Makalah Pengadaan Tanah

36
1 ANALISA YURIDIS PROSES PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM (STUDI KASUS PEMBANGUNAN JALAN TOL TRANS KOTA SEMARANG-SOLO) Oleh: Justitia Avila Veda 1106056466 Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok 2013

Transcript of Makalah Pengadaan Tanah

Page 1: Makalah Pengadaan Tanah

1

ANALISA YURIDIS PROSES PENGADAAN TANAH BAGI

PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM (STUDI KASUS

PEMBANGUNAN JALAN TOL TRANS KOTA SEMARANG-SOLO)

Oleh:

Justitia Avila Veda

1106056466

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Depok

2013

Page 2: Makalah Pengadaan Tanah

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini, kompleksnya kebutuhan manusia menyebabkan semakin

kompleks pula aktivitas yang berkembang di masyarakat. Aktivitas-aktivitas tersebut

tentunya membutuhkan tanah sebagai wadah pelaksanaannya. Di atas tanah tersebut

akan dibangung gedung-gedung, bangunan, dan segala jenis infrastruktur yang

ditujukan sebagai sarana pendukung aktivitas manusia. Dalam konteks ini, fungsi dan

peran tanah dalam berbagai sektor kehidupan manusia memiliki tiga aspek yang

sangat strategis, yaitu aspek ekonomi, politik dan hukum, dan aspek sosial.1 Tanah

menjadi suatu objek penggerak ekonomi negara yang pengunaannya tidak dapat

dipisahkan dari politik dan hukum, sekaligus memiliki fungsi untuk mewujudkan

kemanfaatan bersama.

Namun yang menjadi masalah, jumlah tanah yang ada tidak seimbang dengan

besarnya kebutuhan masyarakat untuk melakukan pembangunan demi terlaksananya

aktivitas-aktivitas tadi. Kondisi ini yang menjadi ironi, karena di satu sisi tanah

berharga sangat tinggi karena permintaannya (demand), tapi di lain pihak jumlah

tanah tidak sesuai dengan penawarannya (supply).2 Yang lebih buruk, tanah memiliki

sifat permanen, yang artinya tidak dapat bertambah. Kondisi ini yang menyebabkan

stagnansi jika dihubungkan dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan

masalah pembangunan.3

Salah satu masalah kebutuhan tanah yang cukup krusial adalah dalam bidang

transportasi. Di masa sekarang, kebutuhan transportasi meningkat pesat seiring

dengan berkembang pula aktivitas manusia yang menuntut manusia untuk memiliki

mobilitas tinggi. Transportasi menghubungkan satu komponen kegiatan dengan

komponen lainnya, sehingga tanpa transportasi, sulit dibayangkan kesulitan yang akan

dihadapi manusia. Sehubungan dengan kebutuhan transportasi tersebut, pemerintah

banyak mencanangkan program pembangunan jalan tol. Jalan tol adalah jalan umum

yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang

1 Y. Wartaya Winangun, SJ, Tanah Sumber Nilai Hidup, Cetakan I, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal.

21.

2 Bambang Tri Cahyo, Ekonomi Pertanahan, Yogyakarta: Liberty, 1983, hal. 16

3 Effendi Perangin, Praktek Permohonan Hak Atas Tanah, Jakarta:Rajawali Press, 1991, hal. 55

Page 3: Makalah Pengadaan Tanah

3

penggunanya diwajibkan membayar tol.4 Jalan tol ini banyak dikenal sebagai jalan

lintas wilayah yang kondisinya baik dan bebas dari macet. Oleh karenanya, dewasa ini

kebutuhan atas jalan tol terus meningkat. Di daerah Pulau Jawa saja, kebutuhan tanah

untuk jalan tol bertambah 31,7%, yakni 1.510,88 Ha dari sebelmnya 4.761,96 Ha

menjadi 6.272,84 Ha. Sedangkan angka tanah yang dapat dimanfaatkan tidak

mencapai angka tersebut.

Dalam mengatasi permasalahan ini, pemerintah membentuk suatu mekanisme

pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang selanjutnya diatur dalam UU No. 2

Tahun 2012. Undang-undnag tersebut mengatur bahwa demi kepentingan umum,

tanah perlu dibebaskan dari hak perseorangan yang membebaninya melalui

serangkaian prosedur dan berujung pada pemberian ganti-rugi bagi pihak pengemban

hak atas tanah sebelumnya. Hal ini bersesuaian dengan semangat hukum pertanahan

Indonesia yang menyatakan bahwa tanah harus memiliki fungsi sosial.5 Fungsi sosial

ini menuntut adanya keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan

kepentingan umum. Adanya keseimbangan natara kedua kepentingan tersebut

diharapkan dapat tercapai keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat.6 Hal tersebut

yang kemudian menjadi justifikasi untuk melakukan pengadaan tanah, dalam konteks

memprioritaskan kepentingan umum di atas kepentingan perseorangan sehubungan

dengan penggunaan tanah. Pada prinsipnya, pengadaan tanah dilakukan dengan cara

musyawarah antar pihak yang memerlukan tanah dan pemegang hak atas tanah yang

tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan.7

Namun sayangnya UU No. 2 Tahun 2012 tersebut belum dapat berlaku secara

efektif karena masih banyak penyelewengan dalam pelaksanaannya. Praktik serupa

munculnya calo-calo pembeli tanah masyarakat, penentuan besaran ganti-rugi yang

dirasa tidak adil, pembayaran yang tidak tepat waktu, eksekusi pembebasan tanah

dengan cara koersif, dan sebagainya, adalah hal-hal yang mudah ditemukan dalam

praktik pengadaan tanah. Sehubungan dengan hal tersebut, makalah ini disusun

bertujuan untuk mencari tau bagaimana persisnya praktik pengadaan tanah di

4 Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol. PP No. 15 Tahun 2005

ini telah mengalami perubahan yang diatur dalam PP No. 44 Tahun 2009.

5 Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria

6 Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung: Alumni, 1984, hal 21

7 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta:

Kompas, 2008, hal. 280.

Page 4: Makalah Pengadaan Tanah

4

lapangan serta kesesuaiannya dengan ketentuan perundang-undangan. Dengan

mengetahui titik masalah dalam pengadaan tanah, diharapkan dapat ditemukan jalan

keluar yang solutif supaya pengadaan tanah yang awalnya bertujuan mulia, tidak

berubah menjadi momok bagi masyarakat.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana kondisi dari proses pengadaan tanah untuk Jalan Tol Semarang-

Solo?

2. Bagaimanakah kesesuaian praktik pengadaan tanah untuk Jalan Tol Semarang-

Solo dengan ketentuan perundang-undangan?

C. Konstruksi Gagasan/Ide Pokok

Di tengah tingginya kebutuhan atas tanah bagi pembangunan jalan tol,

pengadaan tanah adalah suatu hal yang memang harus ditempuh. Hal ini bersesuaian

dengan konsep tanah yang memiliki fungsi sosial, sebagaimana diatur dalam UU No.

5 Tahun 1960. Ketentuan tersebut mengatur bahwa hak atas tanah apapun yang ada

pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya akan dipergunakan (atau

tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya.8 Keberadaan tanah

tersebut juga harus memberikan kemanfaatan bagi kepentingan masyarakat dan

negara. Namun prinsip tanah berfungsi sosial ini harus diinterpretasikan bahwa tanah

harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan haknya, sehingga bermanfaat bagi si

pemegang hak dan bagi masyarakat, serta bahwa kepentingan perseorangan itu diakui

dan dihormati dalam rangka pelaksanaan kepentingan masyarakat secara

keseluruhan.9

Oleh karenanya, pengadaan tanah dengan alasan kepentingan umum tidak

boleh secara serta-merta menginjak-injak hak perorangan begitu saja. Meskipun

memang perlu diakui, pengadaan tanah yang notabene adalah pembebasan hak atas

tanah karena permintaan pemerintah disertai ganti rugi menjadikan hak perorangan

lebih inferior daripada kepentingan umum. Namun potensi terinjak-injaknya hak

perorangan atas tanah harus diminimalisasi setidak-tidaknya dengan mematuhi

8 Penjelasan Umum II angka 4 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria

9 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta: Kompas,

2006. Hal.97.

Page 5: Makalah Pengadaan Tanah

5

ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan serta mengkaji kondisi

masyarakat yang bersangkutan.

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji titik permasalahan dalam pengadaan

tanah bagi kepentingan umum, khususnya dalam pembangunan jalan tol

sehingga nantinya dapat ditemukan penyelesaiannya supaya pengadaan tanah

untuk waktu berikutnya dapat sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.

2. Tujuan Khusus

Berdasarkan tujuan umum tersebut, dapat dirumuskan dua tujuan khusus dari

penelitian ini, yaitu:

a. Menunjukkan tidak sinkronnya ketentuan yang tertuang dalam peraturan

perundang-undangan dengan implementasinya dalam dunia praktik

b. Menggambarkan kondisi sosiologis dari masyarakat yang tanahnya

menjadi objek pengadaan tanah bagi pembangunan jalan tol

c. Merumuskan langkah awal dari penyelesaian masalah yang bersangkutan

3. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan maaklah ini meliputi:

a. Memberikan rekomendasi dalam melaksanakan pengadaan tanah untuk

kepentingan umum yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat sehingga

pengadaan tanah dapat berjalan dengan baik

b. Memberikan gambaran penyelesaian proses pengadaan tanah dalam hal

mekanisme yang ditetapkan oleh undang-undang kurang dapat berjalan

secara efektif

E. Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah yuridis normatif,

dengan pisau analisa berupa peraturan perundang-undangan tentang pengadaan tanah

bagi kepentingan umum, berdasarkan bahan yang berhasil dihimpun dari referensi

berupa buku, jurnal, serta hasil penelitian yang telah dilakukan sebelum-sebelumnya.

Page 6: Makalah Pengadaan Tanah

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Filosofi Hukum Tanah di Indonesia

Hukum tanah Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960

tentang Pokok-Pokok Agraria mengandung semangat hukum adat yang telah lama

berlaku di Indonesia.10

Hukum tanah yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 ini

merupakan wujud aktualisasi nilai-nilai yang telah lama berkembang di tengah

masyarakat berupa hukum adat yang telah diubah berdasarkan kreasi negara sesuai

dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern.11

Keberadaan UU No 5

Tahun 1960 sendiri selain menegaskan keberlakuan hukum adat tentang tanah, secara

otomatis menyatakan tidak berlakunya ketentuan hukum tanah Barat yang digunakan

ada masa penjajahan Belanda.

