Makalah Manajemen Kelas
-
Upload
eka-nefa-salwa-najla -
Category
Documents
-
view
57 -
download
0
Embed Size (px)
description
Transcript of Makalah Manajemen Kelas

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang
dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian,
kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma
tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk:
meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran, dan
meningkatkan mutu pendidikan nasional. Kedudukan guru sebagai tenaga
profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan
mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab (UU No 20 tahun 2003 pasal 3). Oleh karena itu, guru mempunyai
fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan
nasional di bidang pendidikan.
Mengingat peran guru yang sangat strategis dalam pembangunan
pendidikan, maka seorang guru harus dipersiapkan secara matang.
Persiapan tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan mulai dari
saat belajar di perguruan tinggi, pendidikan profesi guru, sampai menjadi
guru yang ditugaskan di satuan pendidikan. Sejalan dengan peran guru
yang sangat strategis tersebut, sangat penting bagi setiap guru, khususnya
guru pemula untuk selalu belajar bagaimana mengelola kelas yang baik,
efektif, dan efisien sejak dini baik oleh diri sendiri secara internal maupun
oleh pihak instansi pendidikan maupun pihak pemerintah secara eksternal
1

agar seorang guru dapat memahami dan merealisasikan teori-teori yang
telah diterima dengan baik, sehingga dapat menunjang terciptanya syarat
penguasaan kompetensi guru sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan
yang telah tercantum dalam tujuan pendidikan nasional.
Kelas yang baik adalah kelas yang dikelolah secara efektif.
Rombongan belajar yang baik merupakan kelompok yang mampu
menunjukan capaian umum hasil belajar yang memuaskan, baik pada ujian
sekolah maupun pada ujian akhir. Hasil belajar yang baik tersebut
tercermin dari rata-rata capaian siswa secara individual, dan
kemampuannya bersaing melanjutkan studi pada jenjang pendidikan yang
lebih tinggi atau memasuki dunia kerja.
Dengan demikian, mahasiswa calon guru fisika semestinya dapat
memahami tentang manajemen kelas mulai dari sejarah manajemen kelas,
manajemen kelas dan guru pemula serta kelas sebagai kelompok efektif
sebagai bekal ketika berada di sekolah nantinya.
B. Rumusan Masalah
Adapun masalah yang dihadapi berdasarkan latar belakang diatas
adalah,
1. Bagaimana Perkembangan Sejarah Manajemen Kelas?
2. Bagaimana Manajemen Kelas bagi Guru Pemula?
3. Bagaimana Kelas sebagai Kelompok Efektif itu?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi nilai
mata kuliah Manajemen Kelas. Selain itu, dengan adanya makalah ini
bertujuan,
1. Untuk mengetahui perkembangan perspektif manajemen kelas
2. Untuk mengetahui manajemen kelas bagi guru pemula
3. Untuk mengetahui bagaimana kelas sebagai kelompok efektif itu.
2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Manajemen Kelas
1. Sekolah sebagai Sentral
Perjuangan guru di Amerika Serikat untuk memperbaiki
nasibnya dianggap sebagai awal terbentuknya MBS atau desentralisasi
pengelolaan sekolah. Perjalanannya sudah berlangsung cukup panjang,
yaitu dengan dibentuknya Asosiasi Pendidikan Nasional (National
Education Association,NEA) pada tahun 1857. Pada tahun 1887, guru-
guru di NewYork membentuk sebuah asosiasi kepentingan bersama
yang didirikan di Chicago, dipimpin oleh Margarette Harley. Pada
tahun 1903, guru-guru Philadelphia membentuk organisasi Asosiasi
Guru-guru Philadelphia (Philadelphia Teachers Association).Melalui
asosiasi inilah guru-guru memperoleh gaji lebih baik.
Guru-guru di Atlanta membentuk Persatuan Guru-guru Sekolah
Publik Atlanta. Persatuan ini dibentuk untuk menghadapi tekanan dari
dewan kota. Akhirnya, dewan kota memberikan dana lebih untuk
pendidikan. Guru-guru di Leaque, yang dipelopori oleh tokoh
sosialis,Henry Linville, John Dewey, dan Suffrajist Charlotte Perkins
Gilman,membentuk sebuah asosiasi yang berbicara lebih dari sekedar
masalah- masalah ekonomi. Tujuannya memberi pilihan bagi guru
dalam menentukan kebijakan sekolah (school policy) untuk
memperoleh wakil di pentas pendidikan di New York, membantu
masalah-masalah sekolah,membersihkan politik Amerika Serikat dari
penyimpangan keputusan, dan meningkatkan kebebasan diskusi publik
dari masalah-masalah pendidikan.
Berkaitan langsung dengan prakarsa MBS, di Negara maju
reformasi pendidikan, khususnya reformasi pendidikan, selama lebih
dari empat puluh tahun terakhir terus berporos pada
desentralisasi.Sejak tahun 1960-ansampai 1990-an di Amerika Serikat
telah berjalan “empat generasi” gerakan reformasi manajemen
3

pendidikan. Dari “empat generasi” gerakan reformasi tersebut,
semuanya menjurus kepada desentralisasi hingga sampai kepada istilah
MBS. MBS merupakan pengindonesiaan dari school-based
management(SBM) atau school-site management(SSM). Keterangan
mengenai “empat generasi” sebagai berikut :
a. The New Progressive Era atau Era Progresif Baru yang lahir pada
tahun 1960-an, digagas oleh Neale, Rand Corporation, Fullman,
McLaughlin,Bruce Joyce, dan sebagainya. Titik tekannya adalah
pada pengembangan kemampuan individu sebagai ujung tombak
perubahan
b. School Effectiveness Studies atau Studi-studi Keefektifan Sekolah
pada tahun 1970-an, digagas oleh Edmunds, Brookover, Cuban,
dan Austin,dengan titik tekan pada etos sekolah.
c. National Report atau Laporan Nasional pada tahun 1980-an
digagas oleh Bell, Wood, dan Sizer. Titik tekannya adalah pada
pemberdayaan sekolah, termasuk pemberdayaan pendidikan bagi
anak-anak berisiko(Nation at Risk).Nation at Risk adalah anak-
anak yang berisiko dalam kerangka menempuh pendidikan, seperti
gelandangan dan pengemis,anak-anak dari keluarga miskin, anak-
anak dari korban pemutusan hubungan kerja, anak-anak yang
bermukim secara terisolasi, dan lain-lain.
d. Public School by Choice atau Sekolah Negeri dengan Pilihan
merupakan produk pemikiran para pakar dari Universitas
Minnesota dan Iowa(Danim, 2006:26-27).
Maenurut Bailey, berdasarkan gerakan reformasi “generasi ke-
empat” ini tersimpullah karakteristik ideal MBS/MBM dan
karakteristik ideal sekolah/madrasah untuk abad ke-21 (School for the
Twenty-Firs Characteristic), seperti berikut ini :
a. Adanya keragaman dalam pola penggajian guru. Istilah populernya
adalah pendekatan prestasi (merit system),
b. Otonomi Manajemen sekolah/madrasah,
4

