Makalah Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku, Saksi Dan Korban Tindak Pidana Didalam R
-
Upload
lana-dwi-tiffany -
Category
Documents
-
view
121 -
download
2
description
Transcript of Makalah Perbandingan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku, Saksi Dan Korban Tindak Pidana Didalam R
JAKSA AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
PERUBAHAN HUKUM ACARA PIDANA SEBAGAI SUATU KEBUTUHAN1
Oleh:
Basrief Arief2
1. PENDAHULUAN
Dimasa sekarang ini, tindak kriminal sudah menjadi salah satu masalah
penting yang perlu segera ditanggulangi oleh pihak-pihak/aparat-aparat
hukum di Indonesia. Tindak kriminal tersebut dilakukan oleh masyarakat
yang tentu saja belum mengerti tentang aturan-aturan yang berlaku
di Indonesia yang semestinya mereka patuhi. Selain itu, mungkin juga karena
faktor ekonomi, kelalaian, karena masalah pribadi dan masih banyak alasan
lainnya untuk berbuat jahat dan melakukan perbuatan melawan hukum.
Perkembangan tindak kriminal tersebut tentu saja harus diimbangi
dengan kemampuan hukum untuk bisa mengakomodirnya tidak terkecuali
dalam hukum acaranya. Hukum acara yang masih berlaku saat ini adalah
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang merupakan ciptaan bangsa
Indonesia menggantikan Herziene Inlands Reglement ciptaan pemerintah
kolonial. Mengingat hukum acara pidana tersebut sudah berlaku lebih dari
seperempat abad tentu saja saat ini harus segera disesuaikan dengan
perkembangan pola pikir hukum masa depan sebagai imbas dari kemajuan
1 Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pasundan di Aula Suradiredja, FH UNPAS, Jumat, 14 Desember 2012.
2 Jaksa Agung Republik Indonesia.
2
teknologi terutama di bidang komunikasi dan transportasi yang membawa
akibat di bidang sosial, ekonomi, dan hukum termasuk hukum pidana.
Dunia terasa makin sempit dan globalisasi Tidak satu negara pun dapat
menutup diri rapat-rapat dari perubahan tersebut. Tercipta banyak konvensi
internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia seperti, United Nations
Convention Against Corrruption, International Convention Against Torture dan
International Covenant on Civil and Political Rights. Ikut pula hadir dalam
penyusunan International Criminal Court. Semua konvensi tersebut lahir dan
diratifikasi sesudah KUHAP, berkaitan langsung dengan hukum acara pidana.
Dalam covenant mengenai hak-hak sipil dan politik itu terkandung
ketentuan yang berkaitan dengan hukum acara misalnya tentang hak-hak
tersangka dan ketentuan mengenai penahanan yang diperketat. Berhubung
dengan hal tersebut ada negara yang membuat KUHAP baru sama sekali
seperti Italia, Rusia, Lithuania, Georgia, dan lain-lain. Ada pula yang
mengubah KUHAP nya selaras dengan perubahan yang mendunia tersebut
seperti Austria.
Dari sanalah kita dapat menyimpulkan bahwa KUHAP harus
diperbaharui sesuai dengan tuntutan zaman. Ada konsekuensi akibat
diratifikasikannya beberapa konvensi internasional, misalnya tentang
penahanan yang dilakukan oleh penyidik harus sesingkat mungkin dan
segera dibawa kepada hakim. Amerika Serikat menafsirkan segera mungkin
(promptly) adalah dua kali dua puluh empat jam. Di Eropa umumnya
diartikan paling lama dua kali dua puluh empat jam kecuali untuk terorisme
yang lamanya 6 (enam) hari atau 1 (satu) hari penangkapan ditambah 5
(lima) hari penahanan. Ketika Tim Penyusun KUHAP mencantumkan waktu
penahanan 15 (lima belas) hari oleh penyidik ditambah 1 (satu) hari
penangkapan menjadi 16 (enam belas) hari maka amnesti internasional dan
pakar hukum pidana dan acara pidana Amerika Serikat (Prof. Dr. iur. Stephen
C. Thaman) yang mengingatkan dan kritikan atas Rancangan KUHAP, agar
hal tersebut disesuaikan dengan ICCPR yang telah diratifikasi oleh Indonesia,
sehingga toleransinya hanya sampai dua kali dua puluh empat jam
3
penahanan yang dilakukan oleh penyidik. Selebihnya ditambahkan pada
hakim komisaris, sehingga penahanan oleh Hakim Komisaris yang kemudian
dapat diperpanjang oleh hakim Pengadilan Negeri. Hakim Pengadilan Negeri
dapat memperpanjang menjadi 3 kali 30 hari. Jaksa tidak melakukan
penahanan, akan tetapi dia memegang formulir penahanan, baik yang
dilakukan oleh hakim komisaris maupun oleh hakim Pengadilan Negeri,
karena pada prinsipnya menurut ICCPR, hakimlah yang berwenang
melakukan penahanan. Akan tetapi bagaimana pun juga penuntut umumlah
yang mengajukan permohonan kepada hakim.
