 30), UU no. 39/1999
tentang HAM dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.HAM di Indonesia menjamin
hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri,
hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan, hak atas rasa aman, hak atas
kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, dan hak anak. Program
penegakan hukum dan HAM (PP No. 7 tahun 2005) meliputi pemberantasan korupsi,
antiterorisme dan pembasmian penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya.Oleh sebab
itu, penegakan hukum dan HAM harus dilakukan secara tegas, tidak diskriminatif, dan
konsisten.
Kegiatan-kegiatan pokok penegakan HAM meliputi :
1) penguatan upaya-upaya pemberantasan korupsi melalui pelaksanaan Rencana Aksi
Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009.
2) Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) dari 2004-2009
sebagai gerakan nasional.
3) peningkatan penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana terorisme
dan penyalahgunaan narkotika serta obat berbahaya lainnya.
4) peningkatan efektivitas dan penguatan lembaga/institusi hukum maupun lembaga
yang fungsi dan tugasnya mencegah dan memberntas korupsi.
5) peningkatan efektivitas dan penguatan lembaga/institusi hukum maupun lembaga
yang fungsi dan tugasnya menegakkan hak asasi manusia.
6) peningkatan upaya penghormatan persamaan terhadap setiap warganegara di
depan hukum melalui keteladanan Kepala Negara dan pimpinan lainnya untuk
mematuhi dan mentaati hukum dan hak asasi manusia secara konsisten dan
konsekuen.
7) penyelenggaraan audit reguler atas seluruh kekayaan pejabat pemerintah dan
pejabat Negara.
8) peninjauan serta penyempurnaan berbagai konsep dasar dalam rangka mewujudkan
proses hukum yang lebih sederhana, cepat, tepat dan dengan biaya yang terjangkau
oleh semua lapisan masyarakat.
9) peningkatan berbagai kegiatan operasional penegakan hukum dan hak asasi
manusia dalam rangka menyelenggarakan ketertiban sosial agar dinamika
masyarakat dapat berjalan sewajarnya.
10) pembenahan sistem manajemen penanganan perkara yang menjamin akses public,
pengembangan sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel.
11) pengembangan sistem manajemen kelembagaan hukum yang transparan.
12) penyelamatan barang bukti akuntabilitas kinerja yang berupa dokumen/arsip
lembaga Negara dan badan pemerintahan untuk mendukung penegakan hukum dan
HAM.
13) peningkatan koordinasi dan kerjasama yang menjamin efektivitas penegakan hukum
dan HAM.
14) pembaharuan materi hukum yang terkait dengan pemberantasan korupsi.
15) peningkatan pengawasan terhadap lalu lintas orang yang melakukan perjalanan baik
ke luar maupun masuk ke wilayah Indonesia.
16) peningkatan fungsi intelejen agar aktivitas terorisme dapat dicegah pada tahap yang
sangat dini, serta meningkatkan berbagai operasi keamanan dan ketertiban; serta
17) peningkatan penanganan dan tindakan hukum terhadap penyalahgunaan narkotika
dan obat berbahaya melalui identifikasi dan memutus jaringan peredarannya,
meningkatkan penyidikan, penyelidikan, penuntutan serta menghukum para
pengedarnya secara maksimal.
2.3 Macam-Macam Hak Asasi Manusia
1. Hak asasi pribadi / personal Right
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
2. Hak asasi politik / Political Right
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
2.4 Hak Asasi Manusia dalam UU No. 39 Tahun 1999
Hak asasi manusia di Indonesia didasarkan pada falsafah dan ideology pancasila, pembukaan UUD 1945, batang tubuh UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentanghak asasi manusia, dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan hak asasimanusia.UU No. 39 Tahun 1999 mencantumkan asas-asas dasar hak asasi manusiadiantaranya:Beberapa asas dasar hak asasi manusia yang tercantum dalam UU No. 39 Tahun1999 adalah:
a. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuanhokum
yang adil serta mendapat kepastian hokum dan perlakuan yang sama didepan hukum.
b. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia, tanpa diskriminasi.
c. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran danhati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
dan persamaan di hadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hokum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangidalam keadaan apa
pun dan oleh siapa pun.
d. Setiap orang diakui sebagai pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan
serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabatkemanusiaannya di depan
hukum.
e. Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dan pengadilan
yang objektif dan tidak berpihak.
2.5 Pelanggaran Hak Asasi Manusia / HAM
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak
akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM).
Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan
pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja
atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan
atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin
oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku.
Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Pelanggaran HAM
adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk aparat negara
baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok
orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau
dikhawatirksn tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakanya
Jenis Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Pelanggaran HAM dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :
a. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
1. Pembunuhan masal (genosida)
Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa,
ras, etnis, dan agama dengan cara melakukan tindakan kekerasan (UUD
No.26/2000 Tentang Pengadilan HAM)
2. Kejahatan Kemanusiaan
Kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan berupa
serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil seperti
pengusiran penduduk secara paksa, pembunuhan,penyiksaan, perbudakkan dll.
b. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :
1. Pemukulan
2. Penganiayaan
3. Pencemaran nama baik
4. Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
5. Menghilangkan nyawa orang lain
2.3 Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
Setiap manusia selalu memiliki dua keinginan, yaitu keinginan berbuat baik, dan
keinginan berbuat jahat. Keinginan berbuat jahat itulah yang menimbulkan
dampak pada pelanggaran hak asasi manusia, seperti membunuh, merampas
harta milik orang lain, menjarah dan lain-lain. Pelanggaran hak asasi manusia
dapat terjadi dalam interaksi antara aparat pemerintah dengan masyarakat dan
antar warga masyarakat. Namun, yang sering terjadi adalah antara aparat
pemerintah dengan masyarakat. Apabila dilihat dari perkembangan sejarah
bangsa Indonesia, ada beberapa peristiiwa besar pelanggaran hak asasi manusia
yang terjadi dan mendapat perhatian yang tinggi dari pemerintah dan
masyarakat Indonesia, seperti :
a. Kasus Tanjung Priok (1984)
Kasus tanjung Priok terjadi tahun 1984 antara aparat dengan warga sekitar yang
berawal dari masalah SARA dan unsur politis. Dalam peristiwa ini diduga terjadi
pelanggaran HAM dimana terdapat rarusan korban meninggal dunia akibat
kekerasan dan penembakan.
b. Kasus terbunuhnya Marsinah, seorang pekerja wanita PT Catur Putera Surya
Porong, Jatim (1994)
Marsinah adalah salah satu korban pekerja dan aktivitas yang hak-hak pekerja di
PT Catur Putera Surya, Porong Jawa Timur. Dia meninggal secara mengenaskan
dan diduga menjadi korban pelanggaran HAM berupa penculikan, penganiayaan
dan pembunuhan.
c. Kasus terbunuhnya wartawan Udin dari harian umum bernas (1996)
Wartawan Udin (Fuad Muhammad Syafruddin) adalah seorang wartawan dari
harian Bernas yang diduga diculik, dianiaya oleh orang tak dikenal dan akhirnya
ditemukan sudah tewas.
d. Peristiwa Aceh (1990)
Peristiwa yang terjadi di Aceh sejak tahun 1990 telah banyak memakan korban,
baik dari pihak aparat maupun penduduk sipil yang tidak berdosa. Peristiwa Aceh
diduga dipicu oleh unsur politik dimana terdapat pihak-pihak tertentu yang
menginginkan Aceh merdeka.
e. Peristiwa penculikan para aktivis politik (1998)
Telah terjadi peristiwa penghilangan orang secara paksa (penculikan) terhadap
para aktivis yang menurut catatan Kontras ada 23 orang (1 orang meninggal, 9
orang dilepaskan, dan 13 orang lainnya masih hilang).
Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Lingkungan Sekitar
1. Terjadinya penganiayaan pada praja STPDN oleh seniornya dengan dalih
pembinaan yang menyebabkan meninggalnya Klip Muntu pada tahun 2003.
2. Dosen yang malas masuk kelas atau malas memberikan penjelasan pada
suatu mata kuliah kepada mahasiswa merupakan pelanggaran HAM ringan
kepada setiap mahasiswa
3. Para pedagang yang berjualan di trotoar merupakan pelanggaran HAM
terhadap para pejalan kaki, sehingga menyebabkan para pejalan kaki berjalan di
pinggir jalan sehingga sangat rentan terjadi kecelakaan.
4. Para pedagang tradisioanal yang berdagang di pinggir jalan merupakan
pelanggaran HAM ringan terhadap pengguna jalan sehingga para pengguna jalan
tidak bisa menikmati arus kendaraan yang tertib dan lancar.
5. Orang tua yang memaksakan kehendaknya agar anaknya masuk pada
suatu jurusan tertentu dalam kuliahnya merupakan pelanggaran HAM terhadap
anak, sehingga seorang anak tidak bisa memilih jurusan yang sesuai dengan
minat dan bakatnya.
2.5 Instrumen Nasional HAM
1. UUD 1945 : Pembukaan UUD 1945, alenia I – IV; Pasal 28A sampai dengan 28J;
Pasal 27 sampai dengan 34
2. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3. UU No. 36 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
4. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
5.UU No. 7 Tahun 1984 tentang Rativikasi Konvensi PBB tentang penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
6.UU No. 8 tahun 1998 tentang pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau penghukuman lain yang Kejam, tidak Manusiawi atau
Merendahkan Martabat Manusia
7.UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO nomor 182 mengenai
pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan
Terburuk untuk Anak
8.UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang
hak-hak ekonomi, Sosial dan Budaya
9. UU No. 12 tahun 2005 tentang Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil
dan Politik
Kasus pelanggaran HAM ini dapat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :
a. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
Pembunuhan masal (genosida)
Pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan
Penyiksaan
Penghilangan orang secara paksa
Perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis
b. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :
Pemukulan
Penganiayaan
Pencemaran nama baik
Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
Menghilangkan nyawa orang lain
Beberapa Contoh Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia
a. Kasus Tanjung Priok (1984)
Kasus tanjung Priok terjadi tahun 1984 antara aparat dengan warga sekitar yang berawal dari masalah SARA dan unsur politis. Dalam peristiwa ini diduga terjadi pelanggaran HAM dimana terdapat rarusan korban meninggal dunia akibat kekerasan dan penembakan.
b. Kasus terbunuhnya Marsinah, seorang pekerja wanita PT Catur Putera Surya Porong, Jatim (1994)
Marsinah adalah salah satu korban pekerja dan aktivitas yang hak-hak pekerja di PT Catur Putera Surya, Porong Jawa Timur. Dia meninggal secara mengenaskan dan diduga menjadi korban pelanggaran HAM berupa penculikan, penganiayaan dan pembunuhan.
