Makalah MMI UAS-Demokratisasi
-
Upload
kemal-ahmad-ridla -
Category
Documents
-
view
276 -
download
13
description
Transcript of Makalah MMI UAS-Demokratisasi
DEMOKRATISASI DAN PERKEMBANGANNYA
Disusun oleh:
Badai Yuda Pratama (1206253496)
Destin Adipatra (1006694340)
Hilman Luthfi (1206272596)
Kemal Ahmad Ridla (1206254605)
Nelfi Oktiani (1206205673)
Nurul Kurniasari Dela (1206212943)
Penulisan Makalah untuk Mata Kuliah
Manusia dan Masyarakat Indonesia
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
2013
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-
Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga timpenulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah ini. Makalah yang kami susun bertemakan
Demokratisasi dan Perkembangannya. Pembuatan makalah ini merupakan
pemenuhan tugas akhir semester genap untuk mata kuliah Manusia dan Masyarakat
Indonesia.
Dalam pembuatan tugas akhir ini, timpenulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Rachma F., selaku dosen pengajar mata kuliah Manusia dan Masyarakat
Indonesia. Berkat beliau, timpenulis mendapat banyak ide penulisan. Khususnya ide-
ide untuk mengangkat masalah dan isu untuk dijadikan materi dalam
mengembangkan materi Demokratisasi.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-
kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Jakarta, Juni 2013Penulis
2
DAFTAR ISI
COVER ..............................................................................................................1
KATA PENGANTAR........................................................................................2
DAFTAR ISI.......................................................................................................3
BAB I. PENDAHULUAN (Hilman Luthfi).................................................4-6
A. Latar Belakang.............................................................................4-6
B. Rumusan Masalah ..........................................................................6
C. Tujuan.............................................................................................6
BAB II. KERANGKA TEORI (Destin A)...................................................7-10
BAB III. PEMBAHASAN ..........................................................................11-31
A. Demokratisasi di Indonesia (Nurul Kurniasari Dela).............11-15
B. Demokratisasi di Myanmar (Nelfi Oktiani)............................15-19
C. Demokratisasi di Perancis (Kemal Ahmad)............................20-22
D. Demokratisasi di Irak (Badai Yuda).......................................23-31
BAB III. PENUTUP..................................................................................32-33
A. Kesimpulan..............................................................................32
B. Saran ..................................................................................32-33
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................34-35
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demokrasi seperti pada hakikatnya adalah kekuasaan yang berada di tangan
rakyat. Ada pemerintahan yang sudah ber-demokrasi, namun aspek lain kehidupan
negara tidak terdemokratisasi. Ada negara dengan para masyarakat yang giat sekali
berdemokratisasi dalam seluruh atau sebagian bidang kehidupan berbangsa dan
bernegara, namun tidak membawa, menuju, atau mengakui bahwa mereka menuju
demokrasi. Ada yang menjadikan demokrasi sebagai tujuan dan demokratisasi
sebagai prosesnya, dan ada pula yang tidak sama sekali menuju keduanya.
Tercatat bahwa jauh di masa lampau, tempat lahirnya nenek moyang
demokrasi, tujuan (demokrasi) dan proses (demokratisasi) telah terjadi dengan secara
terpisah (Moller dan Skaaning 2012). Pada negara-kota di Yunani terutama yang
paling terkenal dengan demokrasi-nya yaitu Athena, demokrasi merupakan sebuah
kebiasaan dan definisi yang standar dikumandangkan, dimana pendefinisian tersebut
sangatlah jauh beda dengan kenyataan yang ada pada demokrasi modern. Penerapan
demokrasi benar-benar secara harfiah, rakyat mayoritas memegang kendali
pemerintahan atas keseluruhan kehidupan berbangsa sementara minoritas tidak
teranggap.Jumlah mayoritas yang dapat mengalahkan hukum menjadi sebuah
ancaman baru bagi minoritas karena kehendak mayoritas tidak dapat diganggu
gugat.Pemerintahan yang sungguh-sungguh dikendalikan oleh rakyat, namun rakyat
dalam hal ini sangat harfiah sekali.Yunani Athena telah menggambarkan definisi
demokrasi sebagai power of the people tanpa batas, dengan dukungan mayoritas dan
apapun yang mereka sukai.
Tidak lama kemudian, demonstrasi akan proses demokratisasi ditunjukan oleh
penduduk kota Roma yang mempunyai rekam sejarah yang sangat jelas menunjukan
proses demokratisasi. Riwayat tentang transisi dari monarki menuju republik yang
4
mendetil dijabarkan oleh Bauer (2007) memberikan gambaran mengenai proses
“demokratis” demokratisasi mereka dari mengganti pemerintahan yang terpaku pada
satu orang yaitu raja Roma, menjadi sebuah republik yang mana terdapat pemisaha-
pemisahan fungsi dan tugas jabatan pemerintahan yang merupakan pejabat hasil dari
perwakilan rakyat. Meskipun tidak ada catatan mengenai apakah mereka mengakui
bahwa mereka menuju demokrasi semacam yang dianut negara-kota Athena di
Yunani, namun periwayatan sejarah transisi dari monarki menuju republik
mencirikan bahwa proses demokratisasi, tidak selamanya berujung pada demokrasi
sebagai tujuan. Para penduduk Roma ini juga memiliki “demokrasi” yang lebih
beradab dibanding nenek moyang di Yunani disana, dimana tidak selalu mayoritas
yang berkuasa dan ada aturan atau landasan hukum yang membatasi kesewenang-
wenangan mayoritas.Pemerintahan mereka yang hakekatnya memang berada di
tangan rakyat, namun tidak dilaksanakan secara harfiah melainkan dengan pemilihan
perwakilan untuk memperjuangkan hak-hak kesejahteraan rakyat. Proses
demokratisasi yang dibandingkan dan digambarkan inilah yang menjadi garis
perbedaan dengan demokrasi.
Pendefinisian demokratisasi memang dianggap sebagai proses atau transisi
menuju demokrasi (Meinardus 2004), namun demokrasi yang seperti apa? Apakah
yang seperti negara-kota Athena di Yunani lakukan?Atau seperti penduduk Roma
terapkan? Pendalaman terhadap proses demokratisasai akan lebih dilakukan untuk
mengenal lebih lanjut apa yang membuat sebuah pemerintahan lebih demokratis,
dengan proses demokratisasi yang seharusnya dilakukan dengan penekanan khusus,
apakah sebuah negara akan men-demokratisasi atau mendemokrasikan berbagai
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara-nya.
Berlanjut ke dunia modern, dimana mayoritas negara-negara di dunia telah
“terekspor” oleh benih liberalisme dan demokrasi dari negara-negara barat, berbagai
upaya untuk demokrasi dan demokratisasi digencarkan dimana-mana, dan
memberikan hasil yang berbeda-beda dengan segala faktor dan aspek yang
mempengaruhinya. Dalam tulisan ini akan dilihat bagaimana negara-negara dengan
penekanan demokrasi dan/atau demokratisasi-nya dapat mencapai kehidupan politik
5
yang stabil sembari memiliki kehidupan perekonomian dan aspek kehidupan lain
yang sehat dan kompetitif.
B. Rumusan Masalah
Fokus permasalahan dalam penulisan makalah ini yaitu bagaimana negara-
negara dengan penekanan demokrasi dan/atau demokratisasi-nya dapat mencapai
kehidupan politik yang stabil sembari memiliki kehidupan perekonomian dan aspek
kehidupan lain yang sehat dan kompetitif. Yang akan menjadi satu rumusan pokok
berupa penekanan demokrasi dan perkembangannya di beberap Negara yang ada di
dunia. Negara-negara tersebut yakni, Indonesia, Myanmar, Perancis dan Iraq.
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengkaji dan menganalisis
proses menuju demokrasi atau demokratisasi di Negara-negara di dunia. Setelah itu,
juga untuk membandingkan perkembangan proses tersebut terhadap suatu Negara
dengan Negara lainnya. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas akhir semester
mata kuliah Manusia dan Masyarakat Indonesia.
6
BAB II
KERANGKA TEORI
Demokratisasi merupakan sebuah konsep yang tak dapat dipisahkan dengan
kehidupan manusia. Demokratisasi merupakan konsep yang amat erat kaitannya
dengan demokrasi itu sendiri, yang notabene merupakan konsep utama dari
demokratisasi. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri karena definisi konsep
demokratisasi adalah merujuk pada proses. Meskipun sangat banyak pendapat dalam
mendefinisikan konsep demokratisasi tersebut, namun inti dari berbagai definisi itu
sendiri ialah demokratisasi merupakan proses masuknya atau terciptanya demokrasi
dalam ruang lingkup tertentu. Dapat pula dikatan bahwa demokratisasi merupakan
proses transisi dari kondisi belum demokratis, menjadi demokratis, yang umumnya
dalam tingkatan negara. Terkait dengan kasus yang dibahas dalam makalah ini,
beberapa konsep demokratisasi akan digunakan sebagai kerangka konsep dalam
analisa. Demokrasi sendiri merupakan konsep politis dimana kekuasaan terhadap
negara harus berada di tangan rakyat.
