Makalah Karakteristik Pendidikan Pesantren
-
Upload
nailanikmah -
Category
Documents
-
view
554 -
download
17
Transcript of Makalah Karakteristik Pendidikan Pesantren
KARAKTERISTIK PENDIDIKAN PESANTREN
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata kuliah : Manajemen Pendidikan Diniyah dan Pesantren
Dosen pengampu : Drs. Wahyudi, M.Pd
Disusun oleh:
Nailatun Nikmah (103311026)
Nasrun Mashar (103311027)
Noor Septaningrum (103311028)
Noor Septaningsih (103311029)
KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
0
KARAKTERISTIK PENDIDIKAN PESANTREN
I. PENDAHULUAN
Kurang lengkap rasanya kalau membicarakan pendidikan Islam di Indonesia tanpa
memasukkan nama pesantren. Sejumlah pakar meyakini bahwa pesantren merupakan
bentuk pendidikan Islam yang indigenous (pribumi) di negeri ini. Eksistensi pendidikan
model pesantren ini telah hidup dan berada dalam budaya bangsa Indonesia selama
berabad-abad yang silam dan tetap bertahan hingga sekarang.
Karakteristik pendidikan pesantren dapat dilihat dari segi sistem pendidikan
pesantren secara menyeluruh, yang meliputi: landasan dan pendekatan yang dipakai;
kurikulum pendidikan yang dipakai yang mencakup materi pelajaran dan metode
pengajaran, fungsi dan tujuan pendidikan pesantren; serta prinsip-prinsip pendidikan
pesantren.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang Menjadi Landasan Pendidikan Pesantren?
2. Pendekatan Apa yang Digunakan dalam Pendidikan Pesantren?
3. Apa Saja Materi Pelajaran yang Diajarkan di Pesantren? Dan Bagaimana Metode
Pengajarannya?
4. Bagaimana Jenjang Pendidikan yang Ada dalam Pesantren?
5. Apa Fungsi dan Tujuan Pendidikan Pesantren?
6. Prinsip-prinsip Apa Saja yang Digunakan dalam Pendidikan Pesantren?
III. PEMBAHASAN
1. Landasan Ideologis Pendidikan Pesantren
Sebagai lembaga pendidikan Islam yang mengandung makna keaslian Indonesia
(indigenous),1 posisi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam merupakan sub sistem
pendidikan nasional. Karena itu, pendidikan pesantren memiliki dasar yang cukup kuat
baik secara ideal, konstitusional maupun teologis. Landasan ideologis ini menjadi penting
bagi pesantren,2 terkait eksistensinya sebagai lembaga pendidikan yang sah, menyejarah,
dan penunjuk arah bagi semua aktivitasnya.
Dasar ideal pendidikan pesantren adalah falsafah negara pancasila, yakni sila
pertama yang berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hal ini mengandung pengertian
bahwa seluruh bangsa Indonesia percaya kepada Tuhan yang Maha Esa, atau tegasnya
harus beragama.
1Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 322 Ahmad Muthohar, Ideologi Pendidikan Pesantren, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), cet.I, hlm. 14
1
Dasar konstitusional pendidikan pesantren adalah pasal 26 ayat 1 dan ayat 4
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal
1 disebutkan bahwa “Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang
memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau
pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.”
Selanjutnya pada pasal 2 dinyatakan, “Satuan pendidikan formal terdiri atas pendidikan
kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan
majelis ta’lim, serta satuan pendidikan yang sejenis.”
Sedangkan dasar teologis pesantren adalah ajaran Islam, yakni bahwa
melaksanakan pendidikan agama merupakan perintah dari Tuhan dan merupakan ibadah
kepada-Nya. Dasar yang dipakai adalah al-Qur’an dan Hadits. Dasar al-Qur’an
sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nahl ayat 125 yang artinya: “Serulah manusia
dengan jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.”
Di samping itu, pendidikan pesantren didirikan atas dasar tafaqquh fi al-din, yaitu
kepentingan umat untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama, dasar pemikiran ini
relevan dengan firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 122 yang artinya: “Tidak
sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa
tidak pergi dari pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali padanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya.”
Ayat tersebut di atas menjiwai dan mendasari pendidikan pesantren, sehingga
seluruh aktivitas keilmuan di dalam pesantren pada dasarnya ditujukan untuk
mempertahankan dan menyebarkan agama Islam. Dalam hadist Nabi SAW juga
disebutkan tentang landasan-landasan teologis yang mendasari aktivitas pesantren,
misalnya hadist riwayat Imam Bukhari yang artinya: “Sampaikanlah ajaranku kepada
orang lain walaupun hanya sedikit.”
