confidentiality dan safe conduct menurut undang-undang nomor …/Studi... · ii penulisan hukum...
Transcript of confidentiality dan safe conduct menurut undang-undang nomor …/Studi... · ii penulisan hukum...
i
Studi komparasi hukum perlindungan saksi dan korban terkait prinsip
confidentiality dan safe conduct menurut undang-undang nomor 13 tahun
2006 tentang perlindungan saksi dan korban terhadap witness protection bill
2008 Malaysia
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna
Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
Fatimah Iramia
NIM.E.1106121
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
PERSETUJUAN PEMBIMBING
ii
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI KOMPARASI HUKUM PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
TERKAIT PRINSIP CONFIDENTIALITY DAN SAFE CONDUCT MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN TERHADAP WITNESS
PROTECTION BILL 2008 MALAYSIA
Oleh
Fatimah Iramia
NIM.E1106121
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 12 Juli 2010
Dosen Pembimbing
Bambang Santoso, S.H.,M.Hum.
NIP. 196202091989031001
PENGESAHAN PENGUJI
iii
Penulisan Hukum ( Skripsi )
STUDI KOMPARASI HUKUM PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
TERKAIT PRINSIP CONFIDENTIALITY DAN SAFE CONDUCT
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN TERHADAP WITNESS
PROTECTION BILL 2008 MALAYSIA
Disusun Oleh :
FATIMAH IRAMIA
E 1106121
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi )
Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret Surakarta
Pada:
Hari : Kamis
Tanggal : 29 Juli 2010
TIM PENGUJI
1. Edy Herdyanto, S. H., M. H. ( ................................. ) NIP.195706291985031002
2. Bambang Santoso, S. H., M. Hum. ( .................................. )
NIP.196202091989031001 3. Kristiyadi, S. H., M. Hum. ( ................................. ) NIP.195812251986011001
MENGETAHUI
Dekan,
Mohammad Jamin, S.H, M.Hum
NIP. 1961 0930 198601 1 001 PERNYATAAN
iv
Nama : Fatimah Iramia
NIM : E1106121
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi)
berjudul STUDI KOMPARASI HUKUM PERLINDUNGAN SAKSI DAN
KORBAN TERKAIT PRINSIP CONFIDENTIALITY DAN SAFE
CONDUCT MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006
TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN TERHADAP
WITNESS PROTECTION BILL 2008 MALAYSIA adalah betul-betul karya
sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini
diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di
kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan
gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 12 Juli 2010
Yang membuat pernyataan
Fatimah Iramia
NIM.E1106121
ABSTRAK
v
Fatimah Iramia, E.1106121.2010. STUDI KOMPARASI HUKUM PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN TERKAIT PRINSIP CONFIDENTIALITY DAN SAFE CONDUCT MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN TERHADAP WITNESS PROTECTION BILL 2008 MALAYSIA”. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Bagaimana persamaan dan perbedaan dalam regulasi prinsip confidentiality dan safe conduct menurut UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam Witness Protection Bill 2008 Malaysia dan apakah kelebihan dan kelemahan pengaturan program perlindungan saksi dan korban menurut UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dibandingkan dengan Witness Protection Bill 2008 Malaysia
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau doktrinal bersifat
preskriptif, analisis jenis data yang digunakan adalah data sekunder, sumber data adalah sumber data sekunder yang masih relevan dengan permasalahan yaitu bahan hukum primer (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban, Witness Protection Bill 2008 Malaysia tentang Perlindungan Saksi, bahan hukum sekunder (buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, karya ilmiah, makalah, dan majalah), dan bahan hukum tersier (kamus dan internet).
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa. Terdapat
persamaan dan perbedaan antara UU No.13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban dengan Witness Protection Bill 2008 Malaysia.persamaan diantara keduanya adalah dalam mendefinisikan saksi, jenis-jenis perlindungan yang di berikan terhadap saksi dan korban, prosedur pemberian perlindungan dan penghentian perlindungan kepada saksi dan korban. Perbedaan dari Undang-undang perlindungan saksi dan korban di Indonesia dan di Malaysia meliputi lembaga dan pejabat yang berwenang melaksanakan perlindungan saksi dan korban, pembiayaan dalam penyelenggaraan perlindungan saksi dan korban, asas-asas yang mendasari perlindungan saksi dan korban serta prinsip safe conduct dalam UU No. 13 tahun 2006 dan Witness Protection Bill 2008 Malaysia. Selain persamaan dan perbedaan juga diambil kesimpulan berdasarkan hasil penelitian mengenai kelebihan dan kelemahan terhadap UU No. 13 tahun 2006 dan Witness Protection Bill 2008 Malaysia. Kelebihan UU No. 13 tahun 2006 diantaranya terdapat Ketentuan Pidana dan asas-asas yang mendasari perlindungan saksi dan korban dalam Undang-Undang tersebut, kelebihan UU No. 13 tahun 2006 sekaligus adalah kelemahan Witness Protection Bill 2008, dan kelebihan Witness Protection Bill 2008 yaitu terdapat pengaturan pada pemberian identitas baru pada saksi, menjadi kelemahan untuk UU No.13 tahun 2006.
v
ABSTRACT Fatimah Iramia, E1106121. 2010. A COMPARATIVE STUDY ON WITNESS AND VICTIM PROTECTION RELATED TO THE CONFIDENTIALITY AND SAFE CONDUCT PRINCIPLES ACCORDING TO THE ACT NUMBER 13 OF 2006 ABOUT THE WITNESS AND VICTIM PROTECTION AND THE MALAYSIAN’S WITNESS PROTECTION BILL 2008. Law Faculty of Surakarta Sebelas Maret University.
This research aims to find out what the similarity and difference is in the confidentiality and safe conduct regulation according to Act No. 13 of 2006 about the Witness and Victim Protection and the Malaysian’s Protection Bill 2008 and what the strength and weakness is of the witness and victim protection program according to Act No. 13 of 2006 about the Witness and Victim Protection compared with the Malaysian’s Protection Bill 2008.
This study belongs to a normative or doctrinal law research that is
prescriptive in nature, the data source was secondary data that is still relevant to the problems, namely primary law (Act No. 13 of 2006 about the Witness and Victim Protection, the Malaysian’s Protection Bill 2008 about Witness Protection, secondary law (textual books written by the law expert, law journal, the scholars’ opinion, scientific work, paper and magazine) and tertiary law materials (dictionary and internet).
Considering the result of research, it can be concluded that: there is
similarity and difference between Act No. 13 of 2006 about the Witness and Victim Protection and the Malaysian’s Protection Bill 2008. The similarity includes in defining the witness, types of protection given to the witness and victim, procedure of protection providing and protection termination to the witness and victim. The difference of witness and victim protection act in Indonesia from that in Malaysia includes the institutions and officials having authority to implement the protection for the witness and victim, the fund for the implementation of witness and victim protection, the principles underlying the witness and victim protection as well as safe conduct principle in Act No.13 of 2006 and Malaysian’s Witness Protection Bill 2008. In addition to those similarity and difference it can also be concluded that based on the result of research there is strength and weakness of Act No.13 of 2006 and Malaysian’s Witness Protection Bill 2008 including the presence of criminal provision and the principles underlying the witness and victim protection in that act. This strength of Act no. 3 of 2006 is the weakness all at once of Malaysian’s Witness Protection Bill 2008, and the strength of Malaysian’s Witness Protection Bill 2008 is that there is regulation about the new identity providing to the witness, becoming the weakness of Act No. 13 of 2006.
vi
MOTTO
- Veritas, Probitas, Iustitia -
Bagian terbaik dari hidup seseorang adalah perbuatan-perbuatan baiknya dan
kasihnya yang tidak diketahui orang lain.
Jika kita tidak mampu membuat org lain bahagia minimal kita jangan
menyakitinya
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini Penulis dedikasikan untuk :
Ø Allah SWT, atas limpahan rahmat dan
KaruniaNYA
Ø Mama tercinta, baru ini yang bisa
kupersembahkan
Ø keluarga besar, atas doa dan
dukungannya
Ø Teman-temanku tersayang novita, rusy,
iis
Ø Keluarga besar Fakultas Hukum UNS
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, atas
rahmat-NYA sehingga Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Penulisan
Hukum yang berjudul ”STUDI KOMPARASI HUKUM PERLINDUNGAN
SAKSI DAN KORBAN TERKAIT PRINSIP CONFIDENTIALITY DAN
SAFE CONDUCT MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN
2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN TERHADAP
WITNESS PROTECTION BILL 2008 MALAYSIA”.
Penulis menyadari bahwa terselesainya Penulisan Hukum ini tidak
terlepas dari bantuan baik moril maupun materiil serta doa dan dukungan berbagai
pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum., selaku pembimbing penulisan
skripsi yang telah sabar memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi
bagi Penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini.
3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang
telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Kristiyadi, S.H., M.Hum., selaku dosen acara pidana yang membantu
memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Ibu Djuwityastuti, S.H., selaku pembimbing akademis, atas nasehat yang
berguna bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum UNS.
6. Bapak Hardjono, S.H., M.H., selaku Ketua Program Hukum Non Reguler, atas
dukungan dan arahan-arahan yang berguna bagi penulis selama penulis belajar
di Fakultas Hukum UNS
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu
pengetahuan kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan
skripsi ini.
viii
8. Mama tercinta dan seluruh keluarga atas cinta dan kasih sayang, doa,
dukungan, semangat dan segala yang telah diberikan yang tidak ternilai
harganya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini.
9. Orang-orang terkasih Alviando Beta, Donita, mody, Gaby, Kareen, Dony,
Samy dkk, yang selalu ada dikala suka dan duka, memberikan inspirasi dan
menjadi motivasi tersendiri bagi Penulis.
10. Teman-teman terbaikku Novita, Iis, Rusy yang selalu memberikan dukungan.
11. Teman-teman di Fakultas Hukum, khususnya Angkatan 2006 yang membuat
suasana kuliah jadi lebih berwarna.
12. Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat Penulis sebutkan
satu-persatu
Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum atau Skripsi ini masih jauh
dari sempurna baik dari segi subtansi ataupun teknis penulisan. Untuk itu
sumbang saran dari berbagai pihak yang bersifat konstruktif, sangat penulis
harapkan demi perbaikan atau penyempurnaan penulisan hukum selanjutnya.
Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat kepada semua
pihak, baik untuk penulisan, akademisi, praktisi maupun masyarakat umum.
Surakarta, 12 Juli 2010
penulis
FATIMAH IRAMIA
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN...................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................... v
HALAMAN MOTTO.................................................................................. vi
HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................. vii
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL........................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Perumusan Masalah............................................................... 9
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian .................................................................. 10
E. Metode Penelitian ................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................ 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori ....................................................................... 15
1. Tinjauan tentang Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia 15
a. Pengertian Perlindungan ............................................. 17
b. Pengertian Saksi .......................................................... 17
c. Pengertian Korban ................................ ......................
2. Tinjauan tentang Perlindungan Saksi dan Korban di
Malaysia........................................................................... 18
3. Tinjauan tentang Perbandingan Hukum…………... 19
a. Sejarah Perbandingan Hukum …………....... 19
b. Pengertian Perbandingan Hukum …………. 20
15 15 17
x
c. Macam Perbandingan Hukum …………............... 22
d. Tujuan Perbandingan Hukum…………................. 22
e. Kegunaan Perbandingan Hukum…………........... 23
B. Kerangka Pemikiran ................................................................ 24
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persamaan dan Perbedaan dalam regulasi prinsip confidentiality dan
safe conduct menurut UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban dengan Witness Protection Bill 2008 Malaysia
................................................................................................... 26
B. Kelebihan dan kelemahan pengaturan program perlindungan saksi
dan korban menurut UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dibandingkan dengan Witness Protection Bill 2008
Malaysia.................................................................................... 74
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................. 76
B. Saran ....................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Persamaan Persamaan Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection Bill 2008
Malaysia........................................................................................... 67
Tabel 2. Perbedaan Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban dengan Witness Protection Bill 2008
Malaysia........................................................................................... 72
Tabel 3. Kelebihan dan Kelemahan Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection Bill 2008
Malaysia .......................................................................................... 74
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum
(rechstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat). Hal ini berarti
negara Indonesia adalah negara hukum yang demokratis dan menjunjung
tinggi hak asasi manusia serta menjamin dan menjunjung kedudukan semua
warga negaranya dalam hukum dan pemerintahan.
Negara hukum atau biasa disebut dengan “Rule of Law” di dalamnya
mempunyai arti mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia, legalitas
dari tindakan Negara atau pemerintahan dalam arti tindakan aparatur negara
yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum dan terjaminnya peradilan
yang bebas. Hukum adalah menetapkan apa yang dilakukan dan/ atau apa
yang boleh dilakukan serta yang dilarang. Tujuannya adalah baik orang-orang
yang berbuat melawan hukum, maupun perbuatan hukum yang mungkin akan
terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum
tersebut. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah satu
bentuk penegakan hukum.
Negara yang menganut sistem negara hukum bertujuan untuk
mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya, yang
berdasarkan kepada Ke- Tuhanan Yang Maha Esa. Banyak usaha yang dapat
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, salah satunya adalah dengan
menempatkan masalah hukum pada kedudukan yang sesungguhnya, sesuai
dengan aturan yang berlaku dalam negara. Dalam hal ini, hukum di Indonesia
dijadikan suatu kaidah atau norma yang telah disepakati bersama dan
karenanya harus dipertahankan dan ditaati bersama pula, baik oleh pemerintah
maupun masyarakat dalam melaksanakan hak dan kewajiban masing- masing.
2
Agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya untuk
meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan
fungsi dan wewenang masing- masing ke arah tegaknya hukum, keadilan, dan
pelindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian
hukum demi terselenggaranya negara hukum harus sesuai dengan Pancasila
dan Undang- Undang Dasar 1945.
Hukum Acara Pidana merupakan hukum yang memuat peraturan-
peraturan untuk melaksanakan hukum pidana, karena hukum acara pidana
mempunyai fungsi sebagai alat untuk menyelesaikan segala kepentingan yang
berhubungan dengan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam hukum
pidana. Hukum acara pidana (hukum pidana formil) adalah hukum yang
menyelenggarakan hukum pidana materiil yaitu merupakan sistem kaidah atau
norma yang diberlakukan oleh negara untuk melaksanakan hukum pidana atau
menjatuhkan pidana.
Tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan
martabat manusia dalam tindak pidana khususnya bagi perlindungan hak asasi
terhadap tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana, dibuktikan
dengan adanya proses penyelidikan, penyidikan, penahanan, penuntutan, pra
peradilan, pemeriksaan sidang, pembuktian, kemudian putusan pengadilan
yang dilakukan oleh hakim sebagai pejabat peradilan negara yang diberi
wewenang oleh Undang-undang untuk mengadili. Semua proses tersebut
dilakukan dengan menjunjung tinggi keadilan demi tegaknya hukum.
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada
alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan. Dalam proses persidangan,
terutama yang berkenaan dengan Saksi, banyak kasus yang tidak terungkap
akibat tidak adanya Saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum.
Padahal, adanya Saksi dan Korban merupakan unsur yang sangat menentukan
dalam proses peradilan pidana. Keberadaan Saksi dan Korban dalam proses
peradilan pidana selama ini kurang mendapat perhatian masyarakat dan
penegak hukum. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan
3
banyak disebabkan oleh Saksi dan Korban takut memberikan kesaksian
kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak tertentu.
Peran Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana selama ini
sangat jauh dari perhatian masyarakat dan penegak hukum. Adanya kasus-
kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan disebabkan oleh karena
keengganan saksi dan Korban untuk memberikan kesaksian kepada penegak
hukum karena mendapat ancaman dari pihak-tertentu.