c. Permberdayaan guru secara optimal,
d. Pengelolaan sekolah secara partisipasi,
e. Sistem yang didesentralisasikan,
f. Sekolah/madrasah dengan pilihan atau otonomi sekolah/madrasah
dalam menentukan aneka pilihan,
g. Hubungan kemitraan (partnership) antara dunia bisnis dan dunia
pendidikan,
h. Akses terbuka bagi sekolah,
i. “Pemasaran” sekolah/madrasah secara kompetetif. (Sudarwan :
2006).
2. Perspektif Sejarah Manajemen Kelas
Konsep manajemen kelas hingga mencapai bentuknya sekarang
telah menempuh perjalanan sejarah cukup panjang atau mengalami
evolusi. Hal ini, antara lain ditentukan oleh pemikiran filosofis
kependidikan, kemajuan budaya masyarakat, dan skema pemikiran
mengenai makna kelas. (Danim, 2002:177). Kemajuan ilmu
pengetahuan dan pengalaman bidang pendidikan turut berpengaruh.
Lebih dari empat dekade terakhir ini, terutama sejak tahun 1960-an
hingga sekarang, pendekatan atau metode yang dipakai dalam proses
manajemen kelas telah mengalami perubahan cukup drastis, dengan
tetap memosisikannya memiliki kaitan erat satu sama lain.
a. Pendekatan Konseling
Sejak tahun 1960-an hingga tahun 1970-an, fokus utama
manajemen kelas adalah menciptakan kondisi disiplin siswa
(students discipline) agar tetap pada relnya, kondusif bagi kegiatan
pembelajaran.
Jadi manajemen kelas berfokus pada penegakan disiplin
anak didik. Siswa bermasalah atau yang berperilaku secara deviatif
menjadi fokus perhatian. Dengan pendekatan konseling ini, siswa
digiring kesadarannya untuk bertanggung jawab atas perilakunya
dan mengembangkan rencana untuk meredusir kecenderungan
5

tindakan yang tidak produktif. Guru berusaha untuk
mengidentifikasi factor penyebab perilaku siswa yang menyimpang
sekaligus mencari jawaban untuk memecahkan masalah tersebut
secara konsepsional dan praktis.
b. Pendekatan Behavioristik
Inti pendekatan behavioristik adalah memodifikasi perilaku
siswa yang dilakukan oleh guru. Perubahan perilaku ini sangat
tergantung kepada kesadaran peserta didik. Sejak tahun 1970-an,
kebanyakan pelatihan diberikan kepada guru berfokus pada upaya
mencari pemecahan atas perilaku menyimpang yang dilakukan
oleh para siswa dengan jalan menerapkan teknik-teknik modifikasi
perilaku (behavior modification techniques) menuju perilaku yang
dikehendaki, tanpa mengabaikan kebebasan siswa.
c. Pendekatan Penelitian Keefektifan Guru
Setelah era pendekatan behavioristik pada 1970-an, pada
era selanjutnya inisiatif dibuat dengan menonjolkan peran guru
untuk menemukan konsep yang memungkinkan pencegahan
terhadap perilaku menyimpang siswa. Pendekatan ini disebut
teacher effectiveness research, penelitian kefektifan guru. Fokus
utamanya terletak pada perilaku efektif guru dalam mengelola
perilaku dan perbuatan siswa, khusunya berkaitan dengan:
1) keterampilan guru dalam mengorganisasi dan mengelola
aktifitas kelas;
2) keterampilan guru dalam menyajikan material belajar;
3) hubungan guru murid.
Intinya adalah bagaimana guru dapat mengorganisir dan
mengelola kelas secara efektif, dengan kriteria keberhasilan, antara
lain diukur dengan minimnya perilaku menyimpang dari kalangan
siswa. Dengan kata lain, jika dikelola secara efektif, kelas akan
berjalan secara smoothly. Di sini, kelas diorganisasikan sedemikian
rupa. Siswa, guru bidang studi, guru kelas, dan wali kelas berada
6

dalam kondisi sinergis. Setiap kegiatan di kelas dilakukan dengan
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang cermat. kepada anak
didik pun ditanamkan apa tugas pokok dan fungsinya, siapa
mengerjakan apa dan siapa bertanggung jawab kepada siapa.
Menurut Lois V. Johnson dan Mary Bany (1970:9)
pengelolaan kelas merupakan keterampilan guru dalam
memutuskan tindakan yang harus didasarkan pada pengertian
tentang sifat-sifat kelas, kekuatan yang mendorong mereka (siswa)
bertindak, selanjutnya berusaha untuk memahami dan
mendiagnosis situasi kelas dan kemampuan untuk bertindak
selektif serta kreatif untuk memperbaiki suasana (kondisi) kelas.
Dengan demikian, pengelolaan kelas adalah suatu alat
untuk mengembangkan kerjasama dan dinamika kelas yang stabil,
kendatipun banyak gangguan dan perubahan dalam lingkungan.
Fungsi pengelolaan kelas ditinjau dari analisis problem, menurut
Lois V. Johnson dan Mary Bany (1970) adalah memberi dan
melengkapi fasilitas untuk segala macam tugas dan memelihara
agar tugas-tugas itu dapat berjalan dengan lancar.
Fungsi tersebut dapat dijabarkan menjadi beberapa tugas yang
harus dilakukan guru dalam kegiatan pengelolaan kelas:
1) membantu kelompok dalam membagi tugas;
2) membantu pembentukan kelompok;
3) membantu kerjasama dalam menemukan tujuan-tujuan
organisasi;
4) membantu individu agar dapat bekerja sama dalam
kelompok atau kelas;
5) membantu prosedur kerja; dan
6) mengubah kondisi kelas.
7

