Makalah Hukum Waris Adat

download Makalah Hukum Waris Adat

of 18

Transcript of Makalah Hukum Waris Adat

  • 5/24/2018 Makalah Hukum Waris Adat

    1/18

    Makalah Hukum Waris Adat

    TUGAS MAKALAH

    Hukum Waris AdatGuna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Adat

    Dosen Pengampu : A. Turmudi, SH, Msi.

    Disusun oleh :

    Handika S. Diputra 122211035

    M. Najib Himawan 122211056

    Wahyu Supriyo 122211075

    Fakultas Syariah & Ekonomi Islam

    IAIN Walisongo Semarang

    2013

    http://1.bp.blogspot.com/-Ed3lfmBohIQ/Uq6cfvRW9DI/AAAAAAAAAc8/Dg4ZQNYHRyY/s1600/er.jpg
  • 5/24/2018 Makalah Hukum Waris Adat

    2/18

    I. PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Negara Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam hal

    pewarisan, Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris diantaranya, diantaranya waris

    menurut hukum BW, hukum Islam, dan adat. Masing-masing hukum tersebut memiliki karakter

    yang berbeda dengan yang lain.

    Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual. Sistem waris

    kolektif yaitu, harta warisan dimiliki secara bersam-sama, dan ahli waris tidak diperbolehkan

    untuk memiliki secara pribadi. Jika ingin memanfaatkan harta waris tersebut, harus ada

    musyawarah dengan ahli waris yang lain. Sistem waris mayorat yaitu, harta waris dimiliki oleh

    ahli waris yang tertua, dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan ahli waris yang muda baikperempuan atau laki-lak sampai merka dewasa dan mampu mengurus dirinya sendiri. Sistem

    waris individual yaitu, harta warisan bisa dimliki secara pribadi oleh ahli waris, dan

    kepemilikkan mutlak ditangannya.

    Harta warisan menurut hukum adat bisa dibagikan secara turun-temurun sebelum pewaris

    meninggal dunia, tergantung dari musyawarah masing-masing pihak. Hal ini sangat berbeda

    dengan kewarisan hukum BW dan hukum Islam yang mana harta warisan harus dibagikan pada

    saat ahli waris telah meninggal dunia. Apabila harta warisan diberikan pada saat pewaris belum

    meninggal dunia, maka itu disebut pemberian biasa atau dalam hukum Islam bisa disebut sebagai

    hibah.

    Dengan adanya beragam bentuk sistem kewarisan hukum adat, menimbulkan akibat yang

    berbeda pula, maka pada intinya hukum waris harus disesuaikan dengan adat dan kebudayaan

    masing-masing daerah dengan kelebihan dan kekurangan yang ada pada sistem kewarisan

    tersebut.

    B. Rumusan Masalah

    Dari sedikit ulasan diatas dapat ditarik point pertanyaan yakni, bagaimana Hukum Waris

    Adat dan pembagian-pembagiannya?

    II. PEMBAHASAN

    A. Pengertian Hukum Waris Adat

  • 5/24/2018 Makalah Hukum Waris Adat

    3/18

    Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasional belum terbentuk, dan

    hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat RI,

    yakni hukum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Burgerlijk Wetboek

    (BW)1[1]. Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda

    untuk Hindia Belanda dahulu.

    Menggunakan hukum waris menurut hukum adat, menurut Wirjono Projodikoro (19911 :

    58), hukum adat pada umumnya bersandar pada kaidah sosial normatif dalam cara berpikir yang

    konkret yang sudah menjadi tradisi masyarakat tertentu2[2].

    Menurut Ter Haar3[3], hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang bertalian

    dengan dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak

    berwujud dari generasi ke generasi. Selain itu, ada pendapat lain ditulis bahwa Hukum Adat

    Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan

    barang-barang harta benda yang berwujud dan yang tidak berwujud, dari suatu angkatan generasi

    manusia kepada keturunnya4[4].

    Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris Adat mengatur

    proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari

    pewaris pada waktu masih hidup atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya.

    Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau

    prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah5[5] :1. Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya,

    tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis

    macamnya dan kepentingan para ahli waris, sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum

    Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.

    1[1] Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar

    Pembinaan KuRikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980.hlm 1-20.

    2[2]Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Mawaris (Bandung; Cv. Pustaka Setia,2009), Hal. 86

    3[3]Beliau merupakan seorang pakar hukum adat yang terkenal pada masa 1900an.

    4[4] http://websiteayu.com/artikel/sistem-hukum-waris-adat2

    5[5]Ibid.

  • 5/24/2018 Makalah Hukum Waris Adat

    4/18

    2. Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie (bagian mutlak), sebagaimana

    diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.

    3. Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut

    agar harta warisan segera dibagikan.

    Berdasarkan ketentuan Hukum Adat pada prinsipnya asas hukum waris itu penting,

    karena asas-asas yang ada selalu dijadikan pegangan dalam penyelesaian pewarisan. Adapun

    berbagai asas itu di antaranya seperti asas ketuhanan dan pengendalian diri, kesamaan dan

    kebersamaan hak, kerukunan dan kekeluargaan, musyawarah dan mufakat, serta keadilan. Jika

    dicermati berbagai asas tersebut sangat sesuai dengan kelima sila yang termuat dalam dasar

    negara RI, yaitu Pancasila.

