Makalah kkn ihdn

21
DINAMIKA MASYARAKAT HINDU : PENDEKATAN ADAT DAN BUDAYA Oleh Nengah Bawa Atmadja 1. Pendahuluan Manusia pada dasarnya adalah makhluk individu. Manusia sebagai makhluk individu terdiri dari tubuh dan roh sebagai dua entitas yang menunggal sehingga melahirkan istilah manusia adalah insan yang menubuh sekaligus meroh – memiliki atman atau sebaliknya, merupakan makhluk yang meroh sekaligus menubuh. Roh dalam tubuh manusia adalah percikan dari Brahman sehingga tidak mengherankan jika manusia selalu ingin berhubungan atau bahkan menyatu dengan Brahman. Dalam konteks inilah manusia membutuhkan agama baik sebagai pedoman hidup maupun petunjuk jalan guna mewujudkan kemanunggalan roh (atman) dengan Brahman atau dalam agama Hindu disebut moksha (Atmadja dan Atmadja, 2012). Manusia tidak saja sebagai makhluk individu, tetapi juga sebagai makhluk sosial. Artinya, manusia selalu ingin hidup berkawan, membentuk sistem sosial guna memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang menyangkut kebutuhan fisikal, psikologis dan sosial. Dalam konteks ini agama sangat penting, karena agama tidak saja memberikan pedoman agar manusia bisa mewujudkan tujuan hidup yang tertinggi, yakni moksha, tetapi memberikan 1

Transcript of Makalah kkn ihdn

Page 1: Makalah kkn ihdn

DINAMIKA MASYARAKAT HINDU : PENDEKATAN ADAT DAN BUDAYA

OlehNengah Bawa Atmadja

1. Pendahuluan

Manusia pada dasarnya adalah makhluk individu. Manusia sebagai

makhluk individu terdiri dari tubuh dan roh sebagai dua entitas yang menunggal

sehingga melahirkan istilah manusia adalah insan yang menubuh sekaligus meroh

– memiliki atman atau sebaliknya, merupakan makhluk yang meroh sekaligus

menubuh. Roh dalam tubuh manusia adalah percikan dari Brahman sehingga tidak

mengherankan jika manusia selalu ingin berhubungan atau bahkan menyatu

dengan Brahman. Dalam konteks inilah manusia membutuhkan agama baik

sebagai pedoman hidup maupun petunjuk jalan guna mewujudkan kemanunggalan

roh (atman) dengan Brahman atau dalam agama Hindu disebut moksha (Atmadja

dan Atmadja, 2012).

Manusia tidak saja sebagai makhluk individu, tetapi juga sebagai makhluk

sosial. Artinya, manusia selalu ingin hidup berkawan, membentuk sistem sosial

guna memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang menyangkut kebutuhan fisikal,

psikologis dan sosial. Dalam konteks ini agama sangat penting, karena agama

tidak saja memberikan pedoman agar manusia bisa mewujudkan tujuan hidup

yang tertinggi, yakni moksha, tetapi memberikan pula pedoman agar manusia bisa

bertindak secara baik dan benar dalam masyarakat sehingga peluang terciptanya

masyarakat yang damai terwujudkan secara optimal. Kenyataan ini tidaklah

mengherankan karena manusia pada dasarnya adalah homo religius, yakni

makhluk beragama. Agama merupakan kebutuhan kodrati bagi manusia (Atmadja

dan Atmadja, 2012). Gagasan ini menimbulkan implikasi bahwa tanpa agama

maka manusia tidak bisa mengada secara utuh, karena roh atau atma-nya tidak

mendapatkan santapan – yang pada akhirnya berujung pula pada tindakan, karena

terkait pula dengan tata kelakuan. Setiap agama berintikan kepada keyakinan

terhadap adanya Tuhan. Tuhan dipuja dengan berbagai kepentingan sehingga

manusia bergantung kepada Tuhan. Dengan demikian manusia secara substansial

1

Page 2: Makalah kkn ihdn

tidak saja sebagai makhluk indvidu dan sekaligus sebagai makluk sosial, tetapi

juga sebagai makhluk religius dan makhluk pendoa.

