makalah filsafat
-
Upload
budi-eka-santoso -
Category
Documents
-
view
360 -
download
5
description
Transcript of makalah filsafat
PEMBENTUKAN FILSAFAT MODERN SEBAGAI ASPEK UTAMA
DALAM PERKEMBANGAN FILSAFAT SEJARAH BARAT
Makalah
Untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Sejarah
Yang dibimbing oleh Prof. Dr. Hariyono, M.Pd.
Oleh
Chandra Ferry P.
Claufia Rosa Estamala (100731403656)
Lusi Pratiwi
Moh. Dani Ariantono
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH
FEBRUARI, 2013
DAFTAR ISI
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
I.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………………..
I.2 Rumusan Masalah………………………………………………………...
I.3 Tujuan……………………………………………………………………..
Bab II Pembahasan
2.1 Latar Belakang Filsafat Sebelum Terbentuknya Filsafat Modern………..
2.2 Filsafat Modern dalam Proses Pembentukannya…………………………
2.3 Perkembangan Filsafat Sejarah Barat Pasca Filsafat Modern……………
Bab III Penutup
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………….
3.2 Saran……………………………………………………………………...
Daftar Rujukan……………………………………………………………...
PEMBENTUKAN FILSAFAT MODERN SEBAGAI ASPEK UTAMA
DALAM PERKEMBANGAN FILSAFAT SEJARAH BARAT
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Filsafat mengandung banyak pengertian. Kata filsafat berasal dari kata
Yunani filosofia yang diturunkan dari kata kerja filosofein yang berarti: mencintai
kebijaksanaan (Hadiwijoyo, 2005: 7). Dalam hal ini filsafat diartikan sebagai
“himbauan kepada kebijaksanaan”. Maksudnya adalah bahwa kebijaksanaan itu
belum diraih atau masih diusahakan untuk dicapai. Berdasarkan pengertian
tersebut, seorang filsuf dalam filsafat di Barat dimaknai sebagai orang yang
sedang mencari kebijaksanaan atau kebenaran.
Menurut Barness (dalam Basalim, 2010: 1) mengatakan bahwa, “Lahirnya
pemikiran di Barat berupa filsafat, ilmu pengetahuan, kebudayaan hingga
berkembangnya peradaban Barat pada dasarnya berasal dari proses dan
`pergumulan` dari interaksi peradaban besar yang telah ada sebelumnya, yaitu
peradaban Yunani-Romawi, Judio-Kristiani, dan Islam. Filsafat Sejarah Barat
pada dasarnya terbagi menjadi 4 periodesasi, meliputi Filsafat Kuno, Filsafat
Abad Pertengahan (Skolastik), Filsafat Modern serta Filsafat Abad ke-19 dan 20.
Masing-masing pembagian filsafat memiliki karakteristik yang berbeda dan saling
terkait satu sama lain dalam perkembangannya.
Makalah ini akan memaparkan semua filsafat yang pernah ada dalam hal
karakteristik sebab masing-masing memberikan pengaruh pada perkembangan
Filsafat Sejarah Barat. Namun, pokok pembahasan lebih terfokus pada
pembentukan Filsafat Modern. Filsafat Modern merupakan Filsafat Barat dalam
arti yang sebenarnya (Hadiwijoyo: 2005: 10). Hal ini disebabkan karena baru pada
zaman setelah abad pertengahan bermunculan berbagai pemikiran di segala
bidang kehidupan. Oleh karena itu makalah ini menyajikan tiga pembahasan,
antara lain: latar belakang filsafat sebelum terbentuknya Filsafat Modern, proses
pembentukan Filsafat Modern, dan perkembangan Filsafat Sejarah Barat pasca
munculnya Filsafat Modern. Dengan demikian diharapkan dapat diketahui dengan
jelas mengenai karakteristik dari Filsafat Sejarah Barat.
I.2 RUMUSAN MASALAH
Ada pun rumusan masalah yang menjadi topik bahasan dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
I.2.1 Bagaimana latar belakang filsafat sebelum terbentuknya Filsafat Modern?
I.2.2 Bagaimana Filsafat Modern dalam proses pembentukannya?
I.2.3 Bagaimana perkembangan Filsafat Sejarah Barat pasca Filsafat Modern?
I.3 TUJUAN
Mengacu pada rumusan masalah di atas tujuan penulisan makah ini antara
lain sebagai berikut:
I.3.1 Mengetahui dan memahami filsafat sebelum zaman Filsafat Modern
I.3.2 Mengetahui dan memahami proses pembentukan Filsafat Modern
I.3.3 Mengetahui dan memahami perkembangan Filsafat Sejarah Barat pasca
zaman Filsafat Modern
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 LATAR BELAKANG FILSAFAT SEBELUM TERBENTUKNYA
FILSAFAT MODERN
Perkembangan filsafat dibagi menjadi empat periodesasi, yaitu Filsafat
Kuno, Filsafat Abad Pertengahan (Skolastik), Filsafat Modern, dan Filsafat Abad
ke-19 dan 20. Berikut ini bagan perkembangan filsafat yang memberikan
pengaruh pada Filsafat Sejarah Barat:
Melalui skema di atas penulis berusaha memaparkan Filsafat Sejarah Barat
dalam setiap periodesasi. Dalam bab ini diuraikan tentang Filsafat Kuno dan
karakteristiknya. Filsafat kuno merupakan cikal bakal dari perkembangan Filsafat
Modern, yang merupakan arti sebenarnya dari Filsafat Sejarah Barat. Pada zaman
Filsafat Patristik
Filsafat Barat
Filsafat Kuno
Filsafat Abad Pertengahan (Skolastik)
Filsafat Modern
Filsafat Abad ke-19 dan 20
Filsafat Pra Sokrates
Filsafat Sokrates, Plato, dan Aristoteles
Filsafat Helenis-Romawi
Filsafat Jerman
Filsafat Prancis
Filsafat Inggris
Filsafat Amerika & Rusia
Sumber bagan: Hasil olahan penulis
inilah asal dari lahir dan berkembangnya filsafat yang ada sampai saat ini.
Pemikiran pada zaman ini bersumber dari Yunani. Ada pun garis besar dari
Filsafat Kuno adalah sebagai berikut.