    Di samping itu, menurut Muh. Koesnoe, di dalam Hukum Adat juga dikenal tiga asas

    pokok, yaitu asas kerukunan, asas kepatutan dan asas keselarasan. Ketiga asas ini dapat

    diterapkan dimana dan kapan saja terhadap berbagai masalah yang ada di dalam masyarakat, asal

    saja dikaitkan dengan desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan). Dengan menggunakan

    dan mengolah asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan dikaitkan dengan waktu, tempat dan

    keadaan, diharapkan semua masalah akan dapat diselesaikan dengan baik dan tuntas.

    Hukum waris menurut hukum adat pada dasarnya merupakan sekumpulan hukum yang

    mengatur proses pengoperan dari satu generasi selanjutnya. Unsur-unsur hukum mawaris adat

    adalah sebagai berikut :1. Proses pengoperan atau hibah atau pewarisan atau warisan.

    Maksud dari proses disini berarti bahwa pewarisan hukum adat bukan selalu aktual

    dengan adanya kematian, atau walaupun tak ada kematian proses pewarisan itu tetap ada,

    mengenai penerusan, pengoperan dan penerusan kedudukan harta material dan immaterial,

    penerusan itu dari generasi ke generasi berikutnya. Jadi pewarisan ini bukan merupakan

    pewarisan individual.

    2. Harta benda materiil dan imateriil.

    Tiap kesatuan keluarga mesti ada benda-benda material yang dimiliki oleh keluarga itu,

    yang disebut dengan kekayaan. Kekayaan yang biasa disebut harta keluarga (gezinsgoed), dapat

    diperoleh dengan cara, antara lain : (1) harta suami istri yang diperoleh dari harta warisan dari

    orang tuanya(toessheding), (2) harta suami istri yang diperoleh sendiri sebelum perkawinan, (3)

    harta suami istri yang diperoleh bersama-sama semasa perkawinan, dan (4) harta yang ketika

  • 5/24/2018 Makalah Hukum Waris Adat

    5/18

    menikah kepada pengantin (suami istri). Kekayaan dalam keluarga tersebut pada dasarnya

    memiliki beberapa fungsi :

    a. Kekayaan merupakan basis material dalam kehidupan keluarga yang dinamakan harta rumah

    tangga bagi kesatuan rumah tangga.

    b. Kekayaan berfungsi untuk memberi basis material bagi kesatuan-kesatuan rumah tangga yang

    akan dibentuk oleh keturunan.

    c. Karena harta kekayaan itu merupakan basis material dari pada kesatuan-kesatuan kekeluargaan,

    maka dari sudut lain harta kekayaan itu merupakan alat untuk mempersatukan kehidupan

    keluarga.

    d. Karena harta kekayaan itu adalah pemersatu kehidupan keluarga, maka pada dasarnya dalam

    proses pewarisan, tidak dilakukan pembagian atau pada dasarnya harta peninggalan tak dibagi-

    bagi.

    Berdasarkan ketentuan mengenai fungsi dari pada harta kekayaan, maka dalam hukum

    waris di kenal dua harta macam peninggalan yaitu :

    a. Harta peninggalan yang dapat dibagi yaitu, peninggalan yang dibagi-bagikan pada ahli warisnya

    yaitu kepada anak-anaknya.

    b. Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi yaitu, jika orang itu meninggal, maka : hartanya

    menjadi harta pusaka yang dimiliki oleh komplek-famili yang dipimpin oleh kepala-famili, dan

    hanya ada seorang anak saja yang berhak mewarisi. Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi digolongkan menjadi dua yaitu, mayorat (sistem pewarisan dimana anak tertua yang menjadi ahli

    waris) dan kolektif (suatu sistem kewarisan yang dimana harta pusaka yang dimiliki bersama,

    yaitu dimiliki oleh keluarga didalam arti kerabat (famili)).

    3. Satu generasi kegenerasi selanjutnya.

    Pada dasarnya yang menjadi ahli waris dalam hukum adat adalah angkatan (generasi).

    4. Tata cara penyelenggaraan pembagian warisan.

    Tata cara penyelenggaraannya pembagian warisan menurut hukum adat meliputi tiga

    cara yaitu sebagai berikut :

    a) Waris, waris berdasarkan sistem tata tertib sanak yang terbagi dalam tiga sistem yaitu waris

    parental, waris patrilineal, dan waris matrilineal.

    b) Hibah, adalah perbuatan hukum yang dimana seseorang tertentu memberikan sutau

    barang(kekayaan) tertentu kepada seseorang yang diingkan, menurut kaidah hukum yang

  • 5/24/2018 Makalah Hukum Waris Adat

    6/18

    berlaku. Hibah dibagi emnajdi dua yaitu hibah biasa (pembagian barang milik seseorang yang

    langsung diikuti dengan pnyerahan seketika barang), dan hibah wasiat (pembagian barang milik

    seseorang yang tidak selalu diikuti penyerahan seketika itu, juga barang-barang itu kepada yang

    mendapat barang masing-masing dan abru akan diserahkan apabila si pemberi sudah meninggal

    dunai). Dengan kata lain hibah wasiat berlaku setelah si pemberi meninggal.