Ketentuan tentang hukum tanah Barat mengandung nilai yang sangat berbeda

dengan ketentuan hukum adat. Dalam konsep Barat, yang diperkenalkan oleh

Pemerintah Hindia Belanda, kepemilikan tanah didasarkan pada pembenaran yuridis

secara ipso jure melalui kontrak panjang (lange contracten) atau pernyataan pendek

(korte verklaringen) antara penguasa dengan masyarakat pribumi.12

Sebagai

kelanjutan dari hukum barat ini, muncul Agrarische Wet (S.1870 No.55) yang

menyatakan bahwa tanah-tanah di Jawa dan Madura yang tidak dapat dibuktikan

status kepemilikannya secara yuridis, merupakan tanah Negara atau

domeinverklaaring. Selanjutnya, masyarakat yang ingin menggunakan tanah tersebut

harus membuat kontra sewa-menyewa dengan pemerintah. Ketentuan yang seperti ini

yang membuat banyak masyarakat pribumi menjadi sengsara, karena praktik sewa-

menyewa itu pun mengharuskan adanya pembayaran dari penyewa.

Berlawanan dengan konsep hukum barat, hukum adat tentang pertanahan

mengenal adanya hak ulayat, yaitu hak masyarakat sebagai suatu kesatuan hukum.

Hak ini memberikan kesempatan bagi masyarakat yang memilikinya untuk menarik

manfaat dari tanah terseebut. Selain itu, hukum tanah adat mendasarkan kepemilikan

tanah secara ipso facto. Tanah tersebut dipandang sebagai milik seseorang apabila

10 Hal ini dinyatakan dalam Penjelasan Umum UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria

11 Penjelasan Umum Angka III angka (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria

12 Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal, Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, Jakarta: PT

Gramedia Widiasarana Indonesia, 2010, hal 14.

Page 7: Makalah Pengadaan Tanah

7

orang yang bersangkutan mengusahakannya secara kasat mata. Penguasaan terus-

menerus yang intensif akan melahirkan hak individual atas tanah di tengah hak ulayat,

yang akan kembali ke dalam kekuasaan hak ulayat itu sendiri apabila tanah tadi

ditelantarkan.13

Pandangan hukum tanah adat yang demikian berangkat dari

pemahaman bahwa Tuhan menciptakan bumi, air, dan sumber daya di dalamnya

sebagai sarana untuk membantu manusia hidup. Sehingga manusia harus berusaha

untuk memanfaatkan dan melestarikan bumi, air, dan sumber daya di dalamnya

dengan sebaik-baiknya karena pada dasarnya, manusia memiliki hubungan religius

yang tidak dapat dipisahkan dari bumi itu sendiri.14

Pendangan yang demikian berlaku

dan melekat dalam rasa hukum masarakat Indonesia semenjak lama dan telah

diamalkan secara terus menerus, yang kemudian menjelma sebagai living laws atau

hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat.15

Berlakunya UUPA menegaskan bahwa hubungan banga Indonesia dengan

tanah adalah hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah

negara.16

Hak ulayat ini mengahruskan adanya penggunaan dan pemanfaatan tanah.

Berlandaskan konsep tersebut, dalam UUPA dimunculkan fungsi sosial tanah, yang

melarang seseorang menggunakan atau tidak menggunakan tanah sehingga merugikan

kepentingan rakyat.17

Hak ulayat pada tingkat seluruh wilayah negara ini selanjutnya

disebut sebagai hak bangsa Indoensia yang pelaksanaannya berada di tangan negara

sebagai organisasi kekuasaan bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, negara berhak

mengatur, menentukan, dan mengawasi penggunaan dari tanah Indonesia dengan

tetap mengutamakan kemanfaatan bagi masyarakatnya. Hukum tanah yang demikian

dirasa sesuai dengan prinip masyarakat Indonesia yang cenderung bersifat

komunalistik. Oleh karenanya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Habermas bahwa

validitas hukum ditentukan oleh konsensus yang dibuat oleh elemen-elemen

13 Achmad Sodiki, Penataan Kepemilikan Hak Atas Tanah di Daerah Perkebunan Kabupaten Malang,

Disertasi, PPs Universitas Airlangga, 1994, hal. 19.

14 Filosofi ini juga dimuat dalam penjelasan Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok

Agraria

15 Freiderich Carl Von Savigny, mengatakan bahwa hukum itu bukan hanya dikeluarkan oleh penguasa

public dalambentuk perundang-undangan, namun hukum adalah jiwa bangsa (Volkgeist). Sumber: Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta:PT Kompas Media Nusantara, 2006, hal.

164

16 Penjelasan Umum Angka II angka (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria

17 Penjelasan Umum Angka II angka (4) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria

Page 8: Makalah Pengadaan Tanah

8

masyarakat,18

keberlakuan hukum tanah yang efektif berawal dari nilai-nilai yang

tumbuh dan diyakini oleh warga masyarakat serta disepakati masyarakat untuk

diamalkan secara bersama-sama.

B. Konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State) Indonesia

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan salah satu kegiatan

yang dilakukan pemerintah berkaitan dengan tugas dan tanggungjawabnya untuk

memajukan kesejahteraan umum.19

Inilah yang menjadikan Indonesia sebagai Negara

kesejahteraan atau yang kerap disebut dengan istilah welfare state.20

Welfare state

atau verzorgingstaat sering disebut sebagai negara berdasar atas hukum yang

material/sosial. Negara ini berkewajiban menyelenggarakan kesejahteraan rakyat,

sehingga campur tangan pemerintah dalam mengurusi kepentingan ekonomi rakyat,

kepentingan politik dan sosial, kepentingan budaya dan lingkungan hidupnya serta

masalah-masalah lainnya tidak dapat dielakkan.21

Indonesia sebagai negara

kesejahteraan dapat diidentifikasi melalui semangat yang terkandung dalam Aline ke-

Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi,

“.. membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan

untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial..”

Semangat tersebut selanjutnya diejawentahkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD NRI

1945 yang menyatakan bahwa,

“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus

dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat”

18 Lihat Reza A.A. Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Locke-Rousseau-Habermas,

Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007, hal. 16-17.

19 Yanto Sufriadi, Penyebab Sengketa Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum (Studi Kasus

Sengketa Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum di Bengkulu), Jurnal Hukum No. 1 Vol. 18

Januari 2011, hal 42-62.

20 Welfare state adalah bentuk perkembangan terkahir dalam negara hukum yang sebelumnya melalui

tahapan: 1) Polizeistaat, negara dengan kekuasaan monarki absolut yang menguasai seluruh

kehidupan masyarakat; 2) Rechstaat sempit/liberal, negara berfungsi sebagai „penjaga malam‟ yang hanya akan bertindak apabila ada gangguan tehadap ketertiban dan ketenangan masyarakat; 3)

Rechstaat formal, negara melakukan pengaturan untuk kepentingan masyarakat khususnya dalam

hal-hal yang memang tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh rakyat

21 Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undagan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007, hal 240.

Page 9: Makalah Pengadaan Tanah

9

Dalam konteks pertanahan, negara diberi wewenang untuk menguasai tanah dan

menentukan bagaimana penggunaannya.22

Berkaitan dengan kewenangan ini, untuk

menyelenggarakan penyediaan tanah bagi berbagai keperluan masyarakat dan negara,

pemerintah dapat mencabut hak-hak atas tanah dengan memberikan ganti kerugian

yang layak menurut cara yang diatur dengan undang-undang.23

Hal ini juga

tergambarkan pada sila ke-5 Pancasila, “keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia” yang memiliki makna bahwa harus ada pemerataan kesejahteraan dan

kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Tidak boleh ada

penyedotan keuntungan dari warga yang stau kepada warga yang lain.24

Kemanfaatan

tersebut harus dibagi sama rata demi keberlangsungan hidup bersama.

C. Proses Pengadaan Tanah untuk kepentingan Umum

Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara

memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak25

karena telah

melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang

tidak terpisahkan dengan tanah. Pengadaan ini ditujukan bagi terselenggaranya

kepentingan umum, yaitu kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan yang memiliki

ciri-ciri tertentu, antara lain menyangkut perlindungan hak-hak individu sebagai

warga negara, dan menyangkut pengadaan serta pemeliharaan sarana publik, dan

pelayanan kepada publik.26

Tujuan dari pengadaan tanah ini adalah untuk

meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan

tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.27

22 Wewenang ini terkandung dalam hak menguasai negara yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No.

5 Tahun 1960 yang meliputi: a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa; b) menentukan dan mengatur

hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; c)

menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan

hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

23 Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria

24 Kuntjoro Purbopranoto, Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila, Jakarta: Pradnya Paramita, 1982,

hal 37. 25 Pasal 1 angka 2 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk

Kepentingan Umum

26 Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta:

Kompas, 2008, hal. 282. 27 Pasal 3 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan

Umum

Page 10: Makalah Pengadaan Tanah

10

Mekanisme pengadaan tanah yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012

menyempurnakan mekanisme yang sebelumnya diatur Peraturan Presiden No. 36

Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum dan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan

atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005, juga Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun

2007 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005. Dalam

instrumen hukum sebelumnya, pengadaan tanah dapat dilakukan melalui pencabutan

hak atau secara paksa dan melalui musyawarah untuk mencapai persetujuan antara

pemegang hak dengan calon penerima hak. Pengadaan tanah untuk kepentingan

umum melalui pencabutan hak merupakan kewenangan Presiden yang diwujudkan

melalui Keputusan Presiden. Mekanisme ini cenderung bersifat koersif dan kurang

memberikan rasa keadilan bagi pihak pemegang hak atas tanah, meskipun

penggunaannya sebagai ultimum remedium atau jalan terakhir.

