Makalah Gerakan Separatis Di Papua

22
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Siapa yang tidak kenal dengan peta diatas? Itulah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara kita tercinta. Indonesia begitu luas dari tanah Sabang yang ada di bumi “Serambi Mekah” hingga ke Merauke yang ada di “Bumi Cendrawasih”. Tidak hanya luas daratannya saja, tapi lautan Indonesia juga begitu luas. Sebuah anugrah dari Tuhan yang patut kita syukuri dan jaga. Indonesia merupakan sebuah negara besar dengan terdiri lebih dari 17.000 pulau baik besar maupun kecil. Indonesia terdiri dari 33 propinsi dimana merupakan hasil pemekaran yang dulunya hanya 27 propinsi. Indonesia terdiri berbagai macam suku, budaya dan agama. Penduduknya yang hampir mencapai 250 juta lebih ternyata bukanlah perkara mudah bagi pemimpin Indonesia untuk mengurusnya. Kompleknya berbagai macam persoalan yang ada membuat Indonesia semakin terpuruk dalam ketidakpastian akan kesejahteraan rakyat. 1

description

Makalah Gerakan Separatis Di Papua

Transcript of Makalah Gerakan Separatis Di Papua

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Siapa yang tidak kenal dengan peta diatas? Itulah Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang merupakan negara kita tercinta. Indonesia begitu luas dari tanah Sabang

yang ada di bumi “Serambi Mekah” hingga ke Merauke yang ada di “Bumi Cendrawasih”.

Tidak hanya luas daratannya saja, tapi lautan Indonesia juga begitu luas. Sebuah anugrah

dari Tuhan yang patut kita syukuri dan jaga. Indonesia merupakan sebuah negara besar

dengan terdiri lebih dari 17.000 pulau baik besar maupun kecil. Indonesia terdiri dari 33

propinsi dimana merupakan hasil pemekaran yang dulunya hanya 27 propinsi. Indonesia

terdiri berbagai macam suku, budaya dan agama. Penduduknya yang hampir mencapai

250 juta lebih ternyata bukanlah perkara mudah bagi pemimpin Indonesia untuk

mengurusnya. Kompleknya berbagai macam persoalan yang ada membuat Indonesia

semakin terpuruk dalam ketidakpastian akan kesejahteraan rakyat.

Jakarta yang merupakan ibukota dari Indonesia sendiri ternyata mempunyai

segudang masalah yang sampai sekarang belum ditemukan pemecahannya oleh para

pemimpin-pemimpinya. Pulau Jawa yang merupakan sebagai pusat akan seluruh kegiatan

pemerintahan di Indonesia juga ternyata mempunyai banyak problematika yang tidak

sedikit.

Bagaimana dengan daerah lain di luar pulau Jawa???

Fakta menunjukan ternyata kondisi di luar Pulau Jawa jauh lebih memprihatinkan.

Banyak masalah yang tidak kunjung selesai. Selain masalah kesejahteraan yang tidak

kunjung selesai, konflik antar kelompok masyarakat juga menjadi salah satu problem yang

patut diperhatikan.

1

Setelah Nangroe Aceh Darussalam yang bergejolak karena Gerakan Aceh

Merdekanya (GAM) berhasil diredakan dengan berbagai jalan diantaranya dengan operasi

militer bahkan dialog dengan GAM secara langsung. Kini muncul lagi gerakan yang

sampai sekarang belum terselesaikan yaitu Organisasi Papua Merdeka yang berada di

Tanah Cenderawasih, Irian Jaya. Seperti gerakan sparatis di daerah lainnya, pada dasarnya

OPM juga ingin memisahkan diri dari NKRI. Entah kenapa hingga sekarang konflik

berkepentingan ini belum juga dapat terselesaikan. Mengapa Papua tetap bergolak?

Apakah ada kepentingan yang menungganginya? Begitu kompleks masalah yang ada di

Papua, tapi kita harus yakin bahwa sesungguhnya Papua adalah Indonesia yang cinta

damai dan ingin hidup dalam kerukunan.

