Makalah Etika Dissatisfaction Resolved With Mediation
-
Upload
anonymous-pkzplh -
Category
Documents
-
view
33 -
download
1
description
Transcript of Makalah Etika Dissatisfaction Resolved With Mediation
MAKALAH ETIKA dan HUKUM KEDOKTERAN GIGI
PATIENT DISSATISFACTION RESOLVED WITH MEDIATION
Diajukan sebagai tugas mata kuliah ETIKA dan HUKUM KEDOKTERAN GIGI (KGM 4709)
Disusun Oleh :
KELOMPOK 6
KELAS GENAP
Adinda Ayu Prameswhari 10/299371/KG/08698
Rizka Gian Anggraeni 10/299011/KG/08668
Pramita Dyah Pangestu 10/299069/KG/08672
Wanda Septya Ekatra 10/299158/KG/08676
Komang Sri Wulandari 10/299210/KG/08680
Indah Chairunnisa 10/299223/KG/08684
Zulfiani Syachbaniah 10/299306/KG/08690
Khasanah Lusi Daniati S 10/299317/KG/08692
Maziyatul Affaf 10/299418/KG/08702
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
ABSTRAK
Sengketa bisa timbul kapan saja dan dimana saja pada saat dua buah kepentingan tidak dapat
diakomodasikan secara bersama-sama. Sengketa medis adalah salah satu sengketa yang sering
terjadi di dalam masyarakat. Sengketa medis sering menimpa antara dokter dengan pasien akibat
salah paham yang menyangkut tentang informasi yang diberikan. Kurang jelasnya informasi
yang disampaikan dokter pada pasien dapat menyebabkan kesalahpahaman yang dapat
menyebabkan perselisihan medis. Penyelesaian sengketa medis dapat dilakukan melalui jalur
peradilan dan diluar peradilan. Salah satu bentuk upaya penyelesaian sengketa adalah melalui
mediasi yang merupakan bagian dari proses alternatif penyelesaian sengketa. Mediasi memiliki
keuntungan menghasilkan kesepakatan, membiarkan para pihak untuk mampu secara bebas
menentukan kesepakatan dan tetap terjaganya hubungan baik antar pihak yang bersengketa.
Mediasi dianggap langkah terbaik dan efektif untuk menyelesaikan sengketa medis.
PENDAHULUAN
Pelayanan kesehatan merupakan rangkaian kegiatan yang mengandung risiko, karena
menyangkut keselamatan tubuh dan nyawa seseorang. Perkembangan ilmu pengetahuan, metode
pengobatan dan penemuan alat kedokteran canggih, selain memberikan manfaat yang besar, pada
kenyataannya tidak mampu menghilangkan risiko yang ditimbulkan oleh suatu tindakan
pelayanan kesehatan. Risiko tersebut adalah terjadinya suatu kejadian yang tidak diinginkan
(KTD), baik timbulnya komplikasi, kecacatan maupun pasien meninggal dunia (Ratman, 2012).
Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hak dan kewajiban rumah sakit,
tenaga kesehatan maupun pasien, maka tuntutan terhadap pelayanan kesehatan yang profesional
atau sesuai dengan standar semakin tinggi (Wiradharma, 2011). Hal ini tak jarang menimbulkan
konflik bahkan berlanjut menjadi sengketa medis antara pasien atau keluarganya dengan tenaga
kesehatan atau penyelenggara kesehatan. Lebih jauh lagi, akses informasi yang didukung
perkembangan teknologi, menyebabkan masyarakat makin mudah memperoleh referensi dan
dukungan massal melalui jejaring sosial, sehingga berujung pada maraknya tuntutan pidana
maupun gugatan perdata terhadap dokter maupun rumah sakit. Sehubungan dengan hal tersebut,
perlu dilakukan langkah-langkah yang tepat untuk menangani konflik dan sengketa medis, agar
hal itu dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya, dengan menerapkan prinsip mengutamakan
penyelesaian secara damai melalui jalur non litigasi (Ratman, 2012).
TINJAUAN PUSTAKA
UUPK (Undang-Undang Praktik Kedokteran) adalah salah satu bentuk regulasi di bidang
kesehatan khususnya untuk mengatur praktik pelayanan kesehatan/praktik kedokteran. Tujuan
pengaturan ini adalah untuk memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan
meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter, dan memberikan kepastian
hukum kepada masyarakat dan dokter (Idris, 2006).
