Makalah kkn ihdn
-
Upload
budi-suarjaya -
Category
Documents
-
view
333 -
download
1
Transcript of Makalah kkn ihdn
DINAMIKA MASYARAKAT HINDU : PENDEKATAN ADAT DAN BUDAYA
OlehNengah Bawa Atmadja
1. Pendahuluan
Manusia pada dasarnya adalah makhluk individu. Manusia sebagai
makhluk individu terdiri dari tubuh dan roh sebagai dua entitas yang menunggal
sehingga melahirkan istilah manusia adalah insan yang menubuh sekaligus meroh
– memiliki atman atau sebaliknya, merupakan makhluk yang meroh sekaligus
menubuh. Roh dalam tubuh manusia adalah percikan dari Brahman sehingga tidak
mengherankan jika manusia selalu ingin berhubungan atau bahkan menyatu
dengan Brahman. Dalam konteks inilah manusia membutuhkan agama baik
sebagai pedoman hidup maupun petunjuk jalan guna mewujudkan kemanunggalan
roh (atman) dengan Brahman atau dalam agama Hindu disebut moksha (Atmadja
dan Atmadja, 2012).
Manusia tidak saja sebagai makhluk individu, tetapi juga sebagai makhluk
sosial. Artinya, manusia selalu ingin hidup berkawan, membentuk sistem sosial
guna memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang menyangkut kebutuhan fisikal,
psikologis dan sosial. Dalam konteks ini agama sangat penting, karena agama
tidak saja memberikan pedoman agar manusia bisa mewujudkan tujuan hidup
yang tertinggi, yakni moksha, tetapi memberikan pula pedoman agar manusia bisa
bertindak secara baik dan benar dalam masyarakat sehingga peluang terciptanya
masyarakat yang damai terwujudkan secara optimal. Kenyataan ini tidaklah
mengherankan karena manusia pada dasarnya adalah homo religius, yakni
makhluk beragama. Agama merupakan kebutuhan kodrati bagi manusia (Atmadja
dan Atmadja, 2012). Gagasan ini menimbulkan implikasi bahwa tanpa agama
maka manusia tidak bisa mengada secara utuh, karena roh atau atma-nya tidak
mendapatkan santapan – yang pada akhirnya berujung pula pada tindakan, karena
terkait pula dengan tata kelakuan. Setiap agama berintikan kepada keyakinan
terhadap adanya Tuhan. Tuhan dipuja dengan berbagai kepentingan sehingga
manusia bergantung kepada Tuhan. Dengan demikian manusia secara substansial
1
tidak saja sebagai makhluk indvidu dan sekaligus sebagai makluk sosial, tetapi
juga sebagai makhluk religius dan makhluk pendoa.
Berdasarkan paparan tersebut maka agama sangat penting bagi kehidupan
manusia. Walaupun agama sangat penting, namun dalam menyelenggarakan
kehidupannya manusia tidak hanya membutuhkan agama, tetapi juga kebudayaan
yang di dalamnya mencakup sistem sosial, sistem budaya dan teknologi beserta
ruang dan waktu sebagai arenanya. Kebudayaan tunduk kepada hukum perubahan,
tidak ada kebudayaan yang kekal, melainkan selalu berpeluang untuk berubah
sehingga kebudayaan selalu bersifat dinamis. Perubahan ini pada akhirnya
menyentuh pula agama, dalam arti, agama sebagai teks suci bisa abadi, namun
pengaktualisasiannya tunduk pula pada hukum perubahan.
2. Hakikat Masyarakat Hindu
Paparan di atas menunjukkan agama merupakan kebutuhan kodrati bagi
manusia – sama halnya dengan kebutuhan lainnya, misalnya makanan. Berkenaan
dengan itu tidak mengherankan jika manusia menempatkan agama pada posisi
yang amat sentral – ditambah lagi karena cirinya yang sakral, yakni sebagai
identitas diri. Bahkan yang tidak kalah pentingnya, sesuai dengan hakikat
manusia, tidak saja sebagai makhluk individu, tetapi juga sebagai makhluk sosial
maka tidak mengherankan jika agama, selain ditempatkan sebagai identitas diri,
tetapi juga sebagai identitas sosial. Artinya, agama dipakai sebagai dasar untuk
membedakan antara saya yang satu dengan saya yang lainnya – agama sebagai
indentitas diri atau identitas pribadi atau antara kita yang satu dengan kita yang
lainnya (kita dan mereka) - agama sebagai identitas masyarakat, sosial atau
kolektif. Jika agama yang dianut adalah agama Hindu maka pada tataran individu
lahir istilah orang Hindu (saya adalah orang Hindu) dan pada tataran sosial atau
kolektif lahir istilah kita Hindu atau kita masyarakat Hindu.