Berdasarkan paparan tersebut maka agama sangat penting bagi kehidupan

manusia. Walaupun agama sangat penting, namun dalam menyelenggarakan

kehidupannya manusia tidak hanya membutuhkan agama, tetapi juga kebudayaan

yang di dalamnya mencakup sistem sosial, sistem budaya dan teknologi beserta

ruang dan waktu sebagai arenanya. Kebudayaan tunduk kepada hukum perubahan,

tidak ada kebudayaan yang kekal, melainkan selalu berpeluang untuk berubah

sehingga kebudayaan selalu bersifat dinamis. Perubahan ini pada akhirnya

menyentuh pula agama, dalam arti, agama sebagai teks suci bisa abadi, namun

pengaktualisasiannya tunduk pula pada hukum perubahan.

2. Hakikat Masyarakat Hindu

Paparan di atas menunjukkan agama merupakan kebutuhan kodrati bagi

manusia – sama halnya dengan kebutuhan lainnya, misalnya makanan. Berkenaan

dengan itu tidak mengherankan jika manusia menempatkan agama pada posisi

yang amat sentral – ditambah lagi karena cirinya yang sakral, yakni sebagai

identitas diri. Bahkan yang tidak kalah pentingnya, sesuai dengan hakikat

manusia, tidak saja sebagai makhluk individu, tetapi juga sebagai makhluk sosial

maka tidak mengherankan jika agama, selain ditempatkan sebagai identitas diri,

tetapi juga sebagai identitas sosial. Artinya, agama dipakai sebagai dasar untuk

membedakan antara saya yang satu dengan saya yang lainnya – agama sebagai

indentitas diri atau identitas pribadi atau antara kita yang satu dengan kita yang

lainnya (kita dan mereka) - agama sebagai identitas masyarakat, sosial atau

kolektif. Jika agama yang dianut adalah agama Hindu maka pada tataran individu

lahir istilah orang Hindu (saya adalah orang Hindu) dan pada tataran sosial atau

kolektif lahir istilah kita Hindu atau kita masyarakat Hindu.

Label saya orang Hindu – sebagaimana tercermin pada KTP (Kartu Tanda

Penduduk) atau kita orang Hindu sehingga melahirkan masyarakat Hindu

mengandung makna bahwa agama Hindu diposisikan sebagai roh bagi

kebudayaan. Penempatan agama Hindu sebagai roh kebudayaan dapat

diabstrasikan dalam suatu bagan, seperti terlihat pada Bagan 1.

2

Page 3: Makalah kkn ihdn

Bagan 1Dinamika Masyarakat Hindu, Pendekatan

Adat dan Budaya

Berdasarkan Bagan 1 maka dapat dijelaskan bahwa agama Hindu sebagai

roh kebudayaan akan tercermin pada bentuk-bentuk kebudayaan, yakni sistem

sosial, sistem budaya dan teknologi (kebudayaan fisik) beserta ruang waktu

sebagai arenanya. Agama Hindu sebagai roh kebudayaan, dilihat dari segi

penampakkannya, bisa dipilahkan menjadi dua, yakni penampakan bersifat

manifes atau nyata dan penampakkan bersifat laten atau tersembunyi.

2.1 Penampakkan secara manifes = kebudayaan agama

Penampakan secara manifes berarti agama Hindu sebagai roh kebudayaan

secara langsung dan nyata membentuk suatu kebudayaan sehingga orang Bali pun

3

Kebudayaan Global Globalisasi (Ideologi

Pasar) Materialisme Konsumerisme Hedonisme, dan lain-

lain

Kebudayaan Nasional(Empat Pilar Negara)

Pancasila UUD 1945 Bhineka Tunggal Ika NKRI

Sistem Sosial Masyarakat Hindu Komunitas Hindu

(desa pakraman)

Teknologi Alat dan cara Mencakup

keseluruhan hidup manusia

Ruang dan Waktu Lingkungan alam biofisik/buatan Waktu (catur yoga, sapta wara, dan

lain-lain.)