c. Kasus terbunuhnya wartawan Udin dari harian umum bernas (1996)
Wartawan Udin (Fuad Muhammad Syafruddin) adalah seorang wartawan dari harian Bernas yang diduga diculik, dianiaya oleh orang tak dikenal dan akhirnya ditemukan sudah tewas.
d. Peristiwa Aceh (1990)
Peristiwa yang terjadi di Aceh sejak tahun 1990 telah banyak memakan korban, baik dari pihak aparat maupun penduduk sipil yang tidak berdosa. Peristiwa Aceh diduga dipicu oleh unsur politik dimana terdapat pihak-pihak tertentu yang menginginkan Aceh merdeka.
e. Peristiwa penculikan para aktivis politik (1998)
Telah terjadi peristiwa penghilangan orang secara paksa (penculikan) terhadap para aktivis yang menurut catatan Kontras ada 23 orang (1 orang meninggal, 9 orang dilepaskan, dan 13 orang lainnya masih hilang).
f. Peristiwa Trisakti dan Semanggi (1998)
Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998 (4 mahasiswa meninggal dan puluhan lainnya luka-luka). Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998 (17 orang warga sipil
meninggal) dan tragedi Semanggi II pada 24 September 1999 (1 orang mahasiswa meninggal dan 217 orang luka-luka).
g. Peristiwa kekerasan di Timor Timur pasca jejak pendapat (1999)
Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia menjelang dan pasca jejak pendapat 1999 di timor timur secara resmi ditutup setelah penyerahan laporan komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia - Timor Leste kepada dua kepala negara terkait.
h. Kasus Ambon (1999)
Peristiwa yang terjadi di Ambon ni berawal dari masalah sepele yang merambat kemasalah SARA, sehingga dinamakan perang saudara dimana telah terjadi penganiayaan dan pembunuhan yang memakan banyak korban.
i. Kasus Poso (1998 – 2000)
Telah terjadi bentrokan di Poso yang memakan banyak korban yang diakhiri dengan bentuknya Forum Komunikasi Umat Beragama (FKAUB) di kabupaten Dati II Poso.
j. Kasus Dayak dan Madura (2000)
Terjadi bentrokan antara suku dayak dan madura (pertikaian etnis) yang juga memakan banyak korban dari kedua belah pihak.
k. Kasus TKI di Malaysia (2002)
Terjadi peristiwa penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Wanita Indonesia dari persoalan penganiayaan oleh majikan sampai gaji yang tidak dibayar.
l. Kasus bom Bali (2002) DAN beberapa tempat lainnya
Telah terjadi peristiwa pemboman di Bali, yaitu tahun 2002 dan tahun 2005 yang dilakukan oleh teroris dengan menelan banyak korban rakyat sipil baik dari warga negara asing maupun dari warga negara Indonesia sendiri.
J. Kasus Pembunuhan Aktivis HAM Munir
Kasus munir merupakan contoh lemahnya penegakkan HAM di Indonesia. Kasus Munir juga merupakan hasil dari sisa-sisa pemerintahan orde baru yang saatitu lebih bersifat otoriter. Seharusnya kasus Munir ini dijadikan suatu pelajaran untuk bangsa ini agar meninggalkan cara-cara yang bersifat otoriter karena setiap manusia atau warga Negara memiliki hak untuk memperoleh kebenaran, hak hidup, hak memperoleh keadilan, dan hak atas rasa aman. Sedangkan bangsa Indonesia saat ini.
Selain itu dapat kita temukan pelanggaran HAM di sekitar kita yang menimpa anak-anak. Misalnya banyak anak di bawah umur dipaksa untuk bekerja mencari uang dalam memenuhi kebutuhannya antara lain menjadi pengamen di jalanan, menjadi buruh, bahkan dieksploitasi untuk dipekerjakan yang tidak patut. Dari anak-anak itu telah kehilangan hak anak yang berupa perlindungan oleh orang tua , keluarga masyarakat dan Negara dari eksploitasi ekonomi dan pekerjaan. Ada juga sejumlah kasus anak yang melanggar hokum misalkan pencurian, penganiayaan, penggunaan narkoba, pemerkosaan, perampokan, penjambretan, curanmor dan perkelahian.
Lembaga Penegak HAM.
Untuk menjaga agar setiap menghormati HAM orang lain, maka perlu adanya penegakan
dan pendidikan HAM. Penegakan HAM dilakukan terhadap setiap pelanggaran
HAM.Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang
termasuk aparat negara baik sengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang
secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut HAM
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang.
Untuk mengatasi masalah penegakan HAM, maka dalam Bab VII Pasal 75 UU tentang
HAM, negara membentuk KOMNAS HAM, dan Bab IX Pasal 104 tentang pengadilan HAM,
serta peran serta masyarakat seperti dikemukakan dalam Bab XIII Pasal 100 - 103.
Lembaga penegak HAM meliputi KOMNAS HAM, pengadilan HAM, dan partisipasi
masyaraklat.
Komnas HAM :
Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga
negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan,
pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.
Komnas HAM bertujuan :
1) mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia
sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia;
2) meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna
berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya
berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Komnas HAM mempunyai kelengkapan yang terdiri dari Sidang paripurna dan Subkomisi.Di
samping itu, Komnas HAM mempunyai Sekretariat Jenderal sebagai unsur pelayanan.
Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang (bidang pengkajian penelitian) :
1) melakukan pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional hak asasi
manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan
atau ratifikasi;
2) pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk
memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia;
3) penerbitan hasil pengkajian dari penelitian;
4) studi kepustakaan, studi lapangan dan studi banding di negara lain mengenai hak
asasi manusia;
5) pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakan,
dan pemajuan hak asasi manusia; dan
6) kerjasama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga, atau pihak
lainnya, baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak
asasi manusia.
Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :
1) penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat
Indonesia;
2) upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui
lembaga pendidikan formal dan non formal serta berbagai kalangan lainnya; dan
3) kerjasama dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional,
regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.
Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pemantauan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :
1) pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil
pengamatan tersebut;
2) penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat
yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi
manusia; pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang
diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya;
3) pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi
pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan;
4) peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
5) pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis
atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan
persetujuan Ketua Pengadilan;
6) pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat
lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua
Pengadilan;
7) pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara
tertentu yang sedang dalam proes peradilan, bilamana dalam perkara tersebut
terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara
pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib
diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :
1) perdamaian kedua belah pihak;
2) penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan
penilaian ahli;
3) pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui
pengadilan;
4) penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada
Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya;
5) penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.
Di samping kewenangan menurut UU No 39 Tahun 1999, Komnas HAM juga berwenang
melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan
dikeluarkannya UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan
Undang-undang No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Komnas HAM adalah lembaga yang berwenang menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia
yang berat. Dalam melakukan penyelidikan ini Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc
yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat.
Pengadilan HAM :
Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah
hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Pengadilan HAM
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran haksasi
manusia yang berat. Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas
teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Pengadilan
HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia
yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun
pada saat kejahatan dilakukan.
Kasus pembumihangusan di Timor-timur telah mendorong dunia internasional agar dibentuk
peradilan internasional (internasional tribunal) bagi para pelakunya.Desakan untuk adanya
peradilan internasional khususnya bagi pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-
timur semakin menguat bahkan komisi Tinggi PBB untuk Hak-hak asasi manusia telah
mengeluarkan resolusi untuk mengungkapkan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM
berat di Timor-Timur. Atas resolusi Komisi HAM PBB tersebut Indonesia secara tegas
menolak dan akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan menggunakan
ketentuan nasional karena konstitusi Indonesia memungkinkan untuk menyelenggarakan
peradilan hak asasi manusia. Atas penolakan tersebut, mempunyai konsekuensi bahwa
Indonesia harus melakukan proses peradilan atas terjadinya pelanggaran HAM di Timor-
Timur .
Dorongan untuk adanya pembentukan peradilan internasional ini juga didasarkan atas
ketidakpercayaan dunia internasional pada sistem peradilan Indonesia jika dilihat antara
keterkaitan antara pelaku kejahatan yang merupakan alat negara. Pelanggaran HAM di
Timor-timur mempunyai nuansa khusus karena adanya penyalahgunaan kekuasaan dalam
arti pelaku berbuat dalam konteks pemerintahan dan difasilitasi oleh kekuasaan pemerintah
sehingga akan sulit untuk diadakan pengadilan bagi pelaku kejahatan secara fair dan tidak
memihak.
Dalam prakteknya jika melihat bekerjanya sistem peradilan pidana di negara hukum
Indonesia ini, belum mampu memberikan keadilan yang subtansial.Keterkaitan dengan
kebijakan yang formal/legalistik seringkali dijadikan alasan.Peradilan seringkali memberikan
toleransi terhadap kejahatan-kejahatan tertentu, dengan konsekuensi yuridis pelaku
kejahatannya harus dibebaskan.Termasuk terhadap kejahatan atau pelanggaran HAM berat
ini (2000, Kleden).
Partisipasi Masyarakat :
Partisipasi masyarakat dalam penegakan HAM diatur dalam Pasal 100 -103 UU tentang
HAM. Partisipasi masyarakat dapat berbentuk sebagai berikut :
1) Setiap orang, organisasi politik, organisasi masyarakat, LSM, berhak berpartisipasi
dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM.
2) Masyarakat juga berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran HAM
kepada Komnas HAM atau lembaga kemasyarakatan lain yang berwenang dalam
rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM.
3) Masyarakat berhak mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang
berkaitan dengan HAM kepada Komnas HAM atau lembaga lainnya.
4) Masyarakat dapat bekerja sama dengan Komnas HAM melakukan penelitian,
pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai HAM.
Upaya mengatasi pelanggaran hak asasi manusia
Upaya penanganan pelanggaran HAM di Indonesia yang bersifat berat, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan HAM, sedangkan untuk kasus
pelanggaran HAM yang biasa diselesaikan melalui pengadilan umum.Beberapa
upaya yang dapat dilakukan oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari
untuk menghargai dan menegakkan HAM antara lain dapat dilakukan melalui
perilaku sebagai berikut
1. Mematuhi instrumen-instrumen HAM yang telah ditetapkan.
2. Melaksanakan hak asasi yang dimiliki dengan penuh tanggung jawab.
3. Memahami bahwa selain memiliki hak asasi, setiap orang juga memiliki
kewajiban asasi yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
4. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
5. Menghormati hak-hak orang lain.
PELAKSANAAN HAM DI INDONESIA DALAM KERANGKA HAM INTERNASIONAL
Indonesia adalah sebuah negara demokrasi. Indonesia merupakan negara yang sangat
menghargai kebebasan. Juga, Indonesia sangat menghargai hak asasi manusia(HAM). Ini bisa dilihat
dengan adanya TAP No. XVII/MPR/1998 tentang HAM, Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang
HAM dan UU No. 26/2000 tentang peradilan HAM yang cukup memadai. Ini merupakan tonggak
baru bagi sejarah HAM Indonesia.ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi Indonesia, karena baru
Indonesia dan Afrika Selatan yang mempunyai undang undang peradilan HAM. Aplikasi dari undang
undang ini adalah sudah mulai adanya penegakan HAM yang lebih baik, dengan ditandai dengan
adanya komisi nasional HAM dan peradilan HAM nasional.