2. Penyempurnaan Hukum Acara Pidana
Tujuan hukum acara pidana di masa depan ialah mencari kebenaran
materiel, melindungi hak-hak dan kemerdekaan orang dan warganegara,
menyeimbangkan hak-hak para pihak, orang yang dalam keadaan yang
sama dan dituntut untuk delik yang sama harus diadili sesuai dengan
ketentuan yang sama, mempertahankan sistem konstitusional Republik
Indonesia terhadap pelanggaran kriminal, mempertahanakan perdamaian
dan keamanan kemanusiaan dan mencegah kejahatan.
(The aim of the future Criminal Procedure Code is the pursue of
objective truth, the protection of the rights and freedom of man and
citizen, preserves a balance between the rights of the parties, persons
in similar situation and prosecuted for the same offences should be
judged according to the same rules, the maintenance of constituional
system of the Republic of Indonesia against criminal encroachment, the
maintanance of peace and security of mankind and the prevention of
crimes).
Kegunaannya adalah para pejabat negara dan warganegara dalam
rangka melakukan kewajibannya dalam penyidikan, penuntutan, peradilan,
dan pembelaan di pengadilan menjalankan kewajibannya dengan mulus,
beserta bagaimana masyarakat luas dapat memahami dan menghayati
hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.
4
Dalam rancangan KUHAP yang baru nanti tentu saja akan disesuaikan
dengan kebutuhan-kebutuhan yang memang diperlukan terutama dalam
menitik beratkan perlindungan hak asasi manusia kepada pelaku, korban dan
saksi. Sehingga dalam rancangan KUHAP tersebut terdapat beberapa hal
yang baru.
2.1. Hakim Komisaris
Dalam Rancangan KUHAP yang baru diperkenalkan adanya
lembaga baru yaitu hakim komisaris. Sebenarnya isinya bukan hal
baru, tetapi lebih merupakan revitalisasi praperadilan yang sudah ada
dalam KUHAP 1981. Hakim komisaris di dalam Rancangan lain sama
sekali dibanding dengan Rechtercommissaris di Belanda atau juge d’
instruction di Perancis atau Inschuhungsrichter dulu di Jerman atau
Giudice Istructtore dulu di Italia. Hakim komisaris versi Rancangan
sama sekali tidak memimpin penyidikan sebagaimana
rechtercommissaris di Belanda atau juge d’instruction di Perancis.
Kedua lembaga di Belanda dan Perancis itu bersifat inquisitoir,
sedangkan kecenderungan dunia sekarang mengarah ke sistem
adversarial, artinya kedudukan penuntut umum dan terdakwa beserta
penasihat hukumnya di pengadilan berimbang. Italia telah
menghapus giudice istructtore (model hakim komisaris Perancis dan
Belanda) dan menggantikannya dengan lembaga baru yang disebut
giudice per le indagini preliminary (bahasa Indonesia: “hakim
pemeriksa pendahuluan”). Jerman pun telah menghapus lembaga
inschuhungsrichter model hakim komisaris Belanda dan Perancis.
Hakim komisaris versi Rancangan mirip dengan lembaga baru di
Italia. Lembaga ini sama sekali tidak memimpin penyidikan, akan
tetapi sama dengan praperadilan yang wewenangnya diperluas dan
dimandirikan. Dengan demikian, lembaga hakim komisaris versi
Rancangan tidak dapat diterjemahkan ke bahasa Inggeris menjadi
5
investigating judge. Terjemahan ke bahasa Inggris ialah
Commissioner Judge.