Label saya orang Hindu – sebagaimana tercermin pada KTP (Kartu Tanda
Penduduk) atau kita orang Hindu sehingga melahirkan masyarakat Hindu
mengandung makna bahwa agama Hindu diposisikan sebagai roh bagi
kebudayaan. Penempatan agama Hindu sebagai roh kebudayaan dapat
diabstrasikan dalam suatu bagan, seperti terlihat pada Bagan 1.
2
Bagan 1Dinamika Masyarakat Hindu, Pendekatan
Adat dan Budaya
Berdasarkan Bagan 1 maka dapat dijelaskan bahwa agama Hindu sebagai
roh kebudayaan akan tercermin pada bentuk-bentuk kebudayaan, yakni sistem
sosial, sistem budaya dan teknologi (kebudayaan fisik) beserta ruang waktu
sebagai arenanya. Agama Hindu sebagai roh kebudayaan, dilihat dari segi
penampakkannya, bisa dipilahkan menjadi dua, yakni penampakan bersifat
manifes atau nyata dan penampakkan bersifat laten atau tersembunyi.
2.1 Penampakkan secara manifes = kebudayaan agama
Penampakan secara manifes berarti agama Hindu sebagai roh kebudayaan
secara langsung dan nyata membentuk suatu kebudayaan sehingga orang Bali pun
3
Kebudayaan Global Globalisasi (Ideologi
Pasar) Materialisme Konsumerisme Hedonisme, dan lain-
lain
Kebudayaan Nasional(Empat Pilar Negara)
Pancasila UUD 1945 Bhineka Tunggal Ika NKRI
Sistem Sosial Masyarakat Hindu Komunitas Hindu
(desa pakraman)
Teknologi Alat dan cara Mencakup
keseluruhan hidup manusia
Ruang dan Waktu Lingkungan alam biofisik/buatan Waktu (catur yoga, sapta wara, dan
lain-lain.)
Agama Hindu (roh kebudayaan)
Teks Suci Kebenaran
mutlak dan finalis
Sistem Budaya lokal Ideologi (Tri Hita Karana) Sistem nilai Norma Pengetahuan lokal/kearifan lokal
sebagai pendukungnya dengan mudah bisa mengenalinya. Begitu pula orang non-
Bali tidak saja mengenalinya, tetapi juga mengakuinya. Dengan mengacu kepada
Bagan 1, penampakan secara nyata bisa dilihat pada empat aspek, yakni pertama,
sistem budaya adalah agama Hindu dipakai sebagai nilai dan norma dalam
masyarakat. Kedua, kebudayaan fisik, misalnya berwujud pura dan aneka
pelinggih yang ada di dalamnya, banten, bade, dan lain-lain merupakan
kebudayaan yang terbentuk karena agama Hindu. Ketiga, sistem sosial terdapat
wangsa, yakni brahmana, kesatria, wesya dan jaba yang disamakan dengan sudra.
Begitu pula muncul berbagai tindakan sosial sebagai aktualisasi agama Hindu,
antara lain ritual bersama, seperti dewa yadnya, pitra yadnya, manusa yadnya,
dan lain-lain. Keempat, ruang dan waktu. Misalnya, penataan lingkungan buatan
antara lain rumah tinggal orang Bali memiliki pura keluarga, misalnya sanggah
kemulan. Perhitungan waktu memakai model Hindu, misalnya sapta wara.
Aneka bentuk kebudayaan ini secara nyata beroh agama Hindu. Sebab, jika
agama Hindu tidak ada maka dapat dipastikan bahwa pura misalnya, secara
otomatis tidak akan ada dalam masyarakat. Berkenaan dengan itu maka suatu
kebudayaan yang berohkan pada agama sehingga hidup matinya atau ada dan
tidaknya bergantung pada agama, bisa disebut kebudayaan agama (Atmadja,
2010). Jika yang menjadi rohnya adalah agama Hindu maka kebudayaan agama
yang terlahir bisa disebut kebudayaan (agama) Hindu.
