Makalah Abp Edit
-
Upload
jhon-wesly-harianja -
Category
Documents
-
view
621 -
download
5
Transcript of Makalah Abp Edit
ANALISIS ABU, AIR DAN MINERAL DALAM MAKANANDisusun oleh:
Rohmah Anita SariSiti AisyahFidia Sari
Apria WidyastutiJhon WeslyAndrianus
PRODI : KIMIAM.K : Analisis Bahan PanganDOSEN PENGAJAR : Puji Ardiningsih S.Si, M.Si
PRODI KIMIAFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TANJUNGPURAPONTIANAK
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan, rahmat
dan hidayahnyalah, yang memberi kekuatan serta kemudahan kepada kami untuk
menyelesaikan makalah yang berjudul “ANALISIS ABU, AIR DAN
MINERALDALAM MAKANAN” tepat pada waktunya.
Dalam menyelesaikan makalah ini kami banyak mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak, baik berupa petunjuk, moral maupun material. Atas segala bantuan
tersebut maka pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada dosen
pengajar, rekan-rekan mahasiswa serta semua pihak yang telah memberikan bantuan
baik berupa pikiran maupun tenaganya dalam penyelesaian makalah yang kami buat.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini tidak luput dari kekeliruan
dan kekurangan, baik dari segi sistematikanya maupun dari segi penalaran materinya.
kekurangan tersebut tidak lain dikarenakan keterbatasan kemampuan kami dalam
mengungkapkannya, untuk itu segala kritikan dan pendapat sangat di perlukan untuk
penyempurnaan dari “ANALISIS ABU, AIR DAN MINERALDALAM MAKANAN”
yang kami buat ini.
Kami berharap makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Amin Ya Robbal ‘Alamin.
Pontianak, 2 7 Maret 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
A. Latar Belakang
B. Tujuan
BAB II
2.1 Kadar Air
2.2 Kadar Mineral
2.3 Kadar Abu
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Abu, air dan mineral merupakan kandungan penting banyak makanan. Air
dapat berupa komponen intrasel atau ekstrasel dalam sayuran dan produk hewani,
sebagai medium pendispersi atau pelarut dalam berbagai produk, sebagai fase
terdispersi dalam beberapa produk yang diemulsi seperti mentega dan margarin,
dan sebagai komponen tambahan dalam makanan. Karena pentingnya air sebagai
komponen makanan, maka diperlukan pemahaman mengenai sifat dan
perilakunya. Adanya air mempengaruhi kemerosotan mutu makanan secara kimia
dan mikrobiologi. Begitu pula, pembekuan air penting dalam beberapa metode
pengawetan makanan. Oleh karena itu perubahan yang mendasar pada produk
dapat terjadi.
Bahan mineral dapat berupa garam anorganik atau organik atau dapat
digabung organik, seperti fosfor yang digabung dengan fosfoprotein dan logam
digabung dengan enzim. Lebih dari 60 unsur mineral dapat berada dalam
makanan. Mineral mempunyai fungsi penting bagi kesehatan manusia, seperti
membentuk jaringan tubuh, menggiatkan, mengatur, dan mengendalikan proses
metabolisme, serta mengalihkan pesan-pesan syaraf. Biasanya mineral
dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu komponen garam utama (makro) dan
unsur sesepora (mikro).
Abu adalah zat anorganik dari sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Penentuan kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang
terdapat dalam bahan pangan terdiri dari 2 jenis garam, yaitu garam organik
misalnya asetat, pektat, mallat, dan garam anorganik, misalnya karbonat, fosfat,
sulfat, dan nitrat. Proses untuk menentukan jumlah mineral sisa pembakaran
disebut pengabuan. Kandungan dan komposisi abu atau mineral pada bahan
tergantung dari jenis bahan dan cara pengabuannya (Gunawan,2004).Semua
komponen tersebut sangat berpengaruh untuk menentukan kualitas dan kuantitas
makanan.
B. Tujuan
Adapun tujuan di buatnya makalah tentang Analisis kadar abu, air dan
mineral adalah untuk mengetahui kandungan masing-masing komponen abu, air
dan mineral dalam makanan, serta mengetahui metode-metode yang dilakukan
untuk menentukana kadar abu, air dan mineral dalam makanan.
BAB II
ISI
2.1 Air
Air merupakan kandungan penting banyak makanan. Air dapat
berupa komponen intrasel atau ekstrasel dalam sayuran dan produk hewani,
sebagai medium pendispersi atau pelarut dalam berbagai produk, sebagai fase
terdispersi dalam beberapa produk yang diemulsi seperti mentega dan
margarin, dan sebagai komponen tambahan dalam makanan.
Karena pentingnya air sebagai komponen makanan, maka
diperlukan pemahaman mengenai sifat dan perilakunya. Adanya air
mempengaruhi kemerosotan mutu makanan secara kimia dan mikrobiologi.
