MAKALAH KIMIA kinetik
-
Upload
yolanda-nda-adinda -
Category
Documents
-
view
137 -
download
2
Transcript of MAKALAH KIMIA kinetik
KARYA ILMIAH
“Pengaruh Katalis Asam Sulfat (H2SO4) dan Suhu Reaksi pada Reaksi Esterifikasi
Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) menjadi Biodiesel”
Disusun Oleh:
Ketua Kelompok : Riza Gustia (A1C109020)
Anggota Kelompok : Ani Irawati (A1C109009)
Darma Bhakti (A1C109023)
Dewi Purwati (A1C109046)
Mita Andriani (A1C109032)
Risa Hidayanti (A1C109024)
Yolanda (A1C109002)
Dosen Pengampu : Drs. Epinur, M.Si
PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2012
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, puji syukur tim penulis haturkan atas kemurahan Allah SWT yang
telah memberi rahmat dan karunia yang tiada terputus serta yang telah memberi inspirasi
kepada tim penulis, sehingga karya ilmiah yang berjudul “Pengaruh Katalis Asam Sulfat
(H2SO4) dan Suhu Reaksi pada Reaksi Esterifikasi Minyak Biji Karet (Hevea
brasiliensis) menjadi Biodiesel” dapat terselesaikan.
Shalawat dan salam tak lupa penulis sampaikan kepada junjungan nabi Muhammad
SAW. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menghaturkan rasa terima kasih yang dalam
kepada semua pihak yang telah membantu memberi dukungan dan bimbingan yang sangat
berharga pada penulis makalah ini, khususnya kepada:
1. Drs. Epinur, M.Si atas bimbingan, saran, dan motivasi yang telah di berikan.
2. Orang tua dan keluarga atas materi, restu, dukungan, dan doa yang tulus.
3. Teman-teman satu kelompok atas perjuangan, pengorbanan, semangat, dan ide-ide
kreatifnya sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Penulis juga mengucapkan permohonan maaf atas segala kekurangan dalam
penulisan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan guna kesempurnaan untuk yang akan datang. Penulis berharap semoga karya ilmiah
ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jambi, Juli 2012
Tim Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................1
DAFTAR ISI........................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................3
1.1 Latar Belakang............................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................3
1.3 Tujuan.........................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................4
2.1 Isolasi Senyawa Kimia dari Bahan Alam...................................................4
2.2 Senyawa Alkaloid.......................................................................................5
2.3 Tumbuhan Jambu Keling............................................................................7
2.4 Kegunaan Tumbuhan Jambu Keling...........................................................9
BAB III METODA PENELITIAN.........................................................................10
3.1 Alat dan Bahan ........................................................................................10
3.2 Cara kerja.................................................................................................10
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................13
4.1 Analisa Spektrum IR................................................................................13
4.2 Analisa Spektrum 1H-NMR.....................................................................14
BAB V PENUTUP.................................................................................................15
5.1 Kesimpulan..............................................................................................15
5.2 Saran........................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.......,,..................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kontinuitas penggunaan bahan bakar minyak (BBM) berbasis fosil (fossil fuel)
memunculkan paling sedikit dua ancaman serius: (1) faktor ekonomi, berupa jaminan
ketersediaan bahan bakar fosil untuk beberapa dekade mendatang, masalah supplai, harga
dan fluktuasinya (2) polusi akibat emisi pembakaran bahan bakar fosil ke lingkungan.
Polusi yang ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil memiliki dampak langsung
maupun tidak langsung kepada derajat kesehatan manusia. Polusi langsung bisa berupa
gas – gas berbahaya, seperti CO, NOx, dan UHC (Unburn Hydrocarbon), juga unsur metalik
seperti Timbal (Pb). Sedangkan polusi tidak langsung mayoritas berupa ledakan jumlah
molekul CO2 yang berdampak pada pemanasan global (Global Warming Potential).
Kesadaran terhadap ancaman serius tersebut telah mengintensifkan berbagai riset yang
bertujuan menghasilkan sumber – sumber energi (Energy Resources) ataupun pembawa
energi (Energy Carrier) yang lebih terjamin keberlanjutannya (sustainable) dan lebih
ramah lingkungan. Biodiesel dan pemakaian dalam bahan bakar sebagai campuran
biodiesel dan bensin (B10) adalah salah satu alternatif yang paling memungkinkan transisi
ke arah implementasi energi alternatif.
Data dari departemen ESDM menyebutkan bahwa produksi minyak di
Indonesia saat ini per tahunnya sebesar 55 juta ton, dimana produksi ini diperkirakan
hanya dapat mencukupi kebutuhan BBM di Indonesia selama 10 tahun ke depan. Oleh
karena itu, pemanfaatan energi terbarukan seperti pemakaian biodiesel diharapkan dapat
mengurangi atau mensubstitusi sekitar 40% atau 25 juta kilo liter kebutuhan BBM
nasional yang sampai saat ini masih harus dipenuhi dengan cara mengimpor. Untuk itu,
pemerintah Indonesia mengeluarkan PP No: 5 Tahun 2006 tentang kebijakan Energi
Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai bahan bakar
pengganti minyak. Pada tahun 2005 di Jakarta telah dilaksanakan sosialisasi bahan
bakar alternatif (B10), namun hingga sekarang pemakaian bahan bakar ini masih sebesar
2% (Roadmap energi Departemen-ESDM, 2004).
Indonesia sebagai negara yang sangat kaya akan sumber daya hayati memiliki
berbagai tanaman yang berpotensi sebagai bahan baku pembuatan biodiesel
diantaranya: pangan: sawit, kelapa, kacang (peanut), kelor (Moringa oleifera), saga utan
(Adenanthera pavonina), kasumba/kembang pulu (Carthamus tinctorius), jarak pagar
(Jatropha curcas), kapok, kemiri, nimba (Azadirachta indica), nyamplung
(Calophyllum inophyllum), kesambi (Schleichera oleosa), randu alas (Bombax
malabaricum), jarak gurita (Jatropha multifida), jarak landi (Jatropha gossypifolia), dan
banyak lagi yang lain.
Namun mengingat Indonesia adalah negara penghasil karet nomor dua di dunia
setelah Malaysia. Berdasarkan data statistik, perkebunan karet di Indonesia (2002) luas
kebun karet di Indonesia mencapai 3.318.105 Ha dan diperkirakan mampu
menghasilkan minyak biji karet sebesar 25.622.406,8 L/tahun yang hingga saat ini, biji
karet belum banyak dimanfaatkan. Maka dilakukan penelitian untuk memanfaatkan biji
karet agar memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Selain itu pemakaian bahan baku
minyak nonedible yang berharga murah akan menurunkan biaya produksi biodisel
sehingga dapat dihasilkan biodiesel yang bersaing dengan petrodiesel.
1.2 Batasan Masalah
Karya ilmiyah ini hanya membahas pengaruh katalis asam sulfat dan suhu
pada reaksi esterifikasi minyak biji karet menjadi biodiesel.
1.3 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari karya tulis ini antara lain :
a) Apa saja kandungan buah biji karet ?
b) APa yang di maksud dengan biodiesel?
c) Bagaimana proses pengolahan biji karet menjadi bahan bakar biodiesel
d) Bagaimana mekanisme reaksi esterifikasi dan tranesterifikasi yang terjadi pada
penelitian ini.
e) Bagaimana pengaruh jumlah katalis asam sulfat terhadap penurunan FFA pada
reaksi esterifikasi
f) Bagaimana pengaruh susu terhadap penurunan FFA pada reaksi esterifikasi
g) Bagaimana sifati sifat fisik biodisel
h) Apa keuntungan menggunakan bahan bakar biodiesel ?
