Makalah Akhir Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Amerika Serikat
-
Upload
binar-s-suryandari -
Category
Documents
-
view
470 -
download
9
description
Transcript of Makalah Akhir Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Amerika Serikat
Makalah Akhir Individu untuk Mata Kuliah Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Amerika Serikat
PROGRAM PERTUKARAN PELAJAR SEBAGAI IMPLEMENTASI SOFT POWER DAN INSTRUMEN DIPLOMASI AMERIKA SERIKAT DENGAN NEGARA MUSLIM PASCA TRAGEDI 9/11
Binar Sari Suryandari 1006664685
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONALFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peristiwa yang terjadi di Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001
merupakan sebuah fenomena yang menandai bangkitnya kembali terorisme di dunia
internasional. Apa yang terjadi pada hari itu benar-benar mengguncang masyarakat
internasional. Dunia saat itu menyaksikan kebangkitan jaringan terorisme internasional
yang berhasil menyerang salah satu negara dengan power terbesar di dunia yaitu Amerika
Serikat. Peristiwa ini dilakukan dengan cara penyerangan yang berbeda dari aksi
terorisme sebelumnya, yaitu membajak dan menabrakkan pesawat terbang ke gedung
kembar World Trade Center yang terletak di kota New York pada tanggal 11 September
2001. Sekitar tiga ribu orang tewas akibat serangan terorisme ini. Tragedi mengenaskan
ini tidak hanya mempengaruhi Amerika Serikat sebagai negara ’korban’ dalam
merumuskan kebijakannya terkait terorisme, tragedi ini juga mengubah pandangan
masyarakat dunia dan negara-negara lain dalam membentuk kebijakan dalam melawan
terorisme.
Peristiwa terorisme yang terjadi tersebut jelas menciptakan pergeseran-pergeseran
yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat dalam kebijakan-kebijakannya. Hal ini
diimplementasikan melalui kebijakan ”War on Terror” yang dikemukakan oleh Presiden
Bush dan kebijakan-kebijakan lainnya. Namun demikian, kebijakan dalam hal ini
bukanlah hanya kebijakan dalam bidang hard power, namun juga kebijakan dalam bidang
soft power. Pasca terjadinya tragedi 9/11 tersebut, Amerika Serikat merumuskan
kebijakan dan metode diplomasi untuk dapat mencegah hal serupa dari kemungkinan
terulang kembali. Tragedi 9/11 ini seringkali diasosiasikan dengan eksistensi umat
muslim di dunia. Hal ini dikarenakan kelompok jaringan terorisme pelaku indak
kejahatan terorisme di Amerika Serikat pada 11 September 2001 yang didalangi oleh
Osama Bin Laden tersebut mengatasnamakan agama Islam sebagai latar belakang
tindakannya.1 Keterkaitan agama dalam peristiwa ini pada akhirnya juga menjadi salah
1 Fareed Zakaria, “The Politics Of Rage: Why Do They Hate Us?” yang diakses dari http://www.thedailybeast.com/newsweek/2001/10/14/the-politics-of-rage-why-do-they-hate-us.html pada 28 Desember 2012 pukul 21.09 WIB.
1
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
satu penentu dan karakteristik khusus yang menjadi pertimbangan pemerintah Amerika
Serikat dalam merumuskan kebijakannya.
Kebijakan dan diplomasi yang diambil oleh Amerika Serikat terkait peristiwa
terorisme tersebut pada dasarnya beragam. Budaya merupakan salah satu dimensi yang
dimanfaatkan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk dapat menanggulangi masalah
terorisme ini. Sejak terjadinya tragedi 9/11, terdapat peningkatan yang cukup signifikan
atas jumlah siswa dari negara muslim yang menempuh pendidikan ataupun mengikuti
program pertukaran pelajar di Amerika Serikat.2 Hal ini mengindikasikan usaha
pemerintah Amerika Serikat untuk melaksanakan kebijakan dan diplomasinya dalam
bidang budaya untuk dapat meredam masalah terorisme bernafaskan Islam yang terjadi di
Amerika Serikat. Fenomena peningkatan jumlah pelajar dari negara muslim dan jumlah
program pertukaran pelajar yang dilakukan oleh Amerika Serikat dengan negara-negara
muslim di dunia inilah yang menarik perhatian penulis untuk mengangkat fenomena
tersebut sebagai topik dalam makalah ini.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa makalah ini akan membahas mengenai
kebijakan dan diplomasi Amerika Serikat pasca 9/11 yang melibatkan unsur budaya dan
pengimplementasian program pertukaran pelajar dengan negara-negara Muslim di dunia.
Makalah ini secara umum ingin mengkaji lebih dalam mengenai usaha pemerintah
Amerika Serikat dalam diplomasinya untuk dapat mengambil hati dan menciptakan
pemahaman antara Amerika Serikat dengan negara-negara muslim untuk mencegah
peristiwa serupa terulang kembali.
1.2 Pertanyaan Permasalahan
Dalam makalah ini, pertanyaan permasalahan yang berusaha dijawab adalah:
“Bagaimana penerapan program pertukaran pelajar sebagai instrumen diplomasi
Amerika Serikat dengan negara Muslim pasca tragedi 9/11?”. Dengan demikian,
makalah ini akan menjelaskan mengenai penerapan program pertukaran pelajar yang
dilakukan oleh Amerika Serikat dengan negara Muslim pasca tragedi 9/11, serta
bagaimana pelaksanaan program tersebut dapat menjadi salah satu instrumen dalam
pelaksanaan diplomasi antara Amerika Serikat dengan negara-negara Muslim di dunia.
2 Nambee Ragavan, “International Student Exchange Among Muslim Nations; Soft Power and Voting Alliances at the United Nations”, dalam Political Science Senior Thesis, Bemidji State University, 2011, hlm. 2.
