Makalah Abdul Jalil.

60
Hubungan Industial di Indonesia; Perspektif Ekonomi Islam Oleh: abdul Jalil 1 A. Interrelasi Islam Dan Ekonomi Pada awalnya, banyak pihak meragukan hubungan antara agama dan ekonomi. Namun, sejak terbitnya buku Max Weber, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1904- 5), orang yakin adanya hubungan itu. Dalam Islam, hubungan agama dan ekonomi diyakini sudah ada sejak awal, bahkan menjadi salah satu penyebab kehadirannya. Kelahiran Islam merefleksikan sebuah reformasi terhadap keangkuhan sistem peradaban masyarakat ja>hiliyyah kala itu. 2 Keangkuhan ini dapat dilihat dari perlakuan yang tidak fair terhadap perempuan, penindasan terhadap suku dan klan yang kecil, peminggiran kaum miskin, pemusatan kekuasaan pada kaum aristokrat, ketimpangan ekonomi, dan lain-lain. 3 1 Peneliti pada Central Riset dan Manajemen Informasi (CERMIN) dan Dosen STAIN Kudus 2 Term ‘ja>hiliyyah’ menunjuk pada era kehidupan kabilah-kabilah Arab sebelum Rasulullah diangkat menjadi Rasul, yang ditandai dengan ketiadaan petunjuk Allah SWT, seorang Rasul Penerima wahyu, tidak ada pula kitab suci yang menjadi pedoman hidup. Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: The Macmillan Press Ltd, 1970), 87. 3 Fazlur Rahman menyebutkan bahwa problem akut yang dihadapi masyarakat Arab pada waktu itu, sebagaimana tampak dalam surat-surat awal al-Qur’an adalah pholitheisme (penyembahan berhala), eksploitasi kaum miskin, permainan kotor dalam perdagangan dan ketiadaan tanggung jawab umum terhadap masyarakat. Problem aktual lain yang juga menjadi ciri kehidupan waktu itu adalah perpecahan dan kecenderungan konflik antar kabilah sehingga mudah sekali berubah menjadi perang yang berkepanjangan. Salah satu contohnya adalah Perang Basu>s yang

Transcript of Makalah Abdul Jalil.

Page 1: Makalah Abdul Jalil.

Hubungan Industial di Indonesia;

Perspektif Ekonomi Islam

Oleh: abdul Jalil1

A. Interrelasi Islam Dan Ekonomi

Pada awalnya, banyak pihak meragukan hubungan antara

agama dan ekonomi. Namun, sejak terbitnya buku Max Weber,

The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1904-5), orang

yakin adanya hubungan itu.

Dalam Islam, hubungan agama dan ekonomi diyakini sudah

ada sejak awal, bahkan menjadi salah satu penyebab

kehadirannya. Kelahiran Islam merefleksikan sebuah reformasi

terhadap keangkuhan sistem peradaban masyarakat ja>hiliyyah

kala itu.2 Keangkuhan ini dapat dilihat dari perlakuan yang tidak

fair terhadap perempuan, penindasan terhadap suku dan klan

yang kecil, peminggiran kaum miskin, pemusatan kekuasaan pada

kaum aristokrat, ketimpangan ekonomi, dan lain-lain.3

Ikrar ‘la> ila>ha’ dalam shaha>dat dengan tegas

mengkumandangkan penegasian terhadap kekuatan hegemonik

dan kuasa semu yang membelenggu manusia, baik dalam berfikir,

1 Peneliti pada Central Riset dan Manajemen Informasi (CERMIN) dan Dosen STAIN Kudus2 Term ‘ja>hiliyyah’ menunjuk pada era kehidupan kabilah-kabilah Arab sebelum Rasulullah diangkat menjadi Rasul, yang ditandai dengan ketiadaan petunjuk Allah SWT, seorang Rasul Penerima wahyu, tidak ada pula kitab suci yang menjadi pedoman hidup. Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: The Macmillan Press Ltd, 1970), 87.3 Fazlur Rahman menyebutkan bahwa problem akut yang dihadapi masyarakat Arab pada waktu itu, sebagaimana tampak dalam surat-surat awal al-Qur’an adalah pholitheisme (penyembahan berhala), eksploitasi kaum miskin, permainan kotor dalam perdagangan dan ketiadaan tanggung jawab umum terhadap masyarakat. Problem aktual lain yang juga menjadi ciri kehidupan waktu itu adalah perpecahan dan kecenderungan konflik antar kabilah sehingga mudah sekali berubah menjadi perang yang berkepanjangan. Salah satu contohnya adalah Perang Basu>s yang berlangsung 40 tahun antara Bani Bakr dan Taghli>b yang hanya disebabkan oleh kematian seekor unta. Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press,1982), 3; Abu al-Faraj al-Isfiha>ni>, Kita>b al-Agha>ni>, vol. 1( Beiru>t: Mat}ba’ah al-‘Arabiyyah, tt), 140-152.