Begitu pula, pembekuan air penting dalam beberapa metode pengawetan
makanan. Oleh karena itu perubahan yang mendasar pada produk dapat
terjadi.
Air memiliki sifat fisika yang berbeda dengan es, misalnya
terdapat pada kerapatannya. Perbedaan kerapatan air dan es dapat
mengakibatkan kerusakan struktur makanan jika makanan dibekukan.
Kerapatan es berubah dengan berubahnya suhu, dan karena itu menimbulkan
tekanan dalam makanan yang dibekukan. Karena padatan kurang
kenyal/elastis dibandingkan semipadatan, fluktuasi suhu dapat mengakibatkan
kerusakan sruktur, meskipun fluktuasi itu tetap dibawah titik beku.
Gejala Sorpsi
Tahanan air dalam makanan dijelaskan oleh hubungan antara
kandungan air makanan dan kelembaban nisbi udara disekelilingnya.
Perbandingan kedua angka ini disebut aktivitas air, yang merupakan ciri
penting sistem. Kelembaban nisbi yang sesuai dengan masing – masing
kandungan air khas produk disebut kelembaban nisbi kesetimbangan dan
berlaku rumus:
ERH/100
Dimana:
= aktivitas air
p = tekanan parsial air dalam makanan
= tekanan uap air pada suhu yang sama
ERH = kelembaban nisbi kesetimbangan ( dalam %)
Jenis Air
Didalam makanan memungkinkan terdapat bentuk air yang berlainan.
Untuk memudahkan maka dapa dikelompokkan air menjadi tiga jenis:
1. Tipe I
Air tipe I (air terikat) yaitu molekul air yang terikat pada molekul-
molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen yang berenergi tinggi. Molekul air
membentuk hidrat dengan molekul-molekul lain yang mengandung atom-
atom O dan N, seperti karbohidrat, protein atau garam. Air tipe ini tidak dapat
bertindak sebagai pelarut, dan tidak membeku pada suhu dibawah 0oC, tetapi
sebagian dapat dihilangkan dengan cara pengeringan biasa. Air tipe ini terikat
kuat dalam artian sebenarnya. Banyak air yang tidak dapat dibekukan,
dihitung terhadap kandungan protein. Sekitar 8 – 10 persen dari air total
dalam jaringan hewan tidak dapat dijadikan es (Meryman, 1966). Putih telur,
kuning telur, daging dan ikan semuanya mengandung kira-kira 0,4 g air yang
tidak dapat dibekukan per g protein kering. Ini sesuai dengan 11,4 persen dari
air total dalam daging tidak berlemak. Sebagian besar buah dan sayuran
mengandung kurang dari 6 persen air tak terbekukan; butir jagung utuh , 34
persen.
2. Tipe II
Air tipe II (air kapiler) adalah molekul-molekul air membentuk
ikatan hidrogen dengan molekul air lain, terdapat dalam mikrokapiler. Air
jenis ini lebih sukar dihilangkan dan penghilangan air tipe ini akan
mengakibatkan penurunan aw (water activity). Bila sebagian air tipe II
dihilangkan, pertumbuhan mikroba dan reaksi-reaksi kimia yang merusak
bahan makanan seperti browning, hidrolisis atau oksidasi lemak akan
dikurangi. Jika air tipe II dihilangkan seluruhnya, kadar air bahan berkisar 3-
7%, kestabilan optimum bahan makanan akan tercapai, kecuali pada produk-
produk yang dapat mengalami oksidasi akibat adanya kandungan lemak tidak
jenuh.
3. Tipe III
Air tipe ini atau lebih dikenal dengan air bebas adalah air yang
secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler,
serat dll. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk
pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Apabila air tipe
III ini diuapkan seluruhnya, kandungan air bahan berkisar antara 12-25%
dengan aw 0.8 tergantung dari jenis bahan dan suhu. Banyaknya air bebas
dalam daging sapi, dan domba beragam mulai dari 30-50 persen dari
kandungan air total, bergantung pada jenis daging dan jangka waktu
pelayuan. Aktivitas air berpengaruh besar terhadap laju dari banyak reaksi
kimia dalam makanan dan terhadap laju pertumbuhan mikroba (Labuza
1980). Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 2. Banyaknya air yang tidak dapat
dibekukan, dihitung terhadap kandungan protein. Sekitar 8 sampai 10 persen
dari air total dalam jaringan hewan tidak dapat dijadikan es. Putih telur,
daging, dan ikan semuanya mengandung kira – kira 0,4 gr air yang tidak
dapat dibekukan per gr protein kering. Ini sesuai dengan 11,4 persen dari air
total dalam daging tak berlemak. Sebagian besar buah dan sayuran
mengandung kurang dari 6 persen air tak terbekukan.
