Makalah cixous

15
1 PEMIKIRAN FEMINIS HÉLÈNE CIXOUS ADINDA AYU P. R. - 1106022351 HANA MAULIDA - 1106063023 NURUL HANDAYANI - 1106077483

description

Helene Cixous dan pemikirannya tentang feminis

Transcript of Makalah cixous

Page 1: Makalah cixous

1

PEMIKIRAN FEMINIS HÉLÈNE CIXOUS

ADINDA AYU P. R. - 1106022351

HANA MAULIDA - 1106063023

NURUL HANDAYANI - 1106077483

Page 2: Makalah cixous

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hélène Cixous lahir di Oran, Algeria, pada tanggal 5 Juni 1937. Ayahnya

seorang Yahudi keturunan Spanyol dan Prancis yang meninggal karena tubercolosis

pada saat Cixous berusia 12 tahun. Ibunya seorang keturunan Austro-Jerman. Ia telah

menulis sekitar 40 buku, 34 di antaranya merupakan karya fiksi atau drama. Ia juga

telah menulis ratusan artikel mengenai feminisme, filsafat, kritik sastra dan teori

sastra.

Karyanya yang pertama adalah Le Prenom de Dieu, tahun 1968. Pada tahun

berikutnya, karyanya yang berjudul Dedans meraih penghargaan the Prix Medicis.

Tahun 1973, Cixous memulai penulisannya mengenai pembedaan seksual pada

bukunya yang berjudul Potrait du Soleil. Pada 1974, ia mendirikan Centre de

recherches en études feminines di Paris VIII. Dua tahun berikutnya, Cixous

mempublikasikan seluruh karyanya di Edition des femmes untuk memperlihatkan

komitmen politiknya dan partisipasinya terhadap gerakan perempuan. Karya Cixous

seringkali digunakan sebagai bahan diskusi dikalangan feminis dan ia dilibatkan

dalam suatu debat yang diselenggarakan oleh Antoinette Fouque (pendiri Des

Femmes) dan seseorang yang berpengaruh dalam "Psych et Po". Dalam karyanya

yang berjudul Au bon plaisir d’Hélène Cixous yang disiarkan melalui radio pada

tahun 1987, Cixous menjelaskan kekhawatirannya terhadap pengadopsian cara-cara

maskulin dalam perjuangan kesetaraan. Ia mengusulkan adanya suatu pembaharuan

pada kerangka aturan simbolis baru. Nama Cixous dikenal dengan kaitannya tentang

écriture feminine.

B. Rumusan Masalah

Bila melihat latar belakangnya, maka muncul pertanyaan: bagaimana

pemikiran feminisme dirumuskan oleh Hélène Cixous?

C. Tujuan

Page 3: Makalah cixous

3

Setelah melihat pemikiran-pemikiran Prancis terdahulu, kita akan melihat

konsep-konsep tiap filsuf. Namun Cixous menggabungkan, mengkritik, maupun

mengambil konsep dari filsuf terdahulu dan memaparkannya dengan sudut pandang

feminis. Maka dari itu makalah ini akan melihat pemikiran feminis Cixous.

Page 4: Makalah cixous

4

BAB II

CIXOUS DAN PARA FILSUF

2.1. Cixous dan Derrida

Keterkaitan pemikiran Cixous dengan Derrida terlihat pada kritik Cixous

mengenai aturan simbolik yang mencakup dalam tiga aspek, yaitu logosentrisme

(bahasa rasional), phallosentrisme (cara berpikir laki-laki), dan pemikiran dikotomis

yang hierarkis dengan oposisi biner. Derrida mengkritik pemikiran logosentris Barat

yang bertumpu kepada penalaran (reason). Ia juga mengkritik konsep representasi

yang menganggap bahwa bahasa rasional merupakan representasi dari kenyataan dan

menjamin kehadiran esensi dari segala sesuatu yang terdapat di dunia, dan menkritik

pandangan bahwa kata-kata yang berasal dari bahasa rasional merupakan suatu

kebenaran tunggal yang datang dari kepastian. Kepastian penalaran menurut Derrida

merupakan penindasan bagi pemikiran marjinal, karena baginya tidak pernah ada

kepastian dalam makna yang ditentukan berdasarkan hubungan antara tanda. Setiap

makna yang ada pada dasarnya relatif, sehingga perlu membebaskan pemikiran dari

asumsi adanya kebenaran tunggal melalui dekonstruksi dengan cara mengelupas

makna-makna yang telah dikonstruksi. Tujuannya untuk memunculkan lapisan-

lapisan makna dalam teks yang selama ini ditekan atau ditindas.