Hak dan kewajiban dokter dan pasien yang didalamnya termasuk tanggung jawab hukum
dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran diatur dalam pasal 50, 51, 52, dan 53 UU
Praktik Kedokteran No. 29 tahun 2004. Menurut UU tersebut, kewajiban dokter antara lain
adalah memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional
serta kebutuhan medis pasien, merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan yang lebih baik apabila tidak mampu melaksanakan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien
bahkan setelah pasien tersebut meninggal dunia, melakukan pertolongan darurat atas dasar
kemanusiaan kecuali bila dia yakin ada orang lain yang mampu melakukannya serta menambah
ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran.
Pada tahun 1992, World Medical Association (WMA) mendefiniskan malpraktik sebagai
kegagalan dokter untuk memenuhi standar pengobatan dan perawatan terhadap pasien atau
adanya kekurangan keterampilan atau kelalaian dalam pengobatan dan perawatan yang
menimbulkan cedera pada pasien. WMA juga mengingatkan bahwa tidak semua kegagalan
medis disebabkan oleh malpraktik kedokteran. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga
sebelumnya dan terjadi di saat dilakukan tindakan medis yang sudah sesuai dengan standar tidak
termasuk dalam pengertian malpraktik. Peristiwa lain yang tidak termasuk dalam pengertian
malpraktik adalah perjalanan penyakit yang semakin berat, reaksi tubuh yang tidak dapat
diramalkan, komplikasi penyakit dan penyakit-penyakit yang terjadi secara bersamaan. Dalam
suatu kesalahan atau kelalaian dalam melakukan profesi bisa terjadi karena ada tiga faktor, yaitu
kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman, dan kurangnya pengertian.
Kelalaian yang terjadi dalam bidang kesehatan dapat berujung pada terjadinya sengketa
medis. Menurut Afandi (2009), pemicu terjadinya sengketa antara lain adalah kesalahpahaman,
perbedaan penafsiran, ketidak-jelasan pengaturan, ketidak-puasan, ketersinggungan, kecurigaan,
tindakan yang tidak patut, curang atau tidak jujur, kesewenang-wenangan atau ketidakadilan, dan
terjadinya keadaan yang tidak terduga. Sengketa medik umumnya merupakan masalah
miskomunikasi antara pasien dan dokter. Sengketa medik dapat berupa pelanggaran Kode Etik
Kedokteran, pelanggaran hukum orang lain (perdata), maupun pelanggaran kepentingan
masyarakat (pidana). Sengketa medik dapat berwujud pengaduan disertai atau tanpa malpraktik.
Dalam proses penyelesaian sengketa dapat digunakan dua jalur yaitu litigasi (pengadilan)
dan non litigasi (non pengadilan). (Afandi, 2009)
a. Jalur Litigasi
Litigasi adalah proses dimana seorang individu atau badan membawa sengketa, kasus ke
pengadilan atau pengaduan dan penyelesaian tuntutan atau penggantian atas kerusakan. Proses
pengadilan juga dikenal sebagai tuntutan hokum dan istilah biasanya mengacu pada
persidangan pengadilan sipil. Mereka digunakan terutama ketika sengketa atau keluhan tidak
bisa diselesaikan dengan cara lain.
b. Jalur Non Pengadilan (Non-Litigasi)
1) Negosiasi/Perundingan (Negotiation)
Negosiasi ini merupakan tahap tawar-menawar antara pihak-pihak yang bersengketa,
dimana pihak yang satu dalam hal ini advokat berhadapan dengan pihak kedua dan
berusaha untuk mencapai titik kesepakatan tentang persoalan tertentu yang
dipersengketakan, misalnya negosiasi tentang ingkar janji.
2) Mediasi/Penengahan (Mediation)
Menurut The National Alternative Dispute Resolution Advisory Council, mediasi
merupakan sebuah proses dimana pihak-pihak yang bertikai, dengan bantuan dari seorang
praktisi resolusi pertikaian (mediator) mengidentifikasi isu-isu yang dipersengketakan,
mengembangkan opsi-opsi, mempertimbangkan alternatif-alternatif dan upaya untuk
mencapai sebuah kesepakatan. Dalam hal ini, sang mediator tidak memiliki peran
menentukan dalam kaitannya dengan isi/materi persengketaan atau hasil dari resolusi
persengketaan tersebut, tetapi mediator dapat memberi saran atau menentukan sebuah
proses mediasi untuk mengupayakan sebuah resolusi/penyelesaian (Spencer dan Brogan,
2006).
