makalah hama ubi

31
Hama dan Penyakit Pada Tanaman Ubi Jalar Disusun Dalam Rangka Melengkapi Tugas Mata Kuliah Teknik Perlindungan Tanaman 1 Disusun oeh : Kelompok 4 Lina Marlina 150110080233 Rani Siti R 150110080234 Stefina Liana S 150110080236 Ahmad Zaelani 150110080238 Dewi Susanti 150110080241 Agroteknologi Kelas F Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian

description

hama dan penyakit pada ubi jalar seperti cylas formicsrius, spodoptera litura,dan p. turmicus

Transcript of makalah hama ubi

Page 1: makalah hama ubi

Hama dan Penyakit Pada Tanaman Ubi Jalar

Disusun Dalam Rangka Melengkapi Tugas Mata Kuliah

Teknik Perlindungan Tanaman 1

Disusun oeh :

Kelompok 4

Lina Marlina 150110080233

Rani Siti R 150110080234

Stefina Liana S 150110080236

Ahmad Zaelani 150110080238

Dewi Susanti 150110080241

Agroteknologi

Kelas F

Program Studi Agroteknologi

Fakultas Pertanian

Universitas Padjadjaran

2009

Page 2: makalah hama ubi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala, atas segala atas segala perkenan-Nya makalah yang disusun untuk melengkapi salah satu tugas Mata Kuliah Perlindungan Tanaman 1 ini dapat terselesaikan.

Penyusunan makalah ini dilakukan untuk mempermudah rekan-rekan mahasiswa untuk mempelajari salah satu materi perkuliahan Perlindungan Tanaman 1 yaitu mengenai Organisme pengganggu Tanaman Kedelai.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, dan kami mengharapkan kritik dan saran pembaca untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.

Jatinangor, 19 Oktober 2009

Penyusun

Page 3: makalah hama ubi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ubi jalar (Ipomoea batatas Lamb.) merupakan salah satu tanaman pangan

yang dapat digunakan untuk diversifikasi menu guna mempertahankan

swasembada beras. Ubi jalar dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, tahan

kekeringan, dan dapat ditanam sepanjang tahun. Umumnya ubi jalar diusahakan

pada lahan tegalan, kebun, dan pekarangan, serta pada lahan sawah tadah hujan

(Kantor Statistik Sulawesi Selatan 1990). Ubi jalar merupakan tanaman penting

ketujuh di dunia (Jansson dan Raman 1991).

Di sebagian besar daerah di Indonesia, ubi jalar merupakan bahan pangan

sampingan, tetapi di kawasan timur Indonesia terutama Papua, ubi jalar

merupakan bahan pangan pokok. Sebagai tanaman palawija penghasil

karbohidrat, ubi jalar menduduki peringkat ketiga setelah jagung dan ubi kayu.

1.2 Rumusan Masalah

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil ubi jalar antara lain adalah umur,

jenis atau varietas, kesuburan tanah, tinggi tempat penanaman, iklim (musim

tanam), serta gangguan hama dan penyakit. Ratusan spesies serangga dapat

merusak ubi jalar, namun yang paling merusak adalah Cylas formicarius atau

sweet potato weevil, disebut juga kumbang penggerek umbi atau hama boleng.

Selain itu, daun dari ubi jalar pun tidak dapat lepas dari serangan hama spodoptera

litura atau yang lebih dikenal dengan sebutan ulat grayak. Sedangkan penyakit

yang sering menyerang ubi jalar adalah penyakit bercak daun.

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalaah :

a. Seperti apa sebaran, tanaman inang, morfologi dan biologi, kerusakan

yang diakkibatkan oleh hama dan penyakit yang menyerang pada tanaman

ubi jalar?

b. Bagaimana cara mengendalikan serangga maupun pathogen yang

menyerang ubi jalar?

Page 4: makalah hama ubi

1.3 Tujuan

Setelah mengetahui dan mempelajari rumusan masalah diatas, maka tujuan

yang diharpkan adalah :

a. Dapat menyebutkan sebab dan tanaman inang hama dan penyakit ubi jalar.

b. Menjelaskan dan memebedakan morfologi dan biologi dan kerusakan yang

diakibatkan oelh hama dan penyakit ubi jalar.

c. Menjelaskan cara pemantauan masing-masing hama dan cara pengendalian

yang didasarkan pada pengendalian hama terpadu.

Page 5: makalah hama ubi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

C. formicarius merupakan hama utama pada ubi jalar dan tersebar di

seluruh dunia (Capinera 1998; Komi 2000; Morallo dan Rejesus 2001). CIP

(1991) melaporkan bahwa C. formicarius adalah hama utama dan termasuk 10

kendala utama yang perlu mendapat perhatian. Di Kenya (Afrika), hama ini

merupakan kendala kedua dalam peningkatan mutu ubi jalar. Di Florida (Amerika

Serikat), hama ini selalu ada sepanjang tahun (Waddil 1982), begitu pula di

Indonesia, (Waluyo 1992; Nonci et al. 1994; Supriyatin 2001). C. formicarius

merusak umbi di lapangan, di tempat penyimpanan, dan di karantina (Komi 2000;

Sheng 2000).