1.4 Tujuan
Adapun tujuan dari karya ilmiyah ini yaitu untuk mengetahui :
a) Kandungan buah biji karet ?
b) Apa yang di maksud dengan biodiesel?
c) Bagaimana proses pengolahan biji karet menjadi bahan bakar biodiesel
d) Bagaimana mekanisme reaksi esterifikasi dan tranesterifikasi yang terjadi pada
penelitian ini.
e) Bagaimana pengaruh jumlah katalis asam sulfat terhadap penurunan FFA pada
reaksi esterifikasi
f) Bagaimana pengaruh susu terhadap penurunan FFA pada reaksi esterifikasi
g) Bagaimana sifati sifat fisik biodisel
h) Apa keuntungan menggunakan bahan bakar biodiesel ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biji Karet
Karet bukan tanaman asing bagi masyarakat Indonesia. Demam penanaman karet di
Indonesai dimulai pada abad ke-19. Ketika itu para pedagang pesisir Sumatera dan
Kalimantan yang singgah di Malaka tertarik dengan pembukaan perkebunan karet disana.
Mereka kemudian membawa pulang biji-biji karet untuk ditanam di kampungnya.
Pada masa itu, penduduk umumnya membudidayakan karet sambil menanam padi.
Jika tanah yang olah kurang subur, mereka pindah mencari lahan baru. Namun, mereka tetap
memantau pertumbuhan karet yang telah ditanam secara berkala hingga dapat dipanen.
Karena itu, sebagian besar perkebunan karet di Indonesia merupakan milik rakyat.
Tradisi menanam karet ini berlangsung hingga sekarang. Daerah yang merupakan
pusat perkebunan karet nasional adalah Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, dan
Kalimantan Selatan.Seperti komoditas lain, tinggi rendahnya harga karet menjadi insentif
petani untuk memelihara tanaman karetnya. Sayangnya harga karet bersifat fluktuatif.
Ini semua membuat posisi karet alam kian sulit dan menjadi warning “kematian”
masa depan karet alam. Adakah jalan keluar? petani karet miskin karena selama ini hasilnya
hanya berorientasi pada getah. Padahal, bagian-bagian pohon karet bisa dimanfaatkan
menjadi produk bernilai ekonomi. Kayunya misalnya, bisa dimanfaatkan untuk berbagai
bahan perabotan atau mebeler.
Potensi ekonomi lainnya adalah biji karet. Selama ini biji karet hanya dibuang begitu
saja seperti biji kapuk randu seolah-olah tidak ada nilainya. Padahal, biji karet amat potensial
menjadi bahan baku biodiesel. Biji karet mengandung minyak lemak 40-50% bahan kering.
Cuma, karena minyak biji karet memiliki angka iodium amat tinggi (132-141), akan
menghasilkan biodiesel berangka setan tidak memenuhi syarat (<51). Namun, bukan berarti
minyak lemak dari biji karet tidak bisa dimanfaatkan.
Buah karet berbentuk kotak tiga atau empat. Setelah berumur enam bulan buah
akan masak dan pecah sehingga biji karet terlepas dari batoknya. Biji karet mempunyai
bentuk ellipsoidal, dengan panjang 2,5-3 cm, yang mempunyai berat 2-4 gram/biji. Biji
karet terdiri dari 40-50% kulit yang keras berwarna coklat, 50-60% kernel yang berwarna
putih kekuningan. Kernel biji karet terdiri dari 45,63% minyak, 2,71% abu, 3,71% air,
22,17% protein dan 24,21% karbohidrat sehingga biji karet berpotensi digunakan sebagai
bahan baku biodiesel. Akan tetapi, kandungan air yang cukup besar dalam biji karet
dapat memicu terjadinya hidrolisa trigliserida menjadi asam lemak. Oleh sebab itu, biji
karet perlu dikeringkan terlebih dahulu sebelum dipres untuk diambil minyaknya
(Ikwuagwu et. all., 2000).
Minyak lemak dari biji karet bisa menjadi bahan pencampur (blending) yang baik
untuk menaikkan iodium minyak lemak yang memiliki iodium yang rendah. Biodisel yang
dibuat dari minyak sawit, minyak inti sawit, dan minyak kelapa misalnya, sekalipun berangka
setan memuaskan dan bertitik kabut memenuhi syarat SNI (maksimum 18 derajat celcius)
masih membutuhkan penyesuaian jika hendak dipakai atau di ekspor ke wilayah atau negara
dingin atau negara yang memiliki empat musim.
Penyesuaian ini bisa berupa, pertama pembubuhan aditif penurun titik kabut. Atau
kedua, pencampuran biodiesel berangka iodium 70-100 atau mungkin lebih baik lagi
dilakukan pencampuran (blending) minyak-minyak bahan mentah lain sebelum dikonversi ke
biodiesel.
Bersama minyak kemiri (Aleurites moluccana, angka iodium=136-167) dan minyak
biji tembakau (Nicotiana Tabacum, angka iodium=129-142), minyak lemak biji karet
(Havea brasilinesis, angka iodium=132-141) merupakan kandidat yang baik untuk menjadi
pencampur biodiesel sawit. Dengan cara ini terbuka peluang bagi para petani karet untuk
meraih pendapatan tambahan.
Ada lima kebijakan dalam mendukung pengembangan karet. Pertama, peningkatan
produktivitas dan mutu melalui peremajaan karet partisipasif dengan melibatkan seluruh
pemangku kepentingan. Kedua, pengembangan industri hilir dan peningkatan nilai tambah.
Ketiga, fasilitasi dukungan penyedia dana, seperti subsidi bunga.
Keempat, pemberdayaan petani dan petugas. Kelima, pemantapan kelembagaan yang
berkaitan dengan pengembangan tanaman karet, termasuk lembaga penelitian, penyuluhan,
dan pembinaan petani. Program ini menargetkan ada pembukaan 50.000 hektar kebun karet
baru tiap tahun hingga 2010. Sedangkan untuk peremajaan, ditargetkan seluas 250.000
hektar kebun rakyat bisa kembali selama lima tahun.
2.2 Biodiesel
Biodiesel adalah bahan bakar mesin diesel yang terbuat dari sumberdaya hayati yang
berupa minyak lemak nabati atau lemak hewani. Senyawa utamanya adalah ester. Ester
mempunyai rumus bangun sebagai berikut :
Gambar 1 Rumus bangun ester
Biodiesel dapat dibuat dari transesterifikasi asam lemak. Asam lemak dari minyak
lemak nabati direaksikan dengan alkohol menghasilkan ester dan produk samping berupa
gliserin yang juga bernilai ekonomis cukup tinggi.
