Makalah HIV Fix
-
Upload
fryco7nanda -
Category
Documents
-
view
78 -
download
4
Transcript of Makalah HIV Fix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
HIV/AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan salah satu masalah
kesehatan yang sedang dihadapi masyarakat dunia akhir-akhir ini. Saat ini tidak ada negara
yang terbebas dari HIV (Human Immunodeficiency Virus) maupun AIDS. HIV/AIDS
menyebabkan krisis multidimensi yaitu krisis kesehatan, pembangunan negara, ekonomi,
pendidikan maupun kemanusiaan (Djoerban, Djauzi. 2006).
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS) telah menjadi pendemi yang mengkhawatirkan, karena disamping belum
ditemukan obat dan vaksin untuk pencegahan, penyakit ini juga memiliki window period dan
fase asimptomatik yang relatif panjang sehingga menyebabkan iceberg phenomenon.
Jumlah penduduk global yang tertular HIV berdasarkan WHO (2006) berjumlah 46,7 juta
jiwa. Sedangkan di Indonesia sendiri jumlah orang yang terinfeksi HIV diperkirakan
mencapai 130.000 jiwa, dengan kasus terbanyak terjadi pada laki-laki (DepKes, 2006).
Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami peningkatan kasus tertinggi.
Pada akhir tahun 1996, kasus HIV/AIDS yang tercatat di Depkes RI pusat (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia) berjumlah 501 orang, terdiri dari 119 kasus AIDS dan 382
HIV yang dilaporkan dari 19 propinsi (Ditjen PPM & PL Depkes RI. 2010).
Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan sesara resmi oleh Departemen
Kesehatan tahun 1987 yaitu pada seorang warga negara Belanda di Bali. Sebenarnya
sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985 yang secara klinis sangat
sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa tiga kali diulang menyatakan hasil
positif.Hanya, hasil tes Western Blot, yang saat itu dilakukan di Amerika Serikat, hasilnya
negative sehingga tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS. Kasus kedua infeksi HIV ditemukan
pada bulan Maret 1986 di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemophilia dan termasuk
jenis non – progesor, artinya kondisi kesehatan dan kekebalanya cukup baik selama 17
tahun tanpa pengobatan, dan sudah dikonfirmasi dengan Western Blot, serta masih berobat
jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2002 (Ditjen PPM, 2003).
Pada penderita HIV AIDS sering terdapat infeksi oportunistik akibat gangguan sistem
kekebalan tubuh. Salah satu infeksi paling sering adalah jamur. Spesies jamur yang paling
sering dijumpai pada penderita immunocompromise yaitu infeksi candida. Jamur candida
1
merupakan flora mikrobial normal rongga mulut, saluran pencernaan dan vagina, bersifat
invasif/patogen bila daya tahan host menurun. Infeksi jamur ini umumnya terjadi di daerah
mukokutaneus, tetapi dapat pula terjadi pada organ lain di dalam tubuh seperti esofagus,
ginjal, hati, jantung, mata, otak dan paru. Salah satu yang terjadi pada penderita HIV yaitu
Candidiasis esophageal yang merupakan infeksi jamur candidiasis pada esofagus.
Candidiasis esophageal dapat menyebabkan penderita mengalami nyeri menelan dan
tenggorokan terasa menyempit sehingga mempengaruhi nafsu makan penderita. Infeksi
jamur tersebut harus segera diatasi karena dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pada orang dengan gangguan sistem kekebalan tubuh (Laila, 2010).
Selain candidiasis, infeksi oportunistik lain yang sering menginfeksi pasien dengan
HIV/AIDS adalah TB paru. Resiko peningkatan angka kejadian tuberkulosis (TB) diestimasi
sekitar 20-37 kali lebih tinggi pada pasien yang memiliki HIV daripada yang tidak terinfeksi
HIV. Pada 2009, terdeteksi sekitar 9,4 juta kasus baru TB, dimana 1,2 juta diantaranya
mengidap HIV. Dari 1,7juta orang yang meninggal karena TB, 400.000 diantaranya hidup
dengan HIV. TB adalah penyebab morbiditas dan mortalitas tertinggi pada pasien yang
terinfeksi HIV. (WHO. 2011)
Dari uraian di atas, maka penting bagi kita untuk mengenali gejala HIV / AIDS
secara dini terutama bagi para klinisi, oleh karena itu pada responsi kasus kali ini, kami akan
membahas diagnosis dan penatalaksanaan HIV / AIDS yang disertai Tuberculosis Paru.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana cara untuk menegakkan diagnosa dan penatalaksanaan HIV / AIDS
dengan Tuberkulosis Paru ?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui cara menegakkan diagnosa dan dan penatalaksanaan HIV / AIDS
dengan Tuberkulosis paru.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
HIV termasuk dalam gologan retrovirus berarti virus yang mengunakan sel tubuhnya
sendiri untuk memproduksi kembali dirinya dan memiliki double strand RNA, berbentuk
icosahedral dengan diameter 100nm. Pada bagian envelopenya tersusun atas membran lipid
dan glikoprotein (gp120 dan gp 41). HIV juga memiliki enzim yang memilki fungsi penting
dalam proses terjadinya infeksi HIV pada manusia antara lain reverse transkriptase, protese,
dan integrase yang terlindung didalam kapsid yang tersusun atas p17 protein matriks
(Universitas Brawijaya, 2004).
Gambar 2.1 Morfologi HIV (Abbas, 2004)
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan
gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh
3
virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk family retroviridae. AIDS
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV (Djoerban, Djauzi, 2006)
2.2 Epidemiologi
Penularan HIV / AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV
yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik
pada penggunaan narkotika, transfuse komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke
bayi yang dilahirkanya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV / AIDS misalnya
pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan pelangganya serta narapidana (Djoerban,
Djauzi, 2006).
2.3 Patogenesis
Gambar 2.3.1 Proses terjadinya infeksi HIV (Siregar, 2004)
HIV merupakan virus retro yang menginfeksi sistem imun terutama sel CD4+ dan
menimbulkan destruksi sel tersebut. Pertama-tama virus akan menginfeksi sel dengan
glikoprotein envelope yang disebut gp120 (120kD glikoprotein) yang berikatan dengan sel
CD4+ maupun resptor kemokin (CXCR4 dan CCR5) dari sel manusia (Baratawidjaja, 2004).
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas
terhadap molekul permukaan CD4+. Limfosit CD4+ berfungsi mengoordinasikan sejumlah
fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respons
imun yang progresif (Djoerban, 2006).
4
Setelah terjadi ikatan antara gp120 dengan sel CD4+, gp41 akan membantu fusi
antara HIV dengan membran sel dengan ikatan yang dibentuk dengan koreseptor sehingga
virus dapat masuk ke dalam sel. Saat di dalam sel envelope dari HIV akan dilepas oleh
protease virus dan RNA menjadi bebas. Selanjutnya enzim reverse transkriptase akan
merubah RNA menjadi produk DNA yang akan diintegrasikan dalam genom sel inang.