Dalam proses mediasi yang digunakan adalah nilai-nilai yang hidup pada para pihak itu
sendiri, terdiri dari hukum, agama, moral, etika dan rasa adil terhadap fakta-fakta yang
diperoleh untuk mencapai kesepakatan. Jika mediasi berhasil menyelesaikan sengketa
diluar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian, maka dapat mengajukan perdamaian
tersebut ke pengadilan yang berwenang, dalam hal ini pengadilan negeri, untuk
memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan tersebut harus
melampirkan kesepakatan perdamaian dan dokumen yang membuktikan adanya hubungan
hukum antara pihak dengan objek sengketa.
Apabila Advokat selaku mediator tidak berhasil mendamaikan para pihak yang
bersengketa selama waktu 40 hari kerja, sebagaimana dimaksud Pasal 13 ayat 3 Peraturan
Mahkamah Agung No.01 Tahun 2008 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan, maka
mediator itu wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan
memberitahukan kegagalan kepada Hakim. Selanjutnya Advokat menyerahkan kepada
pengadilan negeri untuk selanjutnya diperiksa oleh hakim perkara tersebut sesuai dengan
ketentuan hukum acara yang berlaku.
3) Arbitrase (Arbitration)
Arbitrase merupakan bagian dari sistem ADR (Alternative Dispute Resolution) yang
paling formal sifatnya. Lembaga arbitrase tidak lain merupakan suatu jalur musyawarah
yang melibatkan pihak ketiga sebagai wasitnya. Jadi, didalam proses arbitrase, para pihak
yang bersengketa menyerahkan penyelesaian sengketanya melalui advokat kepada pihak
ketiga selain hakim walaupun dalam pelaksanaan putusannya tetap dengan bantuan hakim.
Perlu diketahui bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase yaitu
sengketa dalam dunia bisnis saja, seperti masalah perdagangan, perindustrian dan
keuangan. Sengketa perdata lainnya seperti masalah warisan, pengangkatan anak,
perumahan, perburuhan dan lain-lainnya, tidak dapat diselesaikan oleh lembaga arbitrase.
Dalam penyelesaian sengketa kesehatan, organisasi profesi dapat turut serta dan
mengambil peran karena dalam UU No. 29 Tahun 2004 pasal 1 ayat 12 disebutkan bahwa
organisasi profesi, dalam hal ini IDI dan PDGI, bertugas membina serta mengawasi praktik
kedokteran sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing. Menurut Budi (2010), dalam
melaksanakan peran pengawasan praktik kedokteran, KKI membentuk Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Majelis ini merupakan lembaga otonom KKI yang
keberadaannya berdasarkan pasal 1 (14) UU No. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Praktek
Kedokteran. Tugas MKDKI adalah menegakkan aturan-aturan dan ketentuan penerapan
keilmuan kedokteran dalam pelaksanaan pelayanan medis yang seharusnya diikuti oleh dokter
dan dokter gigi Oleh karena itu, MKDKI merupakan badan yang ditunjuk oleh KKI untuk
menangani kasus-kasus dugaan pelanggaran disiplin kedokteran atau kedokteran gigi dan
menetapkan sangsi.
Sistem pengadilan konvensional secara alamiah berlawanan, seringkali menghasilkan satu
pihak sebagai pemenang dan pihak lainnya sebagai pihak yang kalah. Sementara itu kritik tajam
terhadap lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya yang dianggap terlampau padat,
lamban dan buang waktu, mahal dan kurang tanggap terhadap kepentingan umum serta dianggap
terlampau formalistik dan terlampau teknis. Itu sebabnya masalah peninjauan kembali perbaikan
sistem peradilan ke arah yang efektif dan efisien terjadi dimana-mana. Bahkan muncul kritik
yang mengatakan bahwa proses perdata dianggap tidak efisien dan tidak adil (civil procedure
was neither efficient no fair) (Rahmad, 2009).
Proses mediasi merupakan salah satu bentuk dari alternative dispute resolution (ADR) atau
alternatif penyelesaian masalah (Afandi, 2009). Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa
melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh
mediator. Mediasi itu sendiri dapat dilakukan melalui jalur pengadilan maupun di luar
pengadilan dengan menggunakan mediator yang telah disertifikasi. Mediator adalah pihak netral
yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan
penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian
(Siddiki, 2009).
Dengan ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA)
Nomor 01 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan, terjadi perubahan fundamental
dalam praktik peradilan di Indonesia. Pengadilan tidak hanya bertugas dan berwenang
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diterimanya, tetapi juga berkewajiban
mengupayakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara. Pengadilan yang selama ini
berkesan sebagai lembaga penegakan hukum dan keadilan, sekarang menampakkan diri sebagai
lembaga yang mencarikan solusi damai antara pihak-pihak yang bertikai.
