Makalah Kel 3 Pcl 09. New
-
Upload
alifah-nur-jannah -
Category
Documents
-
view
18 -
download
0
description
Transcript of Makalah Kel 3 Pcl 09. New
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tulisan ini adalah sebuah usaha untuk memahami hubungan konflik yang
berbasis agama dengan kehidupan yang plural di Indonesia, mengingat
meningkatnya kasus konflik berbasis agama di negeri ini.
Sepanjang sejarah agama dapat memberi sumbangsih positif bagi
masyarakat dengan memupuk persaudaraan dan semangat kerjasama antar
anggota masyarakat. Namun sisi yang lain, agama juga dapat sebagai pemicu
konflik antar masyarakat beragama. Ini adalah sisi negatif dari agama dalam
mempengaruhi masyarakat Dan hal ini telah terjadi di beberapa tempat di
Indonesia.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural dan multikultural.
Kemajemukan masyarakat Indonesia ditunjukkan oleh struktur masyarakatnya
yang unik, karena beranekaragam dalam berbagai hal seperti keadaan dan letak
geografis dari NKRI.
Manusia Indonesia berarti menjadi manusia yang sanggup hidup dalam
perbedaan dan bersikap toleran. Bersikap toleran berarti bisa menerima
perbedaan dengan lapang dada, dan menghormati hak pribadi dan sosial pihak
yang berbeda (The Other) menjalani kehidupan mereka.
1.2. Tujuan
1.2.1.Untuk mengetahui latar belakang konflik yang didasari oleh agama.
1.2.2.Untuk mengetahui dampak konflik agama dalam kehidupan.
1.2.3.Untuk mengetahui cara mengatasi konflik yang didasari oleh agama.
1.2.4.Untuk mengetahui hubungan Indonesia sebagai negara plural dengan
konflik yang didasari oleh agama.
1.2.5.Untuk mengetahui peran pemerintah terhadap konflik yang didasari oleh
agama.
1.2.6.Untuk mengetahui pelanggaran sila-sila Pancasila pada konflik yang
didasasari oleh agama
1
1.3. Manfaat
1.3.1.Mahasiswa dapat berperan serta dalam menjaga keberagaman agama.
1.3.2.Masyarakat dapat mencegah adanya konflik yang didasari oleh agama.
1.3.3.Pemerintah dapat mencegah, meredam, dan menyelesaikan konflik yang
didasari agama.
2
II. PERMASALAHAN
2.1. Apa latar belakang terjadinya konflik yang didasari oleh agama?
2.2. Apa dampak konflik agama dalam kehidupan?
2.3. Bagaimana cara mengatasi terjadinya konflik tersebut?
2.4. Bagaimana hubungan Indonesia sebagai negara plural dengan konflik yang
didasari dengan agama?
2.5. Bagaimana peran pemerintah terhadap konflik yang sering terjadi?
2.6. Bagaimana pelanggaran sila-sila pancasila pada konflik yang didasari oleh
agama?
3
III. PEMBAHASAN
3.1. Latar belakang konflik yang didasari oleh agama
Agama dalam satu sisi dipandang oleh pemeluknya sebagai sumber moral
dan nilai, sementara di sisi lain dianggap sebagai sumber konflik.
Menurut Afif Muhammad, Agama acap kali menampakkan diri sebagai
sesuatu yang berwajah ganda. Sebagaimana yang disinyalir oleh John Effendi
yang menyatakan bahwa Agama pada sesuatu waktu memproklamirkan
perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan dan persaudaraan. Namun
pada waktu yang lain menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang dianggap
garang-garang menyebar konflik, bahkan tak jarang, seperti di catat dalam
sejarah, menimbulkan peperangan.
Setiap agama mempunyai pandangan yang berbeda tentang Tuhan. Namun
demikian, setiap agama menjalankan segala ajarannya berdasarkan, apa yang
dalam tiga agama monoteis disebut dengan firman Tuhan. Yang dalam
perkembangan selanjutnya firman Tuhan inilah yang membentuk sejarah
kebudayaan kita.
Tuhan dalam perkembangan selanjutnya dimonopoli dan dijadikan tameng
untuk mengakuisisi kebenaran dalam agama masing-masing. Yang dalam hal ini,
klaim “tidak ada keselamatan kecuali dalam agama kami” seolah-olah menjadi
trademark tiap-tiap agama ketika berhadapan dengan agama lain. Hingga pada
akhirnya, sangatlah sulit untuk menentukkan apakah benar ini merupakan
keinginan Tuhan melalui manusia ataukah keinginan manusia itu sendiri? Dan
dari sini mulailah timbul sikap bermusuhan dan saling membenci antar agama
dan pada akhirnya berlanjut pada konflik berdarah.
