Makalah Hukum Tata Negara

31
MAKALAH HUKUM TATA NEGARA DOSEN PENGASUH : AGUS MULYAWAN,SH.MH Disusun Oleh: KELOMPOK I 1. ARDYA FIRGIAWAN EAA 110 017 2. BENY SUSANTO EAA 110 083 3. BIRMANTO EAA 110 033 4. ERIK SOSANTO EAA 110 039 5. FEBRIENRISKY EAA 110 065 6. FERRY ERYANDI.S EAA 110 021 7. FERSAN.A.V EAA 110 091 8. DJOKO PRATAMA EAA 110 019 9. PEBRIANDI EAA 110 015 10.PEBRIANTO EAA 110 043 FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS PALANGKA RAYA TAHUN 2011

Transcript of Makalah Hukum Tata Negara

MAKALAH

HUKUM TATA NEGARA

DOSEN PENGASUH : AGUS MULYAWAN,SH.MH

Disusun Oleh:

KELOMPOK I

1. ARDYA FIRGIAWAN EAA 110 017

2. BENY SUSANTO EAA 110 083

3. BIRMANTO EAA 110 033

4. ERIK SOSANTO EAA 110 039

5. FEBRIENRISKY EAA 110 065

6. FERRY ERYANDI.S EAA 110 021

7. FERSAN.A.V EAA 110 091

8. DJOKO PRATAMA EAA 110 019

9. PEBRIANDI EAA 110 015

10.PEBRIANTO EAA 110 043

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

TAHUN 2011

MAKALAH

KONTROVERSI PEMBENTUKAN PANWASLU KADA PROVINSI JAMBI AKIBAT

BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG 22 TAHUN 2007 TENTANG

PENYELENGGARAN PEMILU

DOSEN PENGASUH : AGUS MULYAWAN,SH.MH

Disusun Oleh:

KELOMPOK I

1. ARDYA FIRGIAWAN EAA 110 017

2. BENY SUSANTO EAA 110 083

3. BIRMANTO EAA 110 033

4. ERIK SOSANTO EAA 110 039

5. FEBRIENRISKY EAA 110 065

6. FERRY ERYANDI.S EAA 110 021

7. FERSAN.A.V EAA 110 091

8. JOKO PRATAMA EAA 110 019

9. PEBRIANDI EAA 110 015

10.PEBRIANTO EAA 110 043

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

TAHUN 2011

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-Nya dari Tuhan

Yang Maha Esa atas selesainya penyusunan makalah mengenai penyelenggaran pemilu di

Indonesia.

Makalah ini disusun berdasarkan sumber dari buku-buku dan sumber lainnya yang

berhubungan dengan penyelenggaran pemilu di Indonesia.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman dan

menambah wawasan bagi orang yang membacanya.

Penulis menyadari akibat keterbatasan waktu dan pengalaman penulis, maka tulisan ini

masih banyak kekurangan. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan

kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan penulisan ini.

Harapan penulis semoga tulisan yang penuh kesederhanaan ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak yang membacanya tentang penyelenggaran pemilu di Indonesia.

Palangka Raya, Mei 2011

Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2. Perumusan Masalah ................................................................................ 5

1.3. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 6

1.4. Metode Penulisan .................................................................................... 6

1.5. Manfaat Penulisan ................................................................................... 6

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 TH 2007 Tentang

Penyelenggaran pemilihan umum ........................................................... 7

2.2 Kontroversi Pembentukan Panwaslu kada provinsi jambi....................... 20

BAB 3 PENUTUP

3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 23

3.2. Saran ....................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu tujuan reformasi adalah mewujudkan Indonesia baru yang lebih

demokratis, dengan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Kedaulatan itu selama

ini berada tangan lembaga tertinggi negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR).

Namun diawal reformasi, kedaulatan rakyat justru berada ditangan partai politik.

Hegemoni partai melalui fraksinya di MPR / Dewan Pewakilan Rakyat (DPRD) /

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melukiskan betapa besar pengaruh partai

politik dapat menentukan calon presiden / wakil calon presiden, pejabat publik lainnya,

termasuk juga kepala daerah.

Kedaulatan rakyat boleh dikatakan hanya sebatas memberikan suara pada waktu

pemilu digelar, dengan mencoblos tanda gambar partai politik tertentu. Sesudah itu,

peralihan hak politik itu beralih ke tangan partai politik dan selanjutnya akan

menentukan wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR / DPRD berdasarkan sistem

nomor urut.

Namun jauh sebelumnya, Indonesia belum mengenal sistem pemilihan langsung oleh

rakyat. Konstitusi lebih menitik-beratkan pada sistem keterwakilan. Dimana anggota

legislatif yang terpilih pada pemilihan umum dan duduk di kursi MPR (DPR dan Utusan

Golongan) memiliki hak memilih dan dipilih sebagai presiden dan wakil presiden.

Ini sesuai dengan dasar negara, yakni Pancasila yang termaktub didalam Preambule

Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan kerakyatan yang dipimpin oleh

khidmat kebijaksanan dalam permusyawaratan / perwakilan. Perihal ini sesuai dengan

keinginan para pendiri Negara Republik Indonesia.

