Dayah (Pesantren)

26
DAYAH : PERADABAN ISLAM DI ACEH 1 A. Pendahuluan Munculnya dayah (pesantren) sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang sangat disegani dan telah banyak membawa perubahan di bumi Aceh, tidak terlepas dari faktor-faktor penyebab yang melatarbelakangi kemunculannya. Kata dayah merupakan hasil adopsi dari bahasa Arab, ini sebagai isyarat bahwa dayah (Zawiyah dalam bahasa Arab) telah mulai berkembang sejak masa Rasulullsh SAW. Dan juga harus di akui bahwa “Dayah dan Aceh bukanlah sebuah alternatif satu sama lain, melainkan ia adalah sebuah realitas historis”. Dalam sejarah peradaban Islam di Aceh, Dayah memiliki peranan yang sangat penting dalam membina dan membangun pranata kehidupan masyarakat Aceh pada khususnya, dan peradaban Islam masyarakat Indonesia pada umumnya. Beranjak dari itulah penulis akan mencoba menjelaskan peranan pesantren di Aceh sebaga sebuah peradaban Islam yang mana dalam makalah ini akan memuat, pengertian pesantren(dayah), dayah dalam kajian sejarah, serta pengaruh dalam dalam pranata kehidupan masyarakat dan tentunya upaya dayah dalam mewujudakan peradaban 1 Dipresentasikan Dalam Seminar Kelas, 8 Juni 2011 Oleh Mukhlisuddin (Nim 10 HUKI 1966) Mahasiswa PPS IAIN SUMUT Prodi Hukum Islam, Dosen Pembimbing Prof. Abd. Mukti, Sebagai Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam (SPI) Semester II (Dua). 1

description

Dayah Adalah suatu lembaga yang telah melahirkan peradaban

Transcript of Dayah (Pesantren)

Page 1: Dayah (Pesantren)

DAYAH : PERADABAN ISLAM DI ACEH1

A. Pendahuluan

Munculnya dayah (pesantren) sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional

yang sangat disegani dan telah banyak membawa perubahan di bumi Aceh, tidak

terlepas dari faktor-faktor penyebab yang melatarbelakangi kemunculannya. Kata

dayah merupakan hasil adopsi dari bahasa Arab, ini sebagai isyarat bahwa dayah

(Zawiyah dalam bahasa Arab) telah mulai berkembang sejak masa Rasulullsh SAW.

Dan juga harus di akui bahwa “Dayah dan Aceh bukanlah sebuah alternatif satu sama

lain, melainkan ia adalah sebuah realitas historis”.

Dalam sejarah peradaban Islam di Aceh, Dayah memiliki peranan yang sangat

penting dalam membina dan membangun pranata kehidupan masyarakat Aceh pada

khususnya, dan peradaban Islam masyarakat Indonesia pada umumnya. Beranjak dari

itulah penulis akan mencoba menjelaskan peranan pesantren di Aceh sebaga sebuah

peradaban Islam yang mana dalam makalah ini akan memuat, pengertian

pesantren(dayah), dayah dalam kajian sejarah, serta pengaruh dalam dalam pranata

kehidupan masyarakat dan tentunya upaya dayah dalam mewujudakan peradaban

Islam di Aceh dengan proses transformasi sosial.

B. Pengertian Pesantren

Istilah Pesantren berasal dari bahasa Sangsekerta yang kemudian memiliki

pengertian tersendiri dalam bahasa Indonesia. Pesantren berasal dari kata santri yang

diberi awalan pe dan akhiran an yang menunjukkan arti tempat, jadi berarti tempat

santri. Kata santri itu sendiri merupakan gabungan dua suku kata, yaitu sant

(manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat

pendidikan untuk membina manusia menjadi orang baik.2

1 Dipresentasikan Dalam Seminar Kelas, 8 Juni 2011 Oleh Mukhlisuddin (Nim 10 HUKI 1966) Mahasiswa PPS IAIN SUMUT Prodi Hukum Islam, Dosen Pembimbing Prof. Abd. Mukti, Sebagai Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam (SPI) Semester II (Dua).

2 Abu Hamid, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan”, dalam Agama dan Perubahan Sosial, (ed) Taufiq Abdullah, (Jakarta: Rajawali Press, 1983), h. 328.

1

Page 2: Dayah (Pesantren)

Sementara itu, A.H. Johns, sebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari,

berpendapat bahwa pesantren memiliki kata dasar santri. Kata santri itu sendiri

berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedangkan Berg mengatakan

bahwa kata santri berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang

yang tahu buku-buku agama suci Hindu, atau seorang sarjana yang ahli kitab suci

agama Hindu. Kata shastri ini berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci,

buku-buku agama tentang ilmu pengetahuan.3

Dari segi terminologis, pesantren diberi pengertian oleh Mastuhu adalah

sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami,

menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya

moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Pengertian ini dapat

dikatakan lengkap apabila didalam pesantren itu terdapat elemen-elemen seperti

pondok, masjid, Kyai (pimpinan/guru) dan pengajaran kitab-kitab klasik. Dengan

demikian, pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam sebagaimana dalam

definisi Mastuhu, dan apabila ia memiliki elemen-elemen tersebut.4

Abdurrahman Wahid memaknai pesantren secara teknis sebagai a place where

santri (student) live.5 Abdurrahman Mas’ud menulis, the word pesantren stems from

‘santri’ which means one who seeks Islamic knowledge. Usually the word pesantren

refers to a place where the santri devotes most of his or her time to live in and

acquire knowledge.6 Dan masih banyak lagi para peneliti yang memberikan

pengertian tersendiri tentang pesantren berdasarkan konteks pemahaman dan sudut

pandangnya masing-masing.

