Makalah Pemberantasan Pencurian Kekayaan Alam
Transcript of Makalah Pemberantasan Pencurian Kekayaan Alam
Pemberantasan Pencurian Kekayaan Alam
Illegal logging
I. Pendahuluan
Hutan merupakan kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan
lainnya.Hutan juga merupakan suatu kumpulan tumbuhan yang menempati daerah yang
luas.Hutan dapat ditemukan baik di daerah yang beriklim tropis maupun daerah beriklim dingin.
Hutan memiliki banyak fungsi antara lain sebagai tempat/habitat bagi hewan dan
tumbuhan,penampung karbon dioksida.
Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki hutan terluas di
dunia.Hampir 90 persen hutan di dunia dimiliki secara kolektif dimiliki oleh Indonesia dan 44
negara lain. Bahkan, negeri ini juga disebut sebagai paru-paru dunia.
Guna melindungi dan menjaga ekosistem yang ada, pemerintah memiliki lembaga dan
undang-undang yang mengatur tentang hal ini. Namun pada kenyataannya meskipun ada
peraturan dan perundang-undangan tersebut masih banyak ditemukan praktek-praktek kejahatan
antara lain seperti Pembalakan Liar atau Ilegal Logging.Hutan-hutan Indonesia memiliki
keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia, meskipun luas daratannya hanya 1,3 persen dari
luas daratan di permukaan bumi. Kekayaan hayatinya mencapai 11 persen spesies tumbuhan
yang terdapat di permukaan bumi.Selain itu, terdapat 10 persen spesies mamalia dari total
binatang mamalia bumi, dan 16 persen spesies burung di dunia.
Selain itu, Pemerintah juga pernah mengklaim, sampai dengan tahun 2005, Indonesia
memiliki kawasan hutan 126,8 juta hektare dengan berbagai pembagian fungsi. Yaitu, fungsi
konservasi (23,2 juta hektare), kawasan lindung (32,4 juta hektare), hutan produksi terbatas (21,6
juta hektare), hutan produksi (35,6 juta hektare), dan hutan produksi konversi (14,0 juta hektare).
Sayangnya aset negara tersebut dirusak oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab melalui
aksi pembalakan liar.Pembalakan liar atau istilah dalam bahasa inggrisnya illegal logging adalah
kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin
dari otoritas setempat.
Illegal Logging menurut UU No 41/1999 tentang Kehutanan adalah perbuatan melanggar
hukum yang dilakukan oleh setiap orang/kelompok orang atau badan hukum dalam bidang
kehutanan dan perdagangan hasil hutan berupa; menebang atau memungut hasil hutan kayu
(HHK) dari kawasan hutan tanpa izin, menerima atau membeli HHK yang diduga dipungut
secara tidak sah, serta mengangkut atau memiliki HHK yang tidak dilengkapi Surat Keterangan
Sahnya Hasil Hutan (SKSHH).
Selama sepuluh tahun terakhir, laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai dua juta
hektar per tahun.Penebangan liar (illegal loging) adalah penyebab terbesar kerusakan hutan itu.
Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat
berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di
Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun.
Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan
hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama.
II. Faktor-faktor penyebab illegal logging
Faktor -faktor yang menyebabkan terjadinya Illegal logging di hutan Indonesia antara lain,
1. Pembalakan untuk mendapatkan kayu dan alih fungsi lahan untuk kegunaan lain.
Peralihan fungsi lahanseperti perkebunan, pertanian dan pemukiman. Seiring berjalannya
waktu pertambahan penduduk dari hari ke hari semakin pesat sehingga menyebabkan
tekanan kebutuhan akan tempat tinggal, pohon-pohon ditebang untuk dijadikan tempat
tinggal ataupun dijadikan lahan pertanian.
