Makalah Full Paper

10
1 PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PESISIR BERKELANJUTAN DI KEPULAUAN BATU KABUPATEN NIAS SELATAN PROPINSI SUMATERA UTARA Windra Hardi Purba, S.Sos ¹ ) Dra. Sabariah Bangun, M.Soc.Sc ² ) Peneliti dan Dosen di Departemen Antropologi FISIP-USU ¹´²) Jl. Prof. Dr. Sofyan No. 1 Kampus USU Medan HP : 085270766937 / 081263420861 Email : [email protected] Abstrak Pengelolaan Sumber Daya Alam Pesisir Berkelanjutan di wilayah Pulau-pulau kecil sangat penting dilakukan dalam menghadapi dampak perubahan iklim di Indonesia. Wilayah Kepulauan Batu terdiri dari pulau-pulau kecil di Nias, Propinsi Sumatera Utara memiliki sumber daya perikanan, kehutanan, perkebunan dan pariwisata tetapi posisi wilayahnya sangat dekat dengan zona pertemuan lempeng patahan Samudera Hindia dikhawatirkan memiliki dampak perubahan iklim yang besar. Penelitian ini mengidentifikasi bagaimana model pengelolaan sumber daya alam serta dampak perubahan iklim yang mempengaruhi keberadaan sosial ekonomi masyarakat lokal. Tujuan penelitian ini menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem pesisir. Metode penelitian ini kualitatif dengan teknik pengumpulan data diskusi kelompok-kelompok masyarakat, wawancara mendalam, observasi partisipasi, dengan pendekatan berdasarkan cara pandang masyarakat dan karakteristik lingkungan. Hasil penelitian ini diperoleh adanya keanekaragaman yang tinggi dari potensi sumber daya alam dan model pengelolaan berbasis masyarakat, serta rekomendasi bersama dalam menetapkan langkah-langkah menghadapi dampak perubahan iklim dan pengelolaan sumber daya alam pesisir berkelanjutan. Kesimpulan dan Saran penelitian selanjutnya diupayakan pihak-pihak terkait dapat mengembangkan ketahanan ekonomi dan bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kata kunci : Pengelolaan, Ekosistem, Pulau-pulau Kecil, Berkelanjutan. 1. Pe ndahuluan 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumber daya pesisir yang sangat besar. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dua pertiga wilayahnya adalah laut. Panjang garis pantainya mencapai 81.000 kilometer merupakan salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Wilayah pesisir Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati yang luar biasa. Ada sekitar 30% total luas hutan mangrove dunia dan 18% total luas terumbu karang dunia terdapat di Indonesia. Keberadaan sumber daya pesisir sangatlah penting bagi Indonesia karena lebih dari 60% atau sekitar 140 juta penduduk Indonesia bertempat tinggal dalam radius 50 kilometer dari garis pantai.

Transcript of Makalah Full Paper

1

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM PESISIR BERKELANJUTAN

DI KEPULAUAN BATU KABUPATEN NIAS SELATAN

PROPINSI SUMATERA UTARA

Windra Hardi Purba, S.Sos ¹)

Dra. Sabariah Bangun, M.Soc.Sc ²)

Peneliti dan Dosen di Departemen Antropologi FISIP-USU ¹´²) Jl. Prof. Dr. Sofyan No. 1 Kampus USU Medan

HP : 085270766937 / 081263420861 Email : [email protected]

Abstrak

Pengelolaan Sumber Daya Alam Pesisir Berkelanjutan di wilayah Pulau-pulau kecil sangat penting dilakukan dalam menghadapi dampak perubahan iklim di Indonesia. Wilayah Kepulauan Batu terdiri dari pulau-pulau kecil di Nias, Propinsi Sumatera Utara memiliki sumber daya perikanan, kehutanan, perkebunan dan pariwisata tetapi posisi wilayahnya sangat dekat dengan zona pertemuan lempeng patahan Samudera Hindia dikhawatirkan memiliki dampak perubahan iklim yang besar. Penelitian ini mengidentifikasi bagaimana model pengelolaan sumber daya alam serta dampak perubahan iklim yang mempengaruhi keberadaan sosial ekonomi masyarakat lokal. Tujuan penelitian ini menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem pesisir. Metode penelitian ini kualitatif dengan teknik pengumpulan data diskusi kelompok-kelompok masyarakat, wawancara mendalam, observasi partisipasi, dengan pendekatan berdasarkan cara pandang masyarakat dan karakteristik lingkungan. Hasil penelitian ini diperoleh adanya keanekaragaman yang tinggi dari potensi sumber daya alam dan model pengelolaan berbasis masyarakat, serta rekomendasi bersama dalam menetapkan langkah-langkah menghadapi dampak perubahan iklim dan pengelolaan sumber daya alam pesisir berkelanjutan. Kesimpulan dan Saran penelitian selanjutnya diupayakan pihak-pihak terkait dapat mengembangkan ketahanan ekonomi dan bencana