Semangat kebencian dan permusuhan yang terjadi dalam perjumpaan antar
agama seolah-olah memberikan gambaran betapa mirisnya hubungan antar
agama yang terjadi. Meskipun, disatu sisi dapat terlihat sikap militan para
pemeluk agama terhadap agamanya dan kesediaan mereka berkurban demi
membela agamanya. Akan tetapi, disisi lain semangat tersebut telah
mengkhianati misi suci agama itu sendiri, yaitu perdamaian.
4
3.1.1.Claim of Truth
Karena setiap pemeluk agama mempunyai keyakinan tentang
kebenaran agamanya, maka setiap agama mempunyai truth claim, meski
ada juga orang-orang yang membantahnya.
Berikut adalah contoh dari Claim of Truth dalam agama Islam.
Secara terang dan gamblang, umat islam menyatakan bahwa agama
islamlah yang benar tidak ada agama yang benar selain islam sebagaimana
yang tertera pada surat Ali Imran ayat 3 yang berbunyi: "Innaddina 'inda
Allahi Al Islam". Yang kurang lebih diartikan: "Sesungguhnya agama yang
berada di sisi Allah hanyalah islam". Kemudian ada ayat yang lain intinya
menjelaskan apabila ada seseorang yang beragama selain islam, maka
kelak di akherat termasuk orang yang merugi, serta pada surat Al Ikhlas
ayat 1-3 berbunyi:"Qul Huwallahu Ahad (1) Allahu As Shamad (2) Lam
Yalid wa Lam Yuulad wa Lam Yaqullahu Kufuwan Ahad
(3)"Artinya:"Katakanlah, Allah itu Esa (1) Allah tempat bergantung (2)
Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada yang
setara dengan-Nya. Sehingga secara eksplisit umat islam tidak punya
toleransi dalam masalah aqidah. Karena masalah aqidah merupakan
masalah hubungan seseorang dengan Allah, dan manusia tidak punya
kewenangan untuk mengobrak-abrik masalah ketuhanan.
Klaim kebenaran (truth claim) bahwa agamaku atau agama kami
adalah agama terbenar dan satu-satunya agama keselamatan (salvation
claim) yang sejatinya sebagai ekspresi dari keyakinan spiritual malah akan
memunculkan fanatisme agama yang negatif. Tak jarang mereka yang
melakukan hal-hal bernuansa kekerasan dalam rangka bangkit “membela
agama” jika merasa agamanya dilecehkan.
Secara sosiologis, truth claim tersebut dapat menimbulkan berbagai
konflik sosial-politik yang hingga kini masih menjadi fenomena di abad
modern ini. Sikap fanatisme itu sendiri, bukan ditandai oleh tidak adanya
kesepakatan, melainkan oleh tidak adanya penghargaan dan toleransi
terhadap teologi lainnya. Penyakit spiritual ini yang menyuburkan
kebencian tersebut sebagai buah dari sikap interaksi superior-inferior yang
membentengi diri sembari memproklamirkan agama mereka sebagai satu-
satunya agama yang dapat diterima dan satu-satunya jalan menuju
keselamatan.
5
Selain karena faktor Claim of Truth sebagai penyebab utama konflik
bernuansa agama, hal-hal seperti berikut juga ikut andil dalam terjadinya
konflik.
3.1.2.Agama Dianggap Memberikan Kebenaran Absolut
Banyak orang beragama percaya bahwa jika agama itu diberikan
oleh Tuhan sang pencipta, ajaran dan doktrin mereka haruslah mutlak dan
sempurna. Mereka menganggap, bagaimana mungkin Tuhan yang
Mahakuasa mengeluarkan doktrin agama yang bukan merupakan
kebenaran mutlak. Sekali lagi, ini berarti bahwa semua keyakinan yang
berbeda harus salah apakah itu sebagian atau seluruhnya. Hasil yang tak
terelakkan dari hal ini adalah bahwa Anda melihat diri Anda sebagai lawan
terhadap orang-orang yang menganut agama lain.