Tabel 1. Kandungan Air Beberapa Komoditi
Bahan Air Bahan Air
Tomat 94% Selada (Lactuca sativa) 95%
Semangka 93% Kubis 92%
Kol 92% Jeruk 87%
Nenas 85% Biji Kopi, Panggang 5%
Kacang hijau 90% Kentang 78%
Susu sapi 88% Pisang 75%
Ikan teri kering 38% Ayam 70%
Daging sapi 66% Keju 37%
Roti 36% Selai 28%
Buah kering 28% Madu 20%
Susu bubuk 14% Mentega dan Margarin 16%
Tepung terigu 12% Beras 12%
Sumber : DeMan, J.M.,1997
Aktivitas Air dan Laju Reaksi
Aktivitas air berpengaruh besar terhadap laju dari banyak reaksi
kimia dalam makanan dan terhadap laju pertumbuhan mikroba. Laju reaksi
dalam makanan tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 2. reaksi dalam makanan yang ditentukan oleh aktivitas air
Reaksi Air tipe I Air tipe II Air tipe III
Aktivitas enzim Nol Rendah Tinggi
Pertumbuhan kapang Nol Rendah Tinggi
Pertumbuhan khamir Nol Rendah Tinggi
Petumbuhan bakteri Nol Nol Tinggi
Hidrolisis Nol Meningkat cepat Tinggi
Pencoklatan non enzim Nol Meningkat cepat Tinggi
Oksidasi Lipid Tinggi Meningkat cepat Tinggi
Aktivitas Air dan Pembusukan Makanan
Pengaruh aktivitas air terhadap kualitas dan pembusukan pangan
makin disadari merupakan faktor yang penting. Kandungan air dan aktivitas
air memepengaruhi perkembangan reaksi pembusukan secara kimia dan
mikrobiologi dalam makanan. Makanan yang dikeringkan atau
dikeringbekukan, yang mempunyai kestabilan tinggi pada penyimpanan,
biasanya rentang kandungan airnya sekitar 5 sampai 15%. Golongan makanan
yang kandungan airnya menengah, seperti korma, kandungan airnya sekitar
20 samapai 40%. Makanan kering sesuai dengan bagian bawah isoterm
sorpsi. Ini mencakup air dalam monolapisan dan multilapisan. Pangan yang
memiliki kandungan air menengah biasanya mempunyai aktivitas air diatas
0,5, termasuk air kapiler. Penurunan aktivitas air dapat dilakukan dengan
pengeringan atau dengan penambahan senyawa yang larut dalam air, seperti
gula atau garam kedalam awetan asam. Pertumbuhan bakteri sebenarnya tidak
mungkin pada aktivitas air dibawah 0,90. Kapang dan Khamir biasanya
dihambat pada aktivitas air antara 0,88 dan 0,80, meskipun ada beberapa
khamir osmofil yang tumbuh pada aktivitas air sampai serendah 0,65.
Kebanyakan enzim menjadi tidak aktif jika aktivitas air turun dibawah
0,85. Enzim yang seperti itu termasuk amilase, fenoloksidase, dan
feroksidase. Akan tetapi, lipase dapat tetap aktif pada aktivitas air serendah
0,3 atau bahkan 0,1. Contoh pengaruh aktivitas air terhadap beberapa reaksi
secara enzimatik Acker (1969). Campuran tepung berli dan lesitin disimpan
pada aktivitas air yang berlainan dan laju hidrolisis sangat dipengaruhi oleh
harga a. Jika harga a rendah itu diubah menjadi 0,70 setelah penyimpanan 48
hari laju naik secara cepat.
Didaerah adsorpsi monomolekul, reaksi secara enzimatik tidak
berjalan sama sekali atau berlangsung dengan laju yang sanagat rendah,
sedangkan didaerah pengembunan kapiler laju reaksi sangat meningkat.
Acker menemukan bahwa untuk reaksi yang aktivitas enzim lipolitiknya
diukur, cara mencampur komponen - komponen sistem makanan
mempengaruhi aktivitas enzim secara bermakna. Pemisahan substrat dan
enzim dapat sangat memperlambat reaksi. Selain itu, substrat harus dalam
bentuk cair; misalnya minyak cair dapat dihidrolisis pada aktivitas air
serendah 0,15, tetapi lemak padat hanya terhidrolisis sedikit. Enzim
pengoksidasi dipengaruhi oleh aktivitas air kira – kira sama dengan yang
dialami oleh enzim hidrolitik, seperti yang ditujukan dengan contoh
fenoloksidase dari kentang. Jika harga a yang rendah dinaikan menjadi 0,70
setelah penyimpanan selama 9 ahri, harga akhir lebih rendah daripada harga
yang ditunjukan cuplikan yang aktivitas airnya 0,70 sejak awal sampai akhir
percobaan, karena enzim sebagian selama penyimpanan.