Dalam bentuk provirus ini, genom virus akan mengarahkan produksi partikel virus baru
(Dzen, et al. 1993; Campbell, et al., 1987; Baratawidjaja, 2004).
Setelah virus berdifusi dengan lomfosit CD4+, maka berlangsung serangkaian
proses kompleks yang, apabila berjalan lancar, menyebabkan terbentuknya partikel -
partikel virus baru dari sel yang terinfeksi. Limfosit CD4+ yang terinfeksi mungkin tetap laten
dalam keadaan provirus atau mungkin mengalami siklus - siklus replikasi sehingga
menghasilkan banyak virus. (Price, et.al., 2005).
Beberapa mekanisme yang mengakibatkan penekanan sistem imun pada infeksi HIV
masih belum diketahui, namun diduga sebagai berikut: 1) sel tersebut secara langsung
dibunuh oleh virus; 2) adanya interaksi yang diperantarai oleh HIV menginduksi sel T
mengalami apoptosis, yang juga penting dalam fungsi kekebalan normal; 3) sel TH mudah
diserang oleh sel T; 4) penggantian sel T yang lemah menyababkan penghancuran pada
timus dan nodus limfatikus; 5) kegagalan APC dalam mempresentasikan antigen akibat
terjadinya infeksi DCs (Campbell, et al., 1987; Mikrobiologi FKUB, 2007).
5
Gambar 2.2 Patogenesis HIV (Yayasan Spirita, 2009)
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara umum
dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun sampai ke level “steady
state”. Walaupun antibody ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan
infeksi virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari
netralisasi oleh antibodi dengan melakukan adaptasi pada amplopnya, termasuk
kemamuannya mengubah situs glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah
sehingga netralisasi yang diperantarai antibody tidak dapat terjadi (Djoerban, et al., 2006).
6
Gambar 2.3.2 Manifestasi klinik AIDS (WHO, 2010)
2.4 Diagnosis HIV / AIDS
Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan
laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi atau
pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh. Diagnosis AIDS untuk
kepentingan surveilance ditegakkan apabila terdapat infeksi oportunistik atau limfosit CD4+
kurang sari 200/mm3(Djoerban, et al., 2006).
Tabel 2.4.1 Cara menentukan diagnosis dini infeksi HIV berdasarkan riwayat dan
pemeriksaan fisik (WHO, 2010)
7
2. 4. 1 Infeksi Oportunistik / Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis AIDS
Cytomegalovirus (CMV) (selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening)
CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
Ensefalopati HIV (a)
Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau esofagitis
Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
Isosporiasis, dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan)
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esophagus
Kanker serviks invasive
Koksidiodomikosis, diseminata atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptosporidiosis, dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan)
Leukoensefaloapti multifocal progresif
Limfoma, Burkitt
Limfoma, imunoblastik
Limfoma, primer pada otak
Mikrobakterium avium kompleks atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu
Mikobakterium tuberculosis, paru atau ekstraparu
Mikobakterium, spesies lain atau spesies yang tidak dapat teridentifikasi, diseminata atau
ekstrapulmoner
Pneumonia Pneumcystis carinii
Pneumonia rekuren (b)
Sarkoma Kaposi
8
Septikemia Salmonella rekuren
Toksoplasmosis otak
Wasting syndrome (c)
NB :
(a) Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang menggangu kerja
atau aktivitas sehari – hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab lain selain infeksi HIV.
Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan pemriksaan lumbal punksi dan pemeriksaan
pencitraan otak (CT Scan atau MRI)
(b) Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun
(c) Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10 % ditambah diare kronik (minimal 2 kali
selama > 30 hari, intermitten atau konstan), tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit / kondisi
lain (mis : kanker, tuberculosis, enteritis spesifik) selain HIV
Untuk keperluan surveilans epidemiologi seorang dewasa ( < 12 tahun ) dianggap
menderita AIDS apabila menunjukkan tes HIV positif dengan strategi pemeriksaan yang
sesuai dan sekurang – kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dan 1 gejala minor dan gejala
– gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan – keadaan lain yang tidak berkaitan dengan HIV
:
1. Gejala Mayor : Berat badan menurun > 10 % dalam 1 bulan, diare kronis yang
berlangsung lebih dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, penurunan
kesadaran dan gangguan neurologis, demensia atau HIV ensefalopati.
2. Gejala Minor : Batuk menetap lebih dari 1 bulan, dermatitis generalisata yang gatal,
adanya herpes zoster multisegmental dan atau berulang, kandidiasis oro – faringeal, herpes
simpleks kronis progresif, limfadenopati generalisata, infeksi jamur berulang pada alat
kelamin perempuan
2.5 Tes HIV
Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah seseorang
terinfeksi HIV sangatlah penting, karena pada infeksi HIV gejala klinisnya dapat baru terlihat
setelah bertahun – tahun lamanya.Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk
memastikan diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi :
1. Pemeriksaan serologic untuk mendeteksi adanya antibody terhadap HIV
2. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV.
9
Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus,
deteksi antigen, dan deteksi materi genetic dalam darah pasien (UNAIDS,1997).
Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibody
HIV. Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik :
1. ELISA ( enzyme – linked immunosorbent assay )
2.Aglutinasi atau dot – blot immunobinding assay.
Metode yang biasa digunakan di Indonesia adalah dengan ELISA (UNAIDS,1997)
Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus
mendapatkan konseling pra tes.Hal ini harus dilakukan agar ia mendapatkan informasi
yang sejelas – jelasnya mengenai infeksi HIV / AIDS sehingga dapat mengambil keputusan
yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap menerima apapun hasil tesnya nanti. Untuk
keperluan survey tidak diperlukan konseling pra tes karena orang yang dites tidak akan
diberitahu hasil tesnya (UNAIDS,1997).
Untuk memberitahu hasil tes juga diperluakn konseling pasca tes, baik hasil tes
positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan informasi mengenai pengobatan
untuk memperpanjang masa tanpa gejala serta cara pencegahan penularan. Jika hasilnya
negative, konseling tetap perlu dilakukan untuk memberikan informasi bagaimana
mempertahankan perilaku yang tidak berisiko (UNAIDS,1997).