Ulat grayak (Spodoptera litura F.) (Lepidoptera, Noctuidae) merupakan

salah satu hama daun yang penting karena mempunyai kisaran inang yang luas

meliputi kedelai, kacang tanah, kubis, ubi jalar, kentang, dan lain-lain. S. litura

menyerang tanaman budidaya pada fase vegetatif yaitu memakan daun tanaman

yang muda sehingga tinggal tulang daun saja dan pada fase generatif dengan

memangkas polong–polong muda (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan

1985). Menurut Adisarwanto & Widianto (1999) serangan S. litura menyebabkan

kerusakan sekitar 12,5% dan lebih dari 20% pada tanaman umur lebih dari 20 hst.

Page 6: makalah hama ubi

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Hama Boleng

a. klasifikasi

Kingdom : Animalia

Filum :

Kelas :

Ordo : Coleoptera

Famili : Cucculionidae

Spesies : Cylas formicarius

b. Sebaraan

Cylas formicarius dijumpai hampir di seluruh daerah pertanaman ubi jalar

di dunia, baik di daerah tropika maupun subtropika. Di Indonesia, C. formicarius

banyak ditemukan di Papua, Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Nusa Tenggara

(Nonci dan Sriwidodo 1993; Trustina et al. 1993). Di Amerika Serikat, hama

tersebut pertama kali ditemukan di Louisiana pada tahun 1875, kemudian di

Florida tahun 1878 dan Texas tahun 1890, dan diduga masuk melalui Kuba. Saat

ini hama itu sudah ditemukan di seluruh pantai bagian tenggara mulai dari

Carolina Utara hingga Texas, juga ditemukan di Hawai dan Puerto Rico (Capinera

1998). Komi (2000) melaporkan bahwa C. formicarius pertama kali ditemukan di

Jepang pada tahun 1900-an kemudian menyebar ke bagian utara Pulau Amami,

Tokara, Setokuchi, kemudian menjadi endemik. Pada tahun 1995, C. Formicarius

ditemukan untuk pertama kalinya di kota Muroto di Kochi Prefecture..

c. Tanaman inang selain ubi jalar

Tanaman inang kumbang C. Formicarius adalah dari famili

Convolvulaceae, terutama genus Ipomoea. Ubi jalar adalah inang yang paling

sesuai, diikuti oleh Ipomoea aquatica (bayam air). Kangkung liar (I. pescapreae

dan I. panduratea) juga merupakan inang liar yang cocok (Capinera 1998).

Selanjutnya Moody et al. (1984) dan AVRDC (2004) melaporkan bahwa selain

Page 7: makalah hama ubi

ubi jalar, tanaman morning glory (I. triloba) (Gambar 6) juga merupakan inang

yang sesuai. Namun, larva C. formicarius lebih menyukai ubi jalar dibanding

morning glory. Beberapa tanaman dari famili Convolvulaceae, seperti Merramia

emerginata, M. mammosa, dan Ipomoea sp. juga merupakan tanaman inang C.

formicarius (Austin 1991). Inang antara ini selalu ada sepanjang tahun sehingga

akan mempengaruhi perkembangan populasi hama tersebut. Sharp (1995)

melaporkan bahwa spesies liar yang disenangi oleh C. formicarius adalah

Calystegia soldanella, Dichondra carolinensis, I. alba, I. barlerioides, I. cardato

triloba, I. hederacea, I. hederifolia, I. horsfalliae, I. imperati, I. indica, I.

lacunosa, I macrorhiza, I. obscura, I. pandurata, I. sagittata, I. separia, I. setosa,

I. triloba, I. tubinata, I. turbinata, I. wrightii, Jacquemontia curtissii, Merremia

dissecta, dan Stictocardia tiliifolia

Gambar 6. Ipomoea triloba L. (morning glory), inang alternatif Cylas formicarius

(Moody et al. 1984).

b. Morfologi, Ekologi dan biologi

Siklus hidup C. formicarius memerlukan waktu 1–2 bulan, secara umum

35–40 hari pada musim panas. Generasinya tidak merata, demikian pula jumlah

generasi selama setahun. Di Indonesia, terdapat 9 generasi C. formicarius dalam

setahun, (Nonci dan Sriwidodo 1993; Supriyatin 2001), di Florida 6–8 generasi, di

Texas 5 generasi, dan di Louisiana Amerika Serikat 8 generasi (Waddil 1982;

Capinera 1998). Serangga dewasa tidak berdiapause, tetapi cenderung tidak aktif

bila kondisi lingkungan kuran sesuai. Semua fase pertumbuhan dapat ditemukan

sepanjang tahun jika tersedia makanan yang sesuai.