    B. Pembagian Waris Menurut Hukum Adat

    Dalam hal pembagiannya yaitu anak-anak dan atau keturunannya serta janda, seluruh

    harta menurut pasal 852 BW harus di bagi sebagai berikut6[6]:

    1. Apabila anak-anak dari si wafat masih hidup, anak-anak itu dan janda mendapat masing-masing

    suatu bagian yang sama, misalnya ada 4 anak dan janda maka mereka masing-masing 1/5 bagian.

    2. Apabila salah seorang anak sudah meninggal lebih dahulu, dan ia mempunyai anak (jadi cucu

    dari si peninggal warisan), misalnya 4 cucu, maka mereka semua mendapat 1/5 bagian selaku

    pengganti ahli waris (plaatsvervulling) menurut pasal 842 BW. Jadi masing masing cucu

    mendapat 1/20 bagian.

    Dalam hal ini tidak diperdulikan apakah anak-anak itu adalah lelaki maupun perempuan,

    anak tertua atau termuda (zonder onderscheid van kunne of eerstegeboorte)7[7].

    Menurut ketentuan Hukum Adat yang berkembang di dalam masyarakat, secara garis

    besar dapat dikatakan bahwa sistem (pembagianya) hukum waris adat terdiri dari tiga sistem,yaitu8[8]:

    1. Sistem Kolektif, Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan pengalian harta warisan

    sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk

    menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya seperti Minangkabau, Ambon

    dan Minahasa.

    2. Sistem Mayorat, Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak

    terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-

    6[6]Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Mawaris (Bandung; Cv. Pustaka Setia,2009),86-87

    7[7]Ibid., 87

    8[8]Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2005), hal. 78

  • 5/24/2018 Makalah Hukum Waris Adat

    7/18

    laki tertua (Bali, Lampung, Teluk Yos Sudarso) atau perempuan tertua (Semendo/ Sumatra

    Selatan), anak laki-laki termuda (Batak) atau perempuan termuda atau anak laki-laki saja.

    3. Sistem Individual, berdasarkan prinsip sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau

    memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan

    di masyarakat di Jawa dan masyarakat tanah Batak.9[9]

    C. Harta Waris Adat

    Harta waris adalah harta yang ditinggalkan atau yang diberikan oleh pewaris kepada

    warisnya, baik yang dapat dibagi maupun yang tidak dapat dibagi. Harta waris dapat dibagi

    dalam empat bagian, yaitu : harta asal, harta pemberian, harta pencaharian, hak dan kewajiban

    yang diwariskan.

    1. Harta asal

    Harta asal adalah harta yang diperoleh atau dimiliki oleh pewaris sebelum perkawinan

    yang dibawa kedalam perkawinan, baik harta itu berupa harta peninggalan maupun harta

    bawaan.

    Harta peninggalan dapat dibedakan harta peninggalan yang tetap tak terbagi dan harta

    peninggalan yang dapat dibagi, demikian juga harta bawaan ada harta bawaan di isteri dan hartabawaan suami.

    Harta peninggalan ada harta peningggalan yang tak terbagi dan harta peninggalan yang

    dapat dibagi. Dalam pewarisan yang banyak membawa persoalan adalah harta peninggalan yang

    tak terbagi, karena terhadap harta ini ada seolah-olah waris kehilangang haknya untuk memiliki

    secara perseorangan atau menguasai secara penuh.Suatu harta peninggalan tidak terbagi dalam

    hukum adat kita disebabkan karena sifat dan kedudukan dari harta itu. Dalam masyarakat

    bilateral di Jawa, harta peninggalan dapat menjadi harta peninggalan yang tak terbagi bilamana

    misalnya seorang janda atau anak-anaknya yang belum dewasa harus mendapat nafkahnya

    daripadanya dan pemberian nafkah ini tidak akan terjamin bila diadakan pembagian.

    9[9]Lihat Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012),

    hal 260

  • 5/24/2018 Makalah Hukum Waris Adat

    8/18

    Di Minangkabau dikenal harta pusaka tinggi seperti rumah gadang, sawah atau

    peladangan. Dalam masyarakat matrilinial ini harta pusaka adalah kepunyaan kaum dimana ibu

    sebagai pusat pengusaannya. Harta peninggalan ini tidak mungkin dimiliki secara perseorangan

    melainkan secara bersama memilikinya bagi para anggota kerabat dari pihak ibu tersebut.

