makalah drainase yogyakarta bagus bimantara 1215011018.docx
-
Upload
bagus-bimantara -
Category
Documents
-
view
229 -
download
48
description
Transcript of makalah drainase yogyakarta bagus bimantara 1215011018.docx
SISTEM PERENCANAAN DRAINASE PERKOTAAN WILAYAH YOGYAKARTA
TUGAS DRAINASE DAN PENANGGULANGAN BANJIR
Oleh
BAGUS BIMANTARA
1215011018
JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring berkembangnya suatu kota, sudah barang tentu memerlukan berbagai
sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dalam perkembangannya ke
depan, dimana bertambahnya penduduk sudah barang tentu diperlukan juga
pembangunan permukiman serta penataan lingkungannya.
Sesuai dengan kebijakan Pemerintah dalam Pembangunan di bidang
perumahan dan permukiman adalah upaya penciptaan lingkungan permukiman
yang bersih dan sehat. Peningkatan pembangunan perumahan dan permukiman
secara terarah dan terpadu dengan jalan pemenuhan kebutuhan prasarana
ataupun menata kembali berbagai infrastruktur yang telah ada. Kenyataan di
lapangan keadaan prasarana lingkungan permukiman di Kota Yogyakarta yang
dirasakan masih kurang memenuhi persyaratan kualitas maupun kuantitas. Hal
tersebut terlihat bahwa terutama musim penghujan saluran drainase yang ada
sudah tidak bisa menampung air, sehingga akan terjadi genangan/banjir.
apabila tidak segera ditangani akan mengakibatkan penurunan daya dukung
lingkungan permukiman dan akhirnya akan berdampak terhadap kesehatan
lingkungan.
Bencana banjir merupakan masalah yang harus dihadapi oleh penduduk yang
bahkan di lokasi tertentu harus dihadapi secara rutin. Lokasi rawan banjir
terdapat di sepanjang beberapa sungai yang mengalir di Kota Yogyakarta.
Permasalahan banjir tidak luput dari buruknya drainase yang diakibatkan
adanya pengembangan kawasan bisnis maupun perumahan sering
mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan dari daerah pengaman dan daerah
resapan seperti daerah sepadan sungai, kolam tempat penampung air sementara
berubah menjadi area perumahan tempat dan pusat perdagangan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah
yang akan di bahas yaitu sebagai berikut.
1. Bagaimana keadaan drainase kota Yogyakarta?
2. Bagaimana cara memperbaiki drainase kota Yogyakarta?
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut
1. Mengetahui keadaan drainase kota Yogyakarta.
2. Mengetahui cara memperbaiki drainase kota Yogyakarta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Banjir
Banjir adalah peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan
merendam daratan. Pengarahan banjir Uni Eropa mengartikan banjir sebagai
perendaman sementara oleh air pada daratan yang biasanya tidak terendam air.
Dalam arti "air mengalir", kata ini juga dapat berarti masuknya pasang laut.
Banjir diakibatkan oleh volume air di suatu badan air seperti sungai atau danau
yang meluap atau menjebol bendungan sehingga air keluar dari batasan
alaminya.
Ukuran danau atau badan air terus berubah-ubah sesuai perubahan curah hujan
dan pencairan salju musiman, namun banjir yang terjadi tidak besar kecuali
jika air mencapai daerah yang dimanfaatkan manusia seperti desa, kota dan
permukiman lain.
Banjir juga dapat terjadi di sungai, ketika alirannya melebihi kapasitas saluran
air, terutama di kelokan sungai. Banjir sering mengakibatkan kerusakan rumah
dan pertokoan yang dibangun di dataran banjir sungai alami. Meski kerusakan
akibat banjir dapat dihindari dengan pindah menjauh dari sungai dan badan air
yang lain, orang-orang menetap dan bekerja dekat air untuk mencari nafkah
dan memanfaatkan biaya murah serta perjalanan dan perdagangan yang lancar
dekat perairan. Manusia terus menetap di wilayah rawan banjir adalah bukti
bahwa nilai menetap dekat air lebih besar daripada biaya kerusakan akibat
banjir periodik.
B. Drainase
Drainase merupakan salah satu fasilitas dasar yang dirancang sebagai sistem
guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan merupakan kompenen penting
dalam perencanaan kota(perencanaan infrastruktur khususnya).
Drainase juga dapat diartikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air
tanah dalam kaitannya dengan salinitas, dimana drainase merupakan salah satu
cara pembuangan kelebihan air yang tidak di inginkan pada suatu daerah, serta
cara-cara penaggulangan akibat yang ditimbulkan oleh kelebihan air tersebut.
Dari sudut pandang yang lain, drainase adalah salah satu unsur dari perasana
umum yang dibutuhkan masyarakat kota dalam rangka menuju kehidupan kota
yang aman, nyaman, bersih, dan sehat.