Oleh karena itu, salah satu wewenang hakim komisaris versi
Rancangan ialah menentukan layak tidak layaknya suatu perkara
diajukan ke pengadilan atas permohonan jaksa (pretrial). Dengan
demikian, jika jaksa tidak menuntut dan terjadi desakan masyarakat
awam, jaksa dapat menunjuk putusan hakim komisaris. Namun
demikian, jika kemudian ditemukan bukti baru, dapat diajukan lagi ke
hakim komisaris agar penuntutan dapat dilakukan. Dalam
pemeriksaan itu, tersangka dan saksi dapat didengar keterangannya
begitu pula konklusi penuntut umum.
Dengan dibentuknya lembaga hakim komisaris, maka diharapkan
dapat dicapai tujuan hukum acara pidana due process of law atau
behoorlijk procesrecht. Tujuan hukum acara pidana ialah mencari
kebenaran materiel (objective truth) dan melindungi hak asasi
terdakwa jangan sampai terjadi orang tidak bersalah dijatuhi pidana di
samping perhatian kepada korban kejahatan.
Alat bukti tidak boleh diperoleh secara melawan hukum.
Pemancingan tidak dibolehkan (kasus seperti Mulyana Kusumah
dilarang di Perancis dan Italia). Hasil penyidikan adalah rahasia
(secret d’instruction). Dilarang keras penyidik membeberkan hasil
penyidikan. Pasal 434-7-2 Code Penal mengancam pidana bagi orang
yang membocorkan hasil penyidikan.Terbalik di Indonesia,
masyarakat menghendaki penyidikan transparan. Tujuan penyidikan
adalah rahasia, ialah menjaga praduga tak bersalah (Inggris:
presumption of innocence, Belanda: presumptie van onschuldig,
Perancis: presumption d’innocence). Di samping itu, juga untuk
kepentingan penyidikan sendiri jangan sampai tersangka
menghilangkan alat-alat bukti atau mempengaruhi saksi.
Wewenang hakim komisaris diatur di dalam Pasal 111 ayat (1)
Rancangan berupa menetapkan atau memutuskan :
6
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan atau penyadapan;
b. pembatalan atau penangguhan penahanan;
c. bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa
dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;
d. alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak
dapat dijadikan alat bukti;
e. ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang
ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian
untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah;
f. tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk
didampingi oleh pengacara;
g. bahwa penyidikan atau Penuntutan telah dilakukan untuk tujuan
yang tidak sah;
h. penghentian Penyidikan atau penghentian Penuntutan yang
tidak berdasarkan asas oportunitas;
i. layak atau tidak layak suatu perkara untuk dilakukan Penuntutan
ke pengadilan;
j. pelanggaran terhadap hak tersangka yang terjadi selama tahap
penyidikan.
Sebenarnya, hampir semua wewenang ini sudah dimiliki oleh
hakim praperadilan, kecuali yang tersebut pada butir c, d. f, g, i dan j.
Beberapa wewenang yang berdasarkan KUHAP 1981 ada di
tangan atau mestinya diberikan kepada ketua Pengadilan Negeri
dibebankan kepada hakim komisaris seperti izin penggeledahan,
penyitaan, penyadapan. Begitu pula perpanjangan penahanan dalam
tahap penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh penuntut
umum selama 40 (empat puluh) hari, berpindah ke hakim komisaris
selama 25 hari, selanjutnya diperpanjang oleh hakim Pengadilan
Negeri selama tiga kali 30 (tiga puluh) hari, walaupun formulir diisi
dan diajukan oleh penuntut umum.
7
Hakim komisaris diangkat oleh Presiden atas usul Ketua
Pengadilan Tinggi setempat untuk masa dua tahun yang dapat
diperpanjang selama satu periode (Pasal 116 Rancangan). Selama
menjabat, hakim komisaris dibebaskan dari tugas mengadili semua
jenis perkara dan tugas lain yang berhubungan dengan tugas
Pengadilan Negeri (Pasal 119 Rancangan). Inilah perbedaan antara
hakim komisaris dan hakim praperadilan. Selama menjabat hakim
komisaris lepas dari kaitan dengan ketua Pengadilan Negeri. Hakim
komisaris tidak berkantor di Pengadilan Negeri akan tetapi di RUTAN
atau di dekat RUTAN. Hal ini agar memudahkan dia berhubungan
dengan tahanan, lagi pula setelah dia menetapkan atau
menandatangani perpanjangan penahanan, para tahanan dimasukkan
ke ruang tahanan di dekat kantornya.