    Terhadap harta kerabat di Minangkabau atau di Hitu Ambon penguasaannya dipimpin

    oleh mamak kepala waris di Minangkabau, kepala dati di Hitu. Selain faktor-faktor di atas, harta

    peninggalan tak terbagi karena harta tersebut hanya diperuntukkan penguasaannya untuk diurus

    seperti dalam masyarakat patrilinial beralih-beralih di Bali harta peninggalan dikuasai oleh anak

    laki-laki yang tertua yang menggantikan kedudukan orang tua untuk mengurusi dan memelihara

    saudara-saudaranya, atau di Semendo yang menganut sistim matrilinial harta peninggalan hanya

    dikuasai dan diurus, tidak dapat dipindah tangankan, pada umumnya banyak harta peninggalan

    tetap tinggal tidak dibagi-bagi dan disediakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan materiil

    keluarga yang ditinggalkan. ( R,Soepomo, 1980 : hlm.81).

    Sedangkan harta peninggalan yang dapat dibagi pada umumnya terdapat pada

    masyarakat patrilinial di Batak, dan masyarakat bilateral di Jawa, dan tidak menutup

    kemungkinan di daerah-daerah yang harta peninggalan tersebut di atas karena pergeseran zaman

    dan merenggangnya sistim kekerabatan harta tersebut dibagi, namun pada prinsipya tidak dapat

    dibagi. Demikian juga di Semende yang menjadi harta yang tak terbagi atau tetap terbagi-bagi

    hanya harta tunggu tubang saja, sedangkan harta diluar harta tubang dapat dibagi. Harta yangdapat dibagi biasanya merupakan harta pencaharian atau harta bawaan.

    Harta bawaan adalah harta yang dimiliki oleh suami atau isteri sebelum perkawinan.

    Oleh sebab itu dibagi antara harta bawaan suami dan harta bawaan isteri. Harta bawaan itu ada

    yang terikat dengan kerabat dan ada yang tidak terikat dengan kerabat. Harta bawaan yang

    terikat dengan kerabat seperti harta pihak suami yang dibawa pihak suami yang dibawa ke

    tempat kediaman isterinya (matrilokal) dalam masyarakat matrilinial di Minangkabaum harta

    yang diberikan kepada anak perempuan selagi masih gadis di Batak yang dibawa menetap di

    tempat kediaman suaminya (patrilokal) yang dinamakan tano atau saba bangunan. Harta bawaan

    yang tidak terikat dengan kerabat, karena harta itu hasil pencaharian si suami selagi masih

    bujang (harta pembujangan, Sumatera Selatan), harta penantian bagi si isteri semasa gadis atau

    guna kaya di Bali baik harta perempuan ataupun harta laki-laki.

  • 5/24/2018 Makalah Hukum Waris Adat

    9/18

    Kedua harta ini dalam masyarakat kita mempunyai kedudukan yang berbeda sesuai

    dengan bentuk masyarakat itu.

    2. Harta pemberian

    Harta pemberian adalah harta yang dimiliki oleh pewaris karena pemberian, baik

    pemberian dari suami bagi si isteri, pemberian dari orang tua, pemberian kerabat, pemberian

    orang lain, hadiah-hadiah perkawinan atau karena hibah wasiat. Harta pemberian dibedakan

    dengan harta asal, sebab harta asal telah ada sebelum perkawinan sedangkan harta pemberian ada

    setelah perkawinan. Harta pemberian orang tua, dalam beberapa masyarakat terikat dengan

    kerabat, seperti harta pemberian si bapak kepada anak perempuannya sewaktu gadis ini Batak

    atau selagi anak tersebut dalam perkawinan (saba bangunan, pauseang, indahan arian), bila si

    isteri ini meninggal dan tidak mempunyai anak, maka harta ini akan kembali pada kerabatnya.

    Harta pemberian orang lain, seperti pemberian dari teman sekerja.

    Bila harta pemberian tersebut ditujukan kepada salah satu pihak suami-isteri, sama

    halnya dengan pemberian kerabat hanya saja motif pemberiannya berbeda. Pemberian kerabat

    biasanya didasarkan rasa kasihan, welas asih atau tolong-menolong, sedangkan pemberian orang

    lain karena rasa persahabatan dan sebagainya.

    3. Harta pencaharian

    Harta pencaharian adalah harta yang diperoleh oleh suami-isteri, suami saja atau isteri

    saja dalam perkawinan karena usaha dari suami-isteri atau salah satu pihak. Secara umum hartayang diperoleh dalam perkawinan adalah harta bersama suami-isteri, tetapi dalam beberapa

    masyarakat ada harta pencaharian suami saja, atau harta pencaharian si isteri saja disebabkan

    bentuk perkawinan dan sistim kekerabatannya.

    Di Minangkabau harta bersama dikenal harta suarang, di Jawa gono-gini, di Kalimantan

    harta perpantanganm di Bugis dan Makasar dikenal cakkara. Harta bersama dapat bertambah

    karena harta bawaan, harta pemberian, dan harta lain yang diperuntukkan untuk keluarga yang

    diberikan tersebut.