C. Drainase Perkotaan
Drainase perkotaan merupakan sistem pengeringan dan pengaliran air wilayah
kota yang meliputi pemukiman,industri,sekolah,lapangan olahraga,instalasi
militer,pelabuhan umum atau sungai serta fasilitas umum yang lainnya yang
merupakan bagaian dari sarana perkotaan.Desain drainase perkotaan memiliki
keterkaitan dengan tata guna lahan,tata ruang kota,master plan drainase kota
dan kondisi sosial budaya masyarakat terhadap kedisiplinan dalam hal
pembuangan sampah.pengertian drainase perkotaan tidak terbatas pada teknik
penangan kelebihan air namun lebih luas lagi menyangkut aspek kehidupan di
kawasan perkotaan.
BAB III
PEMBAHASAN
Sarana Drainase untuk seluruh wilayah Kota Yogyakarta meliputi drainase utama
berupa Sungai Gadjahwong, Sungai Winongo dan Sungai Code, saluran drainase
sekunder (pembawa) tertutup, saluran drainase sekunder (pembawa) terbuka,
saluran tersier (pengumpul) tertutup, saluran tertier (pengumpul) terbuka. Seluruh
sirkulasi drainase disalurkan menuju ke saluran drainase utama berujud ketiga
sungai diatas.
1. Sungai Code (39,00 km)
Sungai Code dengan hulu di daerah Kaliurang melintasi wilayah Kabupaten
Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul. Sungai Code bermuara di
sungai Opak di daerah Jetis. Panjang alur sungai ± 39,00 km. Sungai Code
merupakan system drainase utama yang paling penting untuk wilayah Kota
Yogyakarta.
2. Sungai Gajahwong (21,00 km)
Sungai Gajahwong dengan panjang alur ± 21,00 km bermuara di sungai Opak
di daerah Plered. Dengan area pelayanan Ngaglik dan Depok di Kabupaten
Sleman, sebagian wilayah Kota Yogyakarta, dan Banguntapan serta Plered di
Kabupaten bantul.
3. Sungai Winongo (43,75 km)
Sungai Winongo dengan panjang alur 43,75 km. Bagian hulu sungai Winongo
ada di daerah Kaliurang atau sekitar Turi/Pakem. Daerah Aliran Sungai (DAS)
sungai Winongo seluas ± 88,12 Km2. Sungai Winongo melintasi wilayah
Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul. Sungai Winongo
bermuara di Sungai Opak pada daerah Kretek.
Berikut merupakan peta ketiga sungai tersebut :
A. Drainase Makro
Sistem drainase induk yang ada di wilayah Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) adalah sistem drainase alam, yaitu suatu sitem yang
menggunakan sungai dan anak sungai sebagai sistem primer penerima air
buangan dari saluran – saluran sekunder dan tersier yang ada. Keseluruhan
sistem tersebut berfungsi untuk menyalurkan air hujan dan limbah rumah
tangga. Sebagian dari saluran drainase sekunder yang ada di DIY juga
menggunakan saluran irigasi sebagai saluran pembuangannya.
B. Permasalahan yang dihadapi
1. Genangan
Genangan dengan parameter luas genangan, tinggi genangan, dan lamanya
genangan merupakan permasalahan utama yang menjadi fokus perhatian
studi. Terjadinya genangan pada beberapa lokasi di wilayah studi secara
pasti akan menimbulkan permasalahan berkelanjutan pada system interaksi
sosial, ekonomi, budaya, dan aspek interkasi masyarakat lainnya.
Gambar : Lokasi Genangan di Kota Yogyakart
Dari hasil inventarisasi serta informasi dari berbagai sumber, penyebab
terjadinya genangan tersebut antara lain adalah :
1. Luapan dari beberapa sungai yang disebabkan oleh :
a. Kapasitas sungai yang ada tidak mampu menampung debit banjir
yang terjadi.
b. Pada beberapa lokasi penampang hidrolis yang ada tidak memadai
atau tidak dapat menampung debit banjir yang ada.
c. Pada beberapa lokasi penampang hidrolis sungai berkurang akibat
dari terjadinya sedimentasi dan penyempitan penampang sungai.
d. Akibat kerusakan tanggul sungai dan bocoran – bocoran yang tidak
segera diatasi, sehingga semakin membesarkan tingkat kerusakan.
2. Elevasi dari beberapa area berada di bawah elevasi muka air air banjir
sungai, bahkan beberapa lokasi elevasinya berada di bawah muka air
normal sungai. Dengan kondisi tersebut debit limpasan tidak bisa
segera dibuang ke sungai, dan jika terjadi kebocoran pada tanggul
sungai dapat menyebabkan genangan pada areal yang sangat luas.
3. Sistem pembuang yang ada belum dibagi menurut system pembagian
Block plan yang ideal, sehingga ada sungai yang melayani area terlalu
besar, dan akibatnya kapasitas sungai tidak mampun menampung debit
yang terjadi.