di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Kata kunci : Pengelolaan, Ekosistem, Pulau-pulau Kecil, Berkelanjutan.

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi sumber daya pesisir yang sangat besar. Sebagai negara

kepulauan terbesar di dunia, dua pertiga wilayahnya adalah laut. Panjang garis pantainya

mencapai 81.000 kilometer merupakan salah satu negara dengan garis pantai terpanjang

di dunia. Wilayah pesisir Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati yang luar

biasa. Ada sekitar 30% total luas hutan mangrove dunia dan 18% total luas terumbu

karang dunia terdapat di Indonesia. Keberadaan sumber daya pesisir sangatlah penting

bagi Indonesia karena lebih dari 60% atau sekitar 140 juta penduduk Indonesia bertempat

tinggal dalam radius 50 kilometer dari garis pantai.

2

Wilayah pesisir merupakan titik pertemuan antara ekosistem darat dan laut, selalu

berada dalam keadaan yang dinamis, sering mengalami perubahan-perubahan dengan

siklus waktu yang sangat pendek. Permasalahan tersebut terjadi diduga sebagai akibat

perilaku manusia dalam berinteraksi dengan sumber daya pesisir. Oleh karena itu,

sentuhan tangan manusia memiliki pengaruh yang besar terhadap penentuan dinamika

keseimbangan wilayah pesisir. Bila sumber daya pesisir memberikan akses seluas-

luasnya (open access) kepada seluruh orang dalam pengelolaannya, maka bagi setiap

orang akan bebas untuk mengeksploitasi sumber daya pesisir secara berlebihan yang

dikhawatirkan dapat merusak ekosistem pesisir tersebut.

Pulau-pulau di Indonesia sesungguhnya memiliki kekayaan sumber daya yang

sangat besar. Pulau-pulau kecil salah satunya yang menjadi pusat perhatian Pemerintah

saat ini, merupakan aset penting dalam pembangunan Indonesia ke depan. Pada

kenyataannya, Pulau-pulau kecil ini masih banyak yang belum dikembangkan dan dilirik

oleh Pemerintah dan swasta untuk pembangunan. Banyak hal yang menyebabkan

demikian, selain karena keterjangkauan wilayah pulau-pulau kecil sangat terisolir dan

sulit untuk di capai oleh pihak-pihak lain, sulitnya akses transportasi, layanan perbankan,

dan layanan pendidikan yang baik bukti bahwa kurangnya perhatian dari Pemerintah.

Keterisolasian wilayah ini menjadi alasan mengapa masyarakat di wilayah pulau-pulau

kecil sering hidup dengan keterbatasan dan rentan dalam kemiskinan. Salah satunya

Kepulauan Batu Propinsi Sumatera Utara,yang memiliki potensi sumber daya alam

pesisir yang sangat besar. Ditemukan keanekaragaman jenis ikan, hutan bakau, dan

terumbu karang dapat diperoleh. Selain itu, memiliki potensi wisata yang menarik

wisatawan dengan keindahan alamnya berupa pantai, ombak, karang-karang dan

peninggalan-peninggalan sejarah yang masih tersimpan disana. Keanekaragaman jenis

hutan dan perkebunan juga masih tersimpan dengan ditemukannya Hutan Damar,

Keruing, Meranti, Rotan, Sagu, Kelapa dan Bakau. Sumber daya alam ini adalah

merupakan kebutuhan penting bagi masyarakat pesisir dan juga merupakan hal yang

sangat penting untuk dilestarikan.