Setelah reformasi bergulir, sejak 1998, usaha untuk mengembalikan kedaulatan

ketangan rakyat dilakukan melalui amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945

dengan menambah beberap pasal sebagai berikut :

1. Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa MPR terdiri dari atas anggota DPR

dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dalam

undang-undang.

2. Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden

dipilih langsung dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

3. Pasal 18 Ayat (3) menengaskan bahwa pemerintah provinsi, daerah kabupaten, dan

kota memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

4. Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota

masing – masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara

demokratis.

5. Pasal 19 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa anggota DPR dipilih melalui

pemilihan umum.

6. Pasal 22C UUD 1945 Ayat (1) menegaskan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap

provinsi melalui pemilihan umum

Bicara soal pemilihan umum, Indonesia mengenal asas penyelenggaraan yang

dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun

sekali. Ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 22E Ayat (1) dan Ayat (5) bahwa dalam

penyelenggaraannya tidak lepas dari peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku

penyelenggara pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.

Menurut Rozali Abdulah, pemilu yang berkualitas dapat dilihat dari dua sisi, yakni

dari sisi proses dan hasilnya.Untuk mewujudkan itu, selaku penyelenggara, KPU jelas

dituntut untuk mampu melaksanakan hajatan lima tahunan itu dengan baik dan wajib

mentaati 12 asas penyelenggara pemilu.

Asas dimaksud antara lain mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggara

Pemilu,kepentingan umum,keterbukaan,proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas,

efisiensi, dan efektifitas.

Meskipun demikian, di dalam UUD 1945, konstitusi lebih mengenal KPU selaku

penyelenggara Pemilu. Namun pada prakteknya, pelaksanaan pemilu baik Pemilu DPR,

DPD dan DPRD atau yang kita sebut dengan istilah Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden

dan Wakil Presiden (Pilpres) maupun Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

(Pemilu Kada), dikenal juga lembaga Pengawas Pemilu (Panwaslu).

Meskipun tidak diatur secara tegas didalam konstitusi, keberadaan Panwaslu dilihat

dari aspek kelembagaan mempunyai kedudukan yang sama didalam penyelenggaraan

pemilu. Keduanya mitra dan saling bekerja sama dalam mewujudkan Pemilu yang

berkualitas. Bedanya, hanya pada tugas dan kewenangan.

KPU dapat diistilahkan selaku “even organizer” yang merencanakan, menyusun dan

menyelenggarakan hajatan pesta demokrasi lima tahunan, baik Pemilu Legislatif, Pemilu

Presiden maupun Pemilu Kada. Sementara Panwaslu lebih bertindak sebagai “wasit”

yang mengawasi jalannya pertandingan agar proses “permainan politik” yang

dilakukan para kandidat dan timnya tetap berada pada koridor hukum. Termasuk juga

kegiatan yang dilakukan KPU.

Uniknya lagi, sebelumnya, keberadaan kedua lembaga ini diatur oleh undang-undang

yang berbeda namun dengan tugas dan fungsi yang sama. Bila yang diselenggarakan

adalah Pileg, maka berlakulah Undang –undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Kemudian, apabila hajatan yang diselenggarakan adalah Pilpres, maka kedua

lembaga itu terikat pada Undang–undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan

Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Sementara, apabila yang digelar adalah Pemilu Kada, maka berlaku pula Undang –

undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam perjalanannya

telah dirubah sebanyak dua kali dan kini berlaku Undang-undang Nomor 12 Tahun

2008.

Mengerucut pada permasalahan Pemilu Kada, menurut kami menjadi semakin menarik

untuk dikupas apalagi berhubungan dengan keberadaan Pengawas Pemilu Kada

sebagaimana yang diatur didalam Undang–undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang

Penyelenggara Pemilu Umum.

Secara hiraki, lembaga pengawasan pemilu untuk pusat di kenal dengan istilah Badan

Pengawas Pemilu atau yang disingkat Banwaslu dan berkedudukan di Jakarta.

Meskipun bersifat adhoc, akan tetapi Banwaslu mempunya masa kerja hingga lima

tahun sama dengan KPU.

Sementara untuk di daerah, dikenal dengan istilah Panwaslu Provinsi dan

Kabupaten / kota. Kaitannya dengan Pemilu Kada, istilah yang digunakan adalah

Panwaslu Pemilu Kada Provinsi dan Panwaslu Kada Kabupaten/Kota.Keberadaan

lembaga ini sifatnya sama dengan dipusat. Akan tetapi, ia akan dibentuk paling lama

satu bulan menjelang tahapan Pemilu Kada dimulai dan dua bulan sejak dilantiknya

kepala daerah terpilih.

1.2 Perumusan Masalah.

Merujuk pada landasan filosofis berlakunya Undang – undang Nomor 22 Tahun 2007

tentang Penyelenggaran Pemilihan Umum bahwa pemilihan umum secara langsung oleh

rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan

negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-UndangDasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemikiran filosofis lainnya bahwa penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung,

umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil hanya dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh

penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan

akuntabilitas.

Perihal ini jelas ditegaskan dalam Pasal 22E Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945

bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur

dan adil setiap lima tahun sekali. Pada Ayat (5) pemilihan umum diselenggarakan oleh

suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.