Akhir penyelesaian sengketa melalui mediasi dapat berupa nota perdamaian atau akta
perdamaian yang bersifat final dan binding. Berdasarkan Akta Perdamaian, lembaga peradilan
dapat melakukan eksekusi bila terjadi pelanggaran terhadap isi kesepakatan tersebut (Suryono,
2012). Hal ini memberikan solusi terhadap sengketa yang terjadi di antara pihak-pihak yang
berperkara untuk melakukan perdamaian di luar pengadilan, tetapi tetap memperoleh kesempatan
untuk menjadikan perjanjian perdamaian tersebut mempunyai kekuatan bagai akta perdamaian
sebagaimana diatur di PERMA.
KASUS
Pasien C, pada akhir April - Desember 2011 berobat ke praktik drg J di Medan karena
disarankan salah seorang kerabat tatkala drg pribadinya bernama E yang sedang berada di luar
negeri. "Gigi kiri atas saya sakit karena tergigit batu. Namun setelah 2 hari berobat ke drg J, gigi
saya tetap sakit. Bahkan analisa medis drg J, saya bisa terkena kanker sehingga gigi saya semua
harus diperiksa," katanya, seraya menambahkan kalau 19 giginya telah di jaket atas inisitaif drg
J. Selama perawatan gigi pasien, dilakukan pembuatan 7 crown, gigi palsu, pencabutan,
pembersihan karang gigi dan perawatan syaraf gigi sampai November 2011.
Awal Desember 2011 pasien tidak pernah datang lagi sementara komunikasi terputus. Pada
awal tahun 2012, setelah perawatan yang memakan biaya sekitar 10 juta, pasien C merasakan
sakit gigi kembali. Selama perawatan drg J tidak pernah menjelaskan adanya komplikasi paska
perawatan gigi yang menggunakan jaket, sehingga pasien C menganggap bahwa perawatan itu
adalah perawatan yang paling baik. Namun, pasien justru mengalami sakit yang lebih parah dari
yang terdahulu (sebelum dilakukan perawatan).
Pasien merasa tidak puas dengan perawatan yang dilakukan drg J, dan melanjutkan
sengketa tersebut ke meja hijau. Merasa tidak mendapat penjelasan yang baik, pasien menuntut
drg J ke Pengadilan Negeri M atas dugaan malpraktik. Pihak pengadilan menawarkan dilakukan
mediasi terlebih dahulu sebelum kasus tersebut dilanjutkan. Akhirnya, kasus terjadi diantara drg
J dan pasien C dapat diselesaikan melalui mediasi di pengadilan.
PEMBAHASAN
Ditinjau pada hukum yang berlaku yaitu UUPK No 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, dijelaskan pada Pasal 45 yakni setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan
setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap sekurang-kurangnya menyangkut diagnosis
dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan medis lain dan resikonya,
resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, serta prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
(Departemen Kesehatan RI, 2013). Mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
ini termasuk hak pasien yang secara jelas tertuang pada pasal 52. Pada kasus, drg. J melanggar
hak pasien karena selama perawatan tidak menjelaskan komplikasi yang mungkin terjadi. Akibat
yang ditimbulkan adalah ketika komplikasi itu muncul, pasien menduga sebagai suatu malpraktik
kedokteran. Drg. J telah melakukan perawatan jaket atas inisiatif sendiri, jika dilihat dari aspek
prinsip etika, drg. J telah mengesampingkan prinsip autonomy. Prinsip ini menjelaskan tentang
kewajiban dokter gigi untuk menghormati hak pasien dalam menentukan perawatan yang terbaik
bagi dirinya setelah diberikan edukasi / informasi yang jelas dan sesuai dalam setiap pilihan
perawatan yang dijalaninya, sehingga pasien terlibat secara aktif dalam penentuan keputusan
perawatan (Huff dkk., 2007). Dokter gigi sebagai seorang profesi dalam melakukan setiap
tindakan harus mengacu pada standar profesi dan standar prosedur operasional yang telah
ditetapkan serta tidak menyalahi kode etik maupun hukum yang berlaku. Edukasi dan
komunikasi yang baik antara dokter gigi dan pasien akan mengurangi timbulnya kesalahpahaman
yang berujung dugaan malpraktik pada dokter yang bersangkutan.