Wilayah pesisir terutama pulau-pulau kecil pada saat ini juga sangat rentan

terhadap dampak perubahan iklim. Beberapa para ahli menyebutkan bahwa Indonesia

berada pada zona “Ring On Fire” yang menunukkan kerentanan atau berada pada titik-

titik zona bencana di dunia. Perjalanan panjang bencana yang terjadi di Indonesia

belakangan ini dapat dibuktikan bahwa wilayah pesisir terbukti sering mengalami

bencana terbesar. Adanya gempa dan tsunami yang terjadi pada tahun 2004 di Pantai

Barat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, disusul terjadinya gempa dahsyat di Pulau

3

Nias tahun 2005, dan gempa di Kepulauan Mentawai, hingga ke pulau Enggano. Hal ini

menjadi bukti bahwa pulau-pulau kecil yang ada di pantai barat Sumatera sangat rentan

bencana dan memiliki dampak perubahan iklim.

Kepulauan Batu, Propinsi Sumatera Utara merupakan pulau-pulau kecil yang

berada di Samudera Hindia menjadi fokus penelitian sangat penting untuk di teliti.

Wilayah ini harus menjadi pusat perhatian bagi para ahli ke depan, karena selama ini

sangat sedikit melihat pengelolaan sumber daya alam pesisir di Kepulauan Batu dan

dampak perubahan iklim yang terjadi. Sehingga Pemerintah dapat mengupayakan

langkah-langkah sinergi yang berkelanjutan dalam mempertahankan biodiversitas sumber

daya alam pulau-pulau kecil tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Dari penjelasan di atas, peneliti menetapkan rumusan masalah penelitian adalah

bagaimana pengelolaan sumber daya alam Pesisir di Kepulauan Batu? Apa dampak dan

usaha masyarakat untuk mengatasi perubahan iklim saat ini?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dalam rangka menumbuhkan kesadaran masyarakat akan

pentingnya ekosistem pesisir dan secara akademik menambah referensi dalam penelitian

tentang budaya pesisir Pulau-pulau kecil dan pedalaman di Indonesia.

1.4 Tinjauan Pustaka

Dampak perubahan iklim telah menjadi perhatian besar dunia termasuk negara

Indonesia. Pemerintah melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 -2025. Indonesia telah berkomitmen dalam

pengarusutamaan perubahan iklim dalam strategi pembangunan nasional. Dengan

memperhatikan hal tersebut,Indonesia berupaya meningkatkan kapasitas dalam

penanganan perubahan iklim yang bersinergi dengan berbagai program pembangunan

sektor dan wilayah, yang mengintegrasikan sumber daya manusia, iptek, dan dukungan

penelitian dan pengembangan dari perguruan tinggi dan berbagai lembaga penelitian yang

ada di Indonesia. Hal ini yang menjadi alasan pentingnya melakukan penelitian di

wilayah pesisir terutama dikawasan pulau-pulau kecil di Indonesia.

Ekosistem pesisir sangat erat hubungannya dengan masyarakat yang ada di

wilayah pesisir. Tumbuhnya hutan bakau, adanya terumbu karang, keanekaragaman jenis

ikan, hutan-hutan yang subur, adalah merupakan penyangga ekosistem di wilayah pesisir

agar tetap lestari. Namun, aktivitas manusia yang berhubungan dengan alam sekitarnya

sering merugikan ekosistem yang ada. Apabila hal ini dibiarkan maka dikhawatirkan akan

membawa bencana besar bagi manusia. Untuk itulah perlu diupayakan pengelolaan

4

sumber daya pesisir berkelanjutan di setiap wilayah pesisir Indonesia. Hal ini sangat

penting sekali karena ada sekitar 17.508 pulau yang terdiri atas pulau-pulau kecil dan

besar yang tersebar di nusantara (DKP, 2008).

2. Metodologi Penelitian

2.1 Lokasi Penelitian

Kepulauan Batu yang merupakan lokasi penelitian merupakan pulau-pulau kecil

yang terdiri atas 101 pulau terletak pada koordinat 0`00’LU-0`15’LS dan 90`58’BT-

97`48’BT di Samudera Hindia. Posisi kepulauan Batu terletak pada garis khatulistiwa (0)

menjadi dasar bahwa iklim tropis yang sangat tinggi ada di wilayah ini. Ketinggian

daratan yang bervariasi antara 0 – 500 meter dari permukaan laut dengan luas wilayah

121,05 km² (123.000 Ha), Suhu udara maksimum/minimum berkisar antara 25ºC / 37ºC.