2.2 Penampakkan yang laten = kebudayaan nonagama
Kebudayaan ciptaaan manusia bisa pula berfungsi sebaliknya, yakni secara
total tidak berhubungan dengan agama. Dengan demikian dia bisa disebut sebagai
kebudayaan nonagama. Misalnya, sepatu, kursi, meja, dan lain-lain. Kebudayaan
nonagama sepenuhnya diciptakan guna memenuhi kebutuhan manusia dalam
konteks kepentingan keduniawian atau terkait pemenuhan ketubuhan. Barang
budaya seperti ini, pada umumnya bersifat nonsakral, melainkan sebaliknya,
yakni profan.
4
2.3 Kebudayaan tipe campuran
Pada masyarakat Bali lazim dijumpai kebudayaan tipe campuran antara
dimensi agama dan nonagama. Misalnya, rumah tinggal orang Bali pada mulanya
merupakan kebudayaan nonagama. Sebab, rumah dibuat guna memenuhi
kebutuhan dasar manusia akan papan. Namun, sebelum rumah difungsikan oleh
pemiliknya, maka rumah harus diupacarai yang disebut melaspas umah. Begitu
pula suatu kebudayaan dalam kesehariannya bersifat nonagama, namun suatu
ketika diberikan kehormatan lewat ritual. Misalnya, mobil adalah barang
kebudayaan keseharian nonagama. Namun, ketika Tumpek Landep, mobil
dilibatkan dalam suatu ritual yang disebut otonan besi. Dengan adanya kenyataan
ini maka tidak mengherankan jika banyak barang budaya milik orang Bali bersifat
abu-abu, yakni campuran antara sakral dan profan.
Kebudayaan agama dan nonagama bisa saja bentuknya sama, namun
perbedaannya secara substansial terkait dengan ruang, waktu dan ritual yang
melegitimasinya. Misalnya, tedung di pura dan tedung yang dijual pada suatu
toko di pinggir jalan jurusan Denpasar – Singaraja, yakni di Desa Mengwi,
bentuknya sama. Begitu pula topeng rangda yang dijual di toko cendramata dan
yang disimpan di pura bentuknya bisa saja sama. Walaupun bentuknya sama,
namun nilainya berbeda. Barang budaya di pura bernilai sakral, sedangkan barang
budaya di toko cendramata adalah profan. Perbedaan nilai ini tidak hanya dalam
bentuk label, tetapi juga dilegitimasi lewat ritual penyucian yang kaya dengan
perilaku simbolik. Tujuannya, tidak saja untuk menunjukkan nilai kesakralan,
tetapi juga nilai magis sehingga penggunaannya sebagai peralatan ritual – pratima
bisa memunculkan getaran emosi keagamaan dalam konteks memperkuat
keyakinan seseorang terhadap Tuhan dan atau dewa yang mereka puja.
Penempatan agama Hindu sebagai roh kebudayaan yang teraktualisasi
dalam bentuk kebudayaan agama atau campuan antara kebudayaan agama dan
nonagama, mengakibatkan terbentuknya masyarakat Hindu. Artinya, kebudayaan
yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Hindu baik secara manifes atau
secara nyata dan disadari oleh pendukungnya maupun secara laten atau tidak
nyata dan tidak disadari oleh para pendukungnya, secara substansial merupakan
pencerminan dari agama Hindu. Kondisi ini berbeda dengan kebudayaan yang
5
berkembang pada masyarakat atau komunitas lain yang bukan Hindu. Akibatnya,
kedua belah pihak bisa membedakan dirinya satu sama lainnya dengan berpegang
pada pelabelan sosial bahwa masyarakat kita adalah masyarakat Hindu,
sedangkan masyarakat mereka adalah masyarakat bukan Hindu. Saya adalah
orang Hindu dan dia adalah bukan orang Hindu. Kita berbeda daripada mereka.
Begitu pula saya berbeda dengan dia. Aspek paling esensial yang
membedakannya adalah agama Hindu sebagai roh kebudayaan.