2
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
1.3 Kerangka Pemikiran
1.3.1 Soft Power
Dalam bukunya, Joseph S. Nye mengatakan bahwa power merupakan
kemampuan untuk mempengaruhi perilaku pihak lain untuk mendapatkan hasil yang
kita inginkan.3 Namun terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mempengaruhi perilaku pihak lain, baik dengan memaksa mereka, melalui
kekerasan, ataupun melalui usaha menarik hati agar mereka juga menginginkan apa
yang kita inginkan. Dalam hal ini, soft power berbeda dengan hard power yang
syarat dengan unsur militer, pemaksaan, dan kekerasan. Nye menyatakan bahwa soft
power merupakan usaha untuk mempengaruhi pihak lain agar menginginkan apa
yang kita inginkan melalui usaha melibatkan pihak tersebut, dan bukan melalui
pemaksaan atau kekerasan.4 Soft power bergantung pada kemampuan untuk
membentuk keinginan atau preferensi pihak lain.5 Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa pada dasarnya soft power merupakan usaha untuk dapat mempengaruhi dan
mendorong pihak lain dalam menginginkan apa yang kita inginkan melalui
pelibatan dan perangkulan pihak tersebut sehingga pihak tersebut juga
menginginkan apa yang kita inginkan.
Bagi Nye, soft power tidak sama dengan sekedar pengaruh dan soft power juga
lebih dari usaha membujuk atau menggerakkan pihak lain melalui argumen, tetapi
juga melibatkan kemampuan untuk memikat pihak lain, dan pemikatan tersebut
seringkali berujung pada persetujuan dan dukungan.6 Berbeda dengan hard power
yang membuat pihak lain menyetujui apa yang kita lakukan secara paksa melalui
kekuatan militer atau sanksi ekonomi yang dapat dijatuhkan, soft power berusaha
memikat hati pihak lain melalui nilai-nilai, budaya, dan pemeliharaan hubungan
sosial di antara keduanya. Nye menyatakan bahwa terdapat tiga sumber soft power,
yaitu (1) Budaya, (2) Political Values, (3) Kebijakan Luar Negeri.7
Pengimplementasian soft power ini menjadi lebih signifikan dibanding hard power
di masa ini mengingat perkembangan zaman yang disertai dengan kecanggihan ilmu
3 Joseph S. Nye, Jr., Soft Power: The Means to Success in World Politics (New York: Public Affairs, 2004) hlm. 2.4 Ibid., hlm. 5.5 Ibid.6 Ibid., hlm. 6.7 Ibid., hlm. 11.
3
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
pengetahuan, teknologi, komunikasi, dan perubahan sosial yang terjadi dalam
masyarakat.
1.3.2 Diplomasi Publik (Public Diplomacy)
Konsep public diplomacy pertama dikenalkan oleh Edward Murrow pada
Tahun 1963 sebagai salah satu cara untuk menangani pengaruh dari pola tingkah
laku publik dalam formasi dan eksekusi kebijakan luar negeri. Public Diplomacy
berbeda dengan diplomasi tradisional yang interaksinya hanya antara pemerintah,
namun juga keterlibatan aktor non-state seperti organisasi dan individu. Aktivitas
public diplomacy adalah (1) melaporkan peristiwa luar negeri dan dampaknya
terhadap kebijakan, (2) media komunikasi, antara diplomat dan koresponden asing,
dan sebagai (3) proses komunikasi lintas budaya. 8 Public diplomacy merupakan
salah satu cara untuk mempromosikan kepentingan nasional dan keamanan
nasional melalui pemahaman yang sama, sharing informasi, dan mempengaruhi
masyarakat asing serta memperluas dialog antara individu, institusi, serta rekan
yang berada di luar negeri. Secara sempit, public diplomacy dapat didefinisikan
sebagai proses pemerintah dalam berkomunikasi dengan masyarakat asing sebagai
ajakan untuk lebih memahami ide dan idealisasi negara, institusi dan kebudayaan,
serta tujuan nasional dan kebijakan yang berlaku.9
Agar dapat berfungsi secara efektif public diplomacy harus dilihat sebagai
komunikasi dua arah. Public diplomacy tidak hanya meliputi pembentukan pesan
yang ingin disampaikan oleh suatu negara, namun juga sebagai alat analisa dan
memahami bagaimana pesan tersebut diinterpretasikan serta menjadi alat untuk
mengembangkan dan berkomunikasi sebagai pendukung persuasi.10 Dampak yang
dihasilkan dari public diplomacy terdiri dari 4 bentuk, yaitu :
1) Meningkatkan familiaritas masyarakat terhadap negara pelaku , dengan
cara memikirkannya serta update terhadap opini yang diberikan oleh
negara tersebut.
8 Edward R. Murrow, Public Diplomacy (Tufts University : The Edward R. Murrow Center, 2005), diakses dari http://fletcher.tufts.edu/murrow/public-diplomacy.html pada tanggal 29 Desember 2012 pukul 12.15 WIB.9 Hans. N. Tuck, Communicating with the World : U.S. Public Diplomacy Overseas (New-York : St. Martins Press, 1990), Hal. 3.10
4
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
2) Meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap negara pelaku , dengan
membentuk persepsi positif yang kemudian mengajak orang lain untuk
melihat isu global dari perspektif yang sama.
3) Membentuk ikatan dengan masyarakat , dengan memperkuat ikatan baik
dari segi edukasi, tourism, produksi nasional, dan kooperasi ilmiah untuk
mengajak lebih memahami nilai-nilai yang dianut.
4) Memberi influence pada masyarakat , dengan realisasi adanya investasi
dan kerjasama yang terjalin.
1.3.3 Diplomasi Budaya (Cultural Diplomacy)
Secara umum, diplomasi budaya merupakan bagian dari diplomasi publik
yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Diplomasi budaya merupakan upaya
mencapai pemahaman bersama melalui institusi budaya, NGO, organisasi
pendidikan, dan kelompok lainnya yang bergerak di bidang yang serupa. Milton C.