Kepulauan Batu berada pada Pemerintahan Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera

Utara. Kepulauan ini tepat berada di bagian Tenggara Pulau Nias dan sebelah Utara dari

Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai. Berikut ini jarak antar wilayah yang di capai dari

Kepulauan Batu ke kota-kota atau wilayah pesisir lainnya :

- Kota Teluk Dalam, Ibukota Kabupaten Nias Selatan 50 mil laut (80,25 km).

- Kotamadya Gunung Sitoli, ibukota Kabupaten Nias 103 mil laut.

- Kotamadya Sibolga, 120 mil laut.

- Kota Natal, Kabupaten Mandailing Natal sekitar 55 mil laut

- Kota Padang, Ibukota Provinsi Sumatera Barat 162 mil laut.

- Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Propinsi Sumatera Barat 56 mil laut.

Gambar 1. Peta Kepulauan Batu, Kabupaten Nias Selatan. Sumber : Data Sekunder

2.2 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data

wawancara mendalam, Focus Group Discussion (FGD), dan Observasi Partisipasi dengan

masyarakat. Pendekatan yang digunakan adalah emic view berdasarkan apa yang

5

dilakukan,disampaikan,dirasakan oleh masyarakat setempat tentang Pengelolaan Sumber

Daya Alam Pesisir. Peneliti ikut terlibat dalam aktivitas masyarakat, dalam rangka

mengetahui apa pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan, dan berupaya untuk

membina hubungan baik dengan informan agar fokus penelitian dapat ditemukan dengan

baik dan mendalam.

3. Hasil Dan Pembahasan

3.1 Pengelolaan Sumber Daya Alam Pesisir

Kepulauan Batu memiliki sumber daya alam yang sangat Potensial di sektor

Perikanan dan Kelautan. Sepanjang pesisir pantai Pulau Tello misalnya, rata-rata

ditempati rumah penduduk yang memiliki keramba Jaring apung. Keramba difungsikan

sebagai salah satu usaha untuk membudidayakan ikan tangkapan Nelayan untuk

dipasarkan ke beberapa daerah maupun ekspor seperti ikan kerapu, teripang dan lobster .

Rata-rata dimiliki oleh para pengusaha di pulau ini, sering disebut toke (istilah lokal:

lakhodo) yang mayoritas etnik Cina yang telah menetap sejak lama di Kepulauan Batu.

Sepanjang pesisir pantai ini juga banyak ditumbuhi Hutan Bakau, Kelapa, dan juga koral-

koral yang menjulur ditepi pantai.

Hasil penelitian studi ekologi Nias Selatan oleh Program Coremap tahun 2006,

jumlah species jenis ikan karang yang hidup diperairan Kepulauan Batu mencapai 137

Jenis (termasuk dalam 28 suku).

Tabel 1. Kelompok Jenis Ikan Tangkap (Studi Baseline Coremap)

Kelompok Jenis Species Ikan/Famili Jenis Ikan

Ikan-ikan Target yaitu ikan ekonomis

penting dan biasa ditangkap untuk konsumsi.

Biasanya mereka menjadikan terumbu

karang sebagai tempat pemijahan dan sarang/daerah asuhan.

Serranidae,

Lutjanidae

Lethrinidae

Nemipteridae Caesionidae

Siganidae

Haemulidae

Scaridae

Acanthuridae

Ikan Kerapu

Ikan Kakap

Ikan Lencam

Ikan kurisi Ikan Ekor kuning

Ikan Baronang

Ikan Bibir Tebal

Ikan Kakak tua

Ikan Pakol

Ikan- ikan Indikator, yaitu jenis ikan

karang yang khas mendiami terumbu karang

dan menjadi indikator kesuburan ekosistem daerah tersebut.

Chaetodontidae Ikan Kepe-kepe

Ikan-ikan Major, merupakan jenis ikan

berukuran kecil, umumnya 5-25 cm, dengan

karakteristik pewarnaan yang beragam

sehingga dikenal sebagai ikan hias.

Kelompok ini ditemukan umumnya melimpah, baik dalam jumlah individu

maupun jenisnya, serta cenderung bersifat

territorial. Ikan-ikan ini sepanjang hidupnya

berada di terumbu karang

Pomacentridae,

Apogonidae,

Labridae,

Blenniidae

Ikan Betok laut

Ikan Seriding

Ikan Sapu-sapu

Ikan Peniru

Sumber: Data UPTD Perikanan Pulau Tello, Studi Baseline Ekologi Kepulauan Batu, COREMAP.