    D. Hukum Waris Adat Patrilineal

    Patrilineal adalah suatuadatmasyarakat yang mengatur alurketurunanberasal dari pihak

    ayah. Kata ini seringkali disamakan dengan patriarkat atau patriari, meskipun pada dasarnya

    artinya berbeda.Patilinealberasal dari dua kata, yaitu pater(bahasa Latin)yang berarti "ayah",

    http://id.wikipedia.org/wiki/Adathttp://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakathttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Keturunan&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Ayahhttp://id.wikipedia.org/wiki/Patriarkihttp://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Latinhttp://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Latinhttp://id.wikipedia.org/wiki/Patriarkihttp://id.wikipedia.org/wiki/Ayahhttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Keturunan&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakathttp://id.wikipedia.org/wiki/Adat
  • 5/24/2018 Makalah Hukum Waris Adat

    10/18

    dan linea (bahasa Latin) yang berarti "garis". Jadi, "patrilineal" berarti mengikuti "garis

    keturunan yang ditarik dari pihak ayah".

    Sementara itupatriarkatberasal dari dua kata yang lain, yaitu pateryang berarti "ayah"

    dan archein (bahasa Yunani) yang berarti "memerintah". Jadi, "patriari" berarti "kekuasaan

    berada di tangan ayah atau pihaklaki-laki".10[10]

    Di dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat

    menonjol, contohnya pada masyarakat Batak dan Bali. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-

    laki sebab anak perempuan yang telah kawin dengan cara "kawin jujur" yang kemudian masuk

    menjadi anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris orang tuanya

    yang meninggal dunia. Dalam masyarakat tertib Patrilineal seperti halnya dalam masyarakat

    Batak Karo, khususnya, dan dalam masyarakat Batak pada umumnya.11[11] Titik tolak

    anggapan tersebut, yaitu :

    1. Emas kawin (tukur), yang membuktikan bahwa perempuan dijual;

    2. Adat lakoman (levirat) yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara dari

    suaminya yang telah meninggal.

    3. Perempuan tidak mendapat warisan;

    4. Perkataan naki-naki menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk tipuan, dan lain-lain.

    Akan tetapi ternyata pendapat yang dikemukakan di atas hanya menunjukkan

    ketidaktahuan dan sama sekali dangkal sebab terbukti dalam cerita dan dalam kesusasteraanklasik, kaum wanita tidak kalah peranannya dibandingkan dengan kaum laki-laki.12[12]

    Meskipun demikian, kenyataan bahwa anak laki-laki merupakan ahli waris pada

    masyarakat patrilineal, dipengaruhi pula oleh beberapa faktor sebagai berikut:

    1. Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki. Anak perempuan tidak dapat melanjutkan

    silsilah (keturunan keluarga);

    10[10]http://id.wikipedia.org/wiki/PatRilineal

    11[11] Eman Suparman, Hukum Waris Ri dalam Perspektif Islam Adat dan BW, (Bandung: Refika Aditama,

    2005), hlm. 43

    12[12]Ibid Hal. 66

    http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Yunanihttp://id.wikipedia.org/wiki/Laki-lakihttp://id.wikipedia.org/wiki/Laki-lakihttp://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Yunani
  • 5/24/2018 Makalah Hukum Waris Adat

    11/18

    2. Dalam rumah-tangga, isteri bukan kepala keluarga. Anak-anak memakai nama keluarga (marga)

    ayah. Istri digolongkan ke dalam keluarga (marga) suaminya;

    3. Dalam adat, wanita tidak dapat mewakili orang tua (ayahnya) sebab ia masuk anggota keluarga

    suaminya;

    4. Dalam adat, laki-laki dianggap anggota keluarga sebagai orang tua (ibu);

    5. Apabila terjadi perceraian, suami-isteri, maka pemeliharaan anak-anak menjadi tanggung jawab

    ayahnya. Anak laki-laki kelak merupakan ahli waris dari ayahnya baik dalam adat maupun harta

    benda.

    Di dalam pelaksanaan penentuan ahli waris dengan menggunakan kelompok keutamaan

    maka harus diperhatikan prinsip garis keturunan yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu.

    Pada umumnya masyarakat Bali menganut susunan kekeluargaan patrilinial, sehingga dalam

    hukum adat di Bali terdapat persyaratan-persyaratan sebagai ahli waris menurut I Gde Pudja

    adalah :

    1. Ahli waris harus mempunyai hubungan darah, yaitu misalnya anak pewaris sendiri.

    2. Anak itu harus laki-laki.

    3. Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak yang bukan sedarah yang karena hukum ia berhak

    menjadi ahli waris misalnya anak angkat.

    4. Bila tidak ada anak dan tidak ada anak angkat, hukum Hindu membuka kemungkinan adanya

    penggantian melalui penggantian atas kelompok ahli waris dengan hak keutamaan kepadakelompok dengan hak penggantian lainnya yang memenuhi syarat menurut Hukum Hindu13[13]

    Apabila suatu keluarga hanya mempunyai anak perempuan tanpa ada anak laki-laki maka

    anak perempuan itu dapat diangkat statusnya sebagai anak laki-laki (sentana rajeg) dengan cara

    perkawinan ambil laki, sehingga anak perempuan tersebut dapat menjadi sebagai ahli waris dari

    harta warisan orang tuanya. Anak angkat berdasarkan hukum waris adat di Bali dilakukan

    bilamana suatu keluarga tidak mempunyai keturunan, sehingga fungsi anak angkat itu sebagai

    penerus generasi atau keturunan, agar mantap sebagai penerus keturunan dan tidak ada keragu-

    13[13] I Gde Pudja Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran Hindu Dharma, Cetakan

    Keempat, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departeman Agama INDONESIA,

    (selanjutnya disingkat I Gde Pudja I) hlm. 42.