Kemudian, berdasarkan penyelenggaraan pemilihan umum sebelumnya, diperlukan

penyempurnaan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur

penyelenggara pemilihan umum.

Bahwa penyempurnaan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang

mengatur penyelenggara pemilihan umum dimaksudkan untuk lebih meningkatkan 4

fungsi. Diantaranya perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi. Maka

diperlukan satu undang-undang yang mengatur penyelenggara pemilihan umum.

Seperti yang disampaikan sebelumnya, bahwa penyelenggaraan Pemilu Kada yang

berkualitas tidak terlepas dari peran Panwaslu Kada dalam melakukan fungsi

pengawasan. Maka dari itu, kita mencoba menguraikan lebih spesifik pada lembaga ini

kaitannya dengan kontroversi pembentukan Panwaslu Kada Provinsi Jambi akibat

berlakunya Undang - undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu

dari perspektif sejarah hukum.

Adapun pokok masalah yang akan dibahas pada bab selanjutnya antara lain :

1.Mengapa undan –undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaran

Pemilu diberlakukan.

2 Konflik dalam pembentukan Panwaslu Kada Provinsi Jambi dan pengaturan

penyelenggaraan Pemilu Kada yang baik dimasa mendatang.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk tiap individu agar mampu memahami

tentang pengaturan penyelenggaran pemilu di Indonesia.

1.4 Metode Penulisan

Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yang bersumber pada buku

dan situs internet.

1.5 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut :

a. Sebagai media untuk menambah wawasan.

b. Bahan referensi aktual .

c. Bahan bacaan dan pengetahuan

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah berlakunya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara

Pemilihan Umum.

Sebelum mengurai sejarah berlakunya Undang – undang Nomor 22 Tahun 2007

tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, ada baiknya kita uraikan terlebih dahulu

mengapa pentingnya hukum itu dikodifikasi untuk mengatur kehidupan dalam

masyarakat modern.

Mungkin untuk sebagian besar orang tentunya masih bertanya-tanya, apa itu hukum.

Untuk apa hukum itu diatur. Sejauh mana mengikatnya hukum terhadap prilaku dan

tindakan manusia dalam kehidupan beradab. Kenapa orang yang dianggap bersalah

dalam hukum mesti dijatuhi sanksi. Lantas siapa yang berhak membuat hukum itu

sehingga mengikat.

Dan ini akan ada kaitanya dengan mengapa sampai terjadinya kontroversi

pembentukan lembaga Pengawas Pemilu Kada di Provinsi Jambi guna mengawasi

jalannya pemilihan Gubernur Jambi Periode 2010–2015 pada Juni 2010 lalu.

Jika hukum diartikan sebagai keseluruhan peraturan-peraturan dimana tiap-tiap orang

yang bermasyarakat wajib mentaatinya. Sistem peraturan untuk menguasai tingkah laku

manusia dalam masyarakat atau bangsa yang dibuat dalam bentuk udang-undang,

ordonansi, atau peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah dan ditanda-tangani ke

dalam undang-undang.

Akan tetapi, pendefenisian hukum itu sendiri sepenuhnya mempunyai arti yang cukup

luas. Seperti yang dikatakan Imanuel Kant pada 150 tahun yang lalu. Ia berkata

“Noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von rech.” Pernyataan itu bila

diterjemahkan berbunyi, tidak seorang ahli hukum pun yang mampu membuat

defenisi tentang hukum.

Kemudian, menurut Profesor. Dr. Satjipto Rahardjo, SH dalam bukunya Ilmu

Hukum.kehadiran hukum dalam masyarakat diantaranya adalah untuk

mengintegrasikan dan mengkordinasikan kepentingan–kepentingan yang bisa

bertubrukan satu sama lain itu oleh hukum diintegrasikan sedemikian rupa sehingga

tubrukan – tubrukan itu bisa ditekan sekecil – kecilnya.

Namun dalam perjalannya, khususnya di Indonesia, telah terjadi perubahan sosial yang

mendasar dan mencakup berbagai bidang kehidupan dengan pergeseran nilai beserta

manifestasinya dalam sikap dan prilaku kemasyarakatannya, seperti yang juga terjadi

pada bangsa-bangsa lain.

Proses tersebut belum mencapai tahap pengendapan, belum memunculkan

keseimbangan baru yang mantap dan terintegrasi seperti yang dimaksud oleh teori

fungsionalistik tentang masyarakat dan perubahan sosial.

Kita sepakat dengan pendapat diatas, bahwasanya hukum itu dibentuk untuk mengatur

norma yang hidup dan berkembang ditengah masyarakat sehingga tingkah dan prilaku

tertata dan bertanggung jawab. Sejalan dengan itu, perkembangan hukum pun terjadi

didalam kehidupan sosial masyarakat sehingga mendorong diperlukannya suatu aturan

baru yang mampu mengakomodir tiap kepentingan yang ada didalam masyarakat.

Kaitannya dengan maksud kami diatas, berlakunya undang – undang Nomor 22 Tahun

2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, terutama kaitannya dengan pembentukan

Panwaslu Kada, tentunya tidak terlepas dari sejarah hukum sebelumnya.