4. Luapan dari system pembuang yang ada sebagai akibat pendangkalan,
penyempitan dan penyumbatan oleh sampah;
5. Luapan akibat gorong – gorong, sypon, dan pintu pengatur tersumbat
atau tidak berfungsi
6. Inlet saluran tidak tepat posisinya, terlalu tinggi dan sering tersumbat
oleh pasir/tanah dan sampah sehingga limpasan air hujan tidak
bisa/kurang lancar masuk ke sistem saluran drainase yang ada.
7. Luapan akibat penggunaan bantaran sungai untuk kepentingan yang
tidak semestinya;
8. Akibat aliran permukaan (“debit run off”) pada saat hujan yang tidak
bisa segera dibuang atau dialirkan ke sungai atau system pembuang
yang ada, karena pada saat bersamaan sungai yang ada sudah penuh
sehingga tidak mampu menampung tambahan debit dari aliran
permukaan;
9. Berkurangnya luas areal resapan akibat perubahan penggunanaan lahan
(untuk permukiman, dan lain sebagainya);
10. Kondisi fisik jaringan drainase yang ada sudah kurang memadai,
sehingga sering terjadi kebocoran dan luapan pada tanggul saluran;
11. Tidak terdapatnya system (jaringan) drainase yang memadai pada
kawasan atau lokasi rawan banjir, sehingga debit akibat aliran
permukaan tidak bisa dibuang/dialirkan secara cepat.
Khusus untuk Kota Yogyakarta data genangan yang menjadi prioritas
adalah genangan di 11 (sebelas) lokasi yaitu :
1. Genangan di Kel. Pakuncen
2. Genangan di Kel. Prawirodirjan
3. Genangan di Kel. Klitren
4. Genangan Jl. Bimosakti
5. Genangan di Tahunan
6. Genangan di Kt.Gede
7. Genangan di Giwangan
8. Genangan di jl. Parangtritis
9. Genangan jl Soka
10. Genangan perempatan Gondomanan
11. Genangan Panjaitan
2. Kebijakan Pembangunan Antar Kawasan
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa penanganan
permasalahan drainase harus merupakan suatu kegiatan yang berskala
regional dan bersifat lintas wilayah maupun lintas sektoral. Penanganan
permasalahan di Kota Yogyakarta tanpa menangani permasalahan yang
ada di kawasan hulu (Kab. Sleman) maupun kawasan hilir (Kab. Bantul)
tidak akan memberikan solusi yang bersifat jangka panjang. Demikian
juga kaitan antara infrastruktur drainase dengan infrastruktur lainnya
harus mendapat perhatian yang seksama, sehingga penanganan yang
dilakukan merupakan suatu kegiatan yang komprehensif.
Dalam kaitan dengan topik ini, maka permasalahan yang terkait dengan
kebijakan pembangunan antar kawasan antara lain adalah :
1. Belum adanya kebijakan yang terpadu antar wilayah kota dan
kabupaten di propinsi DIY untuk pengendalian kawasan resapan di
daerah hulu sungai,
2. Belum adanya peraturan untuk pengendalikan luas lahan terbuka
sebagai daerah resapan air, 3.) Belum adanya koordinasi dari para
pelaku pengelolaan dari setiap komponen infrastruktur dalam
perencanaan maupun pembangunannya.
3. Koordinasi Pengawasan Pembangunan
Koordinasi pengawasan pembangunan diperlukan untuk mencegah
terjadinya permasalahan yang menimbulkan dampak merugikan dari aspek
drainase (termasuk mencegah terjadinya banjir). Sebagai contoh suatu
kawasan dengan elevasi di bawah muka air banjir sungai terdekat, maka
perencanaan pembangunan sarana dan prasarana di kawasan tersebut harus
sudah mengantisipasi kemungkinan terjadinya banjir, yaitu dengan
melakukan penimbunan sampai batas peil banjir sebelum prasarana
tersebut dibangun.
Pembangunan suatu jaringan drainase di suatu kawasan tidak bisa hanya
didasarkan pada data masukan dari kawasan internal. Kapasitas saluran
yang direncanakan harus memperhatikan kapasitas saluran yang sudah ada
di kawasan lain, sehingga sistem yang dibangun tidak memberikan
dampak negatif terhadap kawasan lain. Dengan koordinasi pengawasan
yang efektif dampak negatif tersebut dapat dihindarkan. Lemahnya
koordinasi pengawasan pembangunan merupakan masalah yang sering
terjadi dalam pembangunan wilayah DIY. Lemahnya koordinasi
pengawasan pembangunan dapat dilihat pada uraian berikut ini :
a. Perubahan Peruntukan Lahan
Pada dasarnya, peruntukan lahan pada suatu kawasan sudah ditentukan
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sudah disyahkan
oleh Bappeda. Namun pada prakteknya, ketentuan tersebut tidak selalu
dipatuhi oleh berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan
pembangunan di Wilayah Studi. Hal yang paling sering terjadi adalah
kawasan penampungan/resapan air atau kawasan hijau terbuka dirubah
peruntukannya menjadi kawasan perumahan atau kawasan industri.