3. Tata kelakuan dalam masyarakat lokal
Perbedaan sebagai identitas dan tata kelakuan yang ada dibaliknya, yakni
nilai dan norma dipelihara dan diwariskan secara menggenerasi sehingga
terbentuk tradisi. Dengan mengacu kepada Atmadja, Suandi dan Sutama (2012)
ada berbagai bentuk tata aturan atau norma yang berlaku dalam masyarakat,
lengkap dengan sanksi-sanksinya seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1Pembagian norma atas dasar kualitas sanksi
yang dikenakan bagi pelanggarnya
No. Jenis norma Keterangan Bentuk sanksi atas pelanggaran
1. Cara (usage)
Cara menunjukkan pada suatu perbuatan yang lebih menonjol dalam konteks hubungan antarindividu dalam masyarakat. Misalnya, cara minum dan cara makan tidak boleh mengeluarkan suara.
Jika orang mengabaikan- nya tidak dihukum berat, tetapi hanya sekedar mendapatkan celaan secara individual.
Sanksi secara individu.
Kekuatan sangat lemah.
2. Kebiasaan atau kelaziman (folkways)
Kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang, karena disukai oleh banyak orang. Perbuatan ini dilakukan tanpa berpikir panjang hanya berdasarkan kelaziman dan atau tradisi. Apa yang dianggap sebagai kebiasaan diikuti, karena diasumsikan sebagai sesuatu yang baik, patut, layak, sopan, dan lain-lain. Misalnya, kebiasaan orang yang lebih muda menghornati orang yang lebih tua.
Pelanggaran dikenai sanksi yang lebih keras, misalnya teguran oleh orang banyak. Kebiasaan sulit dibedakan dengan cara (usage) sehingga keduanya sering dianggap sama (disamakan)
Sanksi dalam bentuk
6
disalahkan oleh orang banyak.
Sanksi sosial terhadap kelaziman bisa berwujud anggapan bahwa yang bersangkutan adalah ajaib, gila, biadab, ditertawakan dan diejek.
Memiliki kekuatan agak kuat atau lebih kuat daripada cara.
3. Tata kelakuan, aturan kesusilaan atau mores
Tata kelakuan adalah norma yang diikuti tidak hanya secara otomatis dan tanpa berpikir, tetapi disertai pula dengan ketaatan karena dihubungkan dengan keyakinan dan perasaan. Hal ini dikaitkan dengan suatu nilai yang penting dalam masyarakat atau suatu kelompok sosial.Tata kelakuan adalah kebiasaan yang diterima sebagai kaidah pengatur. Tata kelakuan memilik beberapa ciri, yakni : pertama, merupakan sarana untuk mengawasi perikelakuan warga masyarakat. Kedua, tata kelakuan merupakan kaidah yang memerintahkan atau sebagai patokan yang membatasi sepak terjang warga masyarakat. Ketiga, tata kelakuan mengidentifikasikan pribadi dengan kelompoknya. Keempat, tata kelakuan merupakan salah satu sarana untuk mempertahankan solidaritas masyarakat (Soekanto, 2012).
Penyimpangan terhadap kesusilaan dianggap salah atau bahkan jahat.
Sanksi dalam bentuk hukuman.
Kekuatan mengikat terhadap masyarakat kuat.
4. Adat istiadat
Kebiasaan sebagai tata kelakuan yang terintegrasi secara kuat dalam masyarakat.
Orang yang melanggar dikenai sangsi dikeluarkan dari masyarakat.
Kekuatan mengikatnya kuat sekali.
5. Hukum Adat istiadat yang memiliki Pelanggar hukum
7
adat kekuatan hukum. adat dikenai sanksi adat, yakni pemulihan dan hukuman.
Kekuatan mengikatnya kuat sekali.
6. Mode atau fashion
Cara dan gaya melakukan dan membuat sesuatu yang sering berubah-ubah serta diikuti oleh orang banyak atau bersifat massal. Mode terlihat misalnya pada cara berpakaian, memotong rambut, menikmati hiburan, dan lain-lain. Mode bisa memcerminkan kelas sosial, status sosial, perputaran musim atau bisa pula sebagai pencerminan protes sosial terhadap keadaan yang tidak disukai.
Tidak ada sanksi bagi mereka yang tidak bisa mengikuti mode.
Jikalaupun ada sanksi lebih bersifat individual, misalnya yang bersangkutan dikatakan sebagai orang ketinggalan mode atau ketinggalan zaman.
Tidak memiliki kekuatan mengikat, kecuali jika mode dikaitkan dengan gerakan protes sosial.