1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana sejarah terbentuknya OPM dan Proklamasi OPM?

2. Apa penyebab utama konflik Papua?

3. Apa saja upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam usaha menyelesaikan konflik

Papua sejak masa reformasi?

1.3. Tujuan

Tujuan pembuatan makalah ini adalah :

1. Untuk memenuhi tugas kelompok mata pelajaran Sejarah.

2. Untuk mengetahui sejarah terbentuknya OPM dan Proklamasi OPM.

3. Untuk mengetahui penyebab utama konflik Papua.

4. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan pemerintah dalam penyelesaian konflik

Papua.

2

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Terbentuknya OPM dan Proklamasi OPM

Tanggal 28 Juli 1965 adalah awal dari gerakan-gerakan kemerdekaan Papua Barat

yang ditempeli satu label yaitu OPM (Organisasi Papua Merdeka). Lahirnya OPM di kota

Manokwari pada tanggal itu ditandai dengan penyerangan orang-orang Arfak terhadap

barak pasukan Batalyon 751 (Brawijaya) dimana tiga orang anggota kesatuan itu dibunuh.

Picu "Proklamasi OPM" yang pertama itu adalah penolakan para anggota Batalyon Papua

(PVK = Papoea Vrijwilligers Korps) dari suku Arfak dan Biak untuk didemobilisasi, serta

penahanan orang-orang Arfak yang mengeluh ke penguasa setempat karena pengangguran

yang tinggi serta kekurangan pangan di kalangan suku itu.

Pada tanggal 14 Desember 1988, sekitar 60 orang berkumpul di stadion Mandala

di kota Jayapura, untuk menghadiri upacara pembacaan "Proklamasi OPM" serta

"Pengibaran Bendera OPM" yang kesekian kali.

Peristiwa ini agak berbeda dari peristiwa-peristiwa serupa sebelumnya. Soalnya,

untuk pertama kalinya, bukan bendera Papua Barat hasil rancangan seorang Belanda di

masa pemerintahan Belanda yang dikibarkan, melainkan sebuah bendera baru rancangan

si pembaca proklamasi, Thomas Wanggai, yang dijahit oleh isterinya yang berkebangsaan

Jepang, Ny. Teruko Wanggai.

Selain itu, Wanggai tidak menggunakan istilah "Papua Barat", seperti para

pencetus proklamasi-proklamasi OPM maupun para pengibar bendera OPM sebelumnya,

melainkan memproklamasikan berdirinya negara "Melanesia Barat". Kemudian, Thomas

Wanggai sendiri adalah pendukung OPM berpendidikan paling tinggi sampai saat itu. Ia

telah menggondol gelar Doktor di bidang Hukum dan Administrasi Publik dari Jepang dan

AS, sebelum melamar bekerja di kantor gubernur Irian Jaya di Jayapura.

Dibandingkan dengan gerakan-gerakan nasionalisme Papua sebelumnya, gerakan

Tom Wanggai mendapat perhatian yang paling luas dan terbuka dari masyarakat Irian

Jaya. Sidang pengadilan negeri di Jayapura yang menghukumnya dengan 20 tahun penjara

– tertinggi dibandingkan dengan vonis-vonis sebelumnya untuk para aktivis OPM –

mendapat perhatian luas.

Dengan segala pembatasan di atas, tonggak-tonggak sejarah mana yang paling

penting untuk disorot? Secara kronologis, ada lima tonggak sejarah yang paling penting

dalam pertumbuhan kesadaran nasional Papua.

Tonggak sejarah yang pertama adalah pencetusan berdirinya OPM di Manokwari,

tanggal 26 Juli 1965. Gerakan itu merembet hampir ke seluruh daerah Kepala Burung, dan

berlangsung selama dua tahun. Tokoh pemimpin kharismatis gerakan ini adalah Johan

Ariks, yang waktu itu sudah berumur 75 tahun.

