Makalah Etika Dissatisfaction Resolved With Mediation

11
MAKALAH ETIKA dan HUKUM KEDOKTERAN GIGI PATIENT DISSATISFACTION RESOLVED WITH MEDIATION Diajukan sebagai tugas mata kuliah ETIKA dan HUKUM KEDOKTERAN GIGI (KGM 4709) Disusun Oleh : KELOMPOK 6 KELAS GENAP Adinda Ayu Prameswhari 10/299371/KG/08698 Rizka Gian Anggraeni 10/299011/KG/08668 Pramita Dyah Pangestu 10/299069/KG/08672 Wanda Septya Ekatra 10/299158/KG/08676 Komang Sri Wulandari 10/299210/KG/08680 Indah Chairunnisa 10/299223/KG/08684 Zulfiani Syachbaniah 10/299306/KG/08690 Khasanah Lusi Daniati S 10/299317/KG/08692 Maziyatul Affaf 10/299418/KG/08702 FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013

description

etika dan hukum kedokteran

Transcript of Makalah Etika Dissatisfaction Resolved With Mediation

Page 1: Makalah Etika Dissatisfaction Resolved With Mediation

MAKALAH ETIKA dan HUKUM KEDOKTERAN GIGI

PATIENT DISSATISFACTION RESOLVED WITH MEDIATION

Diajukan sebagai tugas mata kuliah ETIKA dan HUKUM KEDOKTERAN GIGI (KGM 4709)

Disusun Oleh :

KELOMPOK 6

KELAS GENAP

Adinda Ayu Prameswhari 10/299371/KG/08698

Rizka Gian Anggraeni 10/299011/KG/08668

Pramita Dyah Pangestu 10/299069/KG/08672

Wanda Septya Ekatra 10/299158/KG/08676

Komang Sri Wulandari 10/299210/KG/08680

Indah Chairunnisa 10/299223/KG/08684

Zulfiani Syachbaniah 10/299306/KG/08690

Khasanah Lusi Daniati S 10/299317/KG/08692

Maziyatul Affaf 10/299418/KG/08702

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2013

Page 2: Makalah Etika Dissatisfaction Resolved With Mediation

ABSTRAK

Sengketa bisa timbul kapan saja dan dimana saja pada saat dua buah kepentingan tidak dapat

diakomodasikan secara bersama-sama. Sengketa medis adalah salah satu sengketa yang sering

terjadi di dalam masyarakat. Sengketa medis sering menimpa antara dokter dengan pasien akibat

salah paham yang menyangkut tentang informasi yang diberikan. Kurang jelasnya informasi

yang disampaikan dokter pada pasien dapat menyebabkan kesalahpahaman yang dapat

menyebabkan perselisihan medis. Penyelesaian sengketa medis dapat dilakukan melalui jalur

peradilan dan diluar peradilan. Salah satu bentuk upaya penyelesaian sengketa adalah melalui

mediasi yang merupakan bagian dari proses alternatif penyelesaian sengketa. Mediasi memiliki

keuntungan menghasilkan kesepakatan, membiarkan para pihak untuk mampu secara bebas

menentukan kesepakatan dan tetap terjaganya hubungan baik antar pihak yang bersengketa.

Mediasi dianggap langkah terbaik dan efektif untuk menyelesaikan sengketa medis.

PENDAHULUAN

Pelayanan kesehatan merupakan rangkaian kegiatan yang mengandung risiko, karena

menyangkut keselamatan tubuh dan nyawa seseorang. Perkembangan ilmu pengetahuan, metode

pengobatan dan penemuan alat kedokteran canggih, selain memberikan manfaat yang besar, pada

kenyataannya tidak mampu menghilangkan risiko yang ditimbulkan oleh suatu tindakan

pelayanan kesehatan. Risiko tersebut adalah terjadinya suatu kejadian yang tidak diinginkan

(KTD), baik timbulnya komplikasi, kecacatan maupun pasien meninggal dunia (Ratman, 2012).

Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hak dan kewajiban rumah sakit,

tenaga kesehatan maupun pasien, maka tuntutan terhadap pelayanan kesehatan yang profesional

atau sesuai dengan standar semakin tinggi (Wiradharma, 2011). Hal ini tak jarang menimbulkan

konflik bahkan berlanjut menjadi sengketa medis antara pasien atau keluarganya dengan tenaga

kesehatan atau penyelenggara kesehatan. Lebih jauh lagi, akses informasi yang didukung

perkembangan teknologi, menyebabkan masyarakat makin mudah memperoleh referensi dan

dukungan massal melalui jejaring sosial, sehingga berujung pada maraknya tuntutan pidana

maupun gugatan perdata terhadap dokter maupun rumah sakit. Sehubungan dengan hal tersebut,

perlu dilakukan langkah-langkah yang tepat untuk menangani konflik dan sengketa medis, agar

hal itu dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya, dengan menerapkan prinsip mengutamakan

penyelesaian secara damai melalui jalur non litigasi (Ratman, 2012).

Page 3: Makalah Etika Dissatisfaction Resolved With Mediation

TINJAUAN PUSTAKA

UUPK (Undang-Undang Praktik Kedokteran) adalah salah satu bentuk regulasi di bidang

kesehatan khususnya untuk mengatur praktik pelayanan kesehatan/praktik kedokteran. Tujuan

pengaturan ini adalah untuk memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan

meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter, dan memberikan kepastian

hukum kepada masyarakat dan dokter (Idris, 2006).

Hak dan kewajiban dokter dan pasien yang didalamnya termasuk tanggung jawab hukum

dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran diatur dalam pasal 50, 51, 52, dan 53 UU

Praktik Kedokteran No. 29 tahun 2004. Menurut UU tersebut, kewajiban dokter antara lain

adalah memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional

serta kebutuhan medis pasien, merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai

keahlian atau kemampuan yang lebih baik apabila tidak mampu melaksanakan suatu

pemeriksaan atau pengobatan, merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien

bahkan setelah pasien tersebut meninggal dunia, melakukan pertolongan darurat atas dasar

kemanusiaan kecuali bila dia yakin ada orang lain yang mampu melakukannya serta menambah

ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran.

Pada tahun 1992, World Medical Association (WMA) mendefiniskan malpraktik sebagai

kegagalan dokter untuk memenuhi standar pengobatan dan perawatan terhadap pasien atau

adanya kekurangan keterampilan atau kelalaian dalam pengobatan dan perawatan yang

menimbulkan cedera pada pasien. WMA juga mengingatkan bahwa tidak semua kegagalan

medis disebabkan oleh malpraktik kedokteran. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga

sebelumnya dan terjadi di saat dilakukan tindakan medis yang sudah sesuai dengan standar tidak

termasuk dalam pengertian malpraktik. Peristiwa lain yang tidak termasuk dalam pengertian

malpraktik adalah perjalanan penyakit yang semakin berat, reaksi tubuh yang tidak dapat

diramalkan, komplikasi penyakit dan penyakit-penyakit yang terjadi secara bersamaan. Dalam

suatu kesalahan atau kelalaian dalam melakukan profesi bisa terjadi karena ada tiga faktor, yaitu

kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman, dan kurangnya pengertian.

Kelalaian yang terjadi dalam bidang kesehatan dapat berujung pada terjadinya sengketa

medis. Menurut Afandi (2009), pemicu terjadinya sengketa antara lain adalah kesalahpahaman,

perbedaan penafsiran, ketidak-jelasan pengaturan, ketidak-puasan, ketersinggungan, kecurigaan,

tindakan yang tidak patut, curang atau tidak jujur, kesewenang-wenangan atau ketidakadilan, dan

Page 4: Makalah Etika Dissatisfaction Resolved With Mediation

terjadinya keadaan yang tidak terduga. Sengketa medik umumnya merupakan masalah

miskomunikasi antara pasien dan dokter. Sengketa medik dapat berupa pelanggaran Kode Etik

Kedokteran, pelanggaran hukum orang lain (perdata), maupun pelanggaran kepentingan

masyarakat (pidana). Sengketa medik dapat berwujud pengaduan disertai atau tanpa malpraktik.

