Makalah BPH-Gagal Ginjal

48
TUGAS FARMAKOTERAPI LANJUT BPH- GAGAL GINJAL OLEH ROZANA FITRIANI (90713337) YENI SUWITA (90713346) PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER SEKOLAH FARMASI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2014

Transcript of Makalah BPH-Gagal Ginjal

TUGAS

FARMAKOTERAPI LANJUT

BPH- GAGAL GINJAL

OLEH

ROZANA FITRIANI (90713337)

YENI SUWITA (90713346)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

SEKOLAH FARMASI

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2014

Beningna Prostatic Hyperplasia (BPH)

Pendahuluan

BPH atau Tumor prostat jinak adalah pertumbuhan berlebihan dari sel-sel prostat yang tidak ganas. Pembesaran prostat jinak akibat sel-sel prostat memperbanyak diri melebihi normal. Suatu kondisi yang terjadi hampir dimana-mana terutama di Amerika Serikat dan biasa dialami laki-laki berusia di atas 50 tahun. Pria berumur lebih dari 50 tahun, kemungkinannya memiliki BPH adalah 50%.Ketika berusia 80–85 tahun, kemungkinan itu meningkat menjadi 90%.

Anatomi Prostat

Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang terletak di sebelah inferior buli-bulidan membungkus uretra posterior. Paling sering mengalami pembesaran, baik jinak maupun ganas. Bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra pars prostatika dan menghambat aliran urin keluar dari buli-buli. Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan Pembesaran Prostat Jinak (PPJ) yang menghambat aliran urin dari buli-buli. Pembesaran ukuran prostat ini akibat adanya hiperplasia stroma dan sel epitelial mulai dari zona periurethra.

Gambar 1. Perbedaan prostat normal dan prostat yang membesar akibat BPH

Kelenjar Prostat terdiri dari atas 3 jaringan :

Epitel atau glandular stromal atau otot polos kapsul.

Jaringan stromal dan kapsul ditempeli dengan reseptor adrenergik α1, seperti terlihat pada gambar dibawah ini :

Gambar 2. Kelenjar prostat dan reseptor αadrenergik

Bentuk kelenjar prostat sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan zona periurethra. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional, sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.

Insiden & Epidemiologi

Di seluruh dunia, hampir 30 juta pria yang menderita gejala yang berkaitan dengan pembesaran prostat, di USA hampir 14 juta pria mengalami hal yang sama.BPH merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih. Sebagai gambaran hospital prevalence, di RS Cipto Mangunkusumo ditemukan 423 kasus pembesaran prostat jinak yang dirawat selama tiga tahun (1994 -1997) dan di RS Sumber Waras sebanyak 617 kasus dalam periode yang sama.Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya semakin meningkat, diperkirakan sekitar 5% atau kira-kira 5 juta pria di Indonesia berusia 60 tahun atau lebih dan 2,5 juta pria diantaranya menderita gejala saluran kemih bagian bawah (Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) akibat BPH. BPH mempengaruhi kualitas kehidupan pada hampir 1/3 populasi pria yang berumur > 50 tahun.

Etiologi

Hingga sekarang, penyebab BPH masih belum dapat diketahui secara pasti,tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya denganpeningkatan kadar

dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Selain Umur dan keadaan hormonal, etiologi pencetus BPH lainnya adalah Kondisi kronis, seperti diabetes dan hipertensi; Merokok; Vasektomi; Obesitas dan Konsumsi alkohol berlebiha Dari faktor-faktor tersebut etiologi utama dari penyakit BPH adalah umur dan keadaan hormonal dari lelaki usia lanjut diatas umur 50 tahun.

Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat:

1. Teori dihidrotestosteronPertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormontestosteron. Dimana pada kelenjar prostat, hormon ini akan dirubah menjadimetabolit aktif dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5 α –reduktase. DHT inilah yang secara langsung memicu m-RNA di dalam sel-selkelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacupertumbuhan kelenjar prostat.

Gambar 3. Perubahan Testosteron menjadi Dihidrotesteron oleh enzim5 α – reduktase

Pada berbagai penelitian, aktivitas enzim 5 α – reduktase dan jumlahreseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-selprostat menjadi lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebihbanyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.

Gambar 4. Teori Dihidrotestosteron dalam Hiperplasia Prostat

2. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron

Pada usia yang makin tua, kadar testosteron makin menurun,sedangkan kadar estrogen relatif tetap, sehingga perbandingan estrogen : testosteron relatif meningkat. Estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkansensitivitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Akibatnya, dengan testosteron yang menurun merangsang terbentuknya sel-sel baru, tetapi sel-sel prostat yang telah adamempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar.

3. Interaksi stroma-epitel

Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan selselepitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor). Setelah sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel stroma itu sendiri, yang menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun stroma.

4. Berkurangnya kematian sel prostat

Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologikhomeostatis kelenjar prostat. Pada jaringan nomal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat sehingga mengakibatkan

pertambahan massa prostat. Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat.

5. Teori sel stem

Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selaludibentuk sel-sel baru. Dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini bergantung pada hormon androgen, dimana jika kadarnya menurun (misalnya pada kastrasi), menyebabkan terjadinya apoptosis. Sehingga terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH diduga sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

Patofisiologi Hiperplasia Prostat

Pembesaran prostat menyebabkan terjadinya penyempitan lumen uretra parsprostatika dan menghambat aliran urin sehingga menyebabkan tingginya tekanan intravesika. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan, menyebabkan terjadinya perubahan anatomik buli-buli, yakni: hipertropi otot destrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS).

Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidakterkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini menimbulkan aliran balik dari buli-buli ke ureter atau terjadinya refluks vesikoureter. Jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan jatuh ke dalam gagal ginjal.

Menurut Dipyro, Patogenesis BPH secara umum digambarkan hasil dari :

Faktor statik Pembesaran prostat yang berhubungan dengan stimulasi androgen pada jaringan epitel.

Faktor dinamik Berlebihnya alfa adrenergik yang menyebabkan kontraksi kelenjar prostat dan lumen uretra menyempit.

Manifestasi Klinis

Gejala pada saluran kemih bagian bawah

Manifestasi klinis timbul akibat peningkatan intrauretra yang pada akhirnya dapat menyebabkan sumbatan aliran urin secara bertahap. Meskipun manifestasi danberatnya penyakit bervariasi, tetapi ada beberapa hal yang menyebabkan penderitadatang berobat, yakni adanya LUTS.

Keluhan LUTS terdiri atas gejala obstruksi dan gejala iritatif. Gejala obstruksiantara lain: hesitansi, pancaran miksi melemah, intermitensi, miksi tidak puas,menetes setelah miksi. Sedangkan gejala iritatif terdiri dari: frekuensi, nokturia, urgensi dan disuri.

Untuk menilai tingkat keparahan dari LUTS, bebeapa ahli/organisasi urologi membuat skoring yang secara subjektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.Sistem skoring yang dianjurkan oleh WHO adalah international Prostatic SymptomScore (IPSS). Sistem skoring IPSS terdiri atas 7 pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan LUTS dan 1 pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hiduppasien. Dari skor tersebut dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:

- Ringan : skor 0-7- Sedang : skor 8-19- Berat : skor 20-35

Tabel 1. Kategori Keparahan penyakit serta gejala BPH

KeparahanPenyakit

KekhasanGejaladanTanda

Ringan AsimtomatikKecepatanurinaripuncak<10 mL/s

Volume urin residual setelahpengosongan>25-50 mL

Sedang Semuatandadiatasditambahgejalapengosonganobstruktifdangejalapengosongan iritatif

Parah Semuatanda diatas ditambahsatuataulebihkomplikasi BPH

Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan dapat berupa gejala obstruksi antara lain, nyeri pinggang, benjolan di pinggang (hidronefrosis) dan demam (infeksi, urosepsis).1

Gejala diluar saluran kemih

Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau hemoroid, yang timbul karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal.

Pemeriksaan BPH

Seseorang dapat diketahui menderita BPH dilihat dari beberapa pemeriksaan dibawah ini :

1. Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang penuh dan

terabamassa kistik si daerah supra simpisis akibat retensi urin.1 Pemeriksaan colok duburatau Digital Rectal Examination (DRE) merupakan pemeriksaan fisik yang pentingpada BPH, karena dapat menilai tonus sfingter ani, pembesaran atau ukuran prostatdan kecurigaan adanya keganasan seperti nodul atau perabaan yang keras. Pada pemeriksaan ini dinilai besarnya prostat, konsistensi, cekungan tengah, simetri,indurasi, krepitasi dan ada tidaknya nodul.

Gambar 5. Pemeriksaan colok dubur

Colok dubur pada BPH menunjukkan konsistensi prostat kenyal, sepertimeraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris, dan tidak didapatkan nodul.Sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat keras dan teraba nodul, danmungkin antara lobus prostat tidak simetri

2. Pemeriksaan Laboratorium Pengukuran kadar Prostate-specific antigen (PSA)

Pengukuran Prostate-specific antigen (PSA) Dalam kasus di mana bentuk kelenjar prostat terganggu, PSA akan bocor ke dalam sirkulasi. Pada penderita BPH kadar PSA meningkat 30-50% dari normal. Naumun hati-hati pada pengukuran kadar PSA, karena PSA juga merupakan indikator adanya kanker prostat. Pada kanker prostat, PSA yang ditemukan adalah sebesar lebih dari 8 ng/mL, sedangkan pada BPH kadar PSA yang ditemukan adalah sebesar 2-3 ng/mL.

Pengukuran kadar kreatinin obstruksi kandung kemih karena BPH dapat menyebabkan hidronefrosis dan gagal ginjal. Ketika disfungsi ginjal ditemukan kadar kreatinin dalam darah tinggi.

3. RadiologiRadiologi untuk mengetahui ukuran prostat dan bentuk prostat.

4. Endoskopi menggunakan uretrosistokopi.

Terapi BPHa. Terapi farmakologi

Penanganan BPH berbeda-beda tergantung dari berat ringannya gejala BPH. Berikut adalah tindakan farmakologi dari pasien BPH:

Gambar 6. Algoritma manajemen terapi BPH

Manajemen terapi BPH tergantung pada keparahan penyakit :1. Jika gejala ringan, maka pasien cukup dilakukan watchful waiting.

Watchful waiting meliputi perubahan modifikassi gaya hidup, yaitu tidak mengkonsumsi alkohol dan kafein serta mengurangi minum saat hendak tidur. Setelah 12 bulan pasien diminta untuk kembali pada dokter dan memeriksakan penyakitnya.