Ayat dan hadits di atas merupakan perintah agama dan sekaligus mendasari
kewajiban mencari ilmu pengetahuan dan mengajarkannya kepada orang lain walaupun
sedikit. Keberadaan pesantren tidak lepas dari motivasi teologis tersebut. Bagi kalangan
pesantren, menjalankan ajaran Islam dan mengeksplorasi ilmu pengetahuan adalah tugas
sekaligus kewajiban yang harus diemban manusia untuk menjalankan fungsi
kekhalifahannya di dunia untuk mencari ridha-Nya. Dengan demikian, pesantren
memerankan dirinya sebagai model pendidikan yang ‘alim secara intelektual dan cerdas
secara spiritual.
2
2. Pendekatan Pendidikan Pesantren
Dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai lembaga pendidikan sekaligus
lembaga keagamaan, pesantren menggunakan pendekatan holistik.3 Artinya, di pesantren
semua kegiatan belajar mengajar dan aktivitas kehidupan, termasuk aktivitas keagamaan
merupakan kesatupaduan utuh dalam totalitas kehidupan sehari-hari. Namun, jika boleh
ditimbang, orientasi tujuan pesantren lebih mengutamakan dan mementingkan pendidikan
akhlak atau moral dalam membentuk kepribadian santri untuk menjadi muslim sejati. Hal
ini bukan berarti pesantren menutup diri pada hal-halyang sifatnya aqliyyah dan bersifat
duniawi. Bagi pesantren, pengembangan kritisisme akal dan keduniaan bersifat final
sudah seharusnya dilakukan, tetapi orientasi tersebut harus dilandasi moralitas dan akhlak
sebagaiman ajaran Islam. Oleh karenanya, titik tekan utamanya adalah pengembangan
kepribadian segenap komponen pesantren untuk menjadi muslim yang taat dan
berakhlakul karimah.
Implikasi dari pendekatan ini adalah belajar bagi warga pesantren tidak mengenal
hitungan waktu dan target apa yang harus dicapai. Dengan demikian, bagi pesantren
hanya ilmu fardhu ‘ain (ilmu agama_ukhrawi) yang dipandang sakral, sedangkan ilmu
fardhu kifayah (ilmu non agama_duniawi) bersifat suplemen.
Bagi sebagian orang, realita seperti ini dianggap bukan sebagai sistem pendidikan
yang ideal, tetapi itulah realitasnya. Pesantren dengan argumentasinya melihat bahwa
pendekatan seperti ini lebih efektif daripada pendekatan yang serba terukur tetapi
hasilnya nihil dan jauh dari yang diharapkan.
3. Materi Pelajaran dan Metode Pengajaran Pesantren
Pada dasarnya pesantren hanya mengajarkan ilmu dengan sumber kajian atau
mata pelajarannya kitab yang ditulis dengan berbahasa Arab. Sumber-sumber tersebut
mencakup al-Qur’an beserta tajwid dan tafsirnya; aqa’id dan ilmu kalam; fiqh dan ushul
fiqh; al-hadits dan mushthalahah hadits; bahasa Arab dengan seperangkat ilmu alatnya,
seperti nahwu, sharaf bayan, ma’ani, badi’ dan ‘arudl; tarikh; manthiq; dan tasawuf.
Sumber-sumber kajian ini biasa disebut dengan “kitab-kitab kuning”.
Adapun metode yang lazim digunakan dalam pesantren adalah sebagai berikut:
Pertama, Metode wetonan atau disebut bandongan adalah metode yang paling
utama di lingkungan pesantren. Zamakhsyari Dhofier menerngkan bahwa metode
wetonan (bendongan) ialah suatu metode pengajaran dengan cara guru membaca,
menterjemahkan, menerangkan dan mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab
3 Ahmad Muthohar. Op Cit, hlm.203
sedang sekelompok santri mendengarkannya. Penerapan metode ini mengakibatkan santri
bersifat pasif.
Kedua, Metode sorogan, metode ini sedikit berbeda dengan metode wetonan di
mana santri menghadap guru satu persatu(secara individual) dengan membawa kitab yang
dipelajari sendiri.4 Di pesantren, sasaran metode ini adalah kelompok santri pada tingkat
rendah5, yaitu mereka yang baru menguasai pembacaan al-Qur’an. Melelui sorogan,
perkembangan intelektual santri ditangkap kyai/ustadz secara utuh. Sehingga dapat
memberikan tekanan pengajaran kepada santri-santri tertentu atas dasar observasi
langsung terhadap tingkat kemampuan dasar dan kapasitas mereka. Akan tetapi,
penerapan metode sorogan menuntut kesabaran dan keuletan pengajar dan membutuhkan
waktu yang lama.