Cixous menerapkan pemikiran Derrida tersebut dengan mendekonstruksikan

pemikiran patriarki melalui teks dengan penulisan feminin dan pembacaan teks

dengan cara yang berbeda (dari batasan feminin) dari teks yang sudah ada. Cixous

melakukan penelitian dengan gaya sastra dan menemukan perbedaan antara feminin

writing dan masculin writing. Menurutnya, cara menulis maskulin berakar pada alat

vital laki-laki dan libidonya yang dibungkus oleh falus. Cara menulis maskulin

berkiblat pada dirinya sendiri, bahkan yang dianggap bermakna sejauh ini hanya

yang berkaitan dengan manusia laki-laki atau Bapak sang pemilik falus. Karena

alasan sosio-kultural, penulisan maskulin lebih dianggap superior dibandingkan

dengan penulisan feminin. Cixous menolak penulisan maskulin yang memiliki

oposisi biner dan selalu meletakkan perempuan pada posisi negatif, pasif, objek, the

Page 5: Makalah cixous

5

other, sedangkan laki-laki positif, aktif, subjek, the self. Oleh karena itu, Cixous

menawarkan cara penulisan écriture feminine.

Selain itu, Cixous juga memiliki pendapat mengenai konsep ‘memberi’ yang

dikatakan oleh Derrida bahwa tidak ada ‘pemberian’ yang benar-benar diberikan

secara tulus tanpa mengharapkan imbalan apapun. Dalam hal ini, Cixous juga

memiliki pendapat yang hampir sama, namun Cixous melihat permasalahan penting

dalam ‘pemberian’ yang dilihat sebagai “the gift-that-takes”, dan ia

membedakannya dengan kebenaran lain sebuah ‘pemberian’ yaitu “the gift-that-

gives”. Hanya laki-laki yang berpikiran bahwa ‘pemberian’ merupakan “the gift-

that-takes”. Bagi Cixous, perempuan memiliki tradisi ‘memberi’ sebagai bentuk

kedermawanan. Hal tersebut merupakan perbuatan yang disebabkan adanya kerelaan

karena kelimpahan. Ini yang disebut ekonomi feminin, pertukaran yang penuh

dengan kerelaan, sedangkan maskulin lebih menempatkan pertukaran ekonomi

sebagai konstruksi sosial dan selalu membutuhkan suatu pengakuan (legitimasi,

justifikasi).

2.2. Cixous dan Lacan

Bagi Cixous, teks adalah produk pengarang yang merepresentasikan adanya

neurosis dan merupakan proses identifikasi pengarang (seperti dalam Interpretation

of Dreams karya Freud). Pemikiran Freud ini pula yang menunjang ketertarikannya

pada teori bahasa Jacques Lacan. Cixous memproduksi dan mengarahkan pemikiran

Lacan kepada pada suatu konsep `bahasa feminin'. Sebab menurutnya, sampai kini

banyak karya-karya tulisan yang jatuh pada fantasi kastrasi maskulin (istilah kastrasi

ini sering dipakai dalam psikoanalisa yang dapat diartikan sebagai "pengebirian"

yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan.