6

Dalam memajukan pengelolaan sumber daya alam kelautan terhadap kawasan

pesisir perairan pantai Kepulauan Batu, Pemerintah Propinsi Sumatera Utara telah

mengembangkan sentra produksi perikanan. Hal ini merupakan gagasan dari mantan

Gubernur Sumatera Utara (Alm H.Tengku Rizal Nurdin, S.IP) yang disusun dalam

sebuah rancangan pengembangan Kepulauan Batu dijadikan sebagai pusat industri

perikanan terpadu pantai barat Sumatera.

Namun keberadaan fasilitas tersebut, tidak dapat memberikan kontribusi yang

optimal bagi masyarakat. Penangkapan ikan secara ilegal (Illegal Fishing) sering terjadi

dilaut Kepulauan Batu. Beberapa nelayan-nelayan dari negara-negara asing seperti

Vietnam dan Thailand sering melakukan aktivitas pencurian hasil laut di Kepulauan Batu.

Selain itu, aksi dari nelayan-nelayan yang berasal dari Kota Sibolga atau Tapanuli Tengah

melakukan penangkapan ikan secara bebas dan eksploitasi yang merugikan masyarakat

atau nelayan tradisional di Kepulauan Batu. Nelayan-nelayan dari luar wilayah

menggunakan alat tangkap modern seperti penggunaan pukat harimau, pukat cincin, dan

juga menggunakan bom di laut kepulauan Batu, hal ini merusak ekosistem laut serta

penurunan jumlah ikan yang tersedia di laut Kepulauan ini. Hal ini sebenarnya terjadi

karena lemahnya pengawasan aparat penegak hukum yang ada di Kepulauan ini. Aparat

kepolisian, TNI AL, dan petugas UPT Perikanan Pulau Tello sangat terbatas jumlahnya.

Tabel 2. Perkembangan SDA Pesisir dan Infrastruktur Pendukung di Kepulauan Batu

No Jenis Potensi Unggulan Kondisi Sebab akibat

1. 2.

3.

4.

5.

6. 7.

8.

9.

10.

11. 12.

1.

2.

3.

1.

I. Potensi Ikan:

Ikan Kerapu Ikan Hias

Ikan Gurita

Ikan Cakalang

Udang Lobster

Teripang Ikan Pari

Cumi dan ikan teri

Kepiting Bakau dan rajungan

Lola, Kima, dan Penyu

Ikan Pelagis besar Ikan Pelagis Kecil

II.Transportasi Lokal

Transportasi Lintas Pulau (Lokal)

Transportasi Udara

Transportasi keluar Pulau

III. Potensi Pariwisata

Photo Hunting, diving, Riset

Peninggalan Sejarah, dan selancar.

Berkurang Berkurang

Masih banyak

Mulai berkurang

Berkurang

Masih Banyak Sedikit berkurang

Tergantung Musim

Masih banyak

Masih Banyak

Berkurang Berkurang

Masih bersifat Tradisional

menggunakan sampan, boat, dll.

Penerbangan terbatas dan

kapasitas penumpang terbatas.

Sangat Terbatas, jadwal pelayaran

tidak menentu karena jenis kapal

barang. Sarana yang tidak mendukung

dan transportasi yang sulit.

Bom dan overkapasitas bom dan potasium

Kurang prioritas

Penangkapan berlebihan

Bom dan Potasium

Sedikit pemanfaatan Over eksploitasi

Iklim

Hutan mangrove subur

Kurang prioritas

Penangkapan berlebihan Alat tangkap yang tidak

selektif.

Kurangnya penggunaan

teknologi transportasi

modern. Masih kurangnya peminat

wisata.

Fasilitas pelayaran kurang.

Kebijakan Pemerintah

Daerah terkait masih

kurang memadai. Sumber : Hasil FGD Potensi Unggulan di Kepulauan Batu

7

Sektor sumber daya alam lainnya adalah perkebunan kelapa yang dimanfaatkan

masyarakat sebagai mata pencaharian. Kelapa tersebut diolah masyarakat secara individu

maupun kolektif dengan cara dikeringkan menjadi Kopra. Kemudian kopra tersebut dijual

pada toke (lakhodo) untuk dipasarkan ke luar daerah seperti Padang, Medan, dan ekspor

seperti Singapura, Malaysia, dan Tiongkok. Dari hasil komoditas perkebunan lainnya

sebagai sumber daya alam yang menguntungkan masyarakat adalah pala, dan cengkeh.