Filsafat kuno dilahirkan atas kemenangan akal atas dongeng-dongeng atau mite-mite yang diterima dari agama, yang memberitahukan tentang asal-mula segala sesuatu, baik dunia maupun manusia … Para filsuf pertama adalah orang-orang yang mulai meragukan cerita mite-mite dan mulai mencari-cari dengan akalnya dari mana asal alam semesta yang menakjubkan itu … Pendekatan yang rasional demikian itu menghasilkan suatu pendapat yang dapat dikontrol, dapat diteliti akal dan dapat diperdebatkan kebenarannya (Hadiwijono, 2005: 15).
Berdasarkan garis besar tersebut dapat diambil beberapa karakteristik yang
menjadi ciri dari Filsafat Kuno. Berikut beberapa karakteristik dari Filsafat Kuno
pada abad ke-6 SM:
1. Ketidakpuasan akal manusia atas dongeng atau mite yang ada
2. Adanya filsuf-filsuf alam
3. Munculnya pemikiran yang rasional
4. Belum ada pemisahan yang jelas antara filsafat dan ilmu pengetahuan
5. Hal yang lebih diperhatikan adalah alam, bukan manusia
Kelima unsur yang menjadi karakteristik Filsafat Kuno tersebut dapat dilihat
wujud konkretnya pada hasil pemikiran-pemikiran para filsuf pra Sokrates, antara
lain:
1. Thales (± 625-545 SM)
2. Anaximandros (± 610-540 SM)
3. Anaximentes (± 538-480 SM)
4. Xenophanes (± 570-480 SM)
5. Herakleitos (± 540-475 SM)
6. Parmenides (± 540-475 SM)
7. Empedokles (492-432 SM)
8. Anaxagoras (499-420 SM)
9. Leukippos dan Demokritos (± 460-370 SM)
Tokoh-tokoh pra Sokrates merupakan tokoh-tokoh yang memiliki sasaran
penyelidikan terhadap jagat raya. Mereka Pengamatan yang mereka lakukan
adalah pengamatan terhadap sesuatu yang bisa diamati. Bahkan menurut
Hadiwijono (2005: 16) banyak sekali pernyataan-pernyataan mereka yang
mengenai gejala-gejala alam, bahwa perhatian besar kepada gejala-gejala alam itu
bersifat filsafati, bukan bersifat keagamaan atau perhatian biasa. Pemikiran
mendalam mengenai alam inilah karakteristik utama dari para filsuf pra Sokrates.
Perkembangan selanjutnya dari Filsafat Kuno adalah munculnya filsuf
Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Menurut Cicero (dalam Hadiwijono, 2005: 32),
Sokrates memindahkan filsafat dari langit ke bumi, artinya: sasaran yang
diselidiki bukan lagi jagat raya, melainkan manusia. Manusia dijadikan sebagai
objek pemikiran. Selain itu, Noer (1983: 5) mengungkap pemikiran Socrates
bahwa, “Kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai dan tiap-tiap pendirian
dapat dibenarkan dengan jalan retorika.” Berikut ini karakteristik Filsafat Kuno
yang tercermin dari hasil pemikiran Sokrates (469-399 SM):
1. Adanya kebenaran yang objektif
2. Ajarannya bukan untuk meyakinkan orang lain, melainkan untuk
mendorong orang lain supaya mengetahui dan menyadari sendiri
3. Cara pengajaran dialektika, dalam pengajaran dialog memegang
peranan yang penting
4. Keutamaan adalah pengetahuan
Poin ke empat, yaitu “Keutamaan adalah pengetahuan” merupakan
pemikiran dari Sokrates yang memiliki kekuatan utama sebagai pendirian
Sokrates. Keutamaan atau kebajikan adalah pengetahuan tentang yang baik.
Berdasarkan pemikirannya tersebut, menurut Sokrates tidak mungkin orang
dengan sengaja melakukan hal yang salah. Kalaupun orang berbuat salah, hal itu
disebabkan karena mereka tidak berpengetahuan. Jadi, baik dan jahat dikaitkan
dengan soal pengetahuan, bukan dengan kemauan manusia.
Filsuf kuno yang banyak dikenal orang karena karya-karyanya adalah
Plato (427-347 SM). Berikut ini karakteristik Filsafat Kuno yang tercermin dari
hasil pemikiran Plato:
1. Hal-hal yang beraneka ragam dan yang dikuasai oleh gerak serta
perubahan tentu ada yang tetap, tidak berubah
2. Segala sesuatu yang berubah dikenal oleh pengamatan, sedangkan
yang tidak berubah dikenal oleh akal
3. Dunia harus diatur oleh manusia
4. Ada dua macam dunia, yaitu dunia ini dan dunia idea
5. Negara harus berfungsi sebagai dokter
Hasil pemikiran Plato yang telah disebutkan di atas pada intinya sama
dengan yang telah dirangkum oleh Hadiwijono (2005: 43) berikut ini.
Bahwa Plato menekankan kepada kebenaran yang di luar dunia ini, hal itu tidak berarti, bahwa ia bermaksud melarikan diri dari dunia. Dunia yang kongkrit ini dianggap penting juga. Hanya saja, hal yang sempurna tidak dapat dicapai di dalam dunia ini. Namun kita harus berusaha hidup sesempurna mungkin …. Agar supaya orang dapat hidup baik harus mendapat pendidikan. Pendidikan bukanlah hanya soal akal semata-mata, tetapi soal memberi bimbingan kepada perasaan-perasaan yang lebih tinggi, supaya mengarahkan diri kepada akal, sehingga dapat dipakai akal guna mengatur nafsu-nafsu.
Sama halnya dengan Plato, Aristoteles juga merupakan seorang filsuf
kuno yang dikenal melaui karya-karyanya. Berikut ini tahap perkembangan
pemikiran Aristoteles (Hadiwijono, 2005: 45)
1. Tahap di Akademi, ketika ia masih setia kepada gurunya, Plato
2. Tahap ia di Assos, ketika ia berbalik daripada Plato, mengkritik ajaran
Plato tentang idea-idea serta menentukan filsafatnya sendiri
3. Tahap ketika ia di sekolahnya Athena, waktu ia berbalik dari
berspekulasi ke penyelidikan empiris, mengindahkan yang kongkrit
dan yang individual
Aristoteles menjadi murid Plato selama 20 tahun, kemudian setelah Plato
meninggal dunia ia mendirikan sekolah di Assos. Pada tahap ia di Assos, dia
mulai tidak setuju dengan ajaran Plato tentang idea. Bagi Plato (Hadiwijono,
2005: 49) idea adalah pola segala sesuatu yang tempatnya di luar dunia ini, yang
berdiri sendiri, lepas daripada benda yang kongkrit. Bagi Aristoteles idea adalah
asas yang berada di dalam benda yang kongkrit, yang menjadikan benda
mendapatkan sebutan.