Agama Hindu (roh kebudayaan)

Teks Suci Kebenaran

mutlak dan finalis

Sistem Budaya lokal Ideologi (Tri Hita Karana) Sistem nilai Norma Pengetahuan lokal/kearifan lokal

Page 4: Makalah kkn ihdn

sebagai pendukungnya dengan mudah bisa mengenalinya. Begitu pula orang non-

Bali tidak saja mengenalinya, tetapi juga mengakuinya. Dengan mengacu kepada

Bagan 1, penampakan secara nyata bisa dilihat pada empat aspek, yakni pertama,

sistem budaya adalah agama Hindu dipakai sebagai nilai dan norma dalam

masyarakat. Kedua, kebudayaan fisik, misalnya berwujud pura dan aneka

pelinggih yang ada di dalamnya, banten, bade, dan lain-lain merupakan

kebudayaan yang terbentuk karena agama Hindu. Ketiga, sistem sosial terdapat

wangsa, yakni brahmana, kesatria, wesya dan jaba yang disamakan dengan sudra.

Begitu pula muncul berbagai tindakan sosial sebagai aktualisasi agama Hindu,

antara lain ritual bersama, seperti dewa yadnya, pitra yadnya, manusa yadnya,

dan lain-lain. Keempat, ruang dan waktu. Misalnya, penataan lingkungan buatan

antara lain rumah tinggal orang Bali memiliki pura keluarga, misalnya sanggah

kemulan. Perhitungan waktu memakai model Hindu, misalnya sapta wara.

Aneka bentuk kebudayaan ini secara nyata beroh agama Hindu. Sebab, jika

agama Hindu tidak ada maka dapat dipastikan bahwa pura misalnya, secara

otomatis tidak akan ada dalam masyarakat. Berkenaan dengan itu maka suatu

kebudayaan yang berohkan pada agama sehingga hidup matinya atau ada dan

tidaknya bergantung pada agama, bisa disebut kebudayaan agama (Atmadja,

2010). Jika yang menjadi rohnya adalah agama Hindu maka kebudayaan agama

yang terlahir bisa disebut kebudayaan (agama) Hindu.

2.2 Penampakkan yang laten = kebudayaan nonagama

Kebudayaan ciptaaan manusia bisa pula berfungsi sebaliknya, yakni secara

total tidak berhubungan dengan agama. Dengan demikian dia bisa disebut sebagai

kebudayaan nonagama. Misalnya, sepatu, kursi, meja, dan lain-lain. Kebudayaan

nonagama sepenuhnya diciptakan guna memenuhi kebutuhan manusia dalam

konteks kepentingan keduniawian atau terkait pemenuhan ketubuhan. Barang

budaya seperti ini, pada umumnya bersifat nonsakral, melainkan sebaliknya,

yakni profan.

4

Page 5: Makalah kkn ihdn

2.3 Kebudayaan tipe campuran

Pada masyarakat Bali lazim dijumpai kebudayaan tipe campuran antara

dimensi agama dan nonagama. Misalnya, rumah tinggal orang Bali pada mulanya

merupakan kebudayaan nonagama. Sebab, rumah dibuat guna memenuhi

kebutuhan dasar manusia akan papan. Namun, sebelum rumah difungsikan oleh

pemiliknya, maka rumah harus diupacarai yang disebut melaspas umah. Begitu

pula suatu kebudayaan dalam kesehariannya bersifat nonagama, namun suatu

ketika diberikan kehormatan lewat ritual. Misalnya, mobil adalah barang

kebudayaan keseharian nonagama. Namun, ketika Tumpek Landep, mobil

dilibatkan dalam suatu ritual yang disebut otonan besi. Dengan adanya kenyataan

ini maka tidak mengherankan jika banyak barang budaya milik orang Bali bersifat

abu-abu, yakni campuran antara sakral dan profan.