  • 5/24/2018 Makalah Hukum Waris Adat

    12/18

    raguan maka pengangkatan anak ini haruslah diadakan upacara pemerasan dan diumumkan di

    hadapan masyarakat.14[14]

    Upacara penggangkatan anak ini dimaksudkan untuk melepaskan anak itu dari ikatan atau

    hubungan dengan orang tua kandungnya dan sekaligus memasukkan anak itu ke dalam keluarga

    yang mengangkatnya. Dalam sistem hukum adat waris patrilineal, pewaris adalah seorang yang

    meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama

    dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan suku

    bersistem patrilineal, yang memakai marga itu berlaku keturunan patrilineal maka orang tua

    merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak laki-laki yang merupakan

    ahli waris dari orang tuanya.

    Sifat masyarakat patrilinial adalah masyarakat yang anggota- anggotanya menarik garis

    keturunan melalui garis bapak. Sifat kekeluargaan masyarakat adat ini disebut juga dengan

    masyarakat Unilaterial. Pada masyarakat unilaterial diperlakukan kawin jujur. Pola pembagian

    harta warisan masyarakat parental adalah :

    a. Yang berhak mewarisi hanyalah anak laki- laki

    b. Kakek, jika tidak memiliki anak laki- laki

    c. Saudara laki- laki, jika kakek tidak ada

    E. Hukum Waris Adat MatrilinialDi RI hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa atau kelompok etnik

    yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda, yang

    menjadi dasar dari sistem suku-suku bangsa atau kelompok-kelompok etnik. Masalahnya adalah,

    antara lain: Apakah ada persamaan antara hukum waris adat yang dianut oleh berbagai suku atau

    kelompok tersebut, dan apakah hal itu tetap dianut walaupun mereka menetap di luar daerah

    asalnya.15[15]

    Menguraikan system hukum adat waris dalam suatu masyarakat tertentu, kiranya tidak

    dapat terlepas dari system kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan.

    14[14]http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/5FHS1HUKUM/207711066/BAB%20II.pdf, hal. 17, 06-

    11-2013, 07.10 WIB

    15[15]Asri Thaher, S.H. Sistem Pewarisan dan Kekerabatan Adat Matrilinial. Tesis. Universitas

    Diponegoro. Semarang. Hal. 4

  • 5/24/2018 Makalah Hukum Waris Adat

    13/18

    Demikian pula halnya dengan system hukum adat waris dalam masyarakat matrilinial di

    Minangkabau, ini berkaitan erat dengan system kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari

    pihak ibu.

    Hukum waris menurut hukum adat Minangkabau senantiasa merupakan masalah yang

    aktual dalam berbagai pembahasan. Hal itu mungkin disebabkan karena kekhasannya dan

    keunikannya bila dibandingkan dengan system hukum adat waris dari daerah-daerah lain di

    Indonesia ini. Seperti telah dikemukakan, bahwa system kekeluargaan di Minangkabau adalah

    system yang menarik garis keturunan dari pihak ibu yang dihitung menurut garis ibu, yakni

    saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki

    maupun perempuan.

    Dengan system tersebut, maka semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari

    ibunya sendiri, baik untuk harta Pusaka Tinggi yaitu harta yang turun-temurun dari beberapa

    generasi, maupun harta pusaka rendah yang harta yang turun dari satu generasi.

    F. Hukum Waris Adat Parental/Bilateral

    Sistem parental ini di Ri dianut di banyak daerah, seperti: Jawa, Madura, Sumatera

    Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan

    Lombok. Berbeda dengan dua sistem kekeluargaan sebelumnya yaitu sistem patrilineal dan

    sistem matrilinial, sistem kekeluargaan parental atau bilateral ini memiliki ciri khas tersendiripula, yaitu bahwa yang merupakan ahli waris adalah anak laki-laki maupun anak perempuan.

    Mereka mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orangtuanya sehingga dalam proses

    pengalihan sejumlah harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dan

    anak perempuan mempunyai hak untuk diperlakukan sama. Tiga bentuk sistem kekeluargaan

    yang sangat menonjol senantiasa merupakan contoh pembahasan.

    Hal tersebut mungkin didasarkan pada pertimbangan, bahwa di antara ketiga sistem

    kekeluargaan itu perbedaannya sangat prinsipil karena seolah-olah sistem patrilineal merupakan

    kebalikan dari sistem matrilinial. Kemudian kedua sistemtersebut dirangkum oleh satu sistem

    yang mengambil unsur dari kedua sistem tersebut, yaitu sistem parental atau bilateral.