Seperti yang digambarkan Prof. Dr. Emeritus Jhon Glissen dan Prof. Dr. Emeritus

Frist Gole dalam bukunya Sejarah Hukum Suatu Pengantar sebagai berikut :

“Hal ini dapat dilihat dari kesimpulan–kesimpulan atau dalil–dalil yang diturunkan

dari sejarah karenanya tidak dapat tiada adalah dalil–dalil atau hukum–hukum

perkembangan masyarakat, sebagaimana itu ditegaskan oleh Meskiewicz.

Hal tersebut dibenarkan pula bahwa perlu diihktiarkan agar atas dasar dalil–dalil

tersebut disusun prognosis–prognosis untuk masa depan. Namun untuk mencapai hal

tersebut, terutam menyangkut dalil–dalil atau hukum-hukum perkembangan sejarah,

kita harus bekerja dengan penuh kehati–hatian

Selain itu, kita harus mewaspadai bahwa karena ada ketidakmungkinan prinsipil untuk

melakukan suatu verifikasi yang serba lengkap, maka hukum – hukum perkembangan

sejarah, bahkan lebih banyak lagi daripada ilmu – ilmu pengetahuan alam, hanya

menghasilkan temuan – temuan sementara, yang tentunya perlu diuji kembali terhadap

kenyataan yang ada.

Di dalam kaitannya dengan sejarah, maka kenyataannya ini mempunyai dua sisi yakni,

pertama temuan – temuan baru hasil penelitian yang menyangkut masa lampau dan

kedua, pengamatan hal – ihkwal masa kini yang nyata.

Untuk lebih jelasnya maksud kami, maka akan diuraikan sejarah perjalanan

keberadaan

Pemilihan Umum di Indonesia berdasarkan tahun penyelenggaraannya, yang dikutip

dari www.kpu.go.id dan www.id.wikipedia.org, yang nantinya diyakini turut

mempengaruhi keberlakuan hukum terkait keberadaan lembaga pengawas pemilu.

Sejarah pemilu dimaksud dibagi dalam beberapa periode, sebagai berikut :

1. Periode Pemilu 1955

Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Diusianya

yang ke 10 tahun, Republik Indonesia mengadakan pemilu untuk menunjukan kepada

dunia bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi.

Sebetulnya, sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh

Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah masa itu sudah menyatakan

keinginannya untuk bisa menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946.

Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden

Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan

partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota

DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata

pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian

tentu bukan tanpa sebab.

Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu

1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih

anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota

Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan

diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada

Konstituante.

Meskipun masuk kategori sukses namun ditemukan sejumlah masalah. Terkait

keterlambatan penyelenggaraan maupun penyimpangan. Sumber penyebabnya antara

lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu lantaran belum tersedianya

perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat

rendahnya stabilitas keamanan negara.

Selain itu ada kesan adanya sikap keenganan dari pemerintah untuk

menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Disisi

lain, Indonesia masih dalam kondisi terlibat peperangan.

Pemerintah punya keinginan politik untuk menyelenggarakan pemilu. Misalnya

adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian

diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949

diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak

langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas

warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya

langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.

Kemudian pada paruh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari

Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu

sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi,

yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum

kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara

kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia

Serikat (RIS).

Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu

dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah

ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan

bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.

Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan

undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen

pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7

Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang

diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No.

27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang

mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.

Pemilu yang pertama kali boleh dikatakan berhasil diselenggarakan dengan

aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat

pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh

lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.

Peserta Pemilu periode ini memiliki kesadaran tinggi berkompetisi secara sehat.

Itu terlihat dari, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan

menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan

otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan

partainya.

Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang

menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Pemilu kali ini

dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota

Dewan Kons-tituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.

Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember

1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat

yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514.

Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan

PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang

kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam

pemilihan anggota DPR.

Akan tetapi, kaitannya dengan proses Pemilu Kada, era ini tidak mengenal

pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah. Bahkan proses pelaksanaan

Pemilu 1955 sama sekali tidak mengenal lembaga pengawas pemilu.

Ini juga dapat dilihat dari keberlakuan Undang – undang Darurat Republik

Indonesia Nomor 6 Tahun 1950 tentang Pembentukan Jabatan Gubernur Militer

Ibukota. Pada pasal 1 Ayat (1) menyebutkan adanya Gubernur Militer untuk Gewes

Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya dilangsungkan dengan sebutan "Gubernur Militer

Ibu Kota".

Pada Ayat (2), menyebutkan Gubernur Militer termaksud dalam ayat (1) pasal

ini merangkap jabatan Komandan Territorial di daerahnya. Pada Pasal 2, menyebutkan

Staatsblad 1940 No. 78 pasal 1 sub c ditambah kata-kata : "Gubernur Militer Ibu Kota

untuk Gewes Jakarta dan Daerah-daerah Sekitarnya".

Dan Pasal 3, menyebutkan Undang-undang darurat ini mulai berlaku pada

tanggal 27 Desember 1949 sejak saat pemulihan kedaulatan kepada Republik Indonesia

Serikat.