Dengan adanya penegakan HAM yang lebih baik ini, membuat pandangan dunia terhadap
Indonesia kian membaik. Tapi, meskipun penegakan HAM di Indonesia lebih baik, Indonesia tidak
boleh senang dulu, karena masih ada setumpuk PR tentang penegakan HAM di Indonesia yang belum
tuntas. Diantara
PR itu adalah masalah kekerasan di Aceh, di Ambon, Palu, dan Irian Jaya tragedy Priok,
kekerasan pembantaian ”dukun santet” di Banyuwangi, Ciamis, dan berbagai daerah lain, tragedi Mei
di Jakarta, Solo, dan berbagai kota lain, tragedi Sabtu Kelabu, 27 Juli 1996, penangkapan yang salah
tangkap, serta rentetan kekerasan kerusuhan massa terekayasa di berbagai kota, yang bagaikan kisah
bersambung sepanjang tahun-tahun terakhir pemerintahan kedua: tragedi Trisakti, tragedy Semanggi,
kasus-kasus penghilangan warga negara secara paksa, dan sebagainya.
Pemerintah di negeri ini, harus lebih serius dalam menangani kasus HAM ini jika ingin lebih
dihargai dunia. Karena itu, pemerintah harus membuat aturan aturan yang lebih baik. Juga kejelasan
pelaksanaan aturan itu. Komnas HAM sebagai harus melakukan gebrakan diantaranya :
1. Komnas HAM mendesak pemerintah dan DPR agar segera meratifikasi berbagai instrumen
internasional hak asasi manusia, dengan memberi prioritas pada Statuta Roma Mahkamah
Pidana Internasional (Rome Statute International Criminal Court), Protokol Opsional
Konvensi Anti Penyiksaan (Optional Protocol Convention Against Torture), Konvensi
Internasional tentang Penyandang Cacat, Konvensi Internasional tentang Pekerja HAM,
Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang Dari Tindakan
Penghilangan Secara Paksa. Dalam rangka untuk memberikan perlindungan yang optimal
bagi para Tenaga Kerja Indonesia, pemerintah dan DPR agar segera meratifikasi juga
Konvensi Internasional Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya
(International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and
Members of Their Families). Dalam kontek ini hendaknya pemerintah segera mengeluarkan
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2009 – 2014.
2. Perlu ditinjau kembali pendekatan hukum yang represif dalam penyelesaian konflik politik di
Papua yang diterapkan saat ini. Langkah yang dilakukan sekarang lebih banyak melahirkan
kekerasan dan jatuhnya korban. Komnas HAM mendesak perlunya dilakukan langkah-
langkah politik daripada hukum dalam penyelesaian konflik di Papua. Langkah dialog atau
perundingan sudah harus dipikirkan oleh pemerintah.
3. Penuntasan berbagai bentuk kasus pelanggaran hak asasi manusia merupakan kewajiban
pemerintah, oleh karena itu, Komnas HAM mendesak agar pemerintah secara berkala
menginformasikan kepada publik mengenai status perkembangan penyelesaian kasus-kasus
pelanggaran hak asasi manusia yang ditangani. Hal ini perlu dilakukan untuk memberikan
keyakinan kepada masyarakat tentang tidak adanya kemungkinan untuk menutupi
keterlibatan aparatur pemerintah serta menjamin tidak adanya praktik-praktik impunity bagi
mereka yang terlibat. Langkah ini juga menjadi penting dalam rangka terus membangun
suatu kepercayaan publik terhadap kesungguhan pemerintah untuk melindungi, menegakkan,
memajukan dan memenuhi hak asasi manusia.
Pejabaran HAM dalam UUD 1945
Pengingkaran terhadap hak berarti mengingkari martabat kemanusiaan.Oleh karena itu,
negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan
melindungi hak asasi manusia pada setiapmanusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa HAM
harus menjadi titik tolak dantujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa danbernegara. Kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain, hal
initercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalambatang
tubuhnya. Pengaturan mengenai HAM pada dasarnya sudah tercantum dalam
berbagaiperaturan perundang-undangan. Namun untuk memayungi seluruh
peraturanperundang-undangan yang sudah ada, perlu dibentuk UU tentang HAM, yaituUU
No.39 Tahun 1999. Undang-undang ini secara rinci mengatur mengenai hak-hak asasi
manusia, selain itu diatur juga mengenai kewajiban dasar, serta tugasdan tanggung jawab
pemerintah dalam penegakan HAM. Disamping itu, UU ini mengatur menegenai
Pembentukan Komisi NasionalHak Asasi Manusia sebagai lembaga mandiri yang
mempunyai fungsi, tugas,wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengkajian,
penelitian,penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang HAM. Dalam UU No.39 Tahun
1999 diatur pula tentang partisipasi masyarakatberupa pengaduan dan gugatan atas
pelanggaran HAM, pengajuan usulanmengenai perumusan kebijakan yang berkaitan
dengan HAM kepada Komnas HAM, penelitian, pendidikan dan penyebarluasan informasi
mengenai HAM.
Mengembangkan Pendidikan HAM.
Pendidikan HAM sebagai proses pemberdayaan pendidikan pada dasarnya memiliki sifat
antisipatoris dan emansipatoris, yaitu selalu mengacu ke masa depan dan selalu
mempersiapkan generasi muda untuk kehidupan masa depan (Muchtar Buchori, Basis
2000). Pendidikan memang tidak dapat berbuat apa-apa untuk masa sekarang, tidak juga
untuk memperbaiki keadaan ekonomi dan politik kita. Akan tetapi, pendidikan dapat berbuat
banyak untuk turut membentuk kehidupan ekonomi dan politik yang lebih baik di masa
depan. Dalam konteks ini, pendidikan HAM dimaksudkan sebagai proses penyadaran
dan pemberdayaan (conscientization and empowering) masyarakat akan hak dan
tanggung jawab sosial yang dipikulnya.Membentuk masyarakat berperadaban (civilized
society) adalah tujuan sosialnya, sementara tujuan akhirnya adalah kearifan serta
kebahagiaan seluruh umat manusia. Dengan demikian pendidikan HAM harus diupayakan
sebagai wahana pembentuk dan pengembangan pribadi dalam upaya pembentukan
masyarakat yang beradab (civil society) yang penuh kearifan dan kebahagiaan, lahir
maupun batin.
Hakekat dari tujuan akhir (high purpose) pendidikan HAM adalah menciptakan kemakmuran
dan kebahagiaan masyarakat di alam semesta. Dengan kata lain, tujuan pendidikan HAM
adalah membentuk masyarakat yang sarat moralitas. Untuk mewujudkannya, langkah nyata
yang diperlukan adalah menggalakkan pemahaman tentang HAM, diantaranya dapat
dilakukan melalui sosialisasi nilai-nilai HAM mulai dari sekolah dasar sampai perguruan
tinggi. Upaya ini dapat pula dilakukan melalui kampanye, publikasi media massa.Dr. Seto
Mulyadi berpendapat bahwa pembelajaran HAM sejak dini mulai dari anak-anak merupakan
tuntutan bagi pembangunan di masa mendatang. Dr. sri Untari, ahli psikologi sosial juga
menyatakan bahwa pembelajaran HAM harus disesuaikan dengan tingkatan usia dan
golongan masyarakat, serta adanya keselarasan antara pembelajaran HAM di dalam dan di
luar rumah agar tidak ada benturan nilai.
Pengajaran HAM sejak dini dilaksanakan tidak hanya bertujuan sebagai pengetahuan
(knowledge) tentang HAM tetapi juga mengembangkan sikap (attitude) dan keterampilan
(skills).
Landasan Hukum Komnas HAM :
Pada awalnya, Komnas HAM didirikan dengan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993
tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sejak 1999 keberadaan Komnas HAM
didasarkan pada undang-undang, yakni Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang juga
menetapkan keberadaan, tujuan, fungsi ,keanggotaan, asas, kelengkapan, serta tugas dan
wewenang Komnas HAM. Di samping kewenangan menurut UU No 39 Tahun 1999,
Komnas HAM juga berwenang melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi
manusia yang berat dengan dikeluarkannya UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia.
Berdasarkan Undang-undang No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komnas
HAM adalah lembaga yang berwenang menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang
berat. Dalam melakukan penyelidikan ini Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang
terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat. Instrumen Acuan
Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang guna mencapai tujuannya Komnas HAM
menggunakan sebagai acuan instrumen-instrumen yang berkaitan dengan HAM, baik
nasional maupun Internasional.
Instrumen nasional:
a) UUD 1945 beserta amendemennya;
b) Tap MPR No. XVII/MPR/1998;
c) UU No 39 Tahun 1999;
d) UU No 26 tahun 2000;
e) Peraturan perundang-undangan nasional lain yang terkait.
Instrumen Internasional:
a) Piagam PBB, 1945;
b) Deklarasi Universal HAM 1948;
c) Instrumen internasional lain mengenai HAM yang telah disahkan dan diterima oleh
Indonesia.
Perbedaan HAM dalam pandangan Islam dan BaratHak Asasi manusia menurut pandangan barat semata-mata bersifat antroposentris artinya segala sesuatu berpusat kepada
manusia. Dengan demikian manusia sangat dipentingkan. Sebaliknya HAM menurut pandangan islam bersifat teosentris
artinya segala sesuatu berpusat kepada Tuhan. Dengan demikian Tuahan sangat dipentingkan. Dalam hungan ini A.K Brohi
menyatakan berbeda dengan pendekatan barat, strategi islam sangat mementingkan penghargaan kepada hak hak asasi dan
kemerdekaan dasar manusia sebagai sebuah aspek kualitas dari kesadaran keagamaan yang terpatri didalam hati, pikiran,
dan jiwa penganutnya. Perspektif islam sungguh sungguh bersifat teosentris.
Perbedaan yang fundamental antara hak asasi manusia menurut pemikiran barat dan hak asasi manusia menurut pemikiran
islam. Makna teosentris bagi orang islam adalah manusia pertama-tama harus meyakini ajarannya yang dirumuskan dalam
dua kalimat syahadat, baru setelah itu manusia melakukan perbuatan baik menurut isi keyakinannya itu.