3.1.3.Agama Dianggap Telah Memberikan Kebenaran Lengkap
Banyak orang beragama percaya bahwa agama mereka tidak hanya
memberikan gambaran sempurna tentang Tuhan, mereka juga percaya
bahwa itu telah lengkap. Mereka percaya bahwa Tuhan adalah sempurna
dan dengan demikian doktrin yang diberikan oleh Tuhan haruslah
sempurna. Mereka juga percaya bahwa sesuatu yang sudah sempurna tidak
mungkin berubah. Oleh karena itu, agama mereka tidak akan pernah bisa
berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Karena bagi mereka tidak
perlu bagi agama mereka untuk beradaptasi terhadap waktu, tetapi
waktulah yang harus beradaptasi dengan doktrin yang sempurna dan
lengkap tersebut. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa mereka harus
menolak semua perubahan dalam agama mereka. Sekali lagi inilah
yang menciptakan ketegangan dan konflik.
3.1.4.Berpikir Hitam-Putih
Banyak orang beragama percaya bahwa agama harus didefinisikan
dalam bentuk hitam dan putih. Agama mereka adalah kebenaran yang
lengkap, sementara semua agama lain yang bertentangan adalah sama
sekali salah. Mereka percaya tidak ada kemungkinan untuk kompromi,
karena Anda percaya jika Anda memberikan Iblis satu jari, ia akan
mengambil seluruh tangan Anda. Mereka tidak terbuka untuk gagasan
6
bahwa mungkin ada suatu pendekatan terhadap agama yang tidak
berdasarkan pendekatan berpikir hitam dan putih.
3.1.5.Hanya Ada Satu Kemungkinan Interpretasi
Banyak orang beragama percaya bahwa hanya ada satu cara untuk
menafsirkan kitab suci agama mereka. Jelas, itu adalah interpretasi yang
dipilih oleh para pemimpin Agama mereka. Mereka percaya semua
penafsiran lainnya adalah salah dan berasal dari Iblis. Oleh karena itu,
tugas mereka adalah untuk memberantas interpretasi palsu tersebut, dan
bahkan mungkin memberantas orang-orang yang mempromosikan
interpretasi mereka.
3.1.6.Para Pemimpin Agama Seolah Mewakili Tuhan
Banyak orang beragama percaya bahwa para pemimpin agama
mereka itu adalah wakil Tuhan di Bumi. Para pemimpin mereka seolah
berbicara mewakili Tuhan dan oleh karena itu mereka tidak boleh
dipertanyakan atau dibantah. Mereka seperti menuntut ketaatan buta dan
dengan demikian siapa saja yang tidak menghormati otoritas mutlak ini
dipandang sebagai musuh.
3.1.7.Membuat Pembenaran
Beberapa orang percaya bahwa karena mereka bekerja untuk tujuan
Tuhan, adalah dapat diterima untuk melanggar hukum Tuhan yang
ditetapkan oleh agama mereka. Dengan kata lain, menjadi dapat diterima
untuk membunuh orang lain dalam nama Tuhan walaupun hampir setiap
agama mendefinisikan pembunuhan sebagai salah.
3.2. Dampak konflik agama dalam kehidupan
Dalam kehidupan masyarakat majemuk sering terjadi pertentangan antara
satu aspek dengan aspek lainnya. Sumber potensi konflik yang rentan terjadi
dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah agama, ras, dan suku bangsa.
Setiap konflik yang terjadi dalam masyarakat akan membawa dampak, baik
dampak secara langsung amupun dampak secara tidak langsung.
7
3.2.1.Dampak Secara Langsung
Dampak secara langsung merupakan dampak yang secara langsung
dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik. Adapun dampak konflik
secara langsung diantaranya sebagai berikut :
Menimbulkan keretakan hubungan antara individu atau kelompok
dengan individu atau kelompok lainnya.
Adanya perubahan kepribadian seseorang seperti selalu memunculkan
rasa curiga, rasa benci, dan akhirnya dapat berubah menjadi tindakan
kekerasan.
Hancurnya harta benda dan korban jiwa, jika konflik berubah menjadi
tindakan kekerasan apalagi jika diikuti perusakan fasilitas umum.
Kemiskinan bertambah akibat tidak kondusifnya keamanan.
Lumpuhnya roda perekonomian jika suatu konflik berlanjut menjadi
tindakan kekerasan.
Pendidikan formal dan informal terhambat karena rusaknya sarana dan
prasarana pendidikan.
Terjadi perubahan kepribadian. Menyebabkan dominasi kelompok
pemenang
3.2.2.Dampak Tidak Langsung
Dampak tidak langsung merupakan dampak yang dirasakan oleh
orang-orang yang tidak terlibat langsung dalam sebuah konflik ataupun
dampak jangka panjang dari suatu konflik yang tidak secara langsung
dirasakan oleh pihak-pihak yang berkonflik.