Selanjutnya Aristoteles juga mengajarkan adanya dua macam pengenalan,
yaitu pengenalan indrawi dan pengenalan rasional. Pengetahuan indrawi hanya
mengenai hal-hal yang kongkrit dari suatu benda tertentu atau terbatas hanya pada
satu aspek saja, sedangkan pengetahuan rasional dapat mengenal hakekat sesuatu.
Pengetahuan rasional inilah yang memberikan pengaruh pada perkembangan ilmu
pengetahuan. Jadi perbandingan antara Plato dan Aristoteles menurut Hadiwijono
(2005: 53) Plato adalah tokoh yang serba bermenung, sedangkan Arsitoteles
adalah orang yang menekankan pada pengalaman.
Filsafat kuno selanjutnya adalah Filsafat Helenisme dan Romawi, yaitu
zaman terjadinya perpindahan pemikiran filsafati. Pada zaman ini terjadi
perubahan dari filsafat yang teoritis menjadi filsafat yang praktis. Pada zaman ini
pengertian orang bijak adalah orang yang mengatur hidupnya menurut akal atau
rasionya. Dalam Filsafat Helenisme terdapat dua macam aliran pemikiran, yaitu
aliran yang bersifat etis (lebih menekankan pada kebijaksanaan hidup yang
praktis) dan aliran yang diwarnai oleh agama.
Filsafat kuno setelah Filsafat Helenisme adalah Filsafat Patristik. Filsafat
Patristik merupakan filsafat yang telah dipengaruhi oleh teologi Kristiani.
Karakteristik utama dalam Filsafat Patristik ialah adanya konfrontasi antara
filsafat dengan agama Kristen. Pada zaman ini bermunculan para pemikir Kristen.
Di antara mereka ada yang bersikap menerima filsafat Yunani dan ada pula yang
melakukan penolakan terhadap filsafat Yunani dengan berbagai macam alasann.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada zaman Patristik ini filsafat dan
agama Kristen tidak hidup berdampingan secara damai.
Sebelum dimulainya zaman Filsafat Modern, berkembang pula Filsafat
Skolastik pada abad pertengahan. Filsafat Skolastik adalah suatu arah pemikiran
yang berbeda sekali dengan arah pemikiran kuno (Hadiwijono, 2005: 87). Filsafat
Skolastik muncul di tengah-tengah rumpun bangsa Eropa Barat. Dalam filsafat
ini, ilmu terikat pada tuntutan pengajaran di sekolah-sekolah, yang semula timbul
di biara-biara. Oleh karena itulah Filsafat Skolastik mengutamakan pengetahuan
yang digali dari buku-buku. Filsafat Skolastik juga mempelajari jagat raya, tetapi
tidak dengan cara meneliti, melainkan dengan menanyakan kepada para filsuf
Yunani. Salah satu tokoh itu adalah Karel Agung. Pada zamannya, pemikiran
filsafati dan teologis mulai tumbuh.
Di sepanjang abad pertengahan bermunculan ahli-ahli pikir yang
berpendapat bahwa iman adalah satu-satunya sumber pengetahuan atau
pengenalan yang benar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbedaan
karakteristik antara Filsafat Kuno dengan Filsafat Skolastik terletak pada cara
berpikir. Pada zaman Filsafat Kuno orang meninggalkan pemikiran religius dan
mulai berpikir dengan memakai akalnya, sedangkan pada zaman menjelang
zaman Filsafat Skolastik orang justru berbalik dari berpikir yang intelektualistis
ke berpikir secara religius.
Pada zaman Filsafat Skolastik berkembang studi dalam ilmu kemanusiaan
dan ilmu alam. Filsafat abad pertengahan bergerak dalam kekangan teologia dan
iman Kristiani. Beberapa faktor pendukung berkembangnya abad ini adalah
sebagai berikut (Hadiwijono, 2005: 99).
1. Adanya hubungan-hubungan baru dengan pemikiran Yunani dan dunia pemikiran Arab, yaitu dengan peradaban Yunani dari Italia Selatan dan Sisilia dan dengan kerajaan Bizantium di satu pihak, dan dengan peradaban Arab yang ada di Spanyol di lain pihak.
2. Timbulnya universitas-universitas dengan memunculkan empat fakultas yang berwibawa di bidang masing-masing, yaitu fakultas teologia, fakultas hukum, fakultas kedokteran, dan fakultas sastra.
3. Timbulnya ordo-ordo baru, yaitu ordo Fransiskan dan ordo Dominikan. Ordo-ordo ini sangat giat mengembangkan ilmu yang disumbangkan kepada universitas-universitas.
Salah satu filsuf zaman Filsafat Skolastik yang memberikan pengaruh
pada perkembangan Filsafat Sejarah Barat selanjutnya adalah Nicolaus Cusanus.
Nicolaus Cusanus telah mempersatukan seluruh pemikiran abad pertengahan
menjadi sutu sintesa besar menuju masa depan, yang di dalamnya tersirat
pemikiran humanis. Pada waktunya seluruh jagat raya akan kembali kepada
Penciptanya, yaitu Tuhan. Dari sinilah Filsafat Sejarah Barat memasuki zaman
Filsafat Modern.
2.2 FILSAFAT MODERN DALAM PROSES PEMBENTUKANNYA
Filsafat Modern merupakan Filsafat Sejarah Barat dalam arti yang
sebenarnya (Hadiwijono, 2005: 10). Hal ini disebabkan karena pada zaman ini
manusia berusaha menegakkan suatu pandangan dunia dan mengembangkannya
secara sistematis, sehingga dicapai pandangan dunia yang lengkap. Berikut ini
bagan proses pembentukan Filsafat Modern.