Dalam pengaturan yang baru, pengadaan tanah ini dilakukan oleh pemerintah

dengan dana yang juga disediakan oleh pemerintah untuk pembayaran ganti rugi.28

Pelaksanaannya harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan

pembangunan dan kepentingan masyarakat29

, sehingga harus melaui proses

perencanaan dengan melibatkan para pemangku kepentingan. Selain perencanaan,

pengadaan tanah harus melalui tahapan persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan

hasil.30

Perencanaan harus dibuat berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah

dengan membuat dokueman perencanaan yang mengandung data terperinci mengenai

pengadaan tanah yang akan dilakukan. Setelah melalui tahap perencanaan, dilakukan

tahap persiapan yang meliputi pemberitahuan rencana pembangunan, pendataan awal

lokasi rencana pembangunan, dan konsultasi publik.31

Dalam hal tercapai

kesepakatan, maka pengadaan tanah berlanjut pada tahap pelaksanaan. Apabila masih

ada keberatan, akan dibentuk tim pengkaji yang nantinya akan menghasilkan segala

28 Pasal 4 dan Pasal 6 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk

Kepentingan Umum 29 Pasal 10 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk

Kepentingan Umum 30 Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan

Umum 31 Pasal 16 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan

Umum

Page 11: Makalah Pengadaan Tanah

11

pertimbangan sebagai dasar dikeluarkannya penetapan lokasi untuk pengadaan tanah

oleh Gubernur.32

Tahapan selanjutnya adalah pelaksanaan yang meliputi kegiatan inventarisasi

dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah,

penilaian ganti kerugian, musyawarah penetapan ganti rugi, dan pelepasan tanah

instansi.33

Apabila musyawarah tidak mencapai hasil, pihak-pihak pemangku

kepentingan dapat mengajukan keberatan hingga akhrnya muncul penetapan dari

pemerintah. Setelahnya, dilakukan pembayaran ganti-rugi kepada pihak yang berhak.

Apabila pihak yang berhak tidak mau menerimanya, pembayaran ganti rugi dapat

dititipkan kepada pengadilan negeri setempat atau konsinyiasi.34

Setelahnya, tanah

harus dilepaskan dan statusnya berubah menjadi tanah negara. Instansi yang

membutuhkan tanah tersebut harus mengajukan permohonan hak terlebih dahulu

sebelum dapat menggunakan tanah hasil pengadaan tanah.

Pada dasarnya, ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 2012 tidak banyak berbeda

dengan ketentuan yang dimuat dalam instrumen hukum tentang pengadaan tanah

hukum terdahulu yaitu Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Peraturan

Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun

2005, juga Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksana

Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005. Ketentuan-ketentuan tersebut banyak

mengalami perkembangan dan penyempurnaan jika dibandingkan dengan ketentuan

dalam UU No. 20 Tahun 1961 yang memperbolehkan dilakukannnya pencabutan

tanah secara serta-merta dengan Keputusan Presiden meskipun terjadi penolakan di

tengah masyarakat pemegang hak.

PP No. 65 tahun 2006 mengatur bahwa mekanisme pengadaan tanah

dilakukan dengan cara pembebasan disertai dengan pembayraan ganti rugi dalam

bentuk uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, gabungna dari dua atau lebih

32 Pasal 21 dan 22 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk

Kepentingan Umum 33 Pasal 27 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan

Umum 34 Pasal 42 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk

Kepentingan Umum

Page 12: Makalah Pengadaan Tanah

12

pilihan-pilihan tersebut, atau bentuk lain yang disepakati oleh pihak-pihak yang

bersangkutan. Ganti rugi besarannya ditentukan berdasarkan35

:

a. Nilai Jual Objek Pajak atau nilai nyata/sebenarnya dengan

memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak tahun berjalan berdasarkan

penetapan Lembaga atau Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh

panitia.

b. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang

bertanggungjawab di bidang bangunan.

c. Nilai jual tanaman yang diatur oleh instansi perangkat daerah yang

bertanggungjawab dibidang pertanian.

Penetapan ganti rugi ini dilakukan setelah dilakukan musyawarah untuk

mencapai mufakat. Apabila tidak tercapai mufakat di antara para pihak, Panitia

Pengadaan Tanah dapat menitipkan ganti rugi ke pengadilan negeri atau konsinyasi.

Meskipun lembaga ini dikenal dalam instrumen hukum pengadaan tanah dari waktu

ke waktu, tetapi pada dasarnya konsinyasi agak bertentangan dengan asas-asas yang

berlaku mengenai penguasaan tanah. Hukum tanah nasional menyatakan bahwa dalam

keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan apapun, perolehan tanah

yang dibebani hak seseorang harus melalui musyawarah baik mengenai penyerahan

tanahnya maupun mengenai imbalan yang merupakan hak pemegang hak atas tanah

yang bersangkutan.36

Oleh karenanya, dalam keadaan biasa, penggunaan lembaga

konsinyasi sebagaimana diatur dalam pasal 1404 KUHPerdata pun seharusnya

dihindari karena tegrolong dalam bentuk pemaksaan kepada peemgang hak atas tanah.

D. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan

antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti.37

Beberapa definisi yang

dirumuskan untuk mempermudah penggambaran konsep-konsep dalam penelitian

meliputi:

35 Pasal 15 Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 36

Tahun 2005 36 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undnag-Undang Pokok Agraria,

Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2003, hal. 3.

37 Soerjono Soekanto (b), Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia

(UI-Press), 1986, hal.132.

Page 13: Makalah Pengadaan Tanah

13

1. Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan

cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan

tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda berkaitan dengan tanah.38

2. Kepentingan Umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan

masyarakat.39

3. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan

hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang

dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.40

4. Panitia Pengadaan Tanah adalah panitia yang dibentuk untuk membantu

pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan

umum.41

5. Musyawarah adalah kegiatan yang mengandung proses saling mendengar,

saling memberi dan saling menerima pendapat, serta keinginan untuk

mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan

masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan tanah atas dasar

kesukarelaan dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah,

bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah

dengan pihak yang memerlukan tanah.42

6. Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik

dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang

mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau bendabenda lain yang

berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang

lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena

pengadaan tanah.43

38 Pasal 1 angka 3 Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Perpres No. 36 Tahun 2005

tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. 39 Pasal 1 angka 5 Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan

Pembangunan untuk Kepentingan Umum. 40 Pasal 1 angka 6 Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan

Pembangunan untuk Kepentingan Umum. 41 Pasal 1 angka 9 Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan

Pembangunan untuk Kepentingan Umum. 42 Pasal 1 angka 10 Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan

Pembangunan untuk Kepentingan Umum. 43

Pasal 1 angka 11 Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan

Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Page 14: Makalah Pengadaan Tanah

14

BAB III

PEMBAHASAN

A. Kondisi Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan Jalan Tol

Semarang-Solo

Jalan tol Semarang-Solo merupakan salah satu program pemerintah dalam

bidang pembangunan infrastruktur bagi kepentingan umum. Program ini dilaksanakan

oleh PT. Jasa Marga melalui penunjukkan yang dilakukan oleh Badan Pengatur Jalan

Tol (BPJT) dengan memberikan Hak Pengusahaan Jalan Tol Semarang-Solo pada

tahun 2005 kepada persero yang bersangkutan. Dalam praktiknya, PT. Jasa Marga

bekerja sama dengan PT. Sarana Pembangunan Jawa Tengah (PT. SPJT) yang

merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Propinsi Jawa Tengah

untuk membentuk perusahaan gabungan bernama PT. Trans Mega Jawa Tengah yang

merupakan perusahaan swasta untuk melaksanakan pengelolaan Jalan Tol Semarang-

Solo.44

Program pembangunan jalan tol ini merupakan bagian dari Rencana Tata

Ruang dan Tata Wilayah Provinsi Jawa Tengah yang dituangkan dalam pasal 20 ayat

(6) huruf a Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 6 Tahun 2010 untuk kurun

waktu 2009 hingga 2029. Dalam pelaksanaan rencana tersebut, sebanyak 625 bidang

tanah di Kecamatan Banyumanik dan Tembalang akan dibebaska. Bidang-bidang

tanah tersebut meliputi tanah yang terletak di Kelurahan Sumurboto sbanyak 45

bidang tanah, di daerah Pedalangan sebanyak 162 bidang tanah, di daerah Padangsari

sebanyak 76 bidang tanah, di daerah Gedawang sebanyak 185 bidang tanah, di daerah

Pudakpayung sebanyak 140 bidang tanah, dan di daerah Kramas sebanyak 17 bidang

tanah. Lima kelurahan pertama berada di wilayah Kecamatan Banyumanik,

sedangkan Kelurahan Kramas berada dalam wilayah Kecamatan Tembalang.45

Setidak-tidaknya pembangunan jalan tol ini membutuhkan tanah seluas 804,4 Ha.

Untuk wilayah Semarang sendiri, luas tanah yang terkena proyek yang bersangkutan

adalah 480.340 m2. Sehubungan dengan hal tersebut, telah dipersiapkan kegiatan

44 Profil PT. Trans Mega Jawa Tengah, http://transmargajateng.com/index.php/info-perusahaan,

45 Dinyatakan oleh Asisten Tata Praja Setda Kota Semarang, Drs Soemarmo HS dalam suatu

kesempatan. Sumber: Budiman, 625 Bidang Tanah Akan Dibebaskan, suaramerdeka.com (23

Agustus 2005), http://www.suaramerdeka.com/harian/0508/23/kot08.htm, diundug tanggal 4 Juni

2013.

Page 15: Makalah Pengadaan Tanah

15

pemasangan patok, sosialisasi, inventarisasi tanah, pengukuran, rapat hasil

pengukuran, musyawarah, pembayaran, dan administrasi pembayaran.

Jalan tol sepanjang 75,70 km ini nantinya akan melintasi wilayah Kota

Semarang, Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten

Karanganyar yang pembangunannya terbagi menjadi 5 seksi. Kelima seksi tersebut

meliputi46

:

1. Seksi I, pembangunan dari Tembalang hingga Ungaran dengan panjang

jalan tol 16,3 km. Status saat ini adalah operasi terbatas.

2. Seksi II, pembangunan dari Ungaran-Bawen dengan panjang jalan tol

13,33 km. Status saat ini adalah sedang dalam konstruksi.

3. Seksi III, pembangunan dari Bawen hingga Kota Salatiga dengan

panjang jalan tol 18,2 km. Status saat ini adalah persiapan konstruksi.

4. Seksi IV, pembangunan dari Kota Salatiga hingga Kabupaten Boyolali

dengan panjang jalan tol 22,4 km. Status saat ini adalah sedang dalam

tahap pembebasan lahan.

5. Seksi V, pembanguna dari Kabupaten Boyolali hingga Kabupaten

Karanganyar dengan panjang jalan tol 11,1 km. Status saat ini adalah

sedang dalam tahap pembebasan lahan.