2.6 Stadium Klinis HIV/AIDS
WHO telah menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS untuk dewasa maupun anak dimana
stadium klinis HIV/AIDS masing-masing terdiri dari 4 stadium. Jika dilihat dari gejala yang
terjadi pembagian stadium klinis HIV/AIDS adalah sebagai berikut (WHO. 2009):
Stadium 1
- Asymptomatic
- Persistent generalized lymphadenopathy
Stadium 2
- Moderate unexplained weight loss (under 10% of presumed or measured body
weight)
- Recurrent respiratory tract infections (sinusitis, tonsillitis, otitis media, pharyngitis)
- Herpes zoster
- Angular cheilitis
- Recurrent oral ulcerations
- Papular pruritic eruptions
- Seborrhoeic dermatitis
- Fungal nail infections
10
Stadium 3
- Unexplained severe weight loss (over 10% of presumed or measured body
weight)
- Unexplained chronic diarrhoea for longer than 1 month
- Unexplained persistent fever (intermittent or constant for longer than 1 month)
- Persistent oral candidiasis
- Oral hairy leukoplakia
- Pulmonary tuberculosis
- Severe bacterial infections (e.g. pneumonia, empyema, meningitis, pyomyositis,
bone or joint infection, bacteraemia, severe pelvic inflammatory disease)
- Acute necrotizing ulcerative stomatitis, gingivitis or periodontitis
- Unexplained anaemia (below 8 g/dl ), neutropenia (below 0.5 x 109/l) and/or
chronic thrombocytopeni
- Antiretroviral therapy for HIV infection in adults and adolescents
- Recommendations for a public health approach
Stadium 4
- HIV wasting syndrome
- Pneumocystis jiroveci pneumonia
- Recurrent severe bacterial pneumonia
- Chronic herpes simplex infection (orolabial, genital or anorectal of more than 1
month’s duration or visceral at any site)
- Oesophageal candidiasis (or candidiasis of trachea, bronchi or lungs)
- Extrapulmonary tuberculosis
- Kaposi sarcoma
- Cytomegalovirus disease (retinitis or infection of other organs, excluding liver,
spleen and lymph nodes)
- Central nervous sistem toxoplasmosis
- HIV encephalopathy
- Extrapulmonary cryptococcosis including meningitis
- Disseminated nontuberculous mycobacteria infection
- Progressive multifocal leukoencephalopathy
- Chronic cryptosporidiosis
- Chronic isosporiasis
- Disseminated mycosis (histoplasmosis, coccidiomycosis)
- Recurrent septicaemia (including nontyphoidal Salmonella)
- Lymphoma (cerebral or B cell non-Hodgkin)
11
- Invasive cervical carcinoma
- Atypical disseminated leishmaniasis
- Symptomatic HIV-associated nephropathy or HIV-associated cardiomyopathy
2.8 Penatalaksanaan
HIV / AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun,
data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pengobatan
denagn kombinasi beberapa obat anti HIV ( obat anti retroviral, disingkat obat ARV )
bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Orang dengan
HIV / AIDS menjadi lebih sehat, dapat bekerja normal dan produktif.Manfaat ARV dicapai
melalui pulihnya sistem kekebalan akibat HIV dan pulihnya kerentanan odha terhadap
infeksi oportunistik.
Terapi untuk infeksi HIV/AIDS meliputi penatalaksanaan secara fisik,
psikologis, sosial dan medik. Penatalaksanaan medik meliputi: 1) pengobatan suportif,
dengan pemberian nutrisi dan vitamin yang cukup makupun psikoterapi; 2) pencegahan serta
pengobatan infeksi oportunistik dan kanker; 3) pemberian imunomodulator, dengan
menggunakan interferon maupun levamisol; dan 4) pengobatan antiretroviral, pemberian
antiretroviral diberikan baik saat asimtomatik maupun dengan gejala. Pengobatan kombinasi
dengan 3 obat sering digunakan, terdiri dari dua buah inhibitor reverse transkriptase dan satu
enzim inhibitor protease. Monoterapi (ddI atau d4T) hanya dipertimbangkan bila pengobatan
kombinasi tidak dapat dilakukan atau pasien telah menggunakan monoterapi dalam waktu
yang lama dan hasil klinis maupun pemantauan laboratorium tetap baik (CD4+ baik)
(Mansjoer, et al., 2001).
2.9 Terapi Antiretroviral (ARV)
12
Gambar 2.9.1 Langkah-langkah dalam pengobatan infeksi HIV (WHO, 2010)
Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan odha menjadi jauh lebih
baik.Infeksi kriptosporidiasis yang sebelumnya sukar diobati, menjadi lebih mudah ditangani.
Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat, seperti infeksi virus sitomegalo dan infeksi
mikobakterium atipikal, dapat disembuhkan. Pneumonia Pneumocystis carinii pada odha
yang hilang timbul, biasanya mengharuskan odha minum obat infeksi agar tidak
kambuh.Namun sekakrang dengan minum obat ARV teratur, banyak odha yang tidak
memerlukan minum obat profilaksis terhadap pneumonia.
Terdapat penurunan kasus kanker yang terkait dengan HIV seperti Sarkoma Kaposi
dan limfoma dikarenakan pemberian obat – obat antiretroviral tersebut.Sarcoma Kaposi
dapat spontan membaik tanpa pengobatan khusus.Penekanan terhadap replikasi virus
menyebabkan penurunan produksi sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi
pertumbuhan Sarkoma Kaposi.Selain itu pulihnya kekebalan tubuh menyebabkan tubuh
dapat membentuk respons imun yang efektif terhadap human herpesvirus 8 (HHV – 8) yang
dihubungkan dengan kejadian Sarcoma Kaposi.
Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase
inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non nucleoside reverse transcriptase
inhibitor, dan inhibitor protease.Tidak semua ARV tersedia di Indonesia (Tabel 2.9.2).
Tabel 2.9.2 Obat ARV yang Beredar di Indonesia
Nama Dagang Nama Generik Golongan Sediaan Dosis (per hari)
13
Duviral Tablet. Kandungan :
zidovudin 300 mg +
lamivudin 150 mg
2 x 1 tablet
Stavir, Zerit Stavudin (d4T) NsRTI Kapsul : 30 mg, 40 mg > 60 kg : 2 x 40 mg
< 60 kg : 2 x 30 mg
Hiviral, 3TC Lamivudin (3TC) NsRTI Tablet 150 mg Lar.
Oral 10 mg / ml
2 x 150 mg.
< 50 kg : 2mg/kg, 2x/hr
Viramune, Neviral Nevirapin (NVP) NNRTI Tablet 200 mg 1 x 200 mg selama 14
hari, dilanjutkan 2 x
200 mg
Retrovir, Adovi, Avirzid Zidovudin (ZDV, AZT) NsRTI Kapsul 100 mg 2 x 300 mg, atau 2 x
250 mg
Videx Didanosin (ddI) NsRTI Tablet kunyah
100 mg
> 60 kg : 2 x 200 mg,
atau 1 x 400 mg
< 60 kg : 2 x 125 mg,
atau 1 x 250 mg
Stocrin Efavirenz (EFV, EFZ) NNRTI Kapsul 200 mg 1 x 600 mg, malam
Nelvex, Viracept Nelfinavir (NFV) PI Tablet 250 mg 2 x 1250 mg
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
ARV akan diberikan dalam jangka panjang. Berikut ketentuanya:
1. ARV dimulai pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang termasuk dalam
kriteria diagnosis AIDS, atau menunjukkan gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah
limfosit CD4+.