2. Faktor kemiskinan dan faktor lapangan kerja.
Umumnya hal ini terjadi kepada masyarakat yang berdomisili dekat ataupun di dalam
hutan. Ditengah sulitnya persaingan di dunia kerja dan himpitan akan ekonomi,
masyarakat mau tidak mau berprofesi sebagai pembalak liar dan dari sini masyarakat
dapat menopang kehidupannya. Hal inilah yang terkadang suka dimanfaatkan oleh
cukong-cukong untuk mengeksploitasi hasil hutan tanpa ada perizinan dari pihak yang
berwenang. Padahal apabila dilihat upah tersebut sangatlah tidak seberapa dibandingkan
dengan akibat yang akan dirasakan nantinya.
3. Kondisi Geografis
Secara geografis wilayah Indonesia berbatasan langsung denganbeberapa Negara yang
memiliki kebutuhan suplay kayu cukup banyak,sehingga kondisi yang demikian telah
memberikan peluang kepadapelaku illegal logging untuk melakukan penebangan liar dan
hasil daritebang liar telah diselundupkan ke Negara tetangga seperti contohNegara
Malaysia baik melalui jalur darat maupun melalui jalur air (laut).
4. Tidak dilaksanakannya tata usaha kayu yang benar
Kegiatan illegallogging setidaknya dapat terjadi karena kegiatanpenatausahaan kayu
tidak dilaksanakan secara benar, hal ini dapatterjadi dikarenakan bahwa peraturan
menteri kehutanan mengenaipenatausahaan hasil hutan kayu selalu berubah-ubah dan
terkesan sulituntuk dilaksanakan, sehingga aturan tersebut tidak jarang diabaikanoleh
pemegang ijin yang pada akhirnya membawa dampakkecendrungan terjadinya
pelanggaran yang masih di dalam domainsanksi administrasi namun juga dapat menjadi
domainnya kejahatan
5. Aspek kinerja aparatur di lapangan
Kelestarian hutan merupakan tanggung jawab bersama.Salah satu caranya yaitu dengan
dibentuk suatu aparatur yang tugasnya bukan hanya menjaga namun juga mengawasi
tindakan penyalahgunaan fungsi hutan. Namun pada kenyataan kinerja aparatur di
lapangan ini masih belum berjalan dengan baik dikarenakan tidak seimbangnya jumlah
personil aparatur pengawas dengan jumlah luas hutan di Indonesia sehingga tindakan
illegal logging ini dapat mungkin terjadi karena luput dari pengawasan petugas tersebut.
Tak jarang ada juga petugas pengawas yang masih melakukan ”kompromi” dengan
pelaku illegal logging sehingga akan semakin memperparah kondisi yang ada.
6. Perkembangan teknologi yang pesat
Perkembangan teknologi yang pesat sehingga kemampuan orang untuk mengeksploitasi
hutan khususnya untuk illegal logging semakin mudah dilakukan.Dengan semakin
berkembangnya teknologi untuk menebang pohon diperlukan waktu yang tidak lama,
karena alat-alatnya semakin canggih.Kayu masih menjadi primadona Pendapatan Asli
Daerah. Produksi komersial mencakup produksi kayu dan olahannya, produksi sawit,
serta perkebunan lain.
Gambar. Kondisi hutan yang mengalami illegal logging
III. Modus Operandi IllegalLogging
1. Penggunaan kawasan hutan yang tidak prosedural
a. Pembangunan pemukiman sebagai konsekuensi logis atas pemekaran wilayah didaerah
yang masih ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan.
b. Pembukaan lahan perkebunan di dalam kawasan hutan yang belum dilepas statusnya
sebagai kawasan hutan.
c. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tambang di dalam kawasanhutan yang tidak memiliki
ijin pinjam pakai dari MenteriKehutanan RI.