2. Jika gejala sedang, maka pasien diberikan obat tunggal αblocker atau inhibitor 5α- reductase. Jika keparahan berlanjut maka obat yang diberikan bisa dalam bentuk kombinasi keduanya. Berikut mekanisme obat tersebut :

a. α Blockermekanisme kerja: memblok reseptor adrenergik α 1 sehingga mengurangi faktor dinamis pada BPH dan akhirnya berefek relaksasi pada otot polos prostat. α Blocker dibagi menjadi 3 generasi, yakni :

generasi pertama : phenoxybenzaminmerupakan antagonis presinaptik adenerik α2, dan dapat menyebabkan takikardia dan aritmia.

Generasi kedua : doxazosin, prazosin, terazosin dan alfuzosin, dapat mengakibatkan hipotensi dan pusing.

Generasi ketiga : tamsulosinMerupakan α Blockeryang bekerja selektif ke kelenjar prostat

Yang perlu diperhatika pada pemakaian obat ini adalah jika pasien tidak mengalami perubahan pada 8 minggu pengobatan dapat dihentikan. Pemakaian obat generasi pertama sudah digantikan dengan penggunaan obat generasi kedua, dikarenakan efek merugikan ke jantung dan pembuluh darah yang besar takikardia dan aritmia. Ini terjadi karena obat generasi pertama seperti phenoxybenzamin bersifat antagonis terhadap reseptor α2 presinaptik sehingga dapat menyebabkan takikardia dan aritmia. Sementara generasi kedua seperti prazosin dan doxazosin memiliki sifat antagonis terhadap α1 adrenergik.

Penggunaan generasi ketiga satu-satunya yaitu tamsulosin diduga lebih efektif dibanding penggunaan generasi kedua. Ini dikarenakan generasi ketiga menghambatreseptorα1 adrenergik khusus pada reseptor prostat. Selain itu, AUA guideline merekomendasikan penangana BPH menggunakan tamsulosin karena memiliki keuntungan hanya dikonsumsi satu kali sehari dibandingkan dengan prazosin dengan dosis 2-3 kali sehari serta efek cardiovascular seperti prazosin tidak muncul.

Tabel 2. Dosis dan cara pakai α Blocker

b. inhibitor 5α-reduktasemekanisme kerja dari obat ini adalah mengurangi volume prostat dengan menurunkan kadar hormon testosteron. 5α-reduktase inhibitors digunakan jika pasien tidak dapa mentolerir efek samping dari alfa blocker.

Tabel 3. macam-macam obat golongan 5α-reduktase

Perbandingan α Blocker dan inhibitor 5α-reduktase

Tabel 4 . Perbandingan α Blocker dan inhibitor 5α-reduktase

Pada α Blocker efek merugikan terhadap sistem kardiovaskuler, sedangkan pada inhibitor 5α-reduktase efek merugikan pada disfungsi sesual dan merupakan obat yang dihindari oleh pasien seksual aktif.

3. OperasiPasien BPH yang mempunyai indikasi pembedahan:1

Tidak menunjukkan pebaikan setelah terapi medikamentosa Mengalami retensi urin Infeksi Saluran Kemih berulang Hematuri Gagal ginjal Timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi

salurankemih bagian bawah.

Jenis pembedahan yang dapat dilakukan:

Pembedahan terbuka (prostatektomi terbuka)Paling invasif dan dianjurkan untuk prostat yang sangat besar (±100 gram).

Pembedahan endourologiOperasi terhadap prostat dapat berupa reseksi (Trans Urethral Resection of the Prostat/TURP), Insisi (Trans Urethral Incision of the Prostate/TUIP) atau evaporasi.

Selain tindakan invasif tersebut diatas, sekarang dikembangkan tindakaninvasif minimal, terutama yang mempunya resiko tinggi

terhadap pembedahan Tindakan tersebut antara lain: termoterapi, Trans Urethral Needle Ablation of theProstat/TUNA, pemasangan stent, High Intensity Focused Ultrasound/HIFUserta dilatasi dengan balon (Transuethral Ballon Dilatation/TUBD).

Gambar 7. Trans Urethral Resection of the Prostat/TURP

Komplikasi BPH

Menurut dipyro, BPH dapat berkembang dan menghasilkan komplikasi dari penyakit-penyakit lain, meskipun kecepatan perkembangannya sangat bervariasi pada semua pasien. Komplikasi yang dapat terjadi dari BPH adalah :

Retensi urin yang dapat menyebabkan gagal ginjal akut Hematuria Penyakit infeksi saluran kemih Batu ginjal Gagal ginjal kronis dari penyumbatan kandung empedu

GAGAL GINJAL

1. Pendahuluan

Di dalam tubuh ginjal memiliki 3 fungsi, yaitu fungsi eksresi, metabolic, dan

endokrin. Fungsi eksresi ginjal berkontribusi penting dalam menjaga homeostatis

tubh dengan ekskresi air, elektrolit, dan substansi endogenik seperti urea dan

toksin (racun) melalui urin. Dalam proses ekskresi dibagi dalam tiga proses

umum yaitu :

a. Filtrasi

Filtrasi adalah proses difusi pasif dimana berfungsi untuk mengeluarkan

cairan/molekul yang kurang dari 5 sampai 10 kDa. Mekanisme

penyaringannya adalah molekul berdifusi dari membrane glomerulus ke

kapilaritas Bowman dan masuk ke dalam tubulus proksimal, dan proses

dilanjutkan ke sekresi.