Dalam proses penyelesaian sengketa dapat digunakan dua jalur yaitu litigasi (pengadilan)

dan non litigasi (non pengadilan). (Afandi, 2009)

a. Jalur Litigasi

Litigasi adalah proses dimana seorang individu atau badan membawa sengketa, kasus ke

pengadilan atau pengaduan dan penyelesaian tuntutan atau penggantian atas kerusakan. Proses

pengadilan juga dikenal sebagai tuntutan hokum dan istilah biasanya mengacu pada

persidangan pengadilan sipil. Mereka digunakan terutama ketika sengketa atau keluhan tidak

bisa diselesaikan dengan cara lain.

b. Jalur Non Pengadilan (Non-Litigasi)

1) Negosiasi/Perundingan (Negotiation)

Negosiasi ini merupakan tahap tawar-menawar antara pihak-pihak yang bersengketa,

dimana pihak yang satu dalam hal ini advokat berhadapan dengan pihak kedua dan

berusaha untuk mencapai titik kesepakatan tentang persoalan tertentu yang

dipersengketakan, misalnya negosiasi tentang ingkar janji.

2) Mediasi/Penengahan (Mediation)

Menurut The National Alternative Dispute Resolution Advisory Council, mediasi

merupakan sebuah proses dimana pihak-pihak yang bertikai, dengan bantuan dari seorang

praktisi resolusi pertikaian (mediator) mengidentifikasi isu-isu yang dipersengketakan,

mengembangkan opsi-opsi, mempertimbangkan alternatif-alternatif dan upaya untuk

mencapai sebuah kesepakatan. Dalam hal ini, sang mediator tidak memiliki peran

menentukan dalam kaitannya dengan isi/materi persengketaan atau hasil dari resolusi

persengketaan tersebut, tetapi mediator dapat memberi saran atau menentukan sebuah

proses mediasi untuk mengupayakan sebuah resolusi/penyelesaian (Spencer dan Brogan,

2006).

Dalam proses mediasi yang digunakan adalah nilai-nilai yang hidup pada para pihak itu

sendiri, terdiri dari hukum, agama, moral, etika dan rasa adil terhadap fakta-fakta yang

diperoleh untuk mencapai kesepakatan. Jika mediasi berhasil menyelesaikan sengketa

Page 5: Makalah Etika Dissatisfaction Resolved With Mediation

diluar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian, maka dapat mengajukan perdamaian

tersebut ke pengadilan yang berwenang, dalam hal ini pengadilan negeri, untuk

memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan tersebut harus

melampirkan kesepakatan perdamaian dan dokumen yang membuktikan adanya hubungan

hukum antara pihak dengan objek sengketa.

Apabila Advokat selaku mediator tidak berhasil mendamaikan para pihak yang

bersengketa selama waktu 40 hari kerja, sebagaimana dimaksud Pasal 13 ayat 3 Peraturan

Mahkamah Agung No.01 Tahun 2008 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan, maka

mediator itu wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan

memberitahukan kegagalan kepada Hakim. Selanjutnya Advokat menyerahkan kepada

pengadilan negeri untuk selanjutnya diperiksa oleh hakim perkara tersebut sesuai dengan

ketentuan hukum acara yang berlaku.

3) Arbitrase (Arbitration)

Arbitrase merupakan bagian dari sistem ADR (Alternative Dispute Resolution) yang

paling formal sifatnya. Lembaga arbitrase tidak lain merupakan suatu jalur musyawarah

yang melibatkan pihak ketiga sebagai wasitnya. Jadi, didalam proses arbitrase, para pihak

yang bersengketa menyerahkan penyelesaian sengketanya melalui advokat kepada pihak

ketiga selain hakim walaupun dalam pelaksanaan putusannya tetap dengan bantuan hakim.

Perlu diketahui bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase yaitu

sengketa dalam dunia bisnis saja, seperti masalah perdagangan, perindustrian dan

keuangan. Sengketa perdata lainnya seperti masalah warisan, pengangkatan anak,

perumahan, perburuhan dan lain-lainnya, tidak dapat diselesaikan oleh lembaga arbitrase.