Cixous meminjam teori psikoanalisis the mirror stage Jacques Lacan untuk

mengkritik bahasa patrialkal. Lacan membedakan tiga fase dunia dalam kehidupan

manusia berdasarkan psikologisnya. Fase real adalah fase kebutuhan di mana

kehidupan dalam keadaan berkecukupan, segala yang diperlukan ada dengan

sendirinya dan merupakan hal yang berbeda dengan kenyataan, karena kenyataan

dihidupkan sebagai dan dikenal melalui gambaran imajiner dan simbolik, bayi yang

Page 6: Makalah cixous

6

berada dalam kandungan hingga ia dilahirkan berada dalam fase ini. Fase imajiner

atau ketidaksadaran, kedua adalah dunia realitas yaitu dunia kematian, dunia ibu, dan

tubuh ibu. Pada dunia ralitas, anak-anak belum memiliki identitas sendiri dan masih

dekat dengan dunia dan tubuh ibu. Fase berikutnya ialah fase simbolik, yaitu dunia

bahasa, dunia tanda, simbolisasi, makna dan representasi semua gambaran. Fase ini

merupakan kesadaran, karena pada tahap ini seorang anak yang berusia 6-18 bulan

telah mampu menggerakkan motoriknya dan telah mengenali bayangan dirinya

sendiri di cermin (the mirror stage). Ia telah menemukan egonya dan mulai

memasuki fase simbolik. Ego adalah bagian dari konsekuensi antara keistimewaan

dan hubungan-hubungan yang secara psikologis terbentuk oleh masyarakat sosial,

yaitu hubungan antara self, others, dan gambaran tubuh yang dengan kata lain

mengatur adanya subjek dan objek.

Pemikiran Lacan dikembangkan oleh Cixous dengan mengatakan bahwa laki-

laki dan perempuan memasuki dunia simbolik dengan cara yang berbeda. Menurut

Cixous, perempuan bisa memasuki dunia simbolik dengan cara mengonstruksikan

bahasanya sendiri untuk menyuarakan dunia perempuan, yaitu perempuan harus

mampu menuliskan pengalamannya, kesenangannya, hasratnya, dan juga

seksualitasnya dengan penulisan yang berasal dari seluruh tubuhnya. Penulisan yang

dimaksud Cixous merupakan penulisan yang berangkat dari ketidaksadaran menuju

ke ketidaksadaran, sesuatu yang direpresi yang berhubungan erat dengan tubuh dan

seksualitas perempuan. Dunia dan tubuh ibu (perempuan) dekat dengan dunia

imajiner (fase pre-oedipal), sedangkan dunia simbolik merupakan fase law of the

father. Cixous menentang bahwa fase pre-oedipal merupakan non-signifiying atau

berada di luar bahasa.

2.3. Cixous dan Beauvoir

Cixous menulis écriture feminine yang bangkit setelah Simone de Beauvoir

The Second Sex (1949). Cixous memiliki fokus pemikiran tentang perempuan

sebagai the other (yang lain). Cixous menulis tentang identitas dan kegemarannya

dalam menyerang "penulis konvensional" sebagaimana Derrida, dan sekaligus ikut

menginterpretasi kembali pemikiran Freudian yang tradisional. Cixous menulis teori

dalam bentuk seni dan memotivasi para perempuan untuk mengubah jalan mereka

Page 7: Makalah cixous

7

dan kemudian melakukannya dalam dunia nyata. Namun dalam mengenal konsep the

other, ada perbedaan pemikiran antara Cixous dengan Beauvoir. Beauvoir

memposisikan dan mengasosiasikan the other dengan penindasan dan inferioritas, ia

erat meneliti hal yang tak terhitung jumlahnya yang mana laki-laki telah membuat

dirinya menjadi subjek aktif dalam rangka memperlakukan perempuan sebagai objek

pasif, sedangkan Cixous mengarahkannya pada cara berpikir, berbicara menuju pada

keterbukaan, pluralitas dan difference (konsep tentang perbedaan) yang telah

meletakkan dasar untuk memahami penindasan perempuan. Beauvoir dalam buku-

bukunya tidak pernah benar-benar pergi ke pertanyaan tentang peran bahasa seperti

yang diutarakan Cixous yang membentuk pengalaman perempuan.

Page 8: Makalah cixous

8

BAB III

PEMIKIRAN CIXOUS

3.1. Menulis sebagai Tindakan Revolusioner

“And why don’t you write? Write! Writing is for you, you are for you; your

body is yours, take it.”, Hélène Cixous dalam the laugh of the Medusa.