Misalnya pada kasus terorisme bom di pulau Bali yaitu dimana
seseorang atau sekelompok orang yang mengatasnamakan agama
mengebom beberapa tempat di Bali yang penuh dengan turis asing
sehingga menimbulkan banyak korban. Setelah kejadian tersebut jumlah
turis yang berkunjung ke Bali menjadi lebih sedikit dari biasanya dan
secara tidak langsung akan mempegaruhi devisa pulau Bali dan
mempengaruhi devisa negara.
8
3.2.3.Dampak Positif Adanya Konflik
Disamping dampak yang dapat dirasakan secara langsung maupun
tidak langsung, sebuah konflik juga memiliki sisi positif. Adapun Sisi
positif dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (in group
solidarity)
Munculnya pribadi-pribadi yang kuat dan tahan uji menghadapi
berbagai situasi konflik.
Membantu menghidupkan kembali norma-norma lama dan menciptakan
norma-norma baru.
Munculnya kompromi baru apabila pihak yang berkonflik dalam
kekuatan yang seimbang. Misalnya adanya kesadaran dari pihak-pihak
yang berkonflik untuk bersatu kembali karena dirasakan bahwa konflik
yang berlarut tidak membawa keuntungan bagi kedua belah pihak.
Konflik dapat Menciptakan integrasi yang harmonis.
Konflik dapat Memperkuat identitas pihak yang berkonflik.
Konflik dapat Menciptakan kelompok baru.
Konflik dapat Membuka wawasan.
Konflik dapat memperjelas berbagai aspek kehidupan yang masih
belum tuntas.
Konflik dapat mengurangi rasa ketergantungan terhadap individu atau
kelompok.
Adanya konflik menimbulkan penyesuaian kembali norma-norma dan
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Selain dampak tersebut kesimpulan dari beberapa penelitian ternyata
ditemukan hasil tentang dampak konflik yaitu sebagai berikut :
Timbulnya kekompakan diantara anggota anggota kelompok yg
mempunyai konflik dengan kelompok yang lain.
Munculnya para pemimpin dari kelompok kelompok yang saling
berkonflik.
Adanya sebuah gangguan terhadap persepsi para anggota
organisasi/kelompok yang mengalami konflik.
Timbulnya ketidakmampuan untuk berpikir dan menganalisis persoalan
secara jernih.
9
Konflik dapat berdampak positif dan negatif tergantung pd sifat konflik
dan pengelolaan yang dilakukan. Adapun dampak positif konflik menurut
A.J.Du Brin yaitu sebagai berikut :
Dapat menimbulkan perubahan secara konstruktif.
Segala daya dan motivasi tertuju pada pencapaian tujuan.
Merangsang inovasi,meningkatkan keeratan kelompok.
Menggantikan tujuan yang tidak relevan.
Manajemen konflik menguntungkan organisasi.
Hubungan antar pribadi dan antar kelompok mendorong kearah
peningkatan kesehatan organisasi.
Konflik dapat mengurangi ketegangan dalam bekerja
Selain dampak positif yg diharapkan muncul,konflik juga dapat berdampak
negatif terhadap aktivitas organisasi. Menurut R.J.Edelman yaitu sebagai
berikut :
Terjadinya gangguan psikologis.
Gangguan fisik.
Gangguan tingkah laku.
Timbulnya stres karena menghadapi lingkungan konflik.
Konflik terjadi dikarenakan adanya kondisi yang mendahului,dan
kondisi ini merupakan sumber munculnya konflik.munculnya berbagai
konflik merupakan dinamika dan perkembangan organisasi,karena itu
pimpinan negara perlu memahami beberapa sebab yang dapat
menimbulkan konflik dan mencermati konflik sebagai suatu kejadian yang
tidak dapat dipisahkan dari persoalan organisasi . Tugas pimpinan
mengelola konflik agar fungsional juga dimanfaatkan untuk meningkatkan
kinerja.
Pimpinan organisasi (negara) harus menyadari adanya perbedaan
jenis- jenis konflik dan memilih pendekatan yang tepat dalam pengelolaan
konflik,perlu diperhatikan hal-hal berikut ini;
Menyimak proses terjadinya konflik.
Mengetahui sebab-sebab konflik.
Membedakan jenis-jenis konflik.
Memilih pendekatan yg tepat.
10
Mengatisikasi kemungkinan dampak yg merugikan organisasi atau
negara dan masyarakat dalam negara tersebut .