Indonesia sebagai salah satu Negara yang juga wajib memberikan
perlindungan hukum bagi korban kejahatan, setelah beberapa waktu melalui
proses yang sangat panjang akhirnya pada tanggal 11 Agustus 2006,
Pemerintah berhasil mengesahkan Rancangan Undang-undang Perlindungan
Saksi dan Korban menjadi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
Lahirnya UU Nomor 13 Tahun 2006 tersebut diharapkan dapat
memberikan perlindungan hukum kepada saksi dan korban kejahatan, karena
secara singkat dalam undang-undang tersebut mulai memperluas hak-hak yang
dimiliki oleh saksi dan korban baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Kesaksian seorang saksi di pengadilan diatur dalam Pasal 184 Undang
Undang Nomor 8 tahun 1981 atau Kitab Undang Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Ketentuan tersebut menyatakan, keterangan saksi di
pengadilan menjadi salah satu alat bukti yang sah. Selanjutnya Pasal 185 ayat
(2) KUHAP menyatakan keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya. Ayat ke-3 dari Pasal yang sama berbunyi, “Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan
alat bukti lainnya.” Dari sini dapat diartikan, keterangan lebih dari satu orang
saksi saja tanpa disertai saksi atau alat bukti lainnya, dapat dianggap cukup
untuk membuktikan apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak.
Banyaknya kasus di pengadilan yang tidak terungkap karena minimnya
saksi yang bersedia memberikan kesaksiannya menjadi permasalahan yang
signifikan dalam penegakan hukum dan keadilan di negara ini. Kitab Undang-
4
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebenarnya telah mengatur mengenai
perangkat dan dasar hukum perlindungan saksi, perangkat dan dasar hukum
perlindungan saksi dalam KUHAP yaitu:
1. Adanya kewajiban mengucapkan sumpah bagi saksi, kecuali untuk :
a) Anak yang umurnya belum cukup 15 tahun (Pasal 171 butir (a))
b) Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang
ingatannya baik kembali (Pasal 171 butir (b)).
2. Dapat didengarkannya kesaksian saksi tanpa kehadiran terdakwa (Pasal
173).
3. Dapat ditunjukan juru bahasa bagi saksi yang tidak paham bahasa
Indonesia (Pasal 177).
4. Dapat ditunjukan penterjemah bagi saksi bisu tuli serta tidak dapat menulis
(Pasal 178).
Peraturan perundangan-undangan di Indonesia yang mengatur
mengenai perlindungan saksi terus-menerus mengalami perkembangan,
namun di dalam peraturan tersebut belum juga terdapat atau mengatur
mengenai suatu lembaga yang khusus menangani permasalahan terhadap
perlindungan terhadap saksi dan korban. Adapun peraturan perundangan-
perundangan di Indonesia yang mengatur mengenai perlindungan saksi,
yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana atau KUHP.
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau
KUHAP.
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
7. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
5
8. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan
DalamPencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
9. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang.
10. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM
Berat.
11. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi,
Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat.
12. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim
dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme.
14. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian
Uang.
15. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban.
Dilihat dari sudut perundang-undangan, kedudukan saksi termasuk
korban berada dalam posisi yang lemah. KUHP misalnya, bahkan mengancam
dengan pidana, saksi yang tidak datang ketika penegak hukum memintanya
untuk memberikan keterangan. Apabila kita mencoba untuk membandingkan
perlindungan hukum bagi saksi disatu pihak dan tersangka/terdakwa dipihak
yang lain, mungkin kita akan sampai pada suatu pemikiran apakah hak-hak
tersangka terdakwa diberikan karena kedudukannya yang lemah sehingga
rawan abuse of power. Sementara saksi sebagai warga masyarakat, juga
korban sebagai pihak yang langsung dirugikan kepentingannya, karena telah
diwakili oleh negara yang berperan sebagai pelaksana proses hukum dianggap
tidak perlu lagi memiliki sejumlah hak yang memberikan perlindungan
6
baginya dalam proses peradilan. Sesungguhnya apabila kita cermati dalam
kenyataannya, kondisi saksi tidak jauh berbeda dengan tersangka/terdakwa,
mereka sama-sama memerlukan perlindungan,karena:
1. Bagi saksi (apalagi yang awam hukum), memberikan keterangan
bukanlah suatu hal yang mudah.
2. Bila keterangan yang diberikan ternyata tidak benar, ada ancaman pidana
baginya karena dianggap bersumpah palsu.
3. Keterangan yang diberikannya akan memungkinkan dirinya mendapat
ancaman, teror, intimidasi dari pihak yang dirugikan.
4. Memberikan keterangan membuang waktu dan biaya
5. Aparat penegak hukum tidak jarang memperlakukan saksi seperti seorang
tersangka/terdakwa.
Meskipun secara teoritis, saksi terutama saksi korban telah diwakili
kepentingannya oleh aparat penegak hukum, namun dalam kenyataannya
mereka hanya dijadikan alat hukum untuk mendukung, memperkuat
argumentasi untuk memenangkan perkara. Kemenangan aparat penegak
hukum, dengan keberhasilannya membuktikan kesalahan terdakwa dan
meyakinkan hakim mengenai hal itu, sesungguhnya juga merupakan
kemenangan masyarakat (termasuk korban). Namun tidak jarang aparat
penegak hukum mengabaikan pihak yang diwakilinya. Apakah korban merasa
puas dengan tuntutan jaksa atau putusan hakim, misalnya, merupakan hal-hal
yang tidak pernah diperhatikan.
Manifestasi ketidakpuasan masyarakat terhadap perlakuan pihak yang
mewakilinya, kemudian muncul dalam berbagai bentuk mulai dari tindakan
pelemparan sepatu pada hakim, perusakan gedung pengadilan, sampai pada
tindakan main hakim sendiri, yang akhir-akhir ini marak terjadi. Tindakan-
tindakan anarki yang dilakukan masyarakat tersebut berpangkal tolak dari
perasaan tidak puas, perasaan diperlakukan tidak adil dalam diri masyarakat,
yang kemudian seringkali bermuara pada dugaan terjadinya praktik KKN di
kalangan aparat penegak hukum.
7
Terlepas dari benar atau tidaknya tuduhan tersebut, setidaknya kondisi
ketidakpercayaan terhadap penegak hukum ini sangat berdampak buruk pada
proses penegakkan hukum. Apabila kita ingin mengembalikan proses
penegakan hukum ke dalam jalurnya semula maka sudah saatnya diberikan
perhatian yang lebih besar pada pihak lain yang terlibat dalam proses
peradilan selain tersangka/terdakwa dan aparat penegak hukum. Berdasarkan
pada asas kesamaan dalam hukum – equality before the law-, yang merupakan
syarat suatu negara hukum, tidak berlebihan kiranya bila pada saksi termasuk
saksi korban diberikan sejumlah hak yang akan memberikan perlindungan
padanya.
Sebagai wakil dari negara yang telah menerima mandat dari warga
masyarakatnya, aparat penegak hukum dikatakan memiliki posisi yang lebih
kuat daripada si pelanggar hukum. Kondisi ini yang kemudian menimbulkan
kekhawatiran akan adanya kesewenang-wenangan dari aparat penegak hukum
dalam menjalankan kewenangan yang dimilikinya. Hal yang tadinya hanya
merupakan kekhawatiran ini kemudian terbukti dengan tidak sedikitnya berita
tentang praktik-praktik penyiksaan yang dilakukan oleh aparat dalam rangka
memperoleh pengakuan dari tersangka/terdakwa. Oleh karena itu merupakan
hal yang wajar bila kemudian muncul simpati pada pihak yang lemah ini.
Bentuk simpati ini antara lain dengan diberikannya seperangkat hak pada
tersangka/terdakwa untuk membela dirinya melalui proses hukum yang adil.
Kepedulian yang demikian besar kepada tersangka/terdakwa
menimbulkan persepsi bahwa the pendulum has swung too far, karena seolah-
olah telah mengabaikan pihak lain yang terlibat dalam proses peradilan
pidana, terutama saksi termasuk saksi korban. Peradilan pidana selama ini
lebih mengutamakan perlindungan kepentingan pelaku tindak pidana. Padahal
peradilan pidana sebagai institusi yang berwenang menjatuhkan sanksi pidana
pada orang yang melanggar hukum pidana acapkali menjadi tolok ukur
penilaian terhadap watak penguasa dan atau masyarakatnya. Negara sebagai
wakil publik, melalui peradilan pidana mendapat sorotan dalam dua hal.
Pertama, bagaimana melaksanakan proses hukum terhadap tersangka/
8
terdakwa pelanggar hukum pidana dan yang kedua, bagaimana
memperlakukan tersangka/terdakwa, yang juga merupakan bagian dari
anggota masyarakat. Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dalam
menetapkan kebijakan dan dalam bertindak, agar kepentingan-kepentingan
yang harus dilindungi mendapatkan porsi yang seimbang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa yang menjadi fokus perhatian dalam
suatu proses peradilan adalah orang yang melanggar hukum, yaitu
tersangka/terdakwa dalam peradilan pidana atau tergugat dalam perkara
perdata. Namun berbeda dengan tergugat, tersangka/terdakwa sebagai orang
yang dianggap telah mengganggu nilai-nilai yang disepakati bersama ini harus
berhadapan dengan aparat negara yang bertugas menegakkan hukum dan
keadilan.
Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama
dalam perkara pidana. Tidak ada suatu perkara pidana yang tidak luput dari
pembuktian alat bukti keterangan saksi. Perlindungan Saksi dan Korban dalam
proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Sesuai Pasal
50 sampai dengan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau
terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan
pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah saatnya perlindungan
Saksi dan Korban diatur dengan undang-undang tersendiri. Berdasarkan asas
kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu
ciri negara hukum, Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana harus
diberi jaminan perlindungan hukum. Perlindungan terhadap Saksi dan Korban
tersebut mempunyai relevansi yang sangat menarik untuk dikaji.
Berdasarkan hal tersebut, Penulis tertarik untuk melakukan
perbandingan antara perlindungan saksi dan korban di Indonesia dengan
perlindungan saksi dan korban di Malaysia. Untuk itu penulis terdorong untuk
menulis Penulisan Hukum dengan judul “STUDI KOMPARASI HUKUM
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN TERKAIT PRINSIP
CONFIDENTIALITY DAN SAFE CONDUCT MENURUT UNDANG-
9
UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN
SAKSI DAN KORBAN TERHADAP WITNESS PROTECTION BILL
2008 MALAYSIA”
B. Perumusan Masalah
Sehubungan dengan beberapa hal yang penulis kemukakan tersebut,
untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang akan dibahas
serta untuk lebih mengarahkan ke pembahasan, penulis menetapkan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana persamaan dan perbedaan dalam regulasi prinsip
confidentiality dan safe conduct menurut UU No. 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dalam Witness Protection Bill 2008
Malaysia?
2. Apakah kelebihan dan kelemahan pengaturan program perlindungan saksi
dan korban menurut UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban dibandingkan dengan Witness Protection Bill 2008 Malaysia?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan agar penelitian tersebut
dapat memberikan manfaat yang sesuai dengan apa yang dikehendaki. Adapun
tujuan penelitian ini adalah:
1. Tujuan Obyektif
a) Untuk mengetahui pesamaan dan perbedaan dalam regulasi prinsip
confidentiality dan safe conduct menurut UU No. 13 tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection
Bill 2008.
b) Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan pengaturan program
perlindungan saksi dan korban menurut UU No. 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dibandingkan dengan Witness
Protection Bill 2008 Malaysia
10
2. Tujuan Subyektif
a) Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam menyusun skripsi
sebagai syarat yang harus dipenuhi guna memperoleh gelar
kesarjanaan dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b) Untuk menambah pengetahuan peneliti di bidang hukum khususnya
yang menyangkut tentang perlindungan saksi dan korban.
c) Untuk melatih dan mengembangkan kemampuan penulis di bidang
penelitian.
D. Manfaat Penelitian
Dalam setiap penelitian diharapkan adanya suatu manfaat dan
kegunaan yang dapat diambil dari penelitian, sebab besar kecilnya penelitian
akan menentukan nilai- nilai dari penelitian tersebut. Adapun yang menjadi
manfaat dari penelitian ini dibedakan antara manfaat teoritis dan manfaat
praktis, yaitu:
1. Manfaat teoritis
a) Memberikan dasar dan landasan untuk penelitian lebih lanjut.
b) Memberikan sumbangan pemkiran bagi pembangunan ilmu hukum
khususnya hukum acara pidana terutama yang berhubungan dengan
perlindungan saksi dan korban.
2. Manfaat praktis
a) Bagi mahasiswa (peneliti).
Dengan adanya penelitian ini diharapkan mahasiswa dapat
membandingkan antara ilmu yang diperoleh di bangku kuliah dengan
kenyataan yang ada di lapangan.
b) Bagi masyarakat.
Dengan membaca penelitian ini dapat diperoleh sedikit informasi dan
gambaran kepada masyarakat pada umumnya dan pihak- pihak lain
yang berkepentingan mengenai penulisan ini.
11
E. Metode Penelitian
Metode adalah pedoman cara seorang ilmuwan mempelajari dan
memahami lingkungan–lingkungan yang dihadapi (Soerjono Soekanto, 1986:
6). Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan hukum ini
maka digunakan metode penelitian tertentu yang sesuai. Adapun metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Sebagai penelitian hukum, maka penelitian ini termasuk penelitian
hukum normatif atau doktrinal. Disebut sebagai penelitian hukum normatif
karena sumber data utamanya berupa data sekunder. Dilihat dari sifatnya
penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang
bertujuan memberikan data seteliti mungkin tentang manusia atau gejala–
gejala lainnya. Dalam penelitian ini Penulis berusaha menggambarkan
secara jelas dan lengkap tentang Perbandingan Hukum Perlindungan Saksi
dan Korban Terkait Prinsip Confidentiality dan Safe Conduct Menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban Terhadap Witness Protection Bill 2008 Malaysia.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian
yang dilakukan dengan melakukan pengumpulan data berupa kata-kata,
gambar-gambar, serta informasi verbal atau nomatif dan bukan dalam
bentuk angka-angka ( Soerjono Soekanto, 1986: 10).
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang memberikan gambaran secara lengkap
dan sistematis terhadap obyek yang diteliti.
Suatu penelitian deskriptif merupakan penelitian yang
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang
manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama
12
untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam
memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori
baru. (Soerjono Soekanto, 1986:10).
3. Jenis Data
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa penelitian ini termasuk
penelitian hukum normatif. Jenis data utama dalam penelitian hukum
normatif adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh
dari buku pustaka, ruang lingkupnya sangat luas meliputi data atau
informasi, penelaahan dokumen, hasil penelitian sebelumnya, dan bahan
kepustakaan seperti buku-buku literatur, koran, majalah, dan arsip yang
berkaitan dengan masalah yang dibahas.
4. Sumber Data
Sumber data yang digunakan berupa data sekunder, yang berupa:
a) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum atau bahan pustaka
yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, adapun yang
penulis gunakan adalah :
1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan Korban.
4) Witness Protection Bill Malaysia of 2008.
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan
penjelasan hukum primer, seperti :
1) Hasil karya ilmiah para sarjana yang relevan atau terkait dalam
penelitian ini.
2) Hasil-hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini.
3) Buku-buku penunjang lain.
c) Bahan Hukum Tertier
13
Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, diantaranya bahan dari media internet yang relevan
dengan penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan, yaitu pengumpulan data sekunder. Penulis mengumpulkan
data sekunder yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti
yang digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Selanjutnya data yang
diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, dan selanjutnya dianalisis
lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian. Metode
pengumpulan data ini berguna untuk mendapatkan landasan teori yang
berupa pendapat para ahli mengenai hal yang menjadi obyek penelitian
seperti peraturan perundangan yang berlaku dan berkaitan dengan hal-hal
yang perlu diteliti.