Adapun dua peristiwa dalam sejarah dunia yang menghasilkan rumusan yang mirip dengan rumusan hak-hak asasi manusia
ialah Revolusi Amerika yang di mulai pada Tahun 1776 dan Revolusi Prancis yang meletus pada Tahun 1789. Revolusi
amerika menghasilkan prnyataan kemerdekaan. Ketika itu, tiga belas daerah jajahan inggris di pantai timur benua Amerika
Utara melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan inggris. Sejak itu berdirilah Negara Amerika Serikat. Dalam pernyataan
kemerdekaan itu terdapat rumusan sebagai berikut, “..bahwa semua orang di ciptakan sama, bahwabahwa mereka di anugrahi
hak-hak tertentu oleh tuhan maha pencipta…”
(1) HAM Menurut Konsep Barat
Istilah hak asasi manusia baru muncul setelah Revolusi Perancis, dimana para tokoh borjuis berkoalisi dengan
tokoh-tokoh gereja untuk merampas hak-hak rakyat yang telah mereka miliki sejak lahir. Akibat dari penindasan
panjang yang dialami masyarakat Eropa dari kedua kaum ini, muncullah perlawanan rakyat dan yang akhirnya
berhasil memaksa para raja mengakui aturan tentang hak asasi manusia.
Diantaranya adalah pengumuman hak asasi manusia dari Raja John kepada rakyat Inggris tahun 1216. Di
Amerika pengumuman dilakukan tahun 1773. Hak asasi ini lalu diadopsi oleh tokoh-tokoh Revolusi Perancis
dalam bentuk yang lebih jelas dan luas, serta dideklarasikan pada 26 Agustus 1789. Kemudian deklarasi
Internasional mengenai hak-hak asasi manusia dikeluarkan pada Desember 1948.
Akan tetapi sebenarnya bagi masyarakat muslim, belum pernah mengalami penindasan yang dialami Eropa,
dimana sistem perundang-undangan Islam telah menjamin hak-hak asasi bagi semua orang sesuai dengan aturan
umum yang diberikan oleh Allah kepada seluruh ummat manusia.
Dalam istilah modern, yang dimaksud dengan hak adalah wewenang yang diberikan oleh undang-undang
kepada seseorang atas sesuatu tertentu dan nilai tertentu. Dan dalam wacana modern ini, hak asasi dibagi
menjadi dua:
a. Hak asasi alamiah manusia sebagai manusia, yaitu menurut kelahirannya, seperti: hak hidup, hak
kebebasan pribadi dan hak bekerja.
b. Hak asasi yang diperoleh manusia sebagai bagian dari masyarakat sebagai anggota keluarga dan
sebagai individu masyarakat, seperti: hak memiliki, hak berumah-tangga, hak mendapat keamanan, hak
mendapat keadilan dan hak persamaan dalam hak.
Terdapat berbagai klasifikasi yang berbeda mengenai hak asasi manusia menurut pemikiran barat, diantaranya :
1. Pembagian hak menurut hak materiil yang termasuk di dalamnya; hak keamanan, kehormatan dan
pemilihan serta tempat tinggal, dan hak moril, yang termasuk di dalamnya: hak beragama, hak sosial
dan berserikat.
2. Pembagian hak menjadi tiga: hak kebebasan kehidupan pribadi, hak kebebasan kehidupan rohani, dan
hak kebebasan membentuk perkumpulan dan perserikatan.
3. Pembagian hak menjadi dua: kebebasan negatif yang memebentuk ikatan-ikatan terhadap negara untuk
kepentingan warga; kebebasan positif yang meliputi pelayanan negara kepada warganya.
Dapat dimengerti bahwa pembagian-pembagian ini hanya melihat dari sisi larangan negara menyentuh hak-hak
ini. Sebab hak asasi dalam pandangan barat tidak dengan sendirinya mengharuskan negara memberi jaminan
keamanan atau pendidikan, dan lain sebagainya. Akan tetapi untuk membendung pengaruh Sosialisme dan
Komunisme, partai-partai politik di Barat mendesak agar negara ikut campur-tangan dalam memberi jaminan
hak-hak asasi seperti untuk bekerja dan jaminan sosial.
(2) HAM Menurut Konsep Islam
ak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak
merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw pernah
bersabda: "Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu." (HR. Bukhari dan
Muslim). Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai
kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.
Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu tanpa ada perbedaan
jenis kelamin, tidak juga perbedaan muslim dan non-muslim. Islam tidak hanya menjadikan itu kewajiban
negara, melainkan negara diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini. Dari sinilah kaum
muslimin di bawah Abu Bakar memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat.
Negara juga menjamin tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak ini dari pihak individu. Sebab pemerintah
mempunyai tuga sosial yang apabila tidak dilaksanakan berarti tidak berhak untuk tetap memerintah. Allah
berfirman:
"Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya di muka bumi, niscaya mereka menegakkan shalat,
menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar. Dan kepada Allah-lah kembali
semua urusan."(QS. 22: 4)
Jaminan Hak Pribadi
Jaminan pertama hak-hak pribadi dalam sejarah umat manusia adalah dijelaskan Al-Qur’an:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin
dan memberi salam kepada penghuninya... dst." (QS. 24: 27-28)
Dalam menjelaskan ayat ini, Ibnu Hanbal dalam Syarah Tsulatsiyah Musnad Imam Ahmad menjelaskan bahwa
orang yang melihat melalui celah-celah ointu atau melalui lubang tembok atau sejenisnya selain membuka pintu,
lalu tuan rumah melempar atau memukul hingga mencederai matanya, maka tidak ada hukuman apapun
baginya, walaupun ia mampu membayar denda.
Jika mencari aib orang dilarang kepada individu, maka itu dilarang pula kepada negara. Penguasa tidak
dibenarkan mencari-cari kesalahan rakyat atau individu masyarakat. Rasulullah saw bersabda: "Apabila
pemimpin mencari keraguan di tengah manusia, maka ia telah merusak mereka." Imam Nawawi
dalam Riyadus-Shalihin menceritakan ucapan Umar: "Orang-orang dihukumi dengan wahyu pada masa
rasulullah saw. Akan tetapi wahyu telah terhenti. Oleh karenanya kami hanya menghukumi apa yang kami lihat
secara lahiriah dari amal perbuatan kalian."
Muhammad Ad-Daghmi dalam At-Tajassus wa Ahkamuhu fi Syari’ah Islamiyah mengungkapkan bahwa para
ulama berpendapat bahwa tindakan penguasa mencari-cari kesalahan untuk mengungkap kasus kejahatan dan
kemunkaran, menggugurkan upayanya dalam mengungkap kemunkaran itu. Para ulama menetapkan bahwa
pengungkapan kemunkaran bukan hasil dari upaya mencari-cari kesalahan yang dilarang agama.
Perbuatan mencari-cari kesalahan sudah dilakukan manakala muhtasib telah berupaya menyelidiki gejala-gejala
kemunkaran pada diri seseorang, atau dia telah berupaya mencari-cari bukti yang mengarah kepada adanya
perbuatan kemunkaran. Para ulama menyatakan bahwa setiap kemunkaran yang berlum tampak bukti-buktinya
secara nyata, maka kemunkaran itu dianggap kemunkaran tertutup yang tidak dibenarkan bagi pihak lain untuk
mengungkapkannya. Jika tidak, maka upaya pengungkapan ini termasuk tajassus yang dilarang agama.
(3) Nash Qur’an dan Sunnah tentang HAM
eskipun dalam Islam, hak-hak asasi manusia tidak secara khusus memiliki piagam, akan tetapi Al-Qur’an dan
As-Sunnah memusatkan perhatian pada hak-hak yang diabaikan pada bangsa lain. Nash-nash ini sangat banyak,
antara lain:
1. Dalam al-Qur’an terdapat sekitar empat puluh ayat yang berbicara mengenai paksaan dan kebencian.
Lebih dari sepuluh ayat bicara larangan memaksa, untuk menjamin kebebasan berfikir, berkeyakinan
dan mengutarakan aspirasi. Misalnya:"Kebenaran itu datangnya dari Rabb-mu, barangsiapa yang
ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir." (QS. 18: 29)
2. Al-Qur’an telah mengetengahkan sikap menentang kedzaliman dan orang-orang yang berbuat dzalim
dalam sekitar tiga ratus dua puluh ayat, dan memerintahkan berbuat adil dalam lima puluh empat ayat
yang diungkapkan dengan kata-kata:‘adl, qisth dan qishas.
3. Al-Qur’an mengajukan sekitar delapan puluh ayat tentang hidup, pemeliharaan hidup dan penyediaan
sarana hidup. Misalnya: "Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia
telah membunuh manusia seluruhnya." (QS. 5: 32). Juga Qur’an bicara kehormatan dalam sekitar dua
puluh ayat.
1. Al-Qur’an menjelaskan sekitar seratus lima puluh ayat tentang ciptaan dan makhluk-makhluk, serta
tentang persamaan dalam penciptaan. Misalnya: "... Orang yang paling mulia diantara kamu adalah
yang paling bertawa diantara kamu."(QS. 49: 13)
2. Pada haji wada’ Rasulullah menegaskan secara gamblang tentang hak-hak asasi manusia, pada lingkup
muslim dan non-muslim, pemimpin dan rakyat, laki-laki dan wanita. Pada khutbah itu nabi saw juga
menolak teori Yahudi mengenai nilai dasar keturunan.
Manusia di mata Islam semua sama, walau berbeda keturunan, kekayaan, jabatan atau jenis kelamin.
Ketaqwaan-lah yang membedakan mereka. Rakyat dan penguasa juga memiliki persamaan dalam Islam. Yang
demikian ini hingga sekarang belum dicapai oleh sistem demokrasi modern. Nabi saw sebagai kepala negara
juga adalah manusia biasa, berlaku terhadapnya apa yang berlaku bagi rakyat. Maka Allah memerintahkan
beliau untuk menyatakan: "Katakanlah bahwa aku hanyalah manusia biasa, hanya saja aku diberi wahyu,
bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang Esa." (QS. 18: 110).
(4) Rumusan HAM dalam Islam
pa yang disebut dengan hak asasi manusia dalam aturan buatan manusia adalah keharusan (dharurat) yang mana
masyarakat tidak dapat hidup tanpa dengannya. Para ulama muslim mendefinisikan masalah-masalah dalam
kitab Fiqh yang disebut sebagai Ad-Dharurat Al-Khams, dimana ditetapkan bahwa tujuan akhir syari’ah Islam
adalah menjaga akal, agama, jiwa, kehormatan dan harta benda manusia.