Pada zaman Filsafat Modern, Filsafat Barat menjadi suatu kuasa rohani
yang berdiri sendiri dikarenakan timbulnya aliran Humanisme dan Reinaissance,
yang lebih memusatkan pada kehidupan di dunia daripada kehidupan di akhirat.
Renaissance dimulai ± pada abad ke-15 dan ke-16. Pengertian Renaisance secara
historis (Hadiwijono, 2005: 11) adalah suatu gerakan yang meliputi suatu zaman
di mana orang merasa dirinya telah dilahirkan kembali dalam keadaban. Unsur-
unsur Renaissance yang mempengaruhi perkembangan dari filsafat adalah
Humanisme. Ada pun pengertian Humanisme (Hadiwijono, 2005: 11) adalah
kebangkitan untuk mempelajari sastra klasik dan penyembutan atas realitas hidup.
Empirisme
Rasionalisme
Filsafat di Jerman
Pencerahan di Inggris
Pencerahan di Jerman
Pencerahan di Prancis
Filsafat Modern
Filsafat Abad ke-17
Filsafat Abad ke-18 (Pencerahan)
Renaissance
Sumber bagan: Hasil olahan penulisSumber bagan: Hasil olahan penulis
Berdasarkan pengertian Renaissance dan Humanisme tersebut, berikut rangkuman
beberapa karakteristik pemikiran dari Filsafat Renaissance:
1. Perhatian pemikiran pada segala hal yang bersifat kongkrit, yaitu alam
semesta dan manusia
2. Kebenaran dicapai dengan kekuatan sendiri dengan ciri khas
kebenaran, yaitu “jelas dan terpilah-pilah”
3. Bebasnya pemikiran dan penelitian dari tradisi
4. Pangkal pemikiran dimulai dari keragu-raguan
5. Banyak sekali penemuan-penemuan, baik di bidang ilmu pengetahuan
alam maupun di bidang ilmu negara.
Hadiwijono (2005: 18) menyatakan bahwa, “ Pada abad ke-17 pemikiran
Renaissance mencapai penyempurnaannya”. Pada masa ini dipandang sebagai
sumber pengetahuan yang dapat dipakai oleh manusia, yaitu akal (rasio) dan
pengalaman (empiri). Oleh karena itulah pada abad ini muncul dua aliran yang
saling bertentangan, yaitu:
1. Aliran rasionalisme, berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang
mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal)
2. Aliran empirisme, berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang
menjadi sumber pengetahuan
Dalam aliran rasionalisme terdapat beberapa nama tokoh, antara lain Rene
Descartes atau Cartesius (1596-1650), Blaise Pascal (1623-1662), dan Baruch
Spinoza (1632-1677). Cartesius mendapat julukan “Bapa Filsafat Modern”.
Berikut pemikiran besar dari Cartesius (Hadiwijono, 2005: 19).
Adapun yang harus dipandang sebagai yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah (clear and distinctly), artinya bahwa gagasan-gagasan atau idea-idea itu seharusnya dapat dibedakan dengan persis dari gagasan-gagasan atau idea-idea yang lain …. Apa yang kita duga kita lihat dengan mata kita itu hanya dapat kita ketahui semata-mata dengan kuasa penilaian kita, yang terdapat di dalam rasio atau akal. Pengetahuan melalui indra adalah kabur …. Hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu: bahwa aku ragu-ragu (aku meragukan segala sesuatu) … Aku ragu-ragu, atau aku berpikir dan oleh karena aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum).
Kutipan pemikiran di atas memberikan gambaran bahwa Cartesius
menganggap bahwa segala sesuatu itu dapat dinyatakan sebagai suatu kebenaran
apabila sesuatu tersebut jelas dan terpilah-pilah. Cartesius juga meragukan
pengetahuan yang berdasarkan penglihatan indrawi saja, sebab yang dilihat oleh
indra masih diragukan kebenarannya dan harus dibuktikan melalui rasio atau akal
manusia. Apabila pengetahuan melalui indra telah dibuktikan oleh akal manusia
maka akan dihasilkan suatu kebenaran yang jelas. Inilah suatu kebenaran filsafat
yang pertama (primum philosophicum).
Tokoh selanjutnya adalah Blaise Pascal. Berikut ini pemikiran Blaise
Pascal (Hadiwijono, 2005: 25).
Ilmu pasti bukan suatu ilmu yang metodenya harus ditiru oleh seorang filsuf, sebab seorang filsuf pertama-tama harus menyelami kadaan manusia yang kongkrit dihadapi, orang demi orang. Dari penyelaman itu ia akan menginderai bahwa realitas itu pada hakekatnya adalah suatu rahasia. Akal atau rasio kita memang dapat memberi pengetahuan kepada kita tentang rahasia itu, akan tetapi akal tidak dapat merumuskannya dalam pengertian-pengertian yang memadai … Di dalam jagat raya yang besar ini manusia bukanlah apa-apa, akan tetapi di tengah-tengah jagat raya ini manusia adalah satu-satunya makhluk yang berpikir.
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui perbedaan antara pemikiran
Pascal dengan Descartes yang menjadi pendahulunya. Letak perbedaan tersebut
adalah pada penggunaan metode ilmu alam. Menurut Descartes metode yang
diterapkan dalam ilmu pasti adalah metode yang harus dipakai dalam berfilsafat,
sedangkan Pascal berpendapat bahwa metode ilmu pasti tidak harus dipakai dalam
berfilsafat. Meskipun memiliki kesamaan dalam menggunakan metode ilmu pasti,
namun Pascal juga mengharuskan akal atau rasio untuk menyelami realitas yang
konkret.
Tokoh selanjutnya adalah Baruch Spinoza. Berikut ini pemikiran Baruch
Spinoza (Hadiwijono, 2005: 29).
Pengetahuan didapatkan dari pengamatan. Di dalam pengamatan indrawi tidak dapat ditetapkan apa yang subyektif dan apa yang obyektif. Jikalau kesan-kesan subyektif dianggap sebagai kebenaran, hal itu mengakibatkan adanya gambaran-gambaran yang kacau di dalam imajinasi. Segala pengetahuan dimulai dengan gambaran-gambaran indrawi. Gambaran-gambaran itu kemudian
ditingkatkan hingga sampai kepada tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi, yaitu pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif. Di dalam pengetahuan rasional orang hanya mengambil kesimpulan-kesimpulan, tetapi di dalam pengetahuan intuitif orang memandang kepada idea-idea yang berakitan dengan Allah. Di sini orang dimasukkan ke dalam keharusan ilahi yang kekal.