2. ARV dimulai pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ kurang dari 350 sel / mm3.
3. ARV dimuali pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200 – 350 sel / mm3.
4. ARV dapat dimulai atau ditunda pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih
dari 350 sel / mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml.
5. ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3
dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml.
Tabel 2.9.3 Keadaan klinik dalam penentuan pemberian terapi ARV (WHO, 2010)
14
Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3
obat ARV.Terdapat beberaoa regimen yang dapat dipergunakan (Tabel 4), dengan
keunggulan dan kerugianya masing – masing.Kombinasi obat antiretroviral lini pertama yang
umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin (ZDV) / lamivudin (3TC),
dengan nevirapin (NVP).
Tabel 2.9.4 Kombinasi Obat ARV untuk Terapi Inisial
Kolom A Kolom B
Lamivudin + zidovudin
Lamivudin + didanosin
Lamivudin + stavudin
Evafirenz *
Lamivudin + zidovudin
Lamivudin + stavudin
Lamivudin + didanosin
Nevirapin
Lamivudin + zidovudin
Lamivudin + stavudin
Lamivudin + didanosin
Nelvinafir
* Tidak dianjurkan pada wanita hamil trimester pertama atau wanita yang berpotensi tinggi
untuk hamil.
Catatan : kombinasi yang sama sekali tidak boleh adalah : zidovudin + stavudin.
Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan
profilaksis pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung virus HIV (post
– exposure prophylaxis) dan pencegahan penularan dari ibu ke bayi.
Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV
penting untuk mendapat perhatian lebih besar mengingat sudah ada beberapa bayi di
Indonesia yang tertular HIV dari ibunya.Efektivitas penularan HIV dari ibu ke bayi adalah
sebesar 10 – 30 %. Artinya dari 100 ibu hamil yang terinfeksi HIV, ada 10 sampai 30 bayi
yang akan tertular. Sebagian besar penularan terjadi sewaktu proses melahirkan, dan
sebagian kecil melalui plasenta selama kehamilan dan sebagian lagi melaui air susu ibu.
Kendala yang dikhawatirkan adalah biaya untuk membeli obat ARV.Obat ARV yang
dianjurkan untuk PTMCT adalah zidovudin (AZT) atau nevirapin.Pemberian nevirapin dosis
tunggal untuk ibu dan anak dinilai sangat mudah untuk diterapkan dan ekonomis.Sebetulnya
15
pilihan yang terbaik adalah pemberian ARV yang dikombinasikan dengan operasi Caesar,
karena dapat menekan penularan sampai 1 %.Namun sayangnya di negara berkembang
seperti Indonesia tidak mudah untuk melakukan operasi section caesaria yang murah dan
aman.
Apabila terjadi penurunan jumlah CD4+ dalam masa pengobatan terapi lini pertama
dan didapat tanda terjadinya toksisitas dapat dipertimbangkan untuk mengganti terapi. Hal
ini dapat dilihat pada tabel 2.9.5 di bawah ini :
Tabel 2.9.5 Langkah pertimbangan untuk mengganti terapi ARV (WHO, 2010)
Tabel 2.9.6 Terapi lini kedua pengobatan ARV (WHO, 2010)
Pengembangan vaksin HIV yang efektif merupakan tantangan yang besar
karena HIV memiliki karakteristik yang kompleks dan adanya mutasi genetic. Vaksin ideal
seyogyanya dapat memicu imunitas humoral dan selular. Saat ini sudah dimulai dan sedang
dilakukan uji – uji klinis terhadap efektivitas vaksin seiring dengan semakin banyaknya
16
informasi mengenai HIV yang diketahui. Namun, program pencegahan HIV yang terpadu
mencakup tidak saja pengembangan vaksin tetapi juga riset dan pendidikan yang ditujukan
untuk mencegah penularan virus (Price, et.al., 2005).
2.10 Candidiasis Esophageal pada HIV/AIDS
Candidiasis esophageal adalah infeksi oportunistik yang disebabakan oleh jamur
candida terutama spesies Candida albican pada esofagus. Pada infeksi ini terjadi
pertumbuhan yang berlebih dari candida. Candida merupakan normal flora yang terdapat
pada mulut, traktus gastrointestinal, dan vagina namun dapat bersifat invasif/patogen bila
daya tahan host menurun seperrti yang terjadi pada penderita HIV/AIDS (Maclean, 2001).
2.10.1 Gambar candidiasis Esophageal
Ada tiga faktor umum yang bisa mengarah pada candidiasis oral yang dapat meluas
ke esofagus. Ketiga faktor tersebut adalah: (1) status imun host, (2) lingkungan mukosa
mulut, (3) turunan C. albicans tertentu (bentuk hifa biasanya terkait dengan infeksi
patogenik). Kondisi-kondisi spesifik yang bisa menyebabkan seorang pasien rentan untuk
mengalami candidiasis yaitu:
1.Faktor-faktor yang merubah status imun host:
- Diskrasia darah atau tumor ganas lanjut
- Usia tua/masa kanak-kanak
- Terapi radiasi/Kemoterapi
- Infeksi HIV atau gangguan imunodefisiensi lainnya
- Kelainan-kelainan endokrin
- Diabetes mellitus
- Hipotiroidisme atau hipoparatiroidisme
- Kehamilan
- Terapi kortikosteroid/Hipoadrenalisme17
2.Faktor-faktor yang mengubah lingkungan mukosa mulut
- Xerostomia
- Terapi antibiotik
- Kesehatan gigi atau mulut yang buruk
- Kurang gizi/malabsorpsi gastrointestinal
- Kekurangan zat besi, asam folat, atau vitamin
- Saliva asam/Diet kaya karbohidrat
- Merokok berat
- Displasia epitelium oral
Karena jamur Candida normalnya hidup pada tubuh manusia, maka sulit untuk
menghindarinya. Namun ada beberapa cara agar pertumbuhannya dapat terkontrol yaitu
(Maclean, 2001).:
a. Menjaga respon imun tubuh tetap kuat atau tidak mengalami penurunan.