Berdasarkan berbagai bentuk norma yang berlaku dalam masyarakat seperti
terlihat pada Tabel 1 maka dapat dikatakan bahwa individu dalam masyarakat
tidaklah bebas sebebas-bebasnya, melainkan terikat pada berbagai tata kelakuan
berbentuk norma. Dengan mengikuti Geertz (1972) manusia pada dasarnya dapat
diibaratkan sebagai laba-laba yang bergerak bebas, namun tetap berada pada
jaring-jaring yang dibuatnya sendiri, yakni norma-norma. Setiap pelanggaran
terhadap norma-norma menimbulkan akibat, yakni sanksi. Sebagimana terlihat
pada Tabel 1 sanksi bisa ringan, yakni ditegur, diejek, ditertawakan atau
digunjingkan baik secara individual maupun secara kolektif. Sebaliknya, jika yang
dilanggar adalah adat istiadat dan hukum adat maka sanksinya keras, misalnya
denda berbentuk uang dan atau benda, kewajiban menyelenggarakan ritual
penyucian, pelarangan menggunakan fasilitas sosial milik desa pakraman,
kasepekang, dan lain-lain. Sanksi ini digariskan dalam awig-awig desa pakraman
dan atau dalam bentuk perarem (Atmadja, Suandi dan Sutama, 2012).
Norma yang berlaku dalam masyarakat Hindu merupakan ciptaan
manusia guna mengatasi berbagai masalah pada zamannya. Secara substansial
8
norma-norma tersebut bisa bersendikan pada agama sehingga bisa saling
memperkuat. Namun, tidak menutup pula kemungkinan bahwa norma-norma
yang berlaku tidak bersesuaian dengan agama Hindu atau bahkan bertentangan.
Walaupun tidak besesuaian, namun untuk menghapuskannya tidaklah mudah.
Kesulitan ini tidak semata-mata karena penganutnya tidak kritis – berpegang pada
dalil anak suba mula keto – memang seperti itulah sehingga tidak perlu dikritisi,
tetapi bisa pula karena keberlakuannya dikaitkan dengan keyakinan. Akibatnya,
pengabaian terhadapnya bisa menimbulkan sanksi religius-magis, misalnya
kapongor atau salahang dewa (Atmadja, 2010a).
Masyarakat Hindu tidak saja mengenal agama Hindu dan tata aturan
lainnya baik yang bersendikan agama Hindu maupun tidak, tetapi seperti terlihat
pada Bagan 1 mengenal kebudayaan nasional. Hal ini merupakan konsekuensi
dari masyarakat Hindu sebagai bagian dari NKRI. Dengan demikian apa pun
bentuk norma dalam masyarakat Hindu secara ideal harus mendukung empat pilar
negara, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Globalisasi
mengakibatkan masyarakat Hindu menjadi bagian dari kampung global. Kampung
global memiliki kebiasaan-kebiasaan global yang secara mudah masuk ke dalam
masyarakat Hindu – antara lain lewat tayangan iklan dan penampilan gaya hidup
para selebriti pada TV. Kondisi ini memerlukan percermatan mengingat bahwa
kebiasaan-kebiasaan global banyak yang bertentangan dengan agama Hindu.
Misalnya, kebiasaan global yang menekankan pada konsumerisme dan hedonisme
– perwujudan dari kamaisme, yakni paham yang mendewakan kama atau hasrat
tidak sesuai dengan agama Hindu. Sebab, agama Hindu menuntut keseimbangan
antara kama dengan kebajikan (dharma) dan alat untuk memuaskannya, yakni
artha (Atmadja, 2010, 2010a).
4. Dinamika masyarakat Hindu
Masyarakat Hindu, begitu pula masyarakat lainnya, selalu mengalami
dinamika, yakni perubahan sosial yang berlangsung secara terus-menerus.
Perubahan sosial bisa karena faktor manusianya, yakni bosan terhadap apa yang
telah ada, lalu berkreativitas untuk menciptakan sesuatu yang baru guna
meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Perubahan sosial bisa pula karena
9
masuknya suatu unsur kebudayaan dari luar dalam bentuk ide yang terkait dengan
cara-cara bertindak dan teknologi yang menyertainya. Unsur-unsur kebudayaan
dari luar yang paling kuat pengaruhnya pada zaman ini – disebut era posmodern
atau orang Hindu menyebutnya dengan istilah zaman nungkalik atau zaman
kaliyuga, adalah ideologi pasar yang ditandai oleh penawaran barang melimpah
lewat pasar dengan harga yang terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat,
karena adanya kloning kebudayaan. Pengonsumsian mutlak membutuhkan uang
sehingga zaman ini disebut pula zaman duit (Atmadja, 2010a).