Kebudayaan agama dan nonagama bisa saja bentuknya sama, namun

perbedaannya secara substansial terkait dengan ruang, waktu dan ritual yang

melegitimasinya. Misalnya, tedung di pura dan tedung yang dijual pada suatu

toko di pinggir jalan jurusan Denpasar – Singaraja, yakni di Desa Mengwi,

bentuknya sama. Begitu pula topeng rangda yang dijual di toko cendramata dan

yang disimpan di pura bentuknya bisa saja sama. Walaupun bentuknya sama,

namun nilainya berbeda. Barang budaya di pura bernilai sakral, sedangkan barang

budaya di toko cendramata adalah profan. Perbedaan nilai ini tidak hanya dalam

bentuk label, tetapi juga dilegitimasi lewat ritual penyucian yang kaya dengan

perilaku simbolik. Tujuannya, tidak saja untuk menunjukkan nilai kesakralan,

tetapi juga nilai magis sehingga penggunaannya sebagai peralatan ritual – pratima

bisa memunculkan getaran emosi keagamaan dalam konteks memperkuat

keyakinan seseorang terhadap Tuhan dan atau dewa yang mereka puja.

Penempatan agama Hindu sebagai roh kebudayaan yang teraktualisasi

dalam bentuk kebudayaan agama atau campuan antara kebudayaan agama dan

nonagama, mengakibatkan terbentuknya masyarakat Hindu. Artinya, kebudayaan

yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Hindu baik secara manifes atau

secara nyata dan disadari oleh pendukungnya maupun secara laten atau tidak

nyata dan tidak disadari oleh para pendukungnya, secara substansial merupakan

pencerminan dari agama Hindu. Kondisi ini berbeda dengan kebudayaan yang

5

Page 6: Makalah kkn ihdn

berkembang pada masyarakat atau komunitas lain yang bukan Hindu. Akibatnya,

kedua belah pihak bisa membedakan dirinya satu sama lainnya dengan berpegang

pada pelabelan sosial bahwa masyarakat kita adalah masyarakat Hindu,

sedangkan masyarakat mereka adalah masyarakat bukan Hindu. Saya adalah

orang Hindu dan dia adalah bukan orang Hindu. Kita berbeda daripada mereka.

Begitu pula saya berbeda dengan dia. Aspek paling esensial yang

membedakannya adalah agama Hindu sebagai roh kebudayaan.

3. Tata kelakuan dalam masyarakat lokal

Perbedaan sebagai identitas dan tata kelakuan yang ada dibaliknya, yakni

nilai dan norma dipelihara dan diwariskan secara menggenerasi sehingga

terbentuk tradisi. Dengan mengacu kepada Atmadja, Suandi dan Sutama (2012)

ada berbagai bentuk tata aturan atau norma yang berlaku dalam masyarakat,

lengkap dengan sanksi-sanksinya seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1Pembagian norma atas dasar kualitas sanksi

yang dikenakan bagi pelanggarnya

No. Jenis norma Keterangan Bentuk sanksi atas pelanggaran

1. Cara (usage)

Cara menunjukkan pada suatu perbuatan yang lebih menonjol dalam konteks hubungan antarindividu dalam masyarakat. Misalnya, cara minum dan cara makan tidak boleh mengeluarkan suara.

Jika orang mengabaikan- nya tidak dihukum berat, tetapi hanya sekedar mendapatkan celaan secara individual.

Sanksi secara individu.

Kekuatan sangat lemah.

2. Kebiasaan atau kelaziman (folkways)

Kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang, karena disukai oleh banyak orang. Perbuatan ini dilakukan tanpa berpikir panjang hanya berdasarkan kelaziman dan atau tradisi. Apa yang dianggap sebagai kebiasaan diikuti, karena diasumsikan sebagai sesuatu yang baik, patut, layak, sopan, dan lain-lain. Misalnya, kebiasaan orang yang lebih muda menghornati orang yang lebih tua.

Pelanggaran dikenai sanksi yang lebih keras, misalnya teguran oleh orang banyak. Kebiasaan sulit dibedakan dengan cara (usage) sehingga keduanya sering dianggap sama (disamakan)

Sanksi dalam bentuk

6

Page 7: Makalah kkn ihdn

disalahkan oleh orang banyak.

Sanksi sosial terhadap kelaziman bisa berwujud anggapan bahwa yang bersangkutan adalah ajaib, gila, biadab, ditertawakan dan diejek.