b. Sekresi

Sekresi adalah proses selanjutnya dimana terjadi transport aktif dengan

cara transport anionic dan kationik, eksogen dan endogen bersihan ginjal

secara aktif. Beberapa zat yang memiliki efisien yang tinggi terhadap

anionic dan kationik dapat meningkatkan GFR (Glomerulus Filtration

Flow) sebagai contoh bisa dalam rentang 600 sampai 1000 mL/min.

seperti probenesid.

c. Reabsorbsi

Proses reabsorbsi merupakan proses mereasorbsi kembali larutan yang

melewati nefron. Reaksi reabsorbsi terjadi pada pembuluh distal. Aliran

urin dan karakteristik fisikokimia dari molekul mempengaruhi proses ini.

Molekut yang sangat terionisasi tidak direabsorbsi kembali kecuali jika

pH nya berubah dengan meningkatkan fraksi yang tidak terionisasi di

urin proses reabsorbsi dapat difasilitasi

a) Urinary sistem; b) ginjal; c) nefron, unit yang berfungsi di ginjal.

Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami

penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal

penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat

kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi urin.

Penyakit gagal ginjal berkembang secara perlahan kearah yang semakin buruk

dimana ginjal sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya.

Dalam dunia kedokteran dikenal 2 macam jenis gagal ginjal yaitu gagal ginjal

akut dan gagal ginjal kronis.

2. Jenis Gagal Ginjal

2.1 Gagal Ginjal Akut

a. Definisi

Gagal ginjal akut (GGA) secara luas didefinisikan sebagai penurunan

glomerular filtration rate (GFR) yang berlangsung cepat umumnya dalam beberapa

jam, kadang-kandang sampai berminggu-minggu yang berhubungan dengan

akumulasi dari bahan pembuangan termasuk urea dan kreatinin. Jika dibandingkan

dengan urin normal yang urin output (UOP) ≥1.200 mL/hari, pasien dengan ARF

dikategorikan mengalami anuria dengan UOP ≤50 mL/hari, oligouria dengan UOP

≤500 mL/hari dan non oligouria >500 mL/hari.

b. Epidemiologi

Gagal ginjal akutadalah kondisi yang tidak biasa dengan insidedn kejadian

sebesar 0,02% . pada pasien non-rumah sakit (rawat jalan) dengan dehidrasi paparan

terkena obat-obatan misalnya pada obat-obatan gagal jantung meningkatkan resiko

terkena gagal ginjal akut. Disamping itu, trauma, rhabdomalitas, thrombosis

pembuluh darah, dan obat-obatan meningkatkan resiko gagal ginjal akut. Obat-

obatan yang dapat meningkatkan resiko GGK seperti media kontras, obat-obat

kemoterapi, nonsteroidal antiinflamation drug (NSAID), angiostensisn converting

agent inhibitors (ACEI), angiostensin reseptor blocker dan obat- obatan anti virus.

Pada pasien rumah sakit (rawat inap) meningkat resiko terkena GGK insiden

dilaorkan mencapai 7%. Insiden GGK ditandai dengan pasien dengan penyakit kritis

sebesar 6-23% dan angka kematian dikarenakan GGK mencapai 35-80% menjadi

wacana para dokter karena obat yang ditemukan tidak membawa perubahan selama 4

dekade terakhir. Akan tetapi, 90% individu dengan gagal ginjal sembuh dapat

kembali hidup normal.

Kaslifikasi RIFLE untuk Gagal Ginjal Akut. ( ESRD= End Stage Renal

Disease; GFR= Glomerular Filtration Rate; Scr= Serum Creatinin)

Untuk melihat keberhasilan terapi dapat dilihat dari uop pada pasien non

hospital nonoligouria, pada pasien rumah sakit nonoligouria dan menghindarkan

penyebab nefrotoksik, pada pasien ICU dilihat prerenal, post renal, nonoligouria,

nefrotoksik, dan mencegah hiperglicemia.

c. Etiologi

Faktor resiko penyakit gagal ginjal meliputi : lanjut usia, penyakit hati,

penyakit ginjal, rawat rumah sakit, gagal jantung, hipertensi, diabetes mellitus,

penyakit arteri perfier.

Etiologi dari gagal ginjal akut dapat dibagi berdasarkan anatomi tempat terjadi

penyakit/ luka. Secara tradisional penyebab GGK berdasarkan : a) prerenal, dimana

menyebabkan perfusi ginjal yang mengakibatkan kerusakan pada parenkim ginjal b)

intrinsik, hasil dari kerusakan ginjal kebanyakan pada tubulus akibat iskemik atau zat

yang menyebabkan toksik pada ginjal c) postrenal, disebabkan oleh obstruksi aliran

urin dari ginjal.

a. Prerenal

Faktor penyebab terjadi gagal ginjal akut prerenal : hipovolemia, syok

anafilaktik, hipotensi, obat hipertensi, dehidrasi.

b. Intrinsik

Faktor penyebab terjadi gagal ginjal akut intrinsik : emboli, polyarteritis

nodosa hipertensi, SLE, glumerulonefritis, nekrosis karen iskemik, toksin

eksogen dan endogen, nefritis karena obat nefrotoksik, infeksi bakteri/virus.