Berdasarkan pemikiraannya itu, Spinoza berpendapat bahwa pengamatan
indrawi tidak dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam menentukan kebenaran.
Kebenaran tidak cukup diungkapkan dengan menggunakan rasio saja, akan tetapi
juga harus menggunakan intuitif. Menurut Hamersma (1992: 102) bahwa Fungsi
intuisi ialah untuk mengenal hakekat pribadi dengan lebih murni dan dapat
mengenali seluruh hakekat kenyataan. Hakekat kenyataan baik dari pribadi
maupun dari seluruh kenyataan oleh intuisi dilihat sebagai kelangsungan murni
atau masa murni. Melalui intuitif manusia dapat mencapai pemikiran yang
mengarah pada Pencipta alam semesta, yaitu Tuhan. Dengan demikian manusia
akan mengerti bahwa pengetahuan mereka tidak terlepas dari kekuatan Tuhan
yang kekal.
Aliran ke dua yang berkembang dalam Filsafat Modern adalah aliran
empirisme. Aliran empirisme mengutamakan pengalaman atau empiri sebagai
sumber pengetahuan. Namun, hal ini bukan berarti aliran empirisme menolak
keberadaan dari aliran rasio. Dalam aliran empirisme rasionalisme digunakan
dalam rangka menuju empirisme. Berbicara mengenai aliran empirisme maka
tidak terlepas dari pemikiran Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-
1704). Berikut pemikiran dari Thomas Hobbes yang darangkum oleh Hadiwijono
(2005: 32).
Baginya filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat, atau tentang penampakan-penampakan yang sedemikian seperti yang kita peroleh dengan merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau asalnya … Sasaran filsafat adalah fakta-fakta yang diamati, sedang maksudnya adalah mencari sebab-sebabnya … Segala yang ada ditentukan oleh sebab, yang hukumnya sesuai dengan hukum ilmu pasti dan ilmu alam. Dunia adalah suatu keseluruhan sebab-akibat.
Hobbes beranggapan bahwa filsafat diperoleh melalui rasionalisasi
pengetahuan dari sebab-sebabnya. Oleh karena itulah filsafat Hobbes berusaha
mewujudkan suatu sistem yang lengkap mengenai keterangan “yang ada” secara
mekanis. Berdasarkan pemikiran Hobbes, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini
dapat diterangkan secara alamiah dan mekanis melalui keberadaan dari sebab dan
akibat. Dengan demikian manusia akan memperoleh pengalaman dan dari
pengalaman itulah yang memberi jaminan akan kepastian. Hobbes telah membuka
pikirannya betapa penting penggunaan suatu nalar serta metode eksperimental
dalam kehidupan sains (Suhelmi, 2001: 169).
Tokoh aliran empiris setelah Thomas Hobbes adalah John Locke. John
Locke berusaha menguraikan cara manusia mengenal. Berikut pemikiran John
Locke (Hadiwijono, 2005: 36).
Segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal (rasio) adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri … Satu-satunya sasaran atau obyek pengetahuan adalah gagasan-gagasan atau idea-idea, yang timbulnya karena pengalaman lahiriah dan batiniah … Dengan demikian mengenal adalah identik dengan mengenal secara sadar.
Berdasarkan kutipan pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa pengalaman
lahiriah dan batiniah adalah benar atau obyektif apabila gagasan-gagasan dari
pengalaman tersebut disebabkan oleh realitas yang ada dalam kesadaran kita.
Menurutnya John Locke (dalam Russel, 1994: 98) bahwa, “Tuhan telah
menganugerahkan setiap manusia kesamaan nalar dan kesamaan keuntungan
alamiah karena hal ini telah ada sejak manusia berada dalam keadaan alamiah
atau bawaan sejak lahir.”
Filsafat Sejarah Barat tidak terlepas dari pemikiran tokoh dari Jerman
bernama G. W. Leibniz (1646-1716). Dia berusaha menjembatani pertentangan
antara aliran rasionalisme dan empirisme. Pemikiran Leibniz ini telah dirangkum
oleh Hadiwijono (2005, 43) sebagai berikut.
Isi pengetahuannya tentang jagat raya bukan didapatkan dari luar dirinya. Isi pengetahuan itu telah ada di dalam dirinya sendiri sebagai bawaan … Jadi pengenalan atau pengetahuan adalah akibat
kekuatan sendiri. Di dalam pengamatan hanya menghasilkan suatu gagasan atau idea yang kejelasannya dan kesadarannya masih sedikit. Tetapi pengetahuan dalam pengamatan itu pelan-pelan dijadikan jelas dan kemudian muncul di dalam gagasan atau idea yang jelas dan sadar sekali, yaitu pengetahuan dalam bentuk pengertian. Jadi dapat dikatakan, bahwa pengetahuan kita yang lebih lanjut itu diperkembangkan oleh pengalaman. Akan tetapi pengalaman bukanlah sumber pengetahuan, melainkan tingkat awal pengetahuan akali.
Pemikiran tersebut menggambarkan bahwa Leibniz berusaha mencari
hubungan atau keterkaitan antara aliran rasionalisme dan empirisme. Leibniz
mencoba membuktikan bahwa sebenarnya rasio (akal) memiliki hubungan yang
erat dengan pengalaman. Keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sebab
pengalaman merupakan tingkat awal pengetahuan akali seperti yang telah
dingkapkan oleh Leibniz.
Perkembangan Filsafat Sejarah Barat selanjutnya adalah Filsafat Abad ke-
18, yaitu memasuki zaman pencerahan (aufklarung). Zaman pencerahan sendiri
memiliki arti sebagai berikut (Basalim, 2010: 99).
Renaisans, secara etimologis dalam bahasa Prancis: Renaissance, berasal dari kata re (kembali) dan naitre (lahir) berarti `kelahiran kembali.` Istilah itu bersumber kepada lahirnya spirit baru cara berpikir sebagian pemikir, penguasa, kaum pedagang, dan budayawan di Eropa, semula bersandar dari pandangan agama Romawi yang dogmatis, mistis, dan statis dengan Paus pemegang kekuasaan dengan otoriter yang absolut berubah dengan penghargaan kepada `kebebasan berpikir`, otonomi berkeyakinan serta inovasi dan kreativitas dalam pengembangan sains, teknologi, serta filsafat ilmu.