Page 2: Makalah Abdul Jalil.

bersikap ataupun berbuat, untuk selanjutnya hanya mengakui satu

kekuatan sejati, "illa Alla>h", yang berhak diikuti, ditaati, dan

disembah.

Dalam rangka mengembalikan idealisme awal, bukan

romantisme masa lalu, seorang muslim mesti mampu melakukan

pembongkaran dan pembebasan dari sistem kuasa semu beserta

jaringannya, untuk kemudian memberikan realitas alternatif

dengan seperangkat jaringan kuasa ilahi yang mengikatnya dalam

semua sistem hidupnya. Dengan cara demikian, realitas alternatif

diharapkan mampu memberikan arah, motivasi dan akhirnya

tumbuh kesadaran (self consciousness) secara penuh untuk patuh,

tunduk dan menjalankan kuasa ilahi.

Selama ini masih terdapat stereotip bahwa persoalan

industri sangat ditentukan oleh dua ekstrimitas sistem ekonomi,

yaitu kapitalisme dan sosialisme. Sistem kapitalisme diasumsikan

cenderung mengeksploitasi kaum buruh, karena di dalam sistem

ini buruh diperas tenaganya untuk menghasilkan apa yang disebut

sebagai nilai lebih (surplus value).

Sementara itu, sosialisme cenderung bersikap sebaliknya,

yaitu membela buruh. Pembelaan itu dilakukan dengan

menempatkan buruh sebagai pelopor utama perubahan dan

kepemimpinan negara.

Di Indonesia, sebuah negara yang mayoritas penduduknya

muslim, kebijakan perindustriannya, lebih khusus lagi tentang

system perburuhanya, di set up sebagai bagian dari sistem

produksi dengan metafora mesin. Upah yang diberikan kepada

buruh dianggap sebagai cost (beaya) yang kongruen dengan

produktivitas yang dihasilkan. Unsur-unsur kemanusiaan, termasuk

agama sebagai sistem kesadaran buruh, tidak menjadi factor

penting yang mempengaruhi kebjakan perburuhan.

Banyak penyebab mengapa hal ini bisa terjadi. Diantaranya

adalah minimnya studi tentang hubungan industrial yang mampu

2

Page 3: Makalah Abdul Jalil.

mengekplorsi dan mengobkektivikasi konsepsinya sehingga

Negara mempertimbangkan untuk mengadopsinya. Tulisan berikut

ini adalah studi awal tentang hal tersebut.

B. Industrialisasi dan Hubungan Industrial di Indonesia

Di Indonesia, sejarah hubungan industrial, dalam arti

hubungan antara orang yang melakukan pekerjaan pada orang

atau badan hukum, dimulai dengan perbudakan yang dilakukan

oleh budak dan hamba. Mereka ini merupakan "buruh" pada jaman

itu. ‘Upah’ yang mereka terima adalah makanan, pakaian dan

perumahan. Upah berupa uang biasanya tidak diberikan kepada

mereka. Orang lain atau badan itu merupakan "majikan" yang

berkuasa penuh dan mutlak, bahkan menguasai pula hidup-mati

para budak itu. 4

Setelah Indonesia diserahkan kembali kepada Nederland,

pemerintah Hindia-Belanda mulai membuat regulasi perbudakan,

namun tidak sampai menghapuskannya. Yang terjadi justru pada

tahun 1930-an terjadi peralihan status dari budak menjadi buruh.

Hubungan industrial yang kapitalistik mulai terbentuk dengan

adanya produksi komoditas internasional secara massal

(generalized commodity production). Ststistik Hindia-Belanda

tahun 1930 menyebutkan bahwa penduduk Indonesia yang hidup

di sector buruh ada sekitar 6 juta orang. Dari jumlah ini, sekitar

setengah jutanya merupakan buruh yang sudah bersentuhan

teknologi seperti tambang, transportasi dan bengkel. Sedangkan

sisanya terdiri dari buruh inustri kecil (2.208.900), buruh lepas

(2.003.200), dan buruh musiman yang umumnya terdiri dari buruh

tani dan tani miskin.5

4 Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: Djambatan, 1987), 105 Edi Cahyono, "Perburuhan dari masa ke masa: Jaman Kolonial Hindia Belanda sampai orde baru" dalam Gerakan serikat Buruh, (Jakarta: Hasta Mitra, 2003), 132-133.

3

Page 4: Makalah Abdul Jalil.

Produksi yang paling menonjol saat itu adalah tebu. Upah

per kepala rata-rata 14,22 gulden, dengan catatan mereka masih

membayar pajak yang disebut natura. Karena hal ini dirasa

memberatkan, 600 planter (penanam tebu) dari 51 Desa di kab.