Cummings mempaparkan bahwa diplomasi budaya adalah bentuk pertukaran ide,
informasi, nilai, sistem, tradisi, kepercayaan, dan aspek budaya lainnya dengan
intense untuk menciptakan pemahaman bersama. Pelaku diplomasi budaya adalah
para “diplomat budaya” yaitu penjelajah, akademisi, seniman, dan lain-lain yang
mengutamakan interaksi dengan budaya asing. 11 Pada dasarnya, diplomasi budaya
memberikan peluang untuk penciptaan pemahaman dan penghargaan akan adanya
kesamaan serta perbedaan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di
dalamnya.
Cultural diplomacy mendorong penciptaan landasan akan ‘trust’ atau rasa
percaya antara pihak yang terlibat sehingga pada akhirnya rasa percaya tersebut
dapat digunakan untuk persetujuan politik, ekonomi, dan militer.12 Diplomasi
budaya juga lebih mengena dan dapat menyentuh aktor-aktor hingga level
masyarakat dan individu. Diplomasi jenis ini juga lebih mudah untuk disampaikan
atau ditanamkan pada generasi muda, masyarakat non-elit, dan lingkup masyarakat
11 Institute of Cultural Diplomacy, What is Cultural Diplomacy?, diakses dari http://www.culturaldiplomacy.org/index.php?en_culturaldiplomacy pada tanggal 29 Desember 2012 pukul 13.00 WIB.12 US Department of State, “Cultural Diplomacy: The Linchpin of Public Diplomacy” dalam Report of the Advisory Committee on Cultural Diplomacy, September 2005, hlm. 1.
5
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
yang lebih luas karena pada dasarnya menekankan pada hubungan antar
masyarakat.13 Tidak hanya itu, diplomasi budaya dapat menjembatani perbedaan
dan kesalah-pahaman antara masyarakat yang berbeda sehingga kebencian antara
masyarakat tersebut dapat lebih diredam. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
diplomasi budaya dapat mendorong terciptanya keterbukaan, mendorong open-
mindedness, dan toleransi antar masyarakat.
13 Ibid., hlm. 2.
6
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam bab ini, pembahasan akan dibagi menjadi empat bagian. Pembagian ini
dilakukan untuk kemudahan pemahaman mengenai topik dalam makalah ini. Pada bagian
pertama, penulis akan menjelaskan mengenai persepsi anti-Amerikanisme yang muncul
dalam masyarakat dunia hingga pada akhirnya mewujudkan terjadinya tragedi terorisme 9/11.
Dalam bagian tersebut pula akan dibahas mengenai bagaimana peristiwa tersebut
mengindikasikan besarnya persepsi anti-Amerikanisme selama ini. Pada bagian kedua, akan
dijelaskan kebijakan terkenal yang diambil oleh Amerika Serikat pasca terjadinya tragedi
9/11, yaitu kebijakan yang dikenal sebagai “War On Terror”. Dalam bagian ini, penulis akan
menjelaskan bagaimana sesungguhnya kebijakan yang melibatkan unsur kekerasan tersebut
gagal dalam meredam persepsi anti-Amerikanisme dan justru dapat memperburuk hubungan
antara Amerika Serikat dengan negara-negara Muslim di dunia.
Pada bagian selanjutnya, akan dijelaskan mengenai kebijakan dan diplomasi Amerika
Serikat yang mengedepankan unsur soft power, yaitu melalui pelaksanaan program
pertukaran pelajar. Dalam bagian tersebut, penulis akan memaparkan peningkatan
pelaksanaan program tersebut antara Amerika Serikat dengan negara-negara Muslim di dunia
dan bagaimana pelaksanaan program tersebut sebagai instrumen diplomasi yang memiliki
perbedaan sifat dengan pelaksanaan kebijakan “War On Terror” yang dijelaskan pada bagian
sebelumnya. Selanjutnya, pada bagian terakhir akan dijelaskan mengenai analisa penulis akan
pelaksanaan program pertukaran pelajar tersebut sebagai instrumen diplomasi publik dengan
melibatkan unsur budaya bagi Amerika Serikat pasca tragedi 9/11. Bagian analisa ini juga
akan memaparkan opini penulis mengenai signifikansi pelaksanaan program tersebut dan
bagaimana pelaksanaan program tersebut dapat lebih berkontribusi dalam pengurangan
persepsi anti-Amerikanisme di negara-negara Muslim.
2.1 Amerika Serikat, Anti-Americanism, dan Tragedi 9/11
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa Amerika Serikat merupakan salah satu
negara dengan power terbesar dalam sistem internasional. Negara ini dianggap sebagai
salah satu negara adidaya yang cukup mendominasi agenda-agenda dan interaksi antar
7
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
negara-negara di dunia. Hal ini pada dasarnya kembali pada kepemilikan power yang
besar oleh Amerika Serikat sehingga negara tersebut mampu memberikan pengaruh baik
secara langsung maupun tidak langsung pada apa yang tengah terjadi di dunia. Selain itu,
Amerika Serikat juga dikenal sebagai negara yang kental dengan sistem kapitalisme dan
sering sering terlibat serta melakukan intervensi pada konflik-konflik yang terjadi di
dunia. Nyatanya, posisi dan apa yang selama ini dilakukan Amerika Serikat dalam
kerangka sistem internasional tidak seluruhnya berdampak baik pada Amerika Serikat
sebagai negara. Terdapat banyak pihak yang pada akhirnya tidak menyukai posisi dan apa
yang dilakukan oleh Amerika Serikat tersebut. Persepsi ini seringkali disebut dengan anti-
Amerikanisme.
