Makalah Pendidikan Agama Islam

25
MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM “SUMBER HUKUM ISLAM KETIGA : AL - IJTIHAD” Makalah ini disusun sebagai tugas terstruktur mata kuliah Pendidikan Agama Islam Dosen Pengampu : Drs. Chamid Syarbini, M.Pd. Disusun oleh : Septi Vera W 135090307111013 Nadia Indah S 135090307111014 Vanisa Syahra 115090700111001 Bella Dinna Safitri 115090700111002 Makalah Pendidikan Agama Islam – Ijtihad / 2014 i

description

Ijtihad

Transcript of Makalah Pendidikan Agama Islam

Page 1: Makalah Pendidikan Agama Islam

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

“SUMBER HUKUM ISLAM KETIGA : AL - IJTIHAD”

Makalah ini disusun sebagai tugas terstruktur mata kuliah Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu : Drs. Chamid Syarbini, M.Pd.

Disusun oleh :

Septi Vera W 135090307111013

Nadia Indah S 135090307111014

Vanisa Syahra 115090700111001

Bella Dinna Safitri 115090700111002

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2014

Makalah Pendidikan Agama Islam – Ijtihad / 2014 i

Page 2: Makalah Pendidikan Agama Islam

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................1

1.3 Batasan Masalah.............................................................................................................1

1.4 Tujuan Penulisan............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................2

2.1 Definisi dan Fungsi Ijtihad.............................................................................................2

2.2 Dasar Hukum Ijtihad......................................................................................................3

2.3 Kedudukan Ijtihad..........................................................................................................5

2.4 Metodologi pelaksanaan ijtihad.....................................................................................6

2.5 Syarat Ber-ijtihad...........................................................................................................8

BAB III Penutup................................................................................................................13

3.1 Kesimpulan..................................................................................................................13

3.2 Saran.............................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................14

Makalah Pendidikan Agama Islam – Ijtihad / 2014 ii

Page 3: Makalah Pendidikan Agama Islam

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seiring dengan waktu dan berkembangnya zaman, banyak bermunculan masalah,

terutama masalah-masalah dalam agama. Sedangkan sebagian besar dari masalah

tersebut belum mendapatkan kejelasan hukum dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

Maka manusia berusaha untuk mencari cara untuk memutuskan masalah tersebut

tentang baik buruknya

Dan dalam bentuknya yang telah mengalami kemajuan, teori hukum Islam

(Islamic Legal Theory) mengenal berbagai sumber dan metode yang darinya dan

melaluinya hukum (Islam) diambil. Sumber-sumber yang darinya hukum diambil

adalah Al-Quran dan As-Sunnah Nabi, yang keduanya memberikan materi hukum.

Sedangkan, sumber-sumber yang melaluinya hukum berasal adalah metode-metode

ijtihad dan interpretasi, atau pencapaian sebuah konsensus ( Ijma’, kesepakatan).

Oleh karena itu, penulis membuat makalah bertemakan ijtihad sebagai solusi dari

pengambilan keputusan hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-

Sunnah.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam makalah ini penulis membahas tentang :

1. Apa pengertian dari ijtihad?

2. Bagaimana kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam?

3. Apa saja hasil dari ijtihad?

1.3 Batasan Masalah

Makalah ini hanya membahas masalah ijtihad serta kedudukannya sebagai sumber

hukum Islam dan hasil-hasil ijtihad serta pengertian dari hasil-hasil ijtihad tersebut.

1.4 Tujuan Penulisan

Tujuan penulis membahas kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah :

1. Memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.

Makalah Pendidikan Agama Islam – Ijtihad / 2014 1

Page 4: Makalah Pendidikan Agama Islam

2. Membuka wawasan tentang ijtihad sebagai sumber hukum Islam yang ketiga.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Fungsi Ijtihad

Ijtihad seakar kata dengan juhd, jihad, dan mujahadah, yang artinya kesungguhan

dan usaha keras. Ijtihad dalam pengertian yang luas berarti penggunaan pikiran

dalam mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan dari sesuatu ayat atau

hadits. Sedangkan dalam konteks istimbat (penetapan) hukum, ijtihad adalah

penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara

eksplisit dalam Al-Quran dan Hadits Nabawi.