Undang – undang darurat ini pada Tahun 1955, juga mengalami perubahan

dengan dikeluarkannya 7 TAHUN 1955 tentang Penetapan UU Darurat No. 33 TAHUN

1950 untuk mencabut kembali UU Darurat Republik Indonesia Serikat No.6 Tahun

1950 tentang Pembentukan Jabatan Gubernur Militer Ibu Kota Sebagai Undang –

undang.

2. Periode Demokrasi Terpimpin.

Kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan pada lima tahun

berikutnya. Suksenya penyelenggaraan Pemilu 1955 hanya menjadi catatan emas

sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun berikutnya,

meskipun tahun 1958, Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.

Kemudian terjadi berubahan format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5

Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan menyatakan kembali ke UUD 1945

yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu

kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di

Indonesia, yang meminjam istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara

bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.

Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni

1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu

menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan

senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR

Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.

Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemilihan, memang

tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang

tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah

terkooptasinya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945,

MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan

presiden.

Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa

bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik,

ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang

kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun

menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat

menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini

adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan

lewat pemilihan berkala.

Periode ini juga sama sekali tidak ada Pemilihan Umum, Pemilu Kada, apalagi

lembaga Panwaslu. Akan tetapi, periode ini akan mengarah pada akan

diselenggarakannya Pemilu dua tahun berikutnya karena pada tahun 1969 telah

diberlakukannya Undang – undang Nomor 1969 tentang sususnan dan kedudukan MPR,

DPR dan DPRD (Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1970 Tanggal 17 Januari 1970).

3. Periode Orde Baru (Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997)

Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden

menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak

secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi.

Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa

diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh

Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan

dalam tahun 1971.

Sebagai pejabat presiden, Soeharto senantiasa menggunakan MPRS dan DPR-

GR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan

tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama.

Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971,

yang berarti setelah 4 tahun Soeharto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu

ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan

Presiden Soekarno.

UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR,

DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR

menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan

dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu

hampir tiga tahun.

Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa

para pejebat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada

Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut

menjadi calon partai secara formal.

Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak

kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun

merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan

seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta

Pemilu itu.

Kondisi ini menjadi catatan sejarah dimana banyaknya terjadi kecurangan yang

dilakukan oleh penyelenggara pemilu demi kepentingan penguasa, saat itu didominasi

Golkar. Kecurangan terjadi karena tidak adanya lembaga pengawas.

Kemudian, pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara

pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem

proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai

63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096

suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau

kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.

Penyelenggaraa pada Pemilu 1977 kurang lebih sama dengan periode 1971.

Bahkan kecurangan itu dilakukan secara masif dan keberadaan lembaga pengawas pun

belum ada. Akan tetapi keinginan untuk menggelar Pemilu yang berkualitas akan

dimulai pada periode 1982.

Akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan periode

sebelumnya, hasil Pemilu 1997 menjadi sorotan banyak pihak yang pada akhirnya

mereka melakukan aksi protes sehingga menimbulkan gerakan reformasi.

Gerakan yang mengingikan adanya perubahan guna penyempurnaan aturan

dasar, terkait tatanan Negara, Kedaulatan rakyat, HAM, Pembagian kekuasaan,

Kesejahteraan sosial, Eksistensi Negara demorasi dan Negara hukum dan hal-hal lain

sesuai dengan perkembangan anspirasi dan kebutuhan bangsa saat itu.

Dari data yang dirilis dari web resmi Banwaslu, menyebutkan Proses

pelaksanaan Pemilu 1955 sama sekali tidak mengenal lembaga pengawas pemilu.

Lembaga pengawas pemilu baru muncul pada Pemilu 1982, Pembentukan Panwaslak

Pemilu pada Pemilu 1982 dilatari oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan

manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu

1971.

Karena pelanggaran dan kecurangan pemilu yang terjadi pada Pemilu 1977 jauh

lebih masif. Protes-protes ini lantas direspons pemerintah dan DPR yang didominasi

Golkar dan ABRI. Akhirnya muncullah gagasan memperbaiki undang-undang yang

bertujuan meningkatkan „kualitas‟ Pemilu 1982.

Demi memenuhi tuntutan PPP dan PDI, pemerintah setuju untuk menempatkan

wakil peserta pemilu ke dalam kepanitiaan pemilu. Selain itu, pemerintah juga

mengintroduksi adanya badan baru yang akan terlibat dalam urusan pemilu untuk

mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Badan baru ini bernama Panitia

Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) yang bertugas mengawasi

pelaksanaan pemilu.

Dengan struktur, fungsi, dan mekanisme kerja yang baru, pengawas pemilu tetap

diaktifkan untuk Pemilu 1999. Namanya pun diubah dari Panitia Pengawas Pelaksana

Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) menjadi Panitia Pengawas Pemilihan Umum

(Panwaslu).

Namun pada periode ini juga belum dikenal istilah pemilihan Kepala Daerah

secara langsung sehingga penyelenggaraan Pemilu Kada yang membutuhkan peran

Panwaslu otomatis tidak ada.

4. Periode Reformasi

Awalnya, pada periode ini, Pemilu Kada belum dipilih secara langsung oleh

rakyat. Pasalnya, proses pemilihan masih melalui wakil rakyat di DPRD provinsi,

kabupaten dan kota.