Dari berbagai definisi diatas menunjukkan bahwa betapa pentingnya

3 Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 18.4 Mastuhu, Dinamika system Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1988), h. 6.5 Abdurrahman Wahid, ”Principles The Pesantren Education”, dalam Manfred Oepen and

Wolfgang Karcher (eds.), The Impact of Pesantren, P3M, Jakarta, 1998. Lihat juga Ahmad Muthohar, AR, Ideologi Pendidikan Pesantren “Pesantren ditengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidikan”, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), h. 12.

6 Abdurrahman Mas’ud, “Why the Pesantren as Center for Islamic Studies Remains Unique and Stronger in Indonesia”, makalah Seminar Internasional, Prince of songkla University Pattani, tanggal 25-28 Juni 1998. Lihat juga Ahmad Muthohar, AR, Ideologi Pendidikan Pesantren “Pesantren ditengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidikan”, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), h. 12.

2

Page 3: Dayah (Pesantren)

keberadaan pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang sangat dekat dengan

kehidupan masyarakat, baik didalam makna maupun nuansanya secara menyeluruh.

Apalagi pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia dan

telah banyak memberikan kontribusi pada pembangunan bangsa, terutama

pembangunan moril dan mental serta pendidikan masyarakat Indonesia.

Sedangkan di Aceh sendiri, istilah pesantren lebih dikenal dengan sebutan

“Dayah”. Kata dayah berasal dari kata zawiyah yang dalam bahasa Arab berarti

sudut atau pojok mesjid (kamus A.W. Munawwir, 1997).7 Kata zawiyah pertamanya

dikenal di Afrika Utara pada awal perkembangan Islam, yang dimaksud dengan

zawiyah pada masa itu adalah satu pojok sebuah mesjid yang menjadi halqah para

sufi, para sufi ini biasanya berkumpul, bertukar pengalaman, diskusi, berzikir dan

bermalam serta berbagai aktivitas lainnya di mesjid. Pada masa Rasulullah SAW

sudah dikenal beberapa istilah lain dalam khazanah pendidikan Islam antara lain;

Shuffah yaitu tempat yang digunakan untuk aktivitas pendidikan, Maktab yaitu

sebuah lembaga pendidikan Islam yang paling dasar disamping zawiyah dan shuffah,

Majelis yaitu tempat berlansungnya proses belajar mengajar, Halaqah yaitu lingkaran

dimana para murid duduk melingkari gurunya dan mendengar setiap sesuatu

penjelasan dari guru, Ribath yaitu tempat para sufi mengkonsentrasikan dirinya dalam

ber’ubudiyah kepada Allah SWT, juga pada kegiatan keilmuwan yang biasanya

dipimpin oleh seorang Mursyid (guru besar).8

Dilihat dari definisi masing-masing istilah tersebut dan apa yang kita dapati

serta yang terjadi dalam lingkungan dayah di Aceh sekarang ini, maka istilah-istilah

dimaksud kesemuanya terdapat dalam lingkungan dayah di Aceh. Balai (shuffah)

sebagai ciri khas dayah yang dijadikan sebagai tempat aktivitas pendidikan dan

proses belajar-mengajar, Tingkatan kelas (maktab) merupakan pemisahan tingkat

keilmuwan di dayah bagi para murid (Tajzi, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, ‘Aliyah dan

7 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, Cet. XIV, 1997), h. 595.

8 Zarkasyi, Paradigma Baru Pendidikan Dayah, dalam Muslim Thahiry, dkk, ”Wacana Pemikiran Santri Aceh”, (Banda Aceh, BRR NAD-Nias, PKPM & Wacana Press, 2007), h. 148-150.

3

Page 4: Dayah (Pesantren)

Takhasshus), Halaqah merupakan metode pembelajaran yang diterapkan di dayah

dari dulu sampai sekarang, Mushalla (ribath) merupakan urat nadi dayah dimana

selain sebagai tempat ber’ubudiyah juga digunakan untuk kegiatan ilmuwan

(mubahatsah).

Dalam lintas sejarah pendidikan Islam di Aceh, sebahagian besar dayah salafi

sering kita perdapatkan keberadaannya di pelosok desa atau kawasan pesisir

pedalaman yang jauh dari hiruk pikuk kesibukan perkotaan. Sehingga sungguh tepat

apabila kita memahami makna dayah atau zawiyah adalah sudut/pojok. Akan tetapi,

kultur masyarakat Aceh menyebutnya dengan nama dayah bukan berdasarkan pada

letak geografis dayah itu sendiri yang lazimnya di daerah pedalaman, melainkan

istilah dayah merupakan hasil adopsi dari Timur Tengah yang di bawa pulang oleh

Ulama Aceh dahulu.