B. Manajemen Kelas dan Guru Pemula
1. Fenomena Guru Pemula
Guru yang profesional menjadi determinan utama proses
pembelajaran yang menyenangkan dan efektif. Hal ini sejalan dengan
tugas utama guru, yaitu mendidik, mengajar, menbimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
jalur pendidikan formal. Tugas utama itu akan dapat menginisiasi
tujuan pembelajaran jika guru memiliki derajat profesionalitas tertentu
yang tercermin dari kompetensi, kemahiran, kecakapan, atau
keterampilan yang memenuhi standar mutu atau norma etik tertentu.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia, profesi
guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan
berdasarkan prinsip sebagai berikut:
a. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme.
b. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan,
keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.
c. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan
sesuai dengan bidang tugas.
d. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas.
e. Memiliki tanggungjawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan.
f. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi
kerja.
g. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan
secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat.
h. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan.
i. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan
guru.
Secara formal, guru profesional harus memenuhi kualifikasi
akademik minimum dan bersertifikat pendidik sesuai dengan peraturan
8

perundang-undangan. Guru-guru yang memenuhi kriteria profesional
inilah yang akan mampu menjalankan fungsi utamanya secara efektif
dan efisien untuk mewujudkan proses pendidikan dan pembelajaran
sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, yakni mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Guru profesional adalah hasil ciptaan manusia (teacher is
made) yang aktif pada institusi penyedia, seperti lembaga pendidikan
prajabatan dan dalam jabatan. Di Indonesia, institusi tersebut
dinamakan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan atau LPTK
atau balai-balai penataran dan pusat-pusat pelatihan yang relevan. Ada
faktor-faktor pembangun guru profesional yang dibawa sejak lahir
(teacher is born), seperti seni dan motivasi mengajar, kapasitas verbal,
kewibawaan, dan sejenisnya yang sudah diterima dalam kesadaran
sejarah serta merupakan realitas.
Bukti bahwa techer is made telah teruji secara empiris
meskipun pembuktian itu sering didasari atas kajian ex post facto,
observasi, atau keluhan dari mulut ke mulut yang dikemukakan oleh
masyarakat seprofesi. Di Amerika misalnya, muncul keluhan bahwa
guru-guru baru umumnya jauh untuk disebut sebagai profesional.
Dalam laporan yang ditulis oleh The Association of Teacher
Educator’s Commission on the Education of Theacher (1991),
direkomendasikan secara spesifik empat substansi utama
restrukturisasi pendidikan guru (restructuring the education of
teacher), yaitu:
a. College-based teacher educators
b. School-based techer educators
c. State-agency-based techer educators
d. National, state, and local organization of proffesional
educators
9

Rekomendasi ini dimuarakan kepada seluruh fase dan aspek-
aspek pendidikan guru, mulai dari rekrutmen dan seleksi, pendidikan
persiapan prajabatan, penempatan sebagai guru, pengembangan lebih
lanjut, riset, dan akuntabilitas yang diperlukan. Rekomendasi ini
disusun oleh komisi itu setelah selama sekitar 18 bulan mengkaji
secara intensif mengenai faktor-faktor yang kompleks yang
mempengaruhi kualiatas pendidikan guru, seperti mutu pendidikan,
persiapan yang tidak memadai, terbatasnya bantuan pada veteran guru,
keterbatasan sumber-sumber di kelas yang dapat diakses, dan
pemahaman budaya setempat sangat minimal.
Di Indonesia, pengadaan guru berbasis pada university-based.
Pengalaman yang bersifat school-based hanya dijalani oleh calon guru
selama Praktik Pengalaman Lapangan (PPL). Dengan demikian, calon
guru yang dihasilkan lebih banyak pengalaman teoretis daripada
pengalaman praktis. Gagasan school-based ini pernah berkembang di
Indonesia berupa keinginan untuk merekomposisi kurikulum sekitas
60 persen praktik dan 40 persen teori. Terlepas dari semua itu,
substansi manajemen kelas seharusnya menjadi muatan yang esensial
untuk meningkatkan kinerja guru dalam menjalankan proses
pembelajaran.
2. Manajemen Kelas bagi Guru Pemula
Guru pemula biasanya melihat kelas sebagai fenomena
kehidupan baru, kecuali guru pemula itu benar-benar berbakat dan
menguasai substansi pembelajaran, maka dipastikan pada tahap awal
guru tersebut dapat menyesuaikan diri. Guru dituntut harus mampu
mewujudkan perilaku mengajar secara tepat agar terjadi perilaku
belajar yang efektif dalam diri siswa. Di samping itu, guru diharapkan
mampu menciptakan interaksi pembelajaran agar siswa mampu
mewujudkan kualitas perilaku belajarnya secara efektif. Guru dituntut
pula untuk mampu menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif.
10

Guru harus mampu meningkatkan kualitas belajar para siswa
dalam bentuk kegiatan belajar yang dapat menghasilkan pribadi yang
mandiri, pelajar yang efektif, dan pekerja yang produktif. Dalam
hubungan ini, guru memegang peranan yang amat penting dalam
menciptakan suasana pembelajaran yang sebaik-baiknya. Guru tidak
terbatas hanya sebagai pengajar, akan tetapi lebih meningkat sebagai
perancang pembelajaran, manajer pembelajaran, penilai hasil belajar,
dan direktur belajar.
Sebagai pengelola pembelajaran (manager of instruction)
seorang guru akan berperan mengelola seluruh proses pembelajaran
dengan menciptakan kondisi-kondisi belajar agar setiap siswa dapat
belajar secara efektif dan efisien. Kegiatan belajar hendaknya dikelola
oleh guru dengan sebaik-baiknya sehingga memberikan suasana yang
mendorong siswa untuk melakukan kegiatan belajar dengan kualitas
yang lebih baik. Dengan demikian, proses pembelajaran akan
senantiasa ditingkatkan terus-menerus untuk memperoleh hasil belajar
yang optimal.
Dalam mewujudkan perilaku mengajar secara tepat,
karakteristik guru yang diharapkan, antara lain sebagai berikut :
a. Memiliki minat yang besar terhadap pelajaran dan mata
pelajaran yang diajarkannya.
b. Memiliki kecakapan untuk memperkirakan kepribadian dan
suasana hati secara cepat, serta membuat kontak dengan
kelompok secara tepat.
c. Memiliki kesabaran, keakraban, dan sensitivitas yang
diperlukan untuk menumbuhkan semangat belajar.
d. Memiliki pemikiran yang imajinatif (konseptual) dan praktis
dalam usaha memberikan penjelasan kepada siswa.
e. Memiliki kualifikasi yang memadai dalam bidangnya baik isi
maupun metode.
11