2. Yang memiliki ijin
a. Melakukan penebang diluar areal dari ijin yang diberikan.
b. Melakukan penebangan di radius yang dilarang (dipinggir sungai,danau dan waduk).
c. Hasil penebangan kayu dari arealnya namun untuk menghindaripembayaran PSDH/DR
terhadap kayu-kayu tersebut dilengkapidengan dokumen SKSKB di cap rakyat, sehingga
seolah-olah kayutersebut berasal dari hutan hak.
d. Melakukan manipulasi laporan hasil produksi (LHP) kayu bulatmenjadi kayu bulat kecil,
sehingga terjadi selisih pembayaranDR/PSDH nya.
e. Penyalahgunaan dokumen legalitas kayu, seperti yang saat inisedang ditangani oleh
Direktorat V/Bareskrim Polri, dimana hasilhutan kayu alam (meranti, engkirai dan
keruing) dilengkapidengan dokumen (FA-KB) dari hutan tanaman industri (sengondan
sungkai).
3. Yang tidak memiliki ijin
a. Melakukan penebangan tanpa memiliki ijin (tebang liar) denganmemanfaatkan
masyarakat setempat dan menggunakan alatberat tanpa ijin.
b. Kayu hasil tebangan masyarakat dilengkapi dengan dokumenSKSKB dicap rakyat
(modus yang terjadi di Kaltim).
c. Manfaatkan risalah lelang.
d. Kayu olahan illegal menggunakan dokumen IUPHHK yang sudahtidak aktif atau tidak
beroperasi.
4. Pelaku
a. Cukong, pemilik modal, penguasa/pejabat.
b. Masyarakat setempat, pendatang.
c. Pemilik pabrik moulding atau sawmil.
d. Pemegang izin HPH atau IPKH yang bertindak sebagai pencuri /penadah.
e. Oknum aparat pemerintah.
f. Pengusaha asing.
IV. Problematika Penegakkan Hukum Di Bidang Kehutanan/IllegalLogging
1. Penggunaan kawasan hutan yang tidak prosedural yang dilakukan oleh masyarakat atau
badan usaha atas rekomendasi dari PemerintahDaerah, sehingga apabila akan dilakukan
penindakan terhadap tindakpidana dengan modus operandi tersebut sangat sulit bagi
penyidik,karena akan berbenturan dengan masyarakat dan pemerintah daearahsetempat.
2. Saat ini banyak pemegang ijin yang sah (HPH/IPHHK) melakukan praktikillegal logging
dengan modus yang sangat rapih, sehingga sulit untukditemukan oleh penyidik, seperti
memasukan hasil hutan kayu daritempat lain kedalam laporan hasil produksinya (LHP),
tidak melakukanpembayaran DR/PSDH namun tetap diterbitkan dokumen legalitas
ataskayu yang akan diangkut dan menambah alat berat namun digunakanuntuk kegiatan
lain (menebang secara liar hutan yang bukan merupakanarealnya).
3. Masih ditemukan penerbitan ijin pemanfaatan kayu oleh Kepala Daerah(Bupati) dalam
skala produksi yang kecil, namun ijin tersebut telahdijadikan dasar untuk menampung
kayu-kayu hasil tebanganmasyarakat, seperti contoh kasus di Papua bahwa kapasitas
produksi satutahun sesuai ijin 50 m3 namun mereka bisa mengirim kayu satubulannya
mencapai ratusan kubik. Dari hasil penyelidikan ditemukanbahwa kayu-kayu tersebut
ternyata hasil tebangan masayarakat.
4. Banyak masyarakat yang hidup disekitar hutan dengan matapencahariannya hanya
tergantung pada kegiatan penebangan kayusecara ilegal telah dimanfaatkan oleh cukong-
cukong untuk melakukanpenebangan liar, sehingga apabila dilakukan penindakan oleh
Polri makaakan dihadapkan dengan masyarakat sekitar.
5. Penyidikan kasus illegal logging membutuhkan dana yang relatif besar,seperti misalnya
biaya untuk pengamanan barang bukti, biaya sewatempat untuk penyimpanan barang
bukti, biaya buruh bongkar danbiaya transportasi / akomodasi ke Tempat Kejadian
Perkara (TKP).