Pencoklatan nonenzimatik atau reaksi Maillard merupakan salah satu
dari faktor paling penting yang menimbulkan pembusukan pada makanan.
Reaksi ini sangat bergantung pada aktivitas air dan mencapai laju maksimum
pada harga a 0,6 sampai 0,7. Contoh yaitu pencoklatan pada serbuk susu yang
disimpan pada 40 derajat selama 10 hari sebagai fungsi dari aktivitas air.
Kehilangan lisina sebagai akibat dari reaksi pencoklatan sejajar dengan
perubahan warna.
Aktivitas Air dan Pengemasan
Karena aktivitas air merupakan faktor utama yang mempengaruhi
kualitas simpan sejumlah makanan, sudah jelas bahwa pengemasan dapat
membantu banyak untuk menjaga kondisi optimum agar tahan lama. Isoterm
sorpsi berperan penting pada pemilihan bahan kemas. Produk higroskopik
selalu mempunyai isoter sorpsi yang curam dan akan mencapai daerah
kandungan air kritik sebelum mencapai kondisi iklim luar. Makanan seperti
itu harus dikemas dalam wadah kaca dengan tutup tidak tembus air atau
dalam plastik kedap air (pvc tebal).
Kestabilan pada makanan yang didehidrasi terganggu jika beberapa
produk dikemas bersama. Pengalihan air dapat terjadi dari bahan yang
bertekanan uap air tinggi ke bahan yang bertekanan uap air rendah.
Pengikatan Air oleh Daging
Menurut Hamm (1962), kemampuan daging mengikat air disebabkan
oleh protein otot. Sekitar 34% dari protein ini larut dalam air. Bagian utama
protein daging berupa bahan struktur. Hanya sekitar 3% dari kemampuan otot
mengikat air total yang disebabkan oleh protein yang larut dalam air
(plasma). Kemampuan otot mengikat air terutama disebabkan oleh
aktomiosin, komponen utama myofibril. Pengikatan terjadi pada gugus
hidrofil pada protein seprti rantai smaping polar yang mengandung gugus
karboksil, amino, hidroksil, dan sulfhidril dan juga pada gugus karboksil dan
imino dari ikatan peptida yang tidak terdisosiasikan.
Hamm mengemukakan bahwa selama satu jam pertama setelah
penyembelihan, ion logam bivalen otot disisipkan kedalam protein otot pada
pH 6, menimbulkan penciutan jalinan serabut dan dehidrasi jaringan.
Pemanasan daging sapi pada suhu 400C mengakibatkan denaturasi kuat dan
perubahan hidrasi. Pengikatan air dapat dipengaruhi secara kuat dengan
penambahan garam tertentu, terutama fosfat (Hellendorn, 1962). Penambahan
garam tersebut digunakan untuk mengurangi kehilangan selama pemasakan
yang disebabkan oleh pengusiran air.
Metode
Penentuan kadar air dapat dilakukan dengan cara mengeringkan
bahan dalam oven pada suhu 105-110oC selama 3 jam atau sampai didapat
berat yang konstan. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah
banyaknya air yang diuapkan. Untuk bahan-bahan yang tidak tahan panas,
seperti bahan berkadar gula tinggi, minyak, daging, kecap dll pemanasan
dilakukan dalam oven vakum dengan suhu rendah. Kadang-kadang
pengeringan dilakukan tanpa pemanasan. Bahan dimasukkan dalam eksikator
dengan H2SO4 pekat sebagai pengering, sampai dicapai berat yang konstan.
Untuk bahan-bahan yang kadar airnya tinggi dan mengandung senyawa-
senyawa yang mudah menguap (volatile) seperti sayuran dan susu
menggunakan cara destilasi dengan pelarut tertentu misalnya toluene, xilol,
dan heptana yang berat jenisnya kurang dari berat jenis air. Ataupun dengan
menggunakan refraktometer untuk bahan makanan dengan kadar gula tinggi.
2.2 Mineral
Disamping komponen utama, semua makanan mengandung
mineral yang jumlahnya bermacam-macam. Bahan mineral dapat berupa
garam anorganik atau organik atau dapat digabung organik, seperti fosfor
yang digabung dengan fosfoprotein dan logam digabung dengan enzim. Lebih
dari 60 unsur mineral dapat berada dalam makanan. Mineral mempunyai
fungsi penting bagi kesehatan manusia, seperti membentuk jaringan tubuh,
menggiatkan, mengatur, dan mengendalikan proses metabolisme, serta
mengalihkan pesan-pesan syaraf. Biasanya mineral dikelompokkan menjadi
dua golongan yaitu komponen garam utama (makro) dan unsur sesepora
(mikro). Komponen garam utama mencakup kalium, natrium, kalsium,
magnesium, klorida, sulfat, fosfat, dan bikarbonat. Unsur sesepora mencakup
semua yang lainnya dan biasanya ditemukan dalam jumlah dibawah 50 ppm.