Dalam penyelesaian sengketa kesehatan, organisasi profesi dapat turut serta dan

mengambil peran karena dalam UU No. 29 Tahun 2004 pasal 1 ayat 12 disebutkan bahwa

organisasi profesi, dalam hal ini IDI dan PDGI, bertugas membina serta mengawasi praktik

kedokteran sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing. Menurut Budi (2010), dalam

melaksanakan peran pengawasan praktik kedokteran, KKI membentuk Majelis Kehormatan

Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Majelis ini merupakan lembaga otonom KKI yang

keberadaannya berdasarkan pasal 1 (14) UU No. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Praktek

Kedokteran. Tugas MKDKI adalah menegakkan aturan-aturan dan ketentuan penerapan

keilmuan kedokteran dalam pelaksanaan pelayanan medis yang seharusnya diikuti oleh dokter

Page 6: Makalah Etika Dissatisfaction Resolved With Mediation

dan dokter gigi Oleh karena itu, MKDKI merupakan badan yang ditunjuk oleh KKI untuk

menangani kasus-kasus dugaan pelanggaran disiplin kedokteran atau kedokteran gigi dan

menetapkan sangsi.

Sistem pengadilan konvensional secara alamiah berlawanan, seringkali menghasilkan satu

pihak sebagai pemenang dan pihak lainnya sebagai pihak yang kalah. Sementara itu kritik tajam

terhadap lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya yang dianggap terlampau padat,

lamban dan buang waktu, mahal dan kurang tanggap terhadap kepentingan umum serta dianggap

terlampau formalistik dan terlampau teknis. Itu sebabnya masalah peninjauan kembali perbaikan

sistem peradilan ke arah yang efektif dan efisien terjadi dimana-mana. Bahkan muncul kritik

yang mengatakan bahwa proses perdata dianggap tidak efisien dan tidak adil (civil procedure

was neither efficient no fair) (Rahmad, 2009).

Proses mediasi merupakan salah satu bentuk dari alternative dispute resolution (ADR) atau

alternatif penyelesaian masalah (Afandi, 2009). Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa

melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh

mediator. Mediasi itu sendiri dapat dilakukan melalui jalur pengadilan maupun di luar

pengadilan dengan menggunakan mediator yang telah disertifikasi. Mediator adalah pihak netral

yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan

penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian

(Siddiki, 2009).

Dengan ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA)

Nomor 01 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan, terjadi perubahan fundamental

dalam praktik peradilan di Indonesia. Pengadilan tidak hanya bertugas dan berwenang

memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diterimanya, tetapi juga berkewajiban

mengupayakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara. Pengadilan yang selama ini

berkesan sebagai lembaga penegakan hukum dan keadilan, sekarang menampakkan diri sebagai

lembaga yang mencarikan solusi damai antara pihak-pihak yang bertikai.

Akhir penyelesaian sengketa melalui mediasi dapat berupa nota perdamaian atau akta

perdamaian yang bersifat final dan binding. Berdasarkan Akta Perdamaian, lembaga peradilan

dapat melakukan eksekusi bila terjadi pelanggaran terhadap isi kesepakatan tersebut (Suryono,

2012). Hal ini memberikan solusi terhadap sengketa yang terjadi di antara pihak-pihak yang

berperkara untuk melakukan perdamaian di luar pengadilan, tetapi tetap memperoleh kesempatan

Page 7: Makalah Etika Dissatisfaction Resolved With Mediation

untuk menjadikan perjanjian perdamaian tersebut mempunyai kekuatan bagai akta perdamaian

sebagaimana diatur di PERMA.

KASUS

Pasien C, pada akhir April - Desember 2011 berobat ke praktik drg J di Medan karena

disarankan salah seorang kerabat tatkala drg pribadinya bernama E yang sedang berada di luar

negeri. "Gigi kiri atas saya sakit karena tergigit batu. Namun setelah 2 hari berobat ke drg J, gigi

saya tetap sakit. Bahkan analisa medis drg J, saya bisa terkena kanker sehingga gigi saya semua

harus diperiksa," katanya, seraya menambahkan kalau 19 giginya telah di jaket atas inisitaif drg

J. Selama perawatan gigi pasien, dilakukan pembuatan 7 crown, gigi palsu, pencabutan,

pembersihan karang gigi dan perawatan syaraf gigi sampai November 2011.