6. Penyidikan yang membutuhkan biaya besar serta pengorbanan yang tidak kecil sering
kali membuat penyidik tidak merasa nyaman dengan putusan pengadilan atas vonis
pelaku ilegal logging yang begitu rendah atau bahkan di bebaskan.
Gambar. Penyitaan kayu hasil illegal logging
V. Dampak Illegal Logging
Kerusakan lingkungan dapat terjadi di mana-mana termasuk di Indonesia, salah satu
masalah kerusakan lingkungan lingkungan yaitu Illegal logging.Illegal logging pun kian hari
kian marak terjadi, Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia
mencapai angka 3,8 juta hektar pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas illegal
logging atau penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data Badan Penelitian Departemen
Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar perhari sebagai kerugian finansial akibat
penebangan liar (Antara, 2004).
Beberapa dampak dari Illegal logging antara lain ,
1. Kehancuran sumber daya hutan.
Praktek pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian,
mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran
kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa
pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyar setiap tahun.Kerugian tersebut belum
menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat
dihasilkan dari sumber daya hutan.
2. Kerusakan ekosistem
Illegal logging berdampak kepada gangguan/kerusakan pada berbagai ekosistem yang
menyebabkan komponen-komponen yang menyusun ekosistem,yaitu keanekaragaman
jenis tumbuhan dan hewan menjadi terganggu. Akibatnya terjadilah kepunahan pada
berbagai varietas hayati tersebut.
3. Bencana banjir
Pohon-pohon ditebangi hingga jumlahnya semakin hari semakin berkurang menyebabkan
hutan tidak mampu lagi menyerap air hujan yang turun dalam jumlah yang
besar,sehingga air tidak dapat meresap ke dalam tanah sehingga bisa menyebabkan
banjir,seperti yang terjadi belum lama ini bencana banjir bandang di Wasior,Papua yang
menewaskan hampir 110 orang.
4. Ketidakadilan sosial dalam masyarakat
Masyarakat tetap hidup miskin dan menjadi korban atas kecurangan perilaku cukong-
cukong yang pada akhirnya merekalah yang menikmati sebagian besar hasil usaha
masyarakat.
5. Berkurangnya jumlah cadangan sumber air tanah
Semakin berkurangnya jumlah cadangan sumber air tanah atau mata air di daerah
hutan.Karena jumlah pohon-pohonnya semakin berkurang padahal pohon berfungsi
sebagai penyerap air.Hal ini mengakibatkan timbulnya kekeringan, masyarakat kesulitan
untuk mendapatkan air bersih dan kekurangan air untuk irigasi.
6. Semakin berkurangnya lapisan tanah subur.
Lapisan tanah subur hanyut terbawa karena tidak adanya penahan tanah apabila
hujan,disinilah fungsi pohon sebenarnya.
7. Global warming
Dampak yang paling kompleks dari adanya Illegal Logging ini adalah global warming
yang sekarang sedang mengancam dunia.Global warming terjadi oleh efek rumah kaca
dan kurangnya daerah resapan CO2 seperti hutan sehingga menyebabkan suhu bumi
menjadi naik dan mengakibatkan kenaikan volume air muka bumi karena es di kutub
mencair.
VI. Solusi untuk mengatasi illegal logging
1. Reboisasi atau penanaman kembali hutan yang gundul.
2. Menerapkan system tebang pilih dalam menebang pohon.
3. Manipulasi lingkungan serta pengendalian hama dan penyakit juga bisa dilakukan untuk
memulihkan kembali hutan di Indonesia.
4. Penanaman hutan secara intensif menjadi pilihan terbaik karena bisa diprediksi.
Sehingga, kebutuhan kayu bisa diperhitungkan tanpa harus merusak habitat hutan alam
yang masih baik.
