Makalah Kasus Hambalang

8
ANALISA KASUS PENYIMPANGAN PROYEK PEMBANGUNAN PUSAT PENDIDIKAN PELATIHAN DAN SEKOLAH OLAHRAGA N ASIONAL (P3SON) KEMENTERIAN PEMUDA DAN OLAHRAGA DITINJAU DARI ASPEK PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA (Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengelolaan Keuangan Negara Sebagai Pengganti Uji Kompetensi Dasar I) OLEH: KURNIAWAN F1314100 FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

description

Membahas mengenai kasus proyek hambalang

Transcript of Makalah Kasus Hambalang

ANALISA KASUS PENYIMPANGAN PROYEK PEMBANGUNAN PUSAT PENDIDIKAN PELATIHAN DAN SEKOLAH OLAHRAGA NASIONAL (P3SON) KEMENTERIAN PEMUDA DAN OLAHRAGA DITINJAU DARI ASPEK PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengelolaan Keuangan NegaraSebagai Pengganti Uji Kompetensi Dasar I)

OLEH:KURNIAWAN F1314100

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNISUNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET2015

A. IDENTIFIKASI1. Ringkasan umum proyek hambalangProyek Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Kementerian Pemuda dan Olahraga yang berlokasi di Desa Hambalang, Kecamatan Citereup, Kabupaten Bogor merupakan proyek yang telah direncanakan untuk dibangun sejak tahun 2004 pada saat fungsi pembinaan olahraga nasional masih berada pada Ditjen Olahraga Departemen Pendidikan Nasional. Pada saat awal perencanaanya proyek ini hanya dimaksudkan sebagai kamp latihan olahraga bagi para pelajar berskala nasional.Setelah terhenti pembangunannya pada tahun 2006 karena permasalahan status tanah, proyek ini dilanjutkan kembali pada tahun 2010 setelah Kemenpora memperoleh alokasi APBN 2010 untuk pembangunan Pusat Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPPON) di Desa Hambalang, Kecamatan Citereup, Kabupaten Bogor. Memperhatikan adanya alokasi anggaran untuk PPON ini, Menpora mengembangkan ide pembangunan Sekolah Olahraga Nasional yang diintegrassikan dengan Pusdiklat Olahraga. Sehingga pada Januari 2010 Biro Perencanaan Kemenpora menyusun Kerangka Acuan Kerja (KAK) Pembangunan P3SON Bukit Hambalang.Menurut Kerangka Acuan Kerja tersebut, tujuan pembangunan ini diantaranya adalah untuk mengintegrasikan sekolah olahraga dan Pusat Pelatihan atlet elit nasional ke dalam satu sistem manajemen sehingga program penerapan iptek olahraga relatif dapat dikontrol.Proyek ini direncanakan akan dibangun di wilayah perbukitan Desa Hambalang, Kecamatan Citereup, Kabupaten Bogor diatas lahan seluas 32 ha dan diperkirakan akan memakan waktu selama 3 tahun yang dimulai pada 2010 dengan estimasi biaya sebesar Rp 1,1 Triliun.Secara garis besar, proses pembangunan P3SON ini berlangsung melalui beberapa tahapan kegiatan, yaitu:1) Pemilihan lokasi dan pengurusan izin pembangunan2) Perencanaan anggaran3) Pemilihan rekanan pelaksana4) Pelaksanaan pekerjaan dan pembayaran2. Indikasi PenyimpanganBPK telah melaksanakan pemeriksaan atas pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) yang berlokasi di Desa Hambalang Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2010 dan 2011 pada Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Kemenpora) dan instansi terkait lainnya di Jakarta dan Bogor.Berdasarkan pemeriksaan tersebut, BPK menyimpulkan ada indikasi penyimpangan terhadap peraturan perundangan dan atau penyalahgunaan wewenang dalam proses persetujuan kontrak tahun jamak, dalam proses pelelangan, pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan dalam proses pencairan uang muka, yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait dalam pembangunan P3SON. Indikasi penyimpangan dan atau penyalahgunaan