c. Postrenal

Faktor penyebab terjadi gagal ginjal akut post renal : obstruksi, prostat,

trauma, kateter yg tdk tepat, obat antikolinergik, batu ginjal.

d. Patofisiologi

Patofisiologi bergantung pada masing-masing tempat terjadinya kelainan pada

ginjal, yang mengakibatkan kenaikan BUN (Blood Urea Nitrogen) dan Scr dan

berkurangnya GFR.

a. Prerenal

Terjadi karena penurunan volume intravascular yang berakibat hipotensi

arterial, hipotensi arterial, dan penurunan curah jantung yang mengakibatkan

aliran darah ke ginjal kurang.

b. Intrinsik

Terjadi karena kerusakan vascular, kerusakan glomerular, nekrosis tubulus

akut, dan nefritis interstial akut.

c. Postrenal

Obstruksi aliran urin dari renal tubular sampai uretra/bladder.

d. Pseudorenal dan Fungsional GGA

a. Pseudorenal à kenaikan BUN atau kreatinin serum disebabkan adanya

agen yang memblokade/inhibisi secara selektif sekresi kreatinin.

b. Fungsional à penurunan GHP (glomerular hydrostatic pressure) karena

penurunan volume darah akibat gagal jantung, sirosis/renovaskular, dan

penggunaan ACE dan ARB untuk meningkatkan kinerja ventrikel kiri

jantung.

e. Presentasi Klinis Gagal Ginjal Akut

1. Secara umum

Pasien yang tinggal dikomunitas sering tidak mengalami serangan

akut.

Pasien rawat inap rumah sakit mungkin mengalami perkembangan

GGA dengan penurunan tekanan darah atau volume intravascular

yang berpengaruh pada ginjal, atau obstruksi tiba-tiba akibat

pemasangan kateter yang salah. Secara umum, penurunan urine outpu

(uop) dihubungkan dengan meningkatnya BUN dan Scr.

2. Gejala

Pasien rawat jalan: Perubahan pada kebiasaan urinasi, berat badan tiba-

tiba naik, dan sakit pinggang

Pasien rawat inap: biasanya gejala sudah diketahui oleh dokter sebelum

pasien mengetahui

3. Tanda-Tanda

edema, urinnya berbusa atau berwarna, ortosatatik hipotensi atau

hipertensi,

4. Tes Laboratorium

Pemeriksaan kalium serum, BUN, kreatinin, dan fosfor, penurunan

kalsium dan pH (asidosis) mungkin terjadi. Dokter mungkin menemukan

hal yang berbeda dari pemeriksaaan.

Peningkatan serum sel darah putih mungkin terjadi bagi pasien GGA yang

terkena sepsis, dan eosinofilia dapat menjadi dasar terkena nefritis

interstial akut.

Mikroskopi urin dapat menggambarkan sel, cast, atau kristal yang dapat

menjelaskan kemungkinan penyebab dan keparahan GGA.

Penentuan BJ urin dapat membantu menentukan GGA prerenal pada

tubulus dengan konsentrasi urin. Kandungan kimia urin mengindiksikan

adanya protein, yang berhubungan dengan kerusakan glomerulus dan

darah yang berhubungan dengan kerusakan secara virtual dari struktur

ginjal.

5. Tes Diagnosa Lain

Ultrasonografi ginjal atau cytstoscopy mungkin diperlukan untuk melihat

obstruksi, biopsy renal jarang digunakan, dan digunakan bila cara diagnostik

lain tidak berhasil.

Parameter Diagnostik Untuk Membedakan Penyebab Gagal Ginjal Akut

Uji

Laboratorium

Pre-renal

Azetomia

Gagal Ginjal Akut

Intrinsik

Obstruksi Pasca

Renal

Sedimen Urin Normal Hablur, ada

fragmen

Ada fragmen

selular

Sel darah merah

urin

Tidak ada 2-4+ Variable

Sel darah putih

urin

Tidak ada 2-4+ 1+

Sodium urin <20 >40 >40

FENa(%) <1 >2 Variabel

Osmolalitas

urin/serum

>1,5 <1,3 <1,5

Urin/Scr >40:1 <20:1 <20:1

BUN/Scr >20 ~15 ~15

f. Terapi

1. Tujuan Terapi

Tujuan utama terapi adalah untuk mencegah GGA. Apabila terjadi GGA,

tujuam terapinya adalah untuk menghindari dan meminimalisasi kerusakan

ginjal lebih lanjut yang dapat menghambat pemulihan dan untuk

menyediakan fungsi penunjang sampai fungsi ginjal kembali normal.

2. Pendekatan Umum

Pencegahan Gagal Ginjal Akut:

Faktor resiko GGA diantaranya peningkatan usia, infeksi akut, gangguan

pernafasan atau kardiovaskular kronik yang sudah ada sebelumnya, dehidrasi,

dan gagal ginjal kronik (GGK). Penurunan perfusi ginjal yang menyertai

operasi bypass abdominal atau koroner, kehilangan darah akut akibat truma,

dan nefropati asam urat juga dapat meningkatkan resiko.

Pemberian zat nefrotoksik (seperti media kontras) sedapat mungkin dihindari.