5. Menerapkan sanksi yang berat bagi mereka yang melanggar ketentuan mengenai
pengelolaan hutan. Misalkan dengan upaya pengawasan dan penindakan yang dilakukan
di TKP (tempat kejadian perkara), yaitu di lokasi kawasan hutan dimana tempat
dilakukannya penembangan kayu secara ilegal. Mengingat kawasan hutan yang ada
cukup luas dan tidak sebanding dengan jumlah aparat yang ada, sehingga upaya ini sulit
dapat diandalkan, kecuali menjalin kerjasama dengan masyarakat setempat. Ini pun akan
mendapat kesulitan jika anggota masyarakat itu justru mendapatkan keuntungan materiil
dari tindakan illegal logging.
6. Mengoptimalkan pos-pos tempat penarikan retribusi yang banyak terdapat di pinggir-
pinggir jalan luar kota. Petugas pos retribusi hanya melakukan pekerjaan menarik uang
dari truk yang membawa kayu, hanya sekedar itu. Seharusnya di samping melakukan
penarikan uang retribusi juga sekaligus melakukan pengecekan terhadap dokumen yang
melegalkan pengangkutan kayu. Dengan tindakan pengecekan seperti ini, secara
psikologis diharapkan dapat dijadikan sebagai upaya shock therapy bagi para sopir truk
dan pemodal. Selain dari itu, juga harus dilakukan patroli rutin di daerah aliran sungai
yang dijadikan jalur pengangkutan kayu untuk menuju terminal akhir, tempat
penampungan kayu.
7. Menelusuri terminal/tujuan akhir dari pengangkutan kayu illegal, dan biasanya tujuan itu
adalah perusahaan atau industri yang membutuhkan bahan baku dari kayu. Upaya ini
dirasa cukup efektif untuk menanggulangi perbuatan-perbuatan illegal logging.
Perusahaan atau industri seperti ini dapat dituding telah melakukan
“penadahan”.Perbuatan menampung terhadap kayu-kayu illegal oleh perusahaan, yang
dalam bahasa hukum konvensional KUHP disebut sebagai penadahan tersebut, dapat
dikategorikan sebagai kejahatan korporasi (corporate crime).
Pemberantasan Pencurian Kekayaan Alam
Illegal Fishing
I. Pendahuluan
Samudera Pasifik merupakan daerah yang tingkat pelanggarannya cukup tinggi dibanding
dengan wilayah lainnya.Pelanggaran-pelanggaran tersebut terutama dilakukan oleh KIA yang
berasal dari berbagai negara diantaranya Thailand, Vietnam, China, dan Filipina.
Pengertian Illegal Fishing merujuk kepada pengertian yang dikeluarkan oleh
International Plan of Action (IPOA) – Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing yang
diprakarsai oleh FAO dalam konteks implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries
(CCRF). Illegal Fishing, adalah :
1. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara tertentu atau kapal asing di
perairan yang bukan merupakan yuridiksinya tanpa izin dari negara yang memiliki
yuridiksi atau kegiatan penangkapan ikan tersebut bertentangan dengan hukum dan
peraturan negara itu (Activities conducted by national or foreign vessels in waters under
the jurisdiction of a state, without permission of that state, or in contravention of its laws
and regulation).
2. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera salah satu
negara yang tergabung sebagai anggota organisasi pengelolaan perikanan regional,
Regional Fisheries Management Organization (RFMO) tetapi pengoperasian kapal-
kapalnya bertentangan dengan tindakan-tindakan konservasidan pengelolaan perikanan
yang telah diadopsi oleh RFMO. Negara RFMO wajib mengikuti aturan yang ditetapkan
itu atau aturan lain yang berkaitan dengan hukum internasional (Activities conducted by
vessels flying the flag of states that are parties to a relevant regional fisheries
management organization (RFMO) but operate in contravention of the conservation and
management measures adopted by the organization and by which states are bound, or
relevant provisions of the applicable international law).
3. Kegiatan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-undangan suatu negara
atau ketentuan internasional, termasuk aturan-aturan yang ditetapkan negara anggota
RFMO (Activities in violation of national laws or international obligations, including
those undertaken by cooperating stares to a relevant regioanl fisheries management
organization (RFMO).