wewenang tersebut mengakibatkan timbulnya indikasi kerugian negara sekurang-kurangnya sebesar Rp243,66 Milyar dengan penjelasan singkat sebagai berikut:1. Permohonan untuk memperoleh persetujuan kontrak tahun jamak tidak memenuhi persyaratan yaitu sebagai berikut: a. Surat permohonan persetujuan kontrak tahun jamak kepada Menteri Keuangan ditandatangani oleh pihak yang tidak berwenang, yaitu Ses Kemenpora tanpa memperoleh pendelegasian wewenang dari Menpora. b. Pendapat teknis kelayakan kontrak tahun jamak yang dimaksudkan dalam PMK 56/PMK.02/2010 tanggal 2 Maret 2010 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, ditandatangani oleh Pejabat yang tidak berwenang yaitu Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum, bukan oleh Menteri Pekerjaan Umum sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara. c. Tidak seluruh unit bangunan yang hendak dibangun secara teknis harus dilaksanakan lebih dari satu tahun anggaran. d. Kemenpora memanipulasi data dalam pengajuan revisi RKA-KL TA 2010 sebagai salah satu syarat persetujuan revisi RKA-KL TA 2010 oleh Kementerian Keuangan. Data keluaran (output) yang dinyatakan naik dari 108.553 m2 menjadi 100.398 m2, pada kenyataan nya turun dari 108.553 m2 menjadi 100.398 m2. e. Revisi RKA-KL Kemenpora TA 2010 sebagai salah satu syarat persetujuan kontrak tahun jamak belum ditandatangani oleh Dirjen Anggaran, pada saat persetujuan kontrak tahun jamak diberikan oleh Menteri Keuangan. f. Pemberian dispensasi keterlambatan pengajuan usulan revisi RKA-KL Kemenpora 2010 oleh Menteri Keuangan tidak memiliki dasar hukum yang jelas. 2. Dalam proses pelelangan, terdapat indikasi penyimpangan dan atau penyalahgunaan wewenang sebagai berikut: a. Penetapan pemenang lelang pekerjaan konstruksi pembangunan P3SON Hambalang dengan nilai Rp1,2 Triliun yang seharusnya ditetapkan oleh Menpora, ditetapkan oleh pihak yang tidak berwenang yaitu Ses Kemenpora, tanpa memperoleh pendelegasian wewenang dari Menpora. b. Proses evaluasi prakualifikasi dan teknis terhadap penawaran calon kontraktor peserta lelang pekerjaan konstruksi proyek pembangunan P3SON tidak dilakukan oleh Panitia Pengadaan, melainkan oleh rekanan yang akan dimenangkan. c. Proses pelelangan pekerjaan konstruksi pembangunan P3SON Hambalang yang pada akhirnya memenangkan KSO AW dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) Menggunakan standar penilaian yang berbeda dalam mengevaluasi dokumen prakualifikasi antara dokumen penawaran dari KSO AW dengan dokumen penawaran dari rekanan yang lain. Standar penilaian untuk mengevaluasi penawaran dari KSO AW menggunakan nilai pekerjaan sebesar Rp1,2 T, sedangkan standar penilaian untuk mengevaluasi penawaran dari rekanan lain menggunakan nilai pekerjaan sebesar Rp262 M. 2) Mengumumkan lelang dengan memberikan informasi yang tidak benar dan tidak lengkap yaitu mengubah informasi mengenai nilai pekerjaan yang hendak dilelang dengan cara memberikan surat pemberitahuan yang tidak dipublikasikan secara transparan. 3) Menggunakan nilai paket pekerjaan yang tidak seharusnya digunakan untuk mengevaluasi Kemampuan Dasar (KD) peserta lelang sehingga dapat memenangkan KSO AW. 3. Pencairan anggaran tahun 2010 dilakukan melalui penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM) oleh RI (Kabag Keuangan Kemenpora) meskipun Surat Permintaan Pembayaran (SPP) dan bukti pertanggungjawaban belum ditandatangani dan diuji oleh pejabat yang berwenang yaitu Har selaku Penguji SPP dan Su selaku Bendahara. Selain itu, terdapat indikasi penyimpangan lain yang ditemukan, namun tidak langsung mengakibatkan terjadinya indikasi kerugian negara, yaitu sebagai berikut: 1. Izin penetapan lokasi, izin site plan, dan IMB atas proyek pembangunan P3SON Hambalang diberikan oleh Pemkab Bogor meskipun Kemenpora belum/tidak melakukan studi Amdal terhadap proyek pembangunan P3SON Hambalang dimaksud. 