Batang boikot membayar pajak, dan menuntut kenaikan upaha

menjadi 25 gulden.6

Gelombang kapitalisasi tidak hanya berhenti disitu. Intitusi

keuangan juga didirikan sebagai pendukung konsep Negara7 yang

diimpikan Willem Daendels yang sangat mengagumi revolusi

Perancis. Ada dua lembaga keuangan yang didirikan, yakni

Nederlansche Handels Maatschapij (NHM) dan Javasche Bank.

Kehadiran kedua lembaga juga dimaksudkan untuk menghambat

arus perdagangan Inggris di Pulau Jawa, karena saat Inggris sudah

memiliki 100 kapal yang berlabuh di batavia, sementara belanda

hanya memiliki 43 buah.8

Untuk melancarkan proyeknya, Williem Daendels juga

memberlakukan kerja paksa (rodi)9 dan poenale sanctie, yakni

pidana terutama atas penolakan untuk melakukan pekerjaan dan

melarikan diri serta mengangkut buruh kembali ke perusahaan

dengan bantuan polisi.

Lembaga punale sanksi ini semata-mata diadakan dengan

maksud mengikat buruh, sebab dari ketentuan-ketentuan dalam

kuli ordonansi tersebut jelas bahwa majikan sama sekali tidak

terikat pada perjanjian kerja. Dengan aturan tersebut, buruh,

6Data lebih lanjut dapat di telusuri dalam tulisan Edi Cahyono, Pekalongan 1830-1870: Transformasi Petani Menjadi Buruh Industri Perkebunan, (Bandung: LEC, 2001). 7 Perlu diingat bahwa saat itu status Hindia-Belanda hanya mitra dagang VOC (Vereenigde Osst-Indische Compagnie). Dengan kemandirian keuangan, dia ingin mempertegas posisi Hindia Belanda sebagai Koloni. 8Polak, "tentang cultuurstelsel dan penggantiannja" dalam Penelitian Sedjarah, no 4, th. II, September 1961, hal 18.9 Salah satu bentuk rodi yang sangat tersohor adalah membuat jalan dari Anyer sampai Panarukan.

4

Page 5: Makalah Abdul Jalil.

selama masa kontrak, kehilangan kemerdekaannya karena tidak

dapat mempersingkat, apalagi membatalkan kontrak. 10

Keharusan memenuhi kewajiban memang berlaku bagi

semua orang. Akan tetapi, dalam punale sanksi ini, buruh

diwajibkan dengan ancaman pidana, atau ancaman dibawa

kembali oleh polisi ke pekerjaannya. Dengan demikian, pihak

majikan memiliki hak atas pribadi buruh untuk kepentingannnya.

Punale sanksi telah memberikan kekuasaan kepada pengusaha

untuk berbuat kepada buruh-buruh yang dapat menimbulkan

perlakuan tidak adil.11

Sementara itu, Pada masa awal kemerdekaan, hubungan

industrial nampak diwarnai oleh pergolakan politik. Pada masa

awal kemerdekaan hubungan industrial relatif berjalan baik.

Serikat-serikat pekerja mempunyai peranan penting dalam bidang

ekonomi, pemerintahan dan kegiatan-kegiatan politik praktis. Para

anggotanya memandang bahwa organisasinya dapat dipakai

sebagai alat (vehicle) untuk memperjuangkan kepentingan

mereka.12

Pada 1956, pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO

No. 98/1949 tentang Hasar-Hasar Hak dari pada untuk

10 Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, 1999), 3111 Jen Breman menulis beberapa bentuk kekejaman yang terjadi saat itu. Jacobus Nienhuys, pemilik Deli Maatschappij menghukum cambuk 7 buruhnya hingga mati. Dalam kasus lain, seorang buruh perempuan diikat pada bungalow oleh tuan kebunnya dan kemaluannya di gosok dengan lada. Data selengkapnya, baca: Jen Breman, Menjinakkan Sang Kuli, Politik Kolonial pada awal abad ke 20, (Jakarta: Grafitti Press, 1997), xxi-ii 12 Fenomena tersebut nampak, misalnya, dari berdirinya beberapa serikat buruh. Yang berhaluan kiri berdiri Partai Buruh Indonesia (PBI), Partai Rakyat Sosialis (PRS), yang akhirnya melebur diri menjadi Barisan Buruh Indonesia (BBI). Di Kalangan buruh Perempuan, muncul Barisan Buruh Wanita (BBW) yang akhirnya berganti nama menjadi Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GABSI) setelah kongres di Madiun tahun 1946. Organisasi buruh juga muncul berdasarkan jenis pekerjaan mereka. Misalnya Muncul Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (SARBUPRI) dan Serikat Buruh Rokok Kudus. Pada 29 