Awal Desember 2011 pasien tidak pernah datang lagi sementara komunikasi terputus. Pada

awal tahun 2012, setelah perawatan yang memakan biaya sekitar 10 juta, pasien C merasakan

sakit gigi kembali. Selama perawatan drg J tidak pernah menjelaskan adanya komplikasi paska

perawatan gigi yang menggunakan jaket, sehingga pasien C menganggap bahwa perawatan itu

adalah perawatan yang paling baik. Namun, pasien justru mengalami sakit yang lebih parah dari

yang terdahulu (sebelum dilakukan perawatan).

Pasien merasa tidak puas dengan perawatan yang dilakukan drg J, dan melanjutkan

sengketa tersebut ke meja hijau. Merasa tidak mendapat penjelasan yang baik, pasien menuntut

drg J ke Pengadilan Negeri M atas dugaan malpraktik. Pihak pengadilan menawarkan dilakukan

mediasi terlebih dahulu sebelum kasus tersebut dilanjutkan. Akhirnya, kasus terjadi diantara drg

J dan pasien C dapat diselesaikan melalui mediasi di pengadilan.

PEMBAHASAN

Ditinjau pada hukum yang berlaku yaitu UUPK No 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran, dijelaskan pada Pasal 45 yakni setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi

yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan

setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap sekurang-kurangnya menyangkut diagnosis

dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan medis lain dan resikonya,

resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, serta prognosis terhadap tindakan yang dilakukan

(Departemen Kesehatan RI, 2013). Mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis

ini termasuk hak pasien yang secara jelas tertuang pada pasal 52. Pada kasus, drg. J melanggar

Page 8: Makalah Etika Dissatisfaction Resolved With Mediation

hak pasien karena selama perawatan tidak menjelaskan komplikasi yang mungkin terjadi. Akibat

yang ditimbulkan adalah ketika komplikasi itu muncul, pasien menduga sebagai suatu malpraktik

kedokteran. Drg. J telah melakukan perawatan jaket atas inisiatif sendiri, jika dilihat dari aspek

prinsip etika, drg. J telah mengesampingkan prinsip autonomy. Prinsip ini menjelaskan tentang

kewajiban dokter gigi untuk menghormati hak pasien dalam menentukan perawatan yang terbaik

bagi dirinya setelah diberikan edukasi / informasi yang jelas dan sesuai dalam setiap pilihan

perawatan yang dijalaninya, sehingga pasien terlibat secara aktif dalam penentuan keputusan

perawatan (Huff dkk., 2007). Dokter gigi sebagai seorang profesi dalam melakukan setiap

tindakan harus mengacu pada standar profesi dan standar prosedur operasional yang telah

ditetapkan serta tidak menyalahi kode etik maupun hukum yang berlaku. Edukasi dan

komunikasi yang baik antara dokter gigi dan pasien akan mengurangi timbulnya kesalahpahaman

yang berujung dugaan malpraktik pada dokter yang bersangkutan.

Timbulnya permasalahan dari kasus tersebut pada dasarnya disebabkan kelalaian dari drg.

J yang tidak melakukan kewajibannya sebagai dokter dengan optimal, padahal drg. J mempunyai

kewajiban yang telah diatur melalui undang-undang dalam hal mengerjakan pasien sebagaimana

mestinya. Kelalaian drg. J diakibatkan karena tidak menjelaskan secara rinci mengenai

perawatan yang akan diterima oleh pasien. Menurut Undang-Undang tentang Praktik

Kedokteran pasal 50 dan 51 no. 29 Tahun 2004 tampak dengan jelas bahwa pasien mempunyai

hak untuk mengetahui resiko dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi setelah perawatan. Jika

hal ini dilakukan setidaknya pasien sudah memiliki pemikiran bahwa perawatan yang telah

dilakukan sewaktu-waktu dapat menimbulkan sakit atau komplikasi lain. Sehingga dugaan buruk

dari pasien akibat permasalahan yang timbul setelah perawatan bisa diminimalisasi.