6. Teknik Analisis Data
Analisa data dalam suatu penelitian adalah menguraikan atau
memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan data yang diperoleh
kemudian diolah pokok permasalahan yang diajukan terhadap penelitian
yang bersifat normatif. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik
analisis yang bersifat kualitatif.
Analisis data secara kualitatif adalah suatu tata cara penelitian yang
menghasilkan data deskriptif-analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh
responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku yang nyata, yang
diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. (Soerjono Soekanto,
1986: 250). Dalam hal ini, sumber penelitian yang diperoleh dalam
penelitian ini dengan melakukan inventarisasi sekaligus mengkaji dari
penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta
dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma terkait,
kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk
menjawab permasalahan yang diteliti.
14
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai keseluruhan dari
isi penulisan hukum, maka penulis membagi penulisan hukum ini menjadi
empat bab. Adapun sistematika dari penulisan hukum ini sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian, jadwal penelitian dan sistematika
penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini penulis menguraikan tentang teori-teori yang
melandasi penelitian hukum. Pada bab ini dibahas
mengenai tinjauan umum tentang saksi dan korban, tinjauan
umum Prinsip Confidentiality dan Safe Conduct, dan
tinjauan Umum mengenai Undang-Undang No. 13 tahun
2006.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian dan
pembahasan yaitu tentang perbandingan perlindungan saksi
dan korban terkait prinsip confidentiality dan safe conduct
menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 terhadap
Witness Protection Bill 2008 Malaysia.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini berisi mengenai simpulan dan saran terkait dengan
pembahasan permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
26
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia
a. Pengertian Perlindungan
Istilah perlindungan dalam UU PSK adalah bentuk perbuatan
untuk memberikan tempat bernaung atau berlindung bagi seseorang
yang membutuhkan, sehingga merasa aman terhadap ancaman
sekitarnya. Pengertian perlindungan ini hampir sama dengan
pengertian perlindungan dalam PP No. 2 Tahun 2002 yang
menyatakan bahwa perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang
wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan
untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada
korban dan saksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari
pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
b. Pengertian Saksi
Pengertian saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) menggunakan
konsep tentang pengertian saksi seperti yang diatur oleh Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Saksi dinyatakan
sebagai orang yang hendak memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/ atau ia
alami sendiri. Perbedaan dengan rumusan KUHAP adalah bahwa
rumusan saksi dalam UU PSK mulai dari tahap penyelidikan sudah
dianggap sebagai saksi sedangkan KUHAP hanya dimulai dari tahap
penyidikan.
27
Tentang perlindungan terhadap Pelapor sendiri telah lebih awal
diatur dalam Pasal 31 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang menjelaskan bahwa pelapor tidak dapat
diajukan dalam sidang pengadilan melainkan harus dilindungi identitas
dan alamatnya.
Saksi dalam rumusan UU PSK dinyatakan sebagai saksi yang
akan memberikan keterangan untuk mendukung proses penyelesaian
perkara pidana. Saksi dalam definisi ini terpisah dengan pihak lain
yang ada korelasi dengan saksi yang bisa terlibat atau mendapatkan
hak-hak yang tercatum dalam Undang-Undang ini. Pembentuk
Undang-Undang lebih memilih pihak-pihak yang termasuk dalam
pengertian saksi dalam UU ini dipisah yaitu antara saksi itu sendiri
dengan keluarga saksi. Pada poin 5 Pasal 1 UU PSK menjelaskan
tentang siapa yang dimaksud dengan keluarga saksi yaitu orang yang
mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau kebawah,
atau mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi
tanggungan saksi dan/ atau korban.
Rumusan tentang saksi yang demikian berbeda, misalnya,
dengan pengertian saksi dalam Undang-Undang tentang perlindungan
saksi negara Kanada yang menyatakan bahwa seorang saksi dalam
program ini adalah:
1) saksi adalah seseorang yang memberikan atau setuju untuk
memberikan informasi atau bukti atau yang ambil bagian dalam
suatu hal yang terkait dengan suatu penyelidikan atau investigasi
atau penuntutan suatu kejahatan, dan yang mungkin membutuhkan
perlindungan karena resiko keamanan atas dirinya dalam kaitan
dengan penyelidikan, investigasi, atau penuntutan tersebut, atau
2) seseorang yang karena hubungan atau ikatannya dengan orang
yang disebut pada bagian diatas mungkin juga membutuhkan
perlindungan karena alasan yang sama seperti bagiana diatas
(www.elsam.or.id/031807/html).
28
Ketentuan mengenai dapat dimasukkannya pihak lain selain
saksi dan keluarga saksi akan menjamin bahwa pihak-pihak lain yang
mempunyai hubungan dengan saksi juga akan mendapatkan
perlindungan. Undang-Undang perlindungan saksi negara
Kanada.tidak mendefenisikan saksi, namun langsung menyatakan
pihak-pihak yang dapat ikut dalam program perlindungan.
UU Perlindungan Saksi di Quensland (Queensland, Witness
Protection Act 2000) juga menyatakan bahwa seseorang yang boleh
diikutsertakan ke dalam perlindungan saksi adalah orang yang
membutuhkan perlindungan dari suatu bahaya yang muncul karena
orang tersebut telah membantu, atau sedang membantu, suatu badan
penegak hukum dalam menjalankan fungsinya. Namun, jika menurut
Undang-Undang Perlindungan Saksi di Afrika Selatan (South
Afrika,Witness Protection Bill 1998) saksi didefinisikan sebagai setiap
orang yang sedang atau dapat diminta, atau yang telah memberi
kesaksian dalam suatu persidangan.
c. Pengertian Korban
Korban dalam UU PSK dinyatakan sebagai seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental dan/ atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Sedangkan pengertian keluarga
korban dalam UU ini adalah orang yang mempunyai hubungan darah
dalam garis lurus ke atas atau kebawah, atau mempunyai hubungan
perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan saksi dan/ atau
korban.
Pengertian tentang korban juga dapat dilihat dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang tata cara pemberian
perlindungan kepada saksi dan korban pelanggaran HAM berat yaitu
menyatakan bahwa korban adalah orang perseorangan atau kelompok
orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak
asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan
29
mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak
manapun.
Pengertian korban menurut Resolusi Majelis Umum PBB No.
40/34 Tahun 1985 memiliki cakupan yang lebih luas, yaitu korban
adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang
menderita kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang
melanggar hukum pidana yang berlaku disuatu negara, termasuk
peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Pengertian
kerugian (harm) menurut Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34
Tahun 1985, meliputi kerugian fisik maupun mental (physical or
mental injury), penderitaan emosional (emotional suffering), kerugian
ekonomi (economic loss), atau perusakan substansial dari hak-hak
asasi para korban (substansial impairment of their fundamental rights).
Selanjutnya disebutkan, bahwa seseorang dapat dipertimbangkan
sebagai korban tanpa melihat apakah si pelaku kejahatan itu sudah
diketahui, ditahan, dituntut, atau dipidana dan tanpa memandang
hubungan keluarga antara si pelaku dan korban. Istilah korban juga
mencakup keluarga dekat atau orang-orang yang menjadi tanggungan
korban, dan juga orang-orang yang menderita kerugian karena
berusaha mencegah terjadinya korban.
2. Tinjauan tentang Pengaturan Perlindungan Saksi dan Korban Di
Malaysia
Menurut WITNESS PROTECTION BILL 2008, yang dimaksud
dengan saksi adalah :
a. a person who has given or who has agreed to give evidence on behalf
of the Government in a criminal proceeding (Orang yang telah
memberikan atau yang telah setuju untuk memberikan bukti atas nama
pemerintah dalam proses pidana).
b. a person who has given or who has agreed to give evidence, otherwise
than as mentioned in paragraph (a), in relation to the commission or
30
possible commission of an offence (Orang yang telah memberikan atau
menyetujui untuk memberikan bukti selain sebagaimana dimaksud
dalam ayat (a), sehubungan dengan komisi atau mungkin komisi suatu
tindak pidana).
c. a person who has provided any information, a statement or assistance
to a public officer or an officer of a public authority in relation to an
offence (Orang yang telah memberikan informasi, pernyataan, atau
bantuan pejabat publik atau pejabat dari publik otoritas dalam
kaitannya dengan tindak pidana).
d. a person who, for any other reason, may require protection or
assistance under the Programme or (Orang yang untuk beberapa
alasan lain, mungkin membutuhkan perlindungan atau bantuan
dibawah program), atau
e. a person who, because of his relationship to or association with any of
the persons referred to in paragraphs (a) to (d), may require
protection or assistance under the Programme (Orang yang karena
hubungan dengan asosiasi atau dengan salah satu pihak sebagaimana
dimaksud dalam pragraf (a) sampai (d), mungkin membutuhkan
perlindungan atau bantuan dibawah Program).
3. Tinjauan tentang Perbandingan Hukum
a. Sejarah Perbandingan Hukum
Perbandingan Hukum sebagai ilmu merupakan suatu cabang
ilmu pengetahuan yang relatif masih sangat muda, karena baru tumbuh
secara pesat pada akhir abad XIX atau awal abad XX. Sebelum itu
memang sudah dilakukan usaha-usaha untuk memperbandingkan
beberapa sistem hukum satu sama lainnya, akan tetapi waktu itu
belumlah dilakukan penelitian secara signifikan dan sistematis dengan
maksud mencapai suatu tujuan tertentu. Sama halnya penelitian secara
terencana belum dilakukan, kerena segala sesuatunya masih berjalan
secara insidentil.
31
Rene David mengemukakan bahwa perkembangan
Perbandingan Hukum merupakan ilmu yang sama tuanya dengan ilmu
hukum itu sendiri. Namun dalam perkembangannya, Perbandingan
Hukum sebagai ilmu pengetahuan baru terjadi pada abad-abad terakhir
ini. Demikian pula menurut Adolf F. Schnitzer, bahwa baru pada abad
ke-19 Perbandingan Hukum itu berkembang sebagai cabang khusus
dari disiplin ilmu hukum. Usaha perumusan Rancangan Undang-
Undang Duabelas Meja (Law of the Twelve Tables) yang dilakukan
kemudian berdasarkan tradisi, dapat dikatakan merupakan hasil dari
suatu penelitian secara perbandingan, demikian juga halnya dengan
usaha merumuskan asas-asas hukum pokok yang bersifat umum
berdasarkan hukum kebiasaan di Perancis serta Deutsche Privatrecht
di Jerman. Akan tetapi usaha-usaha penelitian tersebut juga belum
dilaksanakan secara berencana, sistematis, dan berkesinambungan.
Perkembangannya sebagai ilmu pengetahuan baru tampak jelas pada
akhir abad XIX dan permulaan abad XX tersebut.
Perkembangan pada abad ke -19 itu terutama terjadi di Eropa,
khususnya Jerman, Perancis, dan Inggris, serta di Amerika. Awalnya
bersifat perseorangan saja yang berminat terhadap studi Perbandingan
Hukum. Seperti dilakukan oleh Montesquieu (Perancis), Mansfield
(Inggris), dan Von Feuerbach, Thibaut, dan Gans (Jerman). Kemudian
berkembang dalam bentuk kelembagaan, seperti halnya di Perancis;
pada tahun 1832 berdiri Institut Perbandingan Hukum di College de
France; dan tahun 1842 Institut Perbandingan Hukum di University of
Paris.
b. Pengertian Perbandingan Hukum
Banyak istilah asing yang menyatakan mengenai Perbandingan
Hukum ini, diantaranya adalah Comparative Law, Comparative
Jurisprudence, Foreign Law (istilah Inggris), Droit Compare (istilah
Perancis), Rechtsvergelijking (istilah Belanda) dan Rechtsvergleichung
atau Vergleichende Rechlehre (istilah Jerman). Di dalam Black’s Law
32
Dictionary dikemukakan bahwa Comparative Jurisprudence adalah
”suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan melakukan
perbandingan berbagai macam sistem hukum” (Henry Campbell
Black, 1991: 193).
Istilah perbandingan hukum, dalam bahasa asing,
diterjemahkan: comparative law (bahasa Inggris), vergleihende
rechstlehre (bahasa Belanda), droit comparé (bahasa Perancis). Istilah
ini, dalam pendidikan tinggi hukum di Amerika Serikat, sering
diterjemahkan lain, yaitu sebagai conflict law atau dialih bahasakan,
menjadi hukum perselisihan, yang artinya menjadi lain bagi
pendidikan hukum di Indonesia (Romli Atmasasmita, 2000: 6).
Istilah yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini, adalah
perbandingan hukum (pidana). Istilah ini sudah memasyarakat di
kalangan teoritikus hukum di Indonesia, dan tampaknya sudah sejalan
dengan istilah yang telah dipergunakan untuk hal yang sama di bidang
hukum perdata, yaitu perbandingan hukum perdata. Untuk
memperoleh bahan yang lebih lengkap, maka perlu dikemukakan
definisi perbandingan hukum dari beberapa pakar hukum terkenal.
Menurut Rudolf B. Schlesinger sebagaimana dikutip oleh
Romli Atmasasmita, perbandingan hukum merupakan metoda
penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang
lebih dalam tentang bahan hukum tertentu. Perbandingan hukum
bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan bukan suatu
cabang hukum, melainkan merupakan teknik untuk menghadapi unsur
dari suatu masalah hukum. Berbeda dengan Winterton yang
mengemukakan, bahwa perbandingan hukum adalah suatu metoda
yaitu perbandingan sistem-sistem hukum dan perbandingan tersebut
menghasilkan data sistem hukum yang dibandingkan (Romli
Atmasasmita, 2000: 7).
Lemaire sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita,
mengemukakan, perbandingan hukum sebagai cabang ilmu
33
pengetahuan (yang juga mempergunakan metoda perbandingan)
mempunyai lingkup: (isi dari) kaidah-kaidah hukum, persamaan dan
perbedaannya, sebab-sebabnya dan dasar-dasar kemasyarakatannya.
Ole Lando mengemukakan antara lain bahwa perbandingan hukum
mencakup : “analysis and comparison of the laws”. Pendapat tersebut
sudah menunjukkan kecenderungan untuk mengakui perbandingan
sebagai cabang ilmu hukum (Romli Atmasasmita, 2000: 9).
c. Macam Perbandingan Hukum
Perbandingan Hukum dapat dibedakan dalam dua macam,
yaitu Perbandingan Hukum Umum dan Perbandingan Hukum Khusus.
1) Perbandingan Hukum Umum
Perbandingan Hukum Umum merupakan suatu ilmu
pengetahuan yang membandingkan hukum secara keseluruhan dari
berbagai negara atau daerah atau golongan warga negara dari suatu
zaman tertentu. Misalnya, membandingkan hukum Indonesia
dengan hukum Myanmar, atau hukum Malaysia dengan hukum
Philipina dari abad XX.
2) Perbandingan Hukum Khusus
Perbandingan Hukum Khusus adalah ilmu pengetahuan
yang membandingkan lembaga-lembaga hukum dari berbagai
negara, daerah atau golongan warga negara dari suatu zaman
tertentu. Misalnya, membandingkan lembaga perkawinan versi
Burgerlijk Wetboek (BW) dengan lembaga perkawinan menurut
hukum adat dari abad XX.
d. Tujuan Perbandingan Hukum
Menurut Satjipto Rahardjo penggarapan dalam perbandingan
hukum dapat dilakukan atas dasar keinginan, antara lain :
1) Menunjukkan perbedaan dan persamaan yang ada diantara sistem
hukum atau bidang-bidang hukum yang dipelajari.
2) Menjelaskan mengapa terjadi persamaan atau perbedaan yang
demikian itu, faktor-faktor apa yang menyebabkannya.
34
3) Memberikan penilaian terhadap masing-masing sistem yang
digunakan.