Pemberian antiretroviral yang efektif dapat mngontrol HIV sehingga dapat
mencegah penghancuran sel CD4+
b. Mengurangi makanan dengan kandungan karbohidrat dan glukosa yang tinggi
c. Memakan yogurt yang terbuat dari Lactobacillus acidophilus setiap hari dipercaya
dapat mengontrol pertumbuhan Candida
Terapi farmakologis diberikan berdasarkan tingkat keparahan Candidiasis esophageal
yang berbeda-beda pada tiap penderita. Berikut ini beberapa pilihan terapi untuk
Candidiasis esophageal (Maclean, 2001). :
- Nystatin oral
- Fluconazole tablet 100 – 200 mg/hari
- Itraconazole cair 100-200 mg/hari
- Iv Fluconazole atau Amphotericin B untuk 5-7 hari
2.10 HIV/AIDS DENGAN TB PARU
Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan
kemungkinan koinfeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk
seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan
prevalens HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien
TB dengan keluhan dan tanda-tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada
pasien TB dengan riwayat resiko tinggi terpajan HIV
18
Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru
aadalah dengan pemeriksaan BTA dahak. Gambaran penderita HIV-TB dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 7. Gambaran TB-HIV
Infeksi dini(CD4>200/mm3)
Infeksi lanjut(CD4<200/mm3)
Sputum mikroskopis Sering positif Sering negatifTB ekstra pulmonal Jarang Umum/ banyakMikobakterimia Tidak ada AdaTuberkulin Positif NegatifFoto toraks Reaktivasi TB, kaviti di puncak Tipikal primer TB milier /
interstisialAdenopati hilus/ mediastinum
Tidak ada Ada
Efusi pleura Tidak ada Ada
Pengobatan OAT pada TB-HIV:
Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS
Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam
jumlah cukup dan dosis dan jangka waktu yang tepat.
Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan
menyebabkan efek toksik berat pada kulit.
Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika ntersedia alat suntik sekali pakai yang
steril.
Desensitisasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan
efek toksik yang serius pada hati.
Interaksi obat TB dengan ARV:
Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya efek toksik OAT.
Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleotida, kecuali
Didanosin yang harus diberikan selang 1 jam karena OAT bersifat buffer antasida.
Interaksi obat OAT terutama terjadi dengan ARV golongan nukleotida dan inhibitor
protease. Rifampisin jangan diberikan bersama nelvinavir karena rifampisin dapat
menurunkan kadar kerjanya hingga 37%, teteapi sampai saat ini belum ada
peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan.
Pasien dengan koinfeksi TB-HIV, segera diberikan OAT dan pemberian ARV dalam
8 minggu pemberian ARV tanpa mempertimbangkan kadar CD4. Pertimbangan
pemberian ARV segera setelah diagnosis TB adalah bahwa angka kematian pada
pasien TB-HIV terjadi umumnya 2 bulan pertama pemberian OAT.
19
Setiap penderita HIV-TB harus diberikan profilaksis kotrimoksasol dosis 960mg / hari
(dosis tunggal) selama pemberian OAT.
2.10.1 The Three I’s for HIV-TB
Pada pasien dengan HIV, TB merupakan infeksi oportunistik yang dapat
menyebabkan kematian. WHO telah mengeluarkan strategi (sebelum pemberian ART) yaitu
Isoniazid preventif tratment (IPT)jika ada indikasi.
Intensified case finding (ICF) untuk menemukam kasus TB aktif.
Infection control (IC) untuk pencegahan dan pengendalian infeksi TB di tempat
pelayanan kesehatan.
20
BAB III
DATA MEDIS PASIEN
3.1 Identitas Pasien
Nama Lengkap : Tn Riza Holanda
Tanggal Lahir : 1 januari 1983
Umur : 29 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Alamat : Jl. RA Kartini 17 Probolinggo
Telp : --
Pekerjaan :Wiraswasta (bengkel)
Status : Menikah
Pendidikan : -
Etnis/Suku : Jawa
Agama : Islam
MRS : 13 – 06 - 2012
Rekam Medis : 10973486
3.2 Anamnesis (autoanamnesis dan heteroanamnesis)
Keluhan Utama : Lemah badan
Pasien Mengeluh lemah badan sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Lemah badan
disertai pusing, nafsu makan yang menurun, perut pasien terasa mual yang disertai muntah.
Muntah sehari sekitar 5 kali. Muntahan berisi air.
Pasien juga mengeluh ingatan yang menurun. Selain itu pasien mengeluh dari mulut banyak
bercak-bercak putih seperti sariawan.
Pasien mengeluh badan terasa demam sejak 3 hari SMRS. Demamnya tidak tinggi
Pasien mengeluh diare sejak 3 hari SMRS. Diare tampak berlendir, sehari frekuensi 3x,
tidak ada darah.
Pasien mengeluh berat badan yang terus menurun sejak 1 bulan terakhir. Penurunan
sekitar 5 sampai 6 kilogram.
Pasien bekerja swasta di bengkel motor.
Pasien riwayat menikah 2x. Istri yang pertama meninggal. Diketahui istri pasien pernah
perawatan inap di RSSA, dirawat di ruang 29, terdiaagnosa HIV dan meninggal) . istri yang
kedua saat ini ada di probolinggo.
21
1 hari SMRS pasien cek darah (tes HIV) di RS probolinggo, hasil tes positif (+) terjangkit HIV
Riwayat free sex (-)
Pasien riwayat pengguna narkoba suntik sejk SMP, jenisnya obat heroin, pasien berhenti
sejak 6 tahun yang lalu (saat bom bali).pasien sehari bisa 1-2 kali suntik bersama temannya
bergantian.
Pasien riwayat merokok sejak SD, sehari sekitar 3 pak.
REVIEW OF SYSTEMS
Umum Lelah + Abdomen Nafsu makan Turun
Penurunan BB +(5-6kg) Anoreksia -
Demam - Mual +
Menggigil - Muntah +5x
semalam, air
Berkeringat - Perdarahan -
Kulit Rash - Melena -
Gatal - Nyeri +
Luka - Diare + sejak 3 hari
yang lalu, 3x
sehari,
Tumor - Konstipasi -
Kepala leher
Mata
Sakit kepala - BAB + (cair)
Nyeri - Hemoroid -
Kaku leher - Hernia -
Trauma - Hepatitis -
Diplopia - Ginekologi Nyeri -
Visus - Gatal -
22
Nyeri - Sekret -
Siklus haid -
Mulut &
tenggorokan
Nyeri - Ginjal dan
saluran
kencing
Disuria -
Kering - Hematuria -
Suara sesak - Inkontinensia -
Sulit Menelan - Nokturia -
Sakit gigi - Frekuensi -
Batu -
Gusi - Infeksi -
Infeksi - Hematologi Anemia +
Pernafasan Batuk - Perdarahan -
Riak - Endokrin Diabetes -
Nyeri - Perubahan BB Turun 5-6 kg
Mengi - Goiter -
Sesak nafas - Toleransi suhu -
Hemoptisis - Asupan cairan cukup
Pneumonia - Muskuloskele-
tal
Trauma -
Nyeri pleuritik - Nyeri -
Tuberkulosis - Kaku -
Payudara Sekret - Bengkak -
Nyeri - Lemah -
Benjolan - Nyeri punggung -
Perdarahan - Kram -
23
Infeksi - Sistem syaraf Sinkop -
Jantung Angina - Kejang -
Sesak nafas - Tremor -
Orthopnea - Nyeri -
PND - Sensorik -
Edema - Tenaga -
Murmur - Daya ingat -
Palpitasi - Emosi Kecemasan +
Infark - Tidur -
Hipertensi - Depresi -
Vaskuler Klaudikasio - Halusinasi -
Flebitis -
Ulkus -
Arteritis -
Vena varikose -
3.3 Pemeriksaan Fisik
Kesan sakit : Sedang
Gizi : Kurang
Tinggi Badan : + 163 cm
Berat Badan : +54 kg (sebelumnya +60 kg)
BMI : 19,94 kg/m2
GCS : 456
24
Tanda vital : Tensi 110/60 mmHg, nadi 108x/menit, kecepatan pernafasan 20x/menit,
Tax 37,7oC
Kepala – Leher : Anemis+/+, ikterik -/-,JVP R + 1 cm H20,
Pembesaran KGb (-), tampak bercak2 putih di lidah
Thoraks : Pengembangan dada simetris, nafas spontan adekuat
P/ s/s A v/v Rh -/- Wh -/-
s/s v/v -/- -/-
s/s v/v -/- -/-
Jantung : Iktus invisible palpable pada MCL ICS IV sinistra
RHM SL dextra
LHM iktus
S1S2 single, murmur (-).