2. Penandatanganan Surat Keputusan Hak Pakai bagi Kemenpora atas tanah seluas 312.448 m2 di Desa Hambalang Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor oleh Kepala BPN, didukung dengan dokumen yang tidak sesuai kenyataan berupa: (i) surat pelepasan hak dari Probosutedjo selaku bekas pemegang hak yang diduga palsu; dan (ii) Surat Pernyataan Sesmenpora yang menyatakan bahwa pada pengadaan lahan P3SON Hambalang dimaksud tidak terjadi kerugian negara berdasarkan LHP BPK RI adalah tidak sesuai kenyataan. LHP BPK yang menjadi rujukan Ses Kemenpora tidak mencakup pemeriksaan atas proses pembebasan lahan P3SON Hambalang. 3. Penetapan RKA-KL Kemenpora tahun 2011 oleh Kementerian Keuangan, untuk pekerjaan konstruksi P3SON Hambalang sudah dilakukan oleh Dirjen Anggaran meskipun persyaratan berupa Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang ada adalah untuk skema pembiayaan tahun jamak, sementara itu persetujuan kontrak tahun jamak belum disetujui. 4. Kontraktor utama P3SON Hambalang yaitu KSO AW mensubkontrakkan pekerjaan utama yang seharusnya dikerjakan sendiri sesuai dengan ketentuan dalam Keppres 80 tahun 2003 pasal 32 (3), kepada perusahaan lain. B. PERMASALAHANPada pengelolaan keuangan negara yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, dari hasil laporan BPK menunjukkan dari semua tahapan tersebut terdapat indikasi penyimpangan baik yang secara langsung maupun tidak langsung berindikasi pada kerugian negara, yaitu :Adanya pengajuan permohonan, maupun penandatanganan persetujuan yang tidak dilakukan oleh pejabat yang berwenang. Sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2003 pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Juga pada pasal 3 ayat 4 disebutkan bahwa APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Yang seharusnya fungsi otorisasi itu dijalankan oleh pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna anggaran sebagaimana disebutkan pada pasal 9 yang berbunyi Menteri /pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas sebagai berikut: a. menyusun rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya; ...Pelanggaran terkait Keppres Nomor 80 Tahun 2003. Penetapan pemenang lelang yang tidak sesuai dengan ketentuan mengenai pelelangan Keppres Nomor 80 Tahun 2003. Dimana pemenang lelang sudah ditentukan pada pagu anggaran yang belum di revisi dan pengumuman mengenai informasi revisi pagu hanya diberitahukan kepada calon pemenang lelang dan bukan diumumkan untuk diadakan pelelangan ulang. Penyimpangan dalam penetapan pemenang lelang konstruksi yaitu Ses Kemenpora (WM) telah melampaui wewenangnya dengan menetapkan pemenang lelang untuk pekerjaan bernilai di atas Rp 50 Miliar tanpa memperoleh pelimpahan wewenang dari Menpora sebagai pejabat yang berwenang menetapkan. Hal tersebut melanggar ketentuan dalam Keppres 80/2003 pasal 26 bahwa pejabat yang berwenang menetapkan penyedia barang/jasa adalah Menteri untuk pengadaan barang/jasa yang dibiayai dari APBN yang bernilai di atas Rp 50 Miliar. Penyimpangan dalam hal pelaksanaan pekerjaan konstruksi berupa rekanan KSO AW mensubkontrakkan sebagian pekerjaan utamanya kepada perusahaan lain yaitu di antaranya kepada PT DC dan PT GDM. Hal tersebut melanggar ketentuan dalam Keppres 80/2003 pasal 32 (3) bahwa Penyedia barang/jasa dilarang mengalihkan tanggung jawab seluruh pekerjaan utama