4) Memikirkan kemungkinan-kemungkinan apa yang bisa ditarik
sebagai kelanjutan dari hasil-hasil studi perbandingan yang telah
dilakukan.
5) Merumuskan kecenderungan-kecenderungan yang umum pada
perkembangan hukum, termasuk di dalamnya irama dan
keteraturan yang dapat dilihat pada perkembangan hukum
tersebut.
6) Salah satu segi yang penting dari perbandingan ini adalah
kemungkinan untuk menemukan asas-asas umum yang didapat
sebagai hasil dari pelacakan yang dilakukan dengan cara
membandingkan tersebut (Satjipto Rahardjo, 1996: 348-349).
e. Kegunaan Perbandingan Hukum
Kegunaan mempelajari perbandingan hukum ada dua, yaitu :
1) Kegunaan yang bersifat teoritis
Studi perbandingan hukum dapat mendukung
perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana
pada khususnya. Kegunaan teoritis ini meliputi dua hal, yaitu:
(a) Erat kaitannya dengan riset di bidang filsafat hukum dan
sejarah hukum.
(b) Erat kaitannya dengan pemahaman dan pengembangan
hukum nasional.
2) Kegunaan yang bersifat praktis
Studi perbandingan hukum memberikan masukan positif
bagi perkembangan pembentukan hukum pada umumnya dan
pembentukan hukum pidana pada khususnya (Romli Atmasasmita,
2000: 14-15).
Menurut Soedarto sebagaimana dikutip oleh Romli
Atmasasmita, kegunaan studi perbandingan hukum adalah:
(a) Unifikasi hukum.
35
(b) Harmonisasi hukum.
(c) Mencegah adanya chauvinisme hukum nasional.
(d) Memahami hukum asing.
(e) Pembaharuan hukum (Romli Atmasasmita, 2000: 16).
B. Kerangka Pemikiran
Tindak Pidana
Tersangka saksi Korban
Perlindungan hukum
Prinsip Confidentiality
dan Safe Conduct
Indonesia Malaysia
UU no. 13 Tahun 2006
Witness Protection Bill 2008
Persamaan Perbedaan
36
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas dapat diketahui bahwa dalam
suatu tindak pidana pasti terdapat tersangka, korban, dan saksi. Dalam proses
persidangan, terutama yang berkenaan dengan Saksi dan Korban, tidak sedikit
kasus yang kandas ditengah jalan disebabkan ketiadaan Saksi dan Korban
yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Oleh karena itu, keberadaan
Saksi dan Korban merupakan suatu unsur yang sangat menentukan dalam
suatu proses peradilan pidana. Peran Saksi dan Korban dalam proses peradilan
pidana selama ini sangat jauh dari perhatian masyarakat dan penegak hukum.
Adanya kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan disebabkan
oleh karena keengganan saksi dan Korban untuk memberikan kesaksian
kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak-tertentu.
Pentingnya pemberian perlindungan terhadap saksi dalam proses
pidana merupakan prinsip yang bersifat universal. Semua negara tanpa
membedakan sistem hukum yang dianutnya membuat regulasi tentang
perlindungan saksi dalam hukum nasionalnya, Sebagai upaya perlindungan
hukum terhadap saksi dan korban maka terwujud Prinsip Confidentiality dan
safe conduct yang di Indonesia direalisasikan dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sedangkan di Negara
Malaysia diatur dalam Witness Peotection Bill 2008. Melalui studi
perbandingan hukum akan dapat diketahui adanya persamaan dan perbedaan
serta kelebihan dan kelemahan diantara kedua jenis sistem hukum.
.
37
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persamaan dan Perbedaan dalam regulasi prinsip confidentiality dan safe
conduct menurut UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban dengan Witness Protection Bill 2008 Malaysia
Pada proses peradilan pidana, saksi adalah kunci untuk memperoleh
kebenaran materil. Seringkali orang enggan untuk menjadi saksi dalam proses
pidana di pengadilan dengan berbagai alasan antara lain: tidak adanya
penggantian akomodasi, adanya ancaman, intimidasi atau kekhawatiran
kehilangan penghasilan. Ketidakhadiran saksi merupakan penghambat dalam
proses pidana. Berdasarkan hal tersebut, perlindungan saksi dan korban
merupakan kebutuhan yang sangat urgen. Di dalam hukum pidana materiil
(KUHP) dan hukum pidana formil (KUHAP) tidak diatur secara rinci dan
jelas perlindungan saksi dan korban.
Ketentuan yang dapat diartikan sebagai perlindungan terhadap saksi
juga dapat diketemukan di dalam berbagai perundangan pidana khusus,
misalnya : UU HAM, UU Pengadilan HAM, UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, UU Terorisme, UU Pencucian Uang, dan UU Narkotika.
Pengaturan perlindungan saksi yang lebih terperinci bias dijumpai di dalam
UU No. 13 tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban. Undang-
undang tentang perlindungan saksi dan korban tersebut mengandung aspek
anonimitas atau samaran, safe conduct, video link, confidentiality atau
kerahasian dan ganti rugi. Anonimitas atau samaran berkaitan dengan langkah
untuk menyembunyikan identitas saksi yang sesungguhnya. Safe conduct
adalah keringanan hukuman bagi saksi yang terlibat dalam tindak pidana jika
bersedia bekerja sama. Video link dan teleconference adalah perlindungan
dalam bentuk lain sehingga saksi tidak perlu hadir di persidangan, dan
confidentiality adalah kerahasian.
38
1. Pengaturan Program Perlindungan Saksi dan Korban dalam UU
No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
a. Latar Belakang UU No. 13 tahun 2006
Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana
adalah keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat
atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam rangka
menemukan dan mencari kejelasan tentang tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Penegak hukum dalam
menemukan dan mencari kejelasan tentang tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan
karena tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau korban disebabkan
adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan perlindungan bagi
saksi dan/atau korban yang sangat penting keberadaannya dalam
proses peradilan pidana.
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat
bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan.
Dalam proses persidangan, terutama yang berkenaan dengan Saksi,
banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya Saksi yang
dapat mendukung tugas penegak hukum. Padahal, adanya Saksi dan
Korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses
peradilan pidana. Keberadaan Saksi dan Korban dalam proses
peradilan pidana selama ini kurang mendapat perhatian masyarakat
dan penegak hukum. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak
terselesaikan banyak disebabkan oleh Saksi dan Korban takut
memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena mendapat
ancaman dari pihak tertentu. Dalam rangka menumbuhkan partisipasi
masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim
yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan
keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan
39
suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah
terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.
Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum
dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak
merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan
jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan
tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi
merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya
kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam
oleh pihak tertentu.
Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan
pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai
dengan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap
tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai
kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah
saatnya perlindungan Saksi dan Korban diatur dengan undang-undang
tersendiri. Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality
before the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, Saksi dan
Korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan
perlindungan hukum.
b. Perlindungan dan Hak Saksi dan Korban
Perlindungan yang diberikan melalui UU PSK adalah
perlindungan khusus yang diberikan kepada saksi dan korban dimana
bobot ancaman atau tingkat kerusakan yang derita oleh saksi dan/ atau
korban ditentukan melalui proses penetapan oleh LPSK. Definisi
mengenai perlindungan dalam UU PSK terdapat pada Pasal 1 angka 6.
Menurut UU PSK perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak
dan pemberian bantuan. Lebih lanjut dalam UU PSK menyatakan
bahwa perlindungan saksi dan korban adalah bertujuan untuk
40
memberikan rasa aman kepada saksi dan/ atau korban dalam
memberikan keterangan pada setiap proses peradilan.
Pasal 5 UU PSK, Pasal 6, dan Pasal 7 menjadi rujukan
mengenai hak-hak, bentuk-bentuk perlindungan, dan bentuk bantuan
yang dijamin oleh undang-undang. Dalam Pasal 5, terdapat 13 (tiga
belas) hak saksi dan atau korban yang dalam konteks pemberian
perlindungan akan diberikan oleh LPSK. Dalam Pasal 5 tersebut, UU
PSK menyebutkan bahwa perlindungan utama yang dperlukan adalah
perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta benda, serta
bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksiannya dalam proses
perkara yang berjalan. Selain Pasal 5 itu, korban juga memiliki hak
atas kompensasi dan hak atas restitusi sebagaimana diatur pada Pasal
7 UU PSK. Menurut UU PSK, dalam Pasal 6 khusus terhadap korban
pelanggaran hak asasi manusia berhak pula atas bantuan medis dan
bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Undang-Undang No. 16 tahun 2006 memberikan
perlindungan pada Saksi dan Korban dalam semua tahap proses
peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. Sedangkan
Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada:
1) Penghargaan atas harkat dan martabat manusia.
2) Rasa aman.
3) Keadilan.
4) Tidak diskriminatif, dan
5) Kepastian hukum.
Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa
aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan
pada setiap proses peradilan pidana. Menurut UU No. 16 tahun 2006
Seorang Saksi dan Korban berhak:
1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan
harta bendanya,
41
2) Serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan, sedang, atau telah diberikannya;
3) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan;
4) Memberikan keterangan tanpa tekanan;
5) Mendapat penerjemah;
6) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
7) Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
8) Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
9) Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
10) Mendapat identitas baru;
11) Mendapatkan tempat kediaman baru;
12) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan;
13) Mendapat nasihat hukum; dan/atau
14) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir.
Hak-hak tersebut diberikan kepada Saksi dan/atau Korban
tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan
LPSK. Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
selain berhak atas hak sebagaimana di atas, juga berhak untuk
mendapatkan:
1) Bantuan medis, dan
2) Bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan
berupa:
1) Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia
yang berat;
2) Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung
jawab pelaku tindak pidana. Keputusan mengenai kompensasi
dan restitusi diberikan oleh pengadilan.
42
Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak
tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Saksi dan/atau Korban
yang merasa dirinya berada dalam Ancaman yang sangat besar, atas
persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung
di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa. Saksi dan/atau
Korban dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang
disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan
tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian
tersebut. Saksi dan/atau Korban dapat pula didengar kesaksiannya
secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh
pejabat yang berwenang.
Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum
baik pidana maupun. perdata atas laporan, kesaksian yang akan,
sedang, atau telah diberikannya. Seorang Saksi yang juga tersangka
dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana
apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi
kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam
meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Ketentuan ini tidak
berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang memberikan
keterangan tidak dengan itikad baik.
c. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban dalam ketentuan umumnya telah menyatakan bahwa Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK,
adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan
perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) tidak merinci tugas dan
kewenangan dari LPSK tersebut lebih lanjut. Perumus UU
kelihatannya tidak menjabarkan tugas dan kewenangan LPSK dalam
43
suatu bagian atau bab tersendiri dalam UU No 13 tahun 2006 seperti
peraturan lainnya, melainkan menyebarkan di seluruh UU.
Adapun tugas dan kewenangan LPSK yang tersebar dalam
UU No 13 Tahun 2006, yaitu:
1) Menerima permohonan Saksi dan/ atau Korban untuk
perlindungan.
2) Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/
atauKorban.
3) Memberikan perlindungan kepada Saksi dan/ atau Korban.
4) Menghentikan program perlindungan Saksi dan/ atau Korban.
5) Mengajukan ke pengadilan (berdasarkan keinginan korban)
berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi
manusia yang berat; dan hak atas restitusi atau ganti kerugian
yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
6) Menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang
mewakili korban untuk bantuan.
7) Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang
diperlukan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/ atau Korban.
8) Bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dalam
melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan.
Jika dilihat dari tugas maupun kewenangan yang diberikan
oleh UU PSK terhadap LPSK, secara umum terkesan sudah
mencukupi. Namun jika diperhatikan dengan teliti, apalagi jika
dikaitkan dengan mandat dari undang-undangnya maka kewenangan
dari lembaga ini masih kurang memadai. Ada beberapa hal penting
yang sebaiknya menjadi kewenangan LPSK adalah yang seharusnya
masuk di dalam UU No 13 Tahun 2006 yakni:
1) Diberikan wewenang untuk menentukan layanan-layanan apa
yang akan diberikan bagi saksi, untuk memberikan bukti dalam
persidangan apapun. LPSK sebaiknya diperbolehkan membuat
peraturan-peraturan yang berhubungan dengan:
44
a) bantuan dan dukungan bagi saksi selama di pengadilan.
b) penyediaan tempat khusus bagi saksi di pengadilan.
c) konsultasi bagi para saksi, dan
d) hal-hal lain yang oleh LPSK dipandang sangat perlu diatur
untuk menyediakan pelayanan bagi saksi di pengadilan.
2) Melaksanakan tugas-tugas administratif menyangkut
perlindungan saksi dan orang orang terkait, termasuk menyangkut
perlindungan sementara dan layanan-layanan lainnya.
3) Membuat perjanjian-perjanjian tentang bantuan yang akan
dilakukan oleh orang-orang, institusi atau organisasi. Misalnya
membuat kesepakatan dengan Departemen dilingkungan
Pemerintahan lainnya, atau membuat perjanjian dengan orang,
institusi atau organisasi untuk kepentingan LPSK yang lebih luas.
4) Diberikan wewenang untuk (1) menggunakan fasilitas atau
perlengkapan-perlengkapan milik atau yang ada di bawah
penguasaan Depertemen, orang, institusi atau organisasi tersebut;
(2) mendapatkan dokumen-dokumen atau informasi lainnya yang
dibutuhkan dalam rangka perlindungan seseorang yang
dilindungi; atau menyangkut berbagai hal yang akan membuat
ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan
Korban ini dapat berjalan.
5) Menetapkan langkah-langkah dan cara-cara bagaimana ketentuan-
ketentuan UU PSK mesti dijalankan oleh kantor-kantor
cabangnya jika ada dan menunjuk tempat-tempat yang akan
difungsikan sebagai tempat-tempat aman. LPSK harus juga
mengawasi para staf di lembaga perlindungan saksi; dan boleh
menjalankan kewenangan serta harus melaksanakan fungsi atau
mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, ditugaskan atau
dibebankan kepadanya oleh atau berdasarkan Undang-Undang.
6) Secara tertulis mendelegasikan kewenangan, fungsi dan tugas-
tugas yang diberikan, ditugaskan atau dibebankan kepadanya
45
kepada anggota lain di LPSK. Anggota LPSK yang didelegasikan
kewenangan, fungsi dan tugas-tugas sebagaimana dimaksud
dalam bagian di atas, harus menjalankan kewenangan,
melaksanakan fungsi dan tugas-tugas dibawah pengawasan dan
petunjuk dari ketua LPSK.
7) Ketua LPSK dapat sewaktu-waktu mencabut pendelegasian
secara tertulis, dan pendelegasian kewenangan, fungsi dan tugas-
tugas tidak menghalangi ketua menjalankan, melaksanakan atau
mengerjakan kewenangan, fungsi dan tugas-tugas itu sendiri.
8) Semua Departemen dilingkungan Pemerintah harus memberikan
bantuan yang sekiranya diperlukan dalam rangka menjalankan,
melaksanakan atau mengerjakan kewenangan, fungsi dan tugas-
tugas yang diberikan, ditugaskan atau dibebankan kepada ketua
oleh atau menurut UU PSK.
9) Kewenangan lainnya yang dibutuhkan oleh lembaga ini dalam
kaitannya dengan lembaga penegak hukum lainnya adalah hak
memberikan rekomendasi tentang kondisi saksi maupun korban
termasuk ketika saksi akan memberikan keterangan dalam
persidangan-persidangan pidana.
10) Memiliki hak untuk tidak memberikan informasi tentang data-
data tertentu dari saksi (rahasia) yang masuk dalam program
perlindungan saksi.
d. Syarat dan Tata Cara Pemberian Perlindungan dan Bantuan
Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau
Korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut:
1) Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban.
2) Tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban.
3) Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau
Korban.
46
4) Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau
Korban.
Tata cara memperoleh perlindungan sebagai berikut:
1) Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif
sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang,
mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK.
2) LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan
tersebut.
3) Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh)
hari sejak permohonan perlindungan diajukan.
Dalam hal LPSK menerima permohonan, Saksi dan/atau
Korban Saksi dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan
mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban.
Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan
Saksi dan Korban memuat:
1) Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian
dalam proses peradilan.
2) Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang
berkenaan dengan keselamatannya.
3) Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan
dengan cara apa pun dcngan orang lain selain atas persetujuan
LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK.
4) Kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan
kepada siapa pun mengenai keberadaannya di bawah
perlindungan LPSK; dan hal-hal lain yang dianggap perlu oleh
LPSK.
LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada
Saksi dan/atau Korban, termasuk keluarganya, sejak
ditandatanganinya pernyataan kesediaan. Perlindungan atas keamanan
Saksi dan/atau Korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan:
47
1) Saksi dan/atau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya
dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri.
2) Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan
perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas
permintaan pejabat yang bersangkutan.
3) Saksi dan/atau Korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis
dalam perjanjian; atau LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/atau
Korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-
bukti yang meyakinkan.
4) Penghentian perlindungan keamanan seorang Saksi dan/atau
Korban harus dilakukan secara tertulis.
Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan
kepada seorang Saksi dan/atau Korban atas permintaan tertulis dari
yang bersangkutan ataupun orang yang mewakilinya kepada LPSK.
LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi
dan/atau Korban. Dalam hal Saksi dan/atau Korban layak diberi
bantuan, LPSK menentukan jangka waktu dan besaran biaya yang
diperlukan. Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan kepada
Saksi dan/atau Korban harus diberitahukan secara tertulis kepada yang
bersangkutan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
diterimanya permintaan tersebut.
Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan,
LPSK dapat bekerja lama dengan instansi terkait yang berwenang.
Dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan instansi terkait sesuai
dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
e. Ketentuan Pidana
1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan
kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan Saksi
dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf d sehingga
48
Saksi dan/atau Korban tidak memberikan kesaksiannya pada
tahap pemeriksaan tingkat mana pun, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.40.000.000,00 (empat
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.200. 000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada
Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya Saksi
dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama seumur hidup dan pidana denda
paling sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
4) Setiap orang yang menghalang-halangi dengan cara apapun,
sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan
atau bantuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf
a dan huruf d, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.80.000.000,00
(delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
5) Setiap orang yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau
keluarganya kehilangan pekerjaan karena Saksi dan/atau Korban
tersebut memberikan kesaksian yang benar dalam proses
peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
49
tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
6) Setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya
hak-hak Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1) karena Saksi dan/atau
Korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses
peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
7) Setiap orang yang memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau
Korban yang tengah dilindungi dalam suatu tempat khusus yang
dirahasiakan oleh LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) huruf j, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
8) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37,
Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 dilakukan oleh pejabat
publik, ancaman pidananya ditambah dengan 1/3.
f. Ketentuan Peralihan
Pada saat Undang-Undang ini diundangkan, peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap
Saksi dan/atau Korban dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini.
2. Pengaturan Perlindungan Saksi dalam Witness Protection Bill 2008
Malaysia
a. Purpose (tujuan)
50
WITNESS PROTECTION BILL 2008 is an Act to establish a
programme for the protection of witnesses and for other matters
connected therewith. ENACTED by the Parliament of Malaysia as
follows: This Act may be cited as the Witness Protection Act 2008.
This Act comes into operation on a date to be appointed by the
Minister by notification in the Gazette. (Witness Protection Bill 2008
adalah Undang-Undang yang mengatur program untuk perlindungan
saksi dan untuk hal-hal lain yang terhubung dengannya. Undang-
undang ini dapat disebut sebagai Undang-Undang Perlindungan Saksi
2008. Undang-undang ini datang ke dalam operasi pada tanggal yang
akan ditetapkan oleh Menteri dengan pemberitahuan dalam berita).
1) Enforcement Agency (Agen Penyelenggara hukum):
includes a body or agency that is responsible for the
enforcement of laws relating to the prevention, detection and
investigation of any offence. ( termasuk badan atau lembaga yang
bertanggung jawab atas penegakan hukum yang berkaitan dengan
pencegahan, deteksi dan penyelidikan tindak pidana)
2) Register (Pendaftar)
The Register of Participants maintained under section 11
by a Registrar of Witness Protection. (Pendaftaran Peserta
dilaksanakan sesuai pasal 11 oleh Panitera Perlindungan Saksi)
3) Director General (Direktur Umum)
means the Director General of Witness Protection
appointed under subsection 4(1). (Direktur Umum dari
Perlindungan Saksi, yang ditunjuk dalam pasal 4 (1)).
4) Minister (Menteri)
Means the Minister charged with the responsibility for
Witness Protection Programme. (Menteri yang bertanggungjawab
untuk Program Perlindungan Saksi).
51
5) Registrar (Panitera)
Means the Registrar of Witness Protection appointed under
subsection 11(1). (Panitera Perlindungan Saksi ditunjuk dibawah
pasal 11 (1)).
6) Participant (Peserta)
Means a witness who has been included in the Programme.
(seorang saksi yang telah dimasukkan dalam Program).
7) Public authority (Otoritas Publik)
Means the public authority as defined in Clause (2) of
Article 160 of the Federal Constitution. (otoritas publik
sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) Pasal 160 Konstitusi
Federal).
8) Programme (Program)
Means the Witness Protection Programme established
under this Act. (Program Perlindungan Saksi didirikan di bawah
Undang-undang ini).
9) Criminal proceeding (Proses Peradilan Pidana)
Includes any criminal trial or inquiry before a court or
tribunal having criminal jurisdiction, an inquest or inquiry into
death and a police investigation under the Criminal Procedure
Code [Act 593], and any investigation by any other authority
under any written law. (termasuk pengadilan kriminal atau
penyelidikan sebelum pengadilan atau pengadilan yang memiliki
yurisdiksi pidana, suatu pemeriksaan atau penyelidikan dalam
kematian dan penyelidikan polisi di bawah Prosedur Pidana
[Act 593], dan penyelidikan oleh kewenangan yang lain
berdasarkan undang-undang tertulis).
b. Witness Protection Programme (Program Perlindungan Saksi)
There is established a Witness Protection Programme to be
maintained by the Director General. The Minister may appoint a
Director General and a Deputy Director General of Witness
52
Protection from amongst members of the public services. The Minister
may appoint such other person or persons, as he deems fit, to assist the
Director General in carrying out the purposes of this Act. Every
person appointed under subsection (2) shall be subject to general
direction, control and supervision of the Director General and shall
have and exercise all the powers of the Director General under this
Act except those referred in subsections 12(1) and 15(1). In the event
that the Director General is absent or unable to act due to illness or
any other cause, the Deputy Director General shall exercise the
powers of the Director General under subsections 12(1) and 15(1).
The function of Director General are shall be responsible for
the recommendation of witnesses to whom protection and assistance
may be provided under the Programme and The Director General may
arrange or provide protection and other assistance to a witness or
participant under the Programme.
(Menteri dapat menunjuk Direktur Umum dan Deputi Direktur
Umum Perlindungan Saksi dari para anggotanya dari layanan publik.
Menteri juga dapat menunjuk orang lain atau orang yang dianggap
cocok, untuk membantu Direktur Umum dalam melaksanakan tujuan
Undang-undang ini. Setiap orang yang ditunjuk untuk membantu
Direktur Umum akan dikendalikan dan diawasi oleh Direktur Umum
dan harus memiliki dan melaksanakan semua kekuasaan Direktur
Umum di bawah Undang-undang ini kecuali yang dimaksud dalam
pasal 12 (1) dan 15 (1). Namun jika Direktur Umum tidak hadir atau
tidak mampu menyebabkan bertindak karena sakit atau apapun
lainnya, Wakil Direktur Umum harus melaksanakan kekuasaan
Direktur Umum di bawah pasal 12 (1) dan 15 (1).
Adapun fungsi dari Direktur Umum adalah Direktur Umum
harus menanggapi rekomendasi dari saksi kepada siapa perlindungan
dan bantuan akan diberikan di bawah program dan Direktur Umum
53
dapat mengatur atau memberikan perlindungan dan bantuan lainnya
kepada saksi atau peserta di bawah Program).
c. Application for inclusion in the Programme (Permohonan untuk
dimasukkan kedalam Program)
Any witness may apply to the Director General to be included
in the Programme. An enforcement agency may, with the written
consent of a witness, apply to the Director General that the witness be
included in the Programme. If a witness is under eighteen years of
age, a parent or guardian of the witness may apply on his behalf to be
included in the Programme. Upon receipt of an application under this
section, the Director General may provide interim protection and
assistance to a witness.
(Saksi dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Umum
untuk dimasukkan dalam Program atau dapat melalui lembaga
berwenang, dengan persetujuan tertulis dari saksi lalu diajukan kepada
Direktur Umum dan kemudian saksi dimasukkan ke dalam Program
ini. Jika seorang saksi di bawah usia delapan belas tahun, maka orang
tua atau wali saksi tersebut berlaku atas namanya untuk dapat
dimasukkan dalam Program ini. Setelah menerima permohonan
dibawah bagian ini, yang Direktur Jenderal dapat memberikan
perlindungan dan bantuan sementara kepada saksi).
d. Witness to disclose certain matters (Kesaksian untuk
Mengungkapkan Hal-hal Tertentu)
In an application under section 7, a witness shall ((Pada
aplikasi di bawah bagian pasal 7, saksi harus)
1) Disclose to the Director General details of all outstanding legal
obligations of the witness; (saksi wajib mengungkapkan kepada
Direktur Umum rincian dari semua kewajiban hukum saksi).
2) Disclose to the Director General details of any outstanding debts
of the witness, including any outstanding tax; (mengungkapkan
54
kepada Direktur Umum hutang dalam bentuk apapun yang
dimiliki saksi, termasuk pajak terhutang).
3) Disclose to the Director General details of the criminal history of
the witness which includes orders relating to sentences imposed
on the witness; (mengungkapkan kepada Direktur Umum, sejarah
pidana saksi yang mencakup perintah yang berkaitan dengan
kalimat yang dikenakan pada saksi).
4) Disclose to the Director General details of any civil proceedings
that have been instituted by or against the witness;
(mengungkapkan kepada Direktur Umum setiap proses sipil yang
telah dilembagakan oleh atau terhadap saksi).
5) Disclose to the Director General details of any bankruptcy
proceedings that have been instituted against the witness;
(mengungkapkan kepada Direktur Umum, proses kebangkrutan
apapun yang telah dilembagakan terhadap saksi).
6) Inform the Director General whether the witness is an
undischarged bankrupt under the Bankruptcy Act 1967 [Act 360]
and, if the witness is an undischarged bankrupt, shall submit to
the Director General copies of all documents relating to the
bankruptcy; (Direktur Umum memberitahukan apakah saksi
adalah sebuah bangkrut, “undischarged” berdasarkan Undang-
Undang Kepailitan1967 (Act 360) dan, jika saksi adalah bangkrut,
maka saksi akan menyerahkan salinan semua dokumen yamg
berkaitan dengan kepailitan kepada Direktur Jenderal).
7) Inform the Director General whether there are any restrictions on
the witness holding positions in companies, whether public or
private and, if there are, give to the Director General copies of all
documents relating to those restrictions; (Direktur Umum
memberitahukan apakah ada pembatasan terhadap saksi
memegang posisi dalam perusahaan, baik publik maupun swasta
55
dan, jika ada, diberikan kepada Direktur Jenderal salinan dari
semua dokumen yang berkaitan dengan batasan-batasan).
8) Disclose to the Director General details of the immigration status
of the witness; ( Mengungkapkan status imigrasi saksi ke rincian
Direktur Umum).
9) Disclose to the Director General details of any reparation order
that is in force against the witness; (Mengungkapkan urutan
perbaikan apapun yang berlaku terhadap saksi, ke rincian Direktur
Umum).
10) Disclose to the Director General details of the financial liabilities
and assets, whether real or personal, of the witness;
(mengungkapkan ke rincian Direktur Umum kewajiban keuangan
dan aktiva, baik nyata maupun pribadi, dari saksi).
11) Inform the Director General whether any of the property of the
witness, whether real or personal, is liable to forfeiture or
confiscation or is subject to restraint under any other law;
(memberitahukan Direktur Umum apakah ada property saksi
tersebut, baik nyata atau pribadi, yang dapat dikenakan
perampasan atau penyitaan atau tunduk di bawah pengendalian
hukum lainnya).
12) Inform the Director General of the general medical condition of
the witness; (memberitahu Direktur Umum kondisi medis saksi
secara umum).
13) Disclose to the Director General details of any relevant court
orders or arrangements relating to custody or access to children;
(mengungkapkan ke rincian Direktur Umum, perintah pengadilan
yang relevan atau pengaturan yang berkaitan dengan tahanan atau
akses untuk anak-anak).
14) Disclose to the Director General details of any business dealings
in which the witness is involved; and (mengungkapkan ke rincian
56
Direktur Umum, tentang transaksi bisnis di mana saksi terlibat,
dan).
15) Disclose to the Director General details of any arrangements that
the witness has made for (mengungkapkan ke rincian Direktur
Umum setiap pengaturan saksi yang telah dibuat untuk)
a) The service of documents on the witness(pelayanan dokumen
saksi).
b) Representation in proceedings in a court;( representasi dalam
proses di pengadilan.
c) Enforcement of judgments in favour of the witness; and
(penegakan hukum dalam mendukung saksi, dan).
d) Compliance with the enforcement of judgments against the
witness.(sesuai dengan keputusan penegakan terhadap saksi).
The Director General may send such witness to under go
medical, psychological or psychiatric examinations to determine his
suitability for inclusion in the Programme. Any person who discloses
or supplies information to the Director General for the purpose of
assisting the Director General in deciding whether or not to
recommend him to be included in the Programme shall not disclose or
supply information which he knows or ought reasonably to know is
false.
(Direktur Jenderal dapat mengirim saksi tersebut untuk
menjalani pemeriksaan medis, Psikologis atau psikiatris untuk
menentukan kesesuaiannya untuk dimasukkan dalam Program. Setiap
orang yang mengungkapkan atau menyediakan informasi kepada
Direktur Jenderal dengan tujuan membantu Direktur Jenderal dalam
memutuskan apakah dapat atau tidak seorang saksi direkomendasikan
untuk dimasukkan dalam Program, maka orang tersebut tidak boleh
mengungkapkan atau memberikan informasi palsu yang sebenarnya
dia tahu atau seharusnya cukup tahu tentang informasi tersebut).
57
e. Factors to be considered (faktor-faktor yang harus
dipertimbangkan)
The Director General in deciding whether to recommend that a
witness is to be included in the Programme shall consider the
following: (Direktur Jenderal dalam memutuskan apakah saksi akan
direkomendasikan untuk dimasukkan dalam Program, harus
mempertimbangkan hal-hal berikut):
1) Whether the witness has a criminal record, particularly in respect
of crimes of violence, and whether that record indicates a risk to
the public if the witness is included in the Programme; (apakah
saksi memiliki catatan kriminal, khususnya mengenai kejahatan
kekerasan, dan apakah catatan tersebut mengindikasikan risiko
kepada masyarakat jika saksi dimasukkan di Program ini).
2) The result of a medical, psychological or psychiatric examinations
conducted under subsection 8(2); ( hasil medis tes psikologis atau
psikiatris yang dilakukan dalam ayat 8 (2)).
3) The seriousness of the offence to which the evidence or statement
of the witness relates; (keseriusan pelanggaran dari bukti atau
pernyataan saksi terkait).
4) The nature and importance of the evidence or statement of the
witness; (sifat dan pentingnya bukti atau pernyataan saksi
tersebut).