3.3. Cara mengatasi konflik yang didasari oleh agama
Cara menyelesaikan konflik salah satunya yaitu penyelesaian konflik
secara persuasif.
Penyelesaian konflik secara persuasif
Cara persuasif menggunakan cara perundingan dan musyawarah untuk
mencari titik temu antara pihak-pihak yang berkonflik, baik antara pihak-pihak
yang berkonflik saja, maupun melalui pihak ketiga yang bertindak sebagai
mediator atau juru damai. Mereka yang terlibat konflik melakukan tukar pikiran
dan argumentasi untuk menunjukkan posisi mereka masing-masing dengan
tujuan untuk meyakinkan pihak lain bahwa pendapat merekalah yang benar.
Musyawarah diharapkan dapat membawa penyelesaian konflik dengan
terjadinya perubahan pandangan salah satu atau semua pihak yang terlibat
sehingga perbedaan-perbedaan diantara mereka dapat dihilangkan. Perubahan
pandangan ini dimaksudkan tentang bagaimana penilaian masing-masing pihak
yang seharusnya tentang kebebasan beragama dan saling toleransi satu sama
lain. Dengan menjelaskan pendapat masing-masing diharapkan pihak lain
dalam konflik itu menyadari bahwa ada pendapat lain yang lebih baik yang perlu
dianut dengan membuang sebagian atau semua pendapat mereka sendiri.
Perubahan pendapat yang terjadi dilakukan secara atas dasar kesadaran sendiri,
bukan karena paksaan pihak lain. Perubahan itu terjadi karena terbentuknya
keyakinan bahwa ada pendapat yang lebih baik yang layak dianut sehingga
terbentu titik temu dengan pendapat pihak lain tadi. Selain itu kesepakatan akan
kebebasan beragama juga harus ditanamkan pada pihak yang berkonflik tersebut
sehingga apa yang menjadi tujuan bersama tidak menjadi beban bagi beberapa
pihak dan tidak mencampurkan dengan urusan keyakinan (agama).
Ada beberapa model langkah lain yang pernah digunakan akan tetapi tidak
semuanya seperti yang diinginkan semua pihak, antaralain:
Pertama model yang dulu dominan digunakan pada masa Orde Baru dan
juga juga masih diterapkan pada masa Reformasi terutama dalam konteks
konflik horizontal. Paling tidak ada 3 hal yang memungkinkan praktik ini
terus dilakukan: pertama, karena masyarakat kita belajar dari rezim otoriter
11
mengenai penggunaan kekuatan/kekuasaan untuk menyelesaikan problem
sosial,kedua, jurang yang lebar antara model penanganan berbasis kekuatan
dan hak, dan yang ketiga,pendidikan kita yang lebih menekankan
ketundukan dan kepatuhan kepada yang lebih berkuasa/berpengaruh, bukan
berpikir kritis. Model penanganan ini tidak menyelesaikan masalah karena
akar persoalannya tidak tersentuh.
Kedua, pendekatan berbasis hak melalui proses hukum di pengadilan (right-
based approach). Penyelesaian persoalan melalui pendekatan ini
menggunakan proses pengadilan yaitu mencari pelanggarnya, mengadili,
dan memenjarakannya. Untuk itu dibutuhkan instumen perangkat hukum
yang disepakati bersama, seperti UU, peraturan, konvensi kebijakan,
kontrak, adat istiadat, dan lain-lain. Model ini lebih banyak digunakan oleh
para pegiat hak asasi manusia di era reformasi karena dianggap lebih baik
dan lebih memberikan jaminan keadilan. Namun pendekatan ini memiliki
sisi negatif karena dalam prosesnya dapat memperburuk relasi sosial;
adanya yang menang dan kalah (logika win-lose) menjadikan relasi tidak
setara. Model ini juga membutuhkan waktu lama dan kemungkinan ada
kendala eksekusi. Model ini pun tidak menyelesaikan masalah. Pengalaman
Indonesia menunjukkan, pendekatan hak ini memberi risiko adanya politik
penyeimbang, di mana jika dari satu kelompok ada yang ditahan, maka dari
kelompok lain pun harus diperlakukan demikian. Risiko lainnya, pendekatan
ini dapat menjadi delusi dan simbolik karena menjadi kelanjutan pendekatan
berbasis kekuatan.
Ketiga, pendekatan berbasis kepentingan atau interest-based approach,
yang saat ini sedang diupayakan sebagai model penanganan alternatif dalam
menyelesaikan konflik keberagaman di Indonesia. Dalam model ini,
kewenangan paling besar ada di tangan pihak-pihak yang bertikai. Mereka
sendiri yang menentukan model penyelesaian yang terbaik bagi mereka.