Mereka melakukan penanaman, memanen, yang kemudian di jual pada agen-agen, yang

kemudian terjadi transaksi jual beli. Agen-agen adalah para toke (lakhodo) atau

pengusaha yang berada di Pulau Tello. Mereka banyak melakukan transaksi jual beli pada

masyarakat adalah untuk mengambil komoditi yang ada dan mereka memasarkannya ke

luar daerah dan bahkan mengekspor ke luar negeri seperti Singapura, Hongkong, Taiwan

dan Tiongkok.

Potensi dari sektor hasil hutan sangat banyak ditemukan di Kepulauan Batu. Tipe

vegetasi hutan di Kepulauan ini adalah hutan hujan tropis kepulauan. Jenis-jenis kayu

yang dihasilkan seperti kayu Kruing, Meranti, damar laut, Rotan, Nibung, Bakau, dan

kayu Besi (kayu kafeni). Sejarahnya, ada 2 (dua) pembalakan hutan di Kepulauan Batu

yang beroperasi sejak tahun 1972, namun pada tahun 1998 ditutup karena moratorium

perizinan oleh pemerintah. Tetapi pada tahun 2010, pembalakan ini beroperasi kembali

di Kepulauan Batu sampai sekarang. Perusahaan tersebut adalah PT. Gruti yang

menguasai wilayah hutan Desa Tebolo Pulau Tanah Bala, Pulau Tanah Masa dan Pulau

Pini serta PT.Teluk Nauli yang berada di wilayah Pulau Tanah Bala. Mereka melakukan

operasi pembalakan hutan secara bebas tanpa reboisasi hutan dan rehabilitasi lahan yang

rusak karena dilakukan tanpa ada pengawasan Pemerintah. Hutan banyak yang telah di

tebang tanpa ada aturan tebang-pilih dan reboisasi yang dilakukan oleh pihak perusahaan.

Hutan bakau sebagian dibakar dan juga hasil alam berupa tanaman-tanaman atau lahan

bercocok tanam lainnya ikut punah sehingga hal ini sangat merugikan bagi warga

masyarakat dan ekosistemnya. Pembalakan hutan ini dikhawatirkan oleh masyarakat akan

mempengaruhi dampak perubahan iklim di Kepulauan Batu seperti kekeringan sumber

mata air dan pengikisan tanah kepulauan.

Sumber daya alam lainnya adalah sektor pariwisata yang sangat banyak dan layak

dikembangkan. Dengan adanya keindahan alam berupa ombak, angin, koral-koral dan

pasir putih yang memiliki terumbu karang yang indah dan juga peninggalan-peninggalan

sejarah seperti megalith dan kuburan batu s erta kesenian tradisional dari dua etnik yang

telah lama menetap di Kepulauan ini yaitu etnik Melayu dan Nias. Potensi ini ,akan

banyak mendatangkan manfaat bagi wisatawan dan masyarakat. Saat ini ada tiga pulau di

8

Kepulauan Batu yang sudah dikelola menjadi daerah resort wisata yaitu Pulau Simaloko,

Pulau Sifika dan Pulau Sibaranun. Ketiga pulau ini sudah dikelola oleh salah satu biro

travel wisata di Kota Medan yang bekerjasama dengan pihak asing. Pembangunan

pariwisata sudah mulai dilakukan, namun manfaat bagi masyarakat yang menjadi

penonton sampai saat ini belum memiliki manfaat.