f. Memiliki sikap terbuka, luwes, dan eksperimental dalam
metode, model, dan teknik.
Pada bulan Maret 1983, dipimpin oleh Ernest L. Boyer,
Presiden Yayasan Carnigie dalam Sudarwan Danim dan Yunan
Danim, untuk peningkatan pembelajaran (Carnigie Foundation for The
Advanchement of Theaching) 10 orang anggota Panel on The
Preparation of Beginning Teachers menyajikan materi mengenai tiga
area isu krusial dari keahlian yang perlu dimiliki oleh guru pemula,
yaitu :
a. Pengetahuan tentang cara mengelola kelas. Pengetahuan
dimaksud tidak sekedar tahu tentang apa (know what)
mengenai manajemen kelas, tetapi yang lebih utama adalah
tahu bagaimana (know how) mengenai manajemen kelas yaitu
dalam makna classroom management in action.Pengetahuan di
bidang mata pelajaran atau penguasaan bahan ajar.
b. Pengetahuan yang dimaksudkan di sini tidak hanya berkaitan
dengan subject matter, tetapi juga pengetahuan dan penguasaan
bidang metodologi pembelajaran, seperti strategi pembelajaran,
evaluasi pendidikan, pengembangan dan inovasi kurikulum,
dasar-dasar kependidikan, etika profesi keguruan, dan lain-lain.
c. Pembelajaran tentang latar belakang sosiologikal dari para
siswa yang dididik atau diajarnya. Latar belakang sosiologikal
yang dimaksud meliputi kondisi sosial ekonomi, agama,
budaya, asal, pekerjaan orang tua, perjalanan hidup peserta
didik dan sebagainya.
Kemampuan di bidang manajemen ini, terutama manajemen
kelas, sangat esensial bagi guru-guru, dan calon guru. Squire, Huitt dan
Segars (1983) dalam Sudarwan Danim dan Yunan Danim
mengemukakan bahwa guru yang efektif yaitu guru yang mampu
menciptakan wahana bagi siswa untuk mendemonstrasikan secara
12

konsisten pada prestasi level tinggi (high level of achievement),
sehingga dituntut memiliki tiga area keahlian :
a. Perencanaan, yaitu penciptaan kondisi kesiapan bagi aktivitas
kelas. Perencanaan dimaksud mencakup satuan acara
pembelajaran, media, dan sumber pembelajaran, dan
pengorganisasian lingkungan belajar.
b. Manajemen, yaitu berupa kemampuan guru bekerja dalam
mengendalikan perilaku siswa. Semakin besar jumlah
rombongan belajar, semakin banyak sumber daya yang
digunakan, semakin berat materi atau bahan ajar, semakin
ditutup pula kemampuan manajemen kelas dari kalangan guru.
c. Pengajaran, yaitu kemampuan guru dalam menciptakan kondisi
dan membimbing siswa dalam belajar. Prakarsa ini amat terasa
pada proses pembelajaran yang diindividualisasikan dan
beragamnya latar belakang sosiologikal siswa.
3. Peran Guru Kelas
Terminologi guru kelas di sini bukanlah lawan dari guru bidang
studi, seperti sering kita denga dalam frasa sistem guru kelas atau
sistem guru bidang studi. Guru kelas yang dimaksudkan di sini adalah
guru yang mengjar di kelas, baik dia mengajar dalam format sistem
guru kelas atau sistem guaru bidang studi. menurut Doyle (1986)
dalam Sudarwan Danim (2010) pada buku “Administrasi Sekolah dan
Manajemen Kelas”, ada dua peran utama guru kelas (classroom
teacher’s role). Diantaranya adalah menciptakan keteraturan
(establishing order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitaiting
learning). Keteraturan yang dimaksud mencakup hal-hal yang terkait
langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran, seperti:
a. Tata letak tempat duduk;
b. Disiplin siswa di dalam kelas;
c. Interaksi siswa dengan sesamanya;
d. Interaksi siswa dengan guru;
13

e. Jam masuk dan keluar untuk masing-masing sesi mata pelajaran;
f. Manajemen sumber belajar;
g. Manajemen bahan belajar;
h. Prosedur dan sistem yang mendukung proses pembelajaran;
i. Lingkungan belajar.
Urgensi kemampuan memfasilitasi proses belajar siswa seperti
disebutkan di atas sejalan dengan spirit paradigma pendidikan modern,
yaitu perilaku guru harus bergeser dari guru sebagai dispenser ilmu
pengetahuan (teacher as dispenser) kepada siswa ke fungsi guru
sebagai direktur atau fasilitator belajar. Fungsi fasilitatif yang
diperankan oleh guru mengandung makna bahwa yang paling
dipentingkan oleh guru adalah menyediakan wahana seluas dan
seakurat mungkin bagi siswa untuk belajar. Penciptaan wahana itu
dapat bersifat pengayaan materi, penyediaan bahan ajar, pemberian
peta jalan bagi siswa untuk dapat mengakses sumber dan bahan ajar,
merangsang siswa untuk belajar, menciptakan suasana “bermain”
dalam keseriusan bertindak, membangun kepercayaan diri siswa,
menggali potensi siswa, dan lain-lain. Intinya adalah guru harus
menciptakan kondisi untuk memudahkan siswa belajar, bukan untuk
memudahkan guru mengajar.
C. Kelas sebagai Kelompok Efektif
1. Konsep Efektivitas Kelompok
Rombongan belajar dikelas memerlukan pengorganisasian
yang efektif. Karena itu hasil kajian mengenai kelompok yang efektif,
apapun jenis kelompok yang dikaji itu, sangat mungkin dapat
ditransfer kedalam situasi kelas. Kajian tentang factor tertentu penentu
efektifitas kelompok, termasuk kelompok atau rombongan belajar
siswa dikelas, mengacu kepada dua kepentingan. Pertama,
kepentingan teoritis dimaksudkan untuk memperoleh tilikan yang
mendalam tentang fungsi kelompok, baik bagi anggota maupun bagi
warga sekolah. Kedua, kepentingan praktis dimaksudkan untuk
14