    Hukum warisan parental atau bilateral adalah memberikan hak yang sama antara pihak

    laki-laki dan pihak perempuan, baik kepada suami dan istri, serta anak laki-laki dan anak

    perempuan termasuk keluarga dari pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan. Ini berarti

  • 5/24/2018 Makalah Hukum Waris Adat

    14/18

    bahwa anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama-sama mendapatkan hak warisan dari

    kedua orang tuanya, bahkan duda dan janda dalam perkembangannya juga termasuk saling

    mewarisi.

    Bahkan proses pemberian harta kepada ahli waris khususnya kepada anak, baik kepada

    anak laki-laki maupun anak perempuan umumnya telah dimulai sebelum orang tua atau pewaris

    masih hidup. Dan sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat ini adalah individual

    artinya bahwa harta peninggalan dapat dibagi-bagikan dari pemiliknya atau pewaris kepada para

    ahli warisnya, dan dimiliki secara pribadi.

    Sifat sistem hukum kewarisan adat parental atau bilateral yang pada umumnya di pulau

    Jawa, termasuk Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta,

    sebenarnya dapat dilihat dari beberapa segi; pertama segi jenis kelamin, ini dapat dibagi dua

    kelompok, pertama kelompok laki- laki dan kelompok perempuan. Kedua segi hubungan antara

    pewaris dengan ahli waris. Dari segi ini juga ada dua kelompok pertama yaitu kelompok ahli

    waris karena terjadinya ikatan perkawinan suami dan istri. Kelompok kedua adalah kelompok

    hubungan kekerabatan, karena adanya hubungan darah ini ada tiga yaitu kelompok keturunan

    pewaris, seperti anak pewaris, cucu pewaris, buyut pewaris, canggah pewaris dan seterusnya ke

    bawah sampai galih asem. Kelompok asal dari pada pewaris, yaitu orang tua dari pewaris, seperti

    ayah dan ibu dari pewaris, kakek dan nenek pewaris, buyut laki-laki dan buyut perempuan

    pewaris, dan seterusnya ke atas dari pihak laki-laki dan perempuan. Dan kelompok ketiga adalahhubungan kesamping dari pewaris, seperti saudara-saudara pewaris, baik laki-laki maupun

    perempuan seterusnya sampai anak cucunya serta paman dan bibi seterusnya sampai anak

    cucunya, dan siwo atau uwa laki-laki dan perempuan sampai anak cucunya.

    Dalam sistem hukum warisan parental atau bilateral juga menganut keutamaan sebagai

    mana sistem hukum warisan matrilinial. Menurut Hazairin ada tujuh kelompok keutamaan ahli

    waris parental atau bilateral, artinya ada kelompok ahli pertama, kelompok ahli waris kedua,

    kelompok ahli waris ketiga dan seterusnya sampai kelompok ahli waris ketujuh. 16[16]

    Dimaksud kelompok keutamaan disini, ialah suatu garis hukum yang menentukan di

    antara kelompok keluarga pewaris, yang paling berhak atas harta warisan dari pewaris, artinya

    kelompok pertama diutamakan dari kelompok kedua dan kelompok kedua diutamakan dari

    16[16]http://www.kompasiana.com/posts/type/opinion/27 May 2013/ 12:16

  • 5/24/2018 Makalah Hukum Waris Adat

    15/18

    kelompok ketiga dan seterusnya. Sehingga kelompok-kelompok ini mempunyai akibat hukum,

    bahwa kelompok pertama menutup kelompok kedua, dan kelompok kedua menutup kelompok

    ketiga seterusnya sampai kelompok ketujuh. Berdasarkan uraian tersebut di atas, tampaknya

    hukum warisan parental itu tidak terlepas dari sistem kekerbatan yang berlaku, karena kelompok

    ahli waris itu menghitungkan hubungan kekerabatan malalui jalur laki-laki dan jalur perempuan.

    Sehingga kedudukan ahli waris laki-laki dan perempuan sama sebagai ahli waris

    Atas dasar kesamaan hak antara laki-laki dengan perempuan, sehingga perolehan harta

    warisannya tidak ada perbedaan, yaitu satu berbanding satu, maksudnya bagian warisan laki-laki

    sama dengan bagian perolehan perempuan. Namun dalam perkembangannya hukum warisan

    adat parental khususnya di Jawa kelompok laki-laki dengan kelompok perempuan bervariasi ada

    dua berbanding satu, artinya laki-laki mendapat bagian dua bagian dan perempuan mendapat satu

    bagian. Adanya variasi itu karena terpengaruh ajaran agama Islam, karena hukum warisan Islam

    perolehan harta warisan antara laki-laki dengan perempuan dua berbanding satu, artinya laki-laki

    mendapat duabagian, sedangkan perempuan mendapat satu bagian, (lihat Quran Surat An-Nisa

    ayat 11 dan 12).