Apa pun bentuk kebudayaan dari luar yang masuk ke dalam masyarakat
Hindu, begitu pun bentuk kreativitas manusia dalam konteks menyiptakan suatu
unsur kebudayaan yang baru, pada akhirnya berdampak terhadap sistem budaya,
sistem sosial dan teknologi pada masyarakat Hindu. Sesuai dengan hukum rwa
bhineda, maka perubahan tersebut bisa berdampak positif bisa pula sebaliknya,
yakni berdampak negatif. Dampak positif dan negatif bisa dilihat berdasarkan
fungsi suatu kebudayaan yang baru terhadap masyarakat Hindu, apakah membawa
kemanfaatan – fungsional atau sebaliknya tidak berguna – disfungsional bagi
sistem organisme biologis dan sistem organisme sosial (Ritzer, 2012; Johnson,
1986. Turner dan Maryanski, 2010).
Gejala ini dapat dilihat misalnya pada TV masuk desa. Dampak positifnya
adalah pemenuhan kebutuhan hiburan dan informasi yang secara terus-menerus
terbaharui, tidak saja menjadi amat mudah, tetapi juga sangat beragam. Bahkan
yang tidak kalah pentingnya TV menyiarkan ajaran agama Hindu lewat kegiatan
dharma wacana. Namun, di sisi yang lain muncul dampak yang tidak diinginkan,
karena TV menyebarluaskan berbagai isme, misalnya individualisme,
materialisme, konsumerisme, dan lain-lain. Individualisme misalnya, bisa
mengganggu kolektivisme dalam masyarakat Hindu sehingga kebiasaan yang
dianggap luhur, misalnya menyama beraya menjadi menyusut, baik dilihat dari
segi pemaknaan maupun ruang lingkup pelaksanaanya. Fenomena ini terlihat pada
kegiatan membuat banten untuk penyelenggaraan ritual daur hidup – antara lain
ngaben, yakni tidak lagi ditangani secara gotong royong – pencerminan
kolektivisme, tetapi didapat lewat pasar – pengaruh ideologi pasar sehingga
muncul industri banten yang berpusat pada geriya.
10
Kasus lain yang tidak kalah menariknya adalah cafe masuk desa. Cafe
menjelajah pada berbagai desa sehingga Bali mengalami cafeisasi. Kondisi ini
memang membawa dampak positif, yakni memunculkan peluang kerja, desa
mendapatkan retribusi atau donasi, dan lain-lain. Namun muncul dampak yang
tidak diinginkan, misalnya kebiasaan mabuk-mabukan, pelacuran terselubung
yang melibatkan cewek cafe dan laki-laki sebagai konsumennya. Berkenaan
dengan itu muncul keretakan hubungan suami istri dalam keluarga karena suami
terjerat oleh cewek cafe – ingat nyanyian Raka Sidan yang berjudul Song
Bererong. Bahkan yang tidak kalah pentingnya penularan penyakit karena
hubungan seksual, yakni HIV/AIDS terus mengalami peningkatan di Bali.
Kasus-kasus seperti ini tentu bisa diperpanjang lagi, mengingat bahwa
globalisasi mengakibatkan masyarakat Hindu menjadi bagian dari kampung
global sehingga sangat terbuka dengan berbagai unsur kebudayaan dari luar, baik
kebudayaan nasional maupun kebudayaan global. Namun, sebagaimana
dipaparkan pada contoh di atas, maka apa pun bentuk kebudayaan yang masuk ke
dalam masyarakat Hindu, selalu bermuka dua, yakni ada dampak positifnya ada
pula dampak negatifnya. Kedua bentuk dampak ini bisa menyentuh kebudayaan
Bali atau rohnya, yakni agama Hindu sebagaimana tercermin dari adanya
perubahan pada tataran kebudayaan fisik, tindakan sosial dan sistem budaya yang
berlaku dalam masyarakat Hindu, misalnya terjadi perubahan adat istiadat.
5. Apakah tugas utama mahasiswa IHDN yang ber-KKN?
Bertolak dari gagasan di atas maka timbul pertanyaan apakah tugas utama
mahasiswa IHDN yang ber-KKN agar masyarakat Hindu – masyarakat yang
menggunakan agama Hindu sebagai roh kebudayaan tetap eksis di tengah-tengah
perubahan sosial sebagai suatu keniscayaan? Jawaban atas pertanyaan ini tentu
tidaklah mudah karena masalah tidak bersifat hitam putih. Namun ada tindakan
strategis yang bisa dilakukan, yakni penyadaran kultural dan penyadaran agama.