Abdomen :Flat, soefl, BS (+) N, Liver span 12 cm, troube space timpani. Nyeri tekan
(+) di epigastrium RUQ
Extremitas : Edema -/-,
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Tanggal 13 Juni 2012
Lab Value Lab Value
Leukocyte 9.920 3500-10000/µL GDA 74 80-140
Hemoglobin 8,7 11,0-16,5g/dl Ureum 60,4 10 – 50
PCV 27,3 % 35-50% Creatinin 0,89 0,7 – 1,5
MCV 80,1 MCH 25,5
Thrombocyte 310.000 150000-390000 Albumin 2,83 3,5 – 5,5
SGOT 55 11-41U/L CRP
kuantitatif
--
SGPT 41 10-41U/L Na 129 136-145
Bilirubin total -- <1 Kalium 5,97 3,5-5
25
Bilirubin
direk
-- <0,25 Chlorida 94 98-106
Bilirubin
indirek
-- <0,75 Kolesterol
total
--
HDL -- LDL --
TG -- Protein total --
Urinalisis :
Warna Jernih kuning
SG/BJ 1,030 Glukosa --
pH 5,5 Keton --
Lekosit Negatif Urobilinogen --
Nitrit + Bilirubin --
Protein/Alb 1+ Eritrosit +
10 X : 40 X :
Epithel 0.1 Erytrocyte 0,5
silinder - Leucocyte 0,4
Chest X Ray
AP position, asymmetric, less inspiration, , soft tissue and bone normal. trachea in the
middle hilus D/S : thicking, Hemidiaphragma : D & S dome shaped, costophrenicus angle D
& S sharp. . Cor site : N, CTR : <50 %. Shape:N
Pulmo D: fibroinfiltrat in upper, middle, and lower area, multicavities 0,1-0,3 mm, air
bronchogram (+)
Pulmo S = fibroinfiltrate in upper, lower, and middle area, multicavities 0,2-0,5mm. Air
bronchogram (+)
Conclusion : Lung TB far advanced lession, pneumonia
26
3.5 POMR
CUEAND CLUE PL I Dx P Dx P Tx P Mo
Laki-laki, 29 tahun
- sariawan 3 minggu
- badan lemas
-penurunan BB +5-6
kg dalam 1 bulan.
- istri pertama HIV (+)
-riwayat suntik
narkoba dan
pemakaian jarum
suntik bergantian
- tes HIV di RS
probolinggo (+)
1. Immun
ocomp
romiss
ed
state
1.1 HIV
stadium III
-CD 4
count
-ELISA
-
Determina
n test
- konsul
VCT
-HBs Ag
-Anti HCV
-
Toxoplasm
a IgG, IgM
-IVFD NS 0.9%: D5%
= 1 : 1
- start ARV:
Duviral 2 x 1
Neviral 1 x 200mg
Keluhan
Vital Sign
Laki-laki, 29 tahun
Diare sejak 3 hari
Demam sejak 3 hari
Berlendir (+),
frekuensi 3x sehari,
cair.
2. Acute
inflam
matory
diarrh
ea
2.1 shigellosis
2.2 amoebiasis
2.3
salmonellosis
-fecal
smear
-IVFD NS 0.9%
20tpm
-p.o attapulgite 2
tab/diare
- po paracetamol 3 x
500mg k/p
Keluhan
Laboratoriu
m (fecal
smear)
Laki-laki 29 tahun 3. Oral 3.1 oral Nystatin drop 3 x 1 cc
27
Mulut terasa
sariawan sejak 3
minggu yll
Immunocompromised
state
thrush candidiasis Fluconazole 1 x
150mg
Laki-laki 29 tahun
CXR:
Pulmo D: fibroinfiltrat
in upper, middle, and
lower area,
multicavities 0,1-0,3
mm, air bronchogram
(+)
Pulmo S =
fibroinfiltrate in upper,
lower, and middle
area, multicavities
0,2-0,5mm. Air
bronchogram (+)
4. Chroni
c lung
diseas
e
4.1 lung TB far
advanced
lession
4,2 pneumonia
Sputum
gram and
sensitivity
test
Program OAT Keluhan,
keteraturan
obat
Efek
samping
obat
Laki-laki 29 tahun
Nyeri tekan di
epigastrium RUQ
5. Dyspe
psia
syndro
me
5.1 gastritis
erosive
5.2 PUD
Inj ranitidin 2 x 50mg
Inj metoklopramid 3 x
10mg
Keluhan,
efek
samping
obat
Laki-laki, 29 tahun
Badan lemas
Hb 8,7
MCV 80,1
MCH 25,5
6. Anemi
a
Hipokr
omik
Mikros
iter
6.1 chronic
disease
6.2 def Fe
Blood
smear
-Diet bebas TKTP
plan tranfusi PRC 2
labu sampai Hb
>_10gr/dl
Kadar
albumin
Laki0laki 29 tahun
Diare sejak 3 hari
yang lalu
Penurunan berat
badan
7. Electr
olyte
imbala
nce
7.1 dt no 2
7.2 Low intake
IVFD NS 0,9% 20 tpm
Diet bebas TKTP
28
Na 129
K5,97
Cl 94
29
3.6 Follow Up
1 4 juni 201 2
PDx daftar USG abdomen
PTx : - Diet bebas TKTP
- IVFDNS 0,9% 20 tpm
-Transfusi PRC 2 labu/hari s.d Hb >10 gr/dL
- asam folat 1 x 3tab
- ciprofloxacin 2 x 400mg,iv
- inj ranitidin 2 x 50mg iv
- inj metoklopramid 3 x 10mg
- Nystatin drop 3 gtt 1 cc
- Fluconazole 1 x 150mg
-duviral 2 x 1 tab
- neviral 1 x 200mg
- paracetamol 500mg k/p
Lab Value Normal
Hemoglobin 6,1 11,0-16,5g/dl
Lekosit 5800 3500-10000/µL
Trombosit 242.000 150000-390000
PCV 18 35-50%
1 5 juni 2012
Hb 6,1 gr/dL
PDx : FL, kultur feces
PTx : - Diet bebas TKTP
- IVFDNS 0,9% 20 tpm
-Transfusi PRC 2 labu/hari s.d Hb >10 gr/dL
- asam folat 1 x 3tab
- ciprofloxacin 2 x 400mg,iv
- inj ranitidin 2 x 50mg iv
- inj metoklopramid 3 x 10mg
- Nystatin drop 3 gtt 1 cc
- Fluconazole 1 x 150mg
-duviral 2 x 1 tab
- neviral 1 x 200mg
- paracetamol 500mg k/p STOP ec ALERGI
Lab Value Normal
Ureum 24,2 20-40
Creatinin 0,64 <1,2
Albumin 2,88 3,5-5,5
1 8 juni 2012
Perut terasa keras, defans muskular (+)
Laki-laki
29 tahun
Nyeri
perut.