2.2. Hubungan penyidik dan penuntut umum lebih diakrabkan.
Dalam praktek sekarang ini terjadi berkas bolak-balik antara
penyidik dan penuntut umum yang sebagian (dalam jumlah besar)
tidak lagi muncul ke pengadilan. Hal ini menurut Prof. Oemar Seno
Adji dalam beberapa kali kesempatan, “sangat merugikan pencari
keadilan”. Ada P 19 yaitu pengembalian berkas ke penyidik untuk
dilengkapi (yang sebagian tercecer tidak tahu rimbanya), terbitnya P
21 yang menyatakan bahwa berkas perkara sudah lengkap, seolah
tanggung jawab penyidik sudah selesai .
Demikian, sehingga dalam Rancangan, pada saat penyidikan
dimulai dan diberitahukan kepada penuntut umum, penuntut umum
sudah memberi petunjuk, bukan ketika berkas sudah selesai disusun
oleh penyidik. Petunjuk pun tidak perlu tertulis, boleh secara lisan,
SMS, telepon, e-mail. Di Perancis ada jaksa yang piket menunggu
telepon dari penyidik dimulainya penyidikan dan langsung memberi
petunjuk. Oleh karena itu dalam PP pelaksanaan KUHAP akan ditunjuk
jaksa zona yang akan memberikan petunjuk kepada penyidik terkait
8
perkara yang terjadi di zonanya, sama dengan di Belanda. Jadi, untuk
lebih memudahkan penyidik menghubungi. Jaksa zona akan ditunjuk
per kecamatan (POLSEK). Menurut pendapat Penulis, untuk perkara
kecil tidak perlu diberitahu jaksa tentang dimulainya penyidikan dan
jaksa memberi petunjuk, hanya untuk perkara serius atau sulit
pembuktiannya secara yuridis. Apalagi dengan diperkenalkannya
sistem adversarial yang penuntut umum boleh menambah alat bukti
(saksi) pada saat sidang sudah dimulai. Jadi, berkas perkara tidak
sepenting sekarang ini, karena pada prinsipnya pembuktian terjadi
di sidang pengadilan.
2.3. Sistem Penuntutan
Hal lain yang juga berubah, ialah sistem penuntutan, walaupun
seperti halnya di Belanda, penuntutan pidana dimonopoli oleh jaksa.
Dengan demikian, sistem yang berlaku di Indonesia sama dengan di
Belanda, jaksa dominus litis penuntutan. Berbeda dengan England,
Perancis, Belgia, Rusia, Thailand, RRC dan Filipina yang swasta
(korban) langsung dapat melakukan penuntutan ke pengadilan tanpa
melalui penyidik dan jaksa. Biasanya hanya untuk perkara ringan,
seperti penghinaan, penganiayaan (ringan), penipuan, dll. Di Thailand
ada tiga macam penuntutan, yaitu yang dilakukan oleh penuntut
umum (public prosecutor), swasta atau korban dan gabungan antara
swasta (korban) dan jaksa yang disebut joint prosecution. Hal ini
disebabkan karena penuntutan pidana itu memerlukan keahlian teknis-
yuridis. Belum terpikirkan untuk memperkenalkan private prosecution
di Indonesia, karena hal itu berarti akan merombak seluruh sistem
acara pidana.
Oleh karena Indonesia menganut asas oportunitas sama dengan
Belanda, Perancis, Jepang, Korea, Israel dll, maka diperkenalkan
penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten proces).
9
Hal ini sesuai dengan asas peradilan cepat, biaya murah dan
sederhana. Asas oportunitas secara global diartikan “The public
prosecutor may decide conditionally or unconditionally to make
prosecution to court or not.” (Penuntut umum boleh menentukan
menuntut atau tidak menuntut ke pengadilan dengan syarat atau
tanpa syarat.”).
Penyelesaian di luar pengadilan tercantum di dalam Pasal 42 ayat
(2) dan (3) Rancangan. Pasal 42 ayat (2) berbunyi: ”Penuntut umum
juga berwenang demi kepentingan umum dan/atau alasan tertentu
menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa syarat.”
Pasal 42 ayat (3) menyebut syarat-syarat itu sbb :
a. tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan;
b. tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun;
c. tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana
denda;
d. umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas tujuh
puluh tahun; dan/atau
e. kerugian sudah diganti.