Ini dapat dilihat dari Undang–undang Nomor 3 tahun 1999 Pasal 34 Ayat (1) yang

menyebutkan bahwa DPRD, sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah, merupakan

wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila.

Pada Ayat (2), DPRD mempunyai tugas dan wewenang memilih Gubemur/Wakil

Gubemur, Bupati/Wakil Bupati,dan Walikota/ Wakil Walikota, mengusulkan

pengangkatan dan pemberhentian Gubemur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan

Walikota/Wakil Walikota kepada Presiden.

Namun dalam perkembangannya, pada periode juga ini keberadaan lembaga

pengawas mulai dibahas. Dengan struktur, fungsi, dan mekanisme kerja yang baru,

pengawas pemilu tetap diaktifkan untuk Pemilu 1999. Namanya pun diubah dari Panitia

Pengawas Pelaksana Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) menjadi Panitia Pengawas

Pemilihan Umum (Panwaslu).

Perubahan terhadap pengawas pemilu baru dilakukan lewat UU No. 12/2003, yang

isinya menegaskan, untuk melakukan pengawasan Pemilu, dibentuk Panitia Pengawas

Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota,

dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.

Khusus Panwaslu Kada, berikut penulis uraikan dasar – dasar mengapa

penyelenggaraan Pemilu Kada dan Panwaslu diperlukan dalam melakukan tugas

pengawasan penyelenggaraan hajatan demokrasi lima tahunan itu.

Pertama, adanya Amandemen UUD 1945 hingga empat kali dari tahun 1998 –

2002

a. Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa MPR terdiri dari atas anggota DPR

dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dalam

undang-undang.

b. Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden

dipilih langsung dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

c. Pasal 18 Ayat (3) menengaskan bahwa pemerintah provinsi, daerah kabupaten, dan

kota memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

d. Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota

masing – masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara

demokratis.

e. Pasal 19 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa anggota DPR dipilih melalui

pemilihan umum.

f. Pasal 22C UUD 1945 Ayat (1) menegaskan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap

provinsi melalui pemilihan umum

Khusus kaitannya dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, meskipun tidak

disebutkan dipilih secara langsung, namun mengingat pelaksanaan pemilu lainnya

dipilih langsung oleh rakyat sebagai bentuk kedaulatan rakyat, maka penyelenggaraan

pemiliha kepala dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Dan kaitannya

dengan keseluruhan isi pada pasal 18 UUD 1945 yang menjelaskan adanya otonomi

daerah, maka dibentuklah Undang – undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah.

Dalam aturan itu tegas diatur tentang Pemilihan Kepala Daerah dan adanya

keberadaan Panwaslu Kada. Dilihat lembaga yang berwenang membentuk Panwaslu

Kada di daerah awalnya adalah DPRD hal itu sesuai dengan Pasal 52 Ayat (1) huruf i

yang menyebutkan bahwa DPRD memiliki tugas dan wewenang membentuk Panwaslu

Kada.

Sebagai catatan, keberadaan Panwaslu provinsi, kabupaten / kota juga diakui

didalam Undang – undang Pemiihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD serta

Undang – undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Namun untuk lebih meningkatkan peran KPU dan Panwaslu selaku

penyelenggaran dan pengawas Pileg, Pilpres dan Pemilu Kada dan dalam

perkembangannya, dibutuhkan suatu aturan yang khusus mengatur tentang

penyelenggara pemilu.

Hal itu dapat dilihat dari landasan filosofis berlakunya Undang – undang Nomor 22

Tahun 2007 tentang Penyelenggaran Pemilihan Umum bahwa pemilihan umum secara

langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna

menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan

Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemikiran filosofis lainnya bahwa penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung,

umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil hanya dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh

penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan

akuntabilitas.

Perihal ini jelas ditegaskan dalam Pasal 22E Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945

bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur

dan adil setiap lima tahun sekali. Pada Ayat (5) pemilihan umum diselenggarakan oleh

suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.

Kemudian, berdasarkan penyelenggaraan pemilihan umum sebelumnya, diperlukan

penyempurnaan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur

penyelenggara pemilihan umum.

Bahwa penyempurnaan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang

mengatur penyelenggara pemilihan umum dimaksudkan untuk lebih meningkatkan 4

fungsi. Diantaranya perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi. Maka

diperlukan satu undang-undang yang mengatur penyelenggara pemilihan umum, dan

dalam hal ini erat kaitannya dengan pembentukan Panwaslu Kada Provinsi Jambi.

2.2 Kontroversi pembentukan Panwaslu Kada Provinsi Jambi

Merujuk pada Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang –

Undang Nomor 32 Tahun 2004, maka huruf i pada Pasal 52 Ayat (1) dihapus.

Dengan demikian belum diketahui siapa yang berwenang membentuk Panwaslu Kada.

Namun dengan berlakunya Undang – undang Nomor 22 Tahun 2007, yang

keberadaannya diharapkan dapat lebih tegas dalam pengaturan terkait penyelenggara

pemilu, jelas menggambarkan bahwa Pemilu Kada diselenggarakan oleh Komisi

pemilihan umum(KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh

Panitia pengawasan pemilihan umum(Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu

Kabupaten/Kota.