Inilah yang dikatakan Cixous dalam tulisannya yang berjudul ‘the laugh of

the Medusa’. Menurut Cixous, menulis merupakan sesuatu yang harus dilakukan

oleh setiap perempuan. Dengan menulis, perempuan akan dapat mengubah dunia dan

akan mengonstruksikan kembali pandangan masyarakat tentang perempuan.

Perempuan harus memasukan dirinya ke dalam teks dan menulis untuk dirinya

sendiri juga untuk perempuan yang lain untuk memberikan wawasan kepada

perempuan lainnya tentang tubuh mereka dan tentang keunggulan yang mereka

punya yang mereka tidak sadari. Seorang perempuan adalah seorang penulis yang

baik. Ketika seorang perempuan menulis, mereka akan membawa pengalaman dan

ketidaksadaran dalam dirinya (unconsious) ke dalam teks sehingga yang

membacanya akan dapat memahami perempuan yang sebenarnya seperti apa.

Menulis bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah bagi perempuan. Cixous

menyadari hal ini. Ia mengatakan bahwa kesulitan dalam menulis disebabkan oleh

kegiatan ini bernilai tinggi dan biasanya dikerjakan oleh laki-laki. Cixous

menganggap hal ini sebagai hal yang konyol. Rata-rata perempuan hanya menulis

untuk dirinya sendiri dengan cara diam-diam. Maka dari itu, dalam setiap karyanya,

Cixous bukan hanya mengajak menulis tentang perempuan tetapi ia juga mengajak

perempuan untuk turut menulis. (Cixous dalam Cohen, 1976: 876-877)

Dalam ajakannya kepada para perempuan untuk menulis, terdapat dua tujuan

yang sebenarnya ingin disampaikan dan diperjuangkan Cixous; membebaskan

perempuan dari tirani rasionalitas dan membebaskan perempuan dari pandangan

budaya terhadapnya. (Lie dalam Jacobus, 1999: 2) Dua hal ini jelas dapat dicapai jika

seorang perempuan menulis. Dalam ‘écriture féminine’, Cixous menjelaskan bahwa

terdapat sejumlah keunggulan dan signifikansi jika seorang perempuan menulis.

Page 9: Makalah cixous

9

Dunia bahasa adalah dunia laki-laki. Bahasa, tanpa kita sadari, telah diatur

oleh pola pikir rasional laki-laki. Bukan hanya bahasa sebenarnya tetapi hampir

seluruh pola pikir di dunia ini merupakan pola pikir rasional laki-laki. Untuk

memperlihatkan eksistensinya, perempuan tentu harus menggunakan pola pikir laki-

laki ini. Meskipun demikian, Cixous mengajak para perempuan untuk tidak terjebak

pada apa yang telah diatur oleh pola pikir maskulin. Cixous mengatakan bahwa

perempuan akan menulis dengan tinta putih sedangkan laki-laki dengan tinta hitam.

Cixous mengajak perempuan untuk menulis kisah tentang dirinya, tentang

kebahagiaan, hasrat, perasaan, tubuh, dan seksualitasnya. Cixous mengajak

perempuan untuk menulis dengan gaya mereka sendiri. Dengan demikian, tulisan

feminin (écriture féminine) tentu akan berbeda dengan tulisan maskulin (écriture

masculine).

Tulisan maskulin yang selalu dianggap lebih baik daripada tulisan feminin

tentu akan berubah. Ketika seorang perempuan menulis tentang dirinya, secara tidak

langsung oposisi biner yang dibangun oleh logika laki-laki selama ini

(logosentrisme) yang terdapat dalam teks dan terkonstruksi dalam masyarakat akan

terhapus. Ketika seorang perempuan menulis, segala sisi pasif dan negatif yang

dilekatkan pada dirinya akan berubah. Dengan menulis, perempuan akan menjadi

subjek dari tulisannya. Predikat pasif yang disematkan kepada perempuan akan

hilang karena dengan menulis perempuan akan melakukan hal yang aktif dan

menjadikan dirinya subjek bukan objek seperti apa yang terkonstruksi dalam

masyarakat.