Telur

Telur diletakkan di dalam rongga kecil yang dibuat oleh kumbang betina

dengan cara menggerek akar, batang, dan umbi. Telur diletakkan di bawah kulit

Page 8: makalah hama ubi

atau epidermis, secara tunggal pada satu rongga dan ditutup kembali sehingga

sulit dilihat (Morallo dan Rejesus 2001; AVRDC 2004). Menurut Supriyatin

(2001), telur C. formicarius sulit dilihat karena ditutup dengan bahan semacam

gelatin yang berwarna cokelat. Telur C. formicarius berwarna putih krem,

berbentuk oval tak beraturan (AVRDC 2004, Gambar 1), berukuran 0,46– 0,65

mm (Supriyatin 2001), sedangkan menurut Capinera (1998) panjang telur 0,77

mm dengan lebar 0,50 mm. Di Florida, lama fase telur berkisar 5 hari pada musim

panas dan 11–12 hari bila musim dingin (Capinera 1998). Periode inkubasi telur

beragam sesuai dengan suhu, yakni 4 hari pada suhu 30oC dan 7, 9 hari pada suhu

20oC. Di Indonesia, rata-rata lama fase telur adalah 7 hari (Supriyatin 2001),

sedangkan di India 6,30 hari Rajamma (1983). Seekor kumbang betina

meletakkan telur 3–4 butir/ hari atau 75–90 butir selama hidupnya (30 hari). Di

laboratorium, setiap ekor kumbang betina mampu meletakkan telur 122–250 butir

(Capinera 1998), sedangkan menurut Supriyatin (2001) sekitar 90–340 butir.

Gambar 1. Telur Cylas formicarius (AVRDC 2004).

Larva

Larva yang baru menetas berukuran lebih besar dari telur, tanpa kaki,

berwarna putih dan lambat laun berubah menjadi kekuningan (AVRDC 2004,

Gambar 2). Larva yang baru menetas langsung menggerek batang atau umbi. Bila

larva menggerek batang, biasanya arah gerekanmenuju umbi. Larva C.

formicarius terdiri atas tiga instar dengan periode instar pertama 8– 16 hari, instar

kedua 2–21 hari, dan instar ketiga 35–56 hari (Capinera 1998). Supriyatin (2001)

melaporkan bahwa larva C. formicarius terdiri atas 5 instar dalam waktu 25 hari.

Suhu merupakan faktor utama yang m empengaruhi tingkat perkembangalarva.

Perkembangan larva mencapai 10 dan 35 hari berturut-turut pada suhu 30oC dan

24oC (Capinera 1998). Di India, fase larva di laboratorium rata-rata berlangsung

Page 9: makalah hama ubi

16 hari (Rajamma 1983) dan di Taiwan 25–35 hari. Larva instar akhir berukuran

panjang 7,50– 8 mm dan lebar 1,80–2 mm (CABI 2001, Gambar 3), berwarna

putih kekuningan. Caput besar berukuran sepertiga dari panjang badan dan

seperdua dari lebar badan. Kepala berwarna kuning hingga cokelat, mandibula

kuning hampir hitam dan abdomen larva agak besar Gambar 1. Telur Cylas

formicarius (AVRDC 2004).

Gambar 2. Larva Cylas formicarius instar 1(kiri) dan instar 3 (kanan) (Castner,

dalam Capinera 1998).

Pupa

Larva instar akhir membentuk pupa pada umbi atau batang, berbentuk

oval, kepala dan elytra bengkok secara ventral. Panjang pupa berkisar 6–6,50 mm

(Capinera 1998; CABI 2001; AVRDC 2004). Pupa berwarna putih, tetapi seiring

dengan waktu dan perkembangannya, berubah menjadi abu-abu dengan kepala

dan mata gelap. Lama masa pupa berkisar 7–10 hari, tetapi pada cuaca dingin

dapat mencapai 28 hari (Capinera 1998). Di laboratorium di India, rata-rata

stadium pupa adalah 4,10 hari (Rajamma 1983).

Serangga Dewasa

Kumbang yang baru keluar dari pupa tinggal 1–2 hari di dalam kokon,

kemudian keluar dari umbi atau batang. CABI (2001) melaporkan bahwa

kumbang C. formicarius menyerupai semut, mempunyai abdomen, tungkai, dan

caput yang panjang dan kurus (Gambar 4). Kepala berwarna hitam, antena,

thoraks,dan tungkai oranye sampai cokelat kemerahan, abdomen dan elytra biru

metalik (Capinera 1998; Morallo dan Rejesus 2001). Supriyatin (2001) juga

menyatakan bahwa C. Formicarius mempunyai kepala, abdomen, dan sayap

depan berwarna biru metalik, sedangkan kaki dan dadanya cokelat. Tungkai

mempunyai cincin di sekeliling tibia. Antena mempunyai 10 ruas. Perbedaan

kumbang jantan dan betina terletak pada antena. CABI (2001) melaporkan bahwa

Page 10: makalah hama ubi

antena kumbang jantan berbentuk benang, ruas antena mempunyai jarak yang

sempit, dan tidak sama, berbentuk sosis, dan panjangnya lebih dari dua kali

panjang flagelum. Antena kumbang betina berbentuk gada, jarak ruas antena 2/3

dari panjang flagelum (Gambar 5).