Tindak pidana bersifat ringan, misalnya menipu (Pasal 378 KUHP)
yang ancaman pidananya maksimum empat tahun penjara dengan
kerugian sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) kemudian
terpidana membayar ganti rugi sebesar kerugian tersebut kepada
korban. Dengan demikian, korban mendapat kembali uangnya, dan
juga pelaku mendapatkan kompensasi tidak dilakukan penuntutan.
Penyelesaian seperti ini termasuk peradilan restoratif (restorative
justice), adanya perdamaian antara korban dan pelaku.
Penyelesaian di luar pengadilan ini termasuk peradilan restoratif
(restorative justice). Hukum Islam mengenal restorative justice bahkan
sampai delik berat seperti pembunuhan yang disebut diat. Akan tetapi
ada perbedaan karena penyelesaian di luar pengadilan (afdoening
10
buiten proces) hanya untuk delik ringan dan motifnya pun harus
ringan.
Asas oportunitas yang disebut di dalam undang-undang
Kejaksaan, benar-benar untuk kepentingan umum termasuk delik
berat, akan tetapi hanya Jaksa Agung yang boleh menerapkannya.
Dalam Pasal 42 Rancangan, hanya delik ringan yang ancaman
pidananya 4 (empat) tahun penjara ke bawah kecuali pelaku yang
berumur 70 tahun ke atas ancaman pidananya maksimum 5 (lima)
tahun penjara.
Jadi, ada keuntungan (bargain) jika seseorang mengaku.
Ketentuan seperti itu belum diakomodasikan di dalam Rancangan
KUHAP, karena merupakan hal baru sama sekali yang tidak ditemui
dalam KUHAP negara lain, yang mungkin orang Indonesia menganggap
ketentuan seperti itu terlalu canggih.
Swedia yang menganut asas legalitas dalam penuntutan sebagai
lawan asas oportunitas, namun mengenal jaksa dapat langsung
menerapkan pidana yang bersifat ringan, misalnya denda tanpa
melalui pengadilan.3 Jadi, Swedia tidak menerapkan trias politica secara
ketat karena jaksa dapat mengenakan sanksi tanpa melalui pengadilan.
Dengan demikian, pengenaan sanksi ringan terhadap delik ringan tidak
berkaitan dengan asas oportunitas, karena Swedia menganut asas
legalitas dalam penuntutan bukan asas oportunitas. Begitu juga
dengan Norwegia yang menciptakan KUHAP baru pada tahun 1986,
jaksa dapat menjatuhkan pidana tanpa persetujuan hakim yang disebut
patale unnlatese4. Belanda telah menentukan, bahwa jaksa dapat
menyampingkan perkara yang diancam dengan pidana tidak lebih dari
enam tahun dengan pembayaran denda administratif.
Hakim Komisaris versi Rancangan KUHAP tidak melakukan
penyidikan sebagaimana terjadi di Perancis. Di Indonesia karena
3 Peter P.J.Tak (ed) Task and powers of the prosecutioin services in the EU member states, hlm. 429.4 David Fogel, On doing less harm, hlm. 237..
11
penegak hukum selalu dicurigai, maka keputusan jaksa untuk tidak
melakukan penuntutan sering dipermasalahkan. Sebaliknya di negara-
negara Eropa dan Amerika Utara justru masalah crucial ialah ketika
jaksa memutuskan untuk menuntut terdakwa ke pengadilan, bukan
ketika hendak menghentikan penuntutan.
Dengan adanya lembaga penyaring di samping hakim (trial judge)
maka dapat dihindari penuntutan yang sewenang-wenang yaitu karena
alasan pribadi atau alasan balas dendam, atau yang khusus Indonesia
penuntut umum ingin dikatakan berhasil dengan sistem target.
Penuntutan menurut cara itu disebut malice prosecution atau
penyalahgunaan penuntutan (abuse of prosecution) yang tidak dapat
dibenarkan oleh hakim.
2.4. Posisi saksi dan korban
Kenyataannya perangkat hukum di Indonesia khususnya KUHAP,
belum mampu memberikan suatu bentuk pengaturan bantuan hukum
yang dapat memberikan perlindungan bagi pihak saksi. Hal serupa pun
terjadi dipihak korban yang sama sekali tidak memiliki perlindungan
hukum ketika mereka memberikan kesaksiannya. Perlindungan hukum
untuk pihak saksi/korban seharusnya ada untuk melindungi diri mereka
sendiri maupun keluarga mereka dari segala macam bentuk kekerasan
fisik dan mental.