Untuk mewujudkan jalan tol yang memang kini dirasa sebagai kebutuhan yang

mendesak, dilakukanlah pengadaan tanah dengan cara pembebasan hak aats tanah

disertai dengan pembayaran ganti rugi. Hal ini juga banyak diterapkan di wilayah-

wilayah lain untuk pembangunan berbagai jenis infrastruktur. Hamper di semua

wilayah pula, pengadaan tanah selalu menimbulkan masalah dan ketidakadilan yang

berakibat seperti: pertama, munculnya calo-calo tanah; kedua, pemilik tanah tergusur

dan dirugikan karena harus pindah; ketiga, pemilik tanah yang semula di belakang

menjadi di pinggir jalan dan dapat keuntungan tanpa berkeringat karena harga tanah

meningkat signifikan; keempat, sisa tanah di pinggir jalan tidak teratur bentuknya;

kelima, pembebasan tanah membebani anggara pemerintah.47

46 Departemen Pekerjaan Umum, Pembangunan Jalan Tol di Indonesia: Perkembangan, Hambatan, dan

Kendala. http://www1.pu.go.id/uploads/berita/ppw240311din.htm, diunduh 4 Juni 2013.

47 Yudhi Setiawan, Instrumen Hukum Campuran (gemeenschapelijkerecht) dalam Konsolidasi Tanah,

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, hal 3.

Page 16: Makalah Pengadaan Tanah

16

Seperti ulasan di atas, pembangunan jalan tol Semarang-Solo melalui

pengadaan tanah ini juga menemui beberapa masalah. Beberapa konflik dan hambatan

tersebut meliputi48

:

1. Biaya yang sangat tinggi

2. Masalah pengadaan tanah/pembebasan tanah

3. Sosialisasi yang memakan waktu lama

4. Sikap masyarakat yang kurang medukung

5. Spekulan (calo) tanah yang ikut bermain

Dari beberapa masalah tersebut, yang berkenaan langsung dengan tema

penulisan kali ini adalah proses pengadaan tanah yang didalamnya mencakup

tahapan-tahapan pelaksanaan sesuai ketentuan yang berlaku. Pelaksanaan pengadaan

tanah untuk pembangunan jalan tol Semarang-Solo ini di bagi ke dalam 9 tahapan:

1. Sosialisasi

2. Pematokan ROW

3. Pengukuran ricikan

4. Inventarisasi bangunan dan tanaman

5. Pengumuman hasil ukur

6. Musyawarah harga

7. Pembayaran ganti rugi

Tahapan-tahapan tersebut dilaksanakan oleh Tim Pengadaan Tanah yang

memang dibentuk untuk membuat dan menyusun pengadaan tanah bagi pelaksanaan

pembangunan dengan melakukan berbagai kegiatan pendahuluan dalam

pelepasan/penyerahan hak atas tanah.49

Proses pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol Semarang-Solo ini asih

menggunakan ketentuan hukum yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun

2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum dan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan

Presiden No. 36 Tahun 2005, juga Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007 tentang

Ketentuan Pelaksana Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005. Sehubungan dengan

pelaksanaan tahapan-tahapan tersebut, masalah-masalah yang berhasil ditemukan

48 Bahan Seminar, Perkembangan Pengadaan Tanah Untuk Jalan Tol Semarang-Solo, Tahap I

Semarang-Bawen, disajikan oleh Panitia Pengadaan Tanah Kota Semarang, 3 Mei 2007.

49 Abdurrahman, Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994, hal 79.

Page 17: Makalah Pengadaan Tanah

17

banyak berkaitan dengan proses penentuan dan pembayaran ganti rugi kepada pihak

yang berhak. Banyak artikel di media yang memberitakan bahwa musyawarah

penentuan ganti-rugi bagi Warga Terkena Proyek (WTP) tidak berjalan dengan baik

sehingga tak jarang ditempuh jalan konsinyasi50

. Sebelunya terdapat 47 WTP yang

pemenuhan ganti rugi-nya dilakukan secara konsinyasi, 10 orang di antaranya telah

mengambil uang yang dititipkan pada Bank yang telah ditunjuk oleh Pengadilan

Negeri setempat.51

Total nilai konsinyasi kesepuluh WTP tersbeut mencapai Rp

1.046.433.000. Namun 37 WTP lainnya masih solid untuk melanjutkan upaya hukum

di PN Kabupaten Semarang yang sampai sekarang masih berjalan.52

Sebelum dipilih jalan konsinyasi, pihak Tim Pengadaan Tanah telah berusaha

melakukan musyawarah dengan pihak setempat, khususnya melalui media negosiator

dan tokoh masyarakat. Namun hal itu tidak membuahkan hasil. Bahkan pada hari

Senin, Tanggal 29 Oktober 2012 masyarakat merencanakan aksi protes atas proyek

pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol tersebut.53

Masalah perbedaan besaran ganti rugi yang diberikan pemerintah dengan

besaran yang diterima oleh masyarakat adalah salah satu hal yang cukup

memprihatinkan. Setidak-tidaknya terdapat 99 warga pemilik tanah di daerah wilayah

Pringapus, Kabupaten Semarang, yang hanya memperoleh ganti rugi sebesar Rp

20.000,00/m tanah. Padahal besaran yang ditentukan oleh pemerintah mencapai

Rp50.000,00/m. Total hanya Rp 13,2 milyar untuk 27,8 Ha tanah yang diperoleh

warga. Belakangan baru diketahui bahwa sisa uang ganti rugi yang diberikan

pemerintah justru dikorupsi oleh Tim Pengadaan Tanah.54

50 Ketentuan mengenai konsinyasi diatur dalam Pasal 42 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2012 tentang

Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Konsinyasi ini pada dasarnya

merupakan suatu bentuk pemenuhan prestasi melalu cara „koersif‟ karena prestasi tersebut pada

dasarnya tidak diinginkan pemenuhannya oleh masyarakat.

51 Ranin Agung, WTP Jalan Tol Semarang-Solo Tersisa 37 Orang, suaramerdeka.com (06 Mei 2013),

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/05/06/155846/WTP-Jalan-Tol-

Semarang-Solo-Tersisa-37-Orang, diunduh 3 Juni 2013.

52 Diungkapkan dalam suatu kesempatan oleh Heri Sulistyono, SH, sebagai kuasa hukum dari WTP

wilayah Lemah Ireng, ibid.

53 Ranin Agung, Sesi II Tol Ungaran-Bawen, Poleres Semarang Siap Amankan Eksekusi Lahan,

suaramerdeka.com (28 Oktober 2012) http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012

/10/28/133961/Sesi-II-Tol-Ungaran-Bawen-Polres-Semarang-Siap-Amankan-Eksekusi-Lahan-,

diunduh 4 Juni 2013

54 Dalam suatu kesempatan, Bibit Waluyo, Gubernur Jawa Tengah yang kala itu menjabat menyatakan

bahwa terdapat indikasi korupsi yang dilakukan oleh panita pengadaan tanah pada proyek

pembangunan jalan tol Semarang-Solo. Panitia ini sebelumnya diduga keras melakukan korupsi

dana ganti-rugi pada proyek pembebasan hutan Jatirunggo. Sumber: Budi Purwanto, Gubernur

Page 18: Makalah Pengadaan Tanah

18

Masalah pembayaran ganti rugi tak hanya berhenti pada adanya calo-calo

tanah seperti yang dikemukakan di atas, namun juga muncul dari Panitia Pengadaan

Tanah itu sendiri. Panitia yang bersangkutan mengutarakan adanya pemotongan uang

ganti rugi tanah sebesar 10%55

. Namun ironisnya, tindakan tersebut tidak disertai

surat atau pemberitahuan resmi dari bagian pusat. Kepada masyarakat, Tim

Pengadaan Tanah menyatakan bahwa sebenarnya tanah warga tersebut merupakan

tanah negara dan pemotongan uang ganti rugi digunakan untuk biaya sertifikasi tanah

yang tidak terkena pengadaan proyek jalan tol. Masyarakat yang kurang memahami

aturan hukum, menerima saja alasan tersebut. Mereka menyerahkan kembali uang

sebesar Rp 100.000 hingga Rp 24.000.000 kepada pihak panitia. Tak hanya itu,

penelitian56

menemukan bahwa pelaksanaan pembayaran ganti kerugian dalam

pelaksanaan pengadaan tanah sempat tertunda di tiga kelurahan yaitu Kelurahan

Pedalangan, Kelurahan Pudak Payung, dan Kelurahan Kramas. Warga kelurahan

tersebut mengalami keterlambatan pemberitahuan keputusan besaran ganti rugi ketika

tahapan pengadaan tanahnya tetap berjalan.

Hal-hal tersebut terjadi karena prosedur pengadaan tanah bagi kepentingan

umum pada tahap musyawarah tidak berjalan dengan lancar. Pihak Tim Pengadaan

Tanah tidak menjelaskan secara komperhensif komponen-komponen dari pembayaran

ganti rugi. Selain itu, musyawarah antara panitia disinyalir banyak direkayasa, dimana

dalam pembicaraan hal-hal tertentu sebenarnya masyarakat tidak dilibatkan57

. Namun

seolah-olah masyarakat dan pihak Tim Pengadaan Tanah telah mencapai kesepakatan.

Berkaitan dengan hal ini, banyak ditemukan pula sertifikat jual beli palsu dan kembar,

yang menyebabkan ketidakpastian atas pelaksanaan transaksi.

Jateng Minta Tim Pembebasan Tanah Tol Semarang-Solo Diganti, Tempo (26 Agustus 2010),

http://www.tempo.co/read/news/2010/08/26/177274208/Gubernur-Jateng-Minta-Tim-Pembebasan-

Tanah-Tol-Semarang-Solo-Diganti, diunduh 4 Juni 2013.

55 Hal ini dikemukakan dalam suatu kesempatan oleh Suyoto (Ketua Panitia Pengadaan Tanah) dengan

didampingi Tata Pemerintahan Pemkab Semarang. Sumber: Puthut Ami Luhur, Kasus Pemotongan

Yang Ganti Rugi Pengadaan Tanah Proyek Jalan Tol Semarang-Solo, tribunjateng.com (11

Oktober 2011), http://jateng.tribunnews.com/2011/10/11/kasus-pemotongan-uang-ganti-rugi-

pengadaan-tanah-proyek-jalan-tol-semarang-solo, diunduh 4 Juni 2013.