Suhu sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan lama hidup C.

formicarius. Mullen (1981) menyatakan bahwa kumbang C. formicarius yang

dipelihara pada ubi jalar varietas Jewel menurun perkembangannya sejalan

dengan meningkatnya suhu dari 20oC menjadi 30oC. Kumbang akan hidup lebih

lama pada suhu 15oC sehingga penyimpanan ubi jalar pada suhu 15oC belum

dapat memusnahkan populasi C. formicarius. Kumbang betina dapat hidup 113

hari dan mampu bertelur 90– 340 butir. Siklus hidup setiap generasiberlangsung

38 hari, sehingga dalam setahun terdapat 9 generasi (Supriyatin 2001). Di India

siklus hidup C. Formicarius berkisar 23,20–24,70 hari pada bulan Februari–Mei,

26,20–26,50 hari pada bulan Juni–September, dan 27–29,10 hari pada bulan

Oktober–Januari. Periode praoviposisi, oviposisi, dan pascaoviposisi berturut-

turut adalah 8,40; 82,60; dan 6,10 hari (Rajamma 1983). Pada suhu 15oC di

laboratorium, serangga dewasa dapat hidup lebih dari 200 hari jika makanan

tersedia, dan hanya 30 hari jika dilaparkan. Namun, lama hidup kumbang

menurun menjadi 3 bulan jika dipelihara pada suhu 30oC dengan makanan, dan 8

hari tanpa makanan (Capinera 1998). Kumbang dapat terbang tetapi jarang terjadi

dan jarak terbangnya relatif dekat. Kaku et al. (1999) melakukan pengamatan

terhadap pergerakan kumbang C. formicarius di laboratorium pada suhu 27oC,

RH 70% dan 16 jam terang serta 8 jam gelap. Persentase kumbang dewasa yang

bergerak dari satu umbi ke umbi lainnya selama 7 hari adalah 77,10% untuk

kumbang jantan dan 40% untuk kumbang betina. Persentase pergerakan kumbang

jantan pada umbi yang berumur 30 hari adalah 91,90% dan kumbang betina

41,40%. Dengan demikian, kumbang jantan bergerak lebih sering dibanding

kumbang betina, dan kumbang jantan tua lebih aktif dibanding kumbang jantan

muda

Page 11: makalah hama ubi

Gambar 4. Kumbang Cylas formicarius

(CABI 2001). Gambar 5. Kumbang betina Cylas

formicarius dengan antena bentuk

gada (CABI 2001)

c. Kerusakan

C. formicarius merupakan kendala utama dalam peningkatan mutu ubi

jalar (CIP 1991). Di Kenya, hama ini merupakan kendala kedua. Di Florida, hama

ini selalu ada sepanjang tahun dan dapat menghasilkan 6–8 generasi setiap tahun

(Waddil 1982). Kumbang dewasa makan, bertelur, dan berlindung pada akar,

batang, dan umbi. Kumbang menyerang epidemis akar atau batang dan

permukaan luar umbi dengan cara membuat lubang gerekan. Larva juga

menyerang akar, batang, dan umbi dengan cara yang sama, tetapi sisa gerekan

ditumpuk di sekitar lubang gerekan (Gambar 2 dan 3) dengan bau yang khas.

Umbi yang rusak menghasilkan senyawa terpenoid sehingga terasa pahit, dan

tidak dapat dikonsumsi walaupun kerusakannya rendah (Jansson et al. 1987).

Hasil pengujian laboratorium di Jepang menunjukkan bahwa akar tanaman ubi

jalar yang terserang kumbang C. formicarius selama 24 jam akan menghasilkan

terpene phytoalexins. Diduga enzim pektolitik yang terdapat pada kumbang C.

formicarius adalah terpen (Sato et al. 1982). Selanjutnya dinyatakan bahwa sisa

gerekan di dalam batang menyebabkan malformasi, penebalan, dan patahnya

batang rambat serta daun menjadi hijau pucat. Supriyatin (2001) mengemukakan

bahwa warna jaringan di sekitar lubang gerekan pada umbi akan berubah menjadi

lebih gelap dan membusuk, sehingga umbi tidak layak dikonsumsi karena rasanya

pahit. Bila dikonsumsi umbi tersebut akan merangsang pembentukan senyawa

toksik yang dapat mempengaruhi kerja hati dan paru-paru manusia (Supriatin

2001).