Demokratisasi sendiri didefinisikan lebih jauh sebagai proses yang panjang,
mendalam dan open endedprocess. Dimana demokratisasi tersebut merupakan proses
yang panjang dengan ukuran yang beragam. Demokratisasi harus dapat
mentransformasikan berbagai aspek negara khususnya politik sampai pada tingkatan
yang sekecil-kecilnya dalam negara tersebut hingga menjadi demokratis. Tentunya
proses transformasi tersebut akan membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga
sering dikatakan bahwa Demokratisasi adalah proses yang panjang dan mendalam.
Kemudian Demokratisasi sebagai open ended process adalah definisi bahwa
demokratisasi merupakan konsep yang debateable dimana tidak ada ukuran standar
seperti apa demokratisasi yang sebenarnya maupun proses apa saja yang harus
dilakukan sebelum dapat dinyatakan sebagai demokratisasi yang berhasil. Dalam
prosesnya, aspek-aspek yang dinyatakan demokratisasi yang baik pun masih
7
diperdebatkan, maka sering kali definisi dan ukuran terhadap proses tersebut terus
menerus ditambahkan dan dikoreksi. Dengan kata lain, konsep demokratisasi
tersebut tak dapat dilihat dari satu sisi, dan tak ada ukuran pasti seperti apa proses
yang dikatakan sebagai proses demokrasi yang baik. Maka umumnya demokratisasi
hanya diukur berdasarkan indikator tertentu yang menunjukan sejauh apa demokrasi
tersebut telah berjalan dan berdampak pada suatu lingkup negara tertentu. Umumnya
pengukuran demokratisasi itu melihat sejauh apa indikator tersebut telah tercipta di
negara itu, contohnya pelaksanaan pemilihan umum, keikutsertaan politik melalui
partai politik, jumlah perempuan dalam pemerintahan, keterbukaan dalam media dan
yang utama adalah pembagian kekuasaan politik yang jelas.
Salah satu tokoh yaitu robert Dahl menjelaskan komponen utama yang harus
dilakukan dalam Demokratisasi tersebut sehingga dapat dikatakan demokratisasi
tersebut telah berlangsung sehingga menciptakan demokrasi yang baik di negara
tersebut. Komponen pertama dalam demokratisasi ialah proses menjatuhkan rezim
yang non demokratis. Seluruh aspek dalam negara yang menganut nilai yang non
demokratis, harus dijatuhkan terlebih dahulu sebagai komponen awal proses tersebut.
Yang kedua ialah inagurasi atau konstruksi dari rezim pengganti yang demokratis,
sehingga dengan adanya rezim demokratis otomatis secara langsung akan membawa
negara tersebut dalam masa transisi menuju demokrasi yang baik. Dan yang terakhir
adalah konsolidasi, dimana konsolidasi tersebut ditekankan pada aspek sosio dan
kultural. Sehingga nilai-nilai demokrasi itu harus melembaga dalam kultur
masyarakat dan dalam aspek sosial, sehingga tanpa adanya paksaan, masyarakat akan
teredukasi oleh demokratisasi tersebut sehingga tertanam nilai-nilai demokrasi yang
akan terus menerus disebarkan dan dijunjung tinggi dalam masyarakat tersebut.
Seorang tokoh yaitu Francis Fukuyama menuliskan bahwa saat ini, arus
demokratisasi sudah tak dapat dihindarkan lagi.Hal tersebut tak lepas dari berbagai
faktor yang amat berpengaruh, diantaranya adalah perang dingin dan globalisasi.
Fukuyama menuliskan bahwa penyebaran demokrasi tersebut akan menciptakan arus
demokratisasi yang besar dan lambat laun akan menghampiri seluruh negara di dunia.
8
Hal tersebut terjadi akibat arus globalisasi yang saat ini sudah tidak dapat terbendung
lagi. Jarak dan batas-batas antar negara menjadi bias satu sama lain. Maka
demokratisasi jauh lebih mudah tercipta saat ini dengan bebagai media penyampaian
yang juga sangat beragam. Fukuyama melihat bahwa demokratisasi tak ubahnya
merupakan pengaruh sektor perekonomian, dimana dengan semakin kuatnya arus
globalisasi, maka akan semakin besar pula arus perdagangan dan sektor ekonomi
internasional. Hal tersebut membutuhkan demokrasi sebagai penopang kebebasan
untuk berinteraksi dalam ekonomi internasional , maka tak dapat dipungkiri, arus
demokratisasi semakin luas. Tak hanya dalam level negara, di level internasional pun
demokratisasi terus menerus terjadi, khususnya dalam setiap institusi-institusi serta
konvensi maupun kerjasama yang memakai konsep demokrasi sebagai landasan
kinerja mereka.
Fareed Zakaria berpendapat bahwa demokratisasi tersebut secara sengaja
disebarkan oleh pihak tertentu dengan alasan keamanan. Dimana proses
demokratisasi merupakan tahapan untuk menciptakan stabilitas tertentu dan erat
kaitannya dengan isu keamanan yang mengancam pasca perang dunia, yaitu
permasalahan terorisme. Demokrasi diyakini dapat menjadi solusi untuk
meminimalisir terorisme.Karena terorisme dianggap sebagai hasil dari keputusasaan
kelompok masyarakat yang tidak dapat menyampaikan pendapatnya.Demokratisasi
tersebut diusung sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah keamanan tersebut
secara struktural. Melalui dua pendapat dari fukuyama dan Zakaria, dapat diketahui
bahwa Demokratisasi merupakan konsep yang sengaja diciptakan dan sengaja
diberlakukan dalam lingkup tertentu demi memenuhi kepentingan beberapa pihak
yang erat kaitannya dengan aspek ekonomi dan keamanan secara global.
Dapat disimpulkan bahwa konsep demokratisasi merupakan proses yang
terbuka dan tidak memiliki aturan yang pasti. Namun demokratisasi tersebut dapat
diukur melalui indikator-indikator tertentu sesuai dengan dampaknya terhadap
lingkup negara maupun masyarakat tertentu yang menerimanya dalam pandangan
yang berbeda-beda.Demokratisasi sulit untuk dihindari pada saat ini, terlebih semakin
9
terbukanya informasi dan globalisasi yang menjadikan semakin bergantungnya
seluruh masyarakat dunia terhadap situasi internasional.Tak dapat dipungkiri pula
bahwa demokratisasi tersebut diciptakan dengan tujuan tertentu untuk mencapai
tujuan yang diinginkan oleh pihak-pihak tertentu.
10
BAB III
PEMBAHASAN
a. Demokratisasi di Indonesia
Demokratisasi yang merupakan sebuah proses penyebaran atau pembangunan
mekanisme atas demokrasi, berlangsung di Indonesia sejak masa parlementer. Hal ini
ditandai dengan tumbuhnya komunitas yang mempresentasikan keterlibatan publik
dalam berbagai kegiatan politik.Namun, demokratisasi yang terselenggara di
Indonesia tidak berjalan dengan mulus atau lancar begitu saja.Di setiap masa
pemerintahan, sering terjadi banyak hal yang terkadang menghambat.Baik dari
internal maupun eksternal.
Selain itu, banyak sekali alasan yang melatarbelakangi terjadinya
demokratisasi. Di Indonesia, proses ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh sebuah
keinginan untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang adil dan makmur,
dalam suatu sistem pemerintahan yang berdaulat di tangan rakyat. Maksud dari
keinginan tersebut bukanlah secara sepenuhnya meletakkan otoritas di tangan rakyat,
namun rakyat direpresentasikan oleh wakil-wakilnya di badan legislatif dan parlemen
di tubuh birokrasi. Di samping keinginan tersebut yang melatarbelakangi
demokratisasi, Indonesia pun juga bercermin dari beberapa negara lain yang telah
menganut sistem ini lebih dulu. Kesimpulan bahwa negara dengan sistem demokrasi
cenderung lebih makmur juga menjadi alasan dibalik berlangsungnya proses
demokratisasi yang ada di Indonesia.
Selain hal-hal yang melatarbelakangi, demokratisasi juga dapat berlangsung
dengan adanya pemicu. Di Indonesia, pemicu terjadinya demokratisasi berupa
kesempatan yang ada untuk berubah dan kondisi politik dan ekonomi yang
memungkinkan untuk perubahan pada masa itu. Kondisi politik dan ekonomi yang
berlangsung di masa awal pasca kemerdekaan secara tidak langsung telah menjadi
pendorong akan terwujudnya demokratisasi.
11
Demokratisasi di Indonesia melibatkan beberapa masa transisi.Masa-masa
tersebut digolongkan pada tahap-tahap berupa, pengeroposan rezim lama, jatuhnya
rezim (prolog perubahan), pemilu pertama pasca jatuhnya rezim dan konsolidasi
demokrasi. Sebenarnya proses demokratisasi di Indonesia yang secara signifikan
dapat dikatakan sebagai permulaan yaitu di masa runtuhnya pemerintahan kolonial
Jepang. Hal tersebut dikatakan sebagai awal mula demokratisasi karena masa tersebut
merupakan masa pengeroposan rezim kolonial.