Nabi saw telah menegaskan hak-hak ini dalam suatu pertemuan besar internasional, yaitu pada haji wada’. Dari
Abu Umamah bin Tsa’labah, nabi saw bersabda: "Barangsiapa merampas hak seorang muslim, maka dia telah
berhak masuk neraka dan haram masuk surga." Seorang lelaki bertanya: "Walaupun itu sesuatu yang kecil,
wahay rasulullah ?" Beliau menjawab: "Walaupun hanya sebatang kayu arak." (HR. Muslim).
Islam berbeda dengan sistem lain dalam hal bahwa hak-hak manusia sebagai hamba Allah tidak boleh
diserahkan dan bergantung kepada penguasa dan undang-undangnya. Tetapi semua harus mengacu pada hukum
Allah. Sampai kepada soal shadaqah tetap dipandang sebagaimana hal-hal besar lain. Misalnya Allah melarang
bershadaqah (berbuat baik) dengan hal-hal yang buruk. "Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu
kamu nafkahkan dari padanya..." (QS. 2: 267).
1. Hak-hak Alamiah
Hak-hak alamiah manusia telah diberikan kepada seluruh ummat manusia sebagai makhluk yang diciptakan dari
unsur yang sama dan dari sumber yang sama pula (lihat QS. 4: 1, QS. 3: 195).
a. Hak Hidup
Allah menjamin kehidupan, diantaranya dengan melarang pembunuhan dan meng-qishas pembunuh (lihat QS.
5: 32, QS. 2: 179). Bahkan hak mayit pun dijaga oleh Allah. Misalnya hadist nabi: "Apabila seseorang
mengkafani mayat saudaranya, hendaklah ia mengkafani dengan baik." Atau "Janganlah kamu mencaci-maki
orang yang sudah mati. Sebab mereka telah melewati apa yang mereka kerjakan." (Keduanya HR. Bukhari).
b. Hak Kebebasan Beragama dan Kebebasan Pribadi
Kebebasan pribadi adalah hak paling asasi bagi manusia, dan kebebasan paling suci adalah kebebasan beragama
dan menjalankan agamanya, selama tidak mengganggu hak-hak orang lain. Firman Allah: "Dan seandainya
Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman orang di muka bumi seluruhnya. Apakah kamu memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang beriman semuanya?" (QS. 10: 99).
Untuk menjamin kebebasan kelompok, masyarakat dan antara negara, Allah memerintahkan memerangi
kelompok yang berbuat aniaya terhadap kelompok lain (QS. 49: 9). Begitu pula hak beribadah kalangan non-
muslim. Khalifah Abu Bakar menasehati Yazid ketika akan memimpin pasukan: "Kamu akan menemukan kaum
yang mempunyai keyakinan bahwa mereka tenggelam dalam kesendirian beribadah kepada Allah di biara-
biara, maka biarkanlah mereka." Khalid bin Walid melakukan kesepakatan dengan penduduk Hirah untuk tidak
mengganggu tempat peribadahan (gereja dan sinagog) mereka serta tidak melarang upacara-upacaranya.
Kerukunan hidup beragama bagi golongan minoritas diatur oleh prinsip umum ayat "Tidak ada paksaan dalam
beragama." (QS. 2: 256).
Sedangkan dalam masalah sipil dan kehidupan pribadi (ahwal syakhsiyah) bagi mereka diatur syari’at Islam
dengan syarat mereka bersedia menerimanya sebagai undang-undang. Firman Allah: "Apabila mereka (orang
Yahudi) datang kepadamu minta keputusan, berilah putusan antara mereka atau biarkanlah mereka. Jika
engkau biarkan mereka, maka tidak akan mendatangkan mudharat bagimu. Jika engkau menjatuhkan putusan
hukum, hendaklah engkau putuskan dengan adil. Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang adil." (QS.
5: 42). Jika mereka tidak mengikuti aturan hukum yang berlaku di negara Islam, maka mereka boleh mengikuti
aturan agamanya - selama mereka berpegang pada ajaran yang asli. Firman Allah: "Dan bagaimana mereka
mengangkat kamu sebagai hakim, sedangkan ada pada mereka Taurat yang di dalamnya ada hukum Allah?
Kemudian mereka tidak mengindahkan keputusanmu. Sesungguhnya mereka bukan orang-orang yang
beriman ." (QS.5: 7).
c. Hak Bekerja
Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak tetapi juga kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan
yang perlu dijamin. Nabi saw bersabda: "Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang daripada
makanan yang dihasilkan dari usaha tangannya sendiri." (HR. Bukhari). Dan Islam juga menjamin hak pekerja,
seperti terlihat dalam hadist: "Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah).
2. Hak Hidup
Islam melindungi segala hak yang diperoleh manusia yang disyari’atkan oleh Allah. Diantara hak-hak ini adalah
:
a. Hak Pemilikan
Islam menjamin hak pemilikan yang sah dan mengharamkan penggunaan cara apapun untuk mendapatkan harta
orang lain yang bukan haknya, sebagaimana firman Allah: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta
sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan bathil dan janganlah kamu bawa urusan harta itu kepada
hakim agar kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa padahal
kamu mengetahuinya." (QS. 2: 188). Oleh karena itulah Islam melarang riba dan setiap upaya yang merugikan
hajat manusia. Islam juga melarang penipuan dalam perniagaan. Sabda nabi saw: "Jual beli itu dengan pilihan
selama antara penjual dan pembeli belum berpisah. Jika keduanya jujur dalam jual-beli, maka mereka
diberkahi. Tetapi jika berdusta dan menipu berkah jual-bei mereka dihapus." (HR. Al-Khamsah)
Islam juga melarang pencabutan hak milik yang didapatkan dari usaha yang halal, kecuali untuk kemashlahatan
umum dan mewajibkan pembayaran ganti yang setimpal bagi pemiliknya. Sabda nabi saw: "Barangsiapa
mengambil hak tanah orang lain secara tidak sah, maka dia dibenamkan ke dalam bumi lapis tujuh pada hari
kiamat." Pelanggaran terhadap hak umum lebih besar dan sanksinya akan lebih berat, karena itu berarti
pelanggaran tehadap masyarakat secara keseluruhan.
b. Hak Berkeluarga
Allah menjadikan perkawinan sebagai sarana mendapatkan ketentraman. Bahkan Allah memerintahkan para
wali mengawinkan orang-orang yang bujangan di bawah perwaliannya (QS. 24: 32). Aallah menentukan hak
dan kewajiban sesuai dengan fithrah yang telah diberikan pada diri manusia dan sesuai dengan beban yang
dipikul individu.
Pada tingkat negara dan keluarga menjadi kepemimpinan pada kepala keluarga yaitu kaum laki-laki. Inilah yang
dimaksudkan sebagai kelebihan laki-laki atas wanita (QS. 4: 34). Tetapi dalam hak dan kewajiban masing-
masing memiliki beban yang sama."Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya." (QS. 2:
228)
c. Hak Keamanan
Dalam Islam, keamanan tercermin dalam jaminan keamanan mata pencaharian dan jaminan keamanan jiwa serta
harta benda. Firman Allah: "Allah yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan." (QS. Quraisy: 3-4).
Diantara jenis keamanan adalah dilarangnya memasuki rumah tanpa izin (QS. 24: 27). Jika warga negara tidak
memiliki tempat tinggal, negara berkewajiban menyediakan baginya. Termasuk keamanan dalam Islam adalah
memberi tunjangan kepada fakir miskin, anak yatim dan yang membutuhkannya. Oleh karena itulah, Umar bin
Khattab menerapkan tunjangan sosial kepada setiap bayi yang lahir dalam Islam baik miskin ataupun kaya. Dia
berkata: "Demi Allah yang tidak ada sembahan selain Dia, setiap orang mempunyai hak dalam harta negara
ini, aku beri atau tidak aku beri." (Abu Yusuf dalam Al-Kharaj). Umar jugalah yang membawa seorang Yahudi
tua miskin ke petugas Baitul-Maal untuk diberikan shadaqah dan dibebaskan dari jizyah.
Bagi para terpidana atau tertuduh mempunyai jaminan keamanan untuk tidak disiksa atau diperlakukan semena-
mena. Peringatan rasulullah saw: "Sesungguhnya Allah menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di
dunia." (HR. Al-Khamsah). Islam memandang gugur terhadap keputusan yang diambil dari pengakuan
kejahatan yang tidak dilakukan. Sabda nabi saw: "Sesungguhnya Allah menghapus dari ummatku kesalahan dan
lupa serta perbuatan yang dilakukan paksaan" (HR. Ibnu Majah).
Diantara jaminan keamanan adalah hak mendpat suaka politik. Ketika ada warga tertindas yang mencari suaka
ke negeri yang masuk wilayah Darul Islam. Dan masyarakat muslim wajib memberi suaka dan jaminan
keamanan kepada mereka bila mereka meminta. Firman Allah: "Dan jika seorang dari kaum musyrikin minta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah
ke tempat yang aman baginya." (QS. 9: 6).
d. Hak Keadilan
Diantara hak setiap orang adalah hak mengikuti aturan syari’ah dan diberi putusan hukum sesuai dengan
syari’ah (QS. 4: 79). Dalam hal ini juga hak setiap orang untuk membela diri dari tindakan tidak adil yang dia
terima. Firman Allah swt: "Allah tidak menyukai ucapan yang diucapkan terus-terang kecuali oleh orang yang
dianiaya." (QS. 4: 148).
Merupakan hak setiap orang untuk meminta perlindungan kepada penguasa yang sah yang dapat memberikan
perlindungan dan membelanya dari bahaya atau kesewenang-wenangan. Bagi penguasa muslim wajib
menegakkan keadilan dan memberikan jaminan keamanan yang cukup. Sabda nabi saw: "Pemimpin itu sebuah
tameng, berperang dibaliknya dan berlindung dengannya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Termasuk hak setiap orang untuk mendapatkan pembelaan dan juga mempunyai kewajiban membela hak orang
lain dengan kesadarannya. Rasulullah saw bersabda: "Maukah kamu aku beri tahu saksi yang palng baik?