Merujuk dari definisi pesantren dan dayah merupakan satu kesamaan makna

dan nuansa secara menyeluruh, maka perbedaan sebutan pada dua istilah tersebut

hanyalah terletak pada perbadaan tempat dan kultur daerah. Kata pesantren lebih

banyak digunakan di daerah Jawa dan sebagian besar daerah lain di Indonesia,

sedangkan kata dayah khusus digunakan oleh masyarakat Aceh dan kata surau lazim

digunakan oleh masyarakat Minangkabau.

C. Pesantren dalam catatan Sejarah

Pada periode Mekkah, dimana kaum muslimin menjadi golongan minoritas

yang tertindas, bahaya yang setiap saat mengancam kehidupan mereka dari golongan

yang berkuasa yaitu kaum kafir Quraisy, akan tetapi pendidikan untuk mencetak

kader-kader Islam terus dilaksanakan oleh Nabi Saw. Dengan mengambil tempat di

rumaah Arqam bin Abi Arqam, yang terletak di daerah Shafa, Rasulullah Saw

melakukan pendidikan Islam secara tekun selama hampir 3 (tiga) tahun. Disinilah

Rasulullah Saw mendidik dan menggembleng calon-calon pemimpin dan ulama

seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi

Thalib (sahabat khulafaur rasyidin), Abdullah bin Mas’ud, Abdurrahman bin Auf,

4

Page 5: Dayah (Pesantren)

Arqam bin Arqam, Sa’ad bin Zaid, Mas’ud bin Amir, Bilal bin Dabah, ‘Ammar bin

Yaser dan sepuluh orang lainnya. Hasil dari pendidikan di rumah Arqam inilah lahir

kader-kader Islam yang militant dan tangguh, yang kemudian hari mampu

mengembangkan Islam ke daerah-daerah kekuasaan Persia di timur dan Romawi di

barat, hanya dalam kurun waktu 35 tahun.9

Kemudian hijrahnya Rasulullah Saw dengan para sahabatnya dari Mekkah ke

Madinah tidak menyebabkan usaha pendidikan Islam itu terhenti. Bahkan mesjid

Nabawi di Madinah dijadikan pusat pendidikan Islam dengan menambahkan ruangan

suffa, yang dibangun disebelah utara mesjid sebagai tempat tinggal bagi mereka yang

ingin mendalami tentang agama Islam.10

System pendidikan seperti yang dipraktikkan oleh Rasulullah Saw terus

dikembangkan dan dilanjutkan oleh para sahabat khulafaur rasyidin dan thabi’in.

Masjid yang semula merupakan pusat pendidikan tunggal, lambat laun berkembang

menjadi pusat pendidikan Islam sampai tingkat tinggi. Pada masa Pemerintahan Bani

Umayyah didirikanlah “Al-Kuttab” sebagai lembaga pendidikan bagi anak-anak

tingkat dasar (TPQ/TPA untuk masa sekarang). Pemerintahan Abbasyiyah di

Baghdad periode Harun Al Rasyid mendirikan “Duwarul Hikmah” dan “Duwarul

Ilmi” lahir di Mesir di bawah kekuasaan Fathimiyah.11

Perkembangan kemajuan umat Islam, yang dimulai pada abad VI terus

menanjak dan pada abad X atau abad IV Hijriyah lahir pula satu lembaga pendidikan

Islam yang bernama “Madrasah”, yang pada masa sahabat dan thabi’in belum

dikenal. Lembaga pendidikan Madrasah yang paling tua didirikan di Nisyapur,

dengan nama Madrasah Al Baihaqiyah. Kemudian di Baghdad berdiri Madrasah

Nizamiyah pada tahun 457 Hijriyah, pada masa pemerintahan Nazhamul Mulk. Lalu

9 Abdullah Nasheh, ‘Ulwan, Tarbiyatul Awlad fil Islam, (Beirut: Daral Islam, 1981), h. 1082-1083.

10 Siti Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pusat Antara, 1962), h. 22.

11 Abdul Qadir Djaelani, Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, Surabaya, Bina Ilmu, 1994, h. 10.

5

Page 6: Dayah (Pesantren)

lembaga model dakwah Madrasah ini ditiru orang dimana-mana.12

Dari data sejarah yang terungkap diatas, membuktikan bahwa mesjid dan

Madrasah merupakan lembaga pendidikan yang sangat berpengaruh dan telah banyak

melahirkan kader-kader ulama dan cendikiawan muslim sampai dengan sekarang.

Oleh karena demikian, setelah Islam masuk ke Indonesia melalui Aceh pada abad-

abad pertama Hijriyah, maka pola pendidikan Islam yang telah berkembang subur di

Timur Tengah, telah diterapkan oleh umat Islam di Indonesia. Pertumbuhan

pendidikan Islam di Indonesia mulai subur berkembang, setelah Kesultanan Samudra

Pasai berdiri megah di Indonesia. Para ulama telah mendirikan lembaga pendidikan

Islam seperti Madrasah di Timur Tengah, dengan nama “Pondok Pesantren/ Dayah”,

yaitu dengan Mesjid sebagai pusat pendidikan, ditambah dengan ruangan-ruangan

kelas (balai) dan asrama pemondokan santri (bilek dalam bahasa Aceh). Nama-nama

dayah itu terkenal dengan nama para ulama yang mendirikan dan memimpinnya

seperti antara lain Teungku di Geurreudong, Teungku cot Mamplam dan lain-lain.