3

Sedangkan tokoh-tokoh pimpinan militernya adalah dua bersaudara Mandatjan,

Lodewijk dan Barends, serta dua bersaudara Awom, Ferry dan Perminas. Inti kekuatan

tempur gerakan itu adalah para bekas anggota PVK, atau yang dikenal dengan sebutan

Batalyon Papua. Ariks dan Mandatjan bersaudara adalah tokoh-tokoh asli dari

Pegunungan Arfak di Kabupaten Manokwari, sedangkan kedua bersaudara Awom adalah

migran suku Biak yang memang banyak terdapat di Manokwari. Sebelum terjun dalam

pemberontakan bersenjata itu, Ariks adalah pemimpin partai politik bernama Persatuan

Orang New Guinea (PONG) yang berbasis di Manokwari dan terutama beranggotakan

orang-orang Arfak. Tujuan partai ini adalah mencapai kemerdekaan penuh bagi Papua

Barat, tanpa sasaran tanggal tertentu.

Tonggak sejarah yang kedua adalah empat tahun sesudah pemberontakan OPM di

daerah Kepala Burung dapat dipadamkan oleh pasukan-pasukan elit RPKAD di bawah

komando almarhum Sarwo Edhie Wibowo, "Proklamasi OPM" kedua tercetus. Peristiwa

itu terjadi pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura,

dekat perbatasan Papua Niugini, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki

dalam kosakata rakyat Irian Jaya, "Mavik".

Pencetusnya juga berasal dari angkatan bersenjata, tapi bukan seorang bekas

tentara didikan Belanda, melainkan seorang bekas bintara didikan Indonesia, Seth Jafet

Rumkorem. Seperti juga Ferry Awom yang memimpin pemberontakan OPM di daerah

Kepala Burung, Rumkorem juga berasal dari suku Biak.

Ironisnya, ia adalah putera dari Lukas Rumkorem, seorang pejuang Merah Putih di

Biak, yang di bulan Oktober 1949 menandai berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM)

dengan menanam pohon kasuarina di Kampung Bosnik di Biak Timur.

Sebagai putera dari seorang pejuang Merah Putih, Seth Jafet Rumkorem tadinya

menyambut kedatangan pemerintah dan tentara Indonesia dengan tangan terbuka. Ia

meninggalkan pekerjaannya sebagai penata buku di kantor KLM di Biak, dan masuk

TNI/AD yang memungkinkan ia mengikuti latihan kemiliteran di Cimahi, Jawa Barat,

sebelum ditempatkan di Irian Jaya dengan pangkat Letnan Satu bidang Intelligence di

bawah pasukan Diponegoro.

Namun kekesalannya menyaksikan berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia

menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, mendorong ia masuk ke hutan

bersama-sama para aktivis OPM dari daerah Jayapura sendiri.

Sebelumnya ia sudah membina hubungan dengan kelompok OPM pimpinan

Herman Womsiwor, orang sesukunya, di Negeri Belanda. Atas dorongan Womsiwor, ia

membacakan teks proklamasi Republik Papua Barat berikut dalam kedudukannya sebagai

Presiden Republik Papua Barat dengan memilih pangkat Brigadir Jenderal

PROKLAMASI

4

Kepada seluruh rakyat Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong

sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi. Dengan

pertolongan dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk mengumumkan

pada Anda sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli 1971, tanah dan rakyat Papua telah

diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka (de facto dan de jure). Semoga Tuhan

beserta kita, dan semoga dunia menjadi maklum, bahwa merupakan kehendak yang sejati

dari rakyat Papua untuk bebas dan merdeka di tanah air mereka sendiri dengan ini telah

dipenuhi.

Victoria, 1 Juli 1971

Atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat,

Seth Jafet Rumkorem (Brigadir-Jenderal)

Dalam upacara pembacaan proklamasi itu, Rumkorem didampingi oleh Jakob Prai

sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat?), Dorinus Maury sebagai Menteri

Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara

Pembebasan Nasional (TEPENAL), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima?)