Dialah yang memberi kesaksian sebelum diminta kesaksiannya." (HR. Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan
Tirmidzi). Tidak dibenarkan mengambil hak orang lain untuk membela dirinya atas nama apapun. Sebab
rasulullah menegaskan: "Sesungguhnya pihak yang benar memiliki pembelaan." (HR. Al-Khamsah). Seorang
muslim juga berhak menolak aturan yang bertentangan dengan syari’ah, dan secara kolektif diperintahkan untuk
mengambil sikap sebagai solidaritas terhadap sesama muslim yang mempertahankan hak.
e. Hak Saling Membela dan Mendukung
Kesempurnaan iman diantaranya ditunjukkan dengan menyampaikan hak kepada pemiliknya sebaik mungkin,
dan saling tolong-menolong dalam membela hak dan mencegah kedzaliman. Bahkan rasul melarang sikap
mendiamkan sesama muslim, memutus hubungan relasi dan saling berpaling muka. Sabda nabi saw: "Hak
muslim terhadap muslim ada lima: menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantar ke kubur, memenuhi
undangan dan mendoakan bila bersin." (HR. Bukhari).
f. Hak Keadilan dan Persamaan
Allah mengutus rasulullah untuk melakukan perubahan sosial dengan mendeklarasikan persamaan dan keadilan
bagi seluruh umat manusia (lihat QS. Al-Hadid: 25, Al-A’raf: 157 dan An-Nisa: 5). Manusia seluruhnya sama di
mata hukum. Sabda nabi saw: "Seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, pasti aku potong
tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada masa rasulullah banyak kisah tentang kesamaan dan keadilan hukum ini. Misalnya kasus putri bangsawan
dari suku Makhzum yang mencuri lalu dimintai keringanan hukum oleh Usamah bin Zaid, sampai kemudian
rasul menegur dengan: "...Apabila orang yang berkedudukan di antara kalian melakukan pencurian, dia
dibiarkan. Akan tetapi bila orang lemah yang melakukan pencurian, mereka memberlakukan hukum
kriminal..." Juga kisah raja Jabalah Al-Ghassani masuk Islam dan melakukan penganiayaan saat haji, Umar
tetap memberlakukan hukum meskipun ia seorang raja. Atau kisah Ali yang mengadukan seorang Yahudi
mengenai tameng perangnya, dimana Yahudi akhirnya memenangkan perkara.
Umar pernah berpesan kepada Abu Musa Al-Asy’ari ketika mengangkatnya sebagai Qadli: "Perbaikilah
manusia di hadapanmu, dalam majlismu, dan dalam pengadilanmu. Sehingga seseorang yang berkedudukan
tidak mengharap kedzalimanmu dan seorang yang lemah tidak putus asa atas keadilanmu."
(5) Tentang Kebebasan Mengecam Syari’ah
ebagian orang mengajak kepada kebebasan berpendapat, termasuk mengemukakan kritik terhadap kelayakan
Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pegangan hidup manusia modern. Disana terdengar suara menuntut persamaan
hak laki-laki dengan wanita, kecaman terhadap poligami, tuntutan akan perkawinan campur (muslim-non
muslim). Dan bahkan mereka mengajak pada pemahaman Al-Qur’an dengan mengubah inti misi Al-Qur’an.
Orang-orang dengan pandangan seperti ini pada dasarnya telah menempatkan dirinya keluar dari agama
Islam (riddah) yang ancaman hukumannya sangat berat. Namun jika mayoritas ummat Islam menghendaki
hukuman syari’ah atas mereka, maka jawaban mereka adalah bahwa Al-Qur’an tidak menyebutkan
sanksi riddah. Dengan kata lain mereka ingin mengatakan bahwa sunnah nabi saw. Tidak memiliki kekuatan
legal dalam syari’ah, termasuk sanksi riddah itu.
Untuk menjawab hal ini ada beberapa hal penting yang harus dipahami, yaitu :
Kebebasan yang diartikan dengan kebebasan tanpa kendali dan ikatan tidak akan dapat ditemukan di
masyarakat manapun. Ikatan dan kendali ini diantaranya adalah tidak dibenarkannya keluar dari aturan
umum dalam negara. Maka tidak ada kebebasan mengecam hal-hal yang dipandang oleh negara
sebagai pilar-pilar pokok bagi masyarakat.
Islam tidak memaksa seseorang untuk masuk ke dalam Islam, melainkan menjamin kebebasan kepada
non-muslim untuk menjalankan syari’at agamanya meskipun bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh
sebab itu, manakala ada seorang muslim yang mengklaim bahwa agamnya tidak sempurna, berarti ia
telah melakukan kesalahan yang diancam oleh rasulullah saw: "Barangsiapa mengganti agamanya,
maka bunuhlah ia." (HR. Bukhari dan Muslim).
Meskipun terdapat kebebasan dalam memeluk Islam, tidak berarti bagi orang yang telah masuk Islam
mempunyai kebebasan untuk merubah hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam Islam tidak ada konsep rahasia di tangan orang suci, dan tidak ada pula kepercayaan yang
bertentangan dengan penalaran akal sehat seperti Trinita dan Kartu Ampunan. Dengan demikian, tidak
ada alasan bagi penentang Islam untuk keluar dari Islam atau melakukan perubahan terhadap Islam.
Islam mengakui bahwa agama Ahli Kitab. Dari sini Islam membolehkan laki-laki muslim menikahi
wanita Ahli Kitab, karena garis nasab dalam Islam ada di tangan laki-laki.
Sanksi riddah tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagaimana ibadah dan muamalah lainnya. Al-Qur’an
hanya menjelaskan globalnya saja dan menugaskan rasulullah saw menjelaskan rincian hukum dan
kewajiban. Firman Allah: "Dan telah Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menjelaskan
kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkannya." (QS. 16: 44).
Hak Asasi Menurut Pancasila
Hak Asasi Manusia menurut Pancasila
Pancasila memandang bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan akal, budi dan nurani untuk dapat
membedakan hal baik dan buruk yang kemudian menjadi pembimbing dan pengarah perilaku
manusia. HAM dalam nilai dasar pancasila tidak saja berisi kebebasan dasar tetapi juga berisi
kewajiban dasar yang melekat secara kodrati. Hak dan kewajiban asasi ini tidak dapat diingkari dan
menjadi dasar berbangsa dan bernegara. Maka nampak sekali bahwa konsep hak asasi yang berlaku
di Indonesia adalah penjabaran dari sila kemanusiaan yang adil dan beradab dan disemangati oleh
sila-sila lainnya dari Pancasila.
Hak asasi manusia ditinjau dari sila-sila Pancasila mempunyai definisi sebagai berikut :
1. Hak Asasi Manusia menurut Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Pada sila pertama ini terdapat pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan menjamin setiap
orang untuk melakukan ibadah menurut keyakinannya masing-masing. Dan menjamin kemerdekaan
beragama bagi setiap orang untuk memilih serta menjalankan agamanya masing-masing.
2. Hak Asasi Manusia menurut Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan sikap yang menghendaki terlaksananya nilai-nilai
kemanusiaan (human values), dalam arti pengakuan terhadap martabat manusia (dignity of man),
hak asasi manusia (human rights) dan kebebasan manusia (human freedom). Sila kemanusiaan yang
adil dan beradab sangat erat kaitannya dengan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.
Hubungan antar manusia dalam bermasyarakat dan bernegara diatur agar berlandaskan moralitas
secara adil dan beradab.
3. Hak Asasi Manusia menurut Sila Persatuan Indonesia
Kesadaran kebangsaan Indonesia lahir dari keinginan untuk bersatu dari suatu bangsa agar setiap
orang menikmati hsak-hak asasinya tanpa pembatasan dan belenggu dari manapun datangnya. Hal
ini memiliki nilai kelokalan yang terinspirasi dari negara Jerman. Sila ini mengandung ide dasar
bahwa rakyat Indonesia meletakan kepentingan dan keselamatan bangsa di atas kepentingan dan
keselamatan pribadi.
4. Hak Asasi Manusia menurut Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/ Perwakilan
Sila ini merupakan inti ajaran demokrasi Pancasila, baik dalam arti formal maupun material.
Kedaulatan rakyat berarti kekuasaan dalam negara berada di tangan rakyat. Kedaulatan rakyat
disalurkan secara demokratis melalui badan perwakilan yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR). Kedaulatan rakyat itu terwujud dalam bentuk hak asasi manusia antara lain : 1. Hak
mengeluarkan pendapat 2. Hak berkumpul dan mengadakan rapat 3. Hak ikut serta dalam
pemerintahan 4. Hak menduduki jabatan Demokrasi yang dikembangkan di Indonesia berintikan
nilai-nilai agama, kesamaan budaya, pola pikir bangsa serta sumbangan nilai-nilai kontemporer,
dengan mengedepankan pengambilan keputusan secara musyawarah, bukan pada suara mayoritas.
5. Hak Asasi Manusia menurut Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila ini berkaitan erat dengan nilai-nilai kemanusiaan dimana setiap warga negara memiliki
kebebasan hak milik dan jaminan sosial, serta berhak mendapatkan pekerjaan dan perlindungan
kesehatan. Sila ini mengandung prinsip usaha bersama dalam mencapai cita-cita masyarakat yang
adil dan makmur.
Hubungan antara Pancasila dengan Hak Asasi Manusia
Hubungan antara Hak asasi manusia dengan Pancasila dapat dijabarkan di setiap sila-sila dalam
pancasila dan kita sebagai warga negara yang baik di harapkan dapat mengamalkannya di kehidupan
sehari-hari sehingga tidak ada lagi pelanggaran-pelanggaran HAM di Indonesia. Hak-hak asasi
manusia dalam Pancasila dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 dan terperinci di dalam batang
tubuh UUD 1945 yang merupakan hukum dasar konstitusional dan fundamental tentang dasar
filsafat negara Republik Indonesia serat pedoman hidup bangsa Indonesia, terdapat pula ajaran
pokok warga negara Indonesia. Yang pertama ialah perumusan ayat ke 1 pembukaan UUD tentang
hak kemerdekaan yang dimiliki oleh segala bangsa didunia.Oleh sebab itu penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Berikut ini
hubungan antara Hak asasi manusia dengan butir-butir Pancasila dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Sila ketuhanan yang maha Esa menjamin hak kemerdekaan untuk memeluk agama ,
melaksanakan ibadah dan menghormati perbedaan agama.
2. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab menempatkan hak setiap warga negara pada kedudukan
yang sama dalam hukum serta serta memiliki kewajiban dan hak-hak yang sama untuk mendapat
jaminan dan perlindungan undang-undang.
3. Sila persatuan indonesia mengamanatkan adanya unsur pemersatu diantara warga Negara
dengan semangat rela berkorban dan menempatkan kepentingan bangsa dan Negara diatas
kepentingan pribadi atau golongan, hal ini sesuai dengan prinsip HAM dimana hendaknya sesama
manusia bergaul satu sama lainnya dalam semangat persaudaraan.
4. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan
dicerminkan dalam kehidupan pemerintahan, bernegara, dan bermasyarakat yang demokratis.
Menghargai hak setiap warga negara untuk bermusyawarah mufakat yang dilakukan tanpa adanya
tekanan, paksaan, ataupun intervensi yang membelenggu hak-hak partisipasi masyarakat.
5. Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia mengakui hak milik perorangan dan dilindungi
pemanfaatannya oleh negara serta memberi kesempatan sebesar-besarnya pada masyarakat.
Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945
Hak-hak asasi manusia sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan pandangan filosofis tentang
manusia yang melatarbelakanginya. Menurut Pancasila sebagai dasar dari bangsa Indonesia hakikat
manusia adalah tersusun atas jiwa dan raga, kedudukan kodrat sebagai makhluk Tuhan dan makhluk
pribadi, adapun sifat kodratnya sebagai mahluk individu dan makhluk sosial. Dalam pengertian inilah
maka hak-hak asasi manusia tidak dapat dipisahkan dengan hakikat kodrat manusia tersebut.
Konseksuensinya dalam realisasinya maka hak asasi manusia senantiasa memilik hubungan yang
korelatif dengan wajib asasi manusia karena sifat kodrat manusia sebaga individu dan mahluk sosial.
Dalam rentangan berdirinya bangsa dan negara Indonesia telah lebih dulu dirumuskan dari Deklarasi
Universal hak-hak asasi manusia PBB , karena Pembukaan UUD 1945 dan pasasl-pasalnya
diundangkan pada tanggal 18 Agustus 1945 , adapun Deklarasi PBB pada tahun 1948. Hal itu
merupakan fakta pada dunia bahwa bangsa Indonesia sebelum tercapainya pernyataan hak-hak
asasi manusia sedunia oleh PBB, telah mengangkat hak-hak asasi manusia dan melindunginya dalam
kehidupan bernegara yang tertuang dalam UUD 1945. Hal ini juga telah ditekankan oleh para pendiri
negara, misalnya pernyataan Moh. Hatta dalam sidang BPUPKI sebagai berikut :
“Walaupun yang dibentuk itu Negara kekeluargaan, tetapi masih perlu ditetapkan beberapa hak dari
warga Negara agar jangan sampai timbul negara kekuasaan (Machsstaat atau negara penindas)”.
Deklarasi bangsa Indonesia pada prinsipnya termuat dalam naskah Pembukaan UUD 1945, dan
Pembukaan UUD 1945 inilah yang merupakan sumber normativ bagi hukum positif Indonesia
terutama penjabaran dalam pasal pasal UUD 1945.
Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea kesatu dinyatakan bahwa “Kemerdekaan ialah hak segala
bangsa”. Dalam pernyataan tersebut terkandung pengakuan secara yuridis hak asasi manusia
tentang kemerdekaan sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia
PBB pasal I.
Dasar filosofi hak-hak asasi manusia tersebut bukanlah kebebasan individualis, malainkan
menempatkan manusia dalam hubungannya dengan bangsa (makhluk sosial) sehingga hak asasi
manusia tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban asasi manusia .Kata-kata berikutnya adalah pada
alinea ketiga Pembukaan UUD 1945, sebagai berikut :
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan yang luhur,
supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya”.
Penyataan tentang “ atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…” mengandung arti bahwa dalam
deklarasi bangsa Indonesia terkandung pengakuan manusia yang berketuhanan Yang Maha Esa, dan
diteruskan dengan kata “…supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas…” dalam pengertian
bangsa maka bangsa Indonesia mengakui hak-hak asasi manusia untuk memeluk agama
sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia PBB pasal 18, dan dalam
pasal UUD 1945 dijabarkan dalam pasal 29 ayat (2) yaitu negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Melalui Pembukaan UUD 1945 dinyatakan dalam alinea empat bahwa Negara Indonesia sebagai
suatu persekutuan bersama bertujuan untuk melindungi warganya terutama dalam kaitannya
dengan perlindungan hak-hak asasinya. Adapun tujuan negara yang merupakan tujuan yang tidak
pernah berakhir (never ending goal) adalah sebagai berikut :
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Untuk memajukan kesejahteraan umum.
Mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Tujuan Negara Indonesia sebagai negara hukum yang bersifat formal maupun material tersebut
mengandung konsekuensi bahwa negara berkewajiban untuk melindungi seluruh warganya dengan
suatu undang-undang terutama untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi untuk kesejahteraan
hidup bersama.
Berdasarkan pada tujuan Negara sebagai terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut, Negara
Indonesia menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia pada warganya terutama dalam
kaitannya dengan kesejahteraan hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah, antaralain berkaitan
dengan hak-hak asasi di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, dan agama. Berikut
merupakan rincian dari hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam pasal pasal UUD 1945, yaitu
sebagai berikut :
BAB XA
HAK ASASI MANUSIA
Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif
untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara.
Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Pasal 28E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Pasal 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta
benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atas perlakuan yang merendahkan derajat
martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memeperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan perkembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih
secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Pasal 28I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun.
(2) Setiap orang berhak atas bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional di hormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat yang demokratis.
Hubungan HAM dan UUD 1945
Meskipun tidak diatur secara khusus ketentuan tentang HAM pada UUD 1945 sebelum
amandemen ke dua, bukan berarti dalam UUD 1945 tidak mengakomodir ketentuan tentang HAM.
Jika dilihat dari lahirnya UUD 1945 lebih dulu lahir daripada Deklarasi HAM tahun 1948. Ketentuan
yang berkaitan dengan HAM dapat dilihat sebagai berikut :
(1). Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dengan
demikian perlindungan diberikan kepada seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia, tidak hanya
terbatas atau berdasarkan kepentingan kelompok atau warga Negara tertentu.
(2). Memajukan kesejahteraan umum, hal ini mengandung pengertian pembangunan kesejahteraan
secara merata dan setiap warga Negara punya kesempatan untuk sejahtera.
(3). Mencerdaskan kehidupan bangsa, guna untuk meningkatkan sumberdaya manusia Indonesia
seluruhnya secara merata guna mengejar ketertinggalan dari bangsa lain.
(4). Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
social, membangun bangsa yang mandiri serta kewajiban untuk menyumbangkan pada bangsa –
bangsa lain di dunia, tanpa perbedaan.
(5). Dalam penjelasan pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa Indonesia adalah Negara berdasarkan
hukum (rechtsstaat bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka/machtsstaat). Kaitannya dengan HAM
adalah salah satu cirri Negara hokum adalah mengakui adanya HAM. Selanjutnya dalam penjelasan
umum diterangkan bahwa UUD menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam
“pembukaan” dan pasal – pasalnya, dimana mengandung arti bahwa Negara mengatasi segala
paham golongan, dan paham perorangan, mewujudkan keadilan social berdasarkan kerakyatan
perwakilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal
ini mencerminkan cita – cita hokum bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi HAM serta lebih
mengutamakan kepentingan bersama manusia.
Undang-Undang HAM (UU No.39 Thn 1999)
Undang-Undang HAM (UU No.39 Thn 1999)UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 39 TAHUN 1999TENTANGHAK ASASI MANUSIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :1. bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya;2. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;3. bahwa selain hak asasi manusia, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.4. bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia;5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dalam rangka melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, perlu membentuk Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia;Mengingat :1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, dan Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31 Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945;2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia;
Dengan PersetujuanDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIAMEMUTUSKANMenetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG HAK ASASI MANUSIA
BAB IKETENTUAN UMUM
Pasal 1Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :1. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;2. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksananya dan tegaknya hak asasi manusia.3. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.4. Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani, maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat politik.5. Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.6. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.7. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.
BAB IIASAS – ASAS DASAR
Pasal 2Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Pasal 31. Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraaan.2. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.3. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
Pasal 4Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh siapapun.
Pasal 51. Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.2. Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak.3. Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Pasal 61. Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.2. Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Pasal 71. Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia.2. Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional.
Pasal 8Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.
BAB IIIHAK ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN DASAR MANUSIABagian KesatuHak Untuk Hidup
Pasal 91. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.2. Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.3. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Bagian KeduaHak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan
Pasal 101. Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.2. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian KetigaHak Mengembangkan Diri
Pasal 11Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.
Pasal 12Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.
Pasal 13Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa dan umat manusia.
Pasal 141. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.2. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
Pasal 15Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
Pasal 16Setiap orang berhak untuk melakukan pekerjaan sosial dan kebajikan, mendirikan organisasi untuk itu, termasuk menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, serta menghimpun dana untuk maksud tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian KeempatHak Memperoleh Keadilan
Pasal 17Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
Pasal 181. Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.2. Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya.3. Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.4. Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
5. Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pasal 191. Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman berupa perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah.2. Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.
Bagian KelimaHak Atas Kebebasan Pribadi
Pasal 201. Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba.2. Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang.
Pasal 21Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh menjadi obyek penelitian tanpa persetujuan darinya.
Pasal 221. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 231. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.2. Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
Pasal 241. Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.2. Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 25Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 261. Setiap orang berhak memiliki, memperoleh, mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya.2. Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 271. Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia.2. Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian KeenamHak Atas Rasa Aman
Pasal 281. Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain.2. Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi mereka yang melakukan kejahatan nonpolitik atau perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 291. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya2. Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.
Pasal 30Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Pasal 311. Tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu.2. Menginjak atau memasuki suatu pekarangan tempat kediaman atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan kehendak orang yang mendiaminya, hanya diperbolehkan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.
Pasal 32Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 331. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.
Pasal 34Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.
Pasal 35Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, yang menghormati, melindungi, dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
Hak KetujuhHak Atas Kesejahteraan
Pasal 361. Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.2. Tidak boleh seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.3. Hak milik mempunyai fungsi sosial.
Pasal 371. Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.2. Apabila sesuatu benda berdasarkan ketentuan hukum demi kepentingan umum harus dimusnahkan atau tidak diberdayakan baik untuk selamanya maupun untuk sementara waktu maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali ditentukan lain.
Pasal 381. Setiap orang berhak, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.2. Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan.3. Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.4. Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.
Pasal 39Setiap orang berhak untuk mendirikan serikat pekerja dan tidak boleh dihambat untuk menjadi anggotanya demi melindungi dan memperjuangkan kepentingannya serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 40Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.
Pasal 411. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh.2. Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.
Pasal 42Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bagian KedelapanHak Turut Serta dalam Pemerintahan
Pasal 431. Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.2. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.3. Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
Pasal 44Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian KesembilanHak Wanita
Pasal 45Hak wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia.
Pasal 46Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.
Pasal 47Seorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.
Pasal 48Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.
Pasal 491. Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan.2. Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.3. Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Pasal 50Wanita telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya.
Pasal 511. Seorang isteri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama.2. Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.3. Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian KesepuluhHak Anak
Pasal 521. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.2. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Pasal 531. Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.2. Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraannya.
Pasal 54Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pasal 55Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan biaya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.
Pasal 561. Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.2. Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan Undang-undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 571. Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.2. Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua.3. Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya.
Pasal 581. Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.2. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 591. Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak.2. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-undang.
Pasal 601. Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.2. Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Pasal 61Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya.
Pasal 62Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya.
Pasal 63Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan.
Pasal 64Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.
Pasal 65Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya.
Pasal 661. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.2. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak.
3. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.4. Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.5. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.6. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.7. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
BAB IVKEWAJIBAN DASAR MANUSIA
Pasal 67Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.