Kemegahan lembaga pendidikan Dayah memuncak pada masa Kesultanan Iskandar

Muda, sehingga dari sanalah lahir ulama-ulama besar seperti Syeikh Nuruddin Ar

Raniri, Syeikh Ahmad Khatib Langin, Syeikh Syamsuddin As Sumatrawi, Syeikh

Hamzah Fansuri, Syeikh Abdur Rauf As Singkili, Syeikh Burhanuddin (ulama besar

di Minangkabau).13

Berdasarkan fakta sejarah perkembangan Islam di Indonesia, Samudra Pasai

(Aceh) merupakan awal mula perkembangan Islam di Indonesia dan menjadi pusat

pendidikan Islam yang pertama di Indonesia. Dari sinilah terus mengalir dan

berkembang ke berbagai daerah di Indonesia, antara lain ke daerah Jawa. Maulana

Malik Ibrahim yang berasal dari Aceh, merupakan wali songo pertama yang

mensyiarkan Islam di daerah Jawa, dengan mendidik para muridnya melalui lembaga

pendidikan Pondok Pesantren yang didirikannya. Setelah Maulana Malik Ibrahim

wafat, Raden Rahmat (Sunan Ampel) melanjutkan kegiatan pendidikan yang 12 Abdul Qadir Djaelani, …, h. 10-11.13 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta, Hidakarya Agung,

1982), h. 172.

6

Page 7: Dayah (Pesantren)

didirikan oleh ayahnya. Pola pendidikan yang diterapkan oleh dua wali songo ini

mengikuti pola pendidikan pesantren/dayah yang ada di Pasai (Aceh).

Pada realitanya, system pendidikan pondok pesantren (dayah) ternyata tidak

hanya berkembang dan terdapat di Aceh dan Jawa atau Indonesia secara umum, akan

tetapi juga didapatkan di sebagian besar wilayah Asia Tenggara, dengan istilah

sebutan yang berbeda-beda karena historis kultur budaya masing-masing, namun

dengan system pendidikan yang sama. Persamaan system pendidikan Islam di Asia

Tenggara dengan Mesjid dan Madrasah sebagai pusat pendidikannya, tidak terlepas

dari historis perjalanannya yaitu bermuara dari pusat kekuasaan dan kebudayaan serta

pendidikan Islam di Timur Tengah. Kenyataan seperti ini juga didukung dengan

peradaban Islam yang mencapai puncak kejayaannya pada masa itu, sehingga Islam

menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan di dunia.

System pendidikan Islam dengan Mesjid dan Madrasah sebagai pusat

pendidikannya, yang di Indonesia dinamakan dengan pondok pesantren dan di Aceh

dinamakan dengan dayah, menurut Roger Garaudy, adalah merupakan system

pendidikan yang paling popular di dunia Islam, seperti yang dijumpai pada Masjid

Karawizyn di Fes Marokko, di Samarkand dan Cordova Spanyol.14

Kemudian, seiring dengan perjalanan waktu dan pertukaran masa serta

perkembangan zaman, pondok pesantren (dayah) terus berkembang dan tersebar

hampir diseluruh pelosok pendesaan di Aceh khususnya. Kedudukan pondok

pesantren tersebut mempunyai arti penting dalam kehidupan umat, yaitu sebagai

benteng pertahanan Islam yang paling kokoh dan sulit dihancurkan oleh kaum

orientalis misionaris (musuh-musuh Islam). Hal ini dapat dilihat dari upaya para

musuh-musuh Islam dari dulu masa penjajahan sampai dengan sekarang, yang terus

melakukan praktik pemurtadan dengan berbagai cara dan pendekatan, tetapi

kenyataannya umat Islam tidak murtad. Umat Islam secara kuantitatif tetap utuh pada

aqidah keislamannya, berkat peran dan fungsi pondok pesantren yang memposisikan

dirinya sebagai benteng pertahanan umat Islam.

14 Roger Garaudy, Janji-Janji Islam (Terjemahan), (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 117.

7

Page 8: Dayah (Pesantren)

D. Peranan Dayah; Peradaban Islam di Aceh

Ulama merupakaan waritsatul anbiya (pewaris para Nabi). Dalam

mengembankan tugas dan fungsinya sebagai penyambung lidah para Nabi, ulama

harus mengikuti metode atau pola perjuangan yang telah dilakukan oleh Rasulullah

Saw. Metode atau pola tersebut harus dimulai dengan dakwah dan pendidikan.

Dengan Islam, Nabi Muhammad SAW mampu menggulirkan transformasi

sosial yang dahsyat hingga berhasil menancapkan akar peradaban besar di dunia. Atas

jasanya yang besar itu, kalau boleh meminjam bahasanya Gramsci, Muhammad

adalah seorang intelektual organik. Sosok intelektual yang tidak cukup puas

berteriak : "revolusi!" Tapi setelah itu langsung duduk di atas kursi empuk sambil

menyeruput kopi. Namun dalam hal ini, beliau benar-benar terjun langsung menjadi

eksekutor lapangan, bekerja keras mengorganiser kekuatan untuk melawan

ketidakadilan dan memberantas kejahilan. Dari situlah awal mula proses transformasi

social secara monumental dalam pengembangan umat dan perubahan pranata

kehidupan umat manusia secara menyeluruh segala aspek kehidupan manusia.