TEPENAL Republik Papua Barat.

Tonggak sejarah ketiga yaitu Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang pegawai

negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani apa yang

mereka sebut "Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen", yang isinya menghendaki persatuan

bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua Niugini) sampai ke Sorong,

yang "100% merdeka di luar Republik Indonesia".

Sejak Februari 1975, lima di antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura.

Soalnya, salah seorang di antara penandatangan "proklamasi Sorong-Samarai" itu, Y. Ch.

Merino, orang Biak yang sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui,

pada tanggal 14 Februari 1975 kedapatan "bunuh diri" di Serui. Kabarnya dalam

penggeledahan di rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta. Sesudah dua

tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup, di antaranya abang

dari seorang alumnus FE-UKSW, diajukan ke pengadilan negeri Jayapura. Pada tanggal 9

Maret 1977, kelimanya divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan

"makar".

Tonggak sejarah keempat yaitu pada tanggal 26 April 1984. Pada tanggal ini,

pemerintah Indonesia melakukan "sesuatu" yang justru semakin menumbuhkan kesadaran

nasional Papua di Irian Jaya, yakni menciptakan seorang martir yang kenangannya (untuk

sementara waktu) mempersatukan berbagai kelompok OPM yang saling bertikai. Pada

tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka asal Irian Jaya, Arnold Clemens Ap,

ditembak di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, pada saat Ap sedang

5

menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke Vanimo, Papua

Niugini, ke mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman Arnold Ap telah mengungsi

terlebih dahulu tanggal 7 Februari 1984.

Arnold Ap yang lahir di Biak tanggal 1 Juli 1945, menyelesaikan studi Sarjana

Muda Geografi dari Universitas Cenderawasih, Abepura (13 Km sebelah selatan kota

Jayapura). Di masa kemahasiswaannya, ia turut bersama sejumlah mahasiswa Uncen yang

lama dalam demonstrasi-demonstrasi di saat kunjungan utusan PBB, Ortiz Sans, untuk

mengevaluasi hasil Pepera 1969.

Tonggak sejarah kelima yaitu pada tanggal 14 Des 1988. Seperti yang telah

disinggung di depan, "proklamasi dan pengibaran bendera OPM" yang dilakukan Tom

Wanggai di stadion Mandala, Jayapura, sangat berbeda dari pada berbagai proklamasi dan

pengibaran bendera OPM sebelumnya. Tampaknya cendekiawan asli Irian asal Serui ini,

sudah berpamitan dengan (sebagian besar) bekal historis OPM yang sebelumnya.

Bendera "Melanesia Barat" yang dikibarkannya, berbeda dari bendera "Papua

Barat" yang sebelumnya. Konon menurut ceritera, bendera "Papua Barat" yang

sebelumnya, termasuk yang dikibarkan Seth Jafet Rumkorem di Markas Victoria pada

tanggal 1 Juli 1971, dirancang oleh seorang bangsa Belanda yang lazim dipanggil

"Meneer Blauwwit", mertua tokoh OPM tua di Belanda, Nicholaas Jouwe. Ketiga

warnanya -- merah, putih, dan biru -- meniru ketiga warna bendera Belanda. Sedang ke-13

garis warna putih dan biru, menandakan ke-13 propinsi dalam negara Papua Barat yang

akan dibentuk, seandainya Soekarno tidak segera mengintervensi dengan Tri Komando

Rakyatnya. Hanya bintang putih di atas landasan merah di bendera Papua Barat itu

memberikan unsur "pribumi" pada bendera Papua Barat ciptaan Belanda itu. Itulah

bintang kejora, sampari dalam bahasa Biak, yakni lambang kemakmuran yang akan datang

dalam mitologi Koreri.

Juga "lagu kebangsaan" OPM berjudul "Hai Tanahku, Papua", yang sering

dinyanyikan dalam upacara-upacara OPM, adalah ciptaan seorang Belanda, Pendeta Ishak

Samuel Kijne. Nama pendeta seniman itu diabadikan dalam STT GKI Irja di Abepura.