Akibat dari perubahan peruntukan lahan tersebut, maka luasan dari
kawasan ”parkir” air hujan akan berkurang secara sistematis dan pada
akhirnya akan memperparah masalah banjir di wilayah studi.
b. Pelanggaran terhadap Rasio KDB
KDB atau Koefisien Dasar Bangunan adalah suatu rasio yang
menunjukan perbandingan antara luas bangunan terhadap luas lahan
yang tersedia. Sehingga untuk luas lahan yang sama, apabila rasio
tersebut semakin besar maka bangunan yang boleh didirikan juga
semakin luas.Rasio KDB ditetapkan oleh Dinas Tata Kota dengan
mengacu pada kondisi dan peruntukan lahan pada lahan yang akan
didirikan bangunan. Dengan demikian, rasio KDB merupakan batas
maksimum yang diperbolehkan oleh Dinas Tata Kota untuk
mendirikan bangunan pada suatu wilayah. Namun pada umumnya,
batas rasio tersebut seringkali dilanggar oleh para pemilik bangunan
dalam upaya untuk mendapatkan bangunan yang lebih luas. Apabila
pelanggaran rasio KDB tersebut dilakukan secara massal dan terus
menerus, maka luas lahan terbuka akan menurun secara drastis dan
pada akhirnya akan memperparah masalah banjir di wilayah studi.
c. Diabaikannya batas Peil Banjir
Sebagaimana dijelaskan pada sub bab sebelumnya, dimana salah satu
penyebab banjir di wilayah studi adalah elevasi kawasan perumahan
yang berada di bawah muka air banjir sungai maupun di bawah muka
air normal, sehingga kawasan atau area perumahan tersebut menjadi
kawasan yang rawan banjir. Kondisi tersebut terjadi karena
pelaksanaan pembangunan kawasan perumahan oleh Pengembang
tidak memperhatikan peil banjir yang ada. Pengembang seharusnya
melakukan penimbunan sampai pada batas peil banjir sebelum mulai
melaksanakan pembangunan perumahan.
d. Pelanggaran Penggunaan Lahan Pada Kawasan Konservasi
Hal lain yang sering terlihat dari lemahnya koordinasi pengawasan
pembangunan adalah digunakannya lahan yang berada pada kawasan
konservasi untuk keperluan pembangunan. Pelanggaran tersebut
mengakibatkan berkurangnya luasan dari kawasan konservasi dan pada
akhirnya akan mengurangi luasan dari kawasan resapan atau ruang
hijau terbuka.
4. Tinjauan Terhadap Sistem Penyaluran Air Hujan Yang Ada
Tinjauan terhadap sistem penyaluran air hujan yang ada akan mencakup
tinjauan terhadap sungai sebagai badan penerima air utama, dan sistem
saluran sebagai badan pembawa.
a. Tinjauan Terhadap Sungai Induk
Perhitungan mengenai kapasitas sungai berdasarkan profil sungai yang
ada untuk kemudian dibandingkan dengan debit banjir hasil
perhitungan dengan periode ulang 10 tahun, akan memberikan
gambaran mengenai kemungkinan terjadinya atau tidak terjadinya
luapan pada sungai dimaksud. Sampai saat ini data profil sungai dan
data debit banjit dari sungai – sungai utama di wilayah studi belum
didapatkan. Meskipun demikian berdasarkan peta banjir dari Proyek
Pengendalian Banjir DIY (dahulu) kemungkinan terjadinya banjir
hanya pada lokasi – lokasi seperti yang terlihat pada gambar 9.13.
Dimana pada lokasi – lokasi tersebut telah dibangun tanggul banjir
kecuali untuk lokasi Pundong kearah Kedungmiri.
b. Tinjauan Terhadap Saluran Yang Ada
Meliputi tinjauan dimensi, keadaan saluran, perlengkapan saluran yang
ada, serta hal – hal lain yang dianggap perlu sehingga dapat diharapkan
akan didapat dimensi saluran yang sesuai. Hasil pengamatan lapangan
adalah sebagai berikut :
1. Tingkat pelayanan sistem yang ada masih rendah dalam konteks
perbandingan antara luas yang harus dilayani dengan panjang
sistem yang sudah terbangun/terpasang.
2. Kapasitas saluran belum di disain menurut sistem blok kawasan
yang harus dilayani, sehingga ada beberapa saluran yang melayani
suatu kawasan terlalu luas.
3. Sedimentasi dan timbunan sampah menyebabkan kapasitas
pengaliran saluran berkurang, akibatnya terjadi luapan.