Page 12: makalah hama ubi

Di Indonesia, kerusakan akibat serangan kumbang C. formicarius terjadi

sejak tahun 1918. Kehilangan hasil akibat serangan hama ini berkisar antara 10–

80%, bergantung pada lokasi, jenis lahan, dan musim (Bahagiawati 1989; Widodo

et al. 1994). Selanjutnya Nonci dan Sriwidodo (1993) melaporkan bahwa di

kebun percobaan Bontobili Sulawesi Selatan pada musim kemarau, persentase

umbi rusak oleh C. formicarius adalah 62,41%, 81,88%, 59,99% dengan hasil

umbi segar 33,70; 25,39; dan 25,89 t/ha masingmasing untuk varietas Kalasan,

Mendut, dan lokal Gowa. Di Homestead Florida, kehilangan hasil akibat serangan

C. formicarius berkisar 60−80%. Kerusakan kecil pun pada umbi menyebabkan

umbi tidak layak dikonsumsi karena adanya senyawa terpenoid (Sato et al. 1982,

Jansson et al. 1987).

d. Pemantauan

Pemantauan hama ini sulit untuk dilakukan karena serangga hidup didaam

umbi. Pada daerah endemi pamantaaun dapat dilakukan dengan menggunakan

perangkap lampu. Ambang ekonomi hama ini belum tersedia.

e. Pengendalian

Pengendalian C. formicarius dengan insektisida secara konvensional sulit

dilakukan karena hama ini terdapat di dalam batang dan umbi. Pengendalian hama

ini akan lebih efektif dengan menerapkan konsep pengendalian hama terpadu

(PHT). PHT merupakan pendekatan ekologi dalam pengelolaan agroekosistem.

Oleh karena itu, PHT mengutamakan berfungsinya mekanisme pengendalian

alami yang secara dinamis dapat menjaga populasi hama tetap berada pada

keseimbangan umum yang rendah. Komponen PHT meliputi penggunaan varietas

tahan, teknik bercocok tanam, musuh alami, dan penggunaan pestisida bila

diperlukan. CABI (2001) melaporkan bahwa beberapa komponen pengendalian C.

formicarius yang telah diteliti meliputi teknik bercocok tanam, pemusnahan inang

antara, serta penggunaan varietas tahan, musuh alami, dan seks feromon.

Budi Daya

Pengendalian dengan teknik budi daya meliputi penggantian atau

modifikasi cara bercocok tanam yang secara langsung atau tidak langsung dapat

menurunkan populasi atau memutus siklus hidup C. formicarius. Cara ini tidak

mencemari lingkungan, relatif mudah dilaksanakan, dan kompatibel dengan

Page 13: makalah hama ubi

pengendalian yang lain. Pergiliran tanaman merupakan cara budi daya yang dapat

mencegah serangan kumbang C. formicarius. Dianjurkan menanam ubi jalar

hanya sekali dalam 5 tahun, mencegah menanam 2 tahun berturut-turut pada areal

yang sama, atau menanam padi di antara dua pertanaman ubi jalar (AVRDC

2004). Pada prinsipnya pergiliran tanaman bertujuan mematahkan siklus hidup C.

formicarius. Tumpang sari ubi jalar dengan buncis, ketumbar, labu, lobak, adas,

kacang hijau, dan kacang tanah juga dapat mencegah serangan hama tersebut

(CABI 2001). Retakan tanah merupakan jalan utama bagi hama untuk mencapai

umbi dan akar untuk meletakkan telur. Umbi yang bertambah besar menyebabkan

tanah menjadi retak. Di Taiwan, kerusakan umbi lebih sedikit pada musim hujan

karena retakan tanah berkurang (AVRDC 2004). Retakan tanah dapat ditutup

dengan memberikan air, mencangkul atau menggunakan mulsa. Trustina et al.

(1993) menyatakan bahwa tingkat serangan C. formicarius dipengaruhi oleh kadar

air tanah. Kadar air tanah 15−35% akan menimbulkan kerusakan 26,19−48,07%

di Muneng dan kadar air tanah 20−35% menimbulkan kerusakan 36,72–37,30% di

Kendalpayak. Pada periode yang sama di Muneng, bila kadar air tanah konstan

sekitar 20%, maka kerusakan menjadi 26% dan bila kadar air tanah berkurang

hingga 15%, maka kerusakan menjadi 49%. Sanitasi dengan membersihkan

sisasisa tanaman setelah panen juga penting dalam pengendalian C. formicarius,

karena hama ini terdapat pada akar dan batang. Dianjurkan mencabut

danmemusnahkan semua tanaman inang alternatif. Pucuk batang (25–30 cm)

merupakan bibit tanaman terbaik, karena bebas dari telur dan larva (AVRDC

2004).

Inang Resisten

Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, berbagai penelitian telah dilakukan

untuk mendapatkan sumber ketahanan terhadap C. formicarius dari tanaman inang

resisten kemudian menggabungkannya ke dalam kultivar yang dibudidayakan.