Nyeri
tekan (+)
Defans
muskular
(+) BU
menurun
Abdominal
pain
6.1
peritonitis
6.2 ileus
obstruktif
Konsul
bedah
Pasang
lingkar
abdomen
Pasang
NGT
dekompresi
Keluhan
Lingkar
perut
Tanda2
peritonitis
PDx :
PTx : - Diet bebas TKTP
- IVFDNS 0,9% 20 tpm
-Transfusi PRC 2 labu/hari s.d Hb >10 gr/dL
- asam folat 1 x 3tab
- ciprofloxacin 2 x 400mg,iv
- inj ranitidin 2 x 50mg iv
- inj metoklopramid 3 x 10mg
- Nystatin drop 3 gtt 1 cc
- Fluconazole 1 x 150mg
-duviral 2 x 1 tab
- neviral 1 x 200mg
Hasil USG abdomen 19 juni 2012
Kesimpulan:
Hepatomegali
Ascites
Sludge gall bladder
Limfadenopati para aorta abdominal dan pada iliaca bilateral
Hasil kultur sputum dan tes sensitivitas (22 juni 2012)
Gram : batang gram negatif
Tahan asam : BTA 1+
Biakan: E. Coli
Sensitif kuat :: amoxicillin/clavulanic acid, cloramfenikol, gentamisin, cefadroxil
b
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Alur diagnosis HIV
4.1.1 Anamnesis (Autoanamnesis)
Dari keterangan yang didapat, pasien Mengeluh lemah badan sejak 2
minggu sebelum masuk rumah sakit. Lemah badan disertai pusing, nafsu makan
yang menurun, perut pasien terasa mual yang disertai muntah. Muntah sehari
sekitar 5 kali. Muntahan berisi air. Selain itu pasien mengeluh dari mulut banyak
bercak-bercak putih seperti sariawan.
Pasien mengeluh badan terasa demam sejak 3 hari SMRS. Demamnya tidak
tinggi. Pasien mengeluh diare sejak 3 hari SMRS. Diare tampak berlendir, sehari
frekuensi 3x, tidak ada darah. Berat badan pasien juga terus menurun sejak 1
bulan terakhir. Penurunan sekitar 5 sampai 6 kilogram.
Untuk menggali faktor resiko, maka ditanyakan tentang riwayat pekerjaan
dan kehidupan sosial pasien. Dari anamnesis selanjutnya, didapatkan
keterangan pasien bekerja swasta di bengkel motor. Pasien riwayat menikah 2x.
Istri yang pertama meninggal. Diketahui istri pasien pernah perawatan inap di
RSSA, dirawat di ruang 29, terdiaagnosa HIV dan meninggal) . istri yang kedua
saat ini ada di probolinggo.
Pasien riwayat pengguna narkoba suntik sejak SMP, jenisnya obat heroin, pasien
berhenti sejak 6 tahun yang lalu (saat bom bali).pasien sehari bisa 1-2 kali suntik
bersama temannya bergantian. Pasien riwayat merokok sejak SD, sehari sekitar
3 pak. Riwayat free sex (-)
Selain itu, anamnesis yang lebih menguatkankan lagi adalah 1 hari SMRS
pasien cek darah (tes HIV) di RS probolinggo, hasil tes positif (+) terjangkit HIV.
4.1.2 Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien normoweight namun berada
pada batas bawah, yaitu 19,9 kg/m2 (normoweight 19,5-24,5). Terdapat
conjunctiva yang anemis juga oral thrush di rongga mulut dan lidah. Pada
pemeriksaan abdomen terdapat nyeri tekan pada epigastrium. Selain itu tidak
didapatkan kelainan.
4.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan awal sederhana yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
darah lengkap dan hitung jenis.Pada penderita dengan immunocompromissed
state, dapat ditemukan penurunan jumlah limfosit < 2000/ul. Pada kasus ini,
jumlah limfosit pasien tanggal 13 juni 2012 adalah : 13% x 9900 = 1287.
Selanjutnya, pada kasus yang telah dicurigai infeksi HIV maka pasien dapat
dikonsulkan ke bagian VCT (Voluntary counceling and Testing) untuk dilakukan
dua tahap pemeriksaan khusus, yaitu skrining awal berupa Rapid Test dan
Enzime Linked Sorbent Assay (ELISA), dan yang kedua adalah Uji konfirmasi
berupa Western Blot test untuk mendeteksi antibody spesifik pada pasien.
Sesuai dengan pedoman nasional, diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan 3
jenis pemeriksaan Rapid Test yang berbeda atau 2 jenis pemeriksaan Rapid Test
yang berbeda dan 1 pemeriksaan ELISA (WHO, 2010).
Pemeriksaan Western Bolt merupakan penentu diagnosis AIDS setelah
test ELISA dinyatakan positif. Bila terjadi serokonversi HIV pada test ELISA
dalam keadaan infeksi HIV primer, harus segera dikonfirmasikan dengan test WB
ini. Hasil test yang positif akan menggambarkan garis presipitasi pada proses
elektroforesis antigen-antibodi HIV di sebuah kertas nitroselulosa yang terdiri
atas protein struktur utama virus. Setiap protein terletak pada posisi yang
berbeda pada garis, dan terlihatnya satu pita menandakan reaktivitas antibodi
terhadap komponen tertentu virus (WHO, 2010)
Pada kasus ini, pasien dilakukan pemeriksaan VCT di RS probolinggo
yang terdiri dari pemeriksaan DETERMINAN dan ELISA. Hasilnya positif. Dari
kriteria mayor dan kriteria minor, pada pasien ini didapatkan gejala mayor : berat
badan menurun > 10 % dalam 1 bulan, Dan pada gejala minor didapatkan :
kandidiasis oral dan infeksi paru TB. Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang, dapat disimpulkan pasien menderita HIV stage III.