56 Penelitian dilakukan oleh Rahmania Fitria, Sumber: Pelaksanaan Pemberian Ganti Kerugian Tahap I-III Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo, Thesis, Universitas

Diponegoro, 2009. 57 Den Gal, Ada Rekayasa Musyawarah Harga, kompas.com (26 Agustus 2010),

http://nasional.kompas.com/read /2010/08/26/11115285/ diunduh pada 4 Juni 2013.

Page 19: Makalah Pengadaan Tanah

19

B. Kesesuaian Praktik Pengadaan Tanah Untuk Jalan Tol Semarang-Solo

Dengan Ketentuan Perundang-Undangan

Sebelum melakukan analisa terhadap pengadaan tanah bagi pembangunan

jalan tol Semarang-Solo, perlu ditentukan terlebih dahulu instrumen hukum yang akan

digunakan sebagai pisau analisa. Proyek pengadaan tanah untuk pembanguan jalan tol

ini telah dimulai semenjak tahun 2005, yang mana pada saat itu instrumen hukum

tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umu adalah Peraturan Presiden No. 36

Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum dan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan

atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005, juga Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun

2007 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005.

Sedangkan, pada masa sekarang ini, pengadaan tanah untuk kepentingan umum diatur

dengan UU No.2 Tahun 2012. Untuk menentukan instrumen hukum mana yang harus

dijadikan dasar, perlu dilihat ketentuan dalam pasal 58 UU No. 2 Tahun 2012 tentang

ketentuan peralihan. Pada huruf a dinyatakan bahwa, “proses pengadaan tanah yang

sedang dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-Undang ini diselesaikan

berdasarkan ketentuan sebelum berlakunya Undang-Undang ini”. Kemudian pada

huruf b dinyatakan bahwa, “sisa tanah yang belum selesai pengadaannya dalam

proses pengadaan tanah sebagaimana dimaksud dalam huruf a, pengadaannya

diselesaikan berdasarkan ketentan yang diatur dalam undang-undang ini.”

Dari uraian tersebut, baik instrumen hukum yang lama ataupun yang baru

sehubungan dengan pengadaan tanah tetaplah berlaku, disesuaikan dengan kurun

waktu pelaksanaannya. Saat ini, jalan tol Seksi I telah beroperasi dengan baik. Jalan

tol Seksi II sedang menjalani proses penyempurnaan dan bersiap untuk beroperasi.

Sedangkan jalan tol Seksi III, IV, dan V sedang dalam proses pembebasan lahan

proyek yang direncanakan akan selesai pada Bulan Maret 2013.58

Namun terdapat

sedikit kendala dalam Seksi IV yang pelaksanaanya tidak selancar pelaksanaan pada

seksi lain. Seksi IV masih terus melakukan sosialisasi dan melakukan pengecekan

sertifikat-sertifikat tanah milik masyarakat sebelum dilakukan pembayaran ganti rugi.

Dalam kondisi ini, maka instrumen hukum yang digunakan sebagai pisau analisa

adalah ketentuan dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan

58 Royce Wijaya, “Salatiga Hampir Rampung, Boyolali 70 Persen” suaramerdeka.com (26 Januari

2013), http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/01/26/143055/Salatiga-

Hampir-Rampung-Boyolali-70-Persen, diunduh 4 Juni 2013.

Page 20: Makalah Pengadaan Tanah

20

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Peraturan

Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun

2005, juga Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksana

Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005.

Untuk mengetahui apakah pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol

Semarang-Solo ini telah sesuai dengan instrumen hukum yang berlaku, maka perlu

dilakukan analisa terhadap setiap komponen pelaksanaan dari kegiatan yang

bersangkutan. Menurut pasal 1 angka 3 PP No. 65 Tahun 2006, pengadaan tanah

adalah “setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti

rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan

benda-benda yang berkaitan dengan tanah.” Definisi tersebut tidak dapat dilepaskan

dari tujuan proses pengadaan tanah, yaitu untuk mewujudkan pelaksanaan

kepentingan umum yang diberikan oleh Pasal 1 angka 5 Perpres No. 36 Tahun 2005

yaitu “kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat”. Dalam kasus di atas,

pengadaan tanah dilakukan dalam rangka mewujudkan kepentingan umum berupa

pembangunan jalan tol trans-nasional sebagai sarana dan pra sarana transportasi yang

sangat dibutuhkan oleh masyarakat secara luas. Tanpa jalan tol, niscaya kegiatan

masyarakat akan terganggu dan dampat berdampak pada terhambatnya kegiatan

pembangunan di bidang ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, dan bidang-bidang

kehidupan lainnya. Kemungkinan tersbeut dapat terjadi mengingat transportasi adalah

hal yang tak dapat dipisahkan dari setiap kegiatan manusia.

Hal ini juga bersesuaian dengan pedoman umum penentuan kepentingan

umum yang diatur dalam Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan

Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya. Pasal 1 ayat

(1) Inpres yang bersangkutan menyatakan bahwa suatu kegaiatn dalam rangka

pelaksanaan pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum apabila kegiatan

tersebut menyangkut:

a. Kepentingan Bangsa dan Negara, dan/atau

b. Kepentingan masyarakat luas, dan/atau

c. Kepentingan rakyat banyak/bersama, dan/atau

d. Kepentingan pembangunan

Dalam konteks ini, pembangunan jalan tol Semarang-Solo tergolong dalam

jenis kepentingan umum sebagaimana dinyatakan dalam pasal 5 ayat (2) Perpres No.

36 tahun 2005 hruuf a, yang berbunyi, “Pembangunan untuk kepentingan umum yang

Page 21: Makalah Pengadaan Tanah

21

dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau

Pemerintah Daerah, meliputi : a. jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas

tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air

bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;..”

Selanjutnya, pengadaan tanah tersebut dilakukan dengan cara pelepasan hak

atau penyerahan hak59

dengan memperoleh ganti rugi. Mekanisme pelepasan atau

penyerahan hak ini dilakukan apabila tanah yang dibutuhkan adalah tanah yang

dibebani hak, sedangkan subjek calon pemakai tanah tersebut tidak memenuhi syarat

sebagai pemegang hak.60

Dalam kasus tersebut, tanah yang akan digunakan untuk

membangun sebelumnya adalah tanah milik masyarakat sebagaimana dibuktikan

dengan sertifikat hak milik. Di samping itu, ada pula tanah negara yang sebelumnya

tidak dipergunakan untuk kegiatan apapun, lalu dimanfaatkan oleh masyarakat

setempat untuk dijadikan tempat tinggal tanpa didahui dengan permohonan hak atas

tanah yang bersangkutan. Pada dasarnya, untuk kondisi yang demikian, tanahnya

perlu dimohonkan terlebih dahulu untuk selanjutnya dilakukan pendaftaran tanah. Hal

ini penting, mengingat perolehan hak atas tanah di Indonesia menggunakan sistem

pendaftaran hak atau registration of titles61

, yang artinya hak tersebut tidak akan lahir

apabila belum didaftarkan sesuai dengan ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah. Namun, pada proses pengadaan tanah untuk pembangunan jalan

tol Semarang-Solo, tanah yang demikian dipersamakan dengan tanah hak milik

bersertifikat lainnya karena kepada pihak-pihak pengguna tanah tersebut nantinya

juga akan dibayarkan ganti rugi.

Dalam kondisi ini, untuk pembangunan jalan tol, tanah yang dapat digunakan

adalah tanah berstatus hak pengelolaan yang berada di bawah yurisdiksi negara. Hak

pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya

sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.62

Dalam kasus ini, tanah untuk

59

Pasal 2 ayat (1) Perpres No. 65 Tahun 2006

60 Ny. Arie S. Hutagalung, Asas-Asas Hukum Agraria, Buku Ajar, percetakan FHUI, Depok, 2012, hal

140.

61 Dari hasil pendaftaran hak, pemegang hak akan memperoleh bukti berupa: 1) Buku tanah dan surat

ukur; 2) sertipikat sebagai tanda bukti hak. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 29 dan Pasal 31 PP No.

24 Tahun 1997 tentang Pendafataran Hak. Ibid, hal 123.

62 Pasal 1 angka 2 PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak

Pakai.

Page 22: Makalah Pengadaan Tanah

22

pembangunan jalan tol di atas tanah hak pengelolaan dilakukan oleh PT. Trans Mega

Jawa Tengah berdasarkan pelimpahan wewenang pemerintah. Untuk mendapatkan

hak pengelolaan ini, maka tanah harus bebas dari segala hak individu yang

membebaninya. Baru setelahnya, kepada tanah tersebut dibebankan hak pengelolaan.

Tanah yang demikian tidak dapat diperoleh dengan cara pemindahan hak

melalu tindakan jual-beli, hibah, tukar-menukar, dan sebagainya. Hal ini disebabkan

pemindahan hak akan menjadikan tanah tersebut tetap berstatus hak milik. Hanya saja

pemegang haknya berbeda. Padahal telah dinyatakan sebelumnya, tanah untuk

pembangunan jalan tol tersebut haruslah tanah hak pengelolaan.

Rencana pengadaan tanah tersebut sebelumnya telah diatur dalam Rencana

Tata Ruang Tata Wilayah63

. Dalam kasus di atas, rencana pembangunan jalan tol

Semarang-Solo telah diatur dalam Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Provinsi

Jawa Tengah yang dituangkan dalam pasal 20 ayat (6) huruf a Peraturan Daerah

Provinsi Jawa Tengah No. 6 Tahun 2010 untuk kurun waktu 2009 hingga 2029.

Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol Semarang-Solo, lebih

lanjutnya, dilakukan melalui tahapan-tahapan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan

Kepala BPN No. 3 Tahun 2007.