Dalam konteks historis Islam, peristiwa hijrah merupakan momentum paling

penting dan monumental. Hijrah telah membawa perubahan dan pembaharuan besar

dalam pengembangan Islam dan masyarakatnya kepada sebuah peradaban yang maju

dan berwawasan keadilan, persaudaraan, persamaan, penghargaan Hak Azasi

Manusia (HAM), demokratis, inklusif, kejujuran, menjunjung supremasi hukum,

yang kesemuanya dilandasi dan dibingkai dalam koridor nilai-nilai syari'ah.

Hijrah juga telah mengantarkan terwujudnya negara madani yang sangat

modern, bahkan dalam konteks masyarakat pada waktu itu, terlalu modern. Hijrah

bukanlah pelarian untuk mencari suaka politik atau aksi peretasan keperihatinan

karena kegagalan mengembangkan Islam di Mekkah, melainkan sebuah praktis

reformasi yang penuh strategi dan taktik jitu yang terencana dan sitematis. bahwa

peristiwa hijrah merupakan titik balik dari sejarah dunia.

Berdasarkan kenyataan itulah Sayyidina Umar bin Khattab menetapkannya

8

Page 9: Dayah (Pesantren)

sebagai awal tahun hijriyah. Dalam konteks ini ia menuturkan : "al hijrah farraqat

bainal haq wal bathil fa-arrikhuha" (Artinya : hijrah telah memisahkan antara yang

haq dan yang bathil, maka jadikanlah momentum itu sebagai awal penanggalan

kalender Islam).

Apabila kita cermati makna filosofis hijrah secara mendalam, hijrah

sesungguhnya mengandung makna reformasi yang sangat luar biasa. Semangat

reformasi tersebut terlihat dari langkah-langkah strategis yang dilakukan Nabi

Muhammad SAW ketika beliau menetap di Madinah, baik dalam bidang sosial

keagamaan, politik, hukum maupun ekonomi.

Rasulullah SAW Kemudian meletakkan tiga hal yang menjadi tonggak

pembentukan masyarakat baru, yaitu:

1. Memperkokoh hubungan kaum muslim dan Tuhannya dengan membangun

masjid.

2. Memperkokoh hubungan intern umat Islam dengan mempersaudarakan kaum

pendatang Muhajirin dari Mekah dengan penduduk asli Madinah, yaitu kaum

Anshar.

3. Mengatur hubungan umat Islam dengan orang-orang diluar Islam, baik yang

ada di dalam maupun di sekitar kota dengan cara mengadakan perjanjian

perdamaian.

Melalui tiga hal di atas, Rasulullah SAW berhasil membangun masyarakat

ideal. Masyarakat ini terwujud dalam suatu negara, yang beliau beri nama Madinah,

artinya “kota” atau “tempat peradaban”. Di dalam masyarakat itu, Rasulullah SAW

secara bertahap menerapkan sistem yang dapat melindungi mereka dengan kehidupan

yang damai dan makmur. Pada akhirnya, disebabkan melihat suasana damai itu,

banyak penduduk kota Madinah dan sekitarnya yang menyatakan masuk Islam.

Sehingga sangat layak dan pantas bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan

sosok revolusi dan reformasi peradaban dunia. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat,

perubahan dan pengembangan moralitas umat manusia dilanjutkan secara estafet oleh

para sahabat, thabi’, thabi’in dan para ulama-ulama setelah itu, kesemuanya

9

Page 10: Dayah (Pesantren)

merupakan waratsatul anbiya yang mengemban tugas mengayomi umat dan berperan

aktif dalam tranformasi social umat manusia.

Dengan demikian, perubahan pranata dan peradaban kehidupan manusia tidak

mungkin berhasil tanpa perubahan sistem nilai yang mendukung pembangunan

peradaban masyarakat, yang kemudian diikuti oleh transformasi sosial untuk menjadi

pondasi dalam persiapan penerimaan keadaan yang baru.

Dalam konteks Indonesia, kita patut bertanya apa tawaran solusi konkrit

lembaga-lembaga keagamaan Islam semacam MUI, NU, Muhammadiyyah dan ICMI

terhadap masalah-masalah yang menimpa bangsa dan masyarakat seperti krisis moral,

kemiskinan struktural, korupsi, penggusuran, pengangguran, kerusakan lingkungan

dan sebagainya. Lembaga-lembaga keagamaan tersebut justru sibuk dengan dunia

sendiri yang jauh dari hiruk pikuk masyarakat. Bahkan tak jarang ikut terseret

mendukung program atau proyek besar neoliberal yang cenderung menindas.