Sebenarnya masalah pengaturan bantuan hukum untuk pihak
saksi/korban tidak ada pengaturannya dalam KUHAP. Tidak ada satu
pasal pun yang menyebutkan mengenai adanya pengaturan bantuan
hukum untuk pihak saksi/korban.
Meskipun demikian, bahwa perlindungan terhadap saksi dalam
KUHAP diatur dalam Pasal 116-120 dan Pasal 159-179, dimana diatur
bahwa :
1. adanya kewajiban mengucapkan sumpah bagi saksi, kecuali
untuk:
12
a. anak yang umurnya belum cukup 15 tahun (Pasal 171 butir
(a))
b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang
ingatannya baik kembali (Pasal 171 butir (b))
2. dapat didengarnya kesaksian saksi tanpa kehadiran terdakwa
(Pasal 173)
3. dapat ditunjuknya juru bahasa bagi saksi yang tidak paham
bahasa Indonesia (Pasal 177)
4. dapat ditunjuknya penterjemah bagi saksi bisu tuli serta tidak
dapat menulis (Pasal 178).
Akan tetapi, Mekanisme perlindungan yang ada dalam KUHAP
tersebut dalam perkembangannya sangat tidak memadai dalam upaya
mendukung proses penegakan hukum dan keadilan. Dalam
kenyataannya, hukum pidana materil dan formil hanya lebih
menekankan kewajiban saksi dari pada hak-haknya. Hal tersebut dapat
dilihat dalam Pasal 224 dan Pasal 522 KUHP. Dimana dalam Pasal 224
menyebutkan bahwa barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau
juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi
suatu kewajiban yang menurut undang-undang selaku demikian harus
dipenuhinya,diancam :
Ke-1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan.
Ke-2. dalam perkara lain, dengan pidana paling lama enam bulan.
Selain itu dalam Pasal 184 (1) KUHAP hanya menyebutkan bahwa
saksi merupakan salah satu alat bukti sehingga secara tersirat dapat
dilihat bahwa saksi wajib memberikan keterangan/kesaksiannya karena
keterangan saksi adalah alat bukti utama untuk membantu hakim
menjatuhkan putusan untuk terdakwa.
Karena kelemahan-kelemahan KUHAP inilah, sejak sebelum orde
reformasi pun, banyak kalangan yang menyatakan perlunya revisi
terhadap substansi dalam KUHAP. Salah satunya adalah masalah
13
pengaturan bantuan hukum untuk pihak saksi/korban. Karena
meskipun saksi diberikan perlindungan namun dalam realitanya,
saksi/korban tidak mendapatkan perlindungan hukum yang
semestinya.
Dalam rancangan KUHAP ini pengaturan mengenai perlindungan
saksi dan korban diatur dalam pasal 40 – 41 dan juga untuk korban
kejahatan dapat mendapatkan ganti kerugiaan sebagaimana diatur
dalam pasal 133 rancangan KUHAP. Jadi dalam pasal 133 tersebut
apabila ada korban yang menderita kerugian materiil akibat tidak
pidana yang dilakukan oleh terdakwa, hakim mengharuskan terpidana
membayar ganti rugi kepada korban dan apabila terpidana tidak
membayar ganti kerugian harta benda terpidana disita dan dilelang
untuk membayar ganti kerugian serta apabila korban menghindar
untuk membayar kompensasi kepada korban maka terpidana tidak
berhak mendapatkan pengurangan masa pidana dan tidak
mendapatkan pembebasan bersyarat.
2.5. konsep whistleblower dan justice collaborator
Pengaturan whistleblower dan justice collaborator saat ini diatur
dalam UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.
Didalam pasal 10 UU tersebut diatur mengenai reward bagi saksi,
korban dan pelapor (whistleblower), serta saksi yang juga tersangka
(justice collaborator), yaitu :
a. Bagi saksi, korban dan pelapor tidak bias dituntut secara pidana
dan perdata atas laporan dan kesaksian yang akan, sedang, atau
telah diberikan, kecuali kalau ternyata yang bersangkutan
memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.
b. Bagi saksi yang juga berstatus terdakwa, maka kalau dia
dinyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah, tidak
dapat dibebaskan, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan alasan
untuk meringankan pidana.