1. Tahap I adalah tahap perencanaan dan tahap penetapan lokasi:

a. Tahap Perencanaan

Pada tahap ini, instansi pemerintah harus menyusun rencana

pembangunan yang di dalamnya tercantum data-data penting meliputi

maksud dan tujuan; letak dan lokasi; luasan tanah; sumber dana dan analisis

kelayakan lingkungan.

b. Tahap Penetapan Lokasi

Setelah rencana pembangunan disusun, instansi terkait mengajukan

permohonan penetapan lokasi yang akan ditelaah lebih lanjut oleh Bupati/

Walikota/ Gubernur DKI berdasarkan pertimbangan tata ruang,

penatagunaan tanah, sosial-ekonomi, lingkungan, penguasaan, pemilikan

dan pemanfaatan tanah. Dalam kasus pembangunan jalan tol Semarang-

Solo, Surat Permohonan Penetapan Lokasi Pembangunan (SP2LP) Jalan

Tol Semarang – Solo diajukan oleh Direktur Jenderal Bina Marga

Departemen Pekerjaan Umum melalui Surat Nomor UM.0103-DB/457,

63 Pasal 4 ayat (1) Perpres No. 35 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Page 23: Makalah Pengadaan Tanah

23

tanggal 29 Juli 2005 kepada Gubernur Jawa Tengah. Dalam konteks ini,

permohonan diajukan kepada gubernur karena pembangunan yang akan

dilakukan bersifat lintas kota/kabupaten dalam provinsi yang sama.

Dalam permohonan tersebut, dicantumkan bahwa lokasi

pembangunan jalan tol sepanjang 75,6 Km meliputi Kota Semarang,

Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Boyolali, Kabupaten

Karanganyar, dan Kabupaten Sukoharjo dengan luas tanah total kurang

lebih 804,4 Ha. Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Kepala BPN No. 3

Tahun 2007, untuk permohonan dengan luas tanah lebih dari 50 Ha, dapat

dikeluarkan keputusan penetapan lokasi yang sekaligus berlaku sebagai izin

perolehan tanah untuk jangka waktu 3 tahun. Untuk menindaklanjuti

permohonan melalui Surat Nomor UM.0103-DB/457, Gubernur Jawa

Tengah mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 620/13/2005, tanggal 9

Agustus 2005 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pembangunan Jalan

Tol Semarang-Solo.

Pada praktiknya, ditemukan kesalahan dalam melakukan pemetaan

tanah sehingga terdapat beberapa bidang tanah yang turut menjaid objek

pengadaan tanah namun tidak tercakup dalam Surat Persetujuan penetapan

Lokasi Pembangunan (SP2LP) Jalan Tol Semarang-Solo. Bidang-bidang

tanah ini berada dalam wilayah Kelurahan Jabangan. Oleh karenanya, pihak

Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan SP2LP susulan terkait dengan bidang

tanah tersebut.64

2. Tahap II

Setelah tahap I terselesaikan, proses pengadaan tanah dilanjutkan dengan

tahap II yang meliputi:

a. Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah

Pembentukan panitia pengadaan tanah bertujuan untuk

membantu pelaksanaan proses pengadaan tanah. Dalam kasus

pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol Semarang-Solo,

dibentuklah Panitia Pengadaan Tanah (P2T) beranggotakan 9 orang

berdasarkan Surat Keputusan Walikota Semarang Nomor 593.05/241,

64

Dinyatakan dalam suatu kesempatan oleh Yuwantoro, Staff Sub Seksi Pengaturan Tanah Pemerintah

pada Kantor Pertanahan Kota Semarang yang juga merangkap sebagai anggota Satuan Tugas

(SATGAS) Jalan Tol Semarang-Solo Ruas Semarang-Bawen, Kota Semarang.

Page 24: Makalah Pengadaan Tanah

24

tertanggal 24 Agustus 2007 tentang Pembentukan Panitia Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Kota Semarang. Pembentukan P2T ini telah sesuai dengan Peraturan

Kepala BPN No.3 Tahun 2007. Selain P2T, dibentuk pula Satuan Tugas

untuk membantuk tugas P2T berdasarkan Surat Keputusan Panitia

Pengadaan tanah Nomor 593.05/293.

b. Penyuluhan

P2T yang telah dibentuk harus melakukan sosialisasi

sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007

tentang rencana pembangunan jalan tol Semarang-Solo yang akan

menggunakan tanah hasil pembebasan hak dari warga setempat. Dalam

penyuluhan ini dijelaskan pula manfaat, maksud dan tujuan

pembangunan jalan tol Solo-Semarang. Pada pelaksanaannya, muncul

banyak penolakan dari warga masyarakat. Oleh karenanya, sosialisasi

tetap digalakkan sampai memperoleh persetujuan dari warga setempat.

Ketentuan mengatur bahwa pengadaan tanah harus dipindahkan apabila

75% pemegang hak atas tanah menolak. Namun dalam proses

pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol Semarang-Solo, jumlah

masyarakat yang menolak pengadaan tanah tidaklah mencapai batas

yang ditetapkan, sehingga pengadaan tanah dilanjutkan.

c. Identifikasi dan Inventarisasi

Setelah melakukan penyuluhan dan memperoleh persetujuan

dari sebagian besar anggota masyarakat, proses pengadaan tanah masuk

ke dalam tahap identifikasi dan inventarisasi sebagaimana diatur dalam

Pasal 20 sampai dengan Pasal 24 Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun

2007. Tahapan ini meliputi:

1. Penunjukan batas;

2. Pengukuran bidang tanah dan/atau bangunan;

3. Pemetaan bidang tanah dan/atau bangunan dan keliling batas

bidang tanah;

4. Penetapan batas-batas bidang tanah dan/atau bangunan;

5. Pendataan penggunaan dan pemanfaatan tanah;

6. Pendataan status tanah dan/atau bangunan;

Page 25: Makalah Pengadaan Tanah

25

7. Pendataan penguasaan dan pemilikian tanah dan/atau bangunan

dan/atau tanaman;

8. Pendataan bukti-bukti penguasaan dan pemilikan tanah dan/atau

bangunan dan/atau tanaman.

Dalam pengadaan taanh untuk jalan tol Semarang-Solo,

dilakukan pengukuran yang dilanjutkan dengan pematokan Right of

Way (ROW) atau ruang milik jalan yang akan digunakan untuk

melaksanakan proyek. Pengukuran tanah cukup terganggu karena

adanya penolakan dari sebagian warga khsusunya di wilayah Kelurahan

Pedalangan, Kecamatan Banyumanik. Masalah tersebut diselesaikan

dengan cara musyawarah dengan warga setempat, hingg akhirnya

pengukuran dapat dilanjutkan. Selain itu, dalam tahap ini juga

ditemukan beberapa bidang tanah tempat tinggal warga yang tidak

dilekati oleh hak individu. Tanah tersebut masih merupakan tanah

negara. Setelahnya, dilakukan inventarisasi terhadap bangunan dan

tanaman untuk mengetahui pemiliknya, jenis, kondisi, supaya dapat

dicocokkan dnegan sertifikat kepemilikan (untuk bangunan). Hasil

inventarisasi dan pengukuran dituangkan dalam bentuk Peta Bidang

Tanah dan daftar objek ganti rugi masyarakat.

d. Penunjukan Lembaga/ Tim Penilai Harga tanah

Selanjutnya, P2T harus menunjuk lembaga/tim penilai harga tanah. P2T

untuk proyek pembangunan jalan tol Semarang-Solo menunjuk PT.

Wadantara Nilaitama, Lembaga Penilai Harga Tanah65

untuk menaksir

harga tanah yang tercantum dalam Peta Bidang Tanah.

e. Penilaian

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 30 Peraturan Kepala BPN No. 3

tahun 2007, PT. Wadantara Nilaitama melakukan penilaian harga tanah

berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) NJOP dengan

memerhatikan NJOP tahun berjalan.

f. Musyawarah

65

Lembaga ini telah ditetapkan oleh pemerintah dan telah memperoleh lisensi dari BPN RI. Ketentuan

mengenai penunjukkan lembaga penilai harga tanah diatur dalam Pasal 25, 26, 27, dan 28 Perka

BPN No. 3 Tahun 2007.

Page 26: Makalah Pengadaan Tanah

26

Setelah segala keperluan administrasi pengadaan tanah selesai,

dilakukan musyawarah membicarakan rencana pembangunan untuk

kepentingan umum pada tanah yang masih dibebani hak warga, bentuk

serta besaran pemberian ganti rugi kepada masyarakat pemegang hak.

Pelaksanaan musyawarah harus dilakukan dengan berpedoman pada

kesepakatan para pihak, hasil penialian, dan tenggat waktu penyelesaian

proyek pembangunan. Musyawarah ini diatur dalam Pasal 31 sampai

dengan Pasal 38 Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007. Dalam

pelaksanaannya, musyawarah dipimpin oleh Ketua P2T kota Semarang

dengan memperttemukan instansi pemerintah yang memerlukan tanah

dan masyarakat secara langsung. Karena cakupan area yang akan

digunakan untuk membangun jalan tol Semaran-Solo terhitung luas,

musyawarah dilakukan dalam beberapa tahap.

Dalam praktiknya, P2T dan warga saling mengajukan

penawaran besaran ganti rugi dalam bentuk uang. Pada beberapa

kecamatan ditemukan bahwa harga yang ditawarkan oleh P2T kurang

lebih Rp 1.000.000-1.800.000/m2 sedangkan penawaran harga dari

masyarakat berkisar antara Rp. 3.000.000-7.500.00/m2 disesuaikan

dengan jenis tanahnya. Selanjutnya, P2T akan mengajukan harga tanah

maksimal yang akan dibayarkan oleh pihak pemerintah. Setelah

diberitahukan dan dilakukan pengarahan atas besaran maksimal

tersebut, tidak terdapat pembicaraan lebih lanjut tentang tawar-menawar

harga tanah dan masyarakat diberikan blangko untuk pemberkasan

pengadaan tanah. Dalam kondisi tersebut, dengan diisinya blangko oleh

warga masyarakat, maka telah tercapailah suatu kesepakatan, yaitu

persesuaian kehendak dari kedua belah pihak66

. Meskipun akhirnya

harga yang disepakati jauh dari harga penawaran yang diajukan warga

masyarakat, namun masyarakat tetap melakukan penerimaan67

dengan

mengisi blangko yang telah diberikan. Pada tahap musyawarah ini, P2T

66 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2005, hal 26.

67 Perjanjian lahir pada pada detik diterimanya suatu penawaran (offerte). Apabila seseorang

melakukan penawaran (offferte), dan penawaran itu diterima oleh orang lain secara tertulis, dapat

diasumsikan bahwa orang tersebut menulis bahwa ia menerima penawarn tersebut. Lebih

lengkapnya lihat Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2005, hal 28.