Pendekatan ini lebih menjanjikan karena mengandaikan pihak yang
berkonflik pada posisi setara, saling peduli dan mengakomodasi. Disamping
itu model ini juga nirkekerasan, nirdominasi, nirdiskriminasi. Walaupun
pendekatan ini belum menjadi arus utama dalam penanganan konflik agama
di Indoensia, akan tetapi perlu terus diupayakan, dan model ini sebenarnya
pernah dilakukan.
12
3.4. Hubungan Indonesia sebagai negara plural dengan konflik yang didasari
oleh agama
3.5. Peran pemerintah terhadap konflik yang didasari oleh agama
3.5.1.Membentuk kader pemeliharaan kerukunan dan perdamaian (peace making
dan peace keeping)
Dalam menjaga kerukunan beragama dan mencegah konflik
beragama, pemerintah telah melakukan beberapa usaha, seperti : kajian
tentang penyadaran atau pendampingan (Peace Making) terdiri atas
beberapa subkegiatan yang berjalan secara bertahap, serta melaksanakan
kegiatan pengembangan wawasan multikultural bersama tokoh-tokoh
agama tingkat pusat dan daerah. Tahap-tahap kegiatan tersebut yaitu:
Pertama, menyusun buku panduan yang berisi tentang bagaimana
caranya masyarakat memahami, mencegah, menangani, dan
menyelesaikan konflik agama.
Kedua, melakukan ujicoba untuk melihat apakah buku panduan tersebut
cukup memenuhi keinginan di atas.
Ketiga, setelah mengalami penyempurnaan, diadakan pelatihan bagi
para tokoh muda lintas agama di berbagai tempat, yang materinya
diambilkan dari buku panduan yang telah dibuat.
Keempat, dalam pelatihan para tokoh muda lintas agama diajarkan
kemampuan teori dan praktiknya dalam memahami, mencegah,
menangani, dan menyelesaikan konflik agama yang terjadi di
daerahnya.
Kelima, setelah dilatih, para tokoh muda lintas agama itu juga
diharapkan dapat melakukan kegiatan-kegiatan atau program untuk
kedamaian sosial di daerahnya.
Kongres Forum Kerukunan Umat Beragama merupakan salah satu
bentuk usaha dalam menjaga keberagaman beragama. Pada Kongres
Forum Kerukunan Umat Beragama ke III merumuskan peran yang
berkaitan dengan tugas, wewenang, dan tanggungjawab Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dalam pemberdayaan FKUB sebagai berikut:
Pertama, menegaskan tanggungjawab Pemerintah dan Pemerintah
Daerah dalam menjalankan urusan wajib, yaitu menyelenggarakan
ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, melindungi
13
masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan, dan kerukunan nasional
termasuk kerukunan umat beragama serta keutuhan NKRI.
Kedua, Pemerintah dan Pemerintah Daerah meningkatkan peran FKUB
sebagai mitra di dalam membangun dan memelihara kerukunan umat
beragama, sehingga dapat memberikan sumbangan bagi pemecahan
problem keadilan dan kesejahteraan di dalam kehidupan masyarakat.
Ketiga, Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan kewajiban
secara konsisten memberikan fasilitas dukungan anggaran melalui
APBN/APBD untuk pelaksanaan tugas pokok FKUB
Akar masalah konflik antar umat beragama sebenarnya dapat
diidentifikasi, namun solusinya tidak sampai kepada penuntasan akar
masalah. Diskusi atau didialog akar masalah dapat dilakukan pada FKUB.
Warga masyarakat juga dapat menyampaikan aspirasi terkait dengan
hubungan antar umat beragama kepada FKUB, sehingga persaingan dan
permusuhan tidak berkembang dalam forum-forum yang sakral seperti
khutbah, ceramah, dan ibadat. Melalui pemberdayaan FKUB secara
bertanggungjawab dapat membuat suasana relasi sosial yang baik di
tengah masyarakat, sehingga dapat menciptakan kerukunan umat beragama
yang akan membawa bangsa Indonesia mencapai cita-cita dan tujuan
nasionalnya.
3.6. Pelanggaran sila-sila pancasila pada konflik yang didasari oleh agama
3.6.1.Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama “ Ketuhanan yang Maha Esa” yakni bermakna bahwa
bangsa Indonesia memiliki kepercayaan dan ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Tentunya kepercayaan dan ketaqwaan tersebut sesuai
dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Konsekuensinya adalah
Pancasila menuntut umat beragama dan kepercayaan untuk hidup rukun
walaupun berbeda keyakinan karena agama seharusnya bukanlah paksaan,
agama adalah urusan pribadi antara manusia dengan Tuhan.