Apabila pasien memerlukan pewarna kontras dan memiliki resiko nefropati

terinduksi media kontras, perfusi renal sebaiknya dimaksimalkan melalui

strategi seperti memastikan pemberian cairan yang cukup menggunakan

larutan saline normal atau natrium bikarbonat dan pemberian asetilsistein oral

sebanyak 600 mg setiap 12 jam dalam empat dosis. Pengaturan kadar gula

secara ketat dengan insulin pada pasien diabetes juga dapat mengurangi

perkembangan GGA.

Nefrotoksisitas Amfoterisin B dapat dikurangi dengan mengurangi laju

pemberian menjadi 24 jam, atau pada pasien beresiko, dapat dilakukan

penggantian amfoterisisn B liposomal.

Beberapa strategi lain yang umum dilakukan tidak ditunjang dengan bukti

yang kuat, diantaranya pemberian mannitol, diuretic kuat, dopamine, dan

fenoldopam.

Penanganan Gagal Ginjal Akut :

Belum ada obat yang ditemukan yang dapat membantu pemulihan GGA.

Mskipun begitu, pasien yang mengalami GGA harus ditunjang dengan

pendekatan terapi farmakologi dan non- farmakologi selama mengalami GGA.

3. Terapi Non- Farmakologi

Tujuan terapi penunjang yang dilakukan diantaranya mempertahankan curah

jantung dan tekanan darah yang cukup untuk mengopyimalkan perfusi

jaringan ketika fungsi ginjal dikerbalikan ke baseline pra-GGA.

Pengobatan yang berkaitan dengan penurunan aliran darah renal harus

dihentikan. Penggantian cairan secara tepat sebaiknya diinisiasi. Menghindari

penggunaan zat yang nefrotoksik penting dilakukan pada pengaturan kondisi

pasien yang mengalami GGA.

Terapi Penggantian Ginjal (Renal Replacement Therapy) seperti hemodialisis

dan dialisis peritoneal berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan cairan

dan elektrolit saat dilakukan ekskresi produk buangan untuk indikasi bagi

RRT pada penderita GGA.

AEIUO Sebagai Dasar Indikasi Untuk Terapi Penggantian Ginjal (RRT)

Indikasi yang Memerlukan RRT

A Abnormalitas

asam-basa Metabolik asidosis

E Electrolyte

Imbalance

Hiperkalemia,

hipermagnesemia

I Intoxications Salisilat, litium, metanol,

etilen glikol, fenobarbital

O Overload Fluid Kelebihan air

U Uremia Katabolisme tinggi

RRT ada beberapa jenis :

o Hemodialysis - Hemofiltration

Prinsip: mengeliminasi urea dan produk buangan serta

menyeimbangkan elektrolit dan cairan tubuh

Hemodialisis : difusi membran semipermeabel dari konsentrasi tinggi

(darah) ke rendah (dialisat) dengan pengaliran dialisat.

Hemofiltrasi : ultrafiltrasi membran semipermeabel.

Hemodialfiltrasi: kombinasi

Tipe Hemodialisis/Hemofiltrasi:

A. Intermittent : Kecepatan 200-400mL/menit, 3-5 jam

Keuntungan : Tersedia di berbagai fasilitas kesehatan dan

lebih umum dikenal penggunaannya oleh tenaga kesehatan

B. Continous: Kecepatan 100-200mL/menit, 8-12 jam

Keuntungan: Eliminasi produk buangan lebih efisien dan

konsisten

o Peritoneal Dialysis

Keuntungan : Lebih murah dari hemodialisis/hemofiltrasi

Kerugian : Rasa sakit permanen, resiko hipotensi lebih besar.

Transplantasi Ginjal

Hanya dilakukan ketika mencapai ESRD (End Stage Renal Disease). Banyak

masalah yang akan timbul, jika tidak berhasil ;

o Penolakan organ è donor harus mirip secara genetik, golongan darah

harus sama è penggunaan imunosupresan

o Penyakit menular dari donor: HIV

o ES Infeksi (sepsis) dan inflamasi (inflamasi GI, ulceration)

o Jual beli organ ilegal

4. Terapi Farmakologi

Diuretik Loop belum menunjukkan peningkatan pemulihan pada pasien GGA

atau meningkatkan hasil pada pasien. Meskipun begitu, diuretic dapat

memfalisitasi pengaturan kelebihan cairan. Diuretik yang paling efektif

adalah manitol dan diuretic loop (Furosemid).

Mannitol 20% biasanya mulai diberikan pada dosis 12,5% sampai 25 g secara

IV selama 3 sampai 5 menit. Kerugiannya termasuk pemberian harus

dilakukan secara IV, risiko hiperosmolaritasm dan kebutuhan yang tinggi

akan pengawasan karena mannitol dapat berkontribusi pada terjadinya GGA.

Dosis ekuipoten dari diuretic loop (Furosemid, bumetanid, torsemid, asam

etakrinat) memiliki efikasi yang mirip.

Furosemid : Loading dose setara 40-80 mg furosemid, atau dengan infuse

konitnu setara furosemid 10-20 mg/ jam.

5. Terapi Pengaturan Elektrolit dan Nutrisi

Hiperkalemia adalah abnormalitas elektrolit yang serius dan paling umum

terjadi pada pasien GGA. Biasanya, kosumsi potassium harus dibatasi kurang

dari 3 g/hari dan diawasi setiap harinya.