    Dengan adanya perubahan perolehan harta warisan antara laki-laki dengan perempuan,

    ini membuktikan bahwa hukum warisan adat parental khususnya di Jawa telah mendapat resepsi

    dari hukum Islam, meskipun dalam praktek belum seluruhnya mayarakat merecepsi hukum

    warisan Islam.Sifat masyarakat parental adalah masyarakat yang anggota- anggotanya menarik garis

    keturunan melalui garis ibu dan garis bapak. Pola pembagian harta waris :

    1. Pertama, jika salah satu meninggal, harta warisan dibagi menjadi dua, yaitu harta benda asal

    ditambah setengah harta benda perkawinan. Ahli warisnya adalah :

    a. Semua anak- anaknya (laki- laki atau perempuan) dengan bagian sama rata,

    b. Bila tidak beranak, maka harta benda bersama jatuh pada yang masih hidup,

    c. Bila ada anak, maka harta asal jatuh pada famili yang tertua dari yang meninggal (orang tua),

    bila yang tertua tidak ada, harta asal jatuh pada ahliwaris kedua dari kedua orangtua tersebut

    (saudara laki- laki).

    2. Kedua, jika keduanya meninggal tanpa anak, harta benda bersama jatuh pada famili kedua belah

    pihak.

  • 5/24/2018 Makalah Hukum Waris Adat

    16/18

    III. PENUTUP

    A. Kesimpulan

    Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual. Hukum Waris

    Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak

    berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup atau setelah meninggal dunia kepada ahli

    warisnya. Harta waris adalah harta yang ditinggalkan atau yang diberikan oleh pewaris kepada

    warisnya, baik yang dapat dibagi maupun yang tidak dapat dibagi. Harta waris dapat dibagi

    dalam empat bagian, yaitu : harta asal, harta pemberian, harta pencaharian, hak dan kewajiban

    yang diwariskan.

    Di dalam sistem patrinial kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris

    sangat menonjol, contohnya pada masyarakat Batak dan Bali. Yang menjadi ahli waris hanya

    anak laki-laki.

    Dalam system matrilinial semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya

    sendiri baik untuk harta pusaka tinggi maupun untuk harta pusaka rendah. Jika yang meninggal

    itu adalah seorang laki-laki maka anak-anaknya dan jandanya tidaklah ahli waris mengenai harta

    pusaka tinggi, tetapi ahli warisnya adalah seluruh kemenakannya dari pihak laki-laki.

    Sistem kekeluargaan parental atau bilateral ini memiliki ciri khas tersendiri pula, yaitu

    bahwa yang merupakan ahli waris adalah anak laki-laki maupun anak perempuan. Mereka

    mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orangtuanya sehingga dalam prosespengalihan sejumlah harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dan

    anak perempuan mempunyai hak untuk diperlakukan sama. Berikut perbandingan tiga sistem

    kewarisan :

    No. Sistem Kewarisan Ciri-ciri Kelebihan Kekurangan

    1. Individual

    Harta peninggalan itu

    dibagi-bagikan

    kepemilik-annya

    kepada para waris

    Para waris dapat bebas

    mengusai dan memiliki

    harta warisan

    bagiannya tanpa

    dipengaruhi anggota-anggota keluarga yang

    lain

    Pecahnya harta warisan

    dan meregangnya tali

    kekerabatan.

    2. Kolektif

    Harta peninggalan

    diteruskan dan dialih-

    kan kepemilikan-nya

    dari pewaris kepada

    ahli waris sebagai

    kesatuan yang tidak

    Dapat terlihat apabila

    fungsi harta kekayaan

    itu diperuntukkan bagi

    kelangsungan harta

    anggota keluarga

    tersebut.

    menimbulkan cara

    berpikir yang terlalu

    sempit, kurang terbuka

    karena selalu

    terpancang pada

    kepentingan keluarga

  • 5/24/2018 Makalah Hukum Waris Adat

    17/18

    terbagi - bagi

    penguasaannya dan

    pemilikannya.

    saja

    3. Mayorat

    Harta peninggalan

    diwarisi keseluruhan-

    nya atau sebagian besar

    (sejumlah harta pokokdari suatu keluarga)

    oleh seorang anak saja.

    Terletak pada

    kepemimpinan anak

    tertua yang mengganti-

    kan kedudukan orangtuanya yang telah

    meninggal untuk

    mengurus harta.

    Tampak apabila anak

    tertua ini ternyata tidak

    mampu mengurus harta

    kekayaan orang tuanyaitu

  • 5/24/2018 Makalah Hukum Waris Adat

    18/18

    DAFTAR PUSTAKA

    Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam (Yogyakarta: UII Press,2005).

    Asri Thaher, S.H. Sistem Pewarisan dan Kekerabatan Adat Matrilinial. Tesis. Universitas Diponegoro.

    Semarang.

    Eman Suparman, Hukum Waris RI dalam Perspektif Islam Adat dan BW, (Bandung: Refika Aditama,

    2005).

    http://websiteayu.com/artikel/sistem-hukum-waris-adat2

    http://id.wikipedia.org/wiki/Patrilineal.

    http://library.upnvj.ac.id/pdf/5FHS1HUKUM/207711066/BAB%20II.pdf, hal. 17, 06-11-2013, 07.10

    WIB

    http://kompasiana.com/post/opiniI Gde Pudja Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran Hindu Dharma, Cetakan

    Keempat, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departeman Agama

    INDONESIA, (selanjutnya disingkat I Gde Pudja I).

    Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Mawaris (Bandung; Cv. Pustaka Setia,2009).

    Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012)