Tampaknya, lagu kebangsaan lama itu pun sudah ditinggalkan oleh Tom Wanggai.

Sedangkan "wawasan nasional" atau wilayah negara merdeka yang dicita-citakannya juga

tidak lagi terbatas pada wilayah Papua Barat yang diancang-ancang oleh Belanda dan

diresmikan oleh Rumkorem.

2.2. Penyebab Utama Konflik Papua

6

Di tanah Papua, baik OPM maupun PDP tetap pada tekadnya memperjuangkan

satu tujuan, yaitu memerdekakan diri dari Indonesia. Tujuan mereka disinyalir Pemerintah

Indonesia mencakup beberapa hal pokok, yaitu antara lain : 

1. Kekecewaan Ekonomi

Sejak berintegrasi dengan Indonesia, rakyat Papua merasa terpinggirkan secara

ekonomi, kekayaan alam Papua yang berlimpah tidak pernah dirasakan manfaatnya

secara langsung. Ketika pertama kali bergabung dengan Indonesia kekayaan alam di

Papua langsung ditarik ke Jakarta untuk membenahi keadaan perekonomian nasional

yang pada saat itu sedang mengalami kemerosotan ekonomi yang pada saat itu terjadi

tingkat inflasi yang mencapai 250 %. Dengan bantuan kekayaan Papua lah keadaan

ekonomi Indonesia semakin membaik, akan tetapi keadaan yang terus membaik ini

tidak pula merubah kebijakan yang diberlakukan di Papua. Kekayaan alam Papua terus

diserap ke pemerintah pusat tanpa pengembalian ke Papua dalam jumlah yang

seharusnya.

Disaat pemerintahan Orde Baru, beberapa kebijakan ekonomi pemerintah

dianggap sebagai kebijakan yang paling membawa kekecewaan secara ekonomis oleh

rakyat Papua. Pertama, kebijakan pemerintah mengenai transmigrasi. Kebijakan ini

secara kasat mata memang dianggap berhasil oleh beberapa kalangan. Kebijakan ini

memang memajukan sebagian daerah di Papua, karena setelah kebijakan ini

dilaksanakan lokasi transmigrasi tumbuh menjadi pusat-pusat ekonomi. Pemerintah

pun mulai membangun sarana dan prasarana, seperti infrastruktur jalan, dan sarana

publik seperti tempat ibadah, puskesmas, serta fasilitas pendidikan. Namun fasilitas-

fasilitas yang mulai dibangun tersebut hanya terjadi di wilayah transmigrasi saja, yang

mayoritasnya adalah penduduk pendatang di Papua. Penduduk lokal tetap berada pada

kondisi yang memprihatinkan dengan keadaan ekonomi mereka semakin memburuk,

serta tanpa ada fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai. Kedua adalah

mengenai HPH (Hak Pengelolaan Hutan) yang kebijakannya hanya menguntungkan

para pemilik modal dari luar Papua untuk mengelola hutan di kawasan tempat tinggal

mereka. Hutan yang dulunya mereka gunakan untuk menyambung hidup, maupun

sarana spiritual, kini pengelolaannya sudah berada di tangan lain. Masyarakat setempat

kembali menjalani hidup semakin miskin. Kemudian faktor ekonomi yang lain adalah

berdirinya PT. Freeport. Sejak awal berdirinya PT. Freeport di Papua, sebenarnya

telah menuai berbagai protes dari kalangan masyarakat sekitar. Alasan masyarakat

Papua ini melakukan protes dikarenakan cara-cara/ proses pembangunan proyek yang

merugikan rakyat Papua, sampai kebijakan-kebijakan setelah proyek Freeport ini

berlangsung. Hal ini mendukung rakyat Papua yang merasa sangat kecewa terhadap

PT. Freeport dan Pemerintah, akhirnya berpaling ke OPM. Dengan isu – isu inilah

seakan-akan OPM semakin merasa kuat di Papua. Rakyat Papua mendukung OPM

7

denagn berbagai cara, antara lain dengan bergabung langsung di lapangan untuk

melakukan aksi-aksi/ gerakan-gerakan fisik, penyebaran pamplet, menghadiri rapat

OPM serta menyediakan tempat tinggal bagi OPM, menyediakan bahan makanan,

sampai pakaian para OPM.