Rubinstein dan Smith mengatakan anti-Amerikanisme sebagai “any hostile act or
expression that becomes part and parcel of an undifferentiated attack on the foreign
policy, society, culture and values of the United States.”14 Dasar utama dari anti-
Amerikanisme ini adalah kepercayaan bahwa apapun yang dilaksanakan oleh Amerika
Serikat merupakan sebuah usaha negara tersebut untuk menguasai dunia, dan negara
tersebut akan menggunakan power-nya, baik dalam bidang militer, ekonomi, budayam
maupun kesuksesannya untuk mencapai kepentingan mereka.15 Persepsi ini muncul akibat
posisi Amerika Serikat dan bagaimana Amerika Serikat bertindak terhadap suatu konflik
atau permasalahan. Selain itu, persepsi ini juga dikatakan sebagai bentuk gerakan anti-
kapitalisme yang merupakan sistem inti negara adidaya tersebut. Dengan demikian, pada
dasarnya anti-Amerikanisme ini dapat dipahami sebagai sebuah persepsi kebencian
terhadap Amerika Serikat yang tumbuh di berbagai belahan dunia. Persepsi anti-
Amerikanisme ini seringkali juga diasosiasikan dengan eksistensi agama Islam. Hal ini
terjadi akibat beberapa kebijakan Amerika Serikat yang dinilai mendiskriminasi dunia
Islam.
Apa yang terjadi pada 11 September 2001 merupakan sebuah hantaman keras bagi
pemerintah dan masyarakat Amerika Serikat pada saat itu. Peristiwa tersebut seolah
mencerminkan bagaiman besarnya kebencian yang diarahkan kepada Amerika Serikat
sebagai negara. Terorisme yang terjadi tersebut dinyatakan sebagai terorisme yang
dilatar-belakangi oleh agama, dan hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya anti-
14 Alvin Z. Rubinstein, dan Donald E. Smith, “Anti-Americanism in the Third World” dalam Annals of the American Academy of Political and Social Science 497 (1), 1988, hlm. 36. 15 Barry Rubin dan Judith Colp Rubin, “Anti-Americanism Re-Examined” dalam Brown Journal of World Affairs, Summer / Fall 2004, Vol. XI, Issue 1, hlm. 18.
8
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
Amerikanisme berkembang secara lebih besar dan pesat dari apa yang diprediksikan oleh
Amerika Serikat. Peristiwa terorisme tersebut tak ayal menjadi cerminan nyata akan
besarnya persepsi kebencian dan anti-Amerikanisme yang tertanam di masyarakat seluruh
dunia. Anggapan bahwa terorisme berkaitan erat dengan anti-Amerikanisme dan ajaran
agama Islam inilah yang pada dasarnya membentuk dan mengarahkan kebijakan-
kebijakan luar negeri Amerika Serikat setelah tragedi 9/11 yang akan dijelaskan pada
bagian-bagian selanjutnya.
2.2 Kegagalan Kebijakan ‘War On Terror’ Pasca Tragedi 9/11
Peristiwa terorisme yang terjadi pada 11 September 2001 tersebut tentunya sangat
mencengangkan publik Amerika Serikat sebagai negara ‘korban’ terorisme. Peristiwa
tersebut nyatanya juga cukup mengagetkan serta membangkitkan amarah para pengambil
keputusan Amerika Serikat. Amerika Serikat sebagai ‘negara korban’ saat itu menanggapi
peristiwa tersebut secara keras. Pemerintah Amerika Serikat, terutama Presiden Amerika
Serikat, pada saat itu mencanangkan sebuah kebijakan politik yang disebut sebagai ‘War
On Terror’. Istilah ‘War On Terror’ ini pada dasarnya adalah sebuah kebijakan yang
mengecam segala jenis teror. Amerika Serikat mengutuk tindak terorisme yang
menyerang negaranya tersebut. ‘War On Terror’ pun menjadi sebuah istilah yang
dicanangkan oleh Presiden Bush dalam rangka menanggapi apa yang terjadi kepada
negaranya. Kemarahan Bush tersebut pun terlihat dari beberapa pernyataan yang
dikemukakannya dalam pidato-pidato pasca peristiwa 9/11, seperti dalam salah satu
pidatonya ia mengatakan, “Either you are with us, or you are with the terrorists.”16
Kebijakan ’War On Terror’ yang disodorkan oleh Bush tersebut merupakan sebuah
kebijakan yang memerangi terorisme. Kebijakan ini dilaksanakan melalui peningkatan
keamanan secara besar-besaran. Selain itu, administrasi Bush juga melaksanakan
kebijakan ini dengan menyerang atau menginvasi negara-negara yang dianggap sebagai
sumber teroris.17 Pada dasarnya negara-negara lain menyadari bahaya terorisme dan
menunjukkan simpati mereka terhadap Afganistan yang dimulai antara Oktober dan
16 Disampaikan oleh George W. Bush dalam pidatonya pada tanggal 20 September 2001 di Washington D.C., diakses dari http://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/2001/09/20010920-8.html pada 29 Desember 2012 pukul 21.19 WIB.17 Patrick Hayden, “The “War On Terror” and The Just Use of Military Force” dalam Tom Lansford et. al. (ed.), America’s War On Terror, Second Edition (Burlington: Ashgate Publishing Company, 2009) hlm. 49.
9
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
Desember 2001.18 Pasukan Amerika Serikat masuk ke Afganistan dan mengintervensi
Northern Alliance untuk menggulingkan pemerintahan fundamentalis Taliban yang
dianggap telah menyediakan tempat berlindung bagi Osama bin Laden dan jaringan
terorisnya, yaitu Al-Qaeda yang merupakan pelaku tindak terorisme 11 September 2001.
Aksi Amerika Serikat tersebut sangat didukung oleh aliansi NATO dan dilegitimasi oleh
resolusi PBB.19 Amerika Serikat ternyata tidak berhenti sampai di situ. Pada 2002,
administrasi Bush memutuskan untuk melakukan perang melawan Irak dan mulai saat
itulah dukungan-dukungan dari dunia internasional mulai berkurang. Kebijakan ini sering
dianggap sebagai kebijakan yang memerangi umat muslim, hal ini tentu merupakan
implikasi dari serangan-serangan Amerika Serikat yang menyerang negara-negara yang
mayoritas berpenduduk muslim. Masyarakat dunia merasa bahwa Presiden Bush secara
tidak langsung menganggap Islam merupakan agama bagi para teroris dan sebagai alasan
di balik terorisme yang terjadi.