Biodiesel telah banyak digunakan sebagai bahan bakar pengganti solar. Bahan baku
biodiesel yang dikembangkan bergantung pada sumber daya alam yang dimiliki suatu negara,
minyak kanola di Jerman dan Austria, minyak kedelei di Amerika Serikat, minyak sawit di
Malaysia, dan minyak kelapa di Filipina Indonesia mempunyai banyak sekali tanaman
penghasil minyak lemak nabati, diantaranya adalah kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, jarak,
nyamplung, dan lain-lain. Beberapa tanaman yang potensial untuk bahan baku biodiesel
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Beberapa tanaman penghasil minyak di Indonesia
Nama latin Nama Indonesia Nama lain (daerah)
Elaeis guineensis Kelapa sawit Sawit, kelapa sawit
Ricinus communis Jarak (kastroli) Kaliki, jarag (Lampung)
Jatropha curcas Jarak pagar -
Ceiba pentandra Kapok Randu (Sunda, Jawa)
Chalopyllum inophyllum Nyamplung nyamplung
Ximena americana Bidaro Bidaro
Agar dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti solar, biodiesel harus
mempunyai kemiripan sifat fisik dan kimia dengan minyak solar. Salah satu sifat fisik yang
penting adalah viskositas. Sebenarnya, minyak lemak nabati sendiri dapat dijadikan bahan
bakar, namun, viskositasnya terlalu tinggi sehingga tidak memenuhi persyaratan untuk
dijadikan bahan bakar mesin diesel. Perbandingan sifat fisik dan kimia biodiesel dengan
minyak solar disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 perbandingan sifat fisik dan kimia biodiesel dan solar
Sifat fisik / kimia Biodiesel Solar
Komposisi Ester alkil Hidrokarbon
Densitas, g/ml 0,8624 0,8750
Viskositas, cSt 5,55 4,6
Titik kilat, oC 172 98
Angka setana 62,4 53
Energi yang dihasilkan 40,1 MJ/kg 45,3 MJ/kg
Dibandingkan dengan minyak solar, biodiesel mempunyai beberapa keunggulan.
Keunggulan utamanya adalah emisi pembakarannya yang ramah lingkungan karena mudah
diserap kembali oleh tumbuhan dan tidak mengandung SOx. Perbandingan emisi pembakaran
biodiesel dengan minyak solar disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 perbandingan emisi pembakaran biodiesel dengan solar
Senyawa emisi Biodiesel Solar
SO2, ppm 0 78
NO, ppm 37 64
NO2, ppm 1 1
CO, ppm 10 40
Partikulat, mg/Nm3 0,25 5,6
Benzen, mg/Nm3 0,3 5,01
Toluen, mg/Nm3 0,57 2,31
Xilen, mg/Nm3 0,73 1,57
Etil benzen, mg/Nm3 0,3 0,73
Selain itu, beberapa keunggulan biodiesel yang lain adalah :
♠ Lebih aman dalam penyimpanan karena titik kilatnya lebih tinggi
♠ Bahan bakunya terbaharukan
♠ Angka setana tinggi
2.2 Asam Sulfat (H2SO4)
Asam sulfat
Asam sulfat, H2S O 4, merupakan asam mineral (anorganik) yang kuat. Zat ini larut
dalam air pada semua perbandingan. Asam sulfat mempunyai banyak kegunaan dan
merupakan salah satu produk utama industri kimia. Produksi dunia asam sulfat pada tahun
2001 adalah 165 juta ton, dengan nilai perdagangan seharga US$8 juta. Kegunaan utamanya
termasuk pemrosesan bijih mineral, sintesis kimia, pemrosesan air limbah dan pengilangan
minyak.
Keberadaan
Asam sulfat murni yang tidak diencerkan tidak dapat ditemukan secara alami di bumi
oleh karena sifatnya yang higroskopis. Walaupun demikian, asam sulfat merupakan
komponen utama hujan asam, yang terjadi karena oksidasi sulfur dioksida di atmosfer dengan
keberadaan air (oksidasi asam sulfit). Sulfur dioksida adalah produk sampingan utama dari
pembakaran bahan bakar seperti batu bara dan minyak yang mengandung sulfur (belerang).
Asam sulfat terbentuk secara alami melalui oksidasi mineral sulfida, misalnya besi
sulfida. Air yang dihasilkan dari oksidasi ini sangat asam dan disebut sebagai air asam
tambang. Air asam ini mampu melarutkan logam-logam yang ada dalam bijih sulfida, yang
akan menghasilkan uap berwarna cerah yang beracun. Oksidasi besi sulfida pirit oleh oksigen
molekuler menhasilkan besi(II), atau Fe2+:
2 FeS2 + 7 O2 + 2 H2O → 2 Fe2+ + 4 SO42− + 4 H+
Fe2+ dapat kemudian dioksidasi lebih lanjut menjadi Fe3+:
4 Fe2+ + O2 + 4 H+ → 4 Fe3+ + 2 H2O
Fe3+ yang dihasilkan dapat diendapkan sebagai hidroksida:
Fe3+ + 3 H2O → Fe(OH)3 + 3 H+
Besi(III) atau ion feri juga dapat mengoksidasi pirit. Ketika oksidasi pirit besi(III)
terjadi, proses ini akan berjalan dengan cepat. Nilai pH yang lebih rendah dari nol telah
terukur pada air asam tambang yang dihasilkan oleh proses ini.
Pembuatan
Asam sulfat diproduksi dari belerang, oksigen, dan air melalui proses kontak.
Pada langkah pertama, belerang dipanaskan untuk mendapatkan sulfur dioksida:
S (s) + O2 (g) → SO2 (g)
Sulfur dioksida kemudian dioksidasi menggunakan oksigen dengan keberadaan
katalis vanadium(V) oksida:
2 SO2 + O2(g) → 2 SO3 (g) (dengan keberadaan V2O5)
Sulfur trioksida diserap ke dalam 97-98% H2SO4 menjadi oleum (H2S2O7), juga
dikenal sebagai asam sulfat berasap. Oleum kemudian diencerkan ke dalam air menjadi asam
sulfat pekat.
H2SO4 (l) + SO3 → H2S2O7 (l)
H2S2O7 (l) + H2O (l) → 2 H2SO4 (l)
Perhatikan bahwa pelarutan langsung SO3 ke dalam air tidaklah praktis karena reaksi
sulfur trioksida dengan air yang bersifat eksotermik. Reaksi ini akan membentuk aerosol
korosif yang akan sulit dipisahkan.
SO3(g) + H2O (l) → H2SO4(l)
Sebelum tahun 1900, kebanyakan asam sulfat diproduksi dengan proses bilik.
Sifat-sifat fisika
Bentuk-bentuk asam sulfat
Walaupun asam sulfat yang mendekati 100% dapat dibuat, ia akan melepaskan SO3
pada titik didihnya dan menghasilkan asam 98,3%. Asam sulfat 98% lebih stabil untuk
disimpan, dan merupakan bentuk asam sulfat yang paling umum. Asam sulfat 98% umumnya
disebut sebagai asam sulfat pekat. Terdapat berbagai jenis konsentrasi asam sulfat yang
digunakan untuk berbagai keperluan:
10%, asam sulfat encer untuk kegunaan laboratorium,
33,53%, asam baterai,
62,18%, asam bilik atau asam pupuk,
73,61%, asam menara atau asam glover,
97%, asam pekat.
Terdapat juga asam sulfat dalam berbagai kemurnian. Mutu teknis H2SO4 tidaklah
murni dan seringkali berwarna, namun cocok untuk digunakan untuk membuat pupuk. Mutu
murni asam sulfat digunakan untuk membuat obat-obatan dan zat warna.
Apabila SO3(g) dalam konsentrasi tinggi ditambahkan ke dalam asam sulfat, H2S2O7
akan terbentuk. Senyawa ini disebut sebagai asam pirosulfat, asam sulfat berasap, ataupun
oleum. Konsentrasi oleum diekspresikan sebagai %SO3 (disebut %oleum) atau %H2SO4
(jumlah asam sulfat yang dihasilkan apabila H2O ditambahkan); konsentrasi yang umum
adalah 40% oleum (109% H2SO4) dan 65% oleum (114,6% H2SO4). H2S2O7 murni terdapat
dalam bentuk padat dengan titik leleh 36 °C.