Gerakan pencerahan berasal dari Inggris, yang kemudian dibawa ke Perancis,
Jerman dan akhirnya tersebar di seluruh Eropa. Inti dari zaman pencerahan adalah
munculnya sikap memusuhi keberadaan agama yang telah berkembang pada
zaman filsafat sebelumnya. Hadiwijono (2005: 47) mengungkapkan bahwa,
“Sikap Pencerahan terhadap agama wahyu pada umumnya dapat dikatakan
memusuhi, atau setidak-tidaknya mencurigainya”. Hal ini terbukti dengan adanya
usaha mengganti agama Kristen menjadi agama yang murni alamiah yang dapat
diterima oleh akal manusia.
Salah satu gejala Pencerahan di Inggris adalah adanya aliran Deisme, yaitu
suatu aliran yang mengutarakan ajaran agama alamiah. Salah satu tokoh yang
terkenal ialah David Hume. Berikut ini pemikiran David Hume dalam buku Sari
Sejarah Filsafat Barat jilid II (Hadiwijono, 2005: 53).
Dalam soal teori pengenalan ia mengajarkan, bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan ke dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu: kesan-kesan (impression) dan pengertian-pengertian atau idea-idea (ideas). Yang dimaksud kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman …. Manurut Hume, tiada bukti yang dapat dipakai untuk membuktikan, bahwa Allah ada dan bahwa Ia menyelenggarakan dunia. Di dalam praktek tiap orang di bidang agama mengikuti “kepercayaan” yang menjadikan dia dapat menganggap pasti apa yang oleh akalnya tidak dapat dibuktikan.
Kutipan hasil pemikiran David Hume di atas menggambarkan bahwa Hume
menganggap bahwa kesan-kesanlah yang pasti dan tidak dapat diragukan. Oleh
karena itulah Hume bersikap skeptis terhadap agama yang dipercaya oleh
masyarakat pada waktu itu. Dari sinilah Hume menampakkan aliran Deisme, yaitu
mengakui adanya yang menciptakan alam semesta ini, namun dalam
pelaksanannya manusia harus tetap menggunakan hukum-hukum akalnya dalam
berbakti kepada Tuhan.
Pencerahan yang tidak kalah pentingnya seperti di Inggris ialah
Pencerahan di Perancis. Aliran Deisme di Perancis menyerang Agama Kristen.
Voltaire atau Francois Marie Arouet dan Jean Jacques Rousseau merupakan tokoh
yang menyetujui adanya agama alamiah. Voltaire menentang dogma dalam agama
gereja. Menurut Voltaire (dalam Hadiwijono, 2005: 58) sebagai berikut.
Agama alamiah yang memenuhi tuntutan akal ialah yang mengasihi Allah dan berbuat adil serta berminat baik terhadap sesamanya … Agama mencakup kepastian tentang adanya Allah. Bahwa Allah ada, hal itu dapat dibela terhadap ateisme dengan alas an-alasan yang akali dan yang semata-mata bersifat ilmiah. Penyusunan alam semesta dan peraturan-peraturan umum dari kejadian-kejadian alamiah mengajarkan kepada kita adanya Pekerja yang Tertinggi, yang mengadakan semuanya itu, yaitu Allah. Akan tetapi kita tidak tahu apa-apa tentang hakekat dan sifat-sifat Allah ini.
Sama halnya dengan Voltaire, Rousseau juga menentang dogma dalam agama
gereja. Menurut Rousseau (dalam Hadiwijono, 2005: 62) agama adalah urusan
pribadi dan tidak boleh mengasingkan orang dari hidup bermasyarakat. Kesalahan
agama Kristen menurut Rousseau ialah bahwa agama ini mematahkan kesatuan
masyarakat. Baginya masyarakat hanya membebankan kebenaran-kebenaran
keagamaan.
Pencerahan tidak hanya terjadi di Inggris dan Perancis, tetapi juga terjadi
di Jerman. Namun, Pencerahan yang terjadi di Jerman berbeda dengan yang
terjadi di Inggris dan Perancis. Hadiwijono (2005: 62) mengatakan bahwa, “Pada
umumnya Pencerahan di Jerman tidak begitu bermusuhan sikapnya terhadap
agama Kristen seperti yang terjadi di Perancis”. Di dalam Pencerahan di Jerman
dikenal seorang tokoh yang dikenal sebagai penyempurna masa Pencerahan, yaitu
Immanuel Kant. Berikut ini rangkuman pemikiran Kant tentang filsafat
(Hadiwijono, 2005: 64).
Yang dimaksud dogmatisme ialah filsafat yang mendasarkan pandangannya kepada pengertian-pengertian yang telah ada tentang Allah, tanpa menghiraukan apakah rasio telah memiliki pengertian tentang hakekatnya sendiri, luas dan batas kemampuannya. Filsafat yang bersifat dogmatis menerima kebenaran-kebenaran asasi agama dan dasar ilmu pengetahuan begitu saja, tanpa mempertanggungjawabkannya secara kritis …. Filsafat teoritis Kant membicarakan tentang Allah. Di situ ia membicarakan hal bukti-bukti bagi adanya Allah … Filsafat adalah suatu pemikiran yang dalam tertib hukumnya melalui jalan yang dilalui manusia yang menuju kepada Allah … Filsafat adalah seni berpikir bebas. Padahal berpikir bebas adalah berpikir yang karena mengikuti hukum rasionya, dan yang dilakukan dalam kesadaran aka misi rasionya.
Melihat rangkuman pemikiran Kant di atas tampak bahwa Kant mengakui
keberadaan Tuhan. Namun Kant tidak hanya percaya begitu saja, akan tetapi dia
berusaha membuktikan dengan rasionya bahwa Tuhan itu memang ada. Dengan
demikian keberadaan Tuhan dapat diterima dengan akal manusia.