Memperhatikan definisi ini, dapat dipahami batasan lapangan ijtihad, sebagai

berikut:

a. Terhadap yang hukumnya disebutkan secara pasti (qath’i) dalam nash, tidak ada

peranan nalar,

b. Terhadap kejadian yang sama sekali tidak terdapat dalam nash, nalar dapat

menjalankan fungsi formulasi, dan

c. Terhadap kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash secara penunjukan

yang tidak pasti, nalar dapat menjalankan fungsi reformulasi.

Secara bahasa, ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk

mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan

sesuatu keputusan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam Al-

Quran dan As-Sunnah.

Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai the principle of movement.

Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa disebut arro’yu

mencakup dua pengertian:

a. Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan

secara eksplisit oleh Al-Quran dan As-Sunnah.

Makalah Pendidikan Agama Islam – Ijtihad / 2014 2

Page 5: Makalah Pendidikan Agama Islam

b. Penggunaan pikiran dalam mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan

dari sesuatu ayat atau hadits.

Tujuan adanya ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan

pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah SWT di tempat dan waktu tertentu.

Fungsi ijtihad adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum

yang belum terumuskan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Meski Al-Quran

diturunkan secara sempurna dan lengkap, bukan berarti kehidupan manusia diatur

secara detil oleh Al-Quran dan Hadits. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat

turunnya Al-Quran dengan kehidupan modern, sehingga setiap saat masalah baru

akan terus berkembang dan diperlukan aturan aturan baru dalam melaksanakan

ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau

disuatu masa waktu tertentu, maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang

dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits.

Sekiranya sudah ada, maka persoalannya harus mengikuti ketentuan yang ada

berdasarkan Al-Quran dan Hadits. Namun jika persoalannya merupakan perkara

yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits maka umat

Islam memerlukan ijtihad, tapi yang berhak membuat ijtihad adalah mereka yang

paham Al-Quran dan Hadits yang disebut dengan mujtahid.

2.2 Dasar Hukum Ijtihad

Ada 2 dasar hukum diharuskannya ijtihad, yaitu :

1. Al-Qur’an

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan

ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang

sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul

Makalah Pendidikan Agama Islam – Ijtihad / 2014 3

Page 6: Makalah Pendidikan Agama Islam

(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.

Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS.An-

nisa:59)

dan firman-Nya yang lain :

“...Maka ambillah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”.

(QS.Al-Hasyr : 2)

Menurut Firman Allah SWT pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan

kepada Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang mempelajari Qur’an

dan Hadits supaya meneliti hukum-hukum yang ada alsannya, agar bisa

diterapkan kepada peristiwa-peristiwa hukum yang lain, dan hal ini adalah

ijtihad. Pada firman kedua, orang-orang yang ahli memahami dan merenungkan

diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan hal ini berarti mengharuskan mereka

untuk berijtihad. Oleh karena itu, maka harus selalu ada ulama-ulama yang harus

melakukan ijtihad. (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163).

firman-Nya yang lain :

“Dan orang-orang yang  berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami, benar-

benar akan Kami tunjukkan  kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan

sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.( Q.S.

Al-‘Ankabut:69 )

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa

kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah

wahyukan kepadamu”. (Q.S.An-nisa:105)

2. Al-Hadits

- Sabda Nabi SAW. : “Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang akan mudah

mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya” (Jalaluddin Rahmat, Dasar

Hukum Islam, hlm 163)

. د� و�اح� ر� ا�ج ل�ه� ف�ط�أ� ا�خ ف� د� ت�ه� ج ا�ن� و� ان� ر� ا�ج ل�ه� ف� اب� ا�ص� ف� د� ت�ه� اج ا�ذ�ا اك�م� �لح� و) ا بخارى

مسلم(

Makalah Pendidikan Agama Islam – Ijtihad / 2014 4

Page 7: Makalah Pendidikan Agama Islam

“Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia

mendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan pahala kebenaran

hasilnya). Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia

mendapat satu pahala (pahala melakukan ijtihad)”.(Hadits riwayat Bukhari

dan Muslim)

- Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal,

ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman  berikut ini:

ا �ل�م الله� ول� س� ر� �إ�ن ب�ل� ج� بن� ع�اذ م� اب� ح� صأ� م�صم�ن ح� ا�هل� م-ن أ�نا�س. ع�ن

: اء�؟ ق�ض� ل�ك� ض� إ�ذ�اع�ر� ض� ت�ق ك�يف� ال� ق� الي�م�ن� ال�ي� ع�اذ<ا م� ي�بع�ث� أ�ن اد� ر� أ�

: : . ال�: ق� الله؟ ك�ت�اب� ف�ي د ت�ج� ل�م إ�ن ف� ال� ق� الله� ب�ك�ت�اب� أ�قض�ى ال� ق�

: . ف�ي و�ال� الله� ول� س� ر� ن�ة� س� ف�ي د ت�ج� ل�م إ�ن ف� ال� ق� الله� ول� س� ر� ن�ة� ب�س� ف�

: . : ال� و�ق� ه� در� ص� الله� ول� س� ر� ب� ر� ف�ض� آل�و و�ال� ايئ� ر� د� ت�ه� ا�ج ال� ق� الله�؟ ك�ت�اب�

الله� ول� س� ر� ض�ي ي�ر ا �ل�م الله� ول� س� ر� ول� س� ر� و�ف�ق� ال�ذ�ي د�ل�ل�ه� م �لح� رواه)  ا

ابوداود(.“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa

Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau

bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu

memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-

Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-

Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah

Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam

Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad

dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan

tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi

petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-

Nya.”(HR.Abu Dawud)

2.3 Kedudukan Ijtihad

Berbeda dengan Al-Quran dan As-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-

ketentuan berikut:

Makalah Pendidikan Agama Islam – Ijtihad / 2014 5

Page 8: Makalah Pendidikan Agama Islam

a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang

mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang

relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif, maka keputusan daripada

suatu ijtihad pun adalah relatif,

b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang

tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa/tempat tapi tidak

berlaku pada masa/tempat yang lain,

c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah (murni). Sebab

urusan ibadah mahdhah hanya oleh Allah SWT dan Rasulullah,

d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, dan

e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motivasi,

akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama, dan nilai-nilai yang menjadi

ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.

Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber hukum

ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadits.

2.4 Metodologi pelaksanaan ijtihad

Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat metode-metode, antara

lain sebagai berikut:

1. Qiyas, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum

diterangkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum

sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh Al-Quran atau As-Sunnah,

karena ada sebab yang sama. Beberapa definisi qiyas (analogi):

a. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya,

berdasarkan titik persmaan diantara keduanya.

b. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu

persamaan diantaranya.

c. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan didalam Al-

Quran atau Hadist dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab

(illat).

Makalah Pendidikan Agama Islam – Ijtihad / 2014 6

Page 9: Makalah Pendidikan Agama Islam

2. Ijma’, atau yang disebut ijtihad kolektif, yaitu kesepakatan ulama-ulama Islam

dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah. Yang menjadi persoalan untuk

saat sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma

tersebut, karena umat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok

bumi termasuk para ulamanya.

3. Istihsan, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan

ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih

sayang, dan lain-lain. Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi

(analogi samar-samar) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh

dengan Qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan umum.

Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih salah satu diantara dua

persoalan yang sama-sama kurang baik, maka kita harus mengambil yang lebih

ringan keburukannya. Beberapa definisi istisan:

a. Fatwa yang dikeliarkan oleh seorang faqih (ahli fiqih), hanya karena dia

merasa hal itu adalah benar,

b. Argumentasi dalam pikiran seorang faqih tanpa bisa diekspresikan secara

lisan olehnya,

c. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk maslahat orang

banyak,

d. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan, dan

e. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara

yang ada sebelumnya.

4. Mashalihul Mursalah, yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan

ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan

tujuan syari’at. Perbedaan antara istihsan dan mashalitul mursalah ialah, istihsan

mempertimbangkan dasar kemaslahatan (kebaikan) itu dengan disertai dalil Al-

Quran atau Al-Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah

mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil

yang secara tertulis dalam Al-Quran atau Al-Hadits.

Makalah Pendidikan Agama Islam – Ijtihad / 2014 7

Page 10: Makalah Pendidikan Agama Islam

5. Urf, adalah sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima, dan dianggap baik oleh

masyarakat. Juga didefinisikan sebagai tindakan menentukan masih bolehnya

suatu adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut

tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Al-Quran dan Al-

Hadits.

6. Istishab, adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga

terdapat dalil yang menunjukan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum

yang telah ditetapkanpada masa lampau secara kekal menurut keadaan sehingga

teradapat dalil yang menunjukan atas perubahannya. Jadi, istihab merupakan

suatu tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang

bisa mengubahnya.

7. Sududz Dzariah, yaitu tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi

makruh atau haram demi kepentingan umat.