Asam sulfat murni berupa cairan bening seperti minyak, dan oleh karenanya pada
zaman dahulu ia dinamakan 'minyak vitriol'.
Polaritas dan konduktivitas
H2SO4 anhidrat adalah cairan yang sangat polar. Ia memiliki tetapan dielektrik sekitar
100. Konduktivitas listriknya juga tinggi. Hal ini diakibatkan oleh disosiasi yang disebabkan
oleh swa-protonasi, disebut sebagai autopirolisis.
2 H2SO4 → H3SO4+ + HSO4
−
Konstanta kesetimbangan autopirolisisnya adalah
Kap(25 °C)= [H3SO4+][HSO4
−] = 2,7 × 10−4.
Dibandingkan dengan konstanta keseimbangan air, Kw = 10−14, nilai konstanta
kesetimbangan autopirolisis asam sulfat 1010 (10 triliun) kali lebih kecil.
Walaupun asam ini memiliki viskositas yang cukup tinggi, konduktivitas efektif ion
H3SO4+ dan HSO4
− tinggi dikarenakan mekanisme ulang alik proton intra molekul,
menjadikan asam sulfat sebagai konduktor yang baik. Ia juga merupakan pelarut yang baik
untuk banyak reaksi.
Kesetimbangan kimiawi asam sulfat sebenarnya lebih rumit daripada yang
ditunjukkan di atas; 100% H2SO4 mengandung beragam spesi dalam kesetimbangan
(ditunjukkan dengan nilai milimol per kg pelarut), yaitu: HSO4− (15,0), H3SO4
+ (11,3), H3O+
(8,0), HS2O7− (4,4), H2S2O7 (3,6), H2O (0,1).
Sifat-sifat kimia
Reaksi dengan air
Reaksi hidrasi asam sulfat sangatlah eksotermik. Selalu tambahkan asam ke dalam air
daripada air ke dalam asam. Air memiliki massa jenis yang lebih rendah daripada asam sulfat
dan cenderung mengapung di atasnya, sehingga apabila air ditambahkan ke dalam asam
sulfat pekat, ia akan dapat mendidih dan bereaksi dengan keras. Reaksi yang terjadi adalah
pembentukan ion hidronium:
H2SO4 + H2O → H3O+ + HSO4-
HSO4- + H2O → H3O+ + SO4
2-
Karena hidrasi asam sulfat secara termodinamika difavoritkan, asam sulfat adalah zat
pendehidrasi yang sangat baik dan digunakan untuk mengeringkan buah-buahan. Afinitas
asam sulfat terhadap air cukuplah kuat sedemikiannya ia akan memisahkan atom hidrogen
dan oksigen dari suatu senyawa. Sebagai contoh, mencampurkan pati (C6H12O6)n dengan
asam sulfat pekat akan menghasilkan karbon dan air yang terserap dalam asam sulfat (yang
akan mengencerkan asam sulfat):
(C6H12O6)n → 6n C + 6n H2O
Efek ini dapat dilihat ketika asam sulfat pekat diteteskan ke permukaan kertas.
Selulosa bereaksi dengan asam sulfat dan menghasilkan karbon yang akan terlihat seperti
efek pembakaran kertas. Reaksi yang lebih dramatis terjadi apabila asam sulfat ditambahkan
ke dalam satu sendok teh gula. Seketika ditambahkan, gula tersebut akan menjadi karbon
berpori-pori yang mengembang dan mengeluarkan aroma seperti karamel.
Reaksi lainnya
Sebagai asam, asam sulfat bereaksi dengan kebanyakan basa, menghasilkan garam
sulfat. Sebagai contoh, garam tembaga tembaga(II) sulfat dibuat dari reaksi antara
tembaga(II) oksida dengan asam sulfat:
CuO + H2SO4 → CuSO4 + H2O
Asam sulfat juga dapat digunakan untuk mengasamkan garam dan menghasilkan
asam yang lebih lemah. Reaksi antara natrium asetat dengan asam sulfat akan menghasilkan
asam asetat, CH3COOH, dan natrium bisulfat:
H2SO4 + CH3COONa → NaHSO4 + CH3COOH
Hal yang sama juga berlaku apabila mereaksikan asam sulfat dengan kalium nitrat.
Reaksi ini akan menghasilkan asam nitrat dan endapat kalium bisulfat. Ketika
dikombinasikan dengan asam nitrat, asam sulfat berperilaku sebagai asam sekaligus zat
pendehidrasi, membentuk ion nitronium NO2+, yang penting dalam reaksi nitrasi yang
melibatkan substitusi aromatik elektrofilik. Reaksi jenis ini sangatlah penting dalam kimia
organik.
Asam sulfat bereaksi dengan kebanyakan logam via reaksi penggantian tunggal,
menghasilkan gas hidrogen dan logam sulfat. H2SO4 encer menyerang besi, aluminium, seng,
mangan, magnesium dan nikel. Namun reaksi dengan timah dan tembaga memerlukan asam
sulfat yang panas dan pekat. Timbal dan tungsten tidak bereaksi dengan asam sulfat. Reaksi
antara asam sulfat dengan logam biasanya akan menghasilkan hidrogen seperti yang
ditunjukkan pada persamaan di bawah ini. Namun reaksi dengan timah akan menghasilkan
sulfur dioksida daripada hidrogen.
Fe (s) + H2SO4 (aq) → H2 (g) + FeSO4 (aq)
Sn (s) + 2 H2SO4 (aq) → SnSO4 (aq) + 2 H2O (l) + SO2 (g)
Hal ini dikarenakan asam pekat panas umumnya berperan sebagai oksidator,
manakala asam encer berperan sebagai asam biasa. Sehingga ketika asam pekat panas
bereaksi dengan seng, timah, dan tembaga, ia akan menghasilkan garam, air dan sulfur
dioksida, manakahal asam encer yang beraksi dengan logam seperti seng akan menghasilkan
garam dan hidrogen.
Asam sulfat menjalani reaksi substitusi aromatik elektrofilik dengan senyawa-
senyawa aromatik, menghasilkan asam sulfonat terkait:[4]
Kegunaan
Asam sulfat merupakan komoditas kimia yang sangat penting, dan sebenarnya pula,
produksi asam sulfat suatu negara merupakan indikator yang baik terhadap kekuatan industri
negara tersebut. Kegunaan utama (60% dari total produksi di seluruh dunia) asam sulfat
adalah dalam "metode basah" produksi asam fosfat, yang digunakan untuk membuat pupuk
fosfat dan juga trinatrium fosfat untuk deterjen. Pada metode ini, batuan fosfat digunakan dan
diproses lebih dari 100 juta ton setiap tahunnya. Bahan-bahan baku yang ditunjukkan pada
persamaan di bawah ini merupakan fluorapatit, walaupun komposisinya dapat bervariasi.
Bahan baku ini kemudian diberi 93% asam suflat untuk menghasilkan kalsium sulfat,
hidrogen fluorida (HF), dan asam fosfat. HF dipisahan sebagai asam fluorida. Proses
keseluruhannya dapat ditulis:
Ca5F(PO4)3 + 5 H2SO4 + 10 H2O → 5 CaSO4•2 H2O + HF + 3 H3PO4
Asam sulfat digunakan dalam jumlah yang besar oleh industri besi dan baja untuk
menghilangkan oksidasi, karat, dan kerak air sebelum dijual ke industri otomobil. Asam yang
telah digunakan sering kali didaur ulang dalam kilang regenerasi asam bekas (Spent Acid
Regeneration (SAR) plant). Kilang ini membakar asam bekas dengan gas alam, gas kilang,
bahan bakar minyak, ataupun sumber bahan bakar lainnya. Proses pembakaran ini akan
menghasilkan gas sulfur dioksida (SO2) dan sulfur trioksida (SO3) yang kemudian digunakan
untuk membuat asam sulfat yang "baru".