Timbulnya permasalahan dari kasus tersebut pada dasarnya disebabkan kelalaian dari drg.
J yang tidak melakukan kewajibannya sebagai dokter dengan optimal, padahal drg. J mempunyai
kewajiban yang telah diatur melalui undang-undang dalam hal mengerjakan pasien sebagaimana
mestinya. Kelalaian drg. J diakibatkan karena tidak menjelaskan secara rinci mengenai
perawatan yang akan diterima oleh pasien. Menurut Undang-Undang tentang Praktik
Kedokteran pasal 50 dan 51 no. 29 Tahun 2004 tampak dengan jelas bahwa pasien mempunyai
hak untuk mengetahui resiko dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi setelah perawatan. Jika
hal ini dilakukan setidaknya pasien sudah memiliki pemikiran bahwa perawatan yang telah
dilakukan sewaktu-waktu dapat menimbulkan sakit atau komplikasi lain. Sehingga dugaan buruk
dari pasien akibat permasalahan yang timbul setelah perawatan bisa diminimalisasi.
Dalam sebuah pelayanan kesehatan dan praktik kedokteran, pasien berhak atas segala
informasi yang jelas dan lengkap dari pihak penyedia pelayanan seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, tercantum pada Undang-Undang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004. Secara
etis, pasien mempunyai hak untuk mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Sebaliknya, dokter
dan rumah sakit baik secara moral maupun legal tidak berhak untuk menutupi / tidak
memberikan informasi kepada pasien (Cahyono, 2008).
Logika hukum dari terjadinya persetujuan tindakan dalam sebuah pelayanan kesehatan
adalah bagi dokter atau dokter gigi yang membuka praktik dianggap telah melakukan penawaran
umum untuk memberikan pelayanan medis sebagai syarat pertama terjadinya kesepakatan.
Pasien yang datang untuk dilayani pada dasarnya dianggap menerima penawaran dari dokter atau
dokter gigi yang bersangkutan. Namun, karena ada kewajiban hukum bagi dokter atau dokter
gigi untuk memberikan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap pasien, maka penjelasan tersebut dipandang sebagai satu rangkaian dengan penawaran.
Ketika pasien atau orang yang berhak memberikan persetujuan menandatangani informed
consent, maka terjadilah kesepakatan diantara dokter dan pasien. Menurut Pasal 1233 KUH
Perdata kesepakatan tersebut merupakan sumber hukum perikatan (Martabat, 2011). Dengan
adanya informed consent tersebut, pasien mendapatkan perlindungan hukum terhadap tindakan
yang diberikan dokternya. Apabila dokter tidak memberikan informasi sejelas-jelasnya kepada
pasien, secara moral dan legal, pasien berhak menuntut atas pemberian informasi yang lengkap
dan jelas.
Menurut Astuti (2010), pasien dapat menggugat seorang dokter oleh karena dokter tersebut
telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum, seperti yang diatur di dalam Pasal 1365
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa: “Tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kesalahan itu, mengganti kerugian tersebut”. Undang-undang tidak memberikan
batasan tentang perbuatan melawan hukum, yang harus ditafsirkan oleh peradilan. Akan tetapi
sejak tahun 1919 yurisprudensi tetap telah memberikan pengertian yaitu setiap tindakan atau
kelalaian baik yang: melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum diri
sendiri, menyalahi pandangan etis yang umumnya dianut (adat istiadat yang baik), dan tidak
sesuai dengan kepatuhan dan kecermatan sebagai persyaratan tentang diri dan benda orang
seorang dalam pergaulan hidup (Astuti, 2010). Berdasarkan hal tersebut, pada kasus ini, drg. J
telah melakukan tindakan kelalaian yang telah melanggar hak pasiennya dan bertentangan
dengan kewajiban hukumnya sendiri serta telah mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Maka
dari itu, pasien sangat berhak menuntut drg. J secara hukum.
Proses penyelesaian sengketa dapat digunakan dua jalur yaitu litigasi (pengadilan) dan non
litigasi/konsensual/non ajudikasi. Jalur litigasi merupakan jalur peradilan yang cara penyelesaian
masalah atau sengketa melalui persidangan. Adapun jalur non litigasi merupakan penyelesaian
sengketa yang berada di luar peradilan yang termasuk dalam Alternatif Dispute Resolution
(ADR) meliputi konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli atau arbiter (Afandi,
2009). Proses penyelesaian sengketa di pengadilan adalah proses yang membutuhkan biaya dan
memakan waktu. Karena sistem pengadilan konvensional secara alamiah berlawanan, seringkali
menghasilkan satu pihak sebagai pemenang dan pihak lainnya sebagai pihak yang kalah. Dari
beberapa rumusan diatas, dapat disimpulkan jalur non-litigasi khususnya merupakan cara terbaik
untuk menyelesaikan sengketa.