Unsur sesepora dapat dipilah menjadi tiga golonngan berikut:
a. unsur gizi esensial, termasuk fe, Cu, I, Co, mn, dan zn
b. unsur nongizi, tidak toksik, termasuk Al, B, Ni, Sn, dan Cr.
c. unsur nongizi, toksik, termasuk Hg, Pb, As, Cd, dan Sb.
Mineral Utama
Beberapa kandungan mineral utama, terutama spesies monovalen
terdapat dalam makanan sebagai garam yang larut dan kebanyakan berbentuk
terion. Ini berlaku, misalnya, pada kation natrium dan kalium dan anion
klorida dan sulfat. Akan tetapi, beberapa ion polivalen biasanya berada dalam
bentuk kesetimbangan antara spesies ion, nonion tak larut, dan spesies koloid.
Kesetimbangan seperti itu terdapat misalnya dalam susu dan daging.
Natrium berpengaruh terhadap tekanan darah tinggi manusia.
Garam total yang dikonsumsi manusia perhari kira – kira 10-12 gr atau 4-5 gr
natrium dan tredapat pada mkana alami sekitar 3 gr. Jumlah ini jauh diatas
persyaratan kebutuhan natrium harian yang diperkirakan yaitu 0,5 gr. Para
peneliti menyarankan mengganti garam dengan campuran natrium klorida
dan kalium klorida.
Mineral dalam Susu
Kandungan mineral utama susu sapi dapat dilihat pada tabel 3. Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi keragaman mineral dalam susu yaitu,
pakan ternak, musim, keturunan dan individualitas sapi, tingkat laktasi, dan
infeksi kantung susu.
Tabel 3.harga rata-rata kandungan mineral utama susu sapi ( susu skim)
Komponen (mg/100ml)
Natrium 50
Kalium 145
Kalsium 120
Magnesium 13
Fosfor ( total) 95
Fosfor ( anorganik) 75
Klorida 100
Sulfat 10
Karbonat ( sebagai CO2) 20
Sitrat ( sebagai asam sitrat) 175
Beberapa garam mineral pada susu berada dalam bentuk koloid.
Partikel koloid dalam susu mengandung kalsium, magnesium, fosfat, dan
sitrat. Partikel koloid ini mengendap dengan dadih susu jika dikoagulasi
dengan renin. Dialisis dan Ultrafiltrasi merupakan cara lain yang dipakai
untuk memperoleh serum yang bebas dari partikel koloid ini.
Dalam susu garam mineral dari asam lemah ( fosfat, sitrat, dan
karbonat) tersebar dalam bentuk ion yang mungkin. Bentuk – bentuk ion
tersebut dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Henderson-
Hasselbach,
Tabel 4. Tetapan disosiasi asam lemah
Asam pK pK pK
Sitrat 3,08 4,74 5,40
Fosfat 1,96 7,12 10,32
Karbonat 6,37 10,26 -
Susu mengandung kation jauh lebih banyak dibandingkan anion,
Jennes dan Patton (1959) menyarankan bahwa hal ini dapat dijelaskan dengan
menganggap terjadi pembentukan ion kompleks kalsium dan magnesium
dengan asam lemah. Dalam kasus ini sitrat ( c )
H c c + H
c + Ca Ca c
Ca c + H CaH c
2Ca c + Ca Ca c
Ion kompleks yang larut seperti Ca c dapat menjelaskan mengapa
terdapat banyak kalsium dan magnesium dalam susu, dan ion kompleks yang
serupa dapat terbentuk dengan fosfat dan mungkin juga dengan bikarbonat.
Mineral dalam Daging
Tabel 5. Komponen mineral dalam daging (sapi)
Komponen Mg/100 g
Kalsium total 8,6
Kalsium terlarut 3,8
Magnesium total 24,4
Magnesium terlarut 17,7
Sitrat total 8,2
Sitrat terlarut 6,6
Fosfor anorganik total 233,0
Fosfor anorganik terlarut 95,2
Natrium 168
Kalium 244
Klorida 48
Kandungan mineral utama dalam daging dapat dlihat pada tabel 5
Natrium, kalium dan fosfor terdapat dalam jumlah yang paling besar. Jaringan
otot mengandung lebih banyak kalium daripada natrium. Daging juga
mengandung lebih banyan magnesium daripada kalsium. Mineral yang tidak
larut berasosiasi dengan protein. Karena mineral terutama berasosiasi dengan
bagian daging nonlemak, daging tak berlemak biasanya kandungan mineral
atau kandungan abunya lebih tinggi. Jika cairan hilang dari daging, maka unsur
utama mineral yang hilang adalah natrium dan kehilangan kalsium, fosfor dan
kalium lebih kecil.