Setelah masa kolonial jepang berakhir atau rezim tersebut jatuh, Indonesia
melanjutkan transisi ke masa liberalisasi.Masa liberalisasi merupakan satu masa yang
termasuk ke dalam tahapan perwujudan demokrasi, sebab masa ini merupakan sebuah
prolog atas perubahan.Prolog perubahan yang paling signifikan terjadi di Indonesia
ditandai dengan reformasi konstitusi.Pada masa ini telah dihasilkan Piagam Jakarta
dan UUD 1945.Namun analisis terhadap berbagai konstitusi yang dibuat oleh bangsa
ini cenderung secara tidak sadar hanya berupa reformasi konstitusi yang maju secara
prosedural, namun tertinggal secara substansial.
Dari tahap kedua tersebut, Indonesia kembali bertransisi.Transisi
demokratisasi di Indonesia dilanjutkan dengan masa dimana terjadi keberlangsungan
pemilihan umum pasca jatuhnya rezim.Pemilu pertama yang ada di Indonesia
berlangsung pada tahun 1955.Sebelumnya, tidak ada pemilu.Sekalipun telah melalui
masa jatuhnya rezim pasca kemerdekaan di tahun 1945, pemilihan umum pertama
baru ada di tahun 1955.Pemilu pada masa parlementer ini diatur dalam UU
No.7/1983 atas pemilihan umum berasaskan langsung, umum, bebas dan rahasia.
Pemilu pada tahun ini dilangsungkan pada tanggal 29 September untuk
memilih 257 anggota DPR dan 15 Desember untuk memilih 520 anggota
konstituante. Pemilu berlangsung dengan sistem proporsional, ditanggungjawab oleh
pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman.Pemilu tersebut
seakan-akan menandai transisi Indonesia menuju negara dengan sistem
demokratisasi.
Setelah melalui tahap transisi tersebut, harusnya secara otomatis Indonesia
dapat melanjutkan sistem pemerintahannya menuju demokrasi yang
12
terkonsolidasi.Namun hal tersebut tidak terjadi.Peralihan masa dari parlementer ke
presidensial, hingga beralih ke rezim yang dikatakan sebagai demokrasi terpimpin,
menunjukkan adanya degradasi pemerintahan di Indonesia.Rezim Soekarno yang
berlanjut ke rezim Soeharto cenderung menunjukkan rezim otoriter, bukan malah ke
arah demokrasi.Hal itu ditandai dengan lemahnya fungsi legislatif terhadap eksekutif,
peran politik militer yang meluas ke aspek-aspek birokrasi, monopoli pemerintah
terhadap pemilu dan adanya fusi partai politik di era Soeharto.Tidak hanya itu, namun
asas perlindungan HAM pun di masa Orde Baru tidak dilindungi.Kebebasan publik
untuk menyampaikan aspirasi dan pendapatnya sangat-sangat dibatasi oleh
pemerintah.Sehingga, pada masa itu banyak sekali tahanan atau narapidanan politik.
Terlepas dari rezim Orde Lama dan Orde Baru yang sejatinya ingin
mewujudkan demokrasi namun cenderung mengarah ke otoriter, dilanjutkan dengan
suatu masa pemerintahan yang disebut Era Reformasi. Era ini diawali dengan
kejatuhan rezim Soeharto, dilanjutkan dengan pemerintahan oleh B.J Habibie.Di
masa ini, terjadi progress terhadap demokratisasi.Beberap hak publik oleh pemerintah
menjadi dilindungi dan tidak dibatasi seperti di masa Orde Baru.Hak tersebut salah
satunya berupa hak untuk ikut berpolitik dalam wujud parpol.Reformasi tidak
membatasi jumlah partai politik yang ada.
Namun kecenderungan yang terjadi karena tidak adanya pembatasan tersebut
berujung dengan timbulnya kelemahan-kelemahan parpol.Kelemahan tersebut berupa
ideologi partai yang tidak operasional.Hal itu berimplikasi pada sulitnya masyarakat
luas untuk mengidentifikasi pola dan arah kebijakan publik yang diperjuangkan
melalui partai tersebut. Sehingga antara satu partai dan partai lain, terkadang sulit
untuk dibedakan. Tidak hanya itu, namun secara internal pun organisasi kepartaian
yang ada dinilai secara umum tidak demokratis dan sering memunculkan
pertikaian.Akibatnya beberapa partai politik yang ada pun kurang bertanggungjawab
kepada publik.
Di sisi lain, contohnya penyelenggaraan pemilu di tahun 1999, demokratisasi
terus berkembang. Pada masa reformasi ini, keberlangsungan pemilu lebih
demokratis.Dikatakan demikian karena meskipun terjadi beberapa pelanggaraan yang
13
ada, namun pelanggaran bersifat lebih ke teknis.Tidak seperti di masa Orde Baru
yang pelanggarannya terjadi secara sistematis.
Beralih ke abad dua puluh satu kini, perkembangan demokratisasi di
Indonesia semakin dirasakan progressnya. Ditandai dengan adanya amandemen
terhadap konstitusi, pemilihan presiden langsung pada tahun 2004 dan 2009, pilkada
langsung yang lebih demokratis dan beberapa aspek lainnya dalam birokrasi yang
semakin maju dan terdepan. Amandemen terhadap konstitusi memuat lebih banyak
pengakuan atas hak asasi manusia. Perlindungan atas hak-hak sipil pun juga semakin
dijunjung tinggi di Indonesia, meski belum sepenuhnya dirampungkan.
Selanjutnya, dampak demokratisasi yang ada di Indonesia sejauh ini dapat
dilihat dari masyarakat dan hubungan antar lembaga.Dari sisi masyarakat, sejauh ini
demokratisasi berdampak pada maraknya opini publik yang ada.Selain itu,
masyarakat pun juga meyakini bahwa demokrasi merupakan jalan yang paling tepat
untuk mencapai cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia.
Dari sisi hubungan antar lembaga negara, demokratisasi berimplikasi pada
lembaga eksekutif dan legislatif yang lebih dinamis.Ditambah penguatan legitimasi
presiden melalui pemilihan umum yang diadakan langsung.Legislatif pun
memperoleh kekuasan yang signifikan.Pemilu langsung tersebut membuat jarak
politik antara publik dan presiden menjadi lebih dekat, sehingga publik dapat merasa
bahwa mereka memiliki hak menagih janji presiden dan mengawasi kerjanya. Di sisi
lain, lembaga yudikatif pun memiliki kekuasaan yang lebih otonom dan lebih besar
dari sebelumnya.
Harapan seluruh elemen bangsa Indonesia atas demokratisasi yang
berlangsung hingga kini yaitu agar pada akhirnya bangsa ini mampun berada pada
tahapan masyarakat dengan sistem demokrasi yang terkonsolidasi. Hal itu
dimaksudkan karena dengan terselenggaranya demokrasi yang terkonsolidasi, maka
akan menjamin sepenuhnya HAM, menjamin kebebasan pribadi, melindungi
kepentingan pokok setiap orang, mendorong setiap individu atas tanggung jawab
moral, membantu perkembangan kadar persamaan politik dan mengutamakan
tercapainya perdamaian. Namun sekalipun demikian apabila di analisis melalui
14
pendekatan sistem, sebenarnya demokratisasi yang terjadi di Indonesia cenderung
bergerak tanpa arah yang jelas.Demokratisasi di Indonesia memang membuat banyak
sekali perubahan, namun tidak serta-merta memperbaiki kualitas hidup bernegaranya.
b. Demokratisasi di Myanmar
Myanmar adalah negara kesatuan dan terletak di Asia Tenggara. Myanmar
berbatasan langsung dengan Thailand dan Laos di bagian Timur, RRC di bagian
Utara serta Bangladesh, India dan Teluk Benggala di sebelah Barat.Wilayah
Myanmar terdiri dari 7 state ( berdasarkan etnik grup mayoritas ) dan 7 division
( berdasarkan heterogenitas ) yang terbagi atas berbagai township yang kemudian
terbagi lagi atas ward atau village. Penduduk Myanmar sejumlah besar adalah warga
China yang berasal dari suku Mongoloid.Selebihnya merupakan imigran India,
Pakistan dan sejumlah kecil orang Eropa.Yangon yang merupakan ibukota Myanmar
selain menjadi pusat pemerintahan, merupakan pelabuhan utama, pusat perdagangan
danindustri serta induk jaringan transportasi dan komunikasi Negara Myamar.
Myanmar atau disebut juga Burma adalah salah satu Negara di Asia Tenggara
yang memiliki sejarah pemerintahan yang rumit terutama dalam mempelajari
demokratisasi di Myanmar. Demokratisasi di Myanmar tentu tidak dapat terlepas dari
pembahasan Junta Militer yang berkuasa. Junta militer telah berkuasa di Myanmar
yaitu sejak terjadinya kudeta militer yang dipelopori oleh Jenderal Ne Win terhadap
pemerintahan sipil yang pada saat itu.Pemerintahan sipil pada saat itu dipimpin oleh
U Nu pada tahun 1962.