Dari realitas itu kita tahu bahwa Islam tiba-tiba kehilangan citra diri sebagai

pewaris gerakan pembebasan dan penegak keadilan. Hilangnya citra transformatif

dan liberatif Islam tersebut seolah meneguhkan kepercayaan dan keyakinan

nonmuslim bahwa mereka telah berhasil meracuni pemikiran umat Islam. Islam oleh

lembaga-lembaga formalnya hanya difungsikan untuk memberi wejangan-wejangan

dalam bentuk ritualisme absurd dan tidak memberi tawaran nyata untuk mengatasi

problemtika sosial yang menghimpit umat, padahal Islam adalah Rahmatan Lil

‘Alamin. Selain dari itu, dan ini yang paling naif, Islam justru banyak dipolitisir dan

dikomersialisasikan oleh para pemeluknya sendiri. Parpol Islam banyak bermunculan,

perda-perda syari'at diciptakan dan bank-bank syari'ah didirikan, tapi semua itu hanya

sebatas strategi untuk menarik massa demi kepentingan pribadi atau kelompok

tertentu.

Melihat realitas sosial sekarang yang pengap, timpang dan menindas, Islam

harus ditampilkan sebagai agama yang penuh gairah transformasi. Problematika

sosial yang tengah menghimpit sekarang ini harus menjadi agenda utama seluruh

institusi agama Islam. Namun, dari sekian banyak institusi dan lembaga-lembaga

10

Page 11: Dayah (Pesantren)

Islam yang ada sekarang ini, hanya pesantren yang masih eksis dalam

memepertahankan gairah transformasi. Walaupun gairah tersebut terkadang sedikit

luntur karena berbagai macam permasalahan yang terjadi dalam lingkungan

pesantren. Kelunturan itu pun dianggap wajar, mengingat keberadaan pesantren yang

mandiri dalam pengembangannya.

Sebatas pemahaman kita selama ini, ada 3 (tiga) elemen yang membuat

pesantren (dayah) mampu menjadi sub-kultur tersendiri, yaitu:15

1. Pola kepemimpinan yang mandiri dan tidak terkooptimasi kepentingan-

kepentingan berjangka pendek. Elemen ini sungguh sangat penting bagi

pesantren. Artinya, atasan seorang kiai (pimpinan pesantren)16 itu hanyalah

Allah. Tidak ada kelompok politik, aparatur negara, birokrat, atau manusia

lain, yang bisa mengintervensi terlalu jauh di dunia pesantren. Pola

kepemimpinan seperti itu membuat pesantren menjadi unik.

2. Kitab-kitab rujukan yang digunakan di banyak pesantren, umumnya terdiri

dari warisan peradaban Islam dari berbagai abad. Kalau itu dikaji betul,

pengetahuan yang akan diserap para santri pesantren akan sangat luas sekali.

Dari situ mereka tidak hanya belajar bagian fikih yang rigid, sempit, kaku,

hitam-putih (kitab kuning), dan halal-haram saja, tapi juga ilmu-ilmu ushul

fikih, ilmu kalam, tasawuf, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan kearifan dan

keindahan Islam. Mestinya itu akan membentuk wawasan keislaman yang

padu dan utuh bagi santri, karena mereka mendalami agama tidak sekadar

pilihan hitam-putih yang nampak di permukaan.

3. Sistem nilai atau values system yang diterapkan di pesantren itu sendiri.

Sistem nilai itulah yang nantinya akan dibawa dalam proses kehidupan

mereka di masyarakat. Di sini kita mengenal nilai-nilai dasar pesantren,

15 Lily Zakiyah Munir, Pesantren Harus Pertahankan Jati Dirinya, Wawancara Novriantoni dan Mohammad Guntur Romli dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Lily Zakiyah Munir, direktur Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes), www.islamlib.com, diakses pada tanggal 6 Juni 2011

16 Kiai merupakan sebutan bagi seorang pimpinan pesantren dalam kultur masyarakat Jawa. Sedangkan di Aceh, sebutan bagi pimpinan pesantren adalah Abon, Abi, Abu, Waled, Teungku, dll.

11

Page 12: Dayah (Pesantren)

seperti al-ushûl khamsah (lima prinsip dasar) yang diadopsi dari paham Ahli

Sunnah. Nilai-nilai dasar tersebut adalah:

a. Tawâsuth, tidak memihak atau moderasi

b. Tawâzun, menjaga keseimbangan dan harmoni

c. Tasâmuh, toleransi

d. Adl, sikap adil

e. Tasyâwur, prinsip musyawarah

“Pancasila” pesantren itu tidak hanya sekadar hiasan kata dan teori belaka,

akan tetapi dibuktikan dengan terinternalisasi dan diprektikkan dalam dunia

pesantren. Sebab, komunitas pesantren itu hidup seperti dalam akademi militer

selama 24 jam, dan menjalankan aktivitas pendidikan sejak sebelum subuh sampai

kembali tidur. Jadi, dunia pesantren sesungguhnya membuat miniatur dunia ideal

mereka sendiri sebagai bekal mentrasfomasikannya kepada masyarakat.

Berbekal elemen-elemen dan nilai-nilai dasar pesantren yang tersebut diatas,

dalam semangat transformasinya, pesantren diharapkan bisa menjadi martil atas

kuatnya sistem dan idiologi pembangunan modern. Idiologi pembangunan modern

terbukti telah gagal menciptakan keadilan dan kemakmuran. Janji-janji kesejahteraan

yang ditawarkannya hanya omong kosong dan pemanis mulut belaka, yang terjadi

justru eksploistasi dan dominasi oleh kelompok pemodal terhadap kelompok lemah.