Memiliki kekuatan agak kuat atau lebih kuat daripada cara.

3. Tata kelakuan, aturan kesusilaan atau mores

Tata kelakuan adalah norma yang diikuti tidak hanya secara otomatis dan tanpa berpikir, tetapi disertai pula dengan ketaatan karena dihubungkan dengan keyakinan dan perasaan. Hal ini dikaitkan dengan suatu nilai yang penting dalam masyarakat atau suatu kelompok sosial.Tata kelakuan adalah kebiasaan yang diterima sebagai kaidah pengatur. Tata kelakuan memilik beberapa ciri, yakni : pertama, merupakan sarana untuk mengawasi perikelakuan warga masyarakat. Kedua, tata kelakuan merupakan kaidah yang memerintahkan atau sebagai patokan yang membatasi sepak terjang warga masyarakat. Ketiga, tata kelakuan mengidentifikasikan pribadi dengan kelompoknya. Keempat, tata kelakuan merupakan salah satu sarana untuk mempertahankan solidaritas masyarakat (Soekanto, 2012).

Penyimpangan terhadap kesusilaan dianggap salah atau bahkan jahat.

Sanksi dalam bentuk hukuman.

Kekuatan mengikat terhadap masyarakat kuat.

4. Adat istiadat

Kebiasaan sebagai tata kelakuan yang terintegrasi secara kuat dalam masyarakat.

Orang yang melanggar dikenai sangsi dikeluarkan dari masyarakat.

Kekuatan mengikatnya kuat sekali.

5. Hukum Adat istiadat yang memiliki Pelanggar hukum

7

Page 8: Makalah kkn ihdn

adat kekuatan hukum. adat dikenai sanksi adat, yakni pemulihan dan hukuman.

Kekuatan mengikatnya kuat sekali.

6. Mode atau fashion

Cara dan gaya melakukan dan membuat sesuatu yang sering berubah-ubah serta diikuti oleh orang banyak atau bersifat massal. Mode terlihat misalnya pada cara berpakaian, memotong rambut, menikmati hiburan, dan lain-lain. Mode bisa memcerminkan kelas sosial, status sosial, perputaran musim atau bisa pula sebagai pencerminan protes sosial terhadap keadaan yang tidak disukai.

Tidak ada sanksi bagi mereka yang tidak bisa mengikuti mode.

Jikalaupun ada sanksi lebih bersifat individual, misalnya yang bersangkutan dikatakan sebagai orang ketinggalan mode atau ketinggalan zaman.

Tidak memiliki kekuatan mengikat, kecuali jika mode dikaitkan dengan gerakan protes sosial.

Berdasarkan berbagai bentuk norma yang berlaku dalam masyarakat seperti

terlihat pada Tabel 1 maka dapat dikatakan bahwa individu dalam masyarakat

tidaklah bebas sebebas-bebasnya, melainkan terikat pada berbagai tata kelakuan

berbentuk norma. Dengan mengikuti Geertz (1972) manusia pada dasarnya dapat

diibaratkan sebagai laba-laba yang bergerak bebas, namun tetap berada pada

jaring-jaring yang dibuatnya sendiri, yakni norma-norma. Setiap pelanggaran

terhadap norma-norma menimbulkan akibat, yakni sanksi. Sebagimana terlihat

pada Tabel 1 sanksi bisa ringan, yakni ditegur, diejek, ditertawakan atau

digunjingkan baik secara individual maupun secara kolektif. Sebaliknya, jika yang

dilanggar adalah adat istiadat dan hukum adat maka sanksinya keras, misalnya

denda berbentuk uang dan atau benda, kewajiban menyelenggarakan ritual

penyucian, pelarangan menggunakan fasilitas sosial milik desa pakraman,

kasepekang, dan lain-lain. Sanksi ini digariskan dalam awig-awig desa pakraman

dan atau dalam bentuk perarem (Atmadja, Suandi dan Sutama, 2012).