Amonium sulfat, yang merupakan pupuk nitrogen yang penting, umumnya diproduksi
sebagai produk sampingan dari kilang pemroses kokas untuk produksi besi dan baja.
Mereaksikan amonia yang dihasilkan pada dekomposisi termal batu bara dengan asam sulfat
bekas mengijinkan amonia dikristalkan keluar sebagai garam (sering kali berwarna coklat
karena kontaminasi besi) dan dijual kepada industri agrokimia.
Kegunaan asam sulfat lainnya yang penting adalah untuk pembuatan aluminium
sulfat. Alumunium sulfat dapat bereaksi dengan sejumlah kecil sabun pada serat pulp kertas
untuk menghasilkan aluminium karboksilat yang membantu mengentalkan serat pulp menjadi
permukaan kertas yang keras. Aluminium sulfat juga digunakan untuk membuat aluminium
hidroksida. Aluminium sulfat dibuat dengan mereaksikan bauksit dengan asam sulfat:
Al2O3 + 3 H2SO4 → Al2(SO4)3 + 3 H2O
Asam sulfat juga memiliki berbagai kegunaan di industri kimia. Sebagai contoh, asam
sulfat merupakan katalis asam yang umumnya digunakan untuk mengubah
sikloheksanonoksim menjadi kaprolaktam, yang digunakan untuk membuat nilon. Ia juga
digunakan untuk membuat asam klorida dari garam melalui proses Mannheim. Banyak
H2SO4 digunakan dalam pengilangan minyak bumi, contohnya sebagai katalis untuk reaksi
isobutana dengan isobutilena yang menghasilkan isooktana.
2.3 Asam Sulfat sebagai Katalisator
Menurut Sukardjo,drs (1984), Katalisator adalah zat yang dapat mengubah kecepatan
reaksi. Hampir semua katalisator mempercepat reaksi (disebut katalisator positif), hanya
sedikit dikenal katalisator yang memperlambat reaksi (disebut katalisator negatif). Katalisator
disebut homogen bila membentuk satu fase dengan pereaksi dan disebut heterogen bila
membentuk dua fase dengan pereaksi.
Mineral-mineral dari alam dapat dibuat menjadi katalis dan bahan pembantu katalis
yang kemudian dikenal dengan katalis mineral. Asam sulfat (H2SO4) merupakan asam
mineral (anorganik), karena itu katalis H2SO4 disebut katalis asam mineral. Menurut Juan,
dkk (2007) Pada proses esterifikasi katalis yang banyak digunakan pada awalnya adalah
katalis homogen asam donor proton dalam pelarut organik, seperti H2SO4, HF, H3PO4 dan
RSO3H, PTSA.
Katalis H2SO4 dalam reaksi esterifikasi adalah katalisator positif karena berfungsi
untuk mempercepat reaksi esterifikasi yang berjalan lambat. H2SO4 juga merupakan
katalisator homogen karena membentuk satu fase dengan pereaksi (fase cair). Pemilihan
penggunaan asam sulfat (H2SO4) sebagai katalisator dalam reaksi esterifikasi dikarenakan
beberapa faktor, diantaranya :
1. Asam sulfat selain bersifat asam juga merupakan agen pengoksidasi yang kuat
2. Asam sulfat dapat larut dalam air pada semua kepekatan
3. Reaksi antara asam sulfat dengan air adalah reaksi eksoterm yang kuat
4. Jika air ditambahkan asam sulfat pekat maka ia mampu mendidih
5. Karena afinitasnya terhadap air, maka asam sulfat dapat menghilangkan bagian
terbesar uap air dan gas yang basah, seperti udara lembab.
6. Konsentrasi ion H+ berpengaruh terhadap kecepatan reaksi
Asam sulfat pekat mampu mengikat air (higroskopis), jadi untuk reaksi setimbang
yang menghasilkan air dapat menggeser arah reaksi ke kanan (ke arah produk)
Dari faktor-faktor di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa penambahan asam sulfat sebagai
katalis untuk mempercepat kecepatan reaksi karena reaksi antara asam sulfat dengan air
(proses esterifikasi menghasilkan etil asetat dan air) adalah reaksi eksoterm yang kuat. Air
yang ditambahkan asam sulfat pekat akan mampu mendidih, sehingga suhu reaksinya akan
tinggi. Makin tinggi suhu reaksi, makin banyak molekul yang memiliki tenaga lebih besar
atau sama dengan tenaga aktivasi, hingga makin cepat reaksinya. Katalis akan menyediakan
rute agar reaksi berlangsung dengan energi aktivasi yang lebih rendah sehingga nilai
konstanta kecepatan reaksi (k) akan semakin besar, sehingga kecepatan reaksinya juga
semakin besar. Selain itu, karena asam sulfat pekat mampu mengikat air (higroskopis), maka
untuk reaksi esterifikasi setimbang yang menghasilkan air, asam sulfat pekat dapat
menggeser arah reaksi ke kanan (ke arah produk), sehingga produk yang dihasilkan menjadi
lebih banyak.
2.4 Reaksi Pembuatan Biodiesel
Ester dapat dibuat dari minyak lemak nabati dengan reaksi esterifikasi atau
transesterifikasi atau gabungan keduanya.
Reaksi Esterifikasi
Reaksi esterifikasi merupakan reaksi antara asam lemak bebas dengan alkohol
membentuk ester dan air. Reaksi yang terjadi merupakan reaksi endoterm, sehingga
memerlukan pasokan kalor dari luar. Temperatur untuk pemanasan tidak terlalu tinggi yaitu
55-60 oC (Kac, 2001). Secara umum reaksi esterifikasi adalah sebagai berikut :
Asam lemak bebas alkohol ester alkil air
Reaksi esterifikasi dapat dilakukan sebelum atau sesudah reaksi transesterifikasi.
Reaksi esterifikasi biasanya dilakukan sebelum reaksi transesterifikasi jika minyak yang
diumpankan mengandung asam lemak bebas tinggi (>0.5%). Dengan reaksi esterifikasi,
kandungan asam lemak bebas dapat dihilangkan dan diperoleh tambahan ester.
Reaksi Transesterifikasi
Reaksi Transesterifikasi sering disebut reaksi alkoholisis, yaitu reaksi antara
trigliserida dengan alkohol menghasilkan ester dan gliserin. Alkohol yang sering digunakan
adalah metanol, etanol, dan isopropanol. Berikut ini adalah tahap-tahap reaksi
transesterifikasi :
trigliserida alkohol digliserida ester
digliserida alkoh
ol monogliserida ester
monogliserida alkohol gliserin ester
Secara keseluruhan reaksi transesterifikasi adalah sebagai berikut :
Trigliserida 3 (alkohol) gliserin 3 (ester)
2.5 Pengaruh Suhu terhadap Reaksi
Hasil penelitian menunjukkan pada variabel suhu reaksi dengan berbagai
jumlah katalis, semakin
tinggi suhu reaksi maka prosentase penurunan %FFA semakin cepat. Suhu
reaksi terbaik dicapai pada suhu 60oC. Sesuai dengan hukum Arrhenius bahwa
laju reaksi sebanding dengan suhu reaksi (Levenspiel, 1999), dimana suhu
reaksi semakin tinggi, konstanta laju reaksi (k) semakin besar, sehingga laju
reaksi semakin besar. Persamaan hukum Arrhenius sebagai berikut: k = ko e(-
E/RT)
atau k = A e(-Ea/RT)
Keterangan:
R = Konstanta gas umum (cal/gmol ºK) E = Tenaga aktivasi (cal/gmol)
A = Faktor tumbukan
k = konstanta kinetika reaksi
Dari persamaan diatas di dapat k ( konstanta kinetika reaksi ) berbanding lurus dengan
suhu
( T ). Semakin lama waktu reaksi maka harga k semakin berkurang,hal ini
menunjukkan reaksi dalam kondisi mendekati kesetimbangan.