2. Peminggiran Sosial Budaya

Salah satu imbas dari adanya program transmigrasi Papua terkesan sebagai

“pemusnahan etnik Papua”. Sikap pemerintah yang lebih memperhatikan warga

transmigrannya membuat warga asli Papua semakin terpinggirkan. Upaya ini sering

dianggap sebagai tindakan/ upaya untuk memusnahkan etnik Papua di masa

mendatang. The Institute for Human Rights and Advocacy, dalam sebuah penelitian

yang dilakukannya menemukan bahwa kebijakan transmigrasi yang digelar

Pemerintah Indonesia menyebabkan krisis identitas bagi rakyat Papua. Oleh karena

itu, mereka akhirnya berpegang pada identitas etnisitas Melanesia dan Agama Kristen,

yang pada akhirnya menjadikan kedua hal tersebut sebagai landasan upaya sparatism

yang mereka usung.

3. Diskriminasi Politik dan Hukum

Selama bertahun tahun, sejak berintegrasinya Papua dengan Indonesia, rakyat

Papua masih merasakan diskriminasi politik dan hukum sebagai akibat dari

implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tanpa mempertimbangkan elemen-

elemen putra daerah. Wujud dari diskriminasi ini adalah mendominasinya etnis non-

Papua dalam jajaran birokrasi Papua. Selain itu, represifnya militer membuat rakyat

Papua merasa tertekan dan terkucilkan. Upaya penuntutan hak oleh rakyat Papua

dijawab dengan tindakan militer. Bahkan, pemerintah Indonesia menerapkan Daerah

Operasi Militer (DOM) di Papua dengan dalih untuk memberantas OPM, dimana

tentara Indonesia justru melakukan banyak tindakan pembunuhan, penculikan, atau

tindakan kekerasan lainnya yang menimbulkan ingatan traumatis dan kekecewaan

dalam benak rakyat Papua.

2.3. Upaya – Upaya Penyelesaikan Konflik Papua sejak masa Reformasi

Ketika Orde Baru berkuasa, beberapa bentuk penyelesaian konflik di Papua

kebanyakan diselesaikan dengan pendekatan militer dan ekonomi yang dipusatkan secara

terpusat tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat lokal. Pada pasca Reformasi,

terlihat ada pergeseran dalam kebijakan pemerintah pusat. Diantara kebijakan tersebut

adalah penghapusan DOM dan diberikannya otonomi khusus untuk Papua. Pasca

penghapusan DOM, peristiwa berdarah tetap muncul di bumi Papua. Dua diantaranya

yang mendapatkan perhatian besar adalah kasus Timika dan Abepura. Kasus Timika yang

8

melibatkan pembunuhan 3 pegawai Freeport tanggal 31 Agustus 2001 yang membahas

keterlibatan Amerika serikat dalam konflik Papua. Konflik ini berhasil diredam dengan

tanpa campur tangan AS (Amerika Serikat) terlalu jauh.

Kasus Abepura terjadi pada tanggal 7 Desember 2000 yang diawali dengan

penyerangan Markas Polsek Abepura oleh 15 orang dengan senjata tajam. Akibat

penyerangan tersebut, Brigadir (Pol) Petrus Epaa tewas dan tiga polisi lainnya luka-luka.