Norma yang berlaku dalam masyarakat Hindu merupakan ciptaan

manusia guna mengatasi berbagai masalah pada zamannya. Secara substansial

8

Page 9: Makalah kkn ihdn

norma-norma tersebut bisa bersendikan pada agama sehingga bisa saling

memperkuat. Namun, tidak menutup pula kemungkinan bahwa norma-norma

yang berlaku tidak bersesuaian dengan agama Hindu atau bahkan bertentangan.

Walaupun tidak besesuaian, namun untuk menghapuskannya tidaklah mudah.

Kesulitan ini tidak semata-mata karena penganutnya tidak kritis – berpegang pada

dalil anak suba mula keto – memang seperti itulah sehingga tidak perlu dikritisi,

tetapi bisa pula karena keberlakuannya dikaitkan dengan keyakinan. Akibatnya,

pengabaian terhadapnya bisa menimbulkan sanksi religius-magis, misalnya

kapongor atau salahang dewa (Atmadja, 2010a).

Masyarakat Hindu tidak saja mengenal agama Hindu dan tata aturan

lainnya baik yang bersendikan agama Hindu maupun tidak, tetapi seperti terlihat

pada Bagan 1 mengenal kebudayaan nasional. Hal ini merupakan konsekuensi

dari masyarakat Hindu sebagai bagian dari NKRI. Dengan demikian apa pun

bentuk norma dalam masyarakat Hindu secara ideal harus mendukung empat pilar

negara, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Globalisasi

mengakibatkan masyarakat Hindu menjadi bagian dari kampung global. Kampung

global memiliki kebiasaan-kebiasaan global yang secara mudah masuk ke dalam

masyarakat Hindu – antara lain lewat tayangan iklan dan penampilan gaya hidup

para selebriti pada TV. Kondisi ini memerlukan percermatan mengingat bahwa

kebiasaan-kebiasaan global banyak yang bertentangan dengan agama Hindu.

Misalnya, kebiasaan global yang menekankan pada konsumerisme dan hedonisme

– perwujudan dari kamaisme, yakni paham yang mendewakan kama atau hasrat

tidak sesuai dengan agama Hindu. Sebab, agama Hindu menuntut keseimbangan

antara kama dengan kebajikan (dharma) dan alat untuk memuaskannya, yakni

artha (Atmadja, 2010, 2010a).

4. Dinamika masyarakat Hindu

Masyarakat Hindu, begitu pula masyarakat lainnya, selalu mengalami

dinamika, yakni perubahan sosial yang berlangsung secara terus-menerus.

Perubahan sosial bisa karena faktor manusianya, yakni bosan terhadap apa yang

telah ada, lalu berkreativitas untuk menciptakan sesuatu yang baru guna

meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Perubahan sosial bisa pula karena

9

Page 10: Makalah kkn ihdn

masuknya suatu unsur kebudayaan dari luar dalam bentuk ide yang terkait dengan

cara-cara bertindak dan teknologi yang menyertainya. Unsur-unsur kebudayaan

dari luar yang paling kuat pengaruhnya pada zaman ini – disebut era posmodern

atau orang Hindu menyebutnya dengan istilah zaman nungkalik atau zaman

kaliyuga, adalah ideologi pasar yang ditandai oleh penawaran barang melimpah

lewat pasar dengan harga yang terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat,

karena adanya kloning kebudayaan. Pengonsumsian mutlak membutuhkan uang

sehingga zaman ini disebut pula zaman duit (Atmadja, 2010a).