4. Genangan yang terjadi dari hasil pengamatan disebabkan oleh
luapan, baik dari jaringan tersier, sekunder maupun primer.
5. Sistem jaringan belum tertata menurut hirarki saluran, dimana
hirarki ini akan menentukan besarnya kapasitas pengaliran yang
direncanakan. Dari hasil pengamatan ada sistem sekunder yang
dimensinya lebih kecil dari sistem tersiernyae.Ukuran gorong –
gorong yang terlalu kecil, kerusakan gorong – gorong maupun
kerusakan pada saluran merupakan salah satu penyebab terjadinya
luapan dan genangan.
5. Pemeliharaan Prasarana dan Sarana Drainase
Akibat keterbatasan dana, selama ini pemeliharaan prasarana/sarana
drainase kurang mendapat perhatian yang cukup dari Instansi yang
berwenang. Pemeliharaan prasarana/sarana tidak dilakukan menurut suatu
pola yang teratur. Biasanya pemeliharaan akan dilakukan apabila kondisi
kerusakan sudah parah atau untuk mengatasi kondisi darurat dan
pemeliharaan tersebut dilakukan secarapartial tidak secara menyeluruh.
Akibat dari tidak teraturnya pemeliharaan yang dilakukan, maka
• Prasarana/sarana drainase tidak berfungsi dengan optimal.
• Meningkatnya kerugian yang diderita oleh masyarakat.
• Meningkatnya biaya pemeliharaan.
Kurangnya kesadaran masyarakat mengenai arti penting sarana drainase
untuk menjaga kesehatan lingkungan juga merupakan salah satu
permasalahan yang perlu mendapat perhatian. Semua pihak paham bahwa
membuang sampah di selokan akan dapat menimbulkan banjir karena
kapasitas saluran menjadi berkurang. Namun faktanya hal – hal tersebut
masih terus terjadi.
C. Analisis permasalahan
Analisis permasalahan sebagai bahan rekomendasi didasarkan pada komponen
– komponen yang menjadi variabel dalam konsep penataan sistem drainase.
Komponen-komponen yang perlu diperhatikan di dalam penataan sistem
drainase antara lain :
1. Pola Aliran
Pola aliran harus dibuat sedemikian rupa sehingga memenuhi Rencana Tata
Ruang Wilayah, baik dalam aneka ragam fasilitas yang direncanakan oleh
tata ruang tersebut, maupun pentahapan pelaksanaan tata ruang tersebut.
Proporsi pembagian daerah alirannya lebih ditentukan oleh kondisi
topografi daerahnya, sedangkan penentuan arah alirannya ditentukan oleh
lereng lahan yang dibuat drainasenya. Pola aliran dan jenis pengalirnya
didesain sedemikian rupa sehingga mendukung prinsip desain saluran yang
memerlukan pemeliharaan seminimum mungkin. Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam penentuan pola aliran adalah :
• Badan penerima air eksisting Jaringan sungai yang ada dalam suatu
wilayah perencanaan, merupakan titik akhir dari aliran air yang ada.
• Sistem drainase yang ada dalam perencanaan pola aliran, sedapat
mungkin tidak merusak pola alami/buatan yang sudah ada sehingga
pekerjaan yang dilaksanakan akan menjadi lebih ekonomis dan
memungkinkan untuk menjangkau seluruh saluran di daerah tersebut.
• Topografi daerah aliran pola aliran yang mengikuti kemiringan lahan
akan mempermudah pengaliran air dan selain itu pekerjaan akan
menjadi lebih ekonomis dan mudah dalam pengoperasiannya.
• Jalur jalan yang ada sering dipergunakan dalam penentuan pola aliran
sehingga pola aliran drainase akan dibuat mengikuti jalur jalan yang
ada.
• Batas administrative daerah aliran diperlukan untuk menentukan
kapasitas dari air yang melimpas kedalam saluran dan menjadi beban
bagi Instansi yang berwenang pada daerah administratif tersebut.
Pembenahan pola aliran untuk suatu daerah yang sudah lama berkembang
terutama untuk daerah yang terletak di zona aliran pantai adalah sebagai
berikut :
• Jika daerahnya cukup tinggi di atas elevasi air pasang, maka penataan
drainasenya bisa menggunakan kanal-kanal yang bisa dialirkan ke sungai
terdekat.
• Untuk daerah elevasinya lebih rendah dari air pasang maka harus dibuat
polder yang dilengkapi dengan danau penampungan dan instalasi pompa.
Untuk menekan besarnya kapasitas pompa yang dibutuhkan, sistem
polder ini bisa dikombinasikan dengn pemakaian pintu-pintu klep.
Perencanaan sistem drainase pada suatu daerah reklamasi baru sebaiknya
memakai sistem polder. Keuntungan dari sistem tersebut adalah
menghindari pemakaian material tanah urug yang terlalu besar sehingga
dampak negatif yang mungkin timbul pada lokasi sumber material urug
dapat dihindarkan.