14
Khusus untuk reward whistleblower dan justice
collaborator dalamn delik-delik khusus (di luar KUHP), Mahkamah
Agung RI telah mengeluarkan SEMA No. 4 tahu 2011 tentang Perlakuan
Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang
bekerjasama (justice collaborator) di dalam perkara tindak pidana
tertentu.
Dasar pemikiran dikeluarkannya SEMA ini sama dengan yang
disebutkan dalam konsideran UU No. 13 tahun 2006, yaitu perlunya
mendorong partisipasi publik dalam pengungkapan tindak pidana
terorganisir, seperti korupsi, terorisme, narkoba, pencucian uang,
perdagangan orang yang telah membahayakan sendi-sendi kehidupan
masyarakat dan pembangunan bangsa. Dengan cara memberikan
perlindungan hukum dan perlakuan khusus kepada setiap orang yang
mengetahui, melaporkan atau menentukan suatu hal yang dapat
membantu aparat penegak hukum dalam penggungkapan dan
penangganan tindak pidana dimaksud secara efektif.
Isi SEMA ini mengacu kepada pasal 37 konvensi PBB anti korupsi
(UNCAC, 2003, yang telah teratifikasi dengan UU No. 7 tahun 2006) dan
pasal 26 konvensi PBB anti kejahatan transnasional yang terorganisasi
(UNTOC, 2000, yang telah diratifikasi dengan UU No. 5 Tahun 2009 ),
yang mewajibkan Negara anggota untuk mempertimbangkan
pengurangan hukuman dan kekebalan penuntutan bagi justice
collaborator dalam kasus-kasus tertentu.
Pada dasarnya, ide justice collaborator ini diperoleh dari Pasal 37
ayat (2) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun
2003 yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang No 7
Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against
Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Antikorupsi).
Pasal 37 ayat (2) UNCAC menegaskan: “Setiap negara peserta
wajib mempertimbangkan memberikan kemungkinan dalam kasus-
kasus yang tertentu, mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang
15
memberikan kerja sama yang substansial dalam penyelidikan atau
penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan berdasarkan Konvensi
ini.”
Kemudian dalam Pasal 37 ayat (3) UNCAC dikemukakan: “Setiap
negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan “kekebalan
dari penuntutan” bagi orang yang memberikan kerja sama substansial
dalam penyelidikan atau penuntutan (justice collaborator) suatu tindak
pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.”
SEMA ini dimaksudkan sebagai penjabaran lebih lanjut ketentuan
pasal 10 UU No. 13 tahun 2006, untuk dijadikan pedoman bagi para
hakim dalam pemeriksaan perkara-perkara pidana tertentu.
Didalam butir 8 diatur perlindungan bagi peelapor yang bukan
pelaku (whistleblower), yaitu bila yang bersangkutan dilaporkan oleh
pelapor maka penanganan perkara yang dilaporkan oleh pelapor
didahulukan dari pada laporan terlapor.
Didalam butir 9 ditetapkan syarat-syarat bagi justice
collaborator untuk mendapat reward, yaitu menggakui kejahatan yang
dilakukan, ia bukan pelaku utama dan ia memberikan keterangan saksi
di pengadilan, serta penuntut umum dalam tuntutannya menyatakan
bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-
bukti yang sangat signifikan dalam pengungkapan tindak pidana secara
efektif dan keterlibatan pelaku-pelaku lainnya yang berperan lebih
besar dalam pengambilan asset atau hasil tindak pidana kepada
Negara.Reward yang dapat diberikan kepada justice collaborator yang
memenuhi syarat-syarat tersebut adalah :
1. Menjatuhkan pidana bersyarat
2. Menjatuhkan pidana yang paling ringan diantara para terdakwa
lainnya yang terbukti bersalah
Dalam rancangan KUHAP disebutkan pada pasal 200 ayat (1)
disebutkan “Salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya
16
paling ringan dapat dijadikan Saksi dalam perkara yang sama dan
dapat dibebaskan dari penuntutan pidana, apabila Saksi membantu
mengungkapkan keterlibatan tersangka lain yang patut dipidana dalam
tindak pidana tersebut”. Yang dapat disebut whistleblower ini adalah
apabila yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana
tertentu, kemudian mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan
pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan
sebagai saksi di dalam proses peradilan dan yang bersangkutan telah
memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan
sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak
pidana dimaksud secara efektif. Dalam rancangan KUHAP posisi tersebut
disebut sebagai saksi Mahkota.