Walaupun IPOA-IUU Fishing telah memberikan batasan terhadap pengertian IUU
fishing, dalam pengertian yang lebih sederhana dan bersifat operasional.Illegal fishing dapat
diartikan sebagai kegiatan perikanan yang melanggar hukum.
Masalah illegal fishing yang terjadi di perairan indonesia merupakan suatu ancaman yang
mengganggu stabilitas keamanan Indonesia, khususnya keamanan laut. Beberapa tahun terakhir
ini praktek illegal fishingdi perairan di Indonesia semakin meningkat, hal ini terlihat dimana
semakin maraknya kegiatan illegal fishingyang dilakukan kapal-kapal asing di beberapa wilayah
perairan Indonesia yang memilik sumber daya perikanan yang cukup potensial. Sebenarnya
indonesia sudah memiliki Undang-Undang yang mengatur mengenai masalah illegal fishing,
yaitu Undang-Undang No 31 Tahun 2003 tentang perikanan. Namun, implementasi dari Undang-
Undang tersebut belum efektif karena semakin kompleksnya masalah illegal fishingyang terjadi
di perairan Indonesia.Tetapi pemerintah tidak mau tinggal diam menghadapi masalah ini, guna
menekan tingkat kejahatan di perairan Indonesia.
Kegiatan Illegal Fishing yang paling sering terjadi di wilayah pengelolaan perikanan
Indonesia adalah pencurian ikan oleh kapal-kapal ikan asing (KIA) yang berasal dari beberapa
negara tetangga . Walaupun sulit untuk memetakan dan mengestimasi tingkat illegal fishing yang
terjadi di wilayah perairan indonesia, namun dari hasil pengawasan yang dilakukan selama ini,
(2005-2010) dapat disimpulkan bahwa illegal fishing oleh KIA sebagian besar terjadi di ZEE
(Exlusive Economic Zone) dan juga cukup banyak terjadi di perairan kepulauan. Pada umumnya,
Jenis alat tangkap yang digunakan oleh KIA atau kapal eks Asing illegal di perairan Indonesia
adalah alat-alat tangkap produktif seperti purse seine dan trawl.Kegiatan illegal fishing juga
dilakukan oleh kapal ikan Indonesia (KII).
Beberapa modus/jenis kegiatan illegal yang sering dilakukan KII, antara lain:
1. penangkapan ikan tanpa izin (Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI) maupun Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan (SIKPI).
2. Memiliki izin tapi melanggar ketentuan sebagaimana ditetapkan (pelanggaran daerah
penangkapan ikan, pelanggaran alat tangkap, pelanggaran ketaatan berpangkalan),
3. Pemalsuan/manipulasi dokumen (dokumen pengadaan, registrasi, dan perizinan kapal).
4. Transshipment di laut dan Tidak mengaktifkan transmitter (khusus bagi kapal-kapal yang
diwajibkan memasang transmitter).
5. Penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) dengan menggunakan bahan kimia,
bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang
membahayakan melestarikan sumberdaya ikan.
Sampai dengan tahun 2012, kegiatan illegal fishing di WPP-Indonesia, terbilang cukup tinggi
dan memprihatinkan. Ada sembilan Wilayah Pengelolaan Perikanan ( WPP ) di Indonesia
meliputi Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan Laut Natuna, Laut Jawa dan Selat Sunda, Selat
Makasar dan Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tomini dan Laut Maluku, Laut Sulawesi dan
Samudera Pasifik, Laut Arafura, dan Samudera Hindia.