Page 27: Makalah Pengadaan Tanah

27

tidak pernah menjelaskan adanya rencana pemotongan ganti rugi yang

telah diberikan kepada masyarakat untuk keperluan pendaftaran tanah

yang masih berstatus sebagai tanah negara. Selain itu, baik dalam

Perpres No. 36 Tahun 2005, Perpres No. 65 Tahun 2006, dan Peraturan

Kepala BPN No. 3 Tahun 2007, tidak pernah diatur adanya ketentuan

pemotongan besaran ganti rugi untuk keperluan pendaftaran tanah.

Selain itu, yang perlu diperhatikan, pembangunan jalan tol ini

merupakan program pemerintah untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat atas sarana dan pra sarana transportasi yang baik, karena hal

ini memang merupakan kewajiban negara Indonesia sebagai negara

kesejahteraan atau welfare state. Pihak penyelenggara adalah

pemerintah, maka sulit diterima logika pemikiran bahwa terhadap tanah

negara yang akan dibangun jalan tol ini, negara memungut lagi biaya

untuk mengurus keperluan administrasinya. Dengan demikian,

pemotongan ganti rugi yang dilakukan P2T jelas tidak berdasar dan

tidak beralasan.

Selain itu, melalui investigasi yang dilakukan oleh DPRD Jawa

Tengah, ditemukan bahwa terdapat oknum yang melakukan „jual beli‟

dengan setempat. Oknum ini telah mengetahui adanya rencana

pembangunan jalan tol sebelumnya. Ketika pengadaan tanah akan

dilakukan, oknum yang biasa disebut sebagai spekulan atau calo tanah

ini akan meminta ganti rugi kepada pemerintah lebih tinggi daripada

besaran harga tanah yang dibelinya dari masyarakat. Hal ini sangat

merugikan, karena selisih harga dasar yang berasal dari masyarakat

tadinya hanya sebesar Rp 20.000/m2, namun dengan adanya spekulan,

angka tersebut naik menjadi Rp50.000/m2. Hal ini juga yang

menyebabkan musyawarah tersendat karena spekulan tersebut tetap

bersikukuh dengan besaran uang yang diajukannya.

Secara umum, nilai ganti kerugian yang telah disepakati

pemerintah dan warga masyarakat sudah layak karena jauh di atas harga

pasaran disesuaikan dengan jenis tanah masing-masing. P2T sendiri

dalam menawarkan harga tersebut telah mengacu pada NJOP berjalan.

Namun dalam musyawarah di beberapa daerah, masih terdapat warga

masyarakat yang belum menyepakati harga yang telah diajukan oleh

Page 28: Makalah Pengadaan Tanah

28

P2T. Beberapa warga menuturkan bahwa nilai dalam NJOP itu tidak

mencerminkan nilai yang sebenarnya dan memiliki perbedaan yang

cukup signifikan dengan perkembangan harga di pasar. Hal ini

disebabkan pula oleh temuan bahw tidak ada transparansi antara P2T

dengan masyarakat. Tidak seluruh laporan penaksiran harga tanah

diberitahukan kepada masyarakat. Hal seperti ini yang menyebabkan

adanya selisih paham antara kedua belah pihak. Sehingga masih

terdapat beberapa warga yang bersikeras untuk tidak menyepakati harga

yang ditetapkan berdasarkan NJOP. Dalam hal warga yang masih belum

bersepakat ini berjumlah lebih dari 25% dari total pemegang hak aatas

tanah, maka P2T melakukan musyawarah kembali. Mengacu pada

ketentuan tersebut, P2T Kota Semarang menjadwalkan musyawarah

maksimal 9 kali untuk warga yang belum bersepakat. P2T terus

melakukan pendekatan dan pengarahan menegnai betapa pentingnya

pembangunan jalan tol yang bersangkutan.

Dalam hal masih belum tecapai kesepakatan mengenai besaran

ganti rugi namun jangka waktu musyawarah telah berkahir, P2T dapat

tetap menyerahkan ganti rugi dan dibuatkan Berita Acara Penyerahan

Ganti Rugi. Apabila pemegang hak masih menolaknya, maka

berdasarkan Berita Acara tersebut, P2T dapat menitipkan uang ganti

rugi ke pengadilan setempat atau konsinyasi dan proses pengadaan

tanah dapat dilanjutkan. P2T dapat mengeluarkan Putusan Panitia

Pengadaan Tanah berisi tentang besaran dan penyerahan ganti rugi yang

bersangkutan. Kondisi ini ditemukan dalam proses pengadaan tanah

untuk pembangunan jalan tol Semarang-Solo, dimana terhadap 47

warga yang tanahnya terkena proyek pengadaan tanah, ganti rugi

dilakukan secara konsinyasi. Berita terkahir menyatakan bahwa

akhirnya, 10 dari 47 warag tersbeut mengambil pemenuhan ganti rugi

yang dititipkan di Pengadilan Negeri setempat.

Di sisi lain, beberapa warga masyarakat di wilayah Lemah

Ireng yang masih tidak bersepakat dengan pemberian ganti rugi tersebut

mengajukan gugatan PTUN atas SK Gubernur Jawa Tengah No.

590/36/2012 tentang Pengukuhan Putusan P2T yang berisi penetapan

Page 29: Makalah Pengadaan Tanah

29

bentuk dan besraan ganti rugi parsial tanah, bangunan, dan tanaman

untuk pembangunan ruas jalan tol Semarang-Solo.

Jika dikaji lebih lanjut, konsinyasi ini dirasa kurang tepat jika

diterapkan dalam pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol

Semarang-Solo. Dalam keadaan biasa, untuk memperoleh tanah tidak

dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun oleh siapapun.

Termasuk juga dengan menggunakan lembaga konsinyasi. Konsinyasi

ini dapat dipandang sebagai suatu bentuk pemaksaan pula, karena pada

dasarnya pemegang hak atas tanah belum bersedia untuk melepaskan

tanahnya. Namun karena terdapat ganti rugi yang telah dititipkan

kepada pihak Pengadilan Negeri, tanah dianggap telah dibebaskan oleh

pemegang haknya dan pengadaan tanah tetap dilanjutkan. Kecuali, jika

instrumen hukum yang digunakan dalam pengadaan tanah ini adalah

UU No 20 tahun 1961 yang memperbolehkan mekanisme pencabutan

tanah secara paksa apabila sudah tidak terdapat jalan lain untuk

meperoleh tanah tersebut dan pembangunan tidak dapat dipindahkan ke

tempat lain.

Yang lebih janggal lagi, terhadap pengukuhan putusan P2T

tentang penetapan besaran ganti rugi oleh Gubernur Jawa Tengah dapat

diajukan keberatan kepada Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri

Dalam Negeri sesuai dengan kewenangannya, sebagaimana diatur

dalam pasal 17 Perpres No. 65 Tahun 2006. Putusan P2T tersebut juga

masih dapat dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi. Namun, ketika

upaya hukum tersebut dilaksanakan, pengadaan tanah tetap berjalan dan

tidak ditangguhkan. Hal ini akan menjadikan output dari upaya hukum

tersebut tidak berjalan dengan efektif, karena pada akhirnya

pembangunan tetap dijalankan. Pun pihak yang mengajukan keberatan

dimenangkan, pembatalan terhadap pembangunan akan snagat sulit

dilaksanakan serta cenderung membuang-buang biaya.

Konsinyasi adalah cara yang kurang tepat, mengingat bahwa

masyarakat harus merelakan tanahnya untuk suatu kegiatan

pembangunan, maka harus dijamin bahwa kesejahteraan sosial

ekonomimya tidak akan menjadi lebih buruk dari keadaaan semula.

Ketika konsinyasi ini dilaksanakan, kesejahteraan masyarakat justru

Page 30: Makalah Pengadaan Tanah

30

menjadi dipertanyakan. Mekanisme ini telah melanggar asas

kesepakatan, yaitu seluruh kegiatan pengadaan tanah dilakukan

berdasarkan kesepakatan antara pihak yang memerlukan tanah dan

pemegang hak atas tanah. Kegiatan fisik pembangunan baru dapat

dilaksanakan bila telah terjadi kesepakatan antara para pihak dan ganti

kerugian telah diserahkan.68

Lebih jauh, konsinyasi justru menyebabkan

tidak terpenuhinya asas kemanfaatan, yaitu pengadaan tanah diharapkan

mendatangkan dampak positif bagi pihak yang memerlukan tanah,

masyarakat yang terkena dampak dan masyarakat luas. Manfaat dari

hasil kegiatan pembangunan itu harus dapat dirasakan oleh masyarakat

sebagai keseluruhan.69

Namun hal ini akan sangat sulit diwujudkan

apabila masyarakat sendiri masih menolak rencana pembangunan. Ke

depannya, disintegrasi antara pihak pemerintah dan masyarakat

bukanlah hal yang mungkin terjadi.

Konsinyasi ini juga menunjukka adanya kekuasaan dominan

Negara. Menurut Pluto, kepentingan negara selalu melebihi kepentingan

pribadi termasuk pula milik Negara. Individu memiliki kecenderungan

untuk bertindak atas dasar kepentingannya sendiri tetapi negara harus

mencegahnya.70

Demikianlah gambaran yang terjadi dalam lembaga

konsinyasi. Seolah-olah, P2T sebagai waki negara berusaha

memengerdilkan kekuasaan pribadi pemegang tanah atas tanahnya

dengan alas an bahwa tanah tersebut digunakan untuk melaksanakan

tugas negara dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat umum.

g. Pembayaran ganti rugi

Perihal pembayaran ganti rugi diatur dalam Pasal 43 sampai

dengan Pasal 47 Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007. Ganti rugi

yang telah disepakati dalam bentuk uang diberikan dalam waktu paling

lambat 60 hari sejak tanggal keputusan. Namun pelaksanaan

pembayaran ganti kerugian dalam pelaksanaan pengadaan tanah sempat

tertunda di tiga kelurahan yaitu Kelurahan Pedalangan, Kelurahan

Pudak Payung, dan Kelurahan Kramas. Masyarakat juga tidak

68

Maria S. W, Sumardjono, Loc.cit., hal 272 69 Ibid. 70 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Azas-Azas Hukum Adat, Bandung: Alumni, 1973, hal 237

Page 31: Makalah Pengadaan Tanah

31

diberitahu dengan pasti sampai kapan penundaan akan dilakukan,

sehingga hal ini menyebabkan keresahan di tengah masyarakat. Pada

tahap ini, masih terdapat warga masyarakat yang menolak pembayaran

ganti rugi sehingga ditempuhlah jalan konsinyasi sebagaimana telah

diulas sebelumnya.

h. Pelepasan Hak

Pelepasan hak diatur dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 52

Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007. Ketentuan tersebut mengatur

bahwa setelah dilakukan pembayaran ganti rugi, akan dibuat surat

pelepasan hak yang diikuti dengan pembuatan Berita Acara Pembayaran

Ganti Rugi dan Pelepasan Hak atas Tanah atau Penyerahan Tanah oleh

P2T. Setelahnya, akan dilakukan prosedur administrasi sesuai

kewenangan yang dimiliki oleh Kantor Pertanahan setempat.