Pengujian di laboratorium (USDA dan TITA) di Nigeria dan AVRDC Taiwan

sejak tahun 1970-an telah mendapatkan beberapa kultivar ubi jalar tahan terhadap

hama ini. Lingkungan memegang peranan penting dalam interaksi antara tanaman

dan C. formicarius. Mullen (1984) menguji ketahanan 12 kultivar ubi jalar di

Georgia AS, dan mendapatkan satu kultivar yang tahan yaitu W101. Selanjutnya

Page 14: makalah hama ubi

Talekar (1997) melaporkan bahwa dari 1.243 ubi jalar yang dievaluasi di

lapangan, dua klon yaitu I 123 (6.712) dan I 959 (W-115) dan empat progeni dari

persilangan antara ubi jalar dan Ipomoea trifida menunjukkan tingkat ketahanan

yang sangat tinggi terhadap C. formicarius. Terdapat korelasi positif antara

jumlah C. formicarius dalam rambatan atau jumlah tanam rusak dengan diameter

batang yang digunakan sebagai bibit. Supriyatin (2001) telah mengevaluasi

ketahanan 54 klon harapan ubi jalar di Muneng dan mendapatkan 16 klon yang

tahan dan agak tahan terhadap C. formicarius. Dari 16 klon tersebut, tujuh klon

mempunyai potensi hasil lebih dari 10 t/ha, yaitu MSU 98-14, MSU 152-27,

Cangkuang, MSU 163-9, MSU 34-38, MSU 162-4, dan MSU 112-1. Pada

penelitian tersebut tidak dilakukan infestasi buatan, dan klon Pa’ong sebagai

pembanding peka terserang 70% di lahan kering dan 61% di lahan sawah.

Beberapa klon potensial yang tahan terhadap C. formicarius adalah klon

Musuh Alami

Capinera (1998) melaporkan bahwa beberapa spesies parasitoid C.

Formicarius yang telah berhasil diperbanyak di laboratorium adalah Bracon

mellitor Say., B. punctatus (Muesebeck), Metapelma spectabile Westwood

(semua termasuk ordo: Hymenoptera: Braconidae) dan Euderus purpureas

Yoshimoto (Hymenoptera: Eulophidae). Selanjutnya Supriyatin (2001)

menyatakan bahwa dua jenis parasitoid Microbracon cylasovarus dan Bassus

cylasovarus efektif menekan populasi C. formicarius. Sharp (1995) melaporkan

bahwa Phaidole megacephala (semut berkepala besar) efektif memangsa C.

formicarius. Predator ini lebih efektif dibanding insektisida dalam menekan

populasi C. formicarius. Berdasarkan hasil pengamatan di lapang, pemangsa C.

formicarius meliputi semut, kumbang, belalang (Staphylinidae), dan laba-laba

yang hidup aktif pada pertanaman ubi jalar (Supriyatin 2001). Musuh alami yang

berupa patogen belum banyak diketahui baik jenis maupun perannya. Beberapa

jenis patogen yang menjadi musuh alami C. Formicarius adalah jamur, virus,

bakteri, protozoa, dan nematoda. Di antara jamur entomopatogenik, Beauveria

bassiana adalah yang paling efektif. Mortalitas C. Formicarius mencapai 80–90%

jika spora B. bassiana diaplikasikan pada tanah steril (Talekar et al. 1989).

Capinera (1998) menyatakan bahwa B. bassiana mampu menyebabkan kematian

Page 15: makalah hama ubi

yang besar pada kondisi kelembapan tinggi dan kepadatan C. formicarius yang

juga tinggi.

Insektisida

Sekitar 10% petani ubi jalar di Sulawesi Selatan menggunakan insektisida

untuk mengendalikan C. formicarius (Nonci dan Sriwidodo 1993), sedangkan di

Jawa Timur dan Jawa Tengah sekitar 20% (Supriyatin 2001). Penggunaan

insektisida sintetis untuk mengendalikan hama ini tetap dianjurkan, baik

insektisida dalam bentuk cairan maupun butiran, terutama yang sistemik. Aplikasi

insektisida pada saat tanam dapat mencegah kerusakan pada bibit, dan aplikasi

setelah tanam dapat mencegah serangan C. Formicarius dari tanaman di

sekitarnya. Penggunaan insektisida akan lebih baik jika dikombinasikan atau

dipadukan dengan komponen-komponen pengendalian lainnya seperti varietas

tahan, cara budi daya (pergiliran tanaman, tanam serempak, sanitasi), dan musuh

alami (predator dan parasit). Nonci et al. (1994) melaporkan adanya interaksi

antara penggunaan Varietas Kalasan dan insektisida (karbofuran). Varietas

Kalasan yang dilepas pada tahun 1991 mempunyai sifat agak tahan terhadap C.

formicarius serta beradaptasi baik pada lahan kering beriklim kering. Karbofuran

dengan dosis 25 kg/ha/aplikasi yang diberikan saat tanam dan pada 60 hari setelah

tumbuh efektif menekan populasi dan kerusakan oleh C. formicarius pada pangkal

batang dan umbi. Pada intensitas serangan yang berat, hasil umbi segar varietas

lokal Sidrap tetap tinggi, mencapai 23,10 t/ha, namun mutu umbi sangat rendah.