memperoleh masukan tentang produktivitas, efisiensi, dan kebaikan-
kebaikan lain dari anggota kelompok, misalnya rombongan belajar
dikelas tertentu.
Kajian teoritis praktis dimaksudkan untuk memperoleh tilikan
yang komprehensif dan mendalam tentang fungsi kebaikan lain yang
bisa dicapai oleh mereka. Namun, telaah atas fungsi kelompok siswa
bagi produktivitas, efisiensi dan efektivitas mempelajari dikelas
tersebut rumit. Kerumitan itu disebabkan oleh kelompok siswa itu
sendiri rumit dan anggotanya befariasi menurut takaran kognisi, afeksi,
psikomotor, dan latarnya.
Ukuran produktivitas, efesiensi dan efektivitas kelompok siswa
itu berbeda masing-masing kelas, apabila menurut kriteria dan
kepentingan siswa secara individual. Ukuran produktivitas aktivitas
rombongan belajar dengan pendekatan teoritis, berbeda dengan
rombongan belajar ddengan pendekatan praktik. Ukuran produktivitas
kegiatan belajar di kelas berbeda dengan kegiatan sejenis diluar kelas.
Demikian juga, ukuran hasil belajar di laboratoeium atau di
objek-objek studi di luar kampus sekolah. Efektivitas merujuk pada
hasil guna dan efisien merunjuk pada proses kerja. Mengukuti
pemikiran David Krech, Richard S. Cruthfied dan Egerton L.Ballachey
dalam bukti mereka Individual and Society (1982) dapat dijabarkan
tentang ukuran efektivitas kelompok siswa perkelas. Secara umum,
ukuran efektivitas kelompok seperti disajikan berikut ini:
a. Prestasi yang dicapai oleh siswa dan kelompok siswa. Prestasi
siswa secara individual merupakan cerminan capaian
peroranganya. Prestasi siswa secara kelompok dapat dilihat dari
rata-rata nilai yang mereka capai. Posisi prestasi siswa dalam
kerangka kelompok ini dapat dilihat dari rangkingnya.
b. Jumlah hasil yang bisa dicapai oleh kelompok. Hasil tersebut
berupa kuantitas atau bentuk fisik dari kerja kelompok itu.
Misalnya, untuk siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
15

berapa banyak satuan dari hasil karya kerajinan yang mereka
lakukan untuk periode kerja tertentu. Hasil dimaksud dapat
dilihat dari perbandingan antara masukan dan keluaran, usaha
dan hasil, persentase pencapaian program kerja, dan
sebagainya.
c. Tingkat kepuasan yang diperoleh oleh anggota kelompok siswa
secara individual. Kepuasan itu sukar diukur dan berfariasi
untuk masing-masing anggota kelompok, seperti guru, staf tata
usaha, dan sebagainya. Kepuasan siswa juga berfariasi,
misalnya ukuran kepuasan siswa pria mungkin berbeda dengan
siswa perempuan. Karakteristik kepuasan anggota kelompok
siswa secara individual antara lain tercermin dari keterbukaan
berkomuikasi antaranggota, kerajinan, tidak terlalu mempunyai
“perhitungan” dalam bekerja, berkurangnya keluhan,
berkurangnya pembicaraan mengenai guru dan kebutuhan
rekan sekelas, tingkat kehadiran tinggi, dan lain-lain. Ukuran
efektivitas ini bisa kuantitatif dan bisa pula kualitatif.
d. Produk kreatif kelompok. Banyak hal berkembang sendiri
didalam kelas jika kondusinya kondusif untuk itu. Oleh karena
itu, salah satu ciri kelompok siswa yang efektif adalah
kemampuan kelompok itu menumbuhkan kreativitas
anggotanya. Cara kerja anggoatanya dalam organisasi atau
kelompok itu tidak selalu dituangkan kedalam format khusus,
demikian juga cara kerja guru dan siswa. Cara kerja mereka
seni atau kiat yang berbeda pada masing-masing individu
siswa. Oleh sebab itu, tuntutan akan konformitasyang
berlebihan akan menjadi bomerang bagi siswa.
e. Intensitas emosi yang dicapai oleh siswa karena dia menjadi
anggota kelompok. Intensitas diukur dengan ketaatan yang
lebih tinggi karena menjadi anggota kelompok siswa atau rasa
16

memiliki dengan kadar tinggi karena termaksud kelompok
yang ikut berjuang untuk memilikinya.
Pada akhirnya yang menjadi dasar pengukuran efektivitas
rombongan belajar dikelas adalah keragaman kelompok dan keinginan
setiap siswa secara individual. Berbeda kelompok, berbeda pula
ukuran efektivitasnya. Pada tataran yang lebih luas, apabila kita
bertanya efektivitas kelompok, pertanyaan lanjutan yang muncul
adalah “efektif untu siapa?” Efektivitas kelompok dan ukuran
efektivitas kelompok itu sendiri berdimensi banya, dank arena itu
sering ditemukan kesukaran menentukan efektivitas kelompok,
termasuk kelompok siswa. Setiap individu siswa memasuki suatu
kelompok dari rekan sepermainannya untuk pembagian tujuan dan
ingin mendapatkan kepuasan. Tentu saja sesuatu yang menjadi penentu
kepuasn bagi seorang siswa tertentu, belum tentu bagi yang lainnya.
Kadang-kadang sebagian kelompok siswa sangat efektif, sedangkan
anggota kelompok lainnya tidak.
Pencapain target pestasi sering berjalan timbang. Jika prestasi
ingin dicapai secara cepat, siswa yang sedang belajar mengejar target
itu dapat saja menjadi tertekan. Di pihak lain, jika hubungan
manusiawi yang terlalu ditonjolkan bukan tidak mungkin hasil terbaik
yang dikehendaki tidak terwujud. Misalnya, karena merasa kasihan
pada siswa jika diberi tugas rumah dalam jumlah yang banyak, sangat
mungkin target kurikulum dapat dicapai. Masalahnya adalah
bagaimana mengakomodasikan keduanya, dalam makna prestasi
belajar siswa yang tinggi dapat dicapai secara optimal sejalan dengan
pemenuhan kepuasaan, dan intensitas emosi yang dikehendaki dapat
diwujudkan.
Seperti juga efektivitas, nilai-nilai kepuasan dalam diri
siswapun berbeda dan bervariasi untk setiap siswa sebagai anggota
kelompok sehingga muncullah pertanyaan “memuaskan untuk siapa?”
Ukuran kepuasan sangan kualitatif dan individual, dan karena itu tidk
17