Sila pertama, negara wajib:
Menjamin kemerdekaan setiap warga negara tanpa diskriminasi untuk
beribadah menurut agama dan kepercayaannya dengan menciptakan
suasana yang baik.
Memajukan toleransi dan kerukunan agama
14
Contoh Pelanggaran terhadap Sila Pertama:
Pada saat peristiwa Monas, pihak FPI tidak menerima dan mengamalkan
pandangan sila pertama yang mengajarkan toleransi dan kerukunan
beragama, seolah-olah yang berbeda dari mereka harus dibasmi. Hal ini
bisa dilihat dari sikap FPI yang menyerang para aktivis Aliansi
Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang
memang mempromosikan koeksis, toleransi, serta kebebasan beragama
dan berkeyakinan bagi seluruh warga negara Indonesia yang memang
sudah sepatutnya diterapkan sesuai makna dari sila pertama pancasila,
pandangan yang amat berbeda dari fanatisme sempit yang dianut oleh
pihak FPI.
3.6.2.Sila Kedua: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Pokok pikiran dari sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab :
Menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk
Tuhan.
Menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak segala bangsa.
Menghargai hak setiap warga dan menolak rasialisme.
Mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah.
Contoh Pelanggaran terhadap sila kedua:
Terlihat dalam aksi kekerasan FPI dalam kasus ini (sebenarnya
masih amat banyak track record tindak kekerasan FPI), tindak kekerasan
seperti itu merupakan pelanggaran terhadap hak individu untuk memeluk
agama dan berkeyakinan seperti halnya yang tertuang dalam UUD 1945
Pasal 28 E ayat 2, dimana setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Tindakan anggota FPI yang berteriak-teriak, membakar properti
berupa mobil, dan mengejar menggunakan tongkat bambu dan serta-merta
memukuli anggota AKKBB yang berasal dari berbagai kelompok
masyarakat seperti Ahmadiyah dan Aliansi Pluralitas Keagamaan hingga
terluka adalah tindakan yang biadab, sama sekali tidak dapat disebut
tindakan manusia yang beradab. Tidak ada ubahnya seperti perilaku hewan
dan bangsa barbar.
15
3.6.3.Sila Ketiga : Persatuan Indonesia
Sila ketiga “Persatuan Indonesia “ bermakna bahwa setiap
masyarakat menempatkan diri serta berperilaku sebagai kesatuan
Indonesia, bukan sebagai golongan berbeda-beda. Menjadikan kesatuan,
persatuan serta kepentingan dan keselamatan Bangsa dan Negara di atas
kepentingan pribadi dan golongan. Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Hal ini
dimaksudkan untuk menumbuhkan sikap masyarakat untuk mencintai
tanah air, bangsa dan negara Indonesia, ikut memperjuangkan
kepentingan-kepentingannya, dan mengambil sikap solider serta loyal
terhadap sesama warga negara. Namun dalam beberapa kasus sangat
terlihat bahwa masyarakat Indonesia masih lebih mengutamakan
kepentingan golongan, bukan kepentingan bersama sebagai kesatuan
Indonesia.
Contoh Pelanggaran terhadap Sila Ketiga:
Penyerangan Jemaat Gereja HKBP Pondok Indah oleh FPI. Sila
ketiga Pancasila ikut diruntuhkan juga dalam tragedi ini, Persatuan
Indonesia. Segenap rakyat Indonesia sebagai bangsa yang plural dan kaya
akan perbedaan hendaknya mampu menjaga persatuan dan kebhineka
tunggal ika-an NKRI. Tidak dengan membuatnya terpecah belah antar
agama seperti ini. Yang kedua konflik yang terjadi di Mataram akibat lebih
mengutamakan kepentingan golongannya sendiri.
3.6.4.Sila Keempat: Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
Sila keempat “ Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan / perwakilan” bermakna bahwa sebagai
masyarakat Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban
yang sama dalam menggunakan hak-haknya maka perlu menyadari dan
selalu mengutamakan kepentingan bersama.
Jadi pada intinya,pancasila sila keempat yaitu “Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”
mengajarkan kepada kita untuk menentukan sebuah pilihan melalui cara
musyawarah. Segala keputusan-keputusan yang diambil dalam
musyawarah harus dilandasi oleh pancasila dan konflik-konflik yang
16
terjadi dalam musyawarah harus di hadapi dengan asas kekeluargaan tidak
dengan cara semena-mena,main hakim sendiri,egoisme,primordialisme
karena hal tersebut sangat tidak mencerminkan sifat luhur bangsa kita.