BAB III
METODA PENELITIAN
Mengingat bahan baku minyak biji karet memiliki kandungan asam lemak tinggi,
17% (Ramadhas et. all., 2005) maka pembuatan biodiesel dilakukan dengan dua tahap
reaksi: esterifikasi untuk menurukan kandungan asam lemak hingga ≤2% dan
transesterifikasi untuk membentuk biodiesel (Ghadge dan Raheman, 2005 dan Canacki
et. all., 1999).
Penelitian ini meneliti pengaruh berat katalis (H2SO4) (0,25%; 0,5%; 1% dan 2%-
berat) dan suhu reaksi (40oC; 45oC; 500C; 550C; 600C) pada reaksi esterifikasi terhadap
%FFA dan yield FAME (Fatty Acid Methyl Ester). Adapun tahapan penelitian secara
laengkap ditampilkan pada Gambar. Penelitian ini menggunakan bahan baku biji karet
dari daerah Lampung.
Pengepresan untuk memperoleh minyak biji karet dilakukan secara mekanik
menggunakan alat pres hidrolik. Sebagai reaktor berlangsungnya reaksi esterifikasi dan
transesterifikasi digunakan labu leher tiga dilengkapi dengan pendingin balik,
termometer, pemanas dan pengaduk magnetik. Pemisahan antara produk (lapisan
atas/organik) dengan lapisan aqueous-nya dilakukan menggunakan corong pemisah.
Pengambilan sampel dilakukan dengan selang waktu yaitu 0, 5, 15, 30, 50, 60, 90, 120, 150,
180 dan 210 hingga tercapai kadar %FFA (Free Fatty Acid) 2%.
Untuk keperluan analisa, masing-masing diambil 1 mL sampel dan disimpan dalam
botol sampel yang telah diisi dengan 2 mL n-heksan dan 2 mL aquadest. Sampel dilapisan
n-heksan inilah yang selanjutnya diambil untuk keperluan analisa.
Analisa asam lemak dilakukan menggunakan metode titrasi, pelarut alkohol
absolut dengan indikator penolpthalin (p.p). Sedangkan perhitungan yield FAME
dilakukan berdasarkan massa minyak awal sebagai bahan baku.
Alat
Labu leher tiga dilengkapi dengan pendingin balik, Termometer Pemanas Pengaduk magnetic Alat press hidrolik Alat degumming Corong pemisah Botol sampel Biuret Oven Erlenmeyer GC
Bahan
Biji karet N-heksana Alkohol Metanol NaOH Phenolftelin H3PO4
H2SO4
aquadest
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketaren (1986) menyebutkan bahwa metode pengepresan mekanis
(mechanical expression) lebih sesuai digunakan untuk mengambil minyak dari
bahan biji-bijian dengan kandungan minyak tinggi (30-70%). Mengingat kernel biji
karet mengandung kadar minyak tinggi 45,63% (Ikwuagwu et. all., 2000) maka
metode pengepresan mekanis paling sesuai untuk pengambilan minyak dari biji karet.
Sebelum pengepresan dilakukan pemisahan biji karet dari daun dan kotoran,
pemecahan kulit luar dan pemasakan dalam oven pada suhu 100oC hingga kadar air
1,85%. Perlakuan tersebut memberikan kadar minyak sebesar 20%- berat.
Pengeringan terhadap kernel biji karet hingga kadar 1,85% perlu dilakukan karena
pada kernel biji karet segar (fresh) kadar airnya cukup tinggi (6,79%). Kondisi
tersebut menyulitkan proses pengepresan, mengingat kernel yang dipres akan
hancur dan menempel pada alat pres sehingga kadar minyak yang diperoleh akan
menurun.
Pengaruh jumlah katalis asam terhadap penurunan FFA pada reaksi
esterifikasi
Minyak biji karet yang digunakan pada penelitian ini memiliki kandungan
asam lemak cukup tinggi, 16% sehingga perlu dilakukan reaksi esterifikasi untuk
menurunkan kandungan asam lemak sebelum dilakukan reaksi transesterifikasi.
Canacki et. all. (1999) dan Ramadhas et. all. (2005) menyebutkan bahwa minyak
berkandungan asam lemak tinggi (>2%-FFA) tidak sesuai digunakan untuk bahan
baku pada reaksi transesterifikasi. Perlu dilakukan reaksi dua tahap yaitu esterifikasi
dan transesetrifikasi guna menurunkan kandungan asam lemak hingga <2%
(Ramadhas et. all., 2005).
Mengingat bahan baku minyak dengan kandungan asam lemak tinggi jika
digunakan sebagai bahan baku pada reaksi transesterifikasi yang berkatalis basa,
maka asam lemal akan bereaksi dengan katalis membentuk sabun melalui
reaksi penyabunan, sehingga efektifitas katalis akan menurun karena sebagian katalis
bereaksi dengan asam lemak. Selain itu, kondisi tersebut akan menurunkan yield ester
dan mempersulit proses pemisahan (Canacki et. all.,1999). Penelitian ini memilih
metanol sebagai jenis alkohol pereaktannya mengingat metanol adalah senyawa
alkohol berantai karbon terpendek dan bersifat polar. Sehingga dapat bereaksi lebih
cepat dengan asam lemak, dapat melarutkan semua jenis katalis (baik basa maupun
asam) dan lebih ekonomis (Fangrui Ma et. all., 1999).
Penelitian ini meneliti variabel berat katalis dan suhu reaksi pada reaksi
esterifikasi terhadap yield metil ester akhir. Adapun variabel yang diteliti: berat
katalis H2SO4 0,25%; 0,5%; 1% dan 2% dan suhu reaksi 40oC, 45oC, 50oC, 55oC,
dan 60oC. Analisa %FFA dilakukan dengan menggunakan metode titrimetri. Gambar
2 hingga 5 menunjukkan penurunan %FFA selama reaksi esterifikasi untuk berbagai
variabel suhu reaksi dan jumlah katalis.
Gambar 2. Penurunan%FFA pada reaksi esterifikasi (molar ratio
minyak:metanol = 1:6; katalis H2SO4 0,25%-berat) pada berbagai suhu reaksi
Gambar 3. Penurunan %FFA pada reaksi esterifikasi (molar ratio
minyak:metanol = 1:6; katalis H2SO4 0,5%-berat) pada berbagai suhu reaksi
Hasil penelitian menunjukkan untuk variabel jumlah katalis asam dengan
berbagai variabel suhu reaksi terlihat bahwa waktu penurunan %FFA paling singkat
diperoleh saat jumlah katalis asam 0,5%-berat (Gambar 3). Terlihat bahwa pada suhu
reaksi 55oC dan 60oC dengan waktu reaksi 120 menit, berturut-turut tercapai 1,57 dan
1,33%FFA. Sedangkan untuk variabel jumlah katalis yang lain (1% dan 2%-berat),
%FFA <2% baru tercapai setelah 150 menit reaksi (suhu 50, 55 dan 60oC),
Gambar 4 dan 5. Demikian halnya pada jumlah katalis 0,25% (Gambar 2).