Hipernatremia dan retensi cairan umum terjadi, sehingga memerlukan

pembatasan natrium yang tidak melebihi 3 g. semua sumber natrium termasuk

antibiotic, perlu dipertimbangkan dalam perhitungan asupan natrium harian.

Fosfor dan magnesium perlu diperhatikan, keduanya tidak dapat dibuang

melalui dialisis.

Nutrisi enteric dan non parenteral telah terbukti dapat meningkatkan hasil

terapi pada pasien

6. Pertimbangan Penentuan Dosis

Optimasi terapi obat pada pasien dengan GGA adalah sebuah tantangan.

Variable yang ikut menentukan diantaranya klirens obat residual, akumulasi

cairan, dan penggunaan RRT.

Volume distribusi obat larut air akan secara signifikan meningkat terkait

kondisi edema. Penggunaan tata cara pemberian dosis pada pasien gagal

ginjal kronik (GGK) tidak menunjukkan klirens dan volume distribusi pada

pasien GGA kritis.

Pasien GGA dapat saja memiliki klirens residual non-renal yang lebih tinggi

dibandingkan pasien GGK dengan nilai klirens kreatinin yang sama besar.

Hal ini dapat menyulitkan individualisasi terapi obat, terutama pada pasien

yang menjalani RRT.

Tipe RRT kontinu menentukan laju pembuangan obat, bahkan mempersulit

individualisasi terapi obat. Laju ultafiltrasi, aliran darah, dan laju dialysis,

mempengaruhi klirens obat selama menjalani RRT kontinu.

7. Evaluasi Hasil Terapi

Pengawasan terhadap kondisi pasien penting untuk dilakukan

Konsentrasi obat perlu dimonitor secara teratur karena pasien GGA dapat

dengan cepat mengalami perubahan status volume, perubahan fungsi renal,

dan RRT.

2.2 Gagal Ginjal Kronis

a. Definisi

Gagal ginjal kronik (GGK) adalah kehilangan fungsi ginjal progresif, yang

terjadi berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, yang dikarakterisasi dengan

perubahan struktur normal ginjal secara bertahap disertai fibrosis interstisial. GGK

dikategorikan menurut tingkat fungsi ginjal, berdasarkan laju filtrasi glomerulus

(GFR), menjadi tahap 1 sampai tahap 5, dengan penongkatan nomor menunjukkan

peningkatan derajat keparahan penyakit, yang didefinisikan sebagai penurunan GFR.

Sistem klasifikasi ini diperoleh dari National Kidney Foundation”s Kidney Dialysis

Outcome and Qualitastive Initiative (K/DOQI) dan memmperhitungkan kerusakan

structural dari kerusakan ginjal.

GGK tahap 5, juga dikenal sebagai penyakit ginjal tahap akhir (End Stage

Renal Disease/ ESRD), terjadi ketika GFR turun sampai kurang dari 15 mL/ menit

per 1,73 m2 luas permukaan tubuh. Pasien yang mengalami GGK tahap 5

memerlukan dialysis berkepanjangan atau transplantasi ginjal untuk mengurangi

gejala uremik.

Perbedaan GGA dan GGK terletak pada: keberadaan protein/albumin dalam

jangka waktu sekurang – kurangnya 3 bulan, nilai GFR <90 mL/menit/1,73 m2 ,

adanya fibrosis interstitial.

b. Epidemiologi

Data dan studi epidemiologi tentang gagal ginjal kronik di Indonesia dapat

dikatakan tidak ada. Yang ada tetapi juga langka adalah studi atau data epidemiologi

klinik. Pada saat ini tidak dapat dikemukakan pola prevalensi di Indonesia demikian

pula morbiditas dan mortalitas. Data tersebut berasal dari komunitas yang khusus.

c. Etiologi

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal

Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai

berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal

polikistik (10%).

d. Faktor Risiko

Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus

atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu

dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam

keluarga.

Faktor Resiko dan Etiologi GGK

e. Patofisiologi

Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus meskipun

penyakit primernya telah diatasi atau telah terkontrol. Hal ini menunjukkan

adanya mekanisme adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang

sedang berlangsung pada penyakit ginjal kronik. Bukti lain yang menguatkan

adanya mekanisme tersebut adalah adanya gambaran histologik ginjal yang sama

pada penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh penyakit primer apapun.

Perubahan dan adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal

akan menyebabkan pembentukan jaringan ikat dan kerusakan nefron yang lebih

lanjut. Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang

berakhir dengan gagal ginjal terminal

Modifikasi Perkembangan Penyakit GGK

f. Manifestasi Klinik

1. Tanda dan Gejala

Tahap 1-2 tidak ada

Tahap 3-4 edema, intoleransi dingin, nafas pendek, palpitasi, keram dan sakit

otot, depresi, gelisah, letih, dan disfungsi sexual

Tahap 5 gejala uremic (letih, lemah, nafas pendek, kekacauan mental, nausea

dan muntah, pendarahan, hilang nafsu makan) gatal, intoleransi demam,

kenaikkan berat badan, neurophati perifer

2. Tanda-tanda

Kardiovaskular-pulmonari

Gastrointestinal

Endokrin

Hematologi

Cairan & elektrolit

g. Diagnosis

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut:

Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG) Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors) Menentukan strategi terapi rasional Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan

pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik

diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang

berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,

perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal

(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan

laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan

tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.

b. Pemeriksaan laboratorium

Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat

penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan

penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.