8. Madzhab Shahabi, yaitu menetapkan suatu hukum terhadap suatu persoalan

ijtihadiyah atas pertimbangan pendapat para sahabat tentang suatu kasus, yang

tidak dijelaskan nash dan belum ada ijma’ para sahabat yang menetapkan hukum

tersebut.

9. Syar’un man qoblana, berarti syariat sebelum Islam.

10. Ta’arud Ad-Dilalah, artinya pertentangan (secara lahir dalam pandangan

mujtahid) antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang sama (ayat

dengan ayat; atau antara sunah dengan sunah).

2.5 Syarat ber-ijtihad

Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan yang bukan sebagai pekerjaan

mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan persyaratan

tersendiri. Jadi, tidak dilakukan oleh setiap orang. Memang egalitarianisme Islam

tidak memilah-milah para pemeluk Islam dalam kelas-kelas tertentu, dan

menyangkut Ijtihad pun setiap orang berhak melakukannya, tetapi permasalahannya

bukan di situ, ijtihad adalah suatu bentuk kerja keras yang memerlukan kemampuan

tinggi. Oleh sebab itu, tidak semua orang akan dapat melakukannya, sekalipun

Makalah Pendidikan Agama Islam – Ijtihad / 2014 8

Page 11: Makalah Pendidikan Agama Islam

mereka tetap memiliki hak untuk itu. Seperti dalam dunia kedokteran, memang hak

semua orang untuk bisa berbicara tentang kesehatan, tetapi tidak semua orang

memiliki otoritas melakukan diagnosis dan membuat resep, kecuali dokter. Sebab,

jika semua orang diberi wewenang melakukan diagnosis dan membuat resep,

akibatnya adalah bahaya bagi kehidupan manusia sendiri. Demikian pula ijtihad, jika

semua orang melakukan ijtihad (maksudnya : ijtihad mutlak), maka akibatnya pun

akan membahayakan kehidupan ummat.

Untuk itu, dalam kajian usul Fikih, para ulama telah menetapkan syarat-syarat

tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut al-Syaukani, untuk

dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan lima syarat. Masing-masing dalam lima

persyafatan itu akan dilihat di bawah ini:

Pertama, mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah. Persyaratan pertama ini

disepakati oleh segenap ulama usul Fikih. Ibn al-Hummam, salah seorang ulamah

Fikih Hanafiah, menyebutkan bahwa mengetahui al-Qur’an dana sunnah merupakan

syarat mutlakyang harus dimiliki oleh mujtahid. Akan tetapi, menurut al-Syaukani,

cukup bagi seorang mujtahid hanya mengetahui ayat-ayat hukum saja. Bagi al-

Syaukani, ayat-ayat hukum itu tidak perlu dihafal oleh mujtahid, tetapi cukup jika ia

mengetahui letak ayat itu, sehingga dengan mudah ditemukannya ketika diperlukan.

Sebenarnya, apa yang dikemukakan al-Syaukani di atas merupakan syarat bagi

seseorang mujtahid mutlak yang akan melakukan ijtihad dalam segenap masalah

hukum. Akan tetapi, bagi seseorang yang hanya ingin melakukan ijtihad dalam suatu

masalah tertentu, ia hanya dituntut memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat hukum

yang menyangkut tersebut secara mendalam.

Adapun berkenaan dengan pengetahuan tetang sunnah, menurut al-Syaukini,

seseorang mujtahid harus mengetahui sunnah sebanyak-banyakny.Ia mengetip

beberapa pendapat tentang jumlah hadits yang harus diketahui oleh mujtahid. Salah

satu pendapat menyebutkan bahwa seseorang mujtahid harus mengetahui lima ratus

hadits. Pendapat lain, yang diterima oleh Ibn al-Dharir dari Ahmad ibn Hanbal,

menyebutkan bahwa seorang mujtahid harus mengetahui lima ratus ribu hadits.

Makalah Pendidikan Agama Islam – Ijtihad / 2014 9

Page 12: Makalah Pendidikan Agama Islam

Namun, hadits–hadits tersebut tidak wajib dihafal di luar kepala, cukup kalau ia

mengetahui letak hadits-hadits itu, sehingga dapat ditemukan segera bila diperlukan.

Di samping itu, seseorang mujtahid – menurut al-Syaukani - tidak hanya wjib

mengetahui sejumlah besar hadits dari segi lafalnya, tetapi wajib pula mengetahui

rijal (periwayat-periwayat) yang terdapat dalam sanad (kesinambungan riwayat

hadits sampai kepada Nabi) menyangkut hadits-hadits yang akan dipergunakannya,

sehingga ia dapat memilah antara hadits yang sahih, hasan, dan dha’if (lemah).