Untuk diketahui, khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, kegiatan yang sama

diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia

pengawas pemilihan aceh(Panwaslih Aceh) dengan aturan yang berbeda.

Atas dasar undang–undang diatas, menggambarkan bahwa kedua lembaga itu

memiliki hubungan kemitraan yang sejajar. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, terutama

terkait dengan pembentukan Panwaslu Kada Provinsi Jambi, justru terbalik.

Kenapa bisa demikian, karena dalam Pasal 93 Undang – undang Nomor 22 Tahun

2007 mengatur tegas bahwa calon anggota Panwaslu Provinsi diusulkan oleh KPU

Provinsi kepada Bawaslu sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ditetapkan dengan

keputusan Bawaslu sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Provinsi terpilih

setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan.

Sementara, pihak Panwaslu Kada, yang notabene sebelumnya bertugas sebagai

Panwaslu Pileg dan Pilpres dan belum berakhir masa tugasnya, sementara pelaksanaan

Pemiulu Kada Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi Periode 2010–2015mulai

memasuki tahapan pelaksanaan di pertengahan tahun 2009 lalu,menimbulkan gejolak

diantara kedua lembaga tersebut.

Banwaslu pusat, melihat dengan banyaknya agenda Pemilu Kada hampir di 245 daerah

di Indonesia dalam waktu yang bersamaan, sehingga menimbulkan kesulitan untuk

melakukan fit and propertes daftar nama yang diusulkan KPU sebagai calon Panwaslu

Kada mengambil inisiatif untuk menentapkan kembali anggota Panwaslu Pileg dan

Pilpres menjadi Panwaslu Kada.

Hal itu dapat dilihat dengan dikeluarkannya Keputusan Banwaslu Nomor 15 Tahun

2009 pada Pasal 39A Ayat (1) yang menyebutkan bahwa Banwaslu dapat menetapkan

anggota Panwaslu Provinsi dan Kabupaten / kota pada Pileg dan Pilpres tahun 2009

yang masih memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai anggota Panwaslu Kada pada

Pemilu Kada yang digelar pada tahun 2009 dan 2010.

Karena ini bukan saja menjadi persoalan di Provinsi Jambi semata, tapi juga persoalan

nasional, maka lahir pula kesepakatan diantara kedua lembaga itu melalui surat edaran

bersama yang menghasilkan kesepakatan bahwa apabila penyelenggaraan pemilu kada

digelar pada tahun 2009 dan 2010, menjelang berakhirnya masa jabatan gubernur/

bupati/walikota dan KPU belum merekrut dan mengusulkan calon anggota

Panwaslu ke Banwaslum, maka Banwaslu berwenang menetapkan anggota Panwaslu

Pileg–Pipres sebagai Panwaslu Kada. Sisanya dikembalikan pada mekanisme yang

ada.

Menurut pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Jambi, Zarkasi, SH, MH,

penegasan penolakan KPU terhadap proses yang dilakukan oleh Bamwaslu atas

penetapan calon anggota Panwaslu yang dinilai telah menabrak aturan tentang

penyelenggara pemilu, sudah sesuai dengan rule of law. Harusnya proses tersebut tetap

melalui KPU meskipun limit waktu mendesak dan jumlah Pemilu Kada banyak terjadi

ditempat lain. Ada pertentangan norma disana terkait dengan perekrutan calon Panwaslu

Kada Provinsi Jambi hingga kabupaten / kota.

meskipun pengaturan tentang lembaga pengawas ini sudah diberlakukan namun

dalam pelaksanaannya, kerap menimbulkan benturan hukum yang pada akhirnya hukum

dikesampingan untuk kepentingan yang bersifat politis.

ini sejalan dengan pandangan Moh. Mahfud MD, yang mengatakan secara teoritis

hubungan antara hukum dan politik memang dapat dibedakan atas tiga macam

hubungan. Pertama sebagai das sollen, hukum determinan atas politik karena setiap

agenda politik tunduk pada aturan–aturan hukum.

Kedua, sebagai das sein, politik determinan atas hukum–hukum karena dalam

faktanya, hukum adalah produk politik sehingga hukum apapun yang ada didepan kita tak

lain merupakan kristalisasi dari kehendak – kehendak politik yang saling bersaing.

Ketiga, politik dan hukum berhubungan secara interdeterminan karena politik tanpa

hukum akan zalim. Sedangkan hukum tanpa tanpa pengawalan politik akan lumpuh.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Membicarakan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia tidak lengkap

kalau tidak membahas Pengawas Pemilu, atau Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwas

Pemilu) atau dalam bahasa sehari-hari biasa cukup disebut Panwas. Menurut undang-undang

pemilu, Panwas Pemilu sebetulnya adalah nama lembaga pengawas pemilu tingkat nasional atau

pusat. Sedang di provinsi disebut Panwas Pemilu Provinsi, di kabupaten/kota disebut Panwas

Pemilu Kabupaten/Kota, dan di kecamatan disebut Panwas Pemilu Kecamatan.