Contoh Pelanggaran terhadap Sila Keempat:
Dapat terlihat ketika FPI melakukan aksi main hakim sendiri dan
bertindak semena-mena terhadap para aktivis Aliansi Kebangsaan dan
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Jika memang FPI
tidak setuju dengan acara tersebut mengapa tidak dibicarakan secara baik-
baik saja? Alih-alih berunding, FPI ini malah melakukan tindak kekerasan.
3.6.5.Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila kelima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”
bermakna bahwa keadilan tidak hanya untuk golongan tertentu saja, namun
keadilan diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan
apapun. Dalam sila ini masyarakat Indonesia harus menyadari hak dan
kewajiban dari setiap manusia, sehingga bisa berperilaku adil terhadap
seluruh rakyat. Yang harus memiliki sikap adil,tidak hanya para pemimpin
atau penegak hukum, namun seluruh rakyat Indonesia harus paham dan
mampu berperilaku seadil mungkin.
Contoh Pelanggaran terhadap Sila Kelima:
Amuk Massa di Ketapang, Hal ini dikaitkan dengan ikut
menanggungnya warga yang tidak terlibat karena dirasa tidak adil jika
yang tidak ikut melakukan tapi justru ikut merugi akibat ulah para pelaku
kerusuhan. Apalagi awal permasalahannya terjadi akibat adanya isu
tentang masjid yang dibakar oleh warga Ambon, yang belum 100% benar
hal itu benar-benar dilakukan. Dan juga konflik Mataram, dalam kasus
diatas demi mendapatkan keadilan untuk golonganya rela dan tega
merenggut keadilan bagi golongan lain.
17
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan permasalahan dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa salah satub penyebab utama konflik agama yang terjadi di Indonesia adalah
plularisme yang tidak diikuti dan didasari dengan rasa toleransi dan konsep Bhinneka
Tunggal Ika. Sehingga dari konflik-konflik tersebut terjadi pelanggaran terhadap
semua sila-sila yang ada di Pancasila seperti pada beberapa kasus yang disebabkan
oleh FPI yang melanggar sila pertama hingga sila keempat yang menyerang kegiatan
umat beragama lain dengan cara kekerasan yang tidak beradab dan juga tidak
menunjukkan rasa persatuan karena hanya mementingkan kepentingan golongannya
sendiri dan menyelesaikan masalah tanpa musyawarah untuk mencapai mufakat yang
sesuai dengan ciri khas bangsa Indonesia. Hal ini juga berimbas pada pelanggaran
sila kelima yang dikaitkan dengan kerugian yang ditanggung warga yang tidak
terlibat konflik sehingga dirasa tidak adil jika yang tidak ikut melakukan tetapi justru
ikut merugi akibat ulah pelaku konflik.
18
V. SARAN
Demi menjadikan Indonesia sebagai Negara yang plural dan harmonis,
landasan untuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara mestinya harus berbasis
pada konsep Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, sekali pun masyarakat Indonesia berada
berbeda-beda dalam berbagai hal (suku, ras, agama, golongan) tetapi mereka tetap
ada dalam satu kemajemukan sebagai warga Negara Indonesia.
Dengan adanya keanekaragaman yang memberi warna dalam kehidupan,
maka warna-warna tersebut akan menjadi serasi, indah apabila ada kesadaran untuk
senantiasa menciptakan dan menyukai keselarasan dalam hidup melalui persatuan
yang indah melalui semboyan Bhineka Tunggal Ika. Sehingga pelanggaran
terhadapnilai-nilai Pancasila dapat diminimalisir bahkan dihilangkan.
19
DAFTAR PUSTAKA
Marzali, Amri, dkk. 2003. Konflik Komunal di Indonesia saat ini. Jakarta:
Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) Universiteit
Leiden.
http://crcs.ugm.ac.id/article/874/The-Alternative-Model-of-Religious-Conflict-
Management-in-Indonesia.html (on-line) diakses 28 September 2013
(Bekerja sama dengan Pusat Bahasa dan Budaya Universias Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta)
Armstrong, Karen, Sejarah Tuhan, (Bandung: Mizan, 2007), P.25
http://pandidikan.blogspot.com/2010/06/agama-sebagai-faktor-konflik-di.html
Soerjono Soekanto. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
20