Sehingga dapat disimpulkan, jumlah katalis 0,5% dan suhu reaksi 55oC memberikan
prosen penurunan %FFA terbaik untuk waktu reaksi 120 menit.
Gambar 4. Penurunan %FFA pada reaksi esterifikasi (molar ratio
minyak:metanol = 1:6; katalis H2SO4 1%-berat) pada berbagai suhu reaksi
Gambar 5. Penurunan %FFA pada reaksi esterifikasi (molar ratio
minyak:metanol = 1:6; katalis H2SO4 2%-berat) pada berbagai suhu reaksi
Pada pemakaian jumlah katalis > 0,5% (1% dan 2%) memberikan hasil
produk larutan (produk I) yang lebih gelap. Sebagaimana disebutkan dalam
Ramadhas et. all. (2005) kelebihan katalis (excess H2SO4) akan menyebabkan larutan
produk berwarna lebih gelap, terbentuknya dimetil eter dari reaksi antara excess
H2SO4 dengan metanol. Sehingga akan menyebabkan penurunan %FFA berjalan
lebih lambat akibat berkurangnya jumlah metano yang bereaksi dengan asam lemak
bebas Selain itu, dikhawatirkan kelebihan katalis asam akan terikut pada
lapisan organik (produk I), dimana produk I akan digunakan kembali pada
reaksi transesterifikasi. Sehingga kelebihan katalis yang ada dapat bereaksi dengan
NaOH (katalis basa) pada reaksi berikutnya, transesterifikasi. Kondisi ini dapat
menyebabkan turunnya yield metil ester, sebagaimana terlihat pada Gambar 6
berikut.
Gambar 6. Yield crude FAME pada berbagai jumlah katalis
Gambar 6 menunjukkan hubungan bahwa peningkatan suhu reaksi pada tahap
esterifikasi berbanding lurus dengan perolehan yield crude FAME. Yield crude FAME
terbesar diperoleh pada suhu 60oC dengan jumlah katalis H2SO4 0,5% sebesar
88,839%. Satish (2000) menyatakan bahwa pada suhu reaksi mendekati titik didih
metanol (64,8oC) akan didapatkan yield maksimum.
Sedangkan pada jumlah katalis >0,5% (1% dan 2%), telihat perolehan yield
FAME yang lebih kecil dibandingkan saat jumlah katalis 0,25%. Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya,
saat digunakan jumlah katalis berlebih maka kelebihan asam (excess H2SO4)
diduga akan terikut ke lapisan atas dan selanjutnya akan bereaksi dengan katali basa
(NaOH) pada tahap transesterifikasi, sehingga mempengaruhi yield crude FAME.
Pengaruh Penambahan Katalis Terhadap Harga k
Dari tabel diatas menunjukkan semakin banyak katalis yang digunakan maka
harga k yang diperoleh semakin besar,hal ini menunjukkan bahwa jumlah
katalis mempengaruhi terbentuknya metil ester.Sesuai dengan mekanisme reaksi
esterifikasi dengan katalis asam :
Semakin banyak H+ ( katalis ) semakin ditulis cepat reaksi dapat di arahkan ke
produk.Persamaan reaksi kimia dapat dalam bentuk yang lebih sederhana untuk
memudahkan penulisan kecepatan reaksi kimia sebagai berikut :
Keterangan :
A = Asam Lemak
B = metanol
C = metil ester
D = Air
A + 3 B C + D (1)
Persamaan Kecepatan reaksinya :
rc = - dCa = k1 [A] [B]3 – k2 [C] [D] (2)
dt
Keterangn:
rc = kecepatan reaksi pembentukan alkyl ester
[A] = konsentrasi asam lemak
[B] =konsentrasi methanol
[C] = konsentrasi metil ester
[D] =konsentrasi air
k1 = konsentrasi kecepatan reaksi ke kanan (arah produk )
k2 = konsentrasi kecepatan reaksi ke kanan (arah reaktan )
t = waktu reaksi
Reaksi esterifikasi merupakan reaksi bolak balik yang berjalan lambat, sehingga
untuk waktu reaksi yang relatif pendek reaksi ke kiri (arah reaktan) dapat diabaikan
terhadap reaksi ke kanan (arah produk ). Bila alkohol yang digunakan berlebih, maka
konsentrasi alkohol dapat dianggap konstan sehingga :
r= - d C a = k .[A](3)
dt
Setelah reaksi berlangsung selama t menit, Cao adalah konsentrasi mula-mula dan
konversi x,maka
Dengan demikian diperoleh persamaan :
- In (1-x) = k (t- t0) (5)
Menurut Sukardjo,drs (1984), Katalisator adalah zat yang dapat mengubah kecepatan
reaksi. Hampir semua katalisator mempercepat reaksi (disebut katalisator positif), hanya
sedikit dikenal katalisator yang memperlambat reaksi (disebut katalisator negatif). Katalisator
disebut homogen bila membentuk satu fase dengan pereaksi dan disebut heterogen bila
membentuk dua fase dengan pereaksi. mineral-mineral dari alam dapat dibuat menjadi katalis
dan bahan pembantu katalis yang kemudian dikenal dengan katalis mineral. Asam sulfat
(H2SO4) merupakan asam mineral (anorganik), karena itu katalis H2SO4 disebut katalis
asam mineral. Menurut Juan, dkk (2007) Pada proses esterifikasi katalis yang banyak
digunakan pada awalnya adalah katalis homogen asam donor proton dalam pelarut organik,
seperti H2SO4, HF, H3PO4 dan RSO3H, PTSA.
Katalis H2SO4 dalam reaksi esterifikasi adalah katalisator positif karena berfungsi untuk
mempercepat reaksi esterifikasi yang berjalan lambat. H2SO4 juga merupakan katalisator
homogen karena membentuk satu fase dengan pereaksi (fase cair). Pemilihan penggunaan
asam sulfat (H2SO4) sebagai katalisator dalam reaksi esterifikasi dikarenakan beberapa
faktor, diantaranya :
1. Asam sulfat selain bersifat asam juga merupakan agen pengoksidasi yang kuat
2. Asam sulfat dapat larut dalam air pada semua kepekatan
3. Reaksi antara asam sulfat dengan air adalah reaksi eksoterm yang kuat
4. Jika air ditambahkan asam sulfat pekat maka ia mampu mendidih
5. Karena afinitasnya terhadap air, maka asam sulfat dapat menghilangkan bagian terbesar
uap air dan gas yang basah, seperti udara lembab
6. Konsentrasi ion H+ berpengaruh terhadap kecepatan reaksi
7. Asam sulfat pekat mampu mengikat air (higroskopis), jadi untuk reaksi setimbang yang
menghasilkan air dapat menggeser arah reaksi ke kanan (ke arah produk)
Dari faktor-faktor di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa penambahan asam sulfat
sebagai katalis untuk mempercepat kecepatan reaksi karena reaksi antara asam sulfat dengan
air (proses esterifikasi menghasilkan etil asetat dan air) adalah reaksi eksoterm yang kuat. Air
yang ditambahkan asam sulfat pekat akan mampu mendidih, sehingga suhu reaksinya akan
tinggi. Makin tinggi suhu reaksi, makin banyak molekul yang memiliki tenaga lebih besar
atau sama dengan tenaga aktivasi, hingga makin cepat reaksinya. Katalis akan menyediakan
rute agar reaksi berlangsung dengan energi aktivasi yang lebih rendah sehingga nilai
konstanta kecepatan reaksi (k) akan semakin besar, sehingga kecepatan reaksinya juga
semakin besar. Selain itu, karena asam sulfat pekat mampu mengikat air (higroskopis), maka
untuk reaksi esterifikasi setimbang yang menghasilkan air, asam sulfat pekat dapat
menggeser arah reaksi ke kanan (ke arah produk), sehingga produk yang dihasilkan menjadi
lebih banyak.