2.3 PERKEMBANGAN FILSAFAT SEJARAH BARAT PASCA ZAMAN
FILSAFAT MODERN
Filsafat Sejarah Barat terus mengalami perkembangan. Semua
perkembangan yang terjadi tidak terlepas dari pengaruh yang diberikan oleh
pemikiran Filsafat Modern. Ada pun bentuk-bentuk perkembangan pemikiran
tersebut dapat digambarkan dalam bagan tentang filsafat abad ke-19 dan abad ke-
20 di bawah ini.
Bagan di atas membagi filsafat abad ke-19 menjadi tiga aliran filsafat, yaitu
positivisme, idealisme, dan materialisme. Salah satu tokoh pendukung filsafat
positivisme adalah Auguste Comte. Comte berpendapat (dalam Hadiwijono,
2005: 109) bahwa, “Filsafat Positivisme berpangkal dari apa yang telah diketahui
dan yang faktual.” Segala uraian dan persoalan yang di luar apa yang ada sebagai
fakta atau kenyataan dikesampingkan. Apa yang kita ketahui dalam hal ini adalah
segala yang tampak atau segala gejala. Jadi positivisme membatasi filsafat dan
ilmu pengetahuan kepada bidang gejala-gejala atau fakta saja.
Berbeda dari positivisme, idealisme filsafatnya disebut Wissenschaftslehre
atau “Ajaran Ilmu Pengetahuan”. Filsafat sebagai ajaran tentang ilmu
pengetahuan dibedakan antara lain:
Idealisme
Materialisme
Pragmatisme
Filsafat Hidup
Fenomenologi
Eksistensialisme
Filsafat Barat pasca Filsafat Modern
Filsafat Abad ke-19
Filsafat Abad ke-20
Positivisme
Sumber bagan: Hasil olahan penulisSumber bagan: Hasil olahan penulis
a. Ajaran tentang ilmu pengetahuan yang teoritis
b. Ajaran tentang ilmu pengetahuan yang praktis
Di dalam bagian yang teoritis dibicarakan hal metafisika dan ajaran tentang
pengenalan, sedang di dalam bagian yang praktis dibicarakan hal etika. Pangkal
pemikiran Fichte (dalam Hadiwijono, 2005: 91) mengatakan bahwa, “dalam
ajarannya tentang ilmu pengetahuan yang praktis sama dengan pangkal
pikirannya yang terdapat di dalam ajarannya tentang ilmu pengetahuan yang
teoritis, yaitu: tuntutan pikiran.” Pemikiran Fichte senada dengan pemikiran
Hegel yang menyatakan bahwa, “yang mutlak adalah Roh yang mengungkapkan
diri di dalam alam, dengan maksud agar supaya dapat sadar akan dirinya sendiri.
Hakekat Roh sendiri adalah idea atau pikiran.”
Filsafat yang selanjutnya adalah Filsafat Materialisme. Berikut pemikiran
Ludwig Feurbach tentang materialisme (Hadiwijono, 2005: 117).
Hanya alamlah yang berada. Oleh karena itu manusia adalah makhluk alamiah. Segala usahanya didorong oleh nafsu alamiahnya, yaitu dorongan untuk hidup. Yang terpenting pada manusia bukan akalnya, tetapi usahanya, sebab pengetahuan hanyalah alat untuk menjadikan segala usaha manusia berhasil. Kebahagiaan manusia dapat dicapai di dalam dunia ini. Oleh karena itu agama dan metafisika harus ditolak.
Feurbach menganggap bahwa usaha juga merupakan hal yang penting dalam
kehidupan manusia. Akal digunakan sebagai alat untuk mencapai kebahagiaan
hidup di dunia sedangkan usaha adalah bentuk realisasi dalam mewujudkan
kebahagiaan tersebut. Oleh karena itulah dia berpendapat bahwa agama bukan
sebagai usaha untuk meraih kebahagiaan di dunia, melainkan sebagai urusan
akhirat yang perlu dipisah dari urusan dunia. Hal ini juga diungkapkan oleh Karl
Marx berikut ini (Hadiwijono, 2005: 119).
dunia bukan dipandang sebagai suatu himpunan yang terdiri dari hal-hal yang telah selesai jadi, melainkan sebagai suatu himpunan yang terdiri dari proses-proses. Tiada sesuatu pun yang telah tetap atau telah bersifat mutlak. Satu-satunya yang ada adalah proses menjadi dan proses hancur yang tiada hentinya … Jadi proses ini adalah suatu proses dialektis, yang diisi bukan dengan pandangan dunia yang dialektis, melainkan dengan pandangan dunia yang materialistis.
Dalam pendekatan agama, Karl Marx (dalam Ebenstein, 1990: 2)
mengemukakan bahwa, “Kehendak Ilahi tidak diketahui dan manusia tidak
dapat mengalaminya secara langsung, juga banyak konsepsi manusia
mengenai Tuhan serta rencananya untuk umat manusia.”
Berbeda dari filsafat abad ke-19, filsafat abad ke-20 dibagi menjadi 4
aliran pemikiran, meliputi pragmatisme, filsafat hidup, fenomenologi, dan
eksistensialisme. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang
benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan
akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis (Hadiwijono, 2005: 130). Oleh
karena itulah, pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan yang berpatokan
pada “manfaat bagi hidup praktis.” Pragmatisme juga berpendapat bahwa tiada
kebenaran yang mutlak. Hal ini telah diungkapkan oleh William James berikut
(Hadiwijono, 2005: 132).
Tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas daripada akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu tiada kebenaran yang mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran, yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Sama halnya dengan pemikiran dari James di atas, John Dewey (dalam
Hadiwijono, 2005: 133) mengatakan bahwa, “tugas filsafat ialah memberikan
garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup dan harus berpijak
pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-
kritis.” Menurut John Deawey tidak ada sesuatu yang tetap (Syadzali,1997:126).
Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Jika mengalami kesulitan, segera
berpikir untuk mengatasi kesulitan itu. Maka dari itu berpikir tidak lain daripada
alat (instrumen) untuk bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat ditinjau dari
berhasil tidaknya mempengaruhi kenyataan.