Penampilan umbi tampak utuh, tetapi bila dibelah terdapat sisa kotoran larva C.

formicarius berwarna hitam pada seluruh umbi. Waluyo (1992) mengemukakan

bahwa kotoran C. formicarius dalam umbi menyebabkan umbi bertambah berat

dan terasa pahit jika dimakan.

Seks Feromon

Seks feromon merupakan salah satu bagian dari sistem pengendalian hama

terpadu. Formulasi seks feromon untuk C. formicarius telah dikembangkan begitu

pula desain perangkap di lapang an. Di Taiwan, penggunaan empat perangkap/

0,10 ha yang dipadukan dengan insektisida mengurangi kerusakan umbi oleh C.

formicarius sekitar 57−65% (Hwang 2000). Selanjutnya Supriyatin (2001)

menyatakan bahwa kombinasi seks feromon dengan pencelupan setek ke dalam

Page 16: makalah hama ubi

larutan karbofuran 0,05% ba/ ha selama 20 menit saat tanam, dapat menekan

populasi C. formicarius sehingga hasil yang diperoleh lebih tinggi daripada

perlakuan lainnya. Perangkap feromon juga dapat digunakan untuk menandai dan

memonitor keberadaan C. formicarius di lapang. Hwang (2000) mengemukakan

bahwa seks feromon (2)-3-dodecen-1-01 (E)-2- butenoate, mampu menarik

serangga betina.

3.1 Ulat Grayak

a. Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Filum : Arthopoda

Kelas : Insectas

Ordo : Lepidoptera

Famili : Noctiudae

Spesies : Spodoptera litura

b. Sebaran

Hama ini terdapat di Australia, Asiaa tenggara, China, Indiaa, Indonesia,

Jepang, Pakistan, Papua nugini, dan Selandia Baru.

c. Tanaman Inang Selain Ubi Jalar

Polifage padi, sorghum, dan kelompok graminae lain, temabakau, tebu,

tembakau dan inang lainnya.

d. Morfologi dan Biologi

Larva instar awal berwal hijau muda atau hijau tua sampai seperti hitam

dengan garis samping yang sempit. Larva instar akhir berwarna kelabu tua atau

muda dengan garis samping yang yang jelas. Pada bagian muka ada tanda seperti

huruf seperti A. Pada tungkai abdomen (proleg) ada bercak hitam. Setelah

berkembang penuh panjang larva dapat mencapai 45 mm. Pupa berwarna

coklatgelap dalam kokon berbentuk oval. Negngat betina berwarnaa kemerahan

atau abu-abu dengan bercak warnaa gelap ditengah sayap depan. Sayap belakang

berwarna putih. Sayap belakang berwarna putih. Ngengat jantan memiliki

rentangan sayap 22-30 mm dan yang betina 24-36 mm.

Page 17: makalah hama ubi

Ngengat betina meletakan telur dalam barisan memanjang, dibalik daun

bagian dasar. Satu ngengat betina mampu menghasilakn telur sekitar5 hari. Larva

aktif pada malam hari. Pada siang hari bersembunyi dibawah pohon atau berada

didalam tanah. Oleh karena itu pengamatan yang dilakukan pada siang hari tidak

akan menghasikan data yang akurat. Seringkali hama ini tidak terlihat namun

kerusaakan yang diakibatkan kerusakan yang diakibatkannya cukup berat. Larva

hama ini bergerak seperti ulat jengkal dan memakan bagian tepi daun yang lunak

sehingga daun tinggal tulangnya. Larva yang sudaah besar memakan sseluruh

daun kecuali bagian tulaang daun yang ada ditengah. Stadia larva sekitar 18 hari.

Selanjutnya larva masuk ke tanah dan membentuk pupa 4 cm di bawah tanah.

Stadia pupa sekitar 18 hari. Siklus hama ini rat-rata 31 (25-64 hari).

e. Kerusakan

Pada gejala awal daun bolong-bolong. Larva memakan daun. Larva insstra

muda hanya memakan bagian tepi daun. Larva yang sudah besar memakan

seluruh berserakan diatas tanah dan akhirnya tanaman akan mati. Serangan pada

paadi dapat memotong tangkai mayang hingga banyak butiran padi yang tersebar

di atas tanah.

f. Pemantauan

1. Pengamata dilakukan pada tanamanberumur 14 – 42 hari, terutama

ditujukan pada larva instar awal. Untuk mendapatkan data populasi larva

yang akurat, pengamatan sebaiknya dilakukan pada sore atau malam hari.

2. Metode pamantauan. Pemilihan tanaman contoh dilakukan dengan

emmilih tanaman secara acak dan selanjutnya jumlah larva pad abagian

pucuk dihitung.

3. Ambang ekonomi. Ambang ekonomi dari direktorat perlindungan

tanaman pangan yaitu dua kelompok instar 1 per 30 tanaman.

g. Pengendalian

Page 18: makalah hama ubi

1. Pengendalian dilakukan pada instar awal, yaitu secara mekanik dengan

memencet larva yang masih berukuran keci yang mengelompok dibagian

pucuk

2. Musuh alami hama ini antara lain katak, burung, bebrapa tabuhan

parasitoid, jamur pathogen serangga dan yang lainnya.