dapat membuat ukuran tunggal mengenai derajat capaian kepuasan dan
sumber-sumber pemuas itu. Dengan latar budaya guru yang cenderung
“feodalistik” atau “otoriter” misalnya siswa akan cenderung meng-ya-
kan pendapat gurunya meskipun batinnya bertentangan. Bukan tidak
mungkin siswa berbuat atau melakukan tindakan yang bertentangan
dengan hati nurani hanya dengan maksud menyenangkan gurunya.
Dipihak lain, jika dia tidak tersenyum pada saat batinya “seharusnya”
menjerit, dia akan dikucilkan oleh gurunya. Secara kekinian, fenomena
ini seharusnya tidak muncul lagi sejalan dengan pertumbuhan dan
perkembangan profesionalitas guru.
Efektivitas kelompok siswa dapat dilihat dari berbagai sudut
pandang dan dapat dinilia dengan berbagai cara. Setiap kelompok
efektivitasnya hanya dappat diukur dengan ukuran tertentu. Ukuran itu
tidak cocok dipakai untuk mengukur efektivitas kelompok siswa yang
memiliki karakteristik berbeda. Secara luas, kriteria dapat dirumuskan
sebagia penjumlahan sifat-sifat yang dimiliki kelompok tersebut.
Misalnya, digunakan adalah kepuasan yang dicapai dan aktifitas
persaudaraan, disbanding kriteria lain sesuai dengan harapan yang
dikehendaki. Pada kelompok siswa peserta olempiade, kriterianya
adalah memenangi perlombaan, ditandai dengan menerima
penghargaan, piala, uang, dan sebagainya.
Pada satuan pendidikan, ukuran tersebut menjadi sangat
relative. Sesuatu yang dianggap memuaskan oleh kepala sekolah
belum tentu memuaskan bagi guru. Sesuautu yang sangat memuaskan
bagi guru, belum tentu memuaskan bagi siswa. Merujuk pada kriteria
pokok efektivitas kelompok serta tujuan penentuan kriteria itu,
kelompok siswa dapat digolongkan ke dalam beberapa golongan,
yaitu:
a. Kelompok kerja siswa,
b. Kelompok siswa kreatif,
c. Kelompok siswa seminat atau sehobi,
18

d. Kelompok bakti social siswa,
e. Kelompok siswa secara tentative,
f. Kelompok siswa yang terbentuk secara kebetulan.
Dalam praktiknya, kelompok-kelompok siswa ini tidak dapat
dipisahkan secara tegas. Dalam kelompok kerja siswa, tidak jarang ada
sub-sub kelompok minat, kreatif, bakti social dan lain-lain. Disamping
itu, perlu diingat dan harus jadi perhatian munculnya klasifikasi tanpa
dasar karena perbedaan kategori hal yang mungkin terjadi. Kelompok-
kelompok khusus dapat saja terbentuk melalui proses yang amat
sederhana. Dilembaga-lembaga sekolah dikenal adanya Kelompok
Kerja Guru (KKG), Munyawara Guru Mata Pelajaran (MGMP),
Panitia Penerima Siswa Baru (PPSB), dan kelompok kerja lainnya
sesuai dengan kebutuuhan. Kecenderungan itu harus berlangsung pada
setiap organisasi social.
2. Ukuran Kelompok Siswa yang Efektif
Varians kelompok siswa menentukan tingkat efektivitasnya.
Krech, Cruthfield, dan Ballachey (1982) merumuskan sebuah teori,
bahwa efektiviitas suatu kelompok tergantung pada karakteristik
structural kelompok itu sendiri, seperti ukuran kelompok, susunan
anggota, struktur, status, dan jalur-jalur komunikasi kelompok itu.
Mengingat bahwa efektivitas suatu kelompok merupakan fungsi
karakteristik truktur kelompok tersebut.
Pertanyaan yang sering muncul pada kalangan teoritis dan
praktis adalah “ mana yang lebih efektif, kelompok besar atau
kelompok kecil?” P ertanyaan ini penting untuk menentukan jumlah
rombongan belajar siswa per kelas. Studi Kochler (1972) menunjukan
bahwa dalam olah raga Tarik tambang terlihat bahwa kelompok yang
lebih besar dapat menarik lebih kuat daripada kelompok kecil. Akan
tetapi, tidak semua anggota kelompok sisiwa menguluarkan tenaga
tidak maksimal. Perluasan atau penambahan angggota mungkin saja
meningkatkan penampilan kelompok secara keseluruhan, tetapi dapat
19

pula mengurangi produktivitas masing-masing anggota kelompok itu.
Peningkatan produktivitas kelompok siswa tidak terbanding lurus
dengan penambahan jumlah anggotanya.
Untuk memahami hubungan antara ukuran kelompok siswa dan
penampilan kelompok siswa yang efektif, perlu diteliti bagaimana
perubahan ukuran kelompok itu dapat memengaruhi variable terikat.
Analog dengan kesimpulan ini, jika siswa dikelompokkan dalam
jumlah yang cukup banyak, bukan tidak mungkin tugas kelompok itu
dapat mereka selesaikan lebih cepat. Namun, bukan tidak mungkin
cepatnya menyelesaikan tugas kelompok itu karena salah satu atau
beberapa anggotanya bekerja cepat. Jika demikian, penyelesaian tugas
kelompok ini tidak mempresentasikan sumbangsih masing-masing
anggota kelompok siswa.
Ukuran kelompok menentukan kohesivitas dan kepuasan
anggotanya. Hasil penelitian Seashore (1954) terhadap kohesivitas dari
228 kelompok kerja suatu pabrik yang besar menghasilkan beberapa
kesimpulan. Pertama, kelommpok yang lebih kecil, yang terdiri atas
sebanyak 4 atau sampai dengan 22 anggota, ternyata rata-rata lebih
kohesif daripada kelompok yang lebih besar. Kedua, jangkauan
kohesivitas keompok kecil lebih besar daripada kelompok besar.
Bagaimana kaitan antara ukuran kelompok dan partisipasi
masing-masing anggota ?ukuran kelompok berkorelasi dengan
penyebaran partisipasi. Bales (1951), Stephen, dan Mishler (1952)
merumuskan bebrapa kesimpulan penelitian sebagai berikut:
a. Jika luas kelompok bertambah besar, contributor yang paling
efektif yang akan memegang peranan dominan. Dalam
kerangka ini, penunjukan keua kelas menjadi penting untuk
diperhatikan, untuk dapat memberi pengaruh kepada siswa
lainnya. Idealnya, ketua kelas adalah siswa yang rajin, pintar,
santun, dan memiliki kemampuan memimpin dan
memengaruhi teman-temannya.
20