Ketiga, Metode hafalan, adapun metode hafalan berlangsung di mana santri
menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya. Materi hafalan
biasanya dalam bentuk syair atau nazham. Metode ini merupakan metode pelengkap yang
sangat efektif untuk memelihara daya ingat (memory) santri terhadap materi yang
dipelajari, karena dapat dilakukan baik di dalam maupun di luar kelas.
4. Jenjang Pendidikan
Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-
lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal.6 Umumnya, kenaikan tingkat seorang
santri didasarkan kepada isi mata pelajaran tertentu yang ditandai dengan tamat dan
bergantinya kitab yang dipelajarinya. Apabila seorang santri telah menguasai satu kitab
atau beberapa kitab dan telah lulus ujian (imtihan) yang diuji oleh kiainya, maka ia
berpindah ke kitab lain yang lebih tinggi tingkatannya. Jelasnya, penjenjangan
pendidikan pesantren tidak berdasarkan usia tetapi berdasarkan penguasaan kitab-kitab
yang telah ditetapkan dari paling rendah sampai paling tinggi.
5. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Pesantren
Dengan menyandarkan diri kepada Allah SWT, para kiai pesantren memulai
pendidikan pesantrennya dengan modal niat ikhlas dakwah untuk menegakkan kalimat-
Nya, didukung dengan sarana prasarana sederhana dan terbatas. Inilah yang menjadi ciri
pesantren, tidak tergantung kepada sponsor dalam melaksankan visi dan misinya.
Memang sering kita jumpai dalam jumlah kecil pesantren tradisional dengan sarana
4 M.Sulthon dan Moh. Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren dalam Perspektif Global, (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo,2006), cet.I, h. 158
5Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm.142
6 M.Sulthon dan Moh. Khusnuridlo, Ibid.4
prasarana yang megah, namun para kiai dan santrinya tetap mencerminkan perilaku-
perilaku kesederhanaan. Akan tetapi sebagian besar pesantren tradisional tampil dengan
sarana dan prasarana sederhana. Keterbatasan sarana dan prasarana ini ternyata tidak
menyurutkan para kyai dan santri untuk melaksankan program-program pesantren yang
telah dicanangkan. Mereka seakan sepakat bahwa pesantren adalah tempat untuk melatih
diri (riyadloh) dengan penuh keprihatinan. Yang penting semua itu tidak menghalangi
mereka menuntut ilmu.
Relevan dengan jiwa kesederhanaan di atas, maka tujuan pendidikan pesantren
adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang
beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat,
sebagai pelayan masyarakat, mandiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan
agama atau menegakkan agama Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah
masyarakat (‘izzul Islam wal muslimin),7 dan mencintai ilmu dalam rangka
mengembangkan kepribadian Indonesia.
Terdapat tiga fungsi pesantren, antara lain: lembaga pendidikan, lembaga sosial
dan penyiaran agama.8 Berangkat dari ketiga fungsi tersebut, pesantren mempunyai
integritas tinggi dengan masyarakat sekitar dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan
masyarakat umum. Hal ini memnjadikan pesantren sebagai komunitas khusus yang ideal
dalam bidang moral keagamaan. Ketiga fungsi tadi merupakan satu-kesatuan yang utuh.
Namun, fungsi lembaga pendidikan menjadi ujung tombsk kehidupan pesantren.
6. Prinsip Pendidikan Pesantren
Berangkat dari tujuan pendidikan pesantren, pendekatan holistik dan fungsinya
yang komprehensif, pesantren menurut Mastuhu mempunyai beberapa prinsip, yakni:
Pertama, teosentris, artinya sistem pendidikan pesantren mendasarkan falsafah
pendidikannya pada filsafat teosentris. Falsafah ini berangkat dari pandangan yang
menyatakan bahwa semua kejadian berasal, berproses, kembali kepada kebenaran Tuhan,
dan pengaruh konsep fitrah dalam Islam. Maka semua aktivitas pendidikan di pesantren
dipandang sebagai ibadah dan bagian integral dari totalitas kehidupan manusia, sehingga
belajar di pesantren tidak dipandang sebagai alat, tetapi dipandang sebagai tujuan.
Kedua, sukarela dan mengabdi. Karena mendasarkan kegiatan pendidikan sebagai
suatu ibadah, penyelenggaraan pesantren dilaksanakan secara sukarela (ikhlas) dan
mengabdi kepada sesama dalam rangka ibadah kepada Allah SWT.