Dengan mediasi, diharapkan dicapai titik temu penyelesaian masalah atau sengketa yang
dihadapi para pihak, yang selanjutnya akan dituangkan sebagai kesepakatan bersama dan
pengambilan keputusan tidak berada ditangan mediator. Mediasi sifatnya tidak formal, sukarela,
melihat ke depan, kooperatif (kerja sama) dan berdasar kepentingan.
Latar Belakang Mediasi Dasar hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang
merupakan hasil revisi dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 (PERMA Nomor
2 Th. 2003). Selain itu, pada UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 pasal 29, disebutkan bahwa jika
terjadi suatu kelalaian dalam menjalankan profesi oleh tenaga kesehatan, kelalaian tersebut harus
diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Prosedur mediasi dijalankan berdasarkan PERMA
No. 1 Tahun 2008. Bila proses mediasi gagal, maka penyelesaian sengketa akan dilanjutkan
melalui proses persidangan di pengadilan (litigasi).
KESIMPULAN
Kelalaian, kesalahpahaman dan perbedaan penafsiran karena tidak lengkapnya informasi,
ketidak-jelasan pengaturan atau prosedur kerja, ketidak-puasan, kecurigaan, kesewenang-
wenangan atau ketidakadilan, dan terjadinya keadaan yang tidak terduga paska pelaksanaan
prosedur dalam bidang kesehatan dapat berujung pada terjadinya sengketa medis. Melalui proses
mediasi, sengketa medis diharapkan dapat mencapai penyelesaian yang bersifat win-win solution
di luar jalur peradilan (non-litigasi) dengan kesepakatan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, D., 2009, Mediasi: Alternatif Penyelesaian Sengketa Medis, Maj. Kedokt.Indon., 59(5):
189-193
Astuti, E.K., 2010, Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien Dalam Upaya Pelayanan
Medis, ejournalUMM, https://www.google.com/#q=jurnal+aspek-+hukum+dalam+-
pemberian+informasi+praktik+kedokteran (22/11/2013)
Budi, A.T., 2010, Upaya Bantuan Hukum Dokter Gigi Dalam Menghadapi Sengketa Medis,
Jurnal PDGI, 59(1): 1-7.
Cahyono, J.B.S.B., 2008, Membangun Budaya Keselamatan Pasien dalam Praktik Kedokteran,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Departemen Kesehatan RI, 2013, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004,
http://www.depkes.go.id/downloads/UU_No._29_Th_2004_ttg_Praktik_Kedokteran.pdf
(22/11/2013)
Huff, K., Huff, M., and Farah C., Ethical Decision-Making for Multiple Prescription Dentistry,
General dentistry 2008; 538-547.
Idris, F. 2006. Responsibility of Law of Surgeon (Doctor) in Indonesia Related to Implementation
of the Act of Medical Practice. Palembang.
Martabat, 2011, Fungsi Informed Consent dalam Perjanjian Terapeutik,
www.jamsosindonesia.com (22/11/2013)
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia,
http://www.mahkamahagung.go.id/images/uploaded/prosedur_ttg_mediasi0001.pdf (22/11/2013)
Rahmad A, 2009, Peranan alternative dispute resolution dalam penyelesaian perkara perdata.
http://padang-today.com/index.php?today=article&j=2&id=155 (22/11/2013)
Ratman, D., 2012, Mediasi Non litigasi terhadap Sengketa Medik, Gramedia Pustaka, Jakarta.
Siddiki, Mediasi di pengadilan dan asas peradilan sederhana, cepatdan biaya ringan,
www.badilag.net (22/11/2013)
Spencer, D. dan Brogan, M., 2006, Mediation Law and Practice, Cambridge: Cambridge
University Press
Suryono, 2012, Best practice dalam Penyelesaian Sengketa Kesehatan,
http://kebijakankesehatanindonesia.net/sites/default/files/file/2011/Best%20practice%20me
diasi.pdf (22/11/2013).
Wiradharma, D., 2011, Alternatif Penyelesaian Sengketa Medik, Sagung Seto, Jakarta.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran,
http://www.depkes.go.id/downloads/UU_No._29_Th_2004_ttg_Praktik_Kedokteran.pdf
(22/11/2013)