Cixous meminjam teori psikonalisa yang dikemukakan Lacan tentang tiga

fase kehidupan manusia seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya; tahap real,

tahap imajiner, dan tahap simbolik. Ketika seorang anak memasuki tahap imajiner, ia

baru menyadari bahwa dirinya terpisah dengan diri ibunya. Kemudian si anak akan

memasuki tahap simbolik ketika ia mulai mengenal keteraturan bahasa dan mulai

timbul bahwa terdapat kekurangan dalam dirinya yang harus ia penuhi (hasrat).

Ketika si anak memasuki tahap simbolik, anak laki-laki akan merasakan bahwa

dirinya berbeda dengan ibunya karena ibu tidak memiliki penis. Ia melihat sosok

sang ayah yang sama dengan dirinya dan ia segera mengidentifikasi dirinya sama

dengan diri ayahnya. Pada tahap simbolik, anak perempuan akan merasa kesulitan

untuk mengidentifikasikan dirinya. Ia tidak sama dengan ayahnya dan bukan juga

Page 10: Makalah cixous

10

diri ibunya. Dari sinilah, anak perempuan menyadari ada kekurangan secara anatomi

tubuhnya karena ia tidak memiliki penis dan menjadikan lebih sulit serta harus

menerima kehadiran orang lain dalam hidupnya.

Dalam memasuki tahap simbolik, menurut Cixous, perempuan memiliki

caranya sendiri untuk mengidentifikasi dirinya. Karena perbedaan dirinya, ia

dibiasakan oleh masyarakat untuk menerima kehadiran orang lain (laki-laki) dalam

hidupnya. Dalam masyarakat, perempuan sering kali direpresi. Hal ini justru bukan

menjadi kelemahan bagi perempuan ketika ia menulis. Ini akan menjadi kelebihan

perempuan karena ketika ia menulis, tulisannya akan berterima secara feminin dan

maskulin. Berbeda dengan tulisan maskulin yang hanya berujung dan mengacu pada

libido laki-laki dan rasionalitasnya, tulisan feminin justru akan menjadi biseksual.

Tulisan feminin akan mampu menunjukkan sisi femininnya sendiri dan berterima

secara maskulin.

“The future must no longer be determined by the past. I do not deny that the

effects of the past are still with us. But i refuse to strengthen them by repeating them,

to confer upon them an irremovability the equivalent of the destiny, to confuse the

bilogical and the cultural. Anticipation is imperative”, Cixous dalam the laugh of the

Medusa.

3.2. Mastery sebagai Tindakan Patriarkis

Cixous dalam artikelnya “The Newly Born Woman” (Eagleton 1992: 110-

134), membahas tentang wacana perempuan, patriarki, dan mastery. Pada

pembahasan ini, Cixous menyerap konsep dekonstruksi Derrida. Derrida berkata

bahwa kebenaran mutlak sebenarnya tidak pernah ada karena selalu ada jurang

pemisah, salah satunya budaya, antara pengertian benar seseorang dan orang lain.

Wacana tentang kebenaran satu orang dengan orang lain berbeda. Kebenaran

universal hanya dapat terjadi bila ada persetujuan antara suatu kaum yang meyakini

kebenaran hal itu.

Cixous dengan pemikiran feminisnya mengungkapkan bahwa patriarkisme

tidak bisa dibahas dalam satu wacana saja. Menurutnya selalu akan ada banyak

wacana feminin. Bila ada lebih dari satu perempuan dalam pembahasan tentang

Page 11: Makalah cixous

11

patriarkisme, maka akan sangat mungkin muncul lebih dari satu wacana pula. Tidak

semua menganggap patriarkisme salah ataupun benar secara absolut.

Dalam artikel ini, Cixous mengangkat mastery sebagai tindakan patriarkis.

Walaupun hal ini adalah sesuatu yang bersifat represif terhadap perempuan, tapi

tidak perempuan menggap itu sesuatu yang salah. Menurutnya mastery adalah suau

posisi yang tinggi dan satu-satunya cara untuk menuju posisi itu adalah dengan

membunuh atau “menghapuskannya”. Pekerjaan apa pun yang dikerjakan sang

master, menurut perempuan yang ada dibawahnya adalah sesuatu yang suci dan tidak

terjangkau, sehingga terlihat sekali hirarki master dan mistress.