2. Normalisasi Sungai - sungai dan Saluran Drainase
Kapasitas pengaliran sungai mengalami penurunan akibat sedimentasi,
endapan sampah dan berbagai bangunan yang berada di bantaran sungai
serta akibat kegiatan manusia lainnya. Begitu juga yang dialami oleh
saluran-saluran yang ada, sehingga daerah yang seharusnya masih
tergolong aman banjir menjadi daerah yang rawan banjir. Untuk mengatasi
masalah tersebut perlu diadakan normalisasi sungai-sungai dan saluran-
saluran drainase. Normalisasi yang perlu dilakukan bergantung pada
kondisi masing-masing sungai/jalur drainase
3. Mengembalikan Fungsi Bantaran Sungai
Keberadaan bantaran bagi sungai adalah sangat penting dan merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari sungai itu sendiri, karena bantaran
berfungsi sebagai lahan cadangan sungai untuk menampung debit banjir
yang besar. Pada sebagian sungai kondisi dan batas bantaran ini tidak jelas,
sebaliknya ada yang mempunyai bantaran yang jelas dengan batas berupa
tanggul alam dan bertanda bebas aliran air yang jelas pula. Tentu saja tidak
seluruh sungai mempunyai bantaran karena lahan bantaran tersebut
terbentuk secara alamiah dari sungai yang bersangkutan.
Untuk mengembalikan fungsi bantaran ini perlu dirintis dengan
mengadakan pendataan/inventarisasi bantaran dengan batas-batasnya,
diberi tanda dan memberikan penjelasan kepada masyarakat akan batas dan
manfaat bantaran sungai tersebut.
Selain itu untuk mengantisipasi perkembangan pembangunan yang pesat di
masa mendatang, pemerintah hendaknya konsisten terhadap pemanfaatan
daerah bantaran sungai ini, sehingga bantaran tetap berfungsi seperti yang
dikehendaki.
4. Pembuatan Tandon Air
Pembangunan tandon-tandon air buatan pada beberapa lokasi yang
potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan retensi air hujan. Dengan
adanya tandon – tandon air, maka debit air yang mengalir ke badan
penerima air akhir (sungai) dapat dikurangi sebesar kapasitas embung atau
tandon air tersebut. Untuk lebih jelasnya, contoh tandon air tersebut dapat
dilihat pada Gambar berikut
5. Pemeliharaan Sarana Drainase
Sarana drainase yang terbangun akan berfungsi sebagaimana yang
diharapkan jika disertai dengan upaya pemeliharaan yang baik pula. Ada
beberapa unsur yang diperlukan untuk menunjang suksesnya pemeliharaan
ini, antara lain :
1. Tersedia badan/lembaga yang khusus menangani masalah tersebut
2. Adanya peraturan yang mendukung
3. Penyediaan dana yang memadai
4. Melibatkan peran serta masyarakat
Secara konsepsi kegiatan pemeliharaan ini dikelompokkan menjadi 3 (tiga)
tipe, dimana pengelompokkan ini dilakukan menurut maksud dan sasaran
kegiatan pemeliharaan. Tipe pemeliharaan tersebut adalah :
a. Pemeliharaan rutin : pemeliharaan dilakukan secara rutin dari waktu ke
waktu dengan tujuan untuk menjaga kondisi prasarana drainase agar
tetap dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Sasaran pemeliharaan
rutin adalah kerusakan – kerusakan kecil, pembersihan sampah dan
kegiatan pemeliharaan lain yang tidak memerlukan biaya besar.
b. Pemeliharaan Berkala : pemeliharaan dilakukan secara berkala dalam
periode waktu (3 bulan, 6 bulan) tertentu dengan tujuan untuk
mengembalikan kondisi prasarana drainase agar kembali berfungsi
sebagaimana mestinya. Sasaran pemeliharaan berkala adalah kerusakan
– kerusakan yang cukup berat, dimana bila kerusakan tersebut tidak
segera ditangani akan berkembang menjadi semakin besar atau
membahayakan dan dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Kegiatan pemeliharaan berkala memerlukan penanganan teknis yang
detail dan biaya yang lebih besar.
c. Pemeliharaan Darurat : pemeliharaan darurat dilakukan untuk mengatasi
kondisi – kondisi darurat yang terjadi, yang memerlukan penanganan
dengan segera. Sebagai contoh adalah tanggul yang jebol pada saat
musim hujan yang segera memerlukan penanganan yang bersifat
darurat.
6. Pembuatan Sumur Resapan
Permasalahan lingkungan yang sering terjadi adalah terjadinya banjir pada
musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Selain itu, pada
beberapa tempat terjadi pula penurunan permukaan air tanah. Hal ini
disebabkan adanya penurunan kemampuan tanah untuk meresapkan air
sebagai akibat adanya perubahan lingkungan yang merupakan dampak dari
proses pembangunan.