Dalam Filsafat Hidup Henry mengungkapkan pemikirannya (dalam
Hadiwijono, 2005: 133).
hidup adalah suatu tenaga eksplosif yang telah ada sejak awal dunia, yang berkembang dengan melawan penahanan atau penentangan materi (sesuatu yang lamban yang menentang gerak, yang oleh akal dipandang sebagai materi atau benda) …. Dalam hidup yang praktis itu akal harus mempergunakan pengertian-pengertian guna mengabadikan perubahan-perubahan yang ada … Guna menyelami hakekat segala kenyataan diperlukan intuisi, yaitu suatu tenaga rohani, suatu kecakapan yang dapat melepaskan diri dari akal, kecakapan untuk menyimpulkan serta meninjau dengan sadar.
Berdasarkan kutipan di atas, manusia dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
dengan menggunakan kekuatan akalnya. Namun, intuisi juga diperlukan oleh
manusia untuk dapat menyelami hakekat yang sebenarnya dari segala kenyataan
hidup. Oleh karena kekuatan intuisi itulah, agama (Kristen) dalam Filsafat Hidup
bisa dikatakan dinamis karena manusia diikatkan kepada hidup dan Tuhan.
Bersama dengan Filsafat Hidup muncul suatu filsafat yang dikenal dengan
Fenomenologi. Berikut ini Hadiwijono (2005: 140) mengartikan fenomenologi.
Fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena, atau segala sesuatu yang menampakkan diri … Fenomena dapat dipakai untuk mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang dapat diamati dengan indra. Dalam arti ini kata fenomena dipakai di dalam ilmu pengetahuan alam. Namun, dalam filsafat fenomenologi, suatu fenomena tidak harus dapat diamati dengan indra, sebab fenomena dapat juga dilihat secara rohani … Jadi fenomena dalam hal ini adalah apa yang menampakkan diri seperti apa adanya, apa yang jelas di hadapan kita.
Dalam fenomenologi dunia tidak dapat memberikan kepastian tentang kebenaran.
Supaya ada kepastian akan kebenaran pengertian kita, menurut Husserl (dalam
Hadiwijono, 2005: 144), kita harus mencarinya dalam Erlebnisse, yaitu
pengalaman yang dengan sadar. Di dalam pengalaman yang dengan sadar ini kita
mengalami diri kita sendiri atau “aku” kita senantiasa berhubungan dengan dunia
benda di luar kita.
Dalam abad ke-20 juga dikenal Filsafat Ekstensialisme. Eksistensialisme
adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada
eksistensi sebagaimana yang diungkapkan oleh Hadiwijono (2005: 148).
Eksistensi dalam filsafat adalah cara manusia berada di dalam dunia. Cara manusia berada di dalam dunia berbeda dengan cara berada benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya, namun tidak demikian dengan cara manusia berada. Manusia berada bersama-sama dengan benda-benda itu. Benda-benda itu menjadi berarti karena manusia. Di samping itu manusia berada bersama-sama dengan sesame manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini di dalam filsafat eksistensialisme dikatakan, bahwa benda-benda “berada”, sedang manusia “bereksistensi”. Jadi hanya manusialah yang bereksistensi.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Karakteristik Filsafat Sejarah Barat sebelum memasuki masa Filsafat Modern:
1. Hal yang lebih diperhatikan adalah alam, bukan manusia
2. Memiliki pandangan hidup yang sama dengan pandangan orang-orang
Yunani, seperti pandangan rasionalisme, individualisme, optimisme,
sekularisme.
3. Agama sepenuhnya bersifat duniawi, praktis, mengabdi kepada
kepentingan manusia (bukan Tuhan)
4. Peran agama yang mitologis, mengakibatkan cara pandang kemajuan
bangsa Eropa menihilkan pentingnya peran spiritualisme rohaniah dan
Ketuhanan
5. Filsafat menempatkan akal sebagai sumber kebenaran
Karakteristik Filsafat Sejarah Barat pada masa Filsafat Modern:
1. Perhatian pemikiran pada segala hal yang bersifat konkrit, yaitu alam
semesta dan manusia
2. Reformasi Kristiani dengan melawan nilai-nilai spiritual yang terkandung
di dalamnya.
3. Filsafat tidak terlepas dari peranan orang-orang Yahudi maupun keturunan
Yahudi
4. Kebenaran dicapai dengan kekuatan sendiri melalui akal dan pengalaman
dengan ciri khas kebenaran, yaitu “jelas dan terpilah-pilah”
5. Bebasnya pemikiran dan penelitian dari tradisi
6. Pangkal pemikiran dimulai dari keragu-raguan
7. Banyak sekali penemuan-penemuan, baik di bidang ilmu pengetahuan
alam maupun di bidang ilmu negara
Karakteristik Filsafat Sejarah Barat pada masa pasca Filsafat Modern (abad 19-
20):
1. Filsafat masih tidak terlepas dari peranan orang-orang Yahudi
2. Terjadi perkembangan intelektual yang pesat
3. Penentangan terhadap konsep agama (Kristiani), lebih memusatkan pada
kehidupan di dunia daripada kehidupan di akhirat
4. Berkembangnya gagasan sekulerisme (pemisahan urusan agama dan
dunia)
5. Pandangan pragmatisme, materialisme, dan eksistensialisme menjadi inti
sari pemikiran di Barat
3.2 SARAN
Filsafat Sejarah Barat terus mengalami perkembangan dari waktu ke
waktu. Munculnya pemikiran-pemikiran dari para ahli turut mempengaruhi
kondisi Barat saat ini. Oleh karena itu perlu adanya penambahan sumber-sumber
baru untuk menambah informasi mengenai perkembangan Flsafat Sejarah Barat.
Dengan demikian penulisan makalah selanjutnya bisa kaya akan informasi baru
yang menambah dapat wawasan.
Daftar Rujukan
Basalim, Umar. 2010. Pemikiran Politik Barat-Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya terhadap Dunia ke-3. Jakarta: PT Bumi Aksara
Ebenstein, William & Fogelman, Edwin. 1990. Isme-Isme Dewasa Ini. Jakarta: Erlangga
Hadiwijono, Harun. 2005. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius
Hadiwijono, Harun. 2005. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius
Hamersma, Harry. 1992. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: PT. Gramedia
Noer, Deliar. 1983. Pengantar Kepemikiran Politik. Jakarta: Rajawali Pers
Russel, Betrand. 1994. History of Western Philosophy. London: Macmilian Co
Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran, Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Bandung: Mizan
Syadzali, Ahmad. 1997. Filsafat Umum. Bandung: CV. Pustaka Setia