5) Whether there are alternative methods of protecting the witness;
(apakah ada metode alternatif untuk melindungi saksi).
6) The nature of the perceived danger to the witness; (sifat saksi
yang dianggap bahaya).
7) The nature of the relationship of the witness to other witnesses
being selected for inclusion in the Programme; and (sifat
hubungan relasi saksi dengan saksi-saksi yang lainnya yang
dipilih untuk dimasukkan dalam Program; dan )
58
8) Any other matters as the Director General considers relevant.
(hal-hal lain yang dipertimbangkan secara relevan oleh Direktur
Umum).
The Director General may make such other inquiries and
investigations, as he considers necessary, for the purposes of assessing
whether the witness is to be recommended to be included in the
Programme.
( Direktur Jenderal dapat membuat pertanyaan lainnya seperti
itu dan investigasi, saat ia menganggap perlu, untuk tujuan menilai
apakah saksi dapat direkomendasikan untuk dimasukkan di Program
ini).
f. Inclusion in the Programme (yang disertakan dalam Program)
The Director General shall, after considering the factors
referred to in section 9, recommend whether or not a witness is to be
included in the Programme. Every recommendation by the Director
General for a witness to be included in the Programme, shall be made
to the Attorney General.
The Attorney General, upon receiving the recommendation
referred to in subsection (1), shall decide whether or not to include a
witness in the Programme. If any person is aggrieved by the decision
of the Attorney General under subsection (3), he may appeal in writing
to the Minister within fourteen days from the date of receipt of the
decision.
Where an appeal is made under subsection (4) the Attorney
General shall submit his grounds of decision together with the
recommendation of the Director General under subsection (1) to the
Minister and the protection and assistance to the witness, if provided
by the Director General under subsection 7(4), shall continue until the
decision on the appeal is made by the Minister. The Minister shall,
59
upon receipt of an appeal under subsection (4) make a decision on the
appeal.
(Direktur Umum, setelah mempertimbangkan faktor-faktor
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, merekomendasikan apakah
saksi dapat atau tidak untuk dimasukkan dalam Program. Setiap
rekomendasi oleh Direktur Umum untuk saksi dimasukkan dalam
program tersebut, akan diajukan kepada Jaksa Umum.
Jaksa Umum, setelah menerima rekomendasi dimaksud dalam
ayat (1), harus memutuskan apakah dapat atau tidak untuk
memasukkan saksi dalam Program. Jika ada orang yang dirugikan oleh
keputusan Jaksa Umum dalam ayat (3), ia dapat mengajukan keberatan
secara tertulis kepada Menteri dalam waktu empat belas hari sejak
tanggal diterimanya keputusan.
Apabila banding dibuat dalam ayat (4), Jaksa Agung wajib
menyampaikan alasan tentang keputusan, bersama-sama dengan
rekomendasi dari Direktur Jenderal dalam ayat (1) kepada Menteri,
serta jika disediakan perlindungan dan bantuan kepada saksi oleh
Direktur Jenderal pada pasal 7 (4), harus terus sampai keputusan atas
keberatan tersebut dibuat oleh Menteri. Menteri setelah menerima
banding dari ayat (4), membuat keputusan atas keberatan tersebut).
g. Register of Participants (Daftar Peserta)
The Minister shall appoint a Registrar of Witness Protection to
maintain a Register of Participants. The Register shall contain the
following: (Menteri menunjuk Panitera Perlindungan Saksi untuk
menjaga Daftar Peserta. Daftar tersebut memuat):
1) The participant’s identity. (Identitas peserta).
2) If the participant has been provided with a new identity under the
Programme, the participant’s new identity. (Identitas baru peserta,
jika peserta telah diberikan identitas baru dengan program
tersebut).
3) The participant’s address. (Alamat peserta).
60
4) The participant’s previous convictions. (keyakinan sebelumnya
peserta).
5) The date on which the participant is included in the Programme.
(tanggal peserta yang termasuk dalam Program).
6) The date on which the participant ceases to be in the Programme;
and (tanggal di mana peserta tidak lagi berada di Program. dan)
7) Details of any order given by the Director General under
subsection 15(1). (rincian suatu perintah yang diberikan oleh
Direktur Umum di bawah pasal 15 (1)).
The Registrar shall keep in his custody in such form and
manner as he may determine the following documents. notwithstanding
any written law to the contrary, in the case of a participant being
given a new identity: (Panitera akan tetap dalam tahanan di bentuk dan
cara saat ia dapat menentukan dokumen-dokumen berikut: meskipun
bertentangan dengan hukum tertulis, peserta akan diberi identitas baru
sebagai berikut):
1) The birth certificate, identity card, marriage certificate and any
other document relating to the original identity of the participant,
and (akte kelahiran, kartu identitas, surat nikah dan dokumen lain
yang terkait dengan asli identitas peserta, dan)
2) A copy of the new birth certificate, identity card, marriage
certificate and any other document issued under the Programme;
and (salinan akte kelahiran baru, kartu identitas, pernikahan
sertifikat dan dokumen lainnya yang diterbitkan di bawah
Program, dan)
3) A copy of an order given by the Director General under (dan
salinan perintah yang diberikan oleh Direktur Jenderal di bawah
ayat 15 (1)).
61
h. Access to Register (akses ke pendaftaran)
No person shall have access to the Register and to the
documents kept by the Registrar except the Minister, Attorney General,
Director General and any other person who is authorized in writing by
the Director General.
Notwithstanding any written law to the contrary, the Register
shall not be produced to any person or in any proceedings in a court,
tribunal, Commission or an inquiry. Any person who contravenes this
section commits an offence and shall, on conviction, be punished with
imprisonment for a term not exceeding twenty years.
(Tidak seorangpun yang boleh memiliki akses ke Daftar dan ke
dokumen yang disimpan oleh Panitera kecuali Menteri, Jaksa Umum,
Direktur Umum dan orang lain yang berwenang secara tertulis oleh
Direktur Umum.
Menyimpang dari hukum tertulis yang bertentangan, tidak
setiap orang atau setiap proses dalam pengadilan, pengadilan, Komisi
atau penyelidikan, dilakukan pendaftaran. Setiap orang yang
bertentangan dengan bagian ini melakukan kejahatan dan pada
keyakinan, akan dihukum dengan pidana penjara selama jangka waktu
tidak melebihi dua puluh tahun).
i. Action where a witness is included in the Programme (tindakan
setelah saksi dimasukkan dalam program)
The Director General shall take such actions, as he considers
necessary and reasonable, to protect the safety and welfare of a
participant. The action may include: (Direktur Umum harus
mengambil tindakan seperti saat dia menganggap perlu dan beralasan,
untuk melindungi keselamatan dan kesejahteraan peserta. Tindakan
tersebut dapat mencakup):
1) providing accommodation for the participant. (menyediakan
akomodasi untuk peserta).
2) relocating the participant. (merelokasi peserta).
62
3) applying for any document necessary to allow the participant to
establish a new identity. (menerapkan untuk setiap dokumen yang
diperlukan yang memungkinkan untuk membentuk identitas baru
peserta).
4) providing transport for the transfer of the property of the
participant. (memperoleh transportasi untuk transfer milik
peserta).
5) providing payment equivalent to the remuneration that the
participant was receiving before being included in the Programme
including any increment to the remuneration which the participant
would have been entitled to, if he was not included in the
Programme. (mendapat pembayaran setara dengan remunerasi
peserta yang telah diterima sebelum dimasukkan dalam Program
termasuk kenaikan untuk remunerasi yang menjadi hak peserta,
jika ia tidak termasuk dalam Program).
6) where the participant is unemployed before being included in the
Programme, providing payments to the participant for the purpose
of meeting the reasonable living expenses of the participant
including, where appropriate, living expenses of the family of the
participant and providing, whether directly or indirectly, other
reasonable financial assistance. (bagi peserta yang menganggur
sebelum disertakan dalam Program, mendapatkan pembayaran
untuk tujuan pertemuan yang wajar termasuk biaya hidup peserta,
beban keluarga peserta dan memberikan baik secara langsung atau
tidak langsung, bantuan keuangan lainnya yang wajar).
7) providing payments to the participant for the purpose of meeting
costs associated with relocation. (mendapatkan pembayaran untuk
tujuan pertemuan biaya yang terkait dengan relokasi).
8) providing assistance to the participant in obtaining employment
or access to education. (memperoleh bantuan dalam memperoleh
pekerjaan atau akses ke pendidikan).
63
9) providing other assistance to the participant with a view to
ensuring that the participant becomes self-supporting. and
(memperoleh bantuan lain untuk memastikan agar peserta menjadi
mandiri).
10) any other action that the Director General considers necessary
(dan memperoleh bantuan lain yang dianggap Direktur Jenderal
perlu).
Notwithstanding any written law to the contrary, there shall be
no relocation of any participant by the Director General under
paragraph (2)(b): ( Menyimpang dari hukum tertulis yang
bertentangan dengan itu, tidak akan ada relokasi setiap peserta oleh
Direktur Jenderal di bawah ayat (2) (b), jika)
1). to the State of Sabah from any place outside the State of Sabah,
and (ke Negara Bagian Sabah dari tempat di luar Negara Sabah,
dan)
2). to the State of Sarawak from any place outside the State of
Sarawak. (Negara Bagian Sarawak dari tempat di luar Negara
Sarawak).
Where the Director General makes a request to any person,
having the power or duty under any other written law to issue birth
certificate, identity card, marriage certificate or any other document
relating to the identity of a participant, to issue a new document
necessary to allow the participant to establish a new identity, such
person shall comply with the request.
The Director General shall not apply for any document to
allow a participant to establish a new identity under paragraph (2)(c)
unless he has obtained a written consent from the participant. The
Director General may permit his officer to use assumed names in
carrying out their duties in relation to the Programme and to carry
documentation supporting those assumed names.
64
(Apabila Direktur Umum membuat permohonan kepada
siapapun, dengan kekuasaan atau kewajiban berdasarkan undang-
undang tertulis lainnya untuk menerbitkan sertifikat kelahiran, kartu
identitas, surat nikah, atau dokumen yang lainnya yang berkaitan
dengan identitas peserta, untuk mengeluarkan dokumen baru yang
diperlukan untuk memungkinkan peserta membentuk suatu identitas
yang baru, maka orang tersebut harus memenuhi permintaan tersebut.
Tidak pada setiap dokumen Direktur Umum memungkinkan
untuk membangun identitas baru peserta seperti pada ayat 2 (c) kecuali
ia telah mendapatkan persetujuan tertulis dari peserta. Direktur Umum
dapat memberikan izin kepada petugas-petugasnya untuk
menggunakan nama-nama yang diasumsikan dalam melaksanakan
tugas mereka dalam hubungannya dengan Program dan untuk
melaksanakan pendokumentasian yang mendukung pengasumsian
nama tersebut).
j. Rights, Obligations, Non Disclosure and Termination (Hak,
Kewajiban, Ketidakterbukaan dan Pengakhiran)
1). Dealing with outstanding rights and obligations of participant
(Berurusan dengan hak dan kewajiban yang beredar peserta)
Where a participant has any outstanding rights or
obligations or is subject to any restrictions, the Director General
shall take such steps as are reasonably practicable to ensure that
(Bagi peserta yang mempunyai hak yang luar biasa atau kewajiban
atau dikenakan pembatasan. Direktur Umum harus mengambil
langkah-langkah untuk memastikan bahwa):
a) those rights or obligations are dealt with according to the
relevant law, or (hak-hak atau kewajiban ditangani dengan
menurut hukum yang relevan, atau
b) the participant complies with those restrictions. (sesuai dengan
batasan-batasan peserta).
65
The action under subsection (1) may include: (Langkah-
langkah tersebut dapat meliputi):
a) providing protection for the participant while the participant is
attending a court, or (memberikan perlindungan bagi peserta
selama peserta Hadir ke pengadilan, atau)
b) notifying a party or possible party to any legal proceedings
that the Director General will accept process issued by a court
or tribunal on behalf of the participant, and the Director
General may appoint any officer for the purpose.
(memberitahukan pihak-pihak untuk setiap proses hukum
bahwa Direktur Umum akan menerima proses yang diterbitkan
oleh pengadilan atau tribunal atas nama peserta, dan Direktur
Umum dapat menunjuk petugas untuk tujuan apapun).
If the Director General is satisfied that a participant who
has been provided with a new identity under the Programme is
using the new identity to (Jika Direktur Umum yakin bahwa peserta
yang diberikan dengan identitas baru di bawah Program adalah
menggunakan identitas baru untuk,
a) avoid obligations that were incurred before the new identity
was provided, or (menghindari kewajiban yang terjadi
sebelum baru identitas diberikan, atau)
b) avoid complying with restrictions that were imposed before
the new identity was provided. (menghindari sesuai dengan
pembatasan yang diberlakukan sebelum identitas baru
diberikan).
the Director General shall give notice in writing to the
participant. (Direktur Umum harus menyampaikan pemberitahuan
tertulis kepada peserta).
The notice under subsection (3) shall state that, unless the
participant satisfies the Director General that the obligations will
be dealt with according to the relevant law or the restrictions will
66
be complied with, the Director General shall take such action as
he considers reasonably necessary to ensure that they are dealt
with according to the law or complied with.
The action taken under subsection (4) may include
informing any person who is seeking to enforce rights against the
participant of the details of any property, whether real or personal,
owned by the participant under his original identity.
(Pemberitahuan dalam ayat (3) menyatakan bahwa, kecuali
peserta meyakinkan Direktur Umum bahwa kewajiban akan
dilakukan sesuai dengan hukum yang relevan atau pembatasan
akan diikuti, Direktur Umum harus mengambil tindakan yang
dianggap wajar dan diperlukan untuk memastikan bahwa perlakuan
mereka menurut hukum atau memenuhi hukum.
Tindakan yang diambil dalam ayat (4) mungkin termasuk
menginformasikan setiap orang yang meminta dilaksanakan hak-
haknya terhadap rincian harta apapun milik peserta, baik nyata atau
pribadi, yang dimiliki oleh peserta di bawah identitas aslinya).
2). Non disclosure of original identity of participant (non
pengungkapan identitas asli peserta)
Notwithstanding any written law to the contrary, where a
participant who has been provided with a new identity under the
Programme is required by or under a law to disclose his original
identity for a particular purpose, he shall not disclose his original
identity for that purpose unless the Director General has given the
participant a written order to do so.
Where a participant has not been given an order under
subsection (1) to disclose his original identity, it shall be lawful for
the participant, in any proceedings or for any purpose, under any
law, to claim that his new identity is his only identity.
(Menyimpang dari hukum tertulis yang bertentangan, di
mana peserta yang telah dilengkapi dengan identitas baru di bawah
67
Program diperlukan oleh atau berdasarkan hukum untuk
mengungkapkan identitas aslinya untuk tujuan tertentu, dia tidak
boleh mengungkapkan identitas aslinya untuk tujuan tersebut
kecuali Direktur Umum telah memberikan peserta perintah tertulis
untuk melakukannya.
Apabila peserta belum diberi perintah di bawah ayat (1)
untuk mengungkapkan identitas aslinya, hal itu akan sah untuk
peserta, di dalam setiap proses atau untuk tujuan apapun, di bawah
hukum, untuk mengklaim bahwa identitas barunya adalah identitas
satu-satunya).