Salah satu strategi atau cara pengendalian air yang baik untuk mengatasi
banjir atau kekeringan adalah dengan cara meningkatkan kemampuan tanah
meresapkan air hujan, yaitu dengan pembuatan sumur resapan terutama
pada kawasan pemukiman. Pembuatan sumur resapan ini merupakan upaya
untuk memperbesar resapan air hujan ke dalam tanah dan memperkecil
aliran permukaan (run off) sebagai penyebab banjir. Dengan demikian,
semakin banyak air yang mengalir ke dalam tanah berarti akan banyak
tersimpan air tanah di bawah permukaan bumi. Air tersebut dapat
dimanfaatkan kembali melalui sumur- sumur atau mata air yang dapat
dieksplorasi setiap saat.
Dengan adanya sumur resapan maka jumlah aliran permukaan akan
menurun sehingga terkumpulnya air permukaan yang berlebihan di suatu
tempat dapat dihindari. Dengan demikian, bahaya banjir dapat dikurangi
pula. Di sisi lain, menurunnya aliran permukaan juga akan menurunkan
tingkat erosi tanah.
Dari uraian diatas, tampak bahwa sumur resapan memiliki beberapa fungsi
yang positif bagi lingkungan. Adapun fungsi dari sumur resapan, antara
lain
• Pengendalibanjir
• Konservasitanah
• Menekan laju erosi
Melihat banyaknya manfaat dari sumur resapan bagi kelestarian lingkungan
hidup maka pembuatan sumur resapan perlu diterapkaan dalam kehidupan
masyarakat, terutama di wilayah perkotaan. Upaya tersebut akan berfungsi
apabila seluruh masyarakat sadar dan mau menerapkannya, karena peran
sumur resapan tidak akan berarti apabila hanya beberapa penduduk saja
yang menerapkannya.
7. Penanggulangan Erosi Lahan
Banyak upaya yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalah erosi
lahan ini di antaranya dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu upaya
penanggulangn secara fisik dan upaya penanggulangan secara non- fisik.
a. Upaya Penanggulangan Secara Fisik
Kegiatan ini dapat dimulai dengan mengadakan inventarisasi jenis
kerusakan lahan yang terjadi, dan mengadakan data tentang jenis tanah
yang ada pada kawasan perbukitan serta menetapkan standar yang akan
ditetapkan sesuai dengan keadaan setiap lahan menurut kategori yang
homogen.
Metodologi yang dapat diterapkan misalnya pembuatan “terassering”
atau pengendalian dengan check dam, pada kawasan yang berlereng
cukup terjal. Metoda penanaman rumput, perlu sampai ke penanaman
pohon biasanya sering digunakan untuk mengatasi erosi lahan, namun
waktu yang diperlukan akan cukup lama, sehingga diperlukan bangunan
penangkap erosi untuk daerah-daerah kritis sebelum program jangka
panjang/penanaman pohon mulai berfungsi.
b. Upaya Penanggulangan Secara Non Fisik
Upaya ini memerlukan waktu yang relatif lama, karena melibatkan
penduduk yang berdiam di sekitar lahan erosif. Upaya ini meliputi
penyebarluasan informasi pembangunan yang berwawasan lingkungan,
antara lain menyangkut persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi
dalam pemberian izin bagi pembangunan kawasan baik industri,
pemukiman maupun wisata.
8. Penataan Sistem Penyaluran Air Hujan
a. Umum
Penyaluran system air hujan merupakan faktor dominan bagi penataan
system drainase di Wilayah Studi. Faktor – faktor yang perlu
diperhatikan dalam penataan system drainase Wilayah Studi adalah
mengenai sistem penyaluran air hujan yang ada, daerah pelayanan,
topografi, geologi, dasar perencanaan dan Rencana Tata Guna Lahan di
masa yang akan datang.
Sistem yang direncanakan adalah sistem yang terpisah dari saluran
pengumpul air buangan kota. Dalam perencanaan sistem penyaluran air
hujan digunakan beberapa parameter, dalam menentukan arah jalur
saluran drainase terdapat batasan – batasan sebagai berikut :
1. Arah pengaliran mengikuti garis ketinggian yang ada sehingga
diharapkan terjadi aliran secara gravitasi.
2. Pemanfaatan sungai atau anak sungai sebagai badan air penerima
dari out fall yang direncanakan.
3. Menghindari banyak perlintasan saluran pada jalan, sehingga
mengurangi penggunaan gorong – gorong.
4. Untuk saluran dengan dimensi lebar yang cukup besar seperti saluran
induk, diusahakan tidak terletak di sisi jalan karena akan
memperbanyak jembatan persil rumah.
b. Rencana Jaringan Sistem Penyaluran Air Hujan
Rencana sistem jaringan drainase yang dikembangkan harus didasarkan
pada keadaan topografi, letak badan air penerima . Berdasarkan faktor
tersebut di atas akan ditentukan sistem jaringan drainase mulai dari
saluran induk, sekunder dan seterusnya.