Pasal 68Setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 691. Setiap warga negara wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.2. Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya.
Pasal 70Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
BAB VKEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
Pasal 71Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.
Pasal 72Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.
BAB VIPEMBATASAN DAN LARANGAN
Pasal 73Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa.
Pasal 74Tidak satu ketentuanpun dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-undang ini.
BAB VIIKOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Pasal 75Komnas Hak Asasi Manusia bertujuan :1. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan2. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Pasal 761. Untuk mencapai tujuannya, Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia.2. Komnas HAM beranggotakan tokoh masyarakat yang profesinal, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, menghormati hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia.3. Komnas HAM berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.4. Perwakilan Komnas HAM dapat didirikan di daerah.
Pasal 77Komnas HAM berasaskan Pancasila
Pasal 78Komnas HAM mempunyai kelengkapan yang terdiri dari :1. sidang paripurna; dan2. sub komisi.2. Komnas HAM mempunyai sebuah Sekretariat Jenderal sebagai unsur pelayanan.
Pasal 791. Pelaksanaan kegiatan Komnas HAM dilakukan oleh Subkomisi.2. Ketentuan mengenai Subkomisi diatur dalam Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 811. Sekretariat Jenderal memberikan pelayanan administratif bagi pelaksanaan kegiatan Komnas HAM.2. Sekretariat Jenderal dipimpin oleh Sekretaris Jenderal dengan dibantu oleh unit kerja dalam bentuk biro-biro.3. Sekretariat Jenderal dijabat oleh seorang Pegawai Negeri yang bukan anggota Komnas HAM.4. Sekretariat Jenderal diusulkan oleh sidang paripurna dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
5. Kedudukan, tugas, tanggung jawab, dan susunan organisasi Sekretariat Jenderal ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 82Ketentuan mengenai Sidang Paripurna dan Sub Komisi ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 831. Anggota Komnas HAM berjumlah 35 (tiga puluh lima) orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan usulan Komnas HAM dan diresmikan oleh Presiden selaku Kepala Negara.2. Komnas HAM dipimpin oleh seorang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua.3. Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dipilih oleh dan dari Anggota.4. Masa jabatan keanggotaan Komnas Hak Asasi Manusia selama 5 (lima) tahun dan setelah berakhir dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 84Yang dapat diangkat menjadi anggota Komnas HAM adalah warga negara Indonesia yang :1. memiliki pengalaman dalam upaya memajukan dan melindungi orang atau kelompok yang dilanggar hak asasi manusianya;2. berpengalaman sebagai hakim, jaksa, polisi, pengacara, atau pengemban profesi hukum lainnya;3. berpengalaman di bidang legislatif, eksekutif, dan lembaga tinggi negara;4. merupakan tokoh agama, tokoh masyarakat, anggota lembaga swadaya masyarakat, dan kalangan perguruan tinggi.
Pasal 851. Pemberhentian anggota Komnas HAM dilakukan berdasarkan keputusan Sidang Paripurna dan diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta ditetapkan dengan Keputusan Presiden.2. Anggota Komnas HAM berhenti antar waktu sebagai anggota karena :1. meninggal dunia;2. atas permintaan sendiri;3. sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan anggota tidak dapat menjalankan tugas selama 1(satu) tahun secara terus menerus;4. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan; atau5. melakukan perbuatan tercela dan atau hal-hal lain yang diputus oleh Sidang Paripurna karena mencemarkan martabat dan reputasi, dan atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas Komnas HAM.
Pasal 86Ketentuan mengenai tata cara pemilihan, pengangkatan, serta pemberhentian keanggotaan dan pimpinan Komnas HAM ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 871. Setiap anggota Komnas HAM berkewajiban :a. menaati ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan keputusan Komnas HAM.b. berpartisipasi secara aktif dan sungguh-sungguh untuk tercapainya tujuan Komnas HAM; danc. menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komnas HAM yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota.
2. Setiap anggota Komnas HAM berhak :a. menyampaikan usulan dan pendapat kepada Sidang Paripurna dan Subkomisi;b. memberikan suara dalam pengambilan keputusan Sidang Paripurna dan Subkomisi;c. mengajukan dan memilih calon Ketua dan Wakil Ketua Komnas HAM dalam Sidang Paripurna; dand. mengajukan bakal calon Anggota Komnas HAM dalam Sidang Paripurna untuk pergantian periodik dan antarwaktu.
Pasal 88Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban dan hak anggota Komnas HAM serta tata cara pelaksanaannya ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 891. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pengkajian dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :1. pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi;2. pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia;3. penerbitan hasil pengkajian dari penelitian;4. studi kepustakaan, studi lapangan dan studi banding di negara lain mengenai hak asasi manusia;5. pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia; dan6. kerjasama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga, atau pihak lainnya, baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.2. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :1. penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia;2. upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non formal serta berbagai kalangan lainnya; dan3. kerjasama dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.3. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :1. pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;2. penyidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia;3. pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya;4. pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan;5. peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;6. pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan;7. pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; dan8. pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proes peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
4. Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :1. perdamaian kedua belah pihak;2. penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli;3. pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan;4. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan5. penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.
Pasal 901. Setiap orang dan atau kelompok yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM.2. Pengaduan hanya akan mendapatkan pelayanan apabila disertai dengan identitas pengadu yang benar dan keterangan atau bukti awal yang jelas tentang materi yang diadukan.3. Dalam hal pengaduan dilakukan oleh pihak lain, maka pengaduan harus disertai dengan persetujuan dari pihak yang hak asasinya dilanggar sebagai korban, kecuali untuk pelanggaran hak asasi manusia tertentu berdasarkan pertimbangan Komnas HAM.4. Pengaduan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) meliputi pula pengaduan melalui perwakilan mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh kelompok masyarakat.
Pasal 911. Pemeriksaan atas pengaduan kepada Komnas HAM tidak dilakukan atau dihentikan apabila :1. tidak memiliki bukti awal yang memadai;2. materi pengaduan bukan masalah pelanggaran hak asasi manusia;3. pengaduan diajukan dengan itikad buruk atau ternyata tidak ada kesungguhan dari pengadu;4. terdapat upaya hukum yang lebih efektif bagi penyelesaian materi pengaduan; atau5. sedang berlangsung penyelesaian melalui upaya hukum yang tersedia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.2. Mekanisme pelaksanaan kewenangan untuk tidak melakukan atau menghentikan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Pasal 921. Dalam hal tertentu dan bila dipandang perlu, guna melindungi kepentingan dan hak asasi yang bersangkutan atau terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada, Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan identitas pengadu, dan pemberi keterangan atau bukti lainnya serta pihak yang terkait dengan materi aduan atau pemantauan.2. Komnas HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan atau membatasi penyebarluasan suatu keterangan atau bukti lain yang diperoleh Komnas HAM, yang berkaitan dengan materi pengaduan atau pemantauan.3. Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) didasarkan pada pertimbangan bahwa penyebarluasan keterangan atau bukti lainnya tersebut dapat :1. membahayakan keamanan dan keselamatan negara;2. membahayakan keselamatan dan ketertiban umum;3. membahayakan keselamatan perorangan;4. mencemarkan nama baik perorangan;5. membocorkan rahasia negara atau hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses pengambilan keputusan Pemerintah;6. membocorkan hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan suatu perkara pidana;
7. menghambat terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada, atau8. membocorkan hal-hal yang termasuk dalam rahasia dagang;
Pasal 93Pemeriksaan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan secara tertutup, kecuali ditentukan lain oleh Komnas HAM.
Pasal 94(1) Pihak pengadu, korban, saksi, dan atau pihak lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf c dan d, wajib memenuhi permintaan Komnas HAM.(2) Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi oleh pihak lain yang bersangkutan, maka bagi mereka berlaku ketentuan Pasal 95.
Pasal 95Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 961. Penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (4) huruf a dan b, dilakukan oleh Anggota Komnas HAM yang ditunjuk sebagai moderator.2. Penyelesaian yang dicapai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berupa kesepakatan secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan dikukuhkan oleh moderator.3. Kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan keputusan mediasi yang mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah.4. Apabila keputusan mediasi tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan tersebut, maka pihak lainnya dapat memintakan kepada Pengadilan Negeri setempat agar keputusan tersebut dinyatakan dapat dilaksanakan dengan pembubuhan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.5. Pengadilan tidak dapat menolak permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
Pasal 97Komnas HAM wajib menyampaikan laporan tahunan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya, serta kondisi hak asasi manusia, dan perkara-perkara yang ditanganinya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dan Presiden dengan tembusan kepada Mahkamah Agung.
Pasal 98Anggaran Komnas HAM dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 99Ketentuan dan tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang serta kegiatan Komnas HAM diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib Komans HAM.
BAB VIIPARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 100Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
Pasal 101Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia kepada Komnas HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia.
Pasal 102Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak untuk mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM dan atau lembaga lainnya.
Pasal 103Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, lembaga studi, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, baik secara sendiri-sendiri maupun kerja sama dengan Komnas HAM dapat melakukan penelitian, pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.
BAB IXPENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
Pasal 1041. Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum.2. Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun.3. Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang.
BAB XKETENTUAN
Pasal 1051. Segala ketentuan mengenai hak asasi manusia yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur dengan Undang-undang ini.2. Pada saat berlakunya Undang-undang ini :1. Komnas HAM yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dinyatakan sebagai Komnas HAM menurut Undang-undang ini.2. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komnas HAM masih tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya, berdasarkan Undang-undang ini sampai ditetapkannya keanggotaan Komnas HAM yang baru; dan3. Semua permasalahan yang sedang ditangani oleh Komnas HAM tetap dilanjutkan penyelesaiannya berdasarkan Undang-undang ini.3. Dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-undang ini susunan organisasi, keanggotaan, tugas dan wewenang serta tata tertib Komnas HAM harus disesuaikan dengan Undang-undang ini.
BAB XIKETENTUAN PENUTUP
Pasal 106Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di JakartaPada tanggal 23 September 1999PRESIDEN REPUBLIK INDONESIAttdBACHARUDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di JakartaPada tanggal 23 September 1999MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARAREPUBLIK INDONESIA,TtdMULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 165Salinan sesuai dengan aslinya.SEKRETARIAT KABINETRepublik IndonesiaKepala Biro PeraturanPerundang-undanganEdy Sudibyo
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan
kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi
satu hal yang perlu kita ingat bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas
HAM orang lain. Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh
perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang
dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu
Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM
menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana
terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
Saran
Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan
memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa
menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita melakukan
pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak
oleh orang lain. Jadi dalam menjaga HAM kita harus mampu menyelaraskan dan
mengimbangi antara HAM kita dengan HAM orang lain.