b. Semakin besar kelompok, semakin besar pula jarak partisipasi
antara kotributor yang paling aktif dan anggota kelompok lain.
Dalam kaitan ini, jumlah rombongan belajar per kelas
hendaknya tidak terlalu banyak. Factor kemampuan guru dalam
mengelola kelas menjadi factor yang harus dipertimbangkan.
Dengan kemampuan mengelolah kelas dengan baik, seorang
guru tetap akan mampu melaksanakan pembelajaran secara
relative efektif meskipun jumlah rombongan belajar cukup
besar.
c. Pada kelompok besar, komunikasi cenderung terputus pada
satu orang. Di kelas, gejala ini dapat dikurangi dengan
mengembangkan kelompok seminat atau sehobi. Di kelas, tidak
dihadapkan adanya seorang atau sekelompok siswa mendomisi
yang lain, kecuali untuk tujuan-tujuan pembelajaran yang
produktif.
d. Jumlah orang yang kurang aktif atau kurang mengambil bagian
sebagaimana mestinya dalam suatu keompok akan menjadi
lebih besar pula jika luas kelompok bertambah. Dengan
demikian, tampaknya akan lebih efektif mengelolah
rombongan belajar yang relative kecil daripada rombongan
belajar yang besar.
Di dunia kerja pada umumnya, bertambahnya anggota
kelompok tidak sepenuhnya berdampak negative. Jika luas kelompok
bertambah besar, jumlah ide yang dihasilkan juga bertambah, terutama
jika dalam kelompok itu berkembang suasana egaliter dan demokratis.
Namun, pertambahan itu sangat mungkin tidak sebanding dengan
penambahan jumlah anggota. Secara teoretis, semakin besar kelompok,
semakin banyak pula anggota yang mengalami hambatan
berpartisipasi.
Factor lain yang turut menentukan kohesivitas anggota
kelompok siswa adalah tantangan yang muncul dari subtugas itu. Jika
21

seorang siswa hanya bertugas untuk memelihara kebun
percobaan,ternak itik percobaan, tanaman obat percobaan dan lain-lain,
ukuran kohesivitasnya sangat sulit ditemukan karena pekerjaanya
demikian. Pembahasan partisipasi yang dialami siswa sebagai anggota
kelompok rombongan belajar yang besar, cenderung memandamkan
penilaian kritis terhadap ide-ide yang disampaikan oleh teman
sepermainannyayang lebih dominan. Produktivitas kelompok kreatif
siswa akan bertaha karena sebagian besar rekan mereka berdiam diri.
Anggota kelompok salah kaprah jika ada teman kelompok diam
diidentikan dengan setuju, dan berbeda pendapat diartikan menolak.
Tugas guru kelas adalah mengoordinasikan perbedaan pendapat
diantara sesama siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran dan
dinamika kehidupan siswa, bukan anti pendapat.
Ukuran kelompok siswa dilihat juga dalam kaitannya dengan
perilaku guru sebagai manajer kelas. Corak perilaku kepemimpinan
guru kelas dapat dipengaru dengan oleh ukuran kelompok siswa.
Ukuran kelompok berkaitan erat dengan produktivitas. Guru sebagai
manajer kelas dapat memengaruhi cara berfungsi siswa, baik secara
individual maupun kelompok, meskipun untuk mengkajinya tidak
sederhana. Beberapa hasil penelitian tentang hubungan antara besar
atau luas kelompok dengan efektivitas sangat sulit didefinisikan. Hasil
penilitian Krech dkk. (1982) dibawah ini sangat mungkin bermanfaat
bagi pelaksanaan manajemen kelas oleh guru.
a. Antara hasil dengan luas atau besarnya anggota kelompok
terdapat korelasi negative. Kelompok kecil dengan kurang dari
10 orang, perorangan menghasilkan 7% lebih banyak dari
kelompok dengan anggota sebanyak 30 orang atau lebih.
b. Kepuasan (satisfaction) dan efisiensi kerja cenderung
berkurang sejalan bertambahnya unit-unit administrasi.
Semakin banyak unit dalam organisasi, kepuasan dan efisiensi
menjadi semakin berkurang.
22

c. Dalam proses pemecahan masalah (problem solving),
kelompok kecil (sekitar 3 orang) lebih cepat dan lebih teliti
dalam memecahkan masalah-masalah konkret. Kelompok yang
lebih besar, sekitar 6 orang, lebih cepat dalam memecahkan
masalah-masalah abstrak. Prodik pemikir kuantitatif lebih
mudah dihasilkan kelompok kecil, sedangkan produk
pemikiran kualitatif lebih mudah dihasilkan oleh kelompok
yang lebih besar.
d. Dalam hal efisiensi pemecahan masalah (efficiency of problem
solving) disimpulkan bahwa usaha memperbesar jumlah
peserta dari 2 orang menjadi 4 orang yang mengurangi
kemungkinan membuat kekagagalan. Dengan demikian,
kelompok penecah maslah jangan terlalu kecil dan jangan
terlalu besar. Oleh sebab itu, ada pembatas jumlah maksimal
anggota kelompok untuk mencapai hasil yang optimal. Besar
optimal dari anggota kelompok merupakan fungsi kekompakan
dalam melaksanakan tugas atau derajat ketidak seragaman
(hitrogenity) kemampuan dan keterampilan yang diperlukan
untuk tugas itu dari anggota-anggota yang ada.
3. Susunan Kelompok Yang Efektif
Merujuk pada beberapa hasil penilaian dapat disimpulakan
bahwa factor dominan dari efektifitas pencapaian tujuan oleh
kelompok. Beberapa factor penentu dimaksud adalah karakteristik-
karakteristik perseorangan tiap anggota yang membentuk kelompok
itu, dan kombinasi atau pola kepribadian yang relative menetap yang
membentuk kelompok itu.
Haython (1953 mengadakan penelitian tentang karakteristik
perorangan anggota kelompok dan pengaruhnya terhadap perilaku
kelompok. Hayton menyimpulkan sebagai berikut :
23

a. Perilaku kerja sama, efisiensi dan pengertian mempunyai
hubungan posirif dengan kelancaran kerja dan produktivitas
kelompok.
b. Perangi perorangan, seperti sifat argesif, percaya pada diri
sendiri, inisiatif minat pada pemecahan masalah serta
perseorangan, serta sifat otoriter, cenderung mengurangi
kohesivitas dan persahabatan.
c. Sifat ramah berlebihan dapat mengurangi motivasi kelompok
serta persaingan, tetapi dapat meningkatakan persahabatan dan
minat dalam interaksi social dalam anggota.
d. Kematangan dan sifat dapat menyesuaikan diri serta menerima
orang lain dapat menunjang cara kerja efektif dari kelompok.
e. Sifat curiga, eksentrik dan tidak peduli terhadp teman
cenderung melemahkan kelancaran kerja kelompok.
4. Kombinasi Pola Pribadi Anggota
Pola pribadi siswa didalam kelas tidak terlalu menetap tetapi
situasional. Masalah yang sama dapat saja direspon oleh siswa secara
berbeda jika situasinya berbeda. Dalam keadaan biasa, masalh tertentu
dihadapi oleh siwa dengan cara yang biasa pula. Pada kondisi tidak
biasa, masalh yang sama sering dihadapi oleh siswa dengan cara yang
berbeda, seperti menggerutu, destruktif, menghindarkan dir dan lain-
lain.
Pola keanggotaan kelompk siswa daa dua jenis, yaitu pola
keanggotaan homogen dan dan pola keanggotaan kompatibel. Siswa
yang mempunya penilaian, sikap dan minat yang sama cenderung
membentuk kelompok yang stabil dan tahan lama setidaknya selama
mereka berad dikelas yang sama. Kelompok siswa yang homogentidak
saling mengingkari , meskipun situasinya berbeda. Jika ada diantara
kelompok siswa yang hanya ingin mengambil keuntungan dari
persahabatan itu tanpa mau mengambil resiko, berarti dia tidak berada
pada pola keanggotaan yang homogeny. Keseragaman atau ketidak
24