Sekalipun demikian, hal itu tidak harus dihafalnya di luar kepala, cukup baginya

mengetahui yang demikian dengan baik melalui kitab-kitab yang membicarakan

tentang jarh (cacat periwayat hadits) dan ta’dil (keadilan periwayat hadits).

Kedua, mengetahui ijmak, sehingga ia tidak mengeluarkan fatwa yang

bertentangan ijmak. Akan tetapi, seandainya dia tidak memandang ijmak sebagai

dasar hukum, maka mengetahui ijmak ini tidak menjadi syarat baginya untuk dapat

melakukan ijtihad. Di sini, al-Syaukini terlihat tidak secara ketat menempatkan

pengetahuan tentang ijmak sebagai syarat mutlak untuk dapat melakukan ijtihad.

Menurutnya, bagi orang yang berkeyakinan bahwa ijmak sebagai dalil hukum, maka

ia wajib mengetahui ijmak tersebut, karena melanggar suatu konsensus para mujtahid

merupakan suatu kekeliruan dan dosa. Kendati demikian, tidak mungkin dipaksakan

persyaratan ini pada mujtihad yang berpendapat bahwa ijmak bukan dalil hukum.

Ketiga, mengetahui bahasa Arab, yang memungkinkannya menggali hukum dari

al-Qur’an dan sunnah secara baik dan benar. Dalam hal ini menurut al-Syaukani-

seorang mujtahid harus mengetahui seluk-beluk bahasa Arab secara sempurna,

sehingga ia mampu mengetahui makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-

Qur’an dan sunnah Nabi saw. Secara rinci dan mendalam: mengetahui makna lafal-

lafal gharib (yang jarang dipakai); mengetahui susunan-susunan kata yang khas

(khusus), yang memilki keistimewaan-keistimewaan unik. Untuk mengetahui seluk-

beluk kebahasan itu diperlukan beberapa cabang ilmu, yaitu: nahwu,saraf, ma’ani

dan bayan. Akan tetapi, menurutnya, pengetahuan (kaidah-kaidah) kebahasaan itu

tidak harus dihafal luar kepala, cukup bagi seorang mujtahid mengetahui ilmu-ilmu

Makalah Pendidikan Agama Islam – Ijtihad / 2014 10

Page 13: Makalah Pendidikan Agama Islam

tersebut melalui buku-buku yang ditulis oleh para pakar di bidang itu, sehinggah

ketika ilmu-ilmu tersebut diperlukan, maka dengan mudah diketahui tempat

pengambilannya.

Para ulama usul fikih sepakat bahwa syarat untuk menjadi mujtahid hendaklah

menguasai bahasa Aarab secara baik dan benar. Sebab, bahasa al-Qur’an dan hadits

adalah bahasa Aarab, seseorang tidak mungkin akan dapat menegluarkan hukum dari

dua sumber hukum kalau tidak mengetahui bahasa Arab. Atas dasar demikian,

sementara ulama- antara lain’Abd al-Wahhab Khallaf—menempatkan pengetahuan

tentang bahasa Arab sebagai syarat pertama bagi seorang mujtahid untuk dapat

melakukan ijtihad.

Keempat, mengetahui ilmu usul fikih. Menurut al-Syaukani, ilmu usul fikih

penting diketahui oleh seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah diketahui

tentang dasar-dasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang akan dapat memperoleh

jawaban suatu masalah secara benar apabila ia mampu menggalinya dari al-Qur’an

dan sunnahndengan menggunakan metode dan cara yang benar pula . Dasar dan cara

itu dijelaskan secara luas di dalam ilmu usul fikih. Bila dilihat secara cermat,

terdapat tiga versi menyangkut penempatan pengetahuan tenteng usul fikih sebagai

syarat ijtihad :

1. Pertama, yang menempatkan pengetahuan tentang usul fikih sebagai salah satu

bagian dari pengetahuan tentang al-Qur’an dan sunnah.

2. Kedua, yang tidak menempatkan usul fikih secara umum sebagai syarat ijtihad,

tetapi menempatkan pengetahuan tentang qiyas sebagai gantinya.