3). Termination of protection and assistance (Penghentian
perlindungan dan bantuan)
The Director General may recommend to the
AttorneyGeneral that the protection and assistance provided to a
participant under the Programme be terminated by the Attorney
General, where (Direktur Umum dapat merekomendasikan kepada
Jaksa Umum bahwa perlindungan dan bantuan yang diberikan
kepada peserta dengan program tersebut dihentikan oleh Jaksa
Umum, jika)
a) The participant had knowingly given information that is false
or misleading. ( peserta itu sengaja memberikan informasi
yang palsu atau menyesatkan).
b) The participant’s conduct or threatened conduct is, in the
opinion of the Director General, likely to compromise the
integrity of the Programme. (peserta melakukan atau
mengancam melakukan ini, di pendapat Direktur Umum,
cenderung berkompromi integritas Program).
c) The circumstances that gave rise to the need for protection
and assistance for the participant cease to exist; or (kondisi
yang memunculkan kebutuhan akan perlindungan dan
bantuan bagi peserta tidak ada lagi, atau)
68
d) There is, in the opinion of the Director General, no
reasonable justification for the participant to remain in the
Programme.(menurut pendapat Direktur Umum, tidak ada
pembenaran memadai untuk peserta tetap di Program
tersebut).
The Attorney General upon receiving the recommendation
under subsection (1) shall decide whether or not to terminate the
protection and assistance provided to the participant under the
Programme. The Attorney General shall give a participant an
opportunity to be heard before making his decision under
subsection (2). The provisions of subsection (3) shall not apply
where the Attorney General does not know the participant’s
whereabouts. Where a participant has been given an opportunity
to be heard and the participant fails to make any representation,
the Attorney General shall proceed to make a decision on the
recommendation submitted. (Jaksa Umum setelah menerima
rekomendasi dalam ayat (1) harus memutuskan apakah dapat atau
tidak untuk mengakhiri perlindungan dan bantuan yang diberikan
kepada peserta di bawah Program. Jaksa Umum akan memberikan
kesempatan peserta untuk didengar sebelum membuat keputusan
dalam ayat (2). Ketentuan ayat (3) tidak berlaku dimana Jaksa
Umum tidak tahu keberadaan para peserta. Apabila peserta telah
diberi kesempatan untuk didengar dan peserta gagal untuk
membuat representasi apapun, Jaksa Umum akan melanjutkan
untuk membuat keputusan tentang rekomendasi yang
disampaikan).
Notwithstanding subsection (1), a participant may make a
request in writing to the Director General that the protection and
assistance provided under the Programme be terminated by
theAttorney General. Upon receipt of a request under subsection
(6), the Director General shall make a recommendation to the
69
Attorney General for his decision. If a participant is aggrieved by
the decision of the Attorney General under subsection (2) or (7), he
may appeal in writing to the Minister within fourteen days from the
date of receipt of the decision.Where an appeal is made under
subsection (2) or (7). (Menyimpang dari ayat (1), peserta dapat
membuat permintaan secara tertulis kepada Direktur Umum bahwa
perlindungan dan Bantuan yang diberikan di bawah Program
dihentikan oleh Jaksa Umum. Setelah menerima permintaan dalam
ayat (6), Direktur Umum harus membuat rekomendasi kepada
Jaksa Umum untuk keputusannya. Jika peserta adalah dirugikan
oleh keputusan Kejaksaan Umum dalam ayat (2) atau (7), ia dapat
mengajukan keberatan secara tertulis kepada Menteri dalam waktu
empat belas hari sejak tanggal diterimanya keputusan. Apabila
banding dibuat dalam ayat (2) atau (7), maka):
a) The Attorney General shall submit his grounds of decision
together with the recommendation of the Director General
under subsection (1) or (7) to the Minister, and (Jaksa Umum
wajib menyampaikan alasan tentang keputusan bersama-sama
dengan rekomendasi dari Direktur Umum dalam ayat (1) atau
(7) kepada Menteri dan)
b) A participant shall remain in the Programme until a decision
on the appeal is made by the Minister. (peserta akan tetap di
Program ini sampai keputusan atas keberatan tersebut dibuat
oleh Menteri).
The Minister shall, upon receipt of an appeal under
subsection (8), make a decision on the appeal. Upon termination of
the protection and assistance provided under the Programme to a
participant, the Director General may where it is expedient and
necessary: ( Menteri setelah menerima, banding di bawah ayat (8),
membuat keputusan atas keberatan tersebut. Setelah berakhirnya
70
perlindungan dan bantuan yang diberikan di bawah Program untuk
peserta, Direktur Umum dapat memberikan kebijakan yang perlu):
a) notify the participant of the termination; and
(memberitahukan kepada peserta pemutusan kontrak kerja;
dan)
b) notify the relevant public services and public authorities of
the termination. (memberitahukan pelayanan publik yang
relevan dan otoritas public terminasi ini).
4). Obligation of secrecy (kewajiban untuk merahasiakan)
Except as provided in this Act, the Director General or any
of his officer, whether during his tenure of office or during his
employment or after that, and any other person who has by any
means access to any information or document relating to the
affairs of the Programme, shall not give or otherwise disclose such
information or document to any person.
Any person who contravenes subsection (1) commits an
offence and shall, on conviction, be punished with imprisonment
for a term not exceeding twenty years.
(Kecuali sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini,
Direktur Umum atau salah satu perwira, apakah selama masa
jabatannya atau selama bekerja atau setelah itu, dan orang lain
yang telah oleh segala cara mencari akses untuk informasi atau
dokumen yang berkaitan dengan urusan Program, tidak akan
memberikan atau mengungkapkan informasi atau dokumen
tersebut terhadap siapapun.
Setiap orang yang bertentangan dengan ayat (1) melakukan
suatu pelanggaran dan pada keyakinan, akan dihukum dengan
pidana penjara untuk jangka waktu tidak melebihi dua puluh
tahun).
5). Director General not required to disclose information (direktur
umum tidak diharuskan untuk memperlihatkan informasi)
71
Subject to section 12 and subsection (2), the Director
General or any of his officers shall not be required (Subject untuk
bagian 12 ayat (2), Direktur Umum atau pejabat lainnya tidak
diwajibkan):
a) To produce in any proceedings in a court, tribunal,
Commission or an inquiry, any document that has come into
the custody or control of the Director General or his officer,
or (untuk menghasilkan dalam setiap proses di pengadilan,
Komisi atau penyelidikan, setiap dokumen yang telah datang
ke dalam tahanan atau penguasaan Direktur Umum atau
petugasnya, atau)
b) To divulge or communicate to such a body any matter or thing
that has come to the notice of the Director General or any of
his office. (mengungkapkan atau berkomunikasi dengan tubuh
seperti masalah atau apapun hal yang telah sampai ke
pemberitahuan Direktur Umum atau pegawainya).
in the performance of their functions and duties under this
Act, except where it is necessary to do so for carrying out the
purposes of this Act. If it is essential to the determination of any
legal proceedings that the Judge or Magistrate presiding over the
proceedings be advised of a participant’s location and
circumstances, the person referred to in subsection (1) is to
disclose the relevant information to the Judge or Magistrate in
chambers, but the person shall not disclose the information if any
person other than the Judge or Magistrate is present.
A Judge or Magistrate shall not disclose any information
disclosed to the Judge or Magistrate under subsection (2)
otherwise than in accordance with this Act.
(Pelaksanaan fungsi dan tugas berdasarkan Undang-undang
ini, kecuali perlu dilakukan untuk melaksanakan tujuan Undang-
undang ini. Jika itu adalah penting untuk penentuan proses hukum
72
apapun bahwa Hakim atau hakim pemimpin persidangan lebih
disarankan dari lokasi peserta dan keadaannya, orang yang
dimaksud dalam ayat (1) adalah untuk mengungkapkan informasi
yang relevan kepada Hakim atau Majelis Hakim, tetapi orang
tersebut tidak akan mengungkapkan informasi jika orang lain
daripada Hakim hadir.
Seorang Hakim tidak boleh mengungkapkan informasi
apapun yang diungkapkan kepada Hakim dibawah pasal 2 kecuali
sesuai dengan Undang-undang ini).
6). Requirement where participant becomes a witness in a criminal
proceeding (syarat peserta menjadi saksi dalam sebuah proses
peradilan pidana)
Where a participant or former participant who is provided
with a new identity under the Programme is to be a witness in a
criminal proceeding under the new identity, the participant or
former participant, as the case may be, shall notify the Director
General that he is to be a witness in the proceeding.
(Dimana peserta atau mantan peserta yang disediakan
dengan identitas baru di bawah Program adalah untuk menjadi
saksi dalam suatu proses peradilan pidana, di bawah identitas baru,
peserta atau mantan peserta, yang mungkin sebagai perkara, harus
memberitahu Direktur Umum bahwa ia menjadi saksi dalam sidang
tersebut).
7). Identity of participant not to be disclosed in court proceedings
(identitas peserta tidak dapat diungkapkan dalam proses
pengadilan)
Where in any proceedings in a court, tribunal, Commission
or an inquiry, the identity of a participant is in issue or may be
disclosed, the court, tribunal Commission or inquiry shall, unless it
considers that the interest of justice requires otherwise (Apabila
dalam proses di pengadilan, Komisi atau penyelidikan, identitas
73
peserta dalam masalah atau mungkin diungkapkan, pengadilan,
Komisi pengadilan atau mungkin penyelidikan, kecuali
menganggap bahwa kepentingan keadilan memerlukan dinyatakan)
a) Conduct that part of the proceedings that relates to the identity
of the participant in camera, and (melakukan bagian dari
proses yang berhubungan dengan identitas peserta dalam
kamera, dan)
b) Make such order relating to the suppression of publication of
evidence given before the court, tribunal, commission or
inquiry as, in its opinion, will ensure that the identity of the
participant is not disclosed. (perintah sehubungan dengan
tekanan terhadap publikasi bukti yang diberikan sebelum
pengadilan, komisi atau seperti penyelidikan, dalam pendapat
ini, akan dipastikan bahwa identitas peserta tersebut tidak
diungkapkan).
Any person who contravenes paragraph (1)(b) commits an
offence and shall, on conviction, be liable to a fine not exceeding
fifty thousand ringgit or to imprisonment for a term not exceeding
ten years or to both.
(Setiap orang yang bertentangan dengan ayat (1)
(b) melakukan suatu pelanggaran dan pada keyakinan, dikenakan
denda tidak melebihi lima puluh ribu ringgit atau penjara untuk
jangka waktu tidak melebihi sepuluh tahun atau keduanya).
k. Payment under the Programme not to be confiscated (pembayaran
dibawah program tidak dapat disita)
Notwithstanding any written law to the contrary, any payment
made to a participant under the Programme shall not be confiscated,
forfeited or frozen and shall not be used for any other purpose except
as provided under this Act.
(Menyimpang dari hukum tertulis bertentangan dengan itu,
pembayaran dibuat untuk peserta di bawah Program tidak akan
74
disita,di batalkan atau beku dan tidak boleh digunakan untuk tujuan
lain kecuali seperti yang disyaratkan dalam Undang-undang ini).
l. Special arrangement
Nothing in this Act shall prevent the Director General from
making special arrangements with a person under which a participant
is able to obtain benefits under a contract or arrangements without
disclosing the participant’s original identity.
(Dalam Undang-undang ini tidak ada yang dapat mencegah
Direktur Umum dari pembuatan perjanjian khusus dengan seseorang di
mana peserta dapat memperoleh manfaat dibawah kontrak atau
perjanjian tanpa mengungkapkan identitas asli peserta).
m. Exclusion of judicial review (pengecualian judicial review)
There shall be no judicial review in any court of any act done
or any decision made by the Minister, Attorney General or the
Director General under this Act. In this section, “judicial review”
includes proceedings instituted by way of: (Tidak akan ada peninjauan
kembali di pengadilan dari suatu tindakan yang dilakukan atau
keputusan yang dibuat oleh Menteri, Jaksa Umum atau Direktur
Umum berdasarkan Undang-undang ini. Pada bagian ini, "judicial
review" mencakup proses melembagakan dengan cara):
1) An application for any of the prerogative orders of mandamus,
prohibition or certiorari. (penggunaan untuk penulisan perintah
hak istimewa apapun, larangan atau hukum).
2) An application for a declaration or an injunction. (penggunaan
untuk suatu pernyataan atau sebuah keputusan)
3) Any write of habeas corpus; or (perintah tertulis hak untuk
diperiksa dimuka hakim, atau)
4) Any other suit or action relating to or arising out of any act done
or any decision made in pursuance of any power conferred upon
the Minister, Attorney General or the Director General by any
provision of this Act. (gugatan atau tindakan lain yang berkaitan
75
dengan atau yang timbul dari dilakukannya tindakan atau
keputusan yang dibuat menurut kekuasaan yang diberikan kepada
Menteri, Jaksa Umum atau Direktur Umum dengan ketentuan
Undang-undang ini).
n. Protection from suit (perlindungan dari gugatan)
An action shall not lie and prosecution shall not be brought,
instituted or maintained against any person in any court for anything
done or omitted to be done under this Act (Sebuah tindakan tidak dapat
berbohong dan penuntutan tidak akan diajukan, dilembagakan atau
dipertahankan terhadap siapa pun dalam pengadilan untuk segala
sesuatu yang dilakukan atau diabaikan untuk dilakukan dibawah
Undang-undang ini)
a) in good faith. (dengan itikad baik).
b) in the reasonable belief that it was necessary for the purpose
intended to be served thereby, or (dalam keyakinan yang layak
bahwa ini diperlukan untuk tujuan yang diharapkan untuk dapat
dilayani dengan cara demikian, atau).
c) for carrying into effect the provisions of this Act. (untuk mengatasi
pengaruh dari ketentuan Undang-undang ini).
o. Institution of prosecution (lembaga penuntutan)
No prosecution in respect of any offence under this Act shall be
instituted except by or with the written consent of the Public
Prosecutor.
(Tidak ada penuntutan sehubungan dengan tindak pidana
berdasarkan Undang-undang ini yang boleh dilembagakan kecuali oleh
atau dengan persetujuan tertulis dari Jaksa umum).
p. Offences (pelanggaran)
Except as provided in this Act, no person shall disclose any
information (Kecuali sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini
tidak ada orang boleh mengungkapkan Informasi):
76
1) About the identity or location of a witness, participant or former
participant. or (tentang identitas atau lokasi saksi, peserta atau
mantan peserta, atau).
2) That compromises the security of such a witness, participant or
former participant. (kompromi keamanan seperti seorang saksi,
peserta atau mantan peserta).
A person who is or has been a participant, or a witness who
has been considered for recommendation for inclusion in the
Programme, shall not disclose (Orang yang sedang atau telah menjadi
peserta, atau saksi yang telah dipertimbangkan untuk rekomendasi
untuk dimasukkan dalam Program, tidak akan mengungkapkan)
1) The fact that he is or has been a participant or has been
considered for recommendation for inclusion in the Programme.
(fakta bahwa ia sedang atau telah menjadi peserta atau telah
dipertimbangkan untuk rekomendasi untuk dimasukkan dalam
Program).
2) Information as to the manner in which the Programme operates;
or (informasi cara di mana Program beroperasi, atau).
3) Information about any officer who is or has been involved in the
Programme, unless the person has been authorized in writing by
the Director General to make such disclosure. (informasi tentang
petugas yang sedang atau telah terlibat dalam Program ini kecuali
orang yang telah diizinkan secara tertulis oleh Direktur Umum
untuk melakukan pengungkapan informasi tersebut).
Any person who contravenes (Setiap orang yang bertentangan
dengan)
1) Paragraph (1)(a) or (b) commits an offence and shall, on
conviction, be punished with imprisonment for a term not
exceeding twenty years, or (Paragraf (1) (a) atau (b) melakukan
kejahatan dan harus, pada keyakinan, akan dihukum dengan
77
pidana penjara untuk jangka waktu tidak melebihi dua puluh
tahun, atau)
2) Paragraph (2)(a), (b) or (c) commits an offence and shall, on
conviction, be punished with imprisonment for a term not
exceeding ten years. ( paragraf (2) (a), (b) atau (c) melakukan
kejahatan dan harus, pada keyakinan, akan dihukum dengan
pidana penjara untuk jangka waktu tidak lebih dari sepuluh tahun).
q. Abetments and attempts (penghasutan dan upaya)
Any person who abets or attempts to commit any offence
punishable under this Act shall be liable to be punished with the
punishment provided for that offence.