Dalam KUHAP lama walaupun secara nyata tidak diatur namun
dalam praktek di pengadilan salah satu hal yang paling sering disalah
mengerti ialah saksi mahkota. Ada yang mengartikan saksi mahkota
ialah jika para terdakwa bergantian menjadi saksi atas kawan
berbuatnya. Justru hal itu dilarang karena berarti selfincrimination.
Sebagai saksi dia disumpah, jadi jika dia berbohong dia bersumpah
palsu, padahal dia juga terdakwa dalam kasus itu yang jika dia
berbohong tidak diancam dengan pidana. Saksi mahkota hanya ada
dalam buku teks dan yurisprudensi, tidak tercantum di dalam undang-
undang. Saksi mahkota ialah salah seorang tersangka/terdakwa yang
paling ringan perannya dalam delik terorganisasikan yang bersedia
mengungkap delik itu, dan untuk “jasanya” itu dia dikeluarkan dari
daftar tersangka/terdakwa dan dijadikan saksi. Jika tidak ada peserta
(tersangka/terdakwa) yang ringan perannya dan tidak dapat
dimaafkan begitu saja, tetap diambil yang paling ringan perannya dan
dijadikan saksi kemudian menjadi terdakwa dengan janji oleh
penuntut umum akan menuntut pidana yang lebih ringan dari kawan
berbuatnya yang lain. Demikian ketentuan undang-undang Italia
tentang saksi mahkota. Jadi, ketentuan tentang saksi mahkota yang
17
dituangkan di dalam Pasal 200 Rancangan sesuai dengan asas
oportunitas juga yang dianut di Indonesia. Tentu hal ini harus
disampaikan oleh penuntut umum kepada hakim. Penuntut umumlah
yang menentukan terdakwa dijadikan saksi mahkota.
Hal ini tercantum di dalam 199 Rancangan yang berjudul jalur
khusus. Pada saat penuntut umum membacakan surat dakwaan,
terdakwa mengakui semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku
bersalah melakukan tindak pidana yang ancaman pidana yang
didakwakan tidak lebih dari tujuh tahun penjara, penuntut umum
dapat melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat.
Pidana yang dijatuhkan tidak boleh lebih dari 2/3 dari maksimum. Di
sinilah letak pengakuan yang memberi keuntungan (semacam plea
bargaining). Hakim dapat menolak pengakuan ini dan meminta
penuntut umum mengajukan ke sidang pemeriksaan biasa.
Dalam rancangan KUHAP mengenai pengurangan hukuman ini
juga diataur yaitu disebutkan pada pasal 200 ayat (2) “Apabila tidak
ada tersangka atau terdakwa yang peranannya ringan dalam tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka tersangka atau
terdakwa yang mengaku bersalah berdasarkan Pasal 199 dan
membantu secara substantif mengungkap tindak pidana dan peran
tersangka lain dapat dikurangi pidananya dengan kebijaksanaan hakim
pengadilan negeri”.
3. Penutup
Rancangan undang-undang hukum acara pidana kiranya sangat penting
untuk segera diundangkan karena dalam rancangan hukum acara pidana
yang baru tersebut hak-hak korban, saksi dan tersangka diakomodir secara
porposional. Oleh karena itu marilah kita secara bersama-sama mendorong
rancangan hukum acara pidana ini segera diundangkan dan pembahasan
RUU KUHAP agar didahulukan atau setidak-tidaknya bersama-sama dengan
undang-undang kelembagaan dari penegak hukum agar tidak terjadi
18
tumpang tindih atau bertentangan satu dengan lainnya dan terdapat benang
merah dengan rancangan KUHAP.
Bandung, 14 Desember 2012
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika.
Tak, Peter J.P., 2004, Tasks and Powers of the Prosecution Service in the
EU Member States, Nijmegen: Wolf Legel Publishers.
Weissbrodt, David, 2001, The Right to a Fair Trial Under themUniversal
Declaration of Human Rights and the International Covenant on Civil and
Political Rights, The Hague / Boston/London: Martinus Nijhoff Publishers.
Rancangan Undang-Undang RI tentang Hukum Acara Pidana