Kebijakan ”War On Terror” ini lama-kelamaan pun semakin terlihat gagal dalam
memperoleh simpati masyarakat internasional. Hal ini dikemukakan oleh Anup Shah
dalam artikelnya. Ia mengatakan bahwa terdapat tiga jenis dampak internasional yang
terkait dengan reputasi negara Amerika Serikat atas implementasinya akan ”War On
Terror” 20, yaitu:
a. Semakin banyaknya masyarakat yang marah terkait dengan nama baik Islam
yang tercoreng. Dengan adanya persepsi buruk Amerika Serikat terhadap
umat muslim, agama Islam sering menjadi agama yang dianggap
melatarbelakangi sekelompok orang melakukan terorisme.
b. Amerika Serikat sedikit demi sedikit kehilangan simpati dari dunia
internasional karena serangannya terhadap negara-negara yang
digeneralisasikan sebagai sumber teroris, seperti Afganistan. Citra dan
reputasi Amerika Serikat juga semakin memburuk akibat keradikalan
kebijakan pemberantasan terorisme di dunia.
c. Dampak yang ketiga ini berhubungan dengan segi sosial, yaitu banyaknya
korban yang berjatuhan akibat penerapan kebijakan ”War On Terror” yang
radikal.
18 Joseph S. Nye, Jr., Op.Cit., hlm 19419 Ibid.20 Anup Shah, ““War On Terror”” yang diakses dalam http://www.globalissues.org/issue/245/war-on-terror pada 29 Desember 2012 pukul 22.03 WIB.
10
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
Kegagalan yang dicerminkan dari dampak pengimplementasian ”War On Terror”
ini nyatanya dapat semakin mengancam Amerika Serikat akan kemungkinan semakin
merebaknya persepsi anti-Amerikanisme, terutama yang datang dari negara-negara
muslim. Kebijakan ini justru dapat menjadi boomerang bagi kondisi keamanan Amerika
Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa hard power tidak selalu efektif dalam melindungi
keamanan suatu negara.
2.3 Program Pertukaran Pelajar Antara Amerika Serikat dengan Negara Muslim Pasca
Tragedi 9/11
Pada bagian sebelumnya, telah dapat dipahami bahwa dalam usahanya untuk
mencegah peristiwa terorisme terjadi lagi, pengimplementasian kebijakan “War On
Terror” yang melibatkan unsur kekerasan dan militer nyatanya justru dapat mendorong
semakin merebaknya persepsi anti-Amerikanisme. Di lain sisi, Amerika Serikat juga
melakukan usaha-usaha kebijakan dan diplomasi lainnya yang pada dasarnya juga
berusaha meredam persepsi anti-Amerikanisme yang dapat mengancam keamanan
negaranya. Salah satu cara yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat adalah melalui
penerapan program pertukaran pelajar Amerika Serikat dengan pelajar di berbagai
negara-negara Muslim di dunia.
Program pertukaran pelajar ini pada dasarnya merupakan program beasiswa yang
ditawarkan langsung oleh pemerintah Amerika Serikat pada pelajarnya dan juga pada
pelajar di negara tujuan untuk dapat saling menempuh pendidikan dan pertukaran budaya.
Pertukaran pelajar pada dasarnya telah berlangsung sejak cukup lama, bahkan sebelum
terjadinya peristiwa 9/11. Namun demikian, setelah terjadinya peristiwa 9/11 tersebut,
nyatanya jumlah pelajar muslim internasional yang menempuh pendidikan di Amerika
Serikat meningkat cukup signifikan.21 Hal ini juga didukung oleh meningkatnya jumlah
program pertukaran pelajar yang ditawarkan pasca 9/11.22 Fakta tersebut menunjukkan
bahwa pasca 9/11, Amerika Serikat berusaha membentuk kembali image mereka di dunia
internasional melalui kebijakan dan diplomasinya, termasuk melalui program pertukaran
pelajar dengan negara-negara muslim ini.
Setiap tahunnya, kongres Amerika Serikat mengalokasikan dana yang cukup
banyak untuk pelaksanaan program-program pertukaran pelajar sebagai usaha diplomasi 21 Nambee Ragavan, Op. Cit., hlm. 2.22 Ibid.
11
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
publik dan diplomasi budaya. Alokasi dan penggunaan dana untuk hal ini nyatanya pun
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2002 misalnya, dana yang dialokasikan
adalah sebesar 231 juta dollar di bawah Education and Cultural Exchange Program
(ECE), dan pada 2010, jumlah dana tersebut meningkat hingga 633 juta dollar.23 Jumlah
yang besar tersebut mengindikasikan keseriusan pemerintah Amerika Serikat untuk dapat
terus melaksanakan program pertukaran pelajar dan budaya dengan negara-negara
lainnya. Hal ini tidak mungkin dilakukan jika program tersebut tidak berlangsung efektif
atau tidak menghasilkan benefit apapun bagi Amerika Serikat.
Pertukaran pelajar dan budaya ini biasanya dilakukan dengan mengirimkan pelajar
dari luar Amerika Serikat untuk tinggal di Amerika Serikat bersama dengan keluarga
angkat, menempuh pendidikan menengah atas di daerah tersebut, dan berinteraksi dengan
masyarakat sekitar daerah tersebut. Pemerintah Amerika Serikat juga mengirimkan
pelajar Amerika Serikat untuk melakukan hal yang sama di negara lainnya. Seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, pertukaran budaya sejenis ini pada dasarnya sudah terjadi
sejak cukup lama, namun mulai semakin signifikan pasca terjadinya tragedi 9/11. Dalam
makalah ini, akan dijelaskan mengenai dua program yang cukup terkenal oleh
masyarakat, yaitu Fulbright Scholar Program dan KL-YES Program.