Jaringan otot terdiri atas sekitar 40% cairan intrasel, 20% cairan
ekstrasel dan padatan 40%. Kalium terdapat hampir seluruhnya dalam cairan
intrasel, begitu juga magnesium, fosfat dan sulfat. Natrium terutama terdapat
dalam cairan ekstrasel bersma-sama dengan klorida dan bikarbonat. Selama
pemasakan, natrium dapat hilang, tetapi mineral lain ditahan. Banyak daging
yang diproses/ diawetkan dalam larutan garam yang mengandung sebagian
besar natrium klorida. Oleh kerna itu kandungan natrium daging yang diawet-
asinkan dapat naik.
Mineral dalam Produk Tumbuhan (beras)
Tumbuhan umumnya mempunyai kandungan kalium yang lebih tinggi
daripada natrium, terutama pada tumbuhan padi (beras). Distribusi kadar abu
dalam beras pecah kulit adalah 15% dalam dedak, 10% dalam lembaga, 11%
dalam bekatul, dan 28% dalam beras giling. Distribusi P, Fe, dan K
menunjukkan kesamaan dengan distribusi abu total. Beberapa mineral lainnya
seperti Na dan Ca menunjukkan distribusi yang lebih merata dalam biji. Pada
beras giling, 63% kandungan Na dan 74% kandungan Ca diperkirakan berada
dalam beras pecah kulit. Walaupun demikian, sebagian besar mineral seperti
halnya vitamin dan lipida, terdapat dalam bagian luar biji, terutama di lapisan
aleuron dan lembaga. Makin ke tengah, kandungan mineral makin menurun.
Sebagian besar mineral dalam abu beras yang terdiri atas P, Mg, dan K terdapat
dalam jumlah yang cukup besar pada abu beras pecah kulit dan beras giling. Di
samping itu juga terdapat Ca, Cl, Na, Si, dan Fe. Fosfor dan K merupakan
mineral utama dalam beras pecah kulit, disusul oleh Si dan Mg (Damardjati
1988). Distribusi mineral dalam biji beras ternyata mirip dengan distribusi
protein dan vitamin, yaitu konsentrasi tertinggi pada lapisan luar biji dan makin
ke dalam makin menurun. Beras giling umumnya hanya mengandung abu
sekitar 0,5% (Houston dan Kohler 1970).
Metode
Penentuan Kadar Mineral Ca dan Fe50 g air rebusan beras
dimasukkan dalam cawan porselin dan dikeringkan dalam oven pada suhu 100
– 105oC dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit. Sampel kering
dimasukkan dalam furnace pada suhu 450oC selama 5 jam dan abunya
ditambah 10 ml HNO3, dipanaskan pada hot plate selama 15 menit dan
disaring. Filtrat diencerkan dalam labu takar 50 ml, diatur pH 2 – 3 dengan
NH4OH dan dianalisa dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SAA)
Tabel 6. Data pengujian mineral menggunakan AAS
Asal Beras Mineral
Ca (mg) Besi (mg)
Madang Sidempuan 0,48 0,68
Sidikalang 0,64 0,36
Medan 0,24 0,70
Sumber : Barus, P, 2005
2.3 Kadar Abu
Sebagian besar bahan makanan yaitu 96% terdiri atas bahan
organik dan air. Sisanya terdiri atas unsur-unsur mineral. Unsur mineral juga
dikenal sebagai bahan anorganik atau kadar abu. Kadar abu atau mineral
merupakan bagian berat mineral dari bahan yang didasarkan atas berat
keringnya (Anonim,2011)Abu adalah zat anorganik dari sisa hasil
pembakaran suatu bahan organik. Penentuan kadar abu ada hubungannya
dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam bahan pangan
terdiri dari 2 jenis garam, yaitu garam organik misalnya asetat, pektat, mallat,
dan garam anorganik, misalnya karbonat, fosfat, sulfat, dan nitrat. Proses
untuk menentukan jumlah mineral sisa pembakaran disebut pengabuan.
Kandungan dan komposisi abu atau mineral pada bahan tergantung dari jenis
bahan dan cara pengabuannya (Gunawan,2004).
Kandungan dan komposisi bahan abu atau mineral tergantung dari
jenis bahan dan pengabuannya. Penentuan kadar abu berhubungan erat
dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta
kebersihan suatu bahan dihasilkan. Bahan makanan dibakar dalam suhu yang
tinggi dan menjadi abu. Pengukuran kadar abu bertujuan untu mengetahui
besarnya kandungan mineral yang terdapat dalam makanan/pangan.