Setelah kejadian, petugas kepolisian melakukan penyisiran di enam lokasi yang di duga

menjadi tempat persembunyian pelaku. Pada masa pemerintahan Preside Abdurrahman

Wahid, pendekatan resolusi konflik yang diambil cenderung memilih pendekatan yang

lebih liberal dan sosial. Pendekatan resolusi dari sisi sosial digunakan sebagai upaya non-

koersif untuk mengatasi rasa diskriminatif yang selama ini dirasakan oleh rakyat Papua.

Langkah pertama dari presiden Wahid tersebut adalah mengubah nama Papua yang

sebelumnya bernama Irian Jaya yang resmi dikeluarkan pada bulan Januari 2000.

Sejak 1 Januari 2002, Pemerintah Daerah (Pemda) Papua secara resmi telah

mengumumkan pemberlakuan otonomi khusus, walau belum ada satu Peraturan Daerah

(Perda) mengatur realisasi otonomi khusus tersebut. Dengan adanya kebijakan tersebut,

maka nama Provinsi Papua sudah wajib digunakan secara resmi dalam surat menyurat,

dokumentasi, pembukuan, pemberian nama instansi, lembaga, yayasan, atau acara resmi

maupun non-resmi lain dalam proses pengadilan, seminar, dialog resmi, surat dinas,

pemasangan papan reklame, berbagai kegiatan di perguruan tinggi, dan seterusnya.

Langkah resolusi konflik yang diambil Presiden Abdurrahman Wahid bisa

dikatakan sangat akomodatif dan diusahakan tanpa adanya kekerasan sekalipun. Selain

kebijakan tersebut di atas, Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 1 Januari 2000,

meminta maaf kepada rakyat Papua atas pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang

dilakukan TNI. Presiden juga mengijinkan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua

dan dilaksanakannya Kongres Papua pada bulan Mei 2000 dan bahkan menyumbangkan

dana sebesar 1 milyar rupiah. Selain itu Presiden juga sempat menemui Theys pada bulan

Mei 2001, yang dalam kongres Papua diklaim sebagai Pemimpin Besar Resolusi Papua.

Pada masa Presiden Megawati, pemfokusan pada pendekatan pemberian otonomi khusus

pada Papua dengan menetapkan UU No. 21/ 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua.

Selain itu pemerintah pusat juga melakukan beberapa kali pendekatan untuk mencegah

pengembalian Otonomi Khusus oleh rakyat Papua, yang mereka anggap terlalu lamban

dalam pelaksanaanya. Salah satu pendekatan pencegahan tersebut dengan mengadakan

pertemuan dengan wakil dari DPRD Papua yang dihadiri langsung oleh Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono.

BAB III

PENUTUP

9

3.1........................................................................................................................Kesimpulan

Tanah Papua yang elok dan luas pada dasarnya merupakan daya tarik tersendiri

bagi suatu pulau, dengan tertanam berbagai kekayaan alamnya yang eksotis serta

didukung oleh kekayaan bawah tanah yang bernilai ekonomis sangat tinggi menjadikan

Papua sebagai tanah sempurna. Akan tetapi kekayaan yang melimpah ini tak dapat

dimanfaatkan lebih lanjut dan berguna. Hal ini dikarenakan kondisi masyarakat Papua

yang tertinggal. Seiring bergabungnya Papua menjadi bagian dari NKRI tidak seutuhnya

membawa kemaslahatan bagi rakyat Papua itu sendiri, justru sebaliknya, masyarakat

Papua masih merasa terdiskriminatif dari adanya kebijakan – kebijakan pembangunan

pemerintah pusat. Dengan keadaan inilah timbulah berbagai gerakan-gerakan sparatis

yang menyerukan kemerdekaan Papua atas Indonesia, berbagai faktor pendorong dari segi

ekonomi, politik dan hukum, sosial-budaya menambah semangat para gerakan sparatis ini

untuk terus bergerilya menyerukan kemerdekaan papua. Akan tetapi dalam hal ini,

pemerintah pusat tidak pula tinggal diam, berbagai cara dan pendekatan digunakan untuk

meredam, menumpas, bahkan upaya pencegahan untuk mengendalikan gerakan-gerakan

sparatis ini, yang bertujuan untuk menjadikan Papua kembali kondusif.