Saat ini, proses pembangunan jalan tol sedang berjalan. Beberapa ruas jalan

tol sudah mulai beroperasi dengan baik. Beberapa ruas jalan tol lainnya sedang

dalam tahap pembangunan, dan beberapa lainnya masih emngalami masalah dalam

proses pemebebasan tanahnya.

Page 32: Makalah Pengadaan Tanah

32

BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Kondisi pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol Semarang-Solo

banyak mengalami masalah. Masalah ini dimulai dari hal-hal yang bersifat

administratif seperti ketidakjelasan batas ukur tanah, pemberitahuan

keputusan ganti rugi kepada masyarakat, hingga musyawarah yang tidak

mencapai kata sepakat, adanya pemotongan besaran ganti rugi tanpa

didahului pemberitahuan, munculnya spekulan tanah, hingga pelaksanaan

konsinyasi yang dirasa tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.

2. Pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol Semarang-Solo

secara umum dapat dikatakan telah sesuai dengan ketentuan dalam peraturan

perundang-undangan. Hanya ditemukan satu dua saja praktik yang kurang

sesuai dengan apa yang telah diatur. Permasalahan yang muncul dalam

proses pengadaan tanah cenderung disebabkan karena faktor di luar

penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan seperti kebuntuan

dalam musyawarah, ketidaksesuaian nilai NJOP dengan harga pasar dan

sebagainya, adanya spekulan, dan sebagainya.

B. Rekomendasi

Atas kajian terhadap masalah-masalah yang banyak ditemukan dalam

proses pengadaan, dapat diajukan rekomendasi. Untuk masalah banyaknya

spekulan atau calo tanah, sekiranya pemerintah perlu melakukan pengawasan,

penyidikan, dan penertiban kepada oknum-oknum yang bersangkutan mengingat

keberadaan calo tanah ini justru menghambat pelaksanaan pengadaan tanah untuk

pembangunan jalan tol Semarang-Solo. Calo tanah cenderung membeli tanah

dengan harga murah dari masyarakat dan meminta ganti rugi dengan harga tinggi

kepada pemerintah. Alhasil, baik masyarakat ataupun pemerintah sama-sama

mengalami kerugian karena adanya sekelompok orang yang ingin menguruk

keuntungan pribadi dari proyek yang bersangkutan.

Pada tahap musyawarah, masalah yang bertendensi paling menghambat

pelaksanaannya adalah tidak dicapainya kata sepakat antara masyarakat dengan

Page 33: Makalah Pengadaan Tanah

33

P2T mengenai harga tanah, meskipun penawaran harga yang diajukan oleh P2T

didasarkan pada NJOP berjalan. Kiranya perlu dilakukan pengecakan terhadap

NJOP berjalan apakah benar-benar sesuai dengan harga tanah yang beredar di

pasaran. Karena sebagian pihak menyatakan bahwa harga tanah pada NJOP tidak

mencerminkan harga riil. Mendiskusikan besaran harga tanah yang akan

dibayarkan memanglah bukan hal yang mudah, karena masyarakat pasti

mengajukan tawaran yang tinggi. Sedangkan pemerintah berusaha mengajukan

harga yang rendah mengingat masih ada banyak hal yang perlu dibiayai pula.

Namun bagaimana pun pula jalan musyawarah harus ditempuh supaya pihak

masyarakat pun tidak merasa dirugikan. Hal ini juga bertujuan untuk

menghindari konsinyasi yang pada dasarnya mengandung semangat pemaksaan

supaya masyarakat mau melepaskan tanahnya. Selian itu, dalam musyawarah

harus dijamin transparansi antara kedua belah pihak. P2T harus memaparkan

segala temuan yang diperoleh saat melakukan inventarisasi, juga tentang

penaksiran harga tanah yang dilakukan oleh Tim Penaksir. P2T juga harus

menjelaskan hal-hal sehubungan dengan ganti rugi yang tidak pernah disebutkan

dalam peraturan perundang-undangan, seperti rencana pemotongan ganti rugi

untuk biaya pendaftaran tanah. Hal ini bertujuan untuk menciptakan jepastian di

tengah masyarakat dan supaya masyarakat tidak merasa dihobongi. Penting

halnya untuk menjaga kepercayaan dan dukungan dari rakyat untuk

memperlancar proyek yang sedang dikerjakan.

Page 34: Makalah Pengadaan Tanah

34

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdurrahman. Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanan Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), 1994.

Cahyo, Bambang Tri. Ekonomi Pertanahan, (Yogyakarta: Liberty), 1983.

Gautama, Sudargo. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung: Alumni),

1984.

Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang

Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan), 2003.

Hutagalung, Ny. Arie S. Asas-Asas Hukum Agraria, Buku Ajar, (Depok: percetakan

FHUI), 2012.

Kartosapoetra, G. Hukum Tanah Jaminan UUPA bagi Keberhasilan Pendayagunaan

Tanah, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991.

Perangin, Effendi. Praktek Permohonan Hak Atas Tana, (Jakarta: Rajawali Press),

1991.

Purbopranoto, Kuntjoro. Hak-Hak Azasi Manusia dan Pancasila, (Jakarta: Pradnya

Paramita), 1982.

Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif, (Jakarta:PT Kompas Media

Nusantara), 2006.

S., Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: Penerbit

Kanisius), 2007.

S.J, Y. Wartaya Winangun. Tanah Sumber Nilai Hidup, Cetakan I, (Yogyakarta:

Kanisius), 2004.

Saptomo, Ade. Hukum dan Kearifan Lokal, Revitalisasi Hukum Adat Nusantara,

(Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indoensia), 2010.

Soekanto, Soerjono.Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3, (Jakarta: Penerbit

Universitas Indonesia (UI-Press), 1986.

Sumardjono, Maria S.W. Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,

(Jakarta: Kompas), 2008.

__________. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta:

Kompas), 2006.

Subekti. Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa), 2005.

Wattimena, Reza A.A. Melampaui Negara Hukum Klasik, Locke-Rousseau-

Habermas, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius), 2007.

Wignjodipoero, Soerojo. Pengantar Azas-Azas Hukum Adat, (Bandung: Alumni),

1973.

Page 35: Makalah Pengadaan Tanah

35

Jurnal

Sufriadi, Yanto. Penyebab Sengketa Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

(Studi Kasus Sengketa Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum di

Bengkulu), Jurnal Hukum No. 1 Vol. 18 Januari 2011.

Thesis dan Disertasi

Rahmania Fitria, Pelaksanaan Pemberian Ganti Kerugian Tahap I-III Dalam

Pengadaan Taah Untuk Pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo, Thesis,

Universitas Diponegoro, Juli 2008.

Sodiki,

Achmad. Penataan Kepemilikan Hak Atas Tanah di Daerah Perkebunan

Kabupaten Malang, Disertasi, PPs Universitas Airlangga, 1994.

Artikel, Media Massa, dan Sumber Lainnya

Agung, Ranin. WTP Jalan Tol Semarang-Solo Tersisa 37 Orang, suaramerdeka.com

(06 Mei 2013),

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/05/06/155846/W

TP-Jalan-Tol-Semarang-Solo-Tersisa-37-Orang, diunduh 3 Juni 2013.

_________________. Sesi II Tol Ungaran-Bawen, Poleres Semarang Siap Amankan

Eksekusi Lahan, suaramerdeka.com (28 Oktober 2012)

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012

/10/28/133961/Sesi-II-Tol-Ungaran-Bawen-Polres-Semarang-Siap-Amankan-

Eksekusi-Lahan-, diunduh 4 Juni 2013

Budiman, 625 Bidang Tanah Akan Dibebaskan, suaramerdeka.com (23 Agustus

2005), http://www.suaramerdeka.com/harian/0508/23/kot08.htm, diundug

tanggal 4 Juni 2013.

Gal, Den. Ada Rekayasa Musyawarah Harga, kompas.com (26 Agustus 2010),

http://nasional.kompas.com/read/2010/08/26/11115285/ diunduh pada 4 Juni

2013.

Luhur, Puthut Ami. Kasus Pemotongan Yang Ganti Rugi Pengadaan Tanah Proyek

Jalan Tol Semarang-Solo, tribunjateng.com (11 Oktober 2011),

http://jateng.tribunnews.com/2011/10/11/kasus-pemotongan-uang-ganti-rugi-

pengadaan-tanah-proyek-jalan-tol-semarang-solo, diunduh 4 Juni 2013.

Purwanto, Budi. Gubernur Jateng Minta Tim Pembebasan Tanah Tol SemaranG Solo

Diganti, Tempo (26 Agustus 2010),

http://www.tempo.co/read/news/2010/08/26/177274208/Gubernur-Jateng-

Minta-Tim-Pembebasan-Tanah-Tol-Semarang-Solo-Diganti, diunduh 4 Juni

2013.

Wijaya, Royce. “Salatiga Hampir Rampung, Boyolali 70 Persen” suaramerdeka.com

(26 Januari 2013) http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/01/26/143055/Salatiga-

Hampir-Rampung-Boyolali-70-Persen, diunduh 4 Juni 2013.

Page 36: Makalah Pengadaan Tanah

36

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Agraria. UU No. 5 Tahun 1960.

Indonesia. Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk

Kepentingan Umum. UU No. 2 Tahun 2012.

Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Jalan Tol. PP No. 15 Tahun 2005.

Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 15

Tahun 2005 tentang Jalan Tol. PP No. 44 Tahun 2009.

Indonesia. Peraturan Presiden tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. PP No. 36 Tahun 2005.

Indonesia. Peraturan Presiden tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 36

Tahun 2005. PP No. 65 Tahun 2006.

Indonesia. Peraturan Kepala BPN tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Presiden

No. 36 Tahun 2005. Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007.

.