Fulbright Scholar Program merupakan program pertukaran pelajar yang didukung
oleh pemerintah Amerika Serikat. Program ini dirancang untuk meningkatkan mutual
understanding antara masyarakat Amerika Serikat dengan masyarakat di negara lainnya.24
Program ini telah ada sejak tahun 1946, dan hingga saat ini jumlah partisipannya
mencapai 310.000 pelajar. Hingga saat ini, program Fulbright ini telah beroperasi di 155
negara di seluruh dunia.25 Program ini pada dasarnya merupakan program untuk
mahasiswa di perguruan tinggi, dan sedikit berbeda dengan trend pertukaran pelajar bagi
pelajar sekolah menengah atas. Namun demikian, program ini memiliki tujuan yang
kurang lebih sama, yaitu untuk menjembatani pemahaman antara Amerika Serikat dan
negara-negara lainnya.
Berbeda dengan Fulbright Scholar Program, The Kennedy-Lugar Youth Exchange
and Study (KL-YES) Program merupakan program pertukaran pelajar menengah atas
yang didanai sepenuhnya oleh U.S. Department of State dan disponsori oleh Bureau of
23 Ibid., hlm. 3.24 “Fulbright” yang diakses dari http://www.cies.org/Fulbright/ pada 29 Desember 2012 pukul 23.11 WIB.25 Ibid.
12
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
Educational & Cultural Affairs (ECA) untuk pelajar usia 15-17 tahun (pelajar SMA) dari
negara-negara dengan populasi muslim yang besar untuk menghabiskan satu tahun
akademik di Amerika Serikat. 26 Program ini dirilis oleh kongres pada Oktober 2002
sebagai respon dari peristiwa 11 September 2001.27 Pelajar tersebut tinggal bersama
keluarga angkat, menempuh persekolahan, mengikuti aktivitas-aktivitas untuk memahami
mengenai masyarakat dan nilai Amerika, meningkatkan kepemimpinan, dan membantu
menjelaskan pada masyarakat Amerika Serikat mengenai negara dan budaya asli
mereka.28 Di lain sisi, pemerintah Amerika Serikat sejak 2009 juga merilis program yang
sejenis untuk pelajar Amerika Serikat untuk menempuh satu tahun akademik di negara
dengan populasi muslim yang besar, yaitu YES Abroad. Program YES ini telah
bekerjasama dengan negara-negara seperti Afghanistan, Albania, Bahrain, Bangladesh,
Bosnia-Herzegovina, Bulgaria, Kamerun, Mesir, Gaza, Ghana, India, Indonesia, Israel
(Arab Communities), Jordan, Kenya, Kosovo, Kuwait, Lebanon, Liberia, Malaysia, Mali,
Maroko, Mozambik, Nigeria, Oman, Pakistan, Filipina, Qatar, Arab Saudi, Senegal,
Sierra-Leone, Afrika Selatan, Suriname, Tanzania, Thailand, Tunisia, Turkey, West
Bank, dan Yaman.29 Eksistensi program ini menunjukkan keseriusan Amerika Serikat
untuk memperbaiki image-nya melalui pertukaran pelajar berusia muda pasca terjadinya
tragedi 9/11.
Kedua contoh program ini pada dasarnya merupakan bentuk komitmen Amerika
Serikat untuk dapat menumbuhkan mutual understanding mengenai nilai-nilai dan
budaya Amerika Serikat dan negara-negara lain yang juga berpartisipasi. Melalui
program ini, Amerika Serikat menginginkan negara-negara lain dapat memahami nilai-
nilai Amerika Serikat dan menjembatani perbedaan sehingga perdamaian serta hubungan
baik antara negara dapat benar-benar diwujudkan. Pada dasarnya masih banyak program-
program lainnya yang diselenggarakan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk
pelaksanaan pertukaran pelajar ini. Peningkatan jumlah pelajar maupun negara yang
berpartisipasi, serta peningkatan dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan
program semacam ini dari tahun ke tahun pasca 9/11 ini merupakan fenomena yang
26 “YES & YES Abroad” yang diakses dari http://www.yesprograms.org/about pada 29 Desember 2012 pukul 23.41 WIB.27 Ibid.28 Ibid.29 Ibid.
13
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
menarik dan menunjukkan bahwa Amerika Serikat tidak hanya menggunakan hard power
dalam usahanya mengurangi persepsi anti-Amerikanisme.
2.4 Analisa Program Pertukaran Pelajar sebagai Instrumen Diplomasi Amerika Serikat
dengan Negara Muslim di Dunia
Pada bagian-bagian sebelumnya telah dijelaskan mengenai eksistensi persepsi anti-
Amerikanisme, kebijakan “War On Terror”, dan eksistensi kebijakan pertukaran pelajar
antara Amerika Serikat dengan negara-negara lainnya. Peristiwa 9/11 menjadi hantaman
keras bagi pemerintah Amerika Serikat serta menunjukkan kekuatan dari persepsi
kebencian masyarakat internasional pada Amerika Serikat. Tragedi terorisme yang
mengenaskan itu di satu sisi membakar amarah pemerintah Amerika Serikat dan hal ini
diwujudkan dengan pernyataan Presiden Bush mengenai “War On Terror”. Namun
demikian di sisi lain, peristiwa tersebut juga menjadi titik balik perubahan-perubahan
kebijakan Amerika Serikat, dan pemerintah Amerika Serikat menyadari perlunya
pembenahan mengenai persepsi masyarakat di luar negara tersebut mengenai Amerika
Serikat dan nilai-nilai di dalamnya.
Dari pembahasan pada bagian-bagian sebelumnya pada dasarnya dapat dipahami
bahwa Amerika Serikat telah berusaha melakukan diplomasi dengan menggunakan kedua
jenis power, yaitu hard power dan soft power. Invasi militer yang dilancarkan oleh
Amerika Serikat pada negara-negara seperti Afghanistan dan Irak merupakan contoh
nyata usaha Amerika Serikat dalam menggunakan hard power-nya. Namun demikian,
dalam hal ini penulis melihat bahwa implementasi Amerika Serikat tersebut justru
membahayakan Amerika Serikat karena dapat memicu rasa benci terhadap negara
Amerika Serikat yang semakin meluas. Di lain sisi, penulis melihat bahwa penggunaan
soft power Amerika Serikat yang diwujudkan melalui pelaksanaan program pertukaran
pelajar dan budaya merupakan sebuah usaha yang lebih efektif.