seragaman anggota kelompok siswa dapat memengaruhi hubungan
antara sesame mereka dan menentukan produktivitas kelompok siswa
itu.
Kelompok homogeny dapat membantu produktivitas,
sedangkan kelompok heterogen yang dapat dikendalikan secara baik
membuat produktivitas semakin tinggi. Meskipun begitu, praktiknya
tidak selalu demikian karena bnyak factor penentu produktivitas ,
seperti sarana dan prasarana, iklim kerja, ketentuan jam kerja, sitem
imbalan dan lain-lain. Oleh karena itu homogenitas kelompok dapat
nenunjang produktivitas, dapat sebaliknya, yaitu menurunkan
produktifitas.
Pola keanggotaan kompetibel merupakan factor yang sangant
penting. Penelitian Schutz (1957), mengenai pengaruh kompatibilitas
kelompok terhadap produktivitas, menghasilka kesimpulan berikut
ini.Pertama, pengaru kompatibilitas terhadap produktifitas sangat
positif. Produktifitas meningkat sejalan dengan meningkatnya
kerumitan tugas. Kedua, pada pemecahan masalah yang sederhana,
yang tidak memerlukan kerja sama antaranggota, tidak terdapat
perbedaan yang nyata antara kelompok yang kompatibel dan yang
tidak kompatibel. Semakin rumit masalah yang dihadapi dalam
pekerjaan, semakin nyata bahwa kelompok yang kompatibel lebih baik
penampilannya yang tidak kompatibel.
25

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di Negara maju reformasi pendidikan berporos pada
desentralisasi.Sejak tahun 1960-ansampai 1990-an di Amerika Serikat
telah berjalan “empat generasi” gerakan reformasi manajemen pendidikan
yang semuanya menjurus kepada desentralisasi hingga sampai kepada
istilah MBS. MBS merupakan pengindonesiaan dari school-based
management (SBM) atau school-site management (SSM).
Konsep manajemen kelas hingga mencapai bentuknya sekarang
telah menempuh perjalanan sejarah cukup panjang atau mengalami
evolusi. Hal ini, antara lain ditentukan oleh pemikiran filosofis
kependidikan, kemajuan budaya masyarakat, dan skema pemikiran
mengenai makna kelas.
Pendekatan atau metode yang dipakai dalam proses manajemen
kelas telah mengalami perubahan cukup drastis, dengan tetap
memosisikannya memiliki kaitan erat satu sama lain.
Pada fenomena guru pemula sering terjadi ketidakpahaman dalam
hal-hal tertentu terkait proses pembelajaran, sehingga pemerintah bersama
mendiknas mengeluarkan program induksi yaitu program pengarahan bagi
guru pemula agar dapat menciptakan guru handal yang profesional yang
mampu menciptakan generasi baru yang cerdas.
Pada manajemen kelas bagi guru pemula terdapat tiga area isu
krusial dari keahlian yang perlu dimiliki oleh guru pemula, yaitu
pengetahuan tentang cara mengelola kelas, pengetahuan di bidang mata
pelajaran atau penguasaan bahan ajar, pembelajaran tentang latar belakang
sosiologikal dari para siswa yang dididik. Selain itu guru dituntut untuk
memiliki tiga area keahlian : perencanaan, manajemen, dan pengajaran.
Beberapa peran guru kelas yaitu peran guru dalam
pengorganisasian kelas, peran guru dalam pengaturan tempat duduk, peran
guru dalam pengaturan alat-alat pelajaran, peran guru dalam pemeliharaan
26

keindahan ruangan kelas, peran guru dalam pengaturan cahaya, ventilasi,
akustik dan warna, serta peran guru dalam menciptakan keteraturan
(establishing order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitating
learning).
Ukuran produktivitas, efesiensi dan efektivitas kelompok siswa itu
berbeda masing-masing kelas, apabila menurut kriteria dan kepentingan
siswa secara individual. Ukuran produktivitas aktivitas rombongan belajar
dengan pendekatan teoritis, berbeda dengan rombongan belajar ddengan
pendekatan praktik. Ukuran produktivitas kegiatan belajar di kelas berbeda
dengan kegiatan sejenis diluar kelas. Demikian juga, ukuran hasil belajar
di laboratoeium atau di objek-objek studi di luar kampus sekolah.
Sebagai manajer, guru dituntut dapat memberikan kekuatan formal
dan personal melalui tata kelola rombonagn belajar dan semua daya
dukungnya secara dinamis dan efektif dan efisien. Rombongan belajar
yang tidak mampu menciptakan dinamika proses pembelajaran yang baik
akan terjebak kedala kejenuhan. Sebaliknya, kelompok siswa yang dapat
membangun dinamika yang dinamis untuk pembelajaran senantiasa dapat
memupuk semangat belajarnya secara kontinu.
B. Saran
Sebagai mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, juga
sebagai calon guru yang nantinya akan menjadi guru pemula sudah
semestinya memahami sejarah manajemen kelas, manajemen kelas dan
guru pemula, serta kelas sebagai kelompok efektif dan sebaiknya
memahami pula materi-materi yang berkaitan dengan manajemen kelas
yang lain agar bisa memanajemen kelas dengan baik nantinya.
27

DAFTAR PUSTAKA
Fattah, Nanang., 2000. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya.
Sudarwan Danim dan Yunan Danim. 2010. Administrasi Sekolah dan ManajemenKelas. Bandung : Pustaka Setia.
Adjie, Warsito. 2012. Sistem Penjaminan Profesionalisme Guru Pemula melaluiProgram Induksi. diunduh dari http://warsitoadjie.blogspot.com/2012/01/sistem-penjaminan-profesionalisme-guru.html pada tanggal 2 januari 2015.
http://gurukreatif.wordpress.com/ diakses pada tanggal 3 januari 2015.
28