Apa pun bentuk kebudayaan dari luar yang masuk ke dalam masyarakat

Hindu, begitu pun bentuk kreativitas manusia dalam konteks menyiptakan suatu

unsur kebudayaan yang baru, pada akhirnya berdampak terhadap sistem budaya,

sistem sosial dan teknologi pada masyarakat Hindu. Sesuai dengan hukum rwa

bhineda, maka perubahan tersebut bisa berdampak positif bisa pula sebaliknya,

yakni berdampak negatif. Dampak positif dan negatif bisa dilihat berdasarkan

fungsi suatu kebudayaan yang baru terhadap masyarakat Hindu, apakah membawa

kemanfaatan – fungsional atau sebaliknya tidak berguna – disfungsional bagi

sistem organisme biologis dan sistem organisme sosial (Ritzer, 2012; Johnson,

1986. Turner dan Maryanski, 2010).

Gejala ini dapat dilihat misalnya pada TV masuk desa. Dampak positifnya

adalah pemenuhan kebutuhan hiburan dan informasi yang secara terus-menerus

terbaharui, tidak saja menjadi amat mudah, tetapi juga sangat beragam. Bahkan

yang tidak kalah pentingnya TV menyiarkan ajaran agama Hindu lewat kegiatan

dharma wacana. Namun, di sisi yang lain muncul dampak yang tidak diinginkan,

karena TV menyebarluaskan berbagai isme, misalnya individualisme,

materialisme, konsumerisme, dan lain-lain. Individualisme misalnya, bisa

mengganggu kolektivisme dalam masyarakat Hindu sehingga kebiasaan yang

dianggap luhur, misalnya menyama beraya menjadi menyusut, baik dilihat dari

segi pemaknaan maupun ruang lingkup pelaksanaanya. Fenomena ini terlihat pada

kegiatan membuat banten untuk penyelenggaraan ritual daur hidup – antara lain

ngaben, yakni tidak lagi ditangani secara gotong royong – pencerminan

kolektivisme, tetapi didapat lewat pasar – pengaruh ideologi pasar sehingga

muncul industri banten yang berpusat pada geriya.

10

Page 11: Makalah kkn ihdn

Kasus lain yang tidak kalah menariknya adalah cafe masuk desa. Cafe

menjelajah pada berbagai desa sehingga Bali mengalami cafeisasi. Kondisi ini

memang membawa dampak positif, yakni memunculkan peluang kerja, desa

mendapatkan retribusi atau donasi, dan lain-lain. Namun muncul dampak yang

tidak diinginkan, misalnya kebiasaan mabuk-mabukan, pelacuran terselubung

yang melibatkan cewek cafe dan laki-laki sebagai konsumennya. Berkenaan

dengan itu muncul keretakan hubungan suami istri dalam keluarga karena suami

terjerat oleh cewek cafe – ingat nyanyian Raka Sidan yang berjudul Song

Bererong. Bahkan yang tidak kalah pentingnya penularan penyakit karena

hubungan seksual, yakni HIV/AIDS terus mengalami peningkatan di Bali.

Kasus-kasus seperti ini tentu bisa diperpanjang lagi, mengingat bahwa

globalisasi mengakibatkan masyarakat Hindu menjadi bagian dari kampung

global sehingga sangat terbuka dengan berbagai unsur kebudayaan dari luar, baik

kebudayaan nasional maupun kebudayaan global. Namun, sebagaimana

dipaparkan pada contoh di atas, maka apa pun bentuk kebudayaan yang masuk ke

dalam masyarakat Hindu, selalu bermuka dua, yakni ada dampak positifnya ada

pula dampak negatifnya. Kedua bentuk dampak ini bisa menyentuh kebudayaan

Bali atau rohnya, yakni agama Hindu sebagaimana tercermin dari adanya

perubahan pada tataran kebudayaan fisik, tindakan sosial dan sistem budaya yang

berlaku dalam masyarakat Hindu, misalnya terjadi perubahan adat istiadat.

5. Apakah tugas utama mahasiswa IHDN yang ber-KKN?

Bertolak dari gagasan di atas maka timbul pertanyaan apakah tugas utama

mahasiswa IHDN yang ber-KKN agar masyarakat Hindu – masyarakat yang

menggunakan agama Hindu sebagai roh kebudayaan tetap eksis di tengah-tengah

perubahan sosial sebagai suatu keniscayaan? Jawaban atas pertanyaan ini tentu

tidaklah mudah karena masalah tidak bersifat hitam putih. Namun ada tindakan

strategis yang bisa dilakukan, yakni penyadaran kultural dan penyadaran agama.