Junta Militer merupakan bentuk kekuasaan yang dipegang oleh militer di
dalam birokrasi pemerintahan suatu negara. Junta militer biasanya dipegang oleh
penguasa tertinggi yakni seorang perwira atau pejabat tinggi militer yang mempunyai
kekuasaan besar atas segala bidang. Semenjak junta militer memegang kuasa
pemerintahan, banyak terjadi pergolakan dan pemberontakan diantara rakyat
Myanmar itu sendiri yang dipelopori oleh mahasiswa, masyarakat dan tokoh agama
(biksu). Para demonstran ini mengecam kekuasaan yang dipimpin oleh militer pada
15
pemerintahan yang seharusnya dilaksanakan oleh sipil.Aksi penolakan ini disikapi
dengan kekerasan oleh pemerintah militer yang tidak sedikit memakan korban.
Demonstrasi yang terjadi pada tahun 1988 di Myanmar merupakan awal
proses demokratisasi di Myanmar. Dalam pengertiannya, Demokratisasi merupakan
proses pembangunan mekanisme demokrasi. Aksi demonstrasi yang disebut generasi
88 ini menuntut sistem demokrasi dilaksanakan di negara Myanmar.Demonstrasi
tersebut berhasil membuat Jenderal Ne Win sebagai pemimpin junta militer
mengundurkan diri.Pengunduran diri tersebut meninggalkan 3.000 lebih korban jiwa
akibat tindakan kekerasan dari pemerintah.
Dengan pengunduran diri Jenderal Ne Win bukan berarti kekuasaan junta
militer berakhir.Kekuasaan tersebut digantikan oleh Jenderal Maung Maung.
Meskipun masih berlatar belakang militer, namun kebijakan jenderal Maung Maung
dinilai cenderung lebih bersifat demokratis.Hal tersebut menjadi sebuah ancaman
bagi kekuasaan junta militer di kursi pemerintahan, sehingga pada akhirnya terjadi
kudeta untuk kedua kalinya oleh Jenderal Saw Maung pada 19 September 1988.
Junta militer dibawah kepemimpinan Jenderal Saw Maung berstatus
sebagai State Law and Order Restoration Council (SLORC). Dibawah kepemimpinan
Saw Maung, kebijakan yang dikeluarkan cenderung membawa perubahan bagi
Myanmar dan dinilai lebih terbuka dengan negara lain terutama dalam bidang
ekonomi dan militer. Namun pada 23 April 1992, Saw Maung mengundurkan diri
dari jabatannya sebagai kepala negara sekaligus pemimpin SLORC dan digantikan
oleh Jenderal Than Shwe. Diawal kepemimpinannya, Jenderal Than Shwe merubah
nama State Law and Order Restoration Council menjadi State Peace and
Development Council (SPDC).
Kepemimpinan Jendral Shwe sangat otoriter dan memunculkan persoalan
sosial yang sangat rumit, dimana SPDC melancarkan suatu program bernama Union
Solidarity and Development Association(USDA), yang berisikan bahwa pegawai
negeri di Myanmar diharuskan untuk memberikan dukungan kepada pemerintah
SPDC. Pada tahun 2005, SPDC pun semakin menjadi-jadi dengan melancarkan
16
serangan kepada siapa-siapa saja yang dianggap sebagai musuh politiknya.Siapapun
yang diluar dari kelompok militer dianggap sebagai musuh negara. Yang dimaksud
sebagai musuh negara oleh SPDC adalah suatu partai yang bernama League for
Democration (NLD) yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, Mahasiswa “Gerakan
88”, kelompok etnis non-Burma, kaum Muslim, dan juga para pebisnis.
Tindakan kekerasaan junta pun banyak disorot oleh Media Internasional
terutama pada saat gerakan protes oleh para bhiksu di Yangon pada 19 Agustus 2007
juga menyusul kenaikan tajam harga pangan dan bahan bakar di negara Myanmar
yang dianggap sebagai negara miskin.
Dalam pergerakan yang dilakukan oleh rakyat Myanmar untuk melepaskan
diri dari junta militer tidak lepas dari tokoh penggerak yang bernama Aung San Suu
Kyi yaitu tokoh pro demokratis perempuan di Myanmar. Karir Politik Aung San Suu
Kyi diawali karena rasa kecewa terhadap junta militer yang melakukan kekerasan dan
pembunuhan kepada para demonstran pada tanggal 15 Agustus 1988.Setelah itu,
Aung San Suu Kyi memutuskan untuk turun ke dalam aksi politik dengan
mengirimkan surat terbuka kepada pemerintah dan meminta untuk membentuk
sebuah komite independen untuk mempersiapkan pemilu dengan sistem
multipartai.Namun, pada tanggal 20 Juli 1989 Aung San Suu Kyi mendapatkan
hukuman sebagai tahanan tanpa tuduhan ataupun pengadilan oleh pemerintah.Aung
San Suu Kyi tetap berada dalam tahanan dalam beberapa waktu, walaupun saat itu
Aung San Suu Kyi mendapatkan tawaran untuk dibebaskan oleh junta militer apabila
dia mau meninggalkan karir politik dan bersedia pergi meninggalkan
Myanmar.Proses Demokratisasi di Myanmar menjadi sangat dilematis ketika tokoh
yang dianggap dapat merubah Myanmar menjadi negara demokratis ditahan oleh
junta militer yang otoriter.
Namun, proses demokratisasi di Myanmar tidak serta merta terjadi karena
kekuatan internal negara dan beberapa tokoh demokrasi di Myanmar saja. Selain itu,
adanya peran negara lain ( Amerika Serikat) dan juga organisasi kerjasama regional
17
Asia Tenggara (ASEAN) dalam proses demokratisasi di Myanmar juga kuat dalam
mendorong demokratisasi terutama dalam aspek ekonomi.
Pemerintah Amerika Serikat melakukan Embargo sebagai desakan di bidang
ekonomi.Embargo yang dilakukan dengan menerapkan Coercive Diplomacy AS
terhadap junta militer Myanmar yang dimulai pertama kali pada akhir April 1997
(Endy Haryono, 1997). Embargo yang dimaksud adalah berupa penghentian segala
macam investasi AS yang akan masuk ke Myanmar.
Amerika Serikat ikut campur dengan konflik yang terjadi di Myanmar karena
permasalahan yang terjadi yaitu kekerasan yang dilakukan junta militer telah
melanggar HAM dan demokrasi.Sanski Amerika Serikattersebut lalu dibuat ke dalam
Undang-Undang khusus tentang Myanmar dan dianggap sebagai tekanan paling keras
dari Amerika Serikat.Undang-Undang itu berlaku pada bulan September 2003.
Dalam Undang-Undang tersebut antara lain ditetapkan bahwa Amerika Serikatakan
menutup pasarnya terhadap segala produk Myanmar. Selanjutnya, Undang-Undang
tersebut akan mengancam 300 industri tekstil Myanmar dan jauh lagi mengancam
nasib 350.000 pekerja.
Selain di bidang ekonomi, pemerintah Amerika Serikat juga melakukan
desakan kepada pemerintah Myanmar dengan memberikan sanksi larangan visa untuk
lebih dari 30 anggota juanta militer Myanmar beserta keluarga mereka dan
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat lebih jauh telah memperingatkan larangan
visa tambahan akan diberlakukan terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas
berlanjutnya serangan-serangan terhadap warga sipil tidak berdosa.
Dari berbagai macam tindakan yang dilakukan Amerika Serikat terhadap
Myanmar telah memberikan dampak yang luas terhadap kehidupan sosial dan
ekonomi.Sehingga pemerintah junta militer tidak dapat lagi mengelak dengan
besarnya tekanan-tekanan dari Amerika Serikat. Bahkan masyarakat internasional
pun akhirnya memperlakukan hal yang sama seperti Amerika Serikat. Pada Akhirnya
pemerintah junta militer mengikuti permintaan masyarakat internasional agar
18
Myanmar demokratis.Namun, Myanmar meminta kepada masyarakat internasional
untuk memberikan waktu kepada negaranya dalam mereformasi keadaan politik
internalnya dan berusaha menghidupkan situasi demokratis dalam kehidupan
internalnya.Hal tersebut terbukti dengan pemerintah junta militer menggelar pemilu
pada tahun 2010.Setelah pemilu diselenggarakan, rezim baru yang lebih demokratis
terpilih dengan pemimpinnya Thein Sein.
Selain Amerika Serikat, peran organisasi kerjasama regional Asia Tenggara
yaitu dalam hal ini ASEAN sangat membantu. ASEAN telah banyak memainkan
peran penting dalam mewujudkan proses demokratisasi bagi negara-negara
anggotanya dalam hal ini adalah negara Myanmar. Prinsip non-interference yang
dijunjung ASEAN lebih menekankan pada pendekatan diplomatik dan
kekeluargaan.ASEAN sendiri lebih menempatkan diri sebagai forum untuk
mendiskusikan masalah-masalah yang terjadi.Salah satu upaya ASEAN adalah
menggelar The ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus (AIPMC), komisi
khusus yang dibentuk untuk menangani isu Myanmar. ( www.setkab.go.id )
Akibat dari adanya keinginan internal dan bantuan dunia internasional, proses
demokratisasi di Myanmar, telah menghasilkan 3 hal positif. Pertama, perubahan
dalam iklim politik. Dulu junta militer itu menangkap aktivis-aktivis politik yang
dianggap membahayakan, setelah demokratis tahanan-tahanan politik sejumlah
20.000 ribu orang dibebaskan dan League for Democration yang dianggap partai
terlarang kini masuk ke kancah politik Myanmar. Kedua, catatan HAM di Myanmar
menjadi baik.Pemerintah telah menjamin promosi hak-hak asasi manusia dengan
membentuk komisi HAM.Ketiga, dahulu buruh tidak bebas untuk menuntut
kesejahteraan, namun setelah demokrasi kesejahteraa buruh terjamin bahkan
diberikan kebebasan untuk mendirikan serikat pekerja dan kebebasan untuk
melakukan unjuk rasa.(www.sindonews.com)
19
c. Demokratisasi di Perancis
Revolusi Perancis adalah proses dimana negara Perancis beralih dari
pemerintahan monarki yang absolut menjadi pemerintahan republik yang demokratis.