Penentuan abu total dapat dikerjakan dengan pengabuan secara kering atau
cara langsung dan dapat pula secara basah atau cara tidak langsung
(Gunawan, 2004)
Penentuan Kadar Abu
a). Cara Kering
Penentuan kadar abu secara langsung (cara kering) adalah dengan
mengoksidasikan semua zat organik pada suhu yang tinggi, yaitu sekitar 500-
600 C dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah
proses pembakaran tersebut. Sampel yang akan ditimbang sejumlah tertentu
tergantung macam bahannya. Bahan yang mempunyai kadar air tinggi
sebelum pengabuan harus dikeringkan lebih dahulu. Bahan yang mempunyai
kandungan zat yang mudah menguap dan berlemak banyak pengabuan
dilakukan dengan suhu mula-mula rendah sampai asam hilang, baru
kemudian dinaikkan suhunya sesuai dengan yang dikehendaki. Sedangkan
untuk bahan yang membentuk buih waktu dipanaskan harus dikeringkan
dahulu dalam oven dan ditambahkan zat anti buih misalnya olive atau parafin.
Bahan yang akan diabukan ditempatkan dalam wadah khusus yang
disebut krus yang terbuat dari porselin, silika, quartz, nikel atau platina
dengan berbagai kapasitas (25-100 ml). Pemilihan bahan ini disesuaikan
dengan bahan yang akan diabukan (Apriantono,1989).
Mengingat adanya berbagai komponen abu yang mudah
mengalami dekomposisi atau bahkan menguap pada suhu yang tinggi maka
suhu pengabuan untuk tiap-tiap bahan dapat berbeda-beda tergantung
komponen yang ada dalam bahan tersebut. Pengabuan dilakukan dengan
muffle yang dapat diatur suhunya., tetapi bila tidak tersedia dapat
menggunakan pemanas bunsen. Bila menggunakan bunsen sulit diketahui
ataupun dikendalikan suhunya untuk ini dapat digunakan pengamatan secara
visual yaitu kelihatan membara merah berarti suhu lebih kurang 550 C (bila
menggunakan krus porselin). Kadangkala pada proses pengabuan terlihat
bahan hasi pengabuan berwarna putih abu-abu dengan bagian tengahnya
terdapat noda hitam, ini menunjukkan pengabuan belum sempurna maka
perlu diabukan lagi sampai noda hitam hilang dan diperoleh abu yang
berwarna putih keabu-abuan. (Warna abu ini tidak selalu abu-abu atau putih
tetapi ada juga yang berwarna kehijauan, kemerah-merahan
(Apriantono,1989).
Lama pengabuan tiap bahan berbeda-beda dan berkisar antara 2-8
jam. Pengabuan dianggap selesai apabila diperoleh sisa pengabuan yang
umumnya berwarna putih abu-abu dan beratnya konstan dengan selang waktu
pengabuan 30 menit. Penimbangan terhadap bahan dilakukan dalam keadaan
dingin, untuk itu maka krus yang berisi abu yang diambil dari dalam muffle
harus lebih dahulu dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 ?C agar supaya
suhunya turun, baru kemudian dimasukkan ke dalam eksikator sampi dingin.
Eksikator yang digunakan harus dilengkapi dengan zat penyerap
uap air misalnya silika gel atau kapur aktif atau kalsium khlorida, sodium
hidroksida. Agar supaya eksikator mudah digeser tutupnya maka permukaan
gelas diolesi dengan vaselin (Apriantono,1989).
Rumus yang digunakan untuk menentukan kadar abu cara kering
adalah bobot sampel sebelum diabukan(dalam gram) dikurangi bobot sampel
ditambah cawan sesudah diabukan (dalam gram) dibagi bobot cawan kosong
(dalam gram) dikali 100 persen.
b). Cara Basah
Penentuan kadar abu secara tidak langsung (cara basah) terutama
digunakan untuk digesti smpel dalam usaha penentuan trace elemen dan
logam-logam beracun. Berbagai cara yang ditempuh untuk memperbaiki cara
kering yang biasanya dilakukan memerlukan waktu yang lama serta adanya
kehilangan karena pemakaian suhu tinggi yaitu antara lain dengan pengabuan
basah ini. Pengabuan secara basah ini prinsipnya adalah memberikan reagen
kimia tertentu ke dalam bahan sebelum dilakukan pengabuan. Berbagai bahan
kimia yang sering digunakan untuk pengabuan basah ini dapat disebutkan
sebagai berikut (Apriantono,1989):
Asam sulfat sering ditambahkan ke dalam sampel untuk membantu
mempercepat terjadinya reaksi oksidasi. Asam sulfat merupakan bahan
pengoksidasi yang kuat, meskipun demikian waktu yang diperlukan untuk
pengabuan masih cukup lama.