A. Saran

Timbulnya gerakan gerakan sparatis di Papua sesungguhnya bisa dijadikan suatu

cermin diri bagi pemerintah Indonesia untuk tidak lagi menganak tirikan tanah Papua.

Pemerintah haruslah lebih perhatian dan memberi rasa adil dan aman untuk masyarakat

Papua. Berbagai hal sebenarnya lebih bisa dilakukan Pemerintah pusat untuk bisa

mengembalikan rasa kenasionalisme rakyat Papua. Salah satunya dengan mengembangkan

daerah Papua sesuai potensi alam yang dimiliki di setiap daerah di Papua. Dengan

pengembangan potensi ini, masyarakat asli Papua harus bertindak secara aktif untuk

meningkatkan taraf hidupnya, dengan kata lain tidak hanya sebagai penonton. Selain itu

tingkat pendidikan dan kesehatan haruslah tetap menjadi prioritas bagi kebijakan –

kebijakan yang akan diimplementasikan di Papua. Karena dengan pendidikan dan rohani

jasmani yang kuat, secara langsung dan tak langsung akan membuat rakyat Papua semakin

tegak berdiri.

10

DAFTAR REFERENSI

Buku Pendidikan Kewarganegaraan (LEMHANAS) (diakses tanggal 2 November 2015)

http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Papua_Merdeka (diakses tanggal 2 November 2015)

http://edudanews.blogspot.com/2011/10/stuktur-militer-komando-pusat-tentara.html (diakses tanggal 2 November 2015)

11

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT. yang maha luas rahmat dan

karunia-Nya, semoga kita termasuk ke dalam orang yang mendapatkannya. Shalawat dan

salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW., keluarganya, para sahabatnya, dan

semoga kita termasuk ke dalam umatnya.

Dalam waktu yang begitu padat kami mencoba untuk mengambil celah-celah agar

kami dapat berdiskusi dalam menyelesaikan tugas ini. Bahkan kami baru pertama kali

tergabung dalam satu kelompok. Tapi walaupun begitu kami tetap dapat bekerjasama.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada guru pembimbing yang telah

membimbing kami dalam melakukan penyusunan tugas ini. Tak lupa kami sampaikan juga

kepada rekan-rekan yang telah memberikan referensi dan masukan bagi kami dalam

melakukan pengembangan akan tugas ini.

Kami sadar bahwa tugas yang kami susun mungkin masih banyak terdapat kekurangan

sehingga masih banyak diperlukan perbaikan-perbaikan yang berkesinambungan dalam upaya

mendapatkan hasil yang jauh lebih baik.

Mungkin hanya itu saja pembuka dari kami, semoga tugas ini dapat memberikan

sedikit wawasan kepada kita semua dan arti akan pentingnya sebuah bela negara untuk

Indonesia.

Pagar Alam, November 2015

Penyusun

12

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1....................................................................................................................Latar Belakang 1

1.2...............................................................................................................Rumusan Masalah 2

1.3..................................................................................................................................Tujuan 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1.............................................................Sejarah Terbentuknya OPM dan Proklamasi OPM 3

2.2..........................................................................................Penyebab Utama Konflik Papua 7

1. Kekecewaan Ekonomi................................................................................................7

2. Peminggiran Sosial Budaya........................................................................................8

3. Diskriminasi Politik dan Hukum................................................................................8

2.3................................Upaya – Upaya Penyelesaikan Konflik Papua sejak masa Reformasi 8

BAB III PENUTUP

3.2..........................................................................................................................Kesimpulan 10

3.3....................................................................................................................................Saran 10

DAFTAR REFERENSI

13

Disusun oleh :

1. Aisyah Putri Anggraini

2. Cyntia Agetha

3. Jelviando

4. Merta Lena

5. Lia Kurniati

6. Yela Gusfita

Guru Pembimbing : Rina, S.Pd.

14