dengan mensubkontrakkan kepada pihak lain. Juga pasal 32 (4) bahwa Penyedia barang/jasa dilarang mengalihkan tanggung jawab sebagian pekerjaan utama dengan mensubkontrakkan kepada pihak lain dengan cara dan alasan apapun, kecuali disubkontrakkan kepada penyedia barang/jasa spesialis.Penyimpangan dalam proses pembayaran dan pencairan uang muka. RI selaku Kabag Keuangan Kemenpora tetap menyusun dan menandatangani SPM, meskipun Pejabat Penguji Surat Permintaan Pembayaran (SPP) dan Bendahara belum menandatangani dokumen SPP dari PPK yang berarti belum menguji kelengkapan dan kebenaran tagihan sesuai tugasnya. SPM itu bersama dengan surat Pertanggungjawaban Belanja dari WM selaku Ses Kemenpora diajukan ke KPPN untuk penerbitan SP2D. Hal tersebut tidak sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2004 Pasal 4 ayat 1 huruf f yang menyebutkan bahwa Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya, berwenang: menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian dan perintah pembayaran.Kerugian negara disebabkan antara lain perubahan Peraturan Menteri Keuangan No. 56/PMK.02/2010 menjadi PMK no. 194/PMK.02/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak Dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. PMK baru tersebut mengubah makna substansi dalam proses persetujuan kontrak tahun jamak. Akibatnya, anggaran dana proyek Hambalang yang awalnya ratusan miliar menjadi triliunan rupiah. Pada PMK No. 56/PMK.02/2010 ada pesyaratan wajib mendapatkan rekomendasi dari instansi teknis terkait dengan kelayakan atass kontrak tahun jamak. Namun persyaratan itu tidak ada lagi dalam PMK no. 194/PMK.02/2011. Selain itu untuk mendapatkan kontrak tahun jamak semestinya setelah mendapat persetujuan dari DPR. PMK no. 194/PMK.02/2011 bertentangan dengan Pasal 14 UU No. 1 Tahun 2004 dan berpotensi melegalisasi penyimpangan untuk kasus Hambalang dalam tahun-tahun berikutnya.Selain itu penyimpangan tersebut, yang berakibat indikasi kerugian keuangan negara, juga merupakan pelanggaran terhadap UU No. 17 Tahun 2003 Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 35 Ayat (1).Pasal yang diberikan terkait hukuman yang diterima pelaku:a. Pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara; sedangkan pasal 3 mengenai perbuatan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara. Ancaman pidana dari pelanggaran pasal tersebut adalah maksimal 20 tahun penjara dengan denda paling banyak Rp1 miliar.b. pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU no 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU no 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal tersebut mengatur tentang penyelenggara negara yang menerima suap atau gratifikasi dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4-20 tahun dan pidana denda Rp200-Rp1 miliar.c. Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 64 ayat 1 KUHP dan dia diganjar hukuman 4,5 tahun penjara, denda Rp 250 juta atau diganti dengan 6 bulan kurungan.

C. KESIMPULANBerdasarkan laporan BPK terhadap proyek Hambalang, penulis dapat menyimpulkan adanya indikasi penyimpangan terhadap peraturan perundangan dan atau penyalahgunaan wewenang dalam proses persetujuan kontrak tahun jamak, dalam proses pelelangan, pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan dalam proses pencairan uang muka, yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait dalam pembangunan P3SON. Hal ini terjadi disebabkan oleh Sistem Pengendalian Intern yang tidak dijalankan dengan sebaik-baiknya, tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dapat menimbulkan terjadinya kerugian negara.Halaman | 6