Campuran asam sulfat dan potasium sulfat dapat dipergunakan untuk
mempercepat dekomposisi sampel. Potasium sufat akan menaikan titik didih
asam sulfat sehingga suhu pengabuan dapat dipertinggi dan pengabuan
dapat lebih cepat.
Campuran asam sulfat, asam nitrat banyak digunakan untuk mempercepat
proses pengabuan. Kedua asam ini merupakan oksidator kuat. Dengan
penambahan oksidator ini akan menurunkan suhu degesti bahan yaitu pada
suhu 350 C, dengan demikian komponen yang dapat menguap atau
terdekomposisi pada suhu tinggi dapat tetap dipertahankan dalam abu yang
berarti penentuan kadar abu lebih baik.
Penggunaan asam perkhlorat dan asam nitrat dapat digunakan untuk bahan
yang sangat sulit mengalami oksidasi. Dengan perkhlorat yang merupakan
oksidator yang sangat baik memungkinkan pengabuan dapat dipercepat.
kelemahan perkhlorat ini adalah bersifat explosive atau mudah meledak
sehingga cukup berbahaya, untuk itu harus sangat hati-hati dalam
penggunaannya. Pengabuan dengan bahan perkhloratdan asam nitrat ini
dapat berlangsung sangat cepat yaitu dalam waktu 10 menit sudah dapat
diselesaikan.
Perbedaan pengabuan cara kering dan cara basah yaitu:
1. Cara kering biasa digunakan untuk penentuan total abudalam suatu bahan
makanan dan hasil pertanian, sedangkan cara basah untuk trace element.
2. Cara kering untuk penentuan abu yang larut dan tidak larut dalam air serta
abu yang tidak larut dalam asam memerlukan waktu yang relatif lama
sedangkan cara basah memerlukan waktu yang cepat.
3. Cara kering memerlukan suhu yang relatif tinggi, sedang cara basah dengan
suhu yang relatif rendah.
4. Cara kering dapat digunakan untuk sampel yang relatif banyak, sedang cara
basah sebaiknya sampel sedikit dan memerlukan reagensia yang kadangkala
agak berbahaya. Karena menggunakan reagensia maka penentuan cara basah
perlu koreksi terhadap reagen yang digunakan.
Penentuan dan kandungan mineral abu makanan adalah penting
untuk sejumlah alasan: 1) Gizi pelabelan. Konsentrasi dan jenis mineral ini
sering harus ditetapkan pada label makanan. 2) Kualitas. Kualitas banyak
makanan tergantung pada konsentrasi dan jenis mineral yang dikandungnya
termasuk merek, rasa, penampilan, tekstur dan stabilitas. 3) Stabilitas
mikrobiologi. Tinggi isi mineral kadang-kadang digunakan untuk
menghambat pertumbuhan mikroorganisme tertentu. 4) Nutrisi. Beberapa
mineral yang penting untuk diet yang sehat (misalnya: kalsium, fosfor,
kalium dan natrium) sedangkan orang lain dapat menjadi racun (misalnya:
timah, merkuri, kadmium dan aluminium). 5) Pengolahan. Hal ini sering
penting untuk mengetahui kandungan mineral dari makana selama
pengolahan karena ini mempengaruhi sifat fisikokimia makanan
(sudarmadji.1996).
DAFTAR PUSTAKA
Acker, L. 1969. Water Activity and Enzime Activity. Food Technol. 23,1257-1270
Anonim, 2011. Mineral dan Abu dalam Makanan. Http://www.abp.kadar
abu.Erni_sevendec.com
Apriantono,A. dan D.Fardiaz.1989.Analisa Pangan .Bogor:Depatemen
Barus . P. 2005. Studi Penentuan Kandungan Karbohidrat, Protein
danineral dalam Air Rebusan Beras sebagai Minuman Pengganti Susu.
USU: Medan (Jurnal Sains Kimia vol 9, No.3.2005)
Damardjati, D.S. 1988. Struktur kandungan gizi beras. In: M. Ismunadji et al. (Eds.)
Padi Buku 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Bogor.
Deman, J. M. 1997. kimia Makanan. Edisi kedua. Penerjemah: Kosasih padmawinata.
Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Gunawan, A. 2004. Copper (zat tembaga) Mineral Penguat Tulang dan Sistem Syaraf.
(diakses 27 Maret 2011)
Hamm, R. 1962. The Water Binding Capacity of Mammalia Muscle. VII. The Theory
of Water Binding . Z. Lebensm. Unters. Forsch. 109,120- 126. German
Houston, D.F. and Kohler, G.O.1970. Nutritional properties of rice. Natl. Acad. Sci.,
Washington D.C.
Sudarmadji,dkk.1996Analisa Bahan Makanan dan pertanian.yogyakarta: Penerbit
Liberty