Gambar Tingkat Pelanggaran Peraturan Perundang-undangan Perikanan di WPP-RI
II. Faktor-faktor penyebab Illegalfishing
Faktor -faktor yang menyebabkan terjadinya Illegal fishing di perairan Indonesia tidak
terlepas dari lingkungan strategis global terutama kondisi perikanan di negara lain yang memiliki
perbatasan laut, dan sistem pengelolaan perikanan di Indonesia itu sendiri. Factor penyeban
Illegal fishing antara lain
1. Kebutuhan ikan dunia (demand) meningkat, disisi lain pasokan ikan dunia menurun,
terjadi overdemand terutama jenis ikan dari laut seperti Tuna. Hal ini mendorong armada
perikanan dunia berburu ikan di manapun dengan cara legal atau illegal.
2. Disparitas (perbedaan) harga ikan segar utuh (whole fish) di negara lain dibandingkan di
Indonesia cukup tinggi sehingga membuat masih adanya surplus pendapatan.
3. Fishing ground di negara-negara lain sudah mulai habis, sementara di Indonesia masih
menjanjikan, padahal mereka harus mempertahankan pasokan ikan untuk konsumsi
mereka dan harus mempertahankan produksi pengolahan di negara tersebut tetap
bertahan.
4. Laut Indonesia sangat luas dan terbuka, di sisi lain kemampuan pengawasan khususnya
armada pengawasan nasional (kapal pengawas) masih sangat terbatas dibandingkan
kebutuhan untuk mengawasai daerah rawan. Luasnya wilayah laut yang menjadi
yurisdiksi Indonesia dan kenyataan masih sangat terbukanya ZEE Indonesia yang
berbatasan dengan laut lepas (High Seas) telah menjadi magnet penarik masuknya kapal-
kapal ikan asing maupun lokal untuk melakukan illegal fishing.
5. Sistem pengelolaan perikanan dalam bentuk sistem perizinan saat ini bersifat terbuka
(open acces), pembatasannya hanya terbatas pada alat tangkap (input restriction). Hal ini
kurang cocok jika dihadapkan pada kondisi faktual geografi Indonesia, khususnya ZEE
Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas.
6. Masih terbatasnya sarana dan prasarana pengawasan serta SDM pengawasan khususnya
dari sisi kuantitas.
7. Persepsi dan langkah kerjasama aparat penegak hukum masih dalam penanganan perkara
tindak pidana perikanan masih belum solid, terutama dalam hal pemahaman tindakan
hukum, dan komitmen operasi kapal pengawas di ZEE.
III. Dampak Illegal fishing
Kegiatan Illegal Fishing di WPP-RI telah mengakibatkan kerugian yang besar bagi
Indonesia antara lain
1. Ancaman terhadap kelestarian sumberdaya ikan,
2. iklim usaha perikanan yang tidak kondusif,
3. melemahnya daya saing perusahaan dan termarjinalkannya nelayan merupakan dampak
nyata dari kegiatan IUU fishing.
4. rusaknya citra Indonesia pada kancah International karena dianggap tidak mampu untuk
mengelola perikanannya dengan baik.
5. kerugian ekonomi akibat illegal fishing
Untuk dapat mengetahui, kerugian materil yang diakibatkan oleh Illegal fishing perlu
ditetapkan angka asumsi dasar antara lain: diperkirakan jumlah kapal asing dan eks asing
yang melakukan IUU fishing sekitar 1000 kapal, ikan yang dicuri dari kegiatan IUU
fishing dan dibuang (discarded) sebesar 25% dari stok (estimasi FAO, 2001). Dengan
asumsi tersebut, jika MSY(maximum sustainable yield = tangkapan lestari maksimum)
ikan = 6,4 juta ton/th, maka yang hilang dicuri dan dibuang sekitar 1,6 juta ton/th. Jika
harga jual ikan di luar negeri rata-rata 2 USD/Kg, maka kerugian per tahun bisa mencapai
Rp 30 trilyun. Prediksi lain sebagian kerugian ekonomi akibat illegal fishing melalui
perhitungan yang didasarkan pada data hasil penelitian dapat kita simak pada Tabel
Tabel Kerugian Ekonomi Akibat Illegal Fishing
Rincian
Pukat
Ikan
L. Arafura
Pukat
Ikan
Slt.