Pada pemeriksaan foto thorax, pada pasien didapatkan gambaran kavitas
multipel pada kedua lobus paru. Selain itu terdapat fibroinfiltrat pada semua
lapang paru. Gambaran ini mengindikasikan adanya infeksi tuberkulosis tipe far
advanced lession. Pada CXR juga didapat ada air bronchogram yang
mengindikasikan terdapat pneumonia. Pada infeksi TB sering didapatkan ko-
infeksi berupa pneumonia.
4.3 Penatalaksanaan
Pada pasien ini, AIDS yang terdiagnosis adalah pada stadium III.
Diagnosis didasarkan pada temuan berat badan yang menurun >10%, disertai
koinfeksi Tb paru dan oral candidiasis. Terapi ARV diberikan berdasarkan
panduan WHO 2010 untuk AIDS. Pada AIDS stadium 1 dan 2, terapi ARV
diberikan jika hasil hitung limfosit TCD4 <350. Pada stadium 3 dan 4, terapi ARV
diberikan tanpa menunggu hasil hitung limfosit TCD4. Selain itu, kondisi khusus
pasien yang terdiagnosa AIDS disertai dengan ko-infeksi TB paru aktif atau
hepatitis B, maka pemberian ARV juga tanpa menunggu hasil hitung limfosit
TCD4. Pada pasien ini, terapi antiretroviral (ARV) diberikan tanpa menunggu
hasil dari hitung dari limfosit T CD4 karena stadium AIDS 3 dan disertai keadaan
khusus koinfeksi TB paru.
regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3
obat ARV. .Pemilihan ARV yang sesuai yaitu diberikan lini pertama adalah
kombinasi dua obat golongan NRTI dengan satu obat golongan NNRTI. Pada
pasien ini, bisa diberikan kombinasi duviral dan neviral. Duviral merupakan
kombinasi dua jenis ARV NRTI yaitu lamivudin dan zidovudin. Neviral
mengandung ARV NNRTI yaitu nevirapin. Pemberian kombinasi ARV ini sesuai
dengan rekomendasi WHO.
4.2 Penatalaksanaan Infeksi Oportunistik
Pada pasien ini, ditemukan infeksi oportunistik dengan gejala sariawan
selama + 3 minggu SMRS, dan pada pemeriksaan fisik ditemukan oral
candidiasis. Penanganan untuk infeksi oportunistik ini adalah berupa nystatin
drop 3 sendok makan perhari, dan tablet oral fluconazole 1 x 150mg.
Selain itu, pada pemeriksaan pasien juga ditemukan infeksi TB paru far
advanced lesion. Seperti pada pustaka, kasus TB meningkat seiring
meningkatnya kasus AIDS karena TB merupakan salah satu infeksi oportunistik
terhadap keadaan tubuh pada kondisi immunocompromised. Berdasarkan PDPI
2011, pengobatan OAT pada TB-HIV pada dasarnya sama dengan pengobatan
TB tanpa HIV/AIDS. Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi
beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang
tepat. Pada pasien ini, terapi OAT yang diberikan adalah kategori 1 yaitu
kombinasi RHZE (rifampisin 450mg, isoniazid 300mg, pyrazinamid 1000mg,
eritromisin 1000mg). Pemberian terapi ARV disertai terapi OAT harus dalam
pengawasan ketat, terutama pada efek samping hepatotoksik. Jika terjadi efek
hepatotoksik yang ditandai oleh peningkatan enzim transaminase hingga 3 x
yang disertai gejala mual dan muntah, maka pemberian OAT harus segera
dihentikan. Pemberian niverapin pun sebaiknya dipertimbangkan untuk di-switch
dengan evaviren mengingat efek hepatotoksiknya yang tinggi.
BAB V
KESIMPULAN
1. Diagnosis HIV pada kasus ini didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan
fisis dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan clinical staging pasien ini
masuk pada kriteria HIV stadium III.
2. Penatalaksanaan HIV stadium III pada pasien ini sudah sesuai panduan
literatur. Pasien diterapi dengan dua kombinasi obat ARV, yaitu tipe NRTI
(duviral yang berisi zidovudin dan lamivudin) dan NNRTI (Neviral yang
berisi niverapin). Pemberian diberikan tanpa menghitung kadar limfosit T-
CD4.
3. Penatalaksanaan infeksi oportunistik yaitu candidiasis oral dengan terapi
Nystatin drop dan Fluconazole. Infeksi TB paru dengan Obat Anti
Tuberculosis (OAT) kategori 1. Namun pemberian dengan pengawasan
ketat karena efek hepatotoksik yang besar dari OAT dan ARV tipe
niverapin.
DAFTAR PUSTAKA
CDC. 2007.CDC HIV/AIDS Fact Sheet :A Glance at the HIV/AIDS Epidemic.
Diakses dari http://www.cdc.gov/hiv
Djoerban Z. membidik AIDS : Ikhtiar memahami HIV dan odha. Ed 1.
Yogyakarta:Penerbit Galang;1999
Ditjen PPM & PL Depkes RI. Pedoman nasional – perawatan, dukungan dan
pengobatan bagi odha.Jakarta:Deoartemen Kesehatan RI,2003.
Djauzi S, Djoerban Z, Eka B, Djoko P, Sulaiman A, Rifayani A,dkk. Profile of drug
abusers in Jakarta’s urban poor community. Med J Ind 2003;Kustin,
Djauzi,dkk. Hasil survey pada wanita hamil di Jakarta 1999-2000. Yayasan
Pelita Ilmu, 2000.
Maclean, 2001. Candidiasis esophageal. Diakses dari h ttp://
www.catie.ca/pdf/facts/ esophageal %20 candidiasis .pdf
Missiouri Department Division of Environmental Health and Communicable
Disease Prevention. 2003. HIV/AIDS. Diakses dari
http://911medicalcare.com/virus-diseases/hiv-aids-diseases-and-
conditions/
UNAIDS-WHO. Revised recommendation for the selection and use of HIV
antibody test. Weekly Epidemiological Report 1997;72:81-8.
WHO. 2010. Antiretroviral Therapy for HIV Infection in Adults and Adolescence.
World Health Organization; Austria
Responsi KasusTropik Infeksi
HIV / AIDS
DENGAN TUBERKULOSIS PARU
Oleh:
Efriko Septananda 0710710116
Ienag Yudistrie 0710713052
Dian Oktavia G 0710713027
Mogaraj Selapan 0710714024
Pembimbing :
dr. Niniek Burhan, SpPD-KPTI
LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG
2012