Dengan diketahui luas daerah pelayanan, terutama yang menjadi luas
tangkapan suatu jalur sungai yang artinya luas daerah dimana aliran
permukaan akan ditampung oleh jalur sungai, maka akan dapat
ditentukan debit pengaliran air hujan. Sehingga dapat mentukan
pembagian blok – blok pelayanan mana yang akan ditampung oleh
suatu sungai. Dengan demikian dapat dicegah kemungkinan meluapnya
badan air penerima yang disebabkan besar debit pengaliran air hujan
yang diterima melebihi daya tampung.
c. Pembagian Daerah Pelayanan
Yang dimaksud daerah pelayanan adalah luas Wilayah Studi yang
direncanakan akan diperhitungkan dalam sistem penyaluran air hujan.
Dengan diketahui daerah perencanaan maka dapat ditentukan besar
debit pengaliran.
Daerah pelayanan ini akan dibagi menjadi beberapa blok pelayanan,
dimana setiap blok pelayanan akan dilayani oleh sebuah saluran. Dasar
dari pembagian blok pelayanan ini terutama pada keadaan letak dari
badan air penerimanya dan setiap blok ditentukan koefisen
pengalirannya. Pembagian Blok daerah pengaliran ditentukan
berdasarkan pertimbangan sebagai berikut :
1. Luas daerah dari blok pengaliran akan dibatasi, dengan
pertimbangan agar air hujan dapat tertampung pada saluran dengan
dimensi tertentu yang tidak terlalu besar. Dimensi saluran drainase
kota yang terlalu besar akan terlalu sulit untuk direalisir karena
terkait dengan masalah lahan yang tersedia,
2. Topografi daerah untuk menentukan arah aliran, dimana
secaraprinsip arah aliran harus mengikuti arah kemiringan lahan
yang ada,
3. Jarak pengaliran dibatasi tidak terlalu jauh karena semakin jauh
jarak pengaliran akan memperlama waktu pengaliran, sehingga
untuk kapasitas saluran yang sama akan memperbesar nilai to
(waktu konsentrasi) dan td (waktu pengaliran), dan artinya
menambah waktu pengeringan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seiring berkembangnya kota Yogyakarta, sudah barang tentu memerlukan
berbagai sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dalam
perkembangannya ke depan, dimana bertambahnya penduduk sudah barang
tentu diperlukan juga pembangunan permukiman serta penataan
lingkungannya. Sistem drainase induk yang ada di wilayah Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah sistem drainase alam,
Berikut merupakan permasalahan drainase yang dihadapi kota Yogyakarta :
1. Genangan dari luapan drainase dan elevasi lahan.
2. Kebijakan pembangunan antar kawasan hulu dan hilir yang belum
bersinergi.
3. Lemahnya koordinasi pengawasan pembangunan wilayah di DIY.
4. Rendahnya tinjauan terhadap sistem penyaluran air hujan yang ada.
5. Pemeliharaan prasarana dan sarana drainase kurang mendapat perhatian
yang cukup.
Berikut merupakan sistem perencanaan drainase kota Yogyakarta :
1. Pembenahan pola aliran berbasis topografi wilayah.
2. Normalisasi Sungai - sungai dan Saluran Drainase.
3. Mengembalikan Fungsi Bantaran Sungai.
4. Pembangunan tandon-tandon air buatan pada beberapa lokasi yang
potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan retensi air hujan.
5. Melakukan pemeliharaan rutin, berkala dan darurat pada sarana drainase.
6. Meningkatkan kemampuan tanah meresapkan air hujan, yaitu dengan
pembuatan sumur resapan terutama pada kawasan pemukiman.
7. Penanggulangn erosi lahan secara fisik dan nonfisik.
8. Penataan sistem penyaluran air hujan.
A. Saran
Perlu dilakukan pemahaman lebih mendalam lagi dalam menganalisis sistem
perencanaan drainase perkotaan.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
http://descaholic.blogspot.com/2012/02/penanggulangan-banjir-di-indonesia.html
http://abdulazisansori40.blogspot.com/2012/12/contoh-karya-ilmiah-tentang-
banjir.html
http://baimsangadji.blogspot.com/2010/03/dampak-dan-upaya-penanggulangan-
banjir.html
http://82junior.blogspot.com/2011/02/terjadinya-banjir-dan-banjir-bandang.html
http://www.slideshare.net/KetutSwandana/makalah-banjir
http://id.wikipedia.org/wiki/Rob
http://dhikageografi-uns2011.blogspot.com/2013/03/banjir.html
http://trioktavia20.blogspot.com/2012/05/pengertian-drainase_21.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Drainase
http://kawansipil.wordpress.com/2011/07/16/5/