Pengaruh suhu reaksi terhadap penurunan FFA pada reaksi esterifikasi
Hasil penelitian menunjukkan pada variabel suhu reaksi dengan berbagai jumlah
katalis, semakin tinggi suhu reaksi maka prosentase penurunan %FFA semakin cepat.
Suhu reaksi terbaik dicapai pada suhu 60oC. Sesuai dengan hukum Arrhenius bahwa
laju reaksi sebanding dengan suhu reaksi (Levenspiel, 1999), dimana suhu reaksi
semakin tinggi, konstanta laju reaksi (k) semakin besar, sehingga laju reaksi
semakin besar. Persamaan hukum Arrhenius sebagai berikut: k = ko e(-E/RT)
atau k = A e(-Ea/RT)
Keterangan:
R = Konstanta gas umum (cal/gmol ºK) E = Tenaga aktivasi (cal/gmol)
A = Faktor tumbukan
k = konstanta kinetika reaksi
Dari persamaan diatas di dapat k ( konstanta kinetika reaksi ) berbanding lurus dengan
suhu
( T ). Semakin lama waktu reaksi maka harga k semakin berkurang,hal ini
menunjukkan reaksi dalam kondisi mendekati kesetimbangan.
Sifat-sifat fisik biodiesel hasil penelitian
Crude FAME hasil penelitian (kondisi reaksi esterifikasi mol rasio
minyak:metanol = 1:6, jumlah katalis H2SO4 0,5%-berat, 60oC, 2 jam reaksi,
yield FAME 88,839%) dianalisa sifat-sifat fisiknya sesuai dengan standar FBI
(Forum Biodiesel Indonesia). Sebagai pembanding, juga dilakukan analisa pada
kondisi reaksi yang lain dengan yield FAME sebesar 86,949% (kondisi reaksi
esterifikasi mol rasio minyak:methanol = 1:6, jumlah katalis H2SO4 0.5%-
berat, 55oC, 2 jam reaksi). Hasil analisa sifat-sifat fisik tersebut
ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Sifat-sifat fisik crude FAME hasil penelitian berdasarkan standar FBI
(Forum Biodiesel Indonesia)
Tabel 1 menunjukkan sifat-sifat fisik (densitas, titik nyala/flash
point, viskositas kinematik, dan korosi lempeng tembaga) dari crude FAME
hasil penelitian telah memenuhi standart FBI. Namun nilai calculated cetane
index (CCI) berada di bawah nilai yang ditetapkan. Ramadhas et. all. (2005),
menyebutkan bahwa rendahnya angka cetane turut dipengaruhi oleh derajat
kejenuhan dan ketidakjenuhan dari gugus asam lemak pada metil ester.
Tingginya derajat kejenuhan dari gugus asam lemak pada metil ester
akan menyebabkan tingginya nilai cetane dan sebaliknya. Mengingat
kandungan asam lemak tak jenuh pada minyak biji karet cukup tinggi
(81,8%-berat, Ketaren, 1986) maka angka cetanenya rendah.
Keuntungan menggunakan bahan baku biodiesel
1. Dihasilkan dari sumber daya energi terbarukan dan ketersediaan bahan bakunya terjamin
2. Cetane number tinggi (bilangan yang menunjukkan ukuran baik tidaknya kualitas solar berdasar sifat kecepatan bakar dalam ruang bakar mesin)
3. Viskositas tinggi sehingga mempunyai sifat pelumasan yang lebih baik daripada solar sehingga memperpanjang umur pakai mesin
4. Dapat diproduksi secara local
5. Mempunyai kandungan sulfur yang rendah
6. Menurunkan tingkat opasiti asap
7. Menurunkan emisi gas buang
8. Pencampuran biodiesel dengan petroleum diesel dapat meningkatkan biodegradibility petroleum diesel sampai 500 %
Kelemahannya Pemakaian Biodiesel
Tidak cocok dipakai untuk kendaraan bermotor yang memerlukan kecepatan dan daya, karena biodiesel menghasilkan tenaga yang lebih rendah dibandingkan solar murni
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1. Pada tahap esterifikasi, semakin tinggi suhu reaksi maka penurunan %FFA
semakin cepat. Prosentase penurunan FFA paling cepat (<2%) terjadi pada
jumlah katalis H2SO4 0,5% dengan waktu 120 menit (tercapai 1,33% FFA di
akhir reaksi).
2. Prosentase penurunan FFA pada reaksi esterifikasi mempengaruhi perolehan
yield crude FAME. Semakin cepat penurunan %FFA maka perolehan yield FAME
akan semakin besar meningkat. Kondisi perolehan yield crude FAME terbesar
(88,839%) diperoleh pada suhu reaksi 60oC dan jumlah katalis H2SO4 0,5%.
5.2 Saran
Pada pembuatan karya ilmiah ini terdapat beberapa kekurangan sehingga kritik
dan saran yang membangun di harapkan agar karya ilmiyah ini menjadi lebih baik dan
dapat di jadikan salah satu sumber belajar
DAFTAR PUSTAKA
Bailey, Edward, 1982. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Vol 2, 4th
ed, John
Willey and Sons Ltd, New York.
Canacki, M., Van Gerpen, J. 1999. ”Biodiesel Production via Acid Catalysis”. Trans
ASAE 42(5) : 1203-1210.
Canacki, M., Van Gerpen, J. 2001. ”Biodiesel Production From Oils and Fats with
High Free Fatty Acids”.Trans ASAE 44(6) : pp.1429-1436.
Freedman, B., Pryde, E. H. Oct 1984. ”Variables Affecting the Yields of Fatty Esters
from Transesterified Vegetables Oils”. JAOCS 61(10) : pp.1638-1643.
Fukuda, H., Kondo, A., Noda, H., Sept 2001, “Biodiesel fuel production by
transesterifikasi of oils”.Journal of Bioscience And Bioengineering 92 : pp.405-416.
Ikwuagwu, O.E., Ononogobu, I.C., Njoku. O.U., 2000. ”Production of biodiesel
using rubber [Hevea brasiliensis] seed oil”. Ind Crops Prod 12 : pp.57-62.
Ketaren, S., 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI–Press,
Jakarta. Lele, Satish, 2000. Biodiesel in India. <U R L :h h t p:/ /ww w . b i od i e s e l . c o m >
Ma Fangrui, Milford, A., Hanna. 1999. ”Biodiesel production : a review”.
Bioesource Technology 70:pp.1-15.
Ramadhas, A.S., Jayaraj, S., Muraleedharan, C., 2005. “Biodiesel production from
high FFA rubber seed oil”. Fuel 84 : pp.335-340.
Shashikant Vilas Ghadge and Hifjur Rahemn, 2005. “Biodiesel Production from
Mahua (Madhuca indica) Oil Having High Free Fatty Acids”, Biomass and Bioenergy
28: pp. 601-60