Pengawas Pemilu adalah lembaga adhoc yang dibentuk sebelum tahapan pertama pemilu

(pendaftaran pemilih) dimulai dan dibubarkan setelah calon yang terpilih dalam pemilu dilantik.

Lembaga pengawas pemilu adalah khas Indonesia, dimana Pengawas Pemilu dibentuk untuk

mengawasi pelaksanaan tahapan pemilu, menerima pengaduan, serta menangani kasus-kasus

pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana pemilu.

Proses pelaksanaan Pemilu 1955 sama sekali tidak mengenal lembaga pengawas pemilu.

Lembaga pengawas pemilu baru muncul pada Pemilu 1982. Pembentukan Panwaslak Pemilu

pada Pemilu 1982 dilatar-belakangi oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan

manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu 1971.

Karena pelanggaran dan kecurangan pemilu yang terjadi pada Pemilu 1977 jauh lebih

masif. Protes-protes ini lantas direspons pemerintah dan DPR yang didominasi Golkar dan

ABRI. Akhirnya muncullah gagasan memperbaiki undang-undang yang bertujuan meningkatkan

„kualitas‟ Pemilu 1982.

Demi memenuhi tuntutan PPP dan PDI, pemerintah setuju untuk menempatkan wakil

peserta pemilu ke dalam kepanitiaan pemilu. Selain itu, pemerintah juga mengintroduksi adanya

badan baru yang akan terlibat dalam urusan pemilu untuk mendampingi Lembaga Pemilihan

Umum (LPU). Badan baru ini bernama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum

(Panwaslak Pemilu) yang bertugas mengawasi pelaksanaan pemilu.

Dengan struktur, fungsi, dan mekanisme kerja yang baru, pengawas pemilu tetap

diaktifkan untuk Pemilu 1999. Namanya pun diubah dari Panitia Pengawas Pelaksana Pemilihan

Umum (Panwaslak Pemilu) menjadi Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu).

Berdasarkan Undang – undang Nomor 22 tahun 2008 tentang Penyelenggara Pemilihan

Umum dikenal dengan istilah Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) adalah badan yang

bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia dengan jumlah anggota Bawaslu sebanyak 5 (lima) orang.

Seblumnya, Perubahan terhadap pengawas pemilu baru dilakukan lewat UU No. 12 tahun

2003, yang isinya menegaskan, untuk melakukan pengawasan Pemilu, dibentuk Panitia

Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota,

dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.

Kemudian, terkait dengan Pemilu Kada, berlaku juga Undang – Undang Nomor 32 Tahun

2004 yang kemudian dirubah dengan Undang – undang Nomor 12 Tahun 2007.

Persoalan Pemilu Kada, khususnya pembentukan Panwaslu Kada masih bermasalah. Mulai

dari pembentukan, hingga kewenangan melakukan pengawasan. Bahkan posisi Panwaslu Kada

sangat lemah dalam menegakan hukum disetiap terjadinya pelanggaran.

Selain itu, pengawas kerap dibentuk setelah memasuki masa tahapan pemilu kada,

sehingga banyak tahapan pemilu kada yang luput dari pantauan sehingga dapat mengurangi

kualitas penyelenggaraan dan hasilnya.

3.2 Saran

Untuk itu, kita menyarangkan agar kedepan ada aturan yang lebih tegas tentang peran dan

fungsi Panwaslu Kada. Bila perlu, pengawas diberi kewenangan untuk melakukan eksekusi atas

perbuatan melanggar hukum yang dilakukan kandidat kepala daerah maupun tim suksesnya.

Bahkan kita mengaharapkan juga agar Panwaslu Kada tidak lagi dijadikan lembaga adhoc,

mengingat pentinganya peran mereka dalam melakukan pengawasan sehingga menghasilkan

Pemilu Kada yang berkualitas.

Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak dan rekan-rekan

kelompok 1 yang telah bekerjasama dalam menyelesaikan makalah ini sehingga selesai tepat

pada waktunya.

DAFTAR PUSTAKA

Undang – undang Dasar 1945

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang – undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang – undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang – undang Nomor

12 tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Menjadi Undang – undang.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden

Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilu

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1949 tentang Pemilu

Undang-undang Nomor 27 Tahun 1948 tentang Pemilu

Prof. Rozali Abdullah, SH, Pemilihan Umum : Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan Hukum dan

Kedaulatan Hakim, dalam Jurnal Konstitusi P3KP Fakultas Hukum Universitas Jambi,

Mahkamah Konstitutsi, Jakarta, 2009, Hal 7 – 9.

Drs. M, Marwan, Sh dan Jimmy P, SH, Kamus Hukum - Dictionary of Law Complete Edition,

Reality Publisher, Surabaya, 2009, Hal 258.

Prof. (EM.) DR. H. Lily Rasjidi, SH, S.Sos, LL.M dan Ira Thania Rasjidi, SH, MH, CELCS(M),

Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2010, hal 38.

Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2006, Hal 53 – 54.

SKM Media Jambi, Tarik Menarik Soal Rekruitmen Anggota Panwaslu Provinsi Jambi, CV.

Tujuh Sepakat Jambi, Jambi, 2009, Edisi 366.

www.Id.wikipedia.org.

www.banwaslu.go.id

www.kbriwina.at

www.kpu.go.id