Demokrasi Perancis yang sekarang mereka punyai (Republik ke-5) adalah hasil
perjalanan panjang (sekitar 160 tahun) bangsa ini dengan segala pasang
surutnya. Revolusi Perancis merupakan sebuah masa peralihan politik dan sosial
dalam sejarah Perancis.Pada saat itu, kaum demokrat dan para pendukung
republikanisme bersatu menjatuhkan sistem pemerintahan monarki (kerajaan)
abosolut, yang dianggap terlalu kaku dan memberikan keistimewaan berlebih pada
keluarga kerajaan dan golongan bangsawan. Raja Louis XVI (pemimpin negara saat
itu) misalnya, bisa hidup mewah dan menghambur-hamburkan dana kerajaan,
sementara sebagian besar rakyatnya hidup miskin. Singkat kata, rakyat menghendaki
pemerintahan yang memerhatikan hak-hak mereka.Dalam Revolusi Perancis, mereka
menggunakan slogan "Persamaan, Kebebasan, dan Persaudaraan" (Liberte, Egalite,
Fraternite).
Di tengah-tengah krisis keuangan yang melanda Perancis, Louis XVI naik
takhta pada tahun 1774. Pemerintahan Louis XVI yang tidak kompeten semakin
menambah kebencian rakyat terhadap monarki. Didorong oleh sedang
berkembangnya ide Pencerahan dan sentimen radikal, Revolusi Perancis pun dimulai
pada tahun 1789 dengan diadakannya pertemuan Etats-Généraux pada bulan
Mei.Etats-Généraux (wakil rakyat dari berbagai golongan) terbagi menjadi tiga
golongan (etats): pendeta (Etats Pertama), kaum bangsawan (Etats Kedua), dan
sisanya adalah rakyat biasa Perancis (Etats Ketiga). Pada 10 Juni 1789, Abbé
Sieyès,Etats Ketiga, mengikuti pertemuan sebagai Communes(Rakyat Biasa). Ia
mengajak dua etats lainnya untuk ikut serta, namun ajakannya ini tidak
diindahkan. Etats Ketiga yang sekarang menjadi lebih radikal mendeklarasikan diri
sebagai Majelis Nasional, majelis yang bukan berasal dari etats, namun dari golongan
"Rakyat". Mereka mengajak yang lainnya untuk bergabung, namun menegaskan
20
bahwa "dengan atau tanpa bantuan, mereka tetap akan mengatasi permasalahan
bangsa."Dalam upayanya untuk tetap mengontrol dan mencegah Majelis mengadakan
pertemuan, Louis XVI memerintahkan penutupan Salle des États, tempat Majelis
biasanya mengadakan pertemuan. Di saat yang bersamaan, cuaca tidak
memungkinkan Majelis untuk menggelar pertemuan di luar ruangan, sehingga
Majelis pada akhirnya memindahkan pertemuan mereka ke sebuah
lapangan tenis dalam ruangan. Di tempat ini, mereka mengambil “Sumpah Lapangan
Tenis” pada 20 Juni 1789, yang menyatakan bahwa Majelis tidak akan berpisah
hingga mereka bisa memberikan sebuah konstitusi bagi Perancis.
Setelah Sumpah Lapangan Tenis berlangsung, pada tanggal 14 Juli, para
pemberontak mengincar sejumlah besar senjata dan amunisi di benteng dan
penjara Bastille, yang juga dianggap sebagai simbol kekuasaan monarki. Setelah
beberapa jam pertempuran, benteng jatuh ke tangan pemberontak pada sore harinya.
Meskipun terjadi gencatan senjata untuk mencegah pembantaian massal.Pada tanggal
4 Agustus 1789, Majelis Konstituante Nasional menghapuskan feodalisme (meskipun
pada saat itu telah terjadi pemberontakan petani yang hampir mengakhiri feodalisme).
Keputusan ini dituangkan dalam dokumen yang dikenal dengan Dekrit Agustus, yang
menghapuskan seluruh hak istimewa kaum Estate Kedua dan hak dîme(menerima
zakat) yang dimiliki oleh Estate Pertama. Hanya dalam waktu beberapa jam,
bangsawan, pendeta, kota, provinsi, dan perusahaan kehilangan hak-hak istimewanya.
Pada tanggal 26 Agustus 1789, Majelis menerbitkan Deklarasi Hak Asasi
Manusia dan Warga Negara, yang telah menjadi tanda bahwa demokratisasi sedang
berlalngsung dengan diterbitkannya konstitusi baru ini.Dipicu oleh rumor telah
diinjak-injaknya simpul pita nasional saat penerimaan pengawal Raja pada tanggal 1
Oktober 1789Mars perempuan di Versaillesterjadi, kerumunan perempuan mulai
berkumpul di pasar Paris pada tanggal 5 Oktober 1789. Kerumunan pertama berbaris
menuju Hôtel de Ville, menuntut agar pejabat kota segera menindak permasalahan
mereka. Para perempuan ini mencurahkan segala permasalahan ekonomi yang
mereka hadapi, terutama masalah kekurangan roti. Mereka juga menuntut agar
21
kerajaan menghentikan upayanya dalam memblokir Majelis Nasional, dan
menyerukan agar Raja dan keluarganya segera pindah ke Paris sebagai bentuk itikad
baik dalam mengatasi kemiskinan yang semakin meluas.Beberapa tahun kedepannya,
Revolusi Perancis didominasi oleh perjuangan kaum liberal dan sayap kiri pendukung
monarki yang berupaya menggagalkan reformasi.
Revolusi Perancis mencapai puncaknya pada masa Reign of Terror di bawah
Robespierre (1793-94). Kekisruhan itu telah membawa sebelas ribu orang ke
guillotine, termasuk Raja Louise XVI dan permaisurinya Marie Antoinette, dan
akhirnya juga Robespierre sendiri. Kuasa legislatif di republik baru jatuh ke
Konvensi, sedangkan kekuasaan eksekutif jatuh ke sisanya di Komite Keamanan
Umum.Konvensi menyetujui "Konstitusi Tahun III" yang baru pada tanggal 17
Agustus 1795; sebuah plebisit meratifikasinya pada bulan September; dan mulai
berpengaruh pada tanggal 26 September 1795.Konstitusi baru itu
melantik Directoire (bahasa Indonesia: Direktorat) dan menciptakan legislatur
bikameral pertama dalam sejarah Perancis. Parlemen ini terdiri atas 500 perwakilan
(Conseil des Cinq-Cents/Dewan Lima Ratus) dan 250 senator (Conseil des
Anciens/Dewan Senior). Kuasa eksekutif dipindahkan ke 5 "direktur" itu, dipilih
tahunan oleh Conseil des Anciens dari daftar yang diberikan oleh Conseil des Cinq-
Cents.
Régime baru bertemu dengan oposisi dari Jacobin dan royalis yang tersisa.
Pasukan meredam pemberontakan dan kegiatan kontrarevolusi. Dengan cara ini
pasukan tersebut dan jenderalnya yang berhasil, Napoleon Bonaparte memperoleh
lebih banyak kekuasaan.Di bawah Napoleon ketertiban ditegakkan kembali. Begitu
puasnya rakyat, hingga setelah diadakan plebisit pada 1802 Napoleon diangkat
sebagai Konsul Seumur Hidup. Hasil plebisit: 3,568,885 setuju dan hanya 8,374 tidak
setuju. Perkembangan selanjutnya lebih menarik lagi.Setelah dilakukan sebuah
plebisit lagi pada 1804 Napoleon Bonaparte diangkat menjadi Kaisar Perancis. Hasil
plebisit: 3,572,329 setuju, hanya 2,759 tidak setuju. Dibawah Napoleon ketertiban
22
dan, untuk beberapa waktu, kejayaan kembali ke Perancis.Tetapi cita-cita Revolusi,
yaitu Republik dan Demokrasi, meninggalkannya.
d. Demokratisasi di Iraq
Sebagai pusat peradaban dunia di masa lampau kiranya Irak atau dulu lebih
dikenal sebagai peradaban mesopotamia memiliki sejarah yang panjang dan masyhur
dalam pemerintahan dan sistem ketatanegaraan. Pada abad ke-20 Irak tersekam oleh
belenggu pemerintahan yang otoriter dan represif, di mana salah satu rezim yang
tersohor kala itu adalah rezim partai Ba’ath pimpinan Saddam Husein yang kurang
lebih tiga dasawarsa menampuk kepemimpinan dengan tangan besi. Namun kini,
setelah upaya demokratisasi yang dilakukan Amerika dan sekutunya di bawah
komando Bush junior dalam bentuk invasi militer untuk menggulingkan Saddam
Husein yang dinilai otoriter ke negeri kelahiran Saladin sang penakluk Jerussalem itu
telah membuahkan petaka yang berlarut, meski setelah itu Irak memiliki institusi dan
instrumen kenegaraan yang sarat dengan demokrasi prosedural yang alpha saat
rezim Saddam. Memang membangun demokrasi tidaklah semudah mencoret tinta di
atas kertas putih, membangun demokrasi merupakan pekerjaan seni yang tidak dapat
sepenuhnya mengandalkan pada pencangkokan institusi demokrasi ( Trias
Kuncahyono, 2005).