Menurut Cixous, untuk berada di posisi master, seseorang harus memiliki

pengetahuan, seperti yang dikatakan Foucault bahwa ilmu pengetahuan adalah

power. Namun, bagi perempuan, sebanyak apa pun ilmu pengetahuan yang ia miliki,

ia tidak akan pernah sampai pada posisi master. Biar pun perempuan memiliki

pengetahuan yang banyak, tetapi ia akan tetap dalam posisi no-knowledge atau

knowledge-without-power. Saat seseorang, memiliki pengetahun yang luas, maka

sulit baginya untuk menjadi tidak agresif. Namun saat agresifitas itu ditahan, maka

akan ada gangguan dalam diri seseorang. Cixous melihat ini pada kasus histeria

Dora1.

Ada banyak wacana feminin mengenai buruknya mastery. Namun bagi

perempuan yang merasa hidupnya bahagia sebagai mistress akan beranggapan bahwa

mastery adalah sesuatu yang benar. Menurut Cixous, prempuan harus berada di

posisi yang lemah agar mengetahui keburukan dari master-nya dan dapat mengambil

kendali situasi.

3.3 Seni Peran sebagai Aksi Nyata

Hélène Cixous adalah feminis yang paling menekankan agar perempuan

menulis. Ia sendiri menggunakan sastra untuk mengungkapkan ide-idenya. Namun

menurutnya, menulis saja tidak cukup, perempuan harus tampil karena menulis itu

1 Kasus histeria seorang perempuan bernama Dora yang diteliti oleh Sigmund Freud. Freud

menggunakan contoh kasus ini untuk menerangkan teori tafsir mimpinya.

Page 12: Makalah cixous

12

bersifat privat, sedangkan tampil itu publik (Turner dalam Jacobus 1999: 187).

Penampilan sama dengan kemungkinan. Seperti yang diungkapkan Cixous (1981)

“Writing is the very posibility of change, the space that can serve as a springboard

for subversive thought, the precursory movement of a transformation of social and

cultural structures” (Turner 1999: 198). Menurutnya, menulis adalah sebuah

dorongan, dan tampil adalah aksi nyata.

Perempuan tidak akan terlepas dari fokus pada tubuhnya. Maka dari itu

Cixous menekankan agar perempuan menulis dengan tubuhnya. Cara ini juga

menurutnya adalah cara perempuan untuk tampil dan mebuat dirinya masuk ke ranah

publik. “Women can only write with their bodies because feminine language cannot

be separated from feminine being if it’s to remain in the hands of women” (Turner

1999 :190)

Penampilan pastilah tidak bisa dipisahkan dengan peran dan acting. Agar

perempuan dapat tampil di ranah publik maka ia harus bisa beracting. Pada

hakikatnya acting adalah sebuah sistem sosial yang didefinisikan oleh laki-laki, tetapi

prempuan sebagai aktor bukanlah sesuatu yang baru. Menurut Cixous, perempuan

adalah aktor sosial yang memainkan peran yang ditentukan oleh laki-laki melalui

keinginan. Perempuan ibarat selalu dalam masquerade; selalu dengan representasi

palsu, penuh acting dan menggoda. Perempuan selalu memiliki citraan simbolis yang

bukan dirinya.

Cixous lebih mendorong perempuan untuk menjadi penampil dibandingkan

aktor. Alasanya, penampil hanya bisa dibentuk sebagai dan melalui dirinya, sehingga

ia tetap dalam dirinya yang sama. Di sisi lain, aktor memerankan sebuah peran

melalui tubuh. Tubuh perempuan sudah menjadi sarana bagi laki-laki untuk

mendefinisikan peran perempuan. Desakan Cixous ini diharapkan dapat

mengembangkan fungsi tubuh perempuan yang sebelumnya hanya menjadi

panggung pasif, menjadi penampil aktif dari dirinya sendiri. Selain itu, Cixous

menambahkan bahwa selain menjadi penampil, perempuan sebaiknya juga menjadi

penonton. Pada saat ia menonton, ia bisa menyerap pelajaran bagaimana menjadi

feminin dari perempuan dan bisa mengaplikasikan pada hidupnya.