5.1 Penyadaran kultural

Penyadaran kultural berarti mahasiswa yang ber-KKN mampu mengajak

masyarakat untuk melihat secara kritis tentang esensi kebudayaan, yakni

11

Page 12: Makalah kkn ihdn

kebudayaan adalah ciptaan manusia sehingga tunduk kepada hukum perubahan.

Perubahan bisa semakin cepat atau bahkan bersifat drastik dan kompleksitasnya

amat tinggi karena adanya globalisasi. Perubahan bisa saja bermula dari masuknya

unsur teknologi ke dalam masyaraat, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa dalam

perkembangan selanjunya, perubahan bisa meluas ke dalam sistem sosial dan

sistem budaya. Perubahan pada tataran sistem budaya bisa terkait dengan

hilangnya adat tertentu dalam masyarakat. Namun, apa pun bentuk perubahan

sosial, maka mahasiswa yang ber-KKN harus mampu mengajak masyarakat untuk

berpikir kritis, bahwa setiap perubahan sosial, sesuai dengan hukum rwa bhineda,

selalu membawa dampak positif dan negatif. Karena itu, masyarakat perlu diajak

untuk mempertimbangkan secara matang setiap perubahan yang akan

dilaksanakan agar dampak negatifnya bisa ditekan seminimal mungkin.

5.2 Penyadaran agama

Mahasiswa yang ber-KKN idealnya mampu mengajak masyarakat untuk

melihat secara sadar tentang posisi agama Hindu, yakni: pertama, agama Hindu

adalah roh masyarakat dan kebudayaan yang menyertainya. Berkenaan dengan itu

maka agama Hindu harus dipertahankan, sebab, jika dia mati maka roh

masyarakat Hindu dan kebudayaannya secara otomatis akan hilang pula. Kedua,

perubahan sosial yang cepat, disertai dengan gencarnya serangan materialisme,

konsumerisme dan hedonisme terhadap masyarakat Hindu, mengakibatkan

manusia Hindu kehilangan arah. Gejala ini tercermin pada banyaknya perilaku

menyimpang bahkan melanggar hukum, misalnya korupsi. Dalam konteks ini

manusia tidak perlu kebingungan, sebab agama Hindu bisa dipakai sebagai

pedoman hidup, mengingat agama Hindu adalah kebenaran mutlak dan bersifat

finalis. Artinya, boleh saja orang melakukan pembenaran atas tindakannya, namun

jika agama menyatakan bahwa perbuatan tersebut dosa, maka manusia harus

mengikuti agama Hindu, karena agama adalah kebenaran mutlak dan finalis.

Ketiga, masyarakat terus berubah, sementara agama sebagai teks suci adalah

abadi. Dengan adanya kenyataan ini maka perla ada interpretasi dan reinterpretasi

terhadap teks suci suatu agama, begitu pula tafsir yang sudah ada atas teks suci

12

Page 13: Makalah kkn ihdn

agar agama terus berkontekstual dengan kondisi sosiobudaya yang tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat Hindu.

DAFTAR PUSTAKA

Atmadja, N.B. 2010. Ajeg Bali Gerakan, Identitas dan Globalisasi. Yogyakarta: LKIS.

Atmadja, N.B. 2010a. Genealogi Keruntuhan Majapahit Islamisasi, Toleransi dan Pemertahanan Agama Hindu di Bali. Yogyarakata; Pustaka Pelajar.

Atmadja, N.B. dan Anantawikrama Tungga Atmadja. 2012. Flsafat Ilmu Pengetahuan (Ilmu, Teknologi, Kebudayaan, Agama dan Marginalisasi Pengetahuan Tradisional). Singaraja: Pascasarjana Undiksha.

Atmadja, N.B., I. N. Suandi dan I M. Sutama. 2012. Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Dasar (ISBD) Berorientasi Integrasi Nasional dan Harmoni Sosial pada Perguruan Tinggi di Bali. Singaraja. Unidiksha.

Johnson, D.P. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 2. (R.M.Z. Lawang Penerjemah). Jakarta: PT Gramedia.

Ritzer, G. 2012. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. (Saut Pasaribu dkk. Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Turner, J.T. dan A. Maryanski. 2010. Fungsionalisme. (Anwar Effensi dkk. Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

13