Sebenarnya demokrasi bukanlah sesuatu yang tidak mungkin dibangun di Irak
meskipun sebagian akademisi menganggap kultur Iran yang terlanjur terbiasa
diperintah opresif tidak cocok dengan demokrasi. Kendati demikian, institusi
demokrasi tidak sepenuhnya asing bagi Irak.Di bawah monarki Heshemit (1921-
1958) Irak menganut sistem parlementer, seperti di Inggris.Partai politik bekerja
dengan baik, termasuk berperan sebagai oposisi.Perdebatan di parlemen seringkali
menarik dan mencerminkan pluralisme, toleransi, serta seni akomodasi. Bahkan lebih
jauh menengok ke sejarah mesopotamia, Irak atau saat itu peradaban mesopotamia
telah mengenal beberapa bentuk dan substansi demokrasi. Kajian Raul Manglapus,
misalnya, menunjukan betapa kedaulatan rakyat lebih dikenal ribuan tahun silam,
sebagaimana terlihat dari keberadaan karum sahir rabi di Assyiria atau puhrum di
23
Babylonia, keduanya merupakan majelis rakyat. Saat itu pula raja yang menempati
singgasana setelah melalui pemilihan umum memerintah bersama dengan “parlemen”
dan memperoleh pensiun ketika tidak terpilih setelah memegang tampuk keuasaan
selama tujuh tahun (Raul S. Manglapus, 1987).Hal tersebut membentuk cetak biru
untuk Irak yang demokratis.
Pada tanggal 19 Maret tahun 2003 Amerika beserta sekutunya Inggris ,
Australia, dan Polandia melancarkan serangan militernya ke bumi Irak. Berbagai
alasan dikemukakan AS untuk mencari pembenaran atas invasi militernya ke Irak.
Menteri pertahanan AS Donald Rumsfeld kala itu meyakinkan publik dan dunia
bahwa intervensi tersebut adalah untuk mengakhiri pemerintahan Saddam yang
otoriter dan membantu irak transisi menjadi negara yang demokratis; menemukan dan
menghancurkan senjata pemusnah masal yang ditudukan kepemilikanya kepada
Saddam Husein; menghancurkan jaringan teroris yang diduga dilindungi oleh rezim
Saddam. Hal tersebut juga didasari oleh doktrin Bush “anticipatory self defense”
yang percaya bahwa serangan ofensif diperlukan untuk menghancurkan terorisme dan
negara-negara yang berpotensi mengancam dunia atau lebih mengancam kepentingan
AS itu sendiri seperti Irak, Iran, dan Korea Utara yang kala itu Bush kategorikan
sebagai negara poros setan. Selain itu AS juga percaya bahwa Irak yang demokratis
akan menjadi mercusuar bagi negara timur tengah lainya untuk mengikuti jejak
serupa atau lebih dikenal dengan teori efek domino.
Namun hingga kini tuduhan AS tersebut tidak terbukti, tidak pernah
ditemukan keberadaan senjata pemusnah masal tersimpan dalam bumi Irak.Tidak
pernah terjadi serangan menggunakan senjata pemusnah masal yang dilakukan
tentara Irak kala itu terhadap pasukan koalisi yang menginvasi Irak. Selain itu juga
tidak pernah terbukti Saddam terlibat dalam tragedi 9/11 atau terafiliasi dengan Al-
Qaedah pimpinan Osama bin Laden. Hal ini semakin membenarkan dugaan publik
dunia bahwa invasi AS sarat akan kepentingan politik dalam negeri negara adi kuasa
tersebut seperti perluasan akses dan eksplorasi terhadap kilang minyak irak dan
menyetir arah pemerintahan Irak yang baru setelah Saddam tumbang. Dan alih-alih
24
demokratisasi hanya menjadi propoganda manis untuk membujuk masyarakat dunia
dan Irak khususnya terhadap invasi AS.
Memang rezim Saddam Husein bukanlah tipe pemerintah ideal yang
melindungi hak-hak warga negaranya.Saddam yang beraliran Sunni dengan tangan
besi menyingkirkan dengan kejam lawan-lawan politisnya terutama dari kalangan
Syiah dan membuat partai Ba’ath miliknya menjadi partai tunggal yang mendominasi
pemerintahan.Selain itu Saddam juga dengan tanpa ampun mencoba melakukan
genosida dengan menggunakan senjata kimia terhadap suku Kurdi yang
memberontak di Irak utara yang menyebabkan ratusan nyawa Kurdi melayang saat
itu pula.Begitu pula nasib kalangan Syiah yang merupakan penduduk mayoritas di
Irak juga kurang lebih mengalami nasib serupa. Demokrasi di Irak mungkin tidak
penting bagi rezim Saddam yang mungkin penting menurutnya adalah membuat Irak
yang terdiri dari kelompok yang sangat sektarian dan terpisah-pisah baik secara
agama, mahzab, dan etnis tetap utuh dan stabil di bawah represi tiraninya.
Namun, invasi militer Amerika terhadap Irak dalam rangka promosi
demokrasi juga tidak dapat dibenarkan, selain melanggar hukum internasional, hal
tersebut juga bertentangan dengan esensi nilai demokrasi yang menurut pakar
demokrasi Robert A. Dahl dan Henry B. Mayo demokrasi seharusnya meminimalisasi
penggunaan kekerasan dalam penyelesaian masalah sebisa mungkin. Selain itu
produk dari demokratisasi paksa Irak yang hanya didukung oleh sebagian rakyat Irak,
yakni dari kalangan Kurdi telah memakan ribuan jiwa yang tak berdosa dari
penduduk sipil Irak, menurut The Iraq Body Count tercatat 16.532 warga sipil Irak
tewas karena invasi tahun 2003 tersebut. Boleh jadi kenyataan lapangan lebih buruk
dari numerisasi data-data tersebut.Yang lebih mengerikan lagi setelah Baghdad jatuh
pada hari Rabu 9 April 2003, penjarahan terjadi dimana-mana kelompok-kelompok
milisi bermunculan menebar teror. Mereka menyerang pasukan pendudukan dengan
berbagai cara termasuk bom bunuh diri. Kelompok tersebut terpecah-pecah
berdasarkan etnis dan mazhab agama yang berbenturan kepentingan satu sama lain.
Hal tersebut memunculkan pesimisme di antara banyak kalangan baik
akademisi maupun politisi akan jadi seperti apakah Irak pasca Saddam Husein.
25
Banyak kalangan meyakini demokrasi yang dibawa Amerika melalui invasi tidak
mungkin tumbuh di Jazirah Irak. Barangkali demokrasi bukan tidak mungkin akan
tumbuh, mungkin yang lebih tepat sulit untuk membentuk Irak yang demokratis
( Trias Kuncahyono, 2005). Selain karena trauma dan kultur masyarakat Irak yang
telah diuraikan di atas, kenyataan lapangan berupa ketidakharmonisan hubungan
antar warga irak yang tersegregasi oleh garis batas primordial berupa etnis dan
mazhab agama semakin mempertebal dinding penghalang untuk membangun
demokrasi yang baik. Konflik dan persaingan antara Islam Syiah dan Islam Sunni
ditambah kelompok Etnis kurdi yang terus mencoba memisahkan diri dari Irak seolah
mengamini pemikiran bahwa demokrasi bukan untuk Irak.
Kelompok perlawanan sektarian yang berafiliasi mahzab agama maupun etnis
mulai tumbuh subur semenjak rezim Saddam tumbang.Mereka menyerang pasukan
pendudukan, otoritas sementara koalisi dan warga sipil yang berafiliasi dengan
tentara pendudukan juga menjadi sasaran mereka, bahkan masyarakat yang tidak ada
hubunganya pun kerap menjadi korban teror oleh pasukan milisi ini. Masjid kaum
Syiah diledakan demikian pula kantor PMI Internasional. Laporan Jihad Unspun yang
diberi judul An Insiders Look At, the Iraqi Resistance, 7 Oktober 2004, menyebutkan
sebagian besar pejuang dimotivasi oleh agama dan nasionalisme.Menurut Sammir
Haddad dan Mazam Ghazi dalam sebuah artikel yang berjudul An Inventory of Iraqi
Resistance Group, membagi kelompok milisi menjadi tiga kelompok besar.Pertama,
kelompok perlawanan Sunni yang bertujuan mengusir pendudukan.Kedua, kelompok
perlawanan Syiah yang bertujuan mengusir tentara pendudukan juga. Ketiga, faksi-
faksi yang dalam perjuanganya memiliki cara penculikan dan pembunuhan keji. Di
antara kelompok ketiga terdapat kelompok Abu Muhzab Al-Zarqawi yang kepalanya
dipatok ratusan juta dolar oleh Amerika karena keterlibatanya dalam teror 9/11 dan
video aksi pemenggalan kepala yang dia lakukan atas warga negara Amerika
bernama Nick Berg sebagai balasan atas kejadian di penjara Abu Ghraib. Hal ini
menyiratkan seolah-olah warga Irak harus membayar pembebasan dari tirani Saddam
dengan darah dan kekerasan yang baru, bak keluar dari mulut harimau masuk ke
mulut buaya.