Malaka
Pukat
Udang
Pukat
Cincin
Pelagis
Besar
Rawai
Tuna
Ukuran Kapal (GT) 202 240 138 134 178
Kekuatan Mesin (HP) 540 960 279 336 750
Produksi (Ton/Kpl/thn) 847 864 152 269 107
Rugi pungutan Perikanan (Rp
juta/Kpl/Thn)
193 232 170 267 78
Rugi subsidi BBM (Rp.Juta/Kpl/Thn) 112 221 64 77 173
Rugi Produksi Ikan (Rp.
Juta/Kpl/Thn)
3.559 1.733 3.160 1.101 801
Total Kerugian (Rp.Juta/Kpl/Thn) 3.864 2.187 3.395 1.446 1.052
Sumber: Dr. Purwanto, 2004
Dari tabel tersebut terlihat jelas bahwa kerugian negara secara ekonomi akibat pencurian
ikan oleh kapal ikan setiap tahunnya sekitar Rp. 1,052 miliar/kapal.Sehingga secara sederhana
kerugian negara akibat illegal fishing dapat diprediksi melalui perkalian jumlah kapal ikan yang
melakukan illegal fishing dengan jumlah kerugian tersebut.
Gambar. Kapal ikan Asing
IV. Solusi untuk mengatasi illegal fishing
1. Vessel monitoring System ( VMS )
VMS adalah satu bagian dari system pengawasan kapal yang berbasis satelit yang dalam
implementasinya terdiri dari beberapa komponen yang merupakan subsistem disamping
satelitnya berdiri sendiri sebagai wahana tranformasi data dari kapal ke pusat pengendali.
Hingga saat ini dari Provinsi NAD hingga Papua telah memiliki alat komunikasi yang
diharapkan dapat mendukung system kerja VMS dalam menangani illegal fishing.
Keuntungan menggunakan VMS antara lain
1) Bagi pemerintah
a. Mengurangi kerugian Negara dari illegal fishing dan illegal ekspor.
b. Dapat melakukan pengendalian dalam pemanfaatan sumber daya kelautan
dan perikanan.
c. Dapat memperoleh data informasi mengenai pemanfaatan sumber daya
kelautan dan perikanan secara cepat dan akurat.
2) Bagi perusahaan Perikanan
a. Adanya jaminan berusaha ( situasi yang kondusif, aman dan kepastian
usaha jangka panjang).
b. Akses data dan informasi mengenai potensi dan pasar yang cepat dan
akurat.
c. Memudahkan pengawasan operasi armada.
3) Bagi para nelayan tradisional
a. Adanya jaminan berusaha
b. Menghilangkan konflik social khususnya dengan perusahaan ikan
menengah dan besar.
c. Adanya peningkatan kesejahteraan disebabkan adanya peningkatan
efisiensi produksi.
2. Pengawasan langsung di lapangan
Tersedianya sarana dan prasarana pengawasan di perairan Indonesia dalam memberantas
illegal fishing merupakan hal yang sangat penting mengingat sangat luasnya wilayah
perarian Indonesia.Untuk pengawasan langsung di lapangan terhadap kapal-kapal yang
melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan kapal-kapal patrol, baik
yang dimiliki oleh Departemen Kelautan dan Perikanan maupun bekerjasama dengan
TNI Angkatan Laut, Polisi Air, dan TNI Angkatan Udara.
3. Dengan membentuk Kelompok Masyarakat pengawas ( Pokmaswas )
Pokmaswas merupakan pelaksana pengawasan di tingkat lapangan yang terdiri dari unsur
tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan-nelayan ikan, serta
masyarakat kelautan dan perikanan lainnya.Kinerja Pokmaswas hanya sekedar
melaporkan segala tindak pelanggaran yang dilakukan di perairan Indonesia.Bila diduga
terjadi pelanggaran maka Pokmaswas wajib melaporkan kepada aparat Pengawas
terdekat.
4.