(Setiap seseorang yang berusaha atau mencoba untuk
melakukan kejahatan apapun dapat dihukum berdasarkan Undang-
undang ini, bertanggung jawab untuk dihukum dengan hukuman yang
diberikan untuk pelanggaran itu).
r. Powers of police officers not derogated (Kekuatan polisi tidak
derogated)
Nothing contained in this Act shall derogate from the powers of
a police officer to provide protection and assistance to a witness under
the Police Act 1967 [Act 344].
(Tidak ada yang terkandung dalam Undang-undang ini yang
akan menentang kekuasaan dari seorang perwira polisi untuk
memberikan perlindungan dan bantuan kepada saksi berdasarkan
Undang-Undang Kepolisian 1967 [Undang-Undang 344]).
s. Report to the Minister (laporan kepada menteri)
The Director General shall, not later than 31 March of the
following year, submit an annual report to the Minister relating to the
general operation, performance and effectiveness of the Programme.
The Director General may, whenever he considers it necessary
to do so, submit special reports to the Minister on any matter in
relation to the Programme.
78
(Direktur Umum, tidak lebih dari 31 Maret dari tahun
berikutnya, menyerahkan laporan tahunan kepada Menteri terkait
untuk pengoperasian umum, kinerja dan efektivitas Program.
Direktur Umum dapat, setiap kali ia menganggap perlu untuk
melakukannya, menyampaikan laporan khusus kepada Menteri tentang
masalah apapun yang berhubungan dengan Program).
t. Regulations (penutupan)
The Minister may make such regulations as may be expedient
or necessary for carrying out the purposes of this Act.
(Menteri dapat membuat peraturan yang dianggap bijaksana
atau diperlukan untuk melaksanakan tujuan Undang-undang ini).
3. Persamaan dan Perbedaan dalam regulasi prinsip confidentiality dan
safe conduct menurut UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban dengan Witness Protection Bill 2008 Malaysia
a. Persamaan dan Perbedaan:
1). Persamaan:
No Persamaan Indonesia Malaysia
1. Segi definisi
saksi
mempunyai
kesamaan
definisi
Saksi: · Orang yang dapat
memberikan
keterangan guna
kepentingan
penyelidikan,
penyidikan,
penuntutan, dan
pemeriksaan di
sidang pengadilan
tentang suatu
perkara pidana
Saksi: · Orang yang telah
memberikan atau
yang telah setuju
untuk memberikan
bukti atas nama
pemerintah dalam
proses pidana
· Orang yang telah
memberikan atau
menyetujui untuk
memberikan bukti
selain yang
79
yang ia dengar
sendiri, ia lihat
sendiri, dan/atau
ia alami sendiri
dimaksud dalam
ayat sebelumnya,
sehubungan
dengan komisi
atau mungkin
komisi suatu
tindak pidana
· Orang yang telah
memberikan
informasi,
pernyataan, atau
bantuan pejabat
publik atau pejabat
dari publik otoritas
dalam kaitannya
dengan tindak
pidana
· Orang yang untuk
beberapa alasan
lain, mungkin
membutuhkan
perlindungan atau
bantuan dibawah
program, atau
· Orang yang karena
hubungan dengan
asosiasi atau
dengan salah satu
pihak sebagaimana
dimaksud dalam
80
pengertian
sebelumnya,
mungkin
membutuhkan
perlindungan atau
bantuan dibawah
Program.
2. Jenis
perlindungan
saksi dan
korban dalam
undang-
undang
· perlindungan
fisik, relokasi,
penyamaran
identitas dan
kepemilikan, serta
perubahan
identitas.
· Menyediakan
akomodasi,
relokasi,
perlindungan
fisik,
penyamaran,
perubahan
identitas. Dan
perlindungan
lainnya yang
dianggap perlu.
3. Prosedur
pemberian
perlindungan
· Saksi dan/atau
Korban yang
bersangkutan, baik
atas inisiatif sendiri
maupun atas
permintaan pejabat
yang berwenang,
mengajukan
· Saksi dan/atau
Korban yang
bersangkutan, baik
atas inisiatif sendiri
maupun atas
permintaan pejabat
yang berwenang,
mengajukan
81
permohonan secara
tertulis kepada
LPSK.
· LPSK segera
melakukan
pemeriksaan
terhadap
permohonan
perlindungan saksi
dan korban.
· Keputusan LPSK
diberikan secara
tertulis paling
lambat 7 (tujuh)
hari sejak
permohonan
perlindungan
diajukan.
permohonan secara
tertulis kepada
Direktur Umum;
· Direktur Umum
mengumpulkan
data-data yang
diperlukan untuk
mempertimbangkan
permohonan saksi
dan rekomendasi
dari direktur Umum
diajukan kepada
Jaksa Umum
· Keputusan atas
diterimanya
permohonan
diberikan secara
tertulis
4. Penghentian
Perlindungan
· Saksi dan/atau
Korban meminta
agar perlindungan
terhadapnya
dihentikan dalam
hal permohonan
diajukan atas
inisiatif sendiri;
· Atas permintaan
pejabat yang
berwenang dalam
· Saksi mengajukan
permohonan atas
inisiatif sendiri
agar perlindungan
terhadapnya
dihentikan.
· Direktur Umum
dapat mengajukan
rekomendasi
kepada Jaksa
Umum agar
82
hal permintaan
perlindungan
terhadap Saksi
dan/atau Korban
berdasarkan atas
permintaan
pejabat yang
bersangkutan.
· Saksi dan/atau
Korban
melanggar
ketentuan
sebagaimana
tertulis dalam
perjanjian; atau
LPSK
berpendapat
bahwa Saksi
dan/atau Korban
tidak lagi
memerlukan
perlindungan
berdasarkan
bukti-bukti yang
meyakinkan.
· Penghentian
perlindungan
keamanan
seorang Saksi
dan/atau Korban
perlindungan dan
bantuan yang
diberikan kepada
peserta dengan
program tersebut
dihentikan .
· Saksi telah
melanggar
ketentuan dalam
perjanjian, atau
Direktur Umum
menganggap
bahwa saksi
sudah tidak lagi
memerlukan
perlindungan dan
bantuan,
berdasarkan dari
fakta-fakta yang
ada.
· Penghentian
Perlindungan dan
bantuan kepada
Saksi dilakukan
secara tertulis.
83
harus dilakukan
secara tertulis.
Tabel 1. Persamaan Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness
Protection Bill 2008 Malaysia
2) Perbedaan:
No Indikator
Pembeda
Indonesia Malaysia
1. Lembaga dan
pejabat khusus
yang menangani
perlindungan
saksi dan korban
· LPSK (Lembaga
Perlindungan
Saksi dan
Korban)
· Penanganan
perlindungan
saksi dan korban
dilaksanakan
oleh Direktur
Umum yang
ditunjuk oleh
Menteri
2. Pembiayaan · Pada UU No.13
2006 Anggaran
khusus untuk
perlindungan bagi
saksi dan korban,
dimana di
Indonesia berasal
dari anggaran
pendapatan dan
belanja negara
· Pada Witness
Protection Bill
2008 tidak diatur
tentang Anggaran
pembiayaan
untuk proses
perlindungan
saksi dan korban
3. Asas yang · Penghargaan atas · Tidak disebutkan
84
mendasari
perlindungan
saksi dan korban
harkat dan
martabat manusia,
rasa aman,
keadilan, tidak
diskriminatif, dan
kepastian hukum
asas yang
mendasari konsep
perlindungan
dalam Witness
Protection Bill
2008
4.
Ketentuan
Pidana
· Terdapat
Ketentuan Pidana
dalam UU No.13
Tahun 2006
tentang
perlindungan
saksi dan korban
· Dalam Witness
Protection Bill
2008 tidak
dicantumkan
ketentuan pidana
5.
Prinsip Safe
Conduct
· Disebutkan dalam
pasal 10 yaitu:
Seorang Saksi
yang juga
tersangka dalam
kasus yang sama
tidak dapat
dibebaskan dari
tuntutan pidana
apabila jika
terbukti
bersalah, tetapi
kesaksiannya
dapat dijadikan
pertimbangan
· Dalam Witness
Protection Bill
2008 tidak
menggunakan
prinsip Safe
Conduct pada
penerapan
perlindungan
saksi
85
T
abel 2. Perbedaan Undang-undang No.13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan
Witness Protection Bill 2008 Malaysia
B. Kelebihan dan kelemahan pengaturan program perlindungan saksi dan
korban menurut UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dibandingkan dengan Witness Protection Bill 2008 Malaysia
No Negara Kelebihan Kekurangan
1. Indonesia · di Indonesia terdapat
ketentuan pidana yang
jelas dalam UU
Perlindungan Saksi dan
Korban No.13 Tahun
2006
· Indonesia mempunyai
asas-asas yang mendasari
proses perlindungan saksi
dan korban
· Indonesia tidak terdapat
penjelasan tentang
pengaturan pemberian
identitas baru
2. Malaysia · Malaysia dijelaskan
pengaturan dalam
pemberian identitas baru
· Tidak terdapat ketentuan
pidana dalam Witnes
Protection Bill 2008
Malaysia
· Tidak terdapat asas-asas
bagi hakim dalam
meringankan
hukumannya.
86
yang mendasari
perlindungan terhadap
saksi dan korban
Tabel 3. Kelebihan dan Kelemahan Undang-undang No.13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness
Protection Bill 2008 Malaysia
87
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap dua masalah
pokok diatas maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1. Pengaturan regulasi prinsip confidentiality dan safe conduct menurut UU
No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam Witness
Protection Bill 2008 Malaysia memiliki persamaan dan perbedaan, yaitu:
a. Persamaan :
1) Baik dalam UU No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan
korban maupun Witness Protection Bil 2008 Malaysia, terdapat
kesamaan definisi tentang saksi.
2) Jenis perlindungan bagi saksi dan korban yang berlaku baik di
Indonesia maupun di Malaysia yaitu meliputi: perlindungan fisik,
relokasi, penyamaran identitas dan kepemilikan, serta perubahan
identitas.
3) Dalam hal prosedur pemberian perlindungan antara Indonesia dan
Malaysia memiliki kesamaan yaitu:
a) Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif
sendiri maupun ataspermintaan pejabat yang berwenang,
mengajukan permohonan secara tertulis ;
b) Lembaga atau pejabat yang berwenang segera melakukan
pemeriksaan terhadap permohonan;
c) Keputusan diberikan secara tertulis.
4) Penghentian perlindungan di Indonesia sama dengan penghentian
perlindungan di Malaysia, dengan syarat sebagai berikut:
a) Saksi dan/atau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya
dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif
sendiri;
88
b) Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan
perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas
permintaan pejabat yang bersangkutan;
c) Saksi dan/atau Korban melanggar ketentuan sebagaimana
tertulis dalam perjanjian; atau Lembaga atau pejabat yang
berwenang berpendapat bahwa Saksi dan/atau Korban tidak
lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang
meyakinkan;
d) Penghentian perlindungan keamanan seorang Saksi dan/atau
Korban harus dilakukan secara tertulis.
5) Baik dalam UU No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan
korban maupun Witness Protection Bill 2008 Malaysia, sama-
sama menggunakan prinsip Confidentiality (kerahasiaan) dalam
memberikan perlindungan terhadap saksi dan/atau korban.
b. Perbedaan :
1) Di indonesia Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada:
penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman,
keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian hukum. Sedangkan
Malaysia tidak disebutkan asas yang mendasari konsep
perlindungan bagi saksi dan korban.
2) Dalam UU No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan
korban terdapat ketentuan pidana, sedangkan dalam Witness
Protection Bill 2008 tidak disebutkan ketentuan pidananya.
3) Indonesia mempunyai lembaga khusus yang bertanggungjawab
menangani perlindungan terhadap saksi dan korban. Dimana di
Indonesia dibentuk LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban), sedangkan Malaysia Menteri menunjuk Direktur Umum
untuk seseorang untuk membantu Direktur Jenderal dalam
melaksanakan perlindungan saksi.
4) Pembiayaan di Indonesia, sumber pembiayaannya berasal dari
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sedangkan
89
Malaysia tidak diatur tentang pembiayaan pelaksanaan program
perlindungan saksi.
5) Dalam UU No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan
korban terdapat prinsip Safe Conduct, sedangkan pada Witness
Protection Bill 2008 Malaysia tidak menggunakan prinsip Safe
Conduct dalam pengaturan perlindungan saksi.
2. Pengaturan perlindungan saksi dan korban menurut UU No.13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Witness Protection Bill
2008 Malaysia memiliki persamaan dan perbedaan, serta kelebihan dan
kekurangan. Dalam hal ini, kelebihan maupun kekurangan masing-masing
negara yaitu Indonesia dan Malaysia terdapat pada asas-asas yang
mendasari proses perlindungan saksi dan korban, ketentuan pidana, proses
pemberian identitas baru. Dimana asas-asas proses perlindungan saksi dan
korban serta ketentuan pidana yang menjadi unsur kelebihan di Indonesia,
merupakan unsur yang tidak terdapat dalam Witness Protection Bill 2008
Malaysia. Sebaliknya, mengenai proses pemberian identitas baru yang
terdapat pada Witness Protection Bill 2008 Malaysia, menjadi suatu unsur
kekurangan yang tidak dimiliki oleh Indonesia.
B. Saran
1. Perlunya pengaturan lebih rinci terhadap proses pemberian identitas
terhadap saksi pada Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang
perlindungan saksi dan korban.
2. Perlu adanya peran aktif dari LPSK untuk lebih mensosialisasikan peran
LPSK kepada masyarakat Indonesia, agar tercapainya pemenuhan
perlindungan bagi saksi dan korban yang berkaitan dengan tindak pidana
di Indonesia.
3. Tidak hanya LPSK yang mempunyai kewajiban dan tugas dalam
perlindungan saksi dan korban, masyarakatpun diharapkan memiliki andil
dalam pelaksanaan perlindungan saksi dan korban, yakni salah satunya
adalah dapat bekerjasama dengan LPSK dalam hal memberikan
90
keterangan yang berkaitan dengan pemenuhan perlindungan saksi dan
korban.
4. Mempertahankan kelebihan-kelebihan, serta membenahi kekurangan
yang dimiliki oleh Indonesia dalam unsur-unsur yang terdapat dalam
Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan
korban.
91
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Henry Campbell Black. 1991. Blacks Law Dictionary. St. Minn: West Publishing Co.
Romli Atmasasmita. 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju.
Satjipto Rahardjo. 1996. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
Soerjono Soekanto. 1989. Perbandingan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 1984. Penelitian Hukum Norma Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Press.
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Witness Protection Bill 2008 Malaysia
Internet
Supriyadi Widodo Eddyono, Wahyu Wagiman dan Zaenal Abidin. Analisis Terhadap RUU Perlindungan Saksi dan Korban Versi Badan Legislatif DPR. http://www.prakarsarakyat.org/download/HAM/KampanyeELSAMRUUPerlindunganSaksi.pdf [3 Mei 2010 pukul 11.40]
92
Bambang Santoso SH . Kebijakan Formulatif Hukum Pidana Dalam Upaya Perlindungan Saksi dalam Proses Pidana (Suatu Studi Dalam Perspektif Penal Policy). http://sirine.uns.ac.id/penelitian.php?act=detail&idp=1291&judul=KEBIJAKAN%20FORMULATIF-HUKUM-PIDANA-DALAM-UPAYA-PERLINDUNGAN-SANKSI-DALAM-PROSES-PIDANA-28SUATU-STUDI-DALAM PERSPEKTIF-PENAL-POLICY [23 Juni 2010 Pukul 7:52]