Tabel 3. Lokasi Pengembangan Pariwisata Kepulauan Batu

No Nama Lokasi Potensi Kegiatan Wisata

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Pulau Sibaranun1

Pulau Sifika

Pulau Simaloko Pulau Simuk Pulau Tanahmasa Pulau Pini Pulau Pono Pulau Tello : Desa Simaluaya Desa Sinauru Desa Rafa-rafa Melayu Desa Sebua’asi

Selancar, Photo hunting, diving Selancar, diving. Selancar, diving, photo hunting. Diving, konservasi burung Beo, Selancar Photo hunting, Riset peninggalan sejarah Taman Buru, Photo hunting, diving. Diving, Selancar Riset Peninggalan Sejarah Riset Peninggalan Sejarah Photo Hunting dan riset peninggalan sejarah Photo hunting

Sumber : Hasil FGD Potensi Pengembangan Pariwisata

3.2 Strategi Masyarakat Dalam Mengatasi Dampak Perubahan Iklim Terhadap

Sumber Daya Alam Kepulauan Batu

Masyarakat telah melakukan beberapa program dalam mengatasi dampak

perubahan iklim. Masyarakat lokal membuat beberapa program-program pembangunan

pesisir berkelanjutan sekaligus sebagai upaya untuk mempertahankan ekosistem pada

masa sekarang ini.

Tabel 4. Program Masyarakat Dalam Pengelolaan SDA Pesisir Berkelanjutan Jangka Pendek Jangka Menengah Jangka Panjang

Penyadaran fungsi ekosistem laut

dan pantai

Perlindungan dan Pelestarian

Terumbu Karang

Pengembangan Koperasi Nelayan

Sosialisasi Pentingnya Pengelolaan SDA Pesisir

Berkelanjutan

Pengembangan usaha pengolahan ikan

Pengembangan lahan pertanian masyarakat dengan pelatihan

budidaya.

Pembangunan Infrastruktur : Jalan Raya, Hotel, Kapal, dan lain-lain.

Pengembangan usaha budidaya rumput laut

Advokasi Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam Pesisir

Pengendalian Abrasi pantai Pengembangan usaha budidaya

Ikan Kerapu

Pengelolaan dan pengembangan

daerah objek wisata

Pengelolaan Sanitasi masyarakat Pengembangan usaha Budidaya

Teripang

Pemetaan pemukiman kumuh dan

renovasi

Peremajaan hutan bakau dan

Reboisasi Hutan.

Pengembangan usaha budidaya

lobster dan kepiting

Pemetaan ruang wilayah pesisir

dan Peraturan Daerah

Sumber: Hasil FGD dengan LPM Hulo Batu Pulau Tello, Kepulauan Batu.

1 Masyarakat yang berada di pulau-pulau kecil ini banyak yang telah menjual lahan perkebunan

kelapa milik mereka kepada pihak pengelola wisata. Masyarakat yang ingin berkunjung di wilayah

resort wisata ini harus melapor terlebih dahulu pada petugas pengelola wisata.

9

3.3 “Fatabo” Suatu Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan SDA Pesisir.

Masyarakat Kepulauan Batu mengenal suatu tradisi kebersamaan berupa gotong

royong turun temurun menurut musim badai. Pada saat musim badai tiba, masyarakat

tidak dapat turun kelaut sehingga mereka melakukan tradisi “fatabo”. Fatabo adalah

istilah gotong royong bagi masyarakat di Kepulauan Batu. Gotong royong (fatabo) yang

dimaksud adalah untuk menangkap ikan secara bersama-sama di pimpin oleh Kepala

Desa setempat dengan masyarakat.

Masyarakat membentuk lingkaran di tepi pantai dengan luas hampir empat ratus meter. Terkadang badan kami juga hampir tertelan oleh kedalaman air laut dan tingginya ombak. Sambil memukul air dengan kayu dan mengeluarkan seruan suara gembira atau senandung, bermain dengan air dan mengejar ikan, mereka maju menuju ke tepian hingga lingkaran besar yang dibentuk tadi mengecil di tepian. Senandung suara yang kami sampaikan seperti ini : tabo…taboooo…tabooooo secara serentak ( Sumber: Wawancara Informan,2014)

Ikan-ikan yang berhasil masuk dalam lingkaran mereka, akan mabuk oleh pukulan

dan suara bising yang telah mereka buat. Tentu saja, saat itulah mereka menangkap,

menjaring dan menombak ikan dengan mudah. Hasilnya, ratusan ekor ikan bisa mereka

dapatkan dalam ber-fatabo selama lebih dari satu jam. Ikan yang mereka tangkap pun

beragam, mulai dari ikan yang kecil hingga yang besar. Seusai mengumpulkan ikan,

kepala desa akan membagikannya dengan adil kepada seluruh warga desa, pembagian

yang sama untuk setiap kepala keluarga.