7Ibid, hlm.1608Ahmad Muthohar . Op Cit, hlm.21
5
Ketiga, kearifan. Yakni bersikap dan berperilaku sabar, rendah hati, patuh pada
ketentuan hukum agama, tidak merugikan orang lain, dan mendatangkan manfaat bagi
kepentingan bersama menjadi titik tekan dalam kehidupan pesantren dalam rangka
mewujudkan sifat arif.
Keempat, kesederhanaan. Salah satu nilai luhur pesantren dan menjadi pedoman
perilaku bagi warganya adalah penampilan sederhana. Sederhana yang dimaksud di sini
bukan identik dengan kemiskinan, tetapi kemampuan bersikap dan berpikir wajar,
proporsional, dan tidak tinggi hati.
Kelima, kolektivitas. Pesantren menekankan pentingnya kolektivitas dan
kebersamaan lebih tinggi dari individualisme. Implikasi dari prinsip ini, di pesantren
berlaku pendapat bahwa dalam masalah hak seseorang harus mendahulukan kepentingan
orang lain. Sedangkan dalam masalah kewajiban, dia harus mendahulukan kewajibannya
sendiri sebelum orang lain.
Keenam, mengatur kegiatan bersama. Santri dengan bimbingan ustadz/kyai
mengatur hampir semua kegiatan proses belajarnya sendiri.
Ketujuh, kebebasan terpimpin. Prinsip ini digunakan pesantren dalam
menjalankan kebijakan kependidikannya. Implikasi dari prinsip ini adalah warga
pesantren mengalami keterbatasan-keterbatasan namun tetap memiliki kebebasan
mengatur dirinya sendiri.
Kedelapan, mandiri. Dalam kehidupan pesantren, sifat mandiri tampak jelas.
Sikap ini dapat dilihat dari aktivitas santri dalam mengatur dan bertanggung jawab atas
keperliannya sendiri.
Kesembilan, mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Sebagaimana disebutkan di muka,
pesantren sangat mementingkan pengamalan agama dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga kehidupannya selalu berada dalam rambu-rambu hukum agama.
Kesepuluh, pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi. Warga
pesantren menganggap bahwa pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi. Ilmu
yang dimaksud adalah bersifat suci dan tak terpisahkan dari bagian agama. Akhir dari
pandangan ini adalah ilmu tidak dipandang sebagai kemampuan berpikir metodologis,
melainkan sebagai berkah.
Kesebelas, tanpa ijazah. Seiring dengan prinsip-prinsip sebelumnya, pesantren
tidak memberikan ijazah atau sertifikat sebagai tanda keberhasilan belajar. Alasannya,
keberhasilan tidak diukur dengan ijazah yang ditandai dengan angka-angka, tetapi diukur
dengan prestasi kerja yang diakui oleh masyarakat.
6
Kedua belas, restu kyai. Dalam kehidupan pesantren, semua aktivitas warga
pesantren sangat tergantung pada restu kyai, baik ustadz, pengurus, maupun santri.
Implikasi prinsip ini adalah tanda kelulusan ditentukan oleh kyai, sehingga warga
pesantren sangat berhati-hati jangan sampai melakukan tindakan yang tidak berkenan di
hadapan kyai.
IV. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pesantren merupakan
lembaga pendidikan Islam yang mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous) dan
sekaligus sebagai sub sistem pendidikan nasional yang memiliki landasan (dasar) yang
cukup kuat, baik secara ideologis, konstitusional maupun teologis. Kemudian pendidikan
pesantren juga memiliki karakteristik yang meliputi: kurikulum pendidikan
pesantren(mencakup: pendekatan yang digunakan, materi yang diajarkan, metode
pengajaran, jenjang pendidikan, fungsi dan tujuan pendidikan pesantren serta prinsip-
prinsip pendidikan yang berlangsung di pesantren.)
V. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sajikan, kami menyadari dalam makalah ini
masih terdapat banyak kekurangan, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT.
Semoga dapat menambah khasanah keilmuan kita. Kritik serta saran yang konstruktif
sangat nantikan demi kebaikan makalah kami selanjutnya, atas perhatiannya kami
ucapkan terimakasih.
7
DAFTAR PUSTAKA
M.Sulthon dan Moh. Khusnuridlo. Manajemen Pondok Pesantren dalam Perspektif
Global. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. 2006
Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS. 1994
Muthohar, Ahmad. Ideologi Pendidikan Pesantren. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2007
Qomar, Mujamil. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi. Jakarta: Erlangga. 2003
8