5.1 Penyadaran kultural
Penyadaran kultural berarti mahasiswa yang ber-KKN mampu mengajak
masyarakat untuk melihat secara kritis tentang esensi kebudayaan, yakni
11
kebudayaan adalah ciptaan manusia sehingga tunduk kepada hukum perubahan.
Perubahan bisa semakin cepat atau bahkan bersifat drastik dan kompleksitasnya
amat tinggi karena adanya globalisasi. Perubahan bisa saja bermula dari masuknya
unsur teknologi ke dalam masyaraat, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa dalam
perkembangan selanjunya, perubahan bisa meluas ke dalam sistem sosial dan
sistem budaya. Perubahan pada tataran sistem budaya bisa terkait dengan
hilangnya adat tertentu dalam masyarakat. Namun, apa pun bentuk perubahan
sosial, maka mahasiswa yang ber-KKN harus mampu mengajak masyarakat untuk
berpikir kritis, bahwa setiap perubahan sosial, sesuai dengan hukum rwa bhineda,
selalu membawa dampak positif dan negatif. Karena itu, masyarakat perlu diajak
untuk mempertimbangkan secara matang setiap perubahan yang akan
dilaksanakan agar dampak negatifnya bisa ditekan seminimal mungkin.
5.2 Penyadaran agama
Mahasiswa yang ber-KKN idealnya mampu mengajak masyarakat untuk
melihat secara sadar tentang posisi agama Hindu, yakni: pertama, agama Hindu
adalah roh masyarakat dan kebudayaan yang menyertainya. Berkenaan dengan itu
maka agama Hindu harus dipertahankan, sebab, jika dia mati maka roh
masyarakat Hindu dan kebudayaannya secara otomatis akan hilang pula. Kedua,
perubahan sosial yang cepat, disertai dengan gencarnya serangan materialisme,
konsumerisme dan hedonisme terhadap masyarakat Hindu, mengakibatkan
manusia Hindu kehilangan arah. Gejala ini tercermin pada banyaknya perilaku
menyimpang bahkan melanggar hukum, misalnya korupsi. Dalam konteks ini
manusia tidak perlu kebingungan, sebab agama Hindu bisa dipakai sebagai
pedoman hidup, mengingat agama Hindu adalah kebenaran mutlak dan bersifat
finalis. Artinya, boleh saja orang melakukan pembenaran atas tindakannya, namun
jika agama menyatakan bahwa perbuatan tersebut dosa, maka manusia harus
mengikuti agama Hindu, karena agama adalah kebenaran mutlak dan finalis.
Ketiga, masyarakat terus berubah, sementara agama sebagai teks suci adalah
abadi. Dengan adanya kenyataan ini maka perla ada interpretasi dan reinterpretasi
terhadap teks suci suatu agama, begitu pula tafsir yang sudah ada atas teks suci
12
agar agama terus berkontekstual dengan kondisi sosiobudaya yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat Hindu.
DAFTAR PUSTAKA
Atmadja, N.B. 2010. Ajeg Bali Gerakan, Identitas dan Globalisasi. Yogyakarta: LKIS.
Atmadja, N.B. 2010a. Genealogi Keruntuhan Majapahit Islamisasi, Toleransi dan Pemertahanan Agama Hindu di Bali. Yogyarakata; Pustaka Pelajar.
Atmadja, N.B. dan Anantawikrama Tungga Atmadja. 2012. Flsafat Ilmu Pengetahuan (Ilmu, Teknologi, Kebudayaan, Agama dan Marginalisasi Pengetahuan Tradisional). Singaraja: Pascasarjana Undiksha.
Atmadja, N.B., I. N. Suandi dan I M. Sutama. 2012. Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Dasar (ISBD) Berorientasi Integrasi Nasional dan Harmoni Sosial pada Perguruan Tinggi di Bali. Singaraja. Unidiksha.
Johnson, D.P. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 2. (R.M.Z. Lawang Penerjemah). Jakarta: PT Gramedia.
Ritzer, G. 2012. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. (Saut Pasaribu dkk. Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Turner, J.T. dan A. Maryanski. 2010. Fungsionalisme. (Anwar Effensi dkk. Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
13