Dalam sebuah pelayanan kesehatan dan praktik kedokteran, pasien berhak atas segala

informasi yang jelas dan lengkap dari pihak penyedia pelayanan seperti yang sudah dijelaskan

sebelumnya, tercantum pada Undang-Undang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004. Secara

etis, pasien mempunyai hak untuk mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Sebaliknya, dokter

dan rumah sakit baik secara moral maupun legal tidak berhak untuk menutupi / tidak

memberikan informasi kepada pasien (Cahyono, 2008).

Logika hukum dari terjadinya persetujuan tindakan dalam sebuah pelayanan kesehatan

adalah bagi dokter atau dokter gigi yang membuka praktik dianggap telah melakukan penawaran

umum untuk memberikan pelayanan medis sebagai syarat pertama terjadinya kesepakatan.

Page 9: Makalah Etika Dissatisfaction Resolved With Mediation

Pasien yang datang untuk dilayani pada dasarnya dianggap menerima penawaran dari dokter atau

dokter gigi yang bersangkutan. Namun, karena ada kewajiban hukum bagi dokter atau dokter

gigi untuk memberikan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan medis yang akan dilakukan

terhadap pasien, maka penjelasan tersebut dipandang sebagai satu rangkaian dengan penawaran.

Ketika pasien atau orang yang berhak memberikan persetujuan menandatangani informed

consent, maka terjadilah kesepakatan diantara dokter dan pasien. Menurut Pasal 1233 KUH

Perdata kesepakatan tersebut merupakan sumber hukum perikatan (Martabat, 2011). Dengan

adanya informed consent tersebut, pasien mendapatkan perlindungan hukum terhadap tindakan

yang diberikan dokternya. Apabila dokter tidak memberikan informasi sejelas-jelasnya kepada

pasien, secara moral dan legal, pasien berhak menuntut atas pemberian informasi yang lengkap

dan jelas.

Menurut Astuti (2010), pasien dapat menggugat seorang dokter oleh karena dokter tersebut

telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum, seperti yang diatur di dalam Pasal 1365

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa: “Tiap perbuatan melanggar

hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kesalahan itu, mengganti kerugian tersebut”. Undang-undang tidak memberikan

batasan tentang perbuatan melawan hukum, yang harus ditafsirkan oleh peradilan. Akan tetapi

sejak tahun 1919 yurisprudensi tetap telah memberikan pengertian yaitu setiap tindakan atau

kelalaian baik yang: melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum diri

sendiri, menyalahi pandangan etis yang umumnya dianut (adat istiadat yang baik), dan tidak

sesuai dengan kepatuhan dan kecermatan sebagai persyaratan tentang diri dan benda orang

seorang dalam pergaulan hidup (Astuti, 2010). Berdasarkan hal tersebut, pada kasus ini, drg. J

telah melakukan tindakan kelalaian yang telah melanggar hak pasiennya dan bertentangan

dengan kewajiban hukumnya sendiri serta telah mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Maka

dari itu, pasien sangat berhak menuntut drg. J secara hukum.

Proses penyelesaian sengketa dapat digunakan dua jalur yaitu litigasi (pengadilan) dan non

litigasi/konsensual/non ajudikasi. Jalur litigasi merupakan jalur peradilan yang cara penyelesaian

masalah atau sengketa melalui persidangan. Adapun jalur non litigasi merupakan penyelesaian

sengketa yang berada di luar peradilan yang termasuk dalam Alternatif Dispute Resolution

(ADR) meliputi konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli atau arbiter (Afandi,

2009). Proses penyelesaian sengketa di pengadilan adalah proses yang membutuhkan biaya dan

Page 10: Makalah Etika Dissatisfaction Resolved With Mediation

memakan waktu. Karena sistem pengadilan konvensional secara alamiah berlawanan, seringkali

menghasilkan satu pihak sebagai pemenang dan pihak lainnya sebagai pihak yang kalah. Dari

beberapa rumusan diatas, dapat disimpulkan jalur non-litigasi khususnya merupakan cara terbaik

untuk menyelesaikan sengketa.