Tradisi fatabo ini merupakan tradisi nenek moyang mereka, yang tidak diketahui

dimulai sejak kapan. Tradisi ini masih sering mereka lakukan, khususnya pada saat

musim badai tiba. Musim badaiyang tinggi seperti sekarang ini terjadi di Kepulauan Batu

sangat beresiko bagi para nelayan kecil seperti mereka yang hanya menggunakan sampan

sederhana untuk mencari ikan. Karena satu-satunya transportasi yang dimiliki masyarakat

setempat hanyalah sampan (biduk) sejenis perahu kayu tanpa motor berukuran 2-3 meter.

Kearifan lokal ini merupakan sebuah adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim yang

terjadi di Kepulauan Batu.

4. Kesimpulan

Pengelolaan Sumber Daya Alam Pesisir Berkelanjutan di Kepulauan Batu saat ini

sangat penting dilakukan. Untuk melaksanakan pemanfaatan yang merata bagi semua

pihak diperlukan suatu kesepakatan bersama (co-management) dalam pengelolaan

sumber daya alam tersebut. Kesepakatan inilah yang harus diwujudkan di masyarakat

dengan memegang prinsip keberlanjutan dan memperhatikan kearifan tradisional

masyarakat yang bertanggung jawab. Sumber daya alam pesisir sangat banyak terutama

10

di pulau-pulau kecil dan merupakan penyangga ekosistem serta menjadi sumber

pendapatan bagi masyarakat. Idealnya pengelolaan yang baik, apabila dilaksanakan

dengan memperhatikan: 1). Kemampuan SDM Pengelolanya, (2) adanya peraturan

perundangan yang mendukung (3) adanya kelembagaan yang kuat (4) adanya penguatan

kearifan lokal dengan melakukan pemberdayaan kelompok-kelompok masyarakat.

Pengembangan pariwisata kepulauan Batu ke depan haruslah berdasarkan

konsep ekowisata agar dapat berkelanjutan dan memperhatikan kelestarian ekosistem.

Pemerintah seharusnya menyiapkan sarana transportasi dan infrastruktur yang memadai

bagi masyarakat baik antar pulau dalam satu wilayah, antar desa, maupun pulau diluar

wilayah.Sumber daya alam dari hutan di Kepulauan Batu juga sangat penting

diperhatikan oleh Pemerintah, karena merupakan kekayaan Negara dan penyangga

ekosistem pulau-pulau kecil. Untuk itu perlu ada pengawasan dan regulasi yang jelas

dalam menindaklanjuti masalah pembalakan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung

jawab di Indonesia. Pembalakan-pembalakan hutan terjadi di Kepulauan Batu disebabkan

karena akses informasi dan transportasi menuju lokasi kepulauan ini tidak tersedia dengan

baik, sehingga secara bebas dilakukan tanpa adanya pengawasan. Usaha-usaha

pembalakan hutan di Propinsi Sumatera Utara sudah jarang terjadi, namun di Kepulauan

Batu wilayahnya sangat terpencil dan terisolir, eksploitasi hutan dari pihak-pihak yang

tidak bertanggung jawab semakin berkembang. Untuk itu sangat penting bagi Pemerintah

melakukan langkah-langkah yang serius dalam mempertahankan biodiversitas pesisir.

5. Daftar Pustaka

Asosiasi Pemeritah Kabupaten Seluruh Indonesia (APAKASI). 2001. Permasalahan dan Isu Pengelolaan dan Pemanfaatan Pesisir Di Daerah. http://aplikasi.or.id/modules.php?name=news&files=article&sid=106.

Darajati Wahyuningsih, 2004, Makalah Sosialisasi Nasional MFCDP : Strategi

Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Kelautan Secara Terpadu Dan Berkelanjutan, Bappenas

Depatemen Kelautan dan Perikanan. Pokok-Pokok Pikiran Rancangan Undang-Undang

(RUU) Pengelolaan Wilayah Pesisir (PWP). DKP. 2008. Urgensi RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Atrikel

on-line Dinas Kelautan dan Perikanan. Laowo A., Kecamatan Pulau-Pulau Batu Dalam Angka 2010.Biro Pusat Statistik

Kabupaten Nias Selatan Muttaqiena, dkk. 2009. Makalah Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan Pasca

Tsunami Desember 2004. http://slideshare.net/abida/pengelolaan-pesisir.