Dalam seni pertunjukkan teater, sebelum dimulainya pertunjukkan, pastilah

ada momen black out untuk menyatukan fokus penonton pada saat lampu pertama

Page 13: Makalah cixous

13

dinyalakan. Menurut Cixous, menulis bagi perempuan efeknya harus sama dengan

momen black out pertama pada pertunjukkan teater. Menulis harus menjadi sesuatu

yang memacu keresahan dalam diri perempuan dan saat dikeluarkan menjadi sesuatu

yang fenomenal.

Page 14: Makalah cixous

14

PENUTUP

Pemikiran Cixous ternyata tidak lepas dari filsuf-filsuf Prancis lainnya

seperti Jacques Derrida, Jacques Lacan, dan Simone de Beauvoir. Pemikiran

mengenai dekonstruksi dan le don (pemberian atau hadiah) dari Derrida, konsep

the mirror stage Lacan, serta konsep other Beauvoir telah menginspirasi Cixous

dalam mengembangkan pemikiran feminisnya yang terkenal, yaitu écriture

feminine.

Melihat dari hal ini semua, dapat kita simpulkan bahwa seorang

perempuan yang menulis tentang dirinya, hasratnya, dan seksualitasnya dengan

membawa tubuhnya masuk ke dalam teks akan meruntuhkan logosentrisme yang

selama ini dibangun oleh kaum laki-laki. Alam bawah sadarnya akan dapat

menunjukkan kondisi diri yang sebenarnya. Tulisan perempuan akan mengukir

sejarah yang berbeda seperti apa yang telah dikonstruksikan masyarakat tentang

perempuan sebelumnya. Perempuan yang selalu dilekatkan pada oposisi biner

yang pasif, negatif, inferior akan menghilang dengan tulisan perempuan. Dengan

demikian, menulis merupakan suatu tindakan revolusioner yang dapat mengubah

padangan dunia tentang perempuan dan meruntuhkan rasionalitas yang telah

dibangun selama ini.

Cixous juga menambahkan bahwa selain menulis, perempuan juga harus

tampil di depan publik untuk membuat dirinya masuk ke ranah publik, karena

tulisan perempuan akan menjadi sesuatu yang fenomenal ketika ditampilkan.

Page 15: Makalah cixous

15

DAFTAR PUSTAKA

Brooks, Ann. (2009). Posfeminisme & cultural studies sebuah pengantar

paling komprehensif. Cetakan ke-5. Yogyakarta: Jalasutra.

Cetorelli, Valecia. n.d. Re-thinking Subjectivity in French Psycolinguistics

Feminism: A Path through Irrigaray, Cixous, and Kristeva. Essex Graduate

Journal of Sociology, 10, 24-34.

Cixous, H. dan Clément, C. (1992). The newly born woman. dalam

Eagleton, M (ed.). Feminist literary critisism (hlm 110-134). New York:

Longman.

Cixous, Hélène. (1976). The Laugh of the Medusa (K. Cohen., dan P.

Cohen., Penerjemah.). Chicago Journals, I (4), 875-893.

Conley, Verena Andermatt. (1991). Hélène Cixous: writing the feminine,

expanded edition. London: University of Nebraska Press.

Crawford, Ami S. (2006). Dis/eruption Hélène Cixous’s Écriture Féminin

and the Retoric of Material Idealism. Feminisma/s, 7, 41-56.

Ferwerda, Susanne. n.d. The force of literature as philosophy’s

other.Hélène Cixous’s writing in the margins of philosophy. May 1, 2014.

https://www.academia.edu/3776861/The_Force_of_Literature_as_Philosophys_Ot

her._Helene_Cixouss_Writing_in_the_Margins_of_Philosophy

Jacobus, Lee A., dan Regina Barreca. (1999). Hélène Cixous: Critical

Impressions. Connecticut: Gordon and Breach Publishers.

Yuniarti Nur Hanifah. (2005). “Bahasa” penulis perempuan dalam

perspektif Hélène Cixous : studi kasus cerpen "Sagra" karya Oka Rusmini dan

cerpen "Mereka bilang, saya monyet!” karya Djenar Maesa Ayu. Tesis. Depok:

Universitas Indonesia.