1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG)

Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai

sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).

2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)

Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis.

3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit

Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan

pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG).

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis

Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu:

1) Diagnosis etiologi GGK

Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut, ultrasonografi

(USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade dan Micturating

Cysto Urography (MCU).

2) Diagnosis pemburuk faal ginjal

Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan

ultrasonografi (USG).

h. Terapi

1. Non- Farmakologi

Diet Cairan : kurangi minum

Diet Kalori : 15-30kkal/hari

Diet Garam : kalium

Diet Mineral : kalsium, fosfor, magnesium

Diet Protein : - 0,6g/kg/hari

- 0,75/kg/hari jika gizi buruk

Tambahan Vitamin B dan C

2. Farmakologi

Terapi Modifikasi Perkembangan Penyakit

Secara umum strategi terapi yang dapat digunakan dipilih berdasarkan ada

atau tidaknya diabetes pada pasien.

Komplikasi Sekunder

Tujuan utama dari terapi adalah untuk optimalisasi durasi dan kualitas hidup

pasien:

Abnormalitas cairan & elektrolit: Loop diuretik dan diuretik tiazid

Homeostasis Potasium: Kalsium glukonat, sodium polistiren sulfonat,

insulin dan glukosa, albuterol ternebulisasi

Hiperparatiroid Sekunder dan Osteodistrofi Ginjal: PBA (selevamer

HCL, lantanum karbonat), vitamin D (Kalsitriol), kalsimimetik

(sinalkaset)

Asidosis metabolik: Na-bikarbonat, Na-sitra

BPH- GAGAL GINJAL

Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus

urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH

terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko

terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan dengan tanpa

disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih banyak.

Rata-rata pasien dengan BPH dan gagal ginjal adalah sangat tinggi dikarenakan

lelaki lansia kebanyakan menyangkal penyakitnya dan memeriksakannya setelah

kronis telah dilaporkan bahwa obstruksi kandung kemih dengan membesarnya

prostat dapat menyebabkan gangguan ginjal. Hubungan diantara beratnya gejala dan

peningkatan serum kreatinin pada lelaki dengan BPH tidak tergambarkan dengan

jelas.

Data-data terbaru mengungkapkan semua faktor menyebabkan retensi urin kronis

dan progresif, tingginya tekanan kandung kemih, ureterohydronephrosis secara

bersamaan menyebabkan kerusakan ginjal secara cepat.

Hubungan BPH- Gagal Ginjal

Semakin berat BPH dapat terjadi obstruksi saluran kemih karena urin tidak

mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan

apabila tidak diobati dapat menyebabkan gagal ginjal.

Pada ureter, prostat membengkak yang dapat menyebabkan protatitis dan urin

keluar sedikit-sedikit, kandung kemih penuh urin, urin naik ke ginjal dapat

menyebabkan gagal ginjal.

Obat alpha blocker dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah sehingga aliran

darah ke ginjal kurang yang menyebabkan sel ginjal kekurangan oksigen

sehingga menyebabkan gagal ginjal.

Pertanyaan dan jawaban

1. Bagaimana pilihan terapi yang tepat untuk psien dengan BPH-Gagal ginjal-hipertensi?

Jawaban : Obat pilihan utama yaitu ACE inhibitor/ ARB, karena ginjal rusak mengeluarkan renin yang akhirnya diubah menjadi angiostensin 2 dan menyebabkan vasokonstriksi sehingga tekanan darah meningkat. Oleh karena itu ACE inhitor/ARB tepat digunakan.Kemudian jika kadar kreatinin naik hingga 3x lipat, maka obat-obatan diatas digaanti terlebih dahulu dengan beta blocker. Karena obat ACE inhibitor meskipun menurunkan tekanan darah pada GG, namun memiliki efek samping terhadap ginjal.

2. Apa pemeriksaan klinis BPH yang utama?Jawaban : Pengukuran kadar PSA. Namun hati-hati pada pengukuran kadar PSA, karena PSA juga merupakan indikator adanya kanker prostat. Pada kanker prostat, PSA yang ditemukan adalah sebesar lebih dari 8 ng/mL, sedangkan pada BPH kadar PSA yang ditemukan adalah sebesar 2-3 ng/mL.

3. Bagaimana mekanisme BPH bisa menyebabkan gagal ginjal?Jawaban : Pada BPH, Prostat membesar à menjepit uretra à aliran urin sedikit-sedikit à retensinya tinggi à pelebaran pembuluh à naik ke sel-sel àgagal ginjal

DAFTAR PUSTAKA

Benign Prostate Hyperplasia and Chronic Kidney Disease. Ricardo Leo, Bruno Jorge Pereira and Hugo Coelho. Urology department , centro hospitalar de coinbra Portugal.

Dipiro, J.T, Talbert, R.L, Yee, G.C, et.al. 2008. Pharmacotheraphy A Pathophysiologic Approach seventh edition. New York: Mc Graw Hill.

Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia.Sukandar, E.Y, Andrajati, R. Sigit, Joseph,I, et.al. 2011. ISO Farmakoterapi.

Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.