26
Saat itu pemerintah gedung putih menunjuk kantor bagi bagian rekonstruksi
dan kemanusiaan (Office for Reconstruction and Humanitarian Resistance/ ORHA)
sebagai caretaker pemerintah Irak sampai terbentuknya pemerintah sipil pada tanggal
18 Juni 2004. Pada tanggal 13 Juli 2003 ORHA dibawah Paul Bremer menyetujui
pembentukan dewan sementara Irak untuk menjamin bahwa kepentingan rakyat Irak
terwakili. Dewan Pemerintahan Sementara ini beranggotakan 25 orang, yang terdiri
atas 13 orang wakil dari Arab Syiah, 5 Arab Sunni, 5 Kurdi Sunni, 1 Etnis dari
kelompok Turkoman, dan 1 orang dari Kristen Assiriah. Pembentukan Dewan
Pemerintahan Sementara itu juga merupakan langkah awal bagi lahirnya
pemerintahan baru di Irak semenjak jatuhnya Saddam Husein. Pada tanggal 1
September 2003 Dewan Pemerintahan Sementara membentuk kabinet pertamanya
dan pada tanggal 30 Juli 2003 memilih presiden pertamanya, yakni Ibrahim Jaafari.
Posisi presiden akan dirotasi di antara sembilan anggotanya dengan masa jabatan
masing-masing satu bulan.
Tanggal 15 November 2003, Jalal Tabani yang kemudian menjadi Presiden
Dewan Pemerintahan Sementara dan Bremer serta David Richmond selaku wakil dari
CPA, bersepakat mengenai jadwal dan program untuk membuat rancangan konstitusi
baru dan pelaksanaan umum berdasarkan konstitusi tersebut.Pemilihan umum mutlak
diperlukan kala itu untuk mengembalikan kedaulatan kepada rakyat Irak.Harapan
tersebut tidak sepenuhnya menjadi kenyataan.Kondisi lapangan Irak setelah
runtuhnya Saddam dipenuhi oleh pergolakan senjata yang mula-mula hanya
disasarkan pada pasukan pendudukan, namun malah merambah mengenai para
pejabat Dewan Sementara.Bentrokan tidak terjadi antar kubu yang berbeda mazhab
dan kepentingan saja, pada akhirnya bentrokan antar kelompok yang menganut satu
mazhab pun terjadi.Muqtada al-Sadr mengangkat senjata melawan AS dan kaum
Syiah lainya yang dianggap bersikap lunak terhadap AS. Sampai pada akhirnya
tibalah hari bersejarah bagi rakyat Irak pada tanggal 28 Juni 2004. Di hari tersebut
AS menyerahkan kedaulatan Irak kepada rakyat Irak, pemilik yang sesungguhnya.
Tahun 2005 menjadi pesta pertama demokrasi di Irak dengan diadakanya
pemilu parlemen meski kala itu pasukan Amerika masih bercokol di sana. Namun,
27
bak petir di siang bolong momen tersebut menjadi dentuman horor dan teror setelah
diwarnai oleh aksi bom bunuh diri tentara milisi dan pemberontak.Belum lagi banyak
mortir diledakan sehingga menimbulkan korban jiwa dari kalangan sipil.Pesta
tersebut diliputi nestapa dan kengerian teror. Ditambah lagi tingkat partisipasi
masyarakat Irak kala itu sangat rendah dan pemboikotan pemilu oleh kelompok Sunni
semakin memporak-porandakan tonggak demokrasi pertama di Irak tersebut (
www.tempo.co ). Meskipun tingkat partisipasi dari partai sudah cukup baik dan
banyak dalam hal kuantitas, namun partai-partai tersebut membawa aliran sektarian
etnis dan mahzab agamanya dan berlomba-lomba menarik simpatisan menggunakan
atribut tersebut, bukanya membawa meritokrasi dan kepentingan bersama bangsa
Irak.Hal ini semakin memperkeruh konstelasi politik Irak pasca Saddam Husein
dalam hal pembagian kekuasaan.
Setelah itu pada tahun 2009 diselenggarakan pesta demokrasi kedua rakyat
Irak untuk pemilihan tingkat provinsi. Angka partisipasi pada pemilu ke-2 ini
menunjukan penurunan yang lumayan signifikan daripada pemilu tahun 2005, di
mana menurut badan survei pada tahun 2005 diperkirakan terdapat 61% warga Irak
menggunakan hak suranya, tetapi pada tahun 2009 menurun menjadi 50% (
www.eramuslim.com ). Hal ini boleh jadi menunjukan kemerosotan legitimasi dari
rakyat Irak terhadap pemerintahnya sendiri.Yang lebih mengerikan lagi, pemilu lokal
di Irak juga diwarnai aksi-aksi kekerasan berupa pembunuhan empat kandidat dari
kalangan Muslim Sunni dan seorang kandidat dari Muslim Syiah
(www.eramuslim.com ).
Setahun kemudian pada tanggal 7 Maret 2010 digelar untuk kedua kalinya
pemilu nasional parlemen Irak yang kedua.Pemilu kedua kali ini mengalami
perubahan besar setelah pemilu sebelumnya diwarnai oleh isu-isu sektarian, namun
pada pemilu kali ini banyak partai partai koalisi yang menggandeng beberapa politisi
yang berbeda aliran mahzab seperti partai koalisi nasional Irak dan gerakan nasional
Irak dan mengusung tema nasionalisme.Meskipun, ada pula beberapa partai yang
masih mempertahankan sektarianisme seperti partai etnis Kurdi (www.kompas.com ).
28
Namun demikian, hal tersebut tersebut tidak mematikan api kekerasan
kelompok milisi dan pemberontak ataupun memadamkan kobaran konflik antar etnis
serta prejudice antar komunitas di Irak. Irak masih terancam dalam jurang perang
saudara karena konflik kepentingan dan kekuasaan di balik demokrasi yang tidak
matang. Setelah pemilu tahun 2010 perdana menteri Nouri al-Maliki dari Syiah
menjabat kursi yang sama untuk kedua kalinya dan membagi kekuasaan utama Irak
dengan wakil presiden Tareq al-Hashimi dari Sunni dan Presiden Jalal Talabani dari
kelompok Kurdi.
Namun demikian, rezim baru tersebut mulai ditumbuhi bibit-bibit
otoriterianisme di dalam tonggak demokrasi yang agaknya tengah lapuk dari
awal.Tingkat korupsi di Irak kian tahun kian melambung hingga masuk dalam
kategori delapan negara paling korup sedunia. Menurut indeks lembaga Transparasi
Internasional pada tahun 2012 Irak menempati poin 1,8 dari skala angka penilaian
indikator demokratis 0-10 ( www.costofwar.org). Setelah penarikan pasukan Amerika
dari Irak pada tahun 2011, perdana menteri Nouri al-maliki semakin menjadi dengan
pelan-pelan memberedel pers dan media yang pemberitaanya dianggap mencemarkan
dirinya dan koleganya melalui aksi kekerasan maupun sensor tayangan. Perdana
menteri tersebut juga mencoba memonopoli kekuasaan dengan melanggar janjinya
sendiri pada pemilu 2010 untuk membentuk blok politik dengan membagi kekuasaan
kepada blok iraqiyah (partai sekuler yang mendapat dukungan sunni) dan partai
kurdi. Malahan dia mencoba menguasai pasukan keamanan dengan menjebloskan
lawan politiknya dari partai Sunni ke penjara dan mencoba mengubah hukum dan
konstitusi Irak agar dia dapat dipilih kembali pada periode yang akan datang (
www.atlantic.com ). Hal yang lebih kontroversial adalah upaya yang ia lakukan
untuk menjatuhkan hukuman mati terhadap wakil presiden Irak Tareq al-Hashimi dari
Sunni atas tuduhan pembunuhan demi usahanya memonopoli kekuasaan ( Ted Galen
Carpenter, 2013). Ditambah lagi kondisi presiden Irak Jalal Talabani yang sakit-
sakitan yang sepertinya pula akan turun dari kursi kepresidenan semakin memperkuat
dominasi Maliki dan partainya.
29
Irak kini tengah terperangkap pada kondisi yang menyesakan antara teror dan
ancaman kekerasan pasukan milisi dan perang saudara serta kondisi pemerintahan
yang akan kembali seperti masa Saddam penuh dengan represi dan tirani mayoritas
yang dahulu oleh Sunni sekarang akan berbalik menjadi dominasi Syiah. Rakyat Irak
semakin menderita karena kondisi korupsi yang merajelala dan iklim politik yang
tidak stabil.Banyak anggota dewan saling memboikot di parlemen, masing-masing
memperjuangkan kepentingan golonganya. Kebijakan-kebijakan krusial bagi Irak
sulit dibuat dalam pemerintahan seperti dalam kebijakan gas dan minyak yang
penting bagi sektor ekonomi Irak.