Dengan demikian orang-orang yang jauh dari lingkaran kapital, hidupnya semakin

termsarginalkan.

E. Transformasi Sosial Pesantren; Upaya Mewujudkan Peradaban.

Pesantren (Dayah) merupakan sebuah kampung peradaban bagi kehidupan

manusia, khususnya bagi masyarakat pesisir yang berdomisili di pesisir dan pelosok

pendesaan Aceh dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Keberadaannya

didambakan, tetapi pesonanya sering kali tidak mampu membetahkan penghuninya.

Bahkan ada segilintir kelompok menusia yang mengatakan pesantren sebagai bagian

12

Page 13: Dayah (Pesantren)

dari kamuflase17 kehidupan, alasannya karena pesantren lebih banyak mengurusi

urusan ukhrawiyah dibandingkan dengan urusan duniawiyah. Pesantren sering

dilabelkan sebagai pusat kehidupan fatalis18, karena memprioritaskan dan

menanamkan kehidupan zuhud yang mengabaikan kehidupan dunia materi. Padahal,

komunitas pesantren menikmati kesederhanaan kehidupannya sebagai bagian dari

panggilan moralitas keberagamaan. Bagi mereka, dunia merupakan “alat atau media”

untuk menggapai tujuan yaitu negri akhirat. Karena manusia tidak mungkin sampai

ketujuan yang dicita-citakan tanpa ada alat atau media yang dijadikan sebagai sarana,

begitu juga halnya seorang hamba tidak mungkin menikmati kehidupan akhirat tanpa

membangun peradaban dunia yang baik.

Mengapa misalnya, pesantren menjadi “besar” dan “berjasa” justru ditengah

kesederhanaan dan ketulusan para tokohnya dalam memimpin lembaganya dengan

berazaskan tanggung jawab moral islami dan dengan sikap tak lebih dari sekedar

mengabdi pada sebuah profesi? Mengapa misalnya, pesantren menjadi “hebat” dan

“kuat” justru ditengah kejujuran dan ketegaran para tokohnya dalam mengemban

amanah umat dengan sikap lebih dari sekedar istiqamah? Mengapa misalnya,

pesantren menjadi “hancur” dan “lenyap” justru ketika para tokohnya melakukan

“lompat pagar” kedalam arena politik praktis yang menjanjikan kekayaan materi?

Mengapa pesantren dan transformasi social? Karena, sulit membayangkan

bahwa seorang ulama yang mendirikan dan memimpin sebuah pesantren besar dan

ternama di sebuah wilayah, mencurahkan segala infrastruktur intelektualnya, tanpa

melakukan transformasi social. Bahkan peranan tersebut, menurut hemat penulis,

jauh lebih besar dan kompleks daripada kajian ilmiah yang pernah dipublikasikan,

baik dalam bentuk buku, skripsi, tesis, disertasi, artikel atau sebuah laporan sebuah

majalah/tabloid ternama sekalipun. Peranan mereka (komunitas pesantren;

ulama/teungku dan santri), jauh lebih riil dan monumental dalam proses transformasi

17 Penyamaran dan pengelabuan. (Tim Balai Pustaka Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Ed. III, Cet. III, 2007, hal. 499).

18 Orang yang percaya atau menyerah saja pada nasib. (Tim Balai Pustaka Depdiknas, Ibid, hal. 314).

13

Page 14: Dayah (Pesantren)

social ketimbang hasil telaah di ruang terbatas yang sangat mungkin telah melewati

proses penyederhanaan masalah.

Pesantren sebagai salah satu pintu transformasi sosial, memang telah

membuktikan keterlibatannya dalam menyiapkan tunas agama dan bangsa dimasa

depan. Sumbangsih pesantren dalam menciptakan dan melahirkan generasi penerus

sebagai pewaris tongkat estafet agama dan bangsa merupakan yang paling

monumental, khususnya dalam sejarah pendidikan Islam di Aceh. Pesantren telah

menjadi “agent of change” bagi umat Islam Indonesia dan Aceh khususnya.

Pesantren juga telah menyiapkan dan memberikan apa yang diminta dan dibutuhkan

oleh negri ini; “Dayah (Pesantren) dan Aceh bukanlah sebuah alternatif satu sama

lain, melainkan ia adalah sebuah realitas historis”. Nurcholish Madjid mengatakan,

efektifitas dayah (pesantren) untuk menjadi agent of change sebenarnya terbentuk

karena sejak awal keberadaannya, pesantren juga menempatkan diri sebagai pusat

belajar masyarakat, community learning centre.19

Secara tradisi, sebuah institusi pendidikan Islam sekaligus sebagai lembaga

dakwah dapat disebut “pesantren” kalau ia memiliki elemen-elemen utama yang

lazim dikenal di dunia pesantren. Menurut studi Zamakhsyari Dhofir (Tradisi

Pesantren, LP3ES, 1990), Elemen-elemen utama itu antara lain; (1) pondok (bilek

dalam khazanah keacehan), (2) mesjid/mushalla, (3) santri, dan (4) Kyai/Ulama

sebagai pimpinan (Abon, Abu, Waled, dll dalam khazanah keacehan). Berbagai studi

tentang pesantren menyimpulkan bahwa di antara empat elemen utama di atas,

elemen kyai/ulama-lah yang paling menentukan masa depan sebuah dayah.