3. Aplikasi insektisida setelah populasi hama mencapai ambang ekonomi

pada tanaman saampai unur 42 HST. Penegndalian dengan insektisida

ditujukan pada larva instar awal. Larva yang besar umumnya sulit

dikendalikan.

3.3 Bercak Daun oleh Pathogen Psedocercospora timurensis.

a. Klasifikasi

Kingdom : Fungi

Filum : Ascomycota

Kelas : Dothideomycetes

Ordo : Mycosphaerellales

Famili : : Mycosphaerellaceae

Spesies : Psedocercospora timurensis

b. Sebaran

Amerika selatan, Australia, Asia, Afrika.

c. Morfologi dan Biologi

Bintik daun sudut untuk bulatan, tersebar, lebar 2-8 mm, coklat

kekuningan untuk cokelat tua, dengan perbatasan gelap yang tak terbatas, kadang-

kadang dengan permukaan cekung atau cembung. Terutama hypophyllous

berbuah. Stromata kurang atau belum sempurna, mengisi stomatal pembukaan,

cokelat. Conidiophores 3-12 dalam bulir, berwarna kuning langsat cokelat pucat,

pucat dan sempit menuju puncak, 0-2 septate, jarang bercabang, tidak atau sedikit

geniculate, conically memotong di puncak, 5-50 × 3-5 μm. Subhyaline untuk

Conidia cokelat pucat berwarna kuning langsat, cylindro-obclavate, cylindric yang

lebih pendek, langsung agak melengkung, 2-12 septate, tumpul di puncak,

obconic untuk ob-conically memotong di pangkal, 20-100 × 2-4 μm.

Page 19: makalah hama ubi

d. Tanda

Bintik-bintik halus berwarna perang, berbentuk bulat dan bersiku-siku pada

daun. Serangan teruk menyebabkan daun luruh. Kerap terjadi dalam keadaan

cuaca lembab

e. Daur hidup

Jamur membetnuk spora (konidium) pada kesua permukaan jamur.

Konidiofor berkumpul 3-12 buah, keluar dari mulut kulit.

f. Daur penyakit

Konidiofor P. Timurensis terutama disebabkan oleh hujan dan angin.

g. Gejala

Pada daun terdapat bercak-bercak bulat datau tidak teratur, tersebar dengan

6-10 mm, mula-mula coklat kekuningan tanpa batas yang tegas.

h. Faktor yang mempengaruhi

Penyakit banyak terdapat dalam cuaca yang sejuk.

i. Pengendalian

Menggunakan varietas tahan, jika serangan mencapai ambang batas

ekonomi maka menggunakan pestisida.

Page 20: makalah hama ubi

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Hama boleng yang disebabkan oleh Cylas Formicarius merupakan

hama uatma yang sulit dikendalikan dan menyebabkan kerugian yang cukup

besar pada produksi ubi jalar. Ulat grayak dapat menjadi hama yang sangat

merugikan pada saat serangan tinggi, karena daun-daun yang dimakannya bisa

hanya tinggal tulang daunnya saja, dengan demikian lama keaman tanaman

ubi jlar akan menjadi mati karena tidak mampu lagi berfotosintesis.

Sedangkan penyakit pada daun yang disebabkan oleh P. Timorensis juga akan

menggangu fungsi fotosintesis dan respirasi tanaman ubi jalar.

4.2 Saran

Dalam makalah ini tentu banyak sekali kekurangan, oleh karena itu

disarankan bagi pemakalah lain yang akan menulis maupun menyusun tentang

hama dan penyakit pada ubi jalar dapat mencari bahan refereensi lebih

lengkap lagi.

Page 21: makalah hama ubi

DAFTAR PUSTAKA

Cline, Erika. 2005.Psedocecospora timorensis (cooke) Deighton 1976.

http://nt.ars-grin.gov/sbmlweb/onlineresources/nomenfactsheets/

rptBuildFactSheet_onLine.cfm?thisName=Pseudocercospora

%20timorensis&currentDS=specimens. Diakses pada tanggal 19 Oktober

2009

Hennie, J, Dkk. 2003. Jurnal : Kerentanan Larva Spodoptera litura F. terhadap

Virus Nuklear Polyhedrosis. Faperta, Universitas Riau.

Nonci, Nurnina. 2005. Jurnal Litbang Pertanian: Bioekologi dan Pengendalian

Kumbang Cylas fornicarius Fabricius (Coleoptera : Curculionidae). Balai

Penelitian Tanaman Serealia, Jalan Dr. Ratulangi No. 274 Maros 90514,

Sulawesi Selatan.

Suharto. 2007. Pengenalan dan Pengendalian Hama Tanaman Pangan.

Yogyakarta: Andi.