Dengan mediasi, diharapkan dicapai titik temu penyelesaian masalah atau sengketa yang

dihadapi para pihak, yang selanjutnya akan dituangkan sebagai kesepakatan bersama dan

pengambilan keputusan tidak berada ditangan mediator. Mediasi sifatnya tidak formal, sukarela,

melihat ke depan, kooperatif (kerja sama) dan berdasar kepentingan.

Latar Belakang Mediasi Dasar hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah Peraturan

Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang

merupakan hasil revisi dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 (PERMA Nomor

2 Th. 2003). Selain itu, pada UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 pasal 29, disebutkan bahwa jika

terjadi suatu kelalaian dalam menjalankan profesi oleh tenaga kesehatan, kelalaian tersebut harus

diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Prosedur mediasi dijalankan berdasarkan PERMA

No. 1 Tahun 2008. Bila proses mediasi gagal, maka penyelesaian sengketa akan dilanjutkan

melalui proses persidangan di pengadilan (litigasi).

KESIMPULAN

Kelalaian, kesalahpahaman dan perbedaan penafsiran karena tidak lengkapnya informasi,

ketidak-jelasan pengaturan atau prosedur kerja, ketidak-puasan, kecurigaan, kesewenang-

wenangan atau ketidakadilan, dan terjadinya keadaan yang tidak terduga paska pelaksanaan

prosedur dalam bidang kesehatan dapat berujung pada terjadinya sengketa medis. Melalui proses

mediasi, sengketa medis diharapkan dapat mencapai penyelesaian yang bersifat win-win solution

di luar jalur peradilan (non-litigasi) dengan kesepakatan bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, D., 2009, Mediasi: Alternatif Penyelesaian Sengketa Medis, Maj. Kedokt.Indon., 59(5):

189-193

Astuti, E.K., 2010, Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien Dalam Upaya Pelayanan

Medis, ejournalUMM, https://www.google.com/#q=jurnal+aspek-+hukum+dalam+-

pemberian+informasi+praktik+kedokteran (22/11/2013)

Budi, A.T., 2010, Upaya Bantuan Hukum Dokter Gigi Dalam Menghadapi Sengketa Medis,

Jurnal PDGI, 59(1): 1-7.

Cahyono, J.B.S.B., 2008, Membangun Budaya Keselamatan Pasien dalam Praktik Kedokteran,

Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Page 11: Makalah Etika Dissatisfaction Resolved With Mediation

Departemen Kesehatan RI, 2013, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004,

http://www.depkes.go.id/downloads/UU_No._29_Th_2004_ttg_Praktik_Kedokteran.pdf

(22/11/2013)

Huff, K., Huff, M., and Farah C., Ethical Decision-Making for Multiple Prescription Dentistry,

General dentistry 2008; 538-547.

Idris, F. 2006. Responsibility of Law of Surgeon (Doctor) in Indonesia Related to Implementation

of the Act of Medical Practice. Palembang.

Martabat, 2011, Fungsi Informed Consent dalam Perjanjian Terapeutik,

www.jamsosindonesia.com (22/11/2013)

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia,

http://www.mahkamahagung.go.id/images/uploaded/prosedur_ttg_mediasi0001.pdf (22/11/2013)

Rahmad A, 2009, Peranan alternative dispute resolution dalam penyelesaian perkara perdata.

http://padang-today.com/index.php?today=article&j=2&id=155 (22/11/2013)

Ratman, D., 2012, Mediasi Non litigasi terhadap Sengketa Medik, Gramedia Pustaka, Jakarta.

Siddiki, Mediasi di pengadilan dan asas peradilan sederhana, cepatdan biaya ringan,

www.badilag.net (22/11/2013)

Spencer, D. dan Brogan, M., 2006, Mediation Law and Practice, Cambridge: Cambridge

University Press

Suryono, 2012, Best practice dalam Penyelesaian Sengketa Kesehatan,

http://kebijakankesehatanindonesia.net/sites/default/files/file/2011/Best%20practice%20me

diasi.pdf (22/11/2013).

Wiradharma, D., 2011, Alternatif Penyelesaian Sengketa Medik, Sagung Seto, Jakarta.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran,

http://www.depkes.go.id/downloads/UU_No._29_Th_2004_ttg_Praktik_Kedokteran.pdf

(22/11/2013)