Hubungan antara Pemerintah Irak dengan wilayah Kurdi di utara Irak pun
semakin memanas. Pemerintah Otonom Kurdi beranggapan bahwa rezim saat ini
sama dengan Saddam dalam hal perlakuanya terhadap mereka. Konflik pun semakin
mendidih ketika berinjak pada masalah minyak dan gas alam. Pemerintah Otonom
Kurdi memberikan ijin pada perusahaan asing untuk mengeksplor minyak dan gas
alam serta membuat jalur pipa gas di wilyahnya ke Turki tanpa seijin dari Pemerintah
Irak sehingga membuat geram Pemerintah yang berpusat di Baghdad tersebut. Selain
itu status wilayah Kirkuk juga menjadi sengketa antara dua otoritas tersebut dan
pertikaian kembali memuncak kala Maliki pada tahun 2012 mengirimkan tentara
untuk mengamankan daerah tersebut dan hal serupa juga dibalas oleh Pemerintah
Otonom Kurdi.
Irak semakin terkotak-kotak.Lemahnya demokrasi dalam negeri menyebabkan
konstelasi politik Irak dapat dengan mudah diinfiltrasi oleh pihak luar.Iran yang
beraliran Syiah saat ini mendukung rezim Maliki, sedangkan Turki yang mayoritas
warganya Sunni juga mendukung kelompok Sunni Irak. Hal ini semakin
memincangkan demokrasi untuk berjalan di negeri kaya minyak itu karena hal
tersebut akan semakin memperlebar jarak persatuan melalui fragmentasi kepentingan
dengan dukungan politik sehingga memperkasakan primordialisme antar kelompok.
Tahun 2013 merupakan ulang tahun ke-10 invasi militer yang menjejalkan
demokrasi versi Amerika ke jazirah Irak.Pada tahun ini pula Irak melaksanakan
Pemilu provinsi yang ke-2 setelah yang pertama digelar pada tahun 2009. Sudah
30
sangat klise bahwa setiap kali pemilu Irak digelar akan selalu dirundung oleh nestapa
serangan teror dan bom bunuh diri. Komunitas Sunni Arab mengatakan mereka telah
dipinggirkan oleh pemerintahan PM Maliki.Belasan orang dilaporkan terbunuh
karena menjadi sasaran bom yang umumnya menyasar wilayah Sunni sementara 14
kandidat anggota parlemen yang kebanyakan dari Sunni telah dibunuh pada bulan
lalu ( www.bbc.co.uk ). Pemilu kali ini juga dimenangkan cukup telak oleh Maliki
dan partainya, hal semacam ini semakin memepertegas dominasi kekuasaan Maliki
dalam pemerintahan Irak dan semakin meyakinkan publik bahwa Maliki akan
menjadi diktator setelah Saddam.
Misi PBB di Irak mengatakan bulan April menjadi bulan paling mematikan
karena pada periode itu telah terjadi kasus kekerasan yang telah menewaskan 712
orang.Intensitas kekerasan antara Sunni dan Syiah semakin menjadi-jadi, sepertinya
hanya menunggu waktu untuk perang saudara berkobar di Irak.Rakyat Irak semakin
sengsara karena nasib kebijakan yang tidak menentu, korupsi, dan teror berdarah di
sekitar mereka.Mungkin hal ini terjadi karena demokratisasi yang dipaksakan,
demokrasi yang tidak matang yang coba dijejalkan di perut Irak oleh intervensi
Amerika demi kepentingan politisnya, demokrasi yang berdarah yang telah meneguk
ribuan nyawa manusia dalam prosesnya.Mungkin Irak mengalami perubahan, tetapi
dalam tahap kulit berupa demokrasi prosedural berupa pemilu semata. Tidak
berlebihan manakala orang memandang makna dan esensi demokrasi nampak jauh di
pelupuk mata terlihat dari negeri 1001 malam itu
31
BAB IV
PENUTUP
a. Kesimpulan
Dengan melihat penjelasan berbagai proses penyebaran penggunaan
mekanisme demokrasi ke beberapa negara seperti yang dicontohkan dalam
pembahasan, dapat disimpulkan bahwa proses demokrasi merupakan proses
transisi yang hingga kini belum dapat diketahui batasannya. Batasan dalam hal ini
merupakan batasan paradoks yang ditetapkan secara universal.Secara
menyeluruh, paradoks demokrasi berbeda di tiap-tiap negara. Hal itu tentunya
setelah dianalisis, ternyata berkaitan dengan sosio-historis dari proses penerapan
kaidah-kaidah demokrasi dalam setiap kegiatan politik di tiap-tiap negara.
Demokratisasi yang berlangsung di suatu negara berpengaruh secara
langsung terhadap perkembangan negara tersebut di masa kini.Penekanan
terhadap perwujudan demokrasi ke dalam kehidupan politik suatu negara,
berimplikasi terhadap kestabilan sistem pemerintahan yang ada. Hal tersebut telah
dicontohkan di dalam ke empat pembahasan di bab sebelumnya dengan
menghadirkan negara Indonesia, Myanmar, Perancis dan Iraq.
Campur tangan dari berbagai pihak (sipil, militer, masyarakat, bangsa
lain) turut mewarnai perwujudan demokrasi oleh negara-negara yang ada. Hal
tersebut dikarenakan bahwa negara-negara tersebut memahami demokrasi sebagai
pilihan terbaik. Dikatakan demikian, karena demokrasi menjamin kebebasan dan
ketertiban yang lebih luas dari yang bisa ditawarkan oleh alternatif sistem lain.
b. Saran
Setelah mengkaji beberapa kasus bertema demokratisasi, saran yang
dapat kelompok kami tawarkan yaitu berupa, perwujudan esensi demokrasi
32
melalui demokratisasi.Esensi atas demokrasi itu sendiri harus lebih
ditekankan.Bukan semata-mata hanya ingin melalui proses demokratisasi belaka
dan memenuhi syarat prosedur untuk mencapai label demokrasi. Penekanan
seperti ini akan membawa suatu Negara pada tahap demokrasi yang
terkonsolidasi. Demokrasi yang terkonsolidasi merupakan tahapan transisi
terkahir yang akan membawa suatu Negara pada paradoks demokrasi yang ideal.
Paradoks demokrasi yang ideal akan berimplikasi pada kestablian kehidupan
politik suatu Negara, seimbangan dengan kehidupan dibidang lainnya.
33
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku
Bauer, Susan Wise. Sejarah Dunia Kuno - Dari Cerita-Cerita Tertua Sampai Jatuhnya Roma. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2007.
Chilcote, Rhonald H, Teori Perbandingan Politik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007)
Dahl, Robert. Dilemma of Pluralist Democracy
Haryono,Endi. 1997. ASEAN Menanggapi Sanski Ekonomi AS terhadap Myanmar
Kuncahyono, Trias. 2005. Irak Korban Ambisi Kaum Hawkish. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Meinardus, Dr. Ronald. Liberal Library: Democracy and Democratization. August 25, 2004.
Moller, Jorgen, and Svend-Erik Skaaning. Democracy and Democratization in Comparative Perspective. Routledge, 2012.
nn.1995. Analisis Kekuatan Politik di Indonesia. Jakarta:LP3ES.
nn.2005. Beginning to Remember The Past in The Indonesian Present. Singapore: Singapore University Press.
nn.1989.Revolusi Prancis = La Revolution Francaise / Francois Furet, Denis Richet; editor, Sartono Kartodirdjo.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press
Sorensen, Georg. Democracy and Democratization: Processes and Prospects. Boulder: Westview Press, 2008.
Referensi Internet
NN.Mengapa AS Mengeluarkan UU Khusus
Myanmarhttp://www.unisosdem.org/article_detail.php?
aid=2339&coid=3&caid=31&gid=1 diakses pada 30 Mei 2013 pukul 22.00
NN.2007.Biksu Myanmar Kembali Melawan Junta Militer.
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=182646 diakses pada 30 Mei pukul
23.15
Yuristia, Rika. 2012. Peran ASEAN dalam Mewujudkan Demokratisasi di Kawasan
34
http://setkab.go.id/artikel-6503-.html diakses pada 30 Mei pukul 23.55
http://www.cato.org/publications/commentary/iraq-debacle-continues
http://www.theatlantic.com/international/archive/2013/03/iraqs-new-dysfunctional-
democracy/274275/
http://health.kompas.com/read/2009/12/10/2015360/www.kompas.com
www.eramuslim.com/berita/dunia-islam/pemilu-lokal-di-irak-banyak-yang-
golput.htm#.UXXjUIHBG1s
http://health.kompas.com/read/2010/03/06/03331996/
Pentas.Politik.pada.Pemilu.Irak.2010
http://www.tempo.co/read/news/2005/01/30/05955729/Pemilu-di-Irak-Dimulai
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2013/05/130505_pemilu_irak
http://www.fnf.org.ph/liberallibrary/democracy-democratization.htm
35