Gejala pesantren sebagai “kampung peradaban” dan pusat “transformasi

sosial” mulai terasa sejak beberapa alumninya mampu menjadi pionir20 intelektualitas

di Aceh. Mereka telah menyebarkan daya tarik tersendiri dan memberikan godaan

cerdas terhadap publik, bahwa dunia pesantren dengan segala kesederhanaan dan

19 Dr. Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, Cet I, 1997), h. 125.

20 Perintis atau pelopor. (Tim Balai Pustaka Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Ed. III, Cet. III, 2007, h. 878).

14

Page 15: Dayah (Pesantren)

kekurangannya justru menyimpan potensi besar untuk melakukan transformasi

peradaban Islam yang universal. Caranya beraneka ragam, bisa melalui jalur politik,

dunia bisnis (perniagaan), bidang pertanian, perkebunan, lembaga pendidikan, lebih-

lebih lagi terjun ke dunia dakwah (jurnalis), dan lain sebagainya.

Keniscayaan bahwa pesantren tetap utuh hingga kini bukan hanya disebabkan

oleh kemampuannya dalam melakukan akomodasi-akomodasi tertentu seperti terlihat

di atas, tetapi juga lebih banyak disebabkan oleh karakter eksistensialnya. Karakter

yang dimaksud adalah, sebagaimana dikatakan oleh Nurcholish Madjid, pesantren

tidak hanya menjadi lembaga yang identik dengan makna keislaman, tetapi juga

mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai lembaga yang murni

berkarakter keindonesiaan, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman

sosiologis masyarakat lingkungannya, sehingga antara pesantren dengan komunitas

lingkungannya memiliki keterkaitan erat yang tidak bisa terpisahkan. Hal ini tidak

hanya terlihat dari hubungan latar belakang pendirian pesantren dengan lingkungan

tertentu, tetapi juga dalam pemeliharaan eksistensi pesantren itu sendiri melalui

pemberian wakaf, shadaqah, hibah, dan sebagainya. Sebaliknya, pihak pesantren

melakukan ‘balas jasa’ kepada komunitas lingkungannya dengan bermacam cara,

termasuk dalam bentuk mendidik masyarakat, bimbingan sosial, kultural, dan

ekonomi.

Atas kemandirian pesantren ini, Martin van Bruinessen, salah seorang peneliti

keislaman dari Belanda, meyakini bahwa di dalam pesantren terkandung potensi yang

cukup kuat dalam mewujudkan masyarakat sipil (civil society). Sungguhpun

demikian, menurutnya, demokratisasi tetap tidak bisa diharapkan melalui

instrumentasi pesantren. Sebab, dalam pandangan Martin, kiai-ulama di pesantren

adalah tokoh yang lebih dominan didasarkan atas nilai kharisma. Sementara, antara

kharisma dan demokrasi, keduanya tidak mungkin menyatu.21 Walaupun demikian,

menurut Martin, kaum tradisional (termasuk pesantren) di banyak negara berkembang

21 Ellyasa K.H. Darwis, Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, Cet. I, 1994), h. 77-78.

15

Page 16: Dayah (Pesantren)

tidak dipandang sebagai kelompok yang resisten dan mengancam modernisasi.22

DAFTAR BACAAN

Abdul Qadir Djaelani, Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, Surabaya, Bina Ilmu, 1994.

Abdullah Nasheh, ‘Ulwan, Tarbiyatul Awlad fil Islam, Beirut: Daral Islam, 1981

Abdurrahman Wahid, ”Principles The Pesantren Education”, dalam Manfred Oepen and Wolfgang Karcher (eds.), The Impact of Pesantren, P3M, Jakarta, 1998.

Abu Hamid, “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan”, dalam Agama dan Perubahan Sosial, (ed) Taufiq Abdullah,. Jakarta: Rajawali Press, 1983.

Ahmad Muthohar, AR, Ideologi Pendidikan Pesantren “Pesantren ditengah Arus Ideologi-Ideologi Pendidikan”, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007.

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, Cet. XIV, 1997.

Dr. Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, Cet I, 1997.

Ellyasa K.H. Darwis, Gus Dur, NU, dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LKiS, Cet. I, 1994.

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Hidakarya Agung, 1982.

Mastuhu, Dinamika system Pendidikan Pesantren,.Jakarta: INIS, 1988.Pengantar LKiS dalam Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi

Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKiS, 1994.Roger Garaudy, Janji-Janji Islam (Terjemahan), Jakarta: Bulan Bintang,

1982.Siti Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pusat

Antara, 1962.Tim Balai Pustaka Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, Ed. III, Cet. III, 2007.Zarkasyi, Paradigma Baru Pendidikan Dayah, dalam Muslim Thahiry, dkk,

”Wacana Pemikiran Santri Aceh”, Banda Aceh, BRR NAD-Nias, PKPM & Wacana Press, 2007.

22 Pengantar LKiS dalam Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS, 1994), h. vi.

16