Pelaksanaan program pertukaran pelajar dan budaya melibatkan unsur masyarakat
suatu negara secara langsung tanpa perantara. Implementasi program ini pun
memungkinkan terjadinya interaksi antar masyarakat secara lebih intense dan pemahaman
antara dua masyarakat yang berbeda pun semakin mungkin untuk tercapai. Program
pertukaran pelajar ini melibatkan pelajar untuk tinggal langsung di Amerika Serikat,
memahami budaya dan nilai Amerika Serikat, dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar
14
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
di Amerika Serikat. Hal tersebut tentunya dapat menciptakan rasa kecintaan seorang
individu terhadap keluarga angkatnya, teman-teman yang dimilikinya di negara tersebut,
bahkan kecintaan terhadap negara tersebut pun juga dapat tumbuh. Pengetahuan yang
dimiliki oleh seorang individu secara dalam mengenai suatu negara dapat menggiring
individu tersebut hingga pada tingkat ‘memahami’. Pemahaman inilah yang sebenarnya
diusahakan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk tercipta, sehingga persepsi kebencian
atau anti-Amerikanisme yang selama ini eksis dapat berkurang.
Peristiwa 9/11 yang dialami oleh Amerika Serikat tersebut menyadarkan Amerika
Serikat akan perlunya engagement antara Amerika Serikat dengan negara-negara lain di
dunia. Melihat motif utama pada pelaku terorisme 9/11 yang dilatar-belakangi oleh
agama, perangkulan oleh Amerika Serikat pada negara-negara yang memiliki populasi
Muslim banyak tentunya diperlukan. Hal inilah yang mendorong Amerika Serikat untuk
merumuskan program-program pertukaran budaya yang ditekankan pada negara-negara
dengan populasi Muslim terbanyak. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, program
pertukaran pelajar ini merupakan sebuah instrumen diplomasi yang cukup efektif. Hal ini
dikarenakan pelibatan unsur masyarakat secara langsung yang dapat memudahkan
terciptanya pemahaman timbal-balik antara dua masyarakat yang berbeda. Pelaksanaan
program ini memungkinkan masyarakat Muslim untuk dapat menyelam pada kehidupan
masyarakat Amerika Serikat sebenarnya. Hal ini dengan demikian membuka kesempatan
untuk terciptanya pemahaman akan kedua jenis budaya yang berbeda, serta toleransi akan
perbedaan di antara keduanya menjadi mungkin untuk terwujud. Masyarakat Amerika
Serikat yang didatangi oleh pelajar dari negara Muslim tersebut pun tentunya juga
mengalami proses pembelajaran melalui interaksi yang dilakukannya dengan para pelajar
yang datang ke masyarakat mereka. Kedua belah pihak akan dapat saling memahami
budaya dan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat masing-masing, dan hal
tersebutlah yang pada dasarnya dapat memunculkan rasa toleransi dan pemahaman antara
satu sama lain.
Di lain sisi, pelajar Amerika Serikat yang dikirimkan untuk belajar di negara-
negara dengan mayoritas populasi Muslim pun pada dasarnya memiliki misi diplomasi
yang sama. Mereka juga tinggal di negara-negara Muslim dan berinteraksi dengan
masyarakat di dalamnya. Hal ini memungkinkan masyarakat negara-negara Muslim untuk
memahami Amerika Serikat melalui nilai-nilai dan budaya yang dibawa oleh pelajar
tersebut. Hal ini serupa dengan apa yang terjadi pada pelajar Muslim yang dikirimkan
15
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
untuk tinggal dan bersekolah di Amerika Serikat. Dengan demikian, pertukaran pelajar
semacam ini tidaklah sekedar pengalaman bersekolah di negara lain, tetapi juga merujuk
pada pertukaran budaya di antara dua masyarakat yang berbeda yang memungkinkan
terciptanya hubungan baik antara dua masyarakat. Proses yang dialami oleh pelajar
maupun masyarakat di mana pelajar tersebut ditempatkan merupakan sebuah proses
pembelajaran yang dapat berpengaruh hingga pada level kenegaraan.
Penjelasan mengenai program pertukaran pelajar yang telah dipaparkan di atas
memperlihatkan bahwa sebenarnya program ini bukanlah sekedar beasiswa bagi pelajar
untuk mengenyam pendidikan di negara lain. Program ini merupakan sebuah instrumen
diplomasi publik dan diplomasi budaya karena di dalam program tersebut masyarakat
dilibatkan dalam proses pembelajaran antara dua budaya dan proses tersebut dapat
berdampak pada pemahaman suatu masyarakat akan masyarakat lainnya yang memiliki
perbedaan. Baik disadari maupun tidak, pelajar-pelajar yang dikirimkan pun pada
dasarnya membawa misi diplomasi untuk menciptakan pemahaman. Pemerintah Amerika
Serikat dengan demikian melakukan hal yang benar dan cukup efektif melalui pelaksnaan
program pertukaran pelajar ini. Keefektifan yang dimaksud didukung oleh keterlibatan
masyarakat secara langsung serta usia pelajar yang cukup muda. Keterlibatan masyarakat
secara langsung memungkinkan engagement kuat terbentuk antara pelajar dengan
masyarakat di mana ia ditempatkan. Pelaksanaan aktivitas pelajar sehari-hari di negara
tersebut tentunya akan memperkuat intensitas interaksi serta hubungan yang dapat
berujung pada rasa saling menghargai. Selain itu, usia pelajar yang tergolong muda dalam
hal ini dapat memudahkan misi diplomasi tersebut untuk dapat tersampaikan. Pelajar
melaksanakan kegiatan persekolahan di sekolah di mana ia ditempatkan. Melalui interaksi
antara pelajar tersebut dengan teman-temannya di sekolah, pemahaman akan perbedaan
dan bagaimana hal tersebut tidak seharusnya menggiring manusia pada konflik dapat
dilakukan sejak dini dan ditanamkan pada generasi muda.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa peningkatan pelaksanaan program
pertukaran pelajar pasca peristiwa 9/11 merupakan sebuah langkah diplomasi yang tepat.