3. Ketiga, yang menempatkan usul fikih sebagai syarat tersendiri dalam ijtihad.

Kendati terdapat perbedaan versi dalam menempatkan pengetahuan tenteng usul

fikih sebagai syarat ijtihad, segenap ulama memandang bahwa pengetahuan tentang

usul fikhi merupakan suatu hal penting dalam menggali hukum dari sumber-

sumbernya. Karena hanya di dalam usul fikih diajarkan tenteng cara-cara meng-

istinbath-kan hukum dari sumber-sumbernya.Tanpa mengetahui cara meng-

istinbath-kan hukum, tidak mungkin hukum akan ditemukan.

Makalah Pendidikan Agama Islam – Ijtihad / 2014 11

Page 14: Makalah Pendidikan Agama Islam

Kelima, mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang

dihapuskan). Menurut al-Syaukani, pengetahuan tentang nasikh dan mansukh

penting agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum yang telah mansukh, baik

yang terdapat dalam ayat-ayat atau hadits-hadits.

Syarat-syarat ijtihad yang dikemukakan oleh al-Syaukani di atas sebenarnya tidak

jauh berbeda dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan oleh para ulama usul

fikih klasik. Bahkan, menurut Muhammad Abu Zahrah, Syarat-syarat seperti yang

telah disebutkan itu secara garis besar telah disepakati oleh segenap ulama usul,

mereka hanya berbeda hanya dalam melihat runciannya. Oleh sebab itu, tidak dapat

dikatakan bahwa al-Syaukani sebagai pencetus pertama persyarat-persyaratan

tersebut. Peran al-Syaukani di sini ialah bahwa ia telah dapat merumuskan syarat-

syarat ijtihad itu secara jelas, ringkas, dan dapat diterapkan secara praktis, karena

dibarengi dengan dorongan-dorongan dan petunjuk-petunjuk praktis untuk dapat

mencapai persyaratan-persyaratan tersebut.

Persyaratan-persyaratan ijtihad –sebagai telah dikemukakan di atas sangat penting

untuk dipenuhi oleh seseorang yang akan menetapkan hukum, karena dalam ijtihad

hukum itu—menurut al-Syaukani- mujtahid menampilkan hukum Allah.Bagi al-

Syaukani, mujtajhid yang telah memenuhi persyaratan –persyaratan ijtihad telah

mendapat semacam wewenang dari Allah untuk dapat menampilkan hukum-Nya di

tengah-tengah masyarakat. Kendati demikian – menurutnya—wewenang itu hanya

diberikan kepada mujtahid yang berijtihad atas dasar al-Qur’an dan sunnah, bukan

dilakukan atas kehendak hawa nafsu.

Dari kajian di atas terlihat bahwa al-Syaukani, sebagaimana para pakar usul fikih

yang lain, memandang bahwa yang dapat melakukan ijtihad ialah orang yang telah

memiliki syarat-syarat untuk itu secara lengkap. Kendati demikian, seseorang ahli

fikih yang belum memenuhi syarat-syarat tersebut secara lengkap dapat juga

melakukakan melakukan ijtihad, tetapi ijtihadnya hanya terbatas dalam bidang

tertentu, yang diketahuinya secara luas dan mendalam.

Makalah Pendidikan Agama Islam – Ijtihad / 2014 12

Page 15: Makalah Pendidikan Agama Islam

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasakan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa secara bahasa, ijtihad

berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu

penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum

tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber hukum

ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadits. Hasil ijtihad antara lain adalah: qiyas, ijma’,

istihsan, mashalihul mursalah, urf, istishab, dan sududz dzariah.

3.2 Saran

Diharapkan dari pembahasan diatas dapat menambah pengetahuan yang lebih

mendalam untuk pembaca makalah terhadap hukum-hukum Islam.

Makalah Pendidikan Agama Islam – Ijtihad / 2014 13

Page 16: Makalah Pendidikan Agama Islam

DAFTAR PUSTAKA

Ballaq, B. Wael. 2000. Sejarah Teori Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Khallaf, Abdul Wahhab. 2002. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada.

Muhibah, Siti. 2009. Islam dan Karakteristiknya. Serang : Untirta.

Ramulyo, Mohd. Idris. 2004. Asas-asas Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika.

Nasution, Lahmuddin. 2001. Pembaruan Hukum Islam. Bandung : PT Remaja

Rosdakarya.

Mulyana, Yoyo. 2004. Islam Progresif. Serang : Untirta Press.

Makalah Pendidikan Agama Islam – Ijtihad / 2014 14