Bahkan hal ini perlu lebih ditingkatkan agar efektivitas dan pemahaman di antara dua
budaya yang berbeda dapat lebih tertanam. Pelaksanaan program ini dapat mencegah
perluasan rasa kebencian terhadap Amerika Serikat atau persepsi anti-Amerikanisme
sehingga peristiwa terorisme yang serupa tidak lagi terulang. Pelajar-pelajar yang
berpartisipasi serta masyarakat yang berinteraksi dengan pelajar-pelajar tersebut pada
16
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
dasarnya merupakan bagian dari pelaku diplomasi. Interaksi di antara dua belah pihak
dapat memunculkan pemahaman dan rasa saling menghargai sehingga perdamaian dan
hubungan baik antara Amerika Serikat dan negara-negara Muslim dapat terwujudkan.
Amerika Serikat dapat lebih memahami mengenai budaya suatu negara dan bagaimana
agama Islam pada dasarnya tidak syarat dengan unsur kekerasan dan tidak seluruh
Muslim setuju dengan tindakan terorisme tersebut. Sebaliknya, masyarakat di negara
Muslim pun dapat lebih dalam memahami nilai-nilai Amerika Serikat dan tidak semata-
mata melihat Amerika Serikat sebagai negara yang mendominasi dan imperialis.
Pemahaman antara keduanya inilah yang sebenarnya dibutuhkan oleh pemerintah
Amerika Serikat. Dengan demikian, pelajar-pelajar yang dikirimkan pun pada dasarnya
dapat dikatakan sebagai diplomat-diplomat muda negara karena baik disadari ataupun
tidak, mereka memikul misi diplomasi demi terciptanya pemahaman di antara dua negara
dengan nilai-nilai dan budaya berbeda.
17
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dilakukan tersebut, dapat dipahami bahwa penerapan
program pertukaran pelajar yang dilakukan oleh Amerika Serikat dengan negara-negara
Muslim di dunia pasca tragedi 9/11 merupakan sebuah langkah diplomasi publik dan
budaya yang cukup efektif. Pelaksanaan program tersebut nyatanya berpotensi untuk
menjembatani perbedaan yang ada di antara budaya dan masyarakat yang berbeda.
Pertukaran pelajar ini juga memungkinkan terciptanya pemahaman akan nilai-nilai dan
budaya yang dimiliki satu sama lain dan pemahaman inilah yang dibutuhkan oleh
Amerika Serikat untuk dapat mengurangi persepsi anti-Amerikanisme dan terorisme yang
ditujukan pada negara adidaya tersebut. Interaksi dalam level masyarakat dan individu
yang tercipta melalui pelaksanaan program pertukaran pelajar inilah yang pada dasarnya
memungkinkan tumbuhnya rasa toleransi dan pemahaman di antara dua masyarakat yang
berbeda. Dengan demikian, penulis melihat bahwa program pertukaran pelajar yang
dilakukan oleh Amerika Serikat dengan negara-negara Muslim merupakan sebuah
instrumen diplomasi publik dan budaya, serta implementasi soft power yang cukup efektif
dan perlu untuk lebih ditingkatkan demi perbaikan image Amerika Serikat serta untuk
mengurangi persepsi anti-Amerikanisme sehingga aksi-aksi yang membahayakan
keamanan dan survivability Amerika Serikat dapat dicegah dan tidak terulang kembali.
18
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
DAFTAR PUSTAKA
BUKU DAN JURNAL
Hayden, Patrick. 2009. “The “War On Terror” and The Just Use of Military Force” dalam
Tom Lansford et. al. (ed.), America’s War On Terror, Second Edition. Burlington:
Ashgate Publishing Company.
Murrow, Edward R. 2005. Public Diplomacy. Tufts University: The Edward R. Murrow
Center.
Nye, Jr., Joseph S. 2004. Soft Power: The Means to Success in World Politics. New York:
Public Affairs.
Ragavan, Nambee. 2011. “International Student Exchange Among Muslim Nations; Soft
Power and Voting Alliances at the United Nations” dalam Political Science Senior
Thesis. Bemidji State University
Rubin, Barry dan Judith Colp Rubin. 2004. “Anti-Americanism Re-Examined” dalam Brown
Journal of World Affairs, Summer / Fall 2004, Vol. XI, Issue 1.
Rubinstein, Alvin Z. dan Donald E. Smith. 1988. “Anti-Americanism in the Third World”
dalam Annals of the American Academy of Political and Social Science 497 (1) .Tuck,
Hans. N. 1990. Communicating with the World : U.S. Public Diplomacy Overseas.
New York: St. Martins Press.
US Department of State. 2005. “Cultural Diplomacy: The Linchpin of Public Diplomacy”
dalam Report of the Advisory Committee on Cultural Diplomacy.
ARTIKEL INTERNET
--. “Fulbright” yang diakses dari http://www.cies.org/Fulbright/.
--. “YES & YES Abroad” yang diakses dari http://www.yesprograms.org/about
19
Binar Sari Suryandari. 1006664685. Ilmu Hubungan Internasional. FISIP UI
--. Institute of Cultural Diplomacy, What is Cultural Diplomacy?, diakses dari
http://www.culturaldiplomacy.org/index.php?en_culturaldiplomacy
Pidato George W. Bush pada tanggal 20 September 2001 di Washington D.C., diakses dari
http://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/2001/09/20010920-8.html
Shah, Anup. ““War On Terror”” yang diakses dalam
http://www.globalissues.org/issue/245/war-on-terror Zakaria, Fareed. “The Politics Of
Rage: Why Do They Hate Us?” yang diakses dari
http://www.thedailybeast.com/newsweek/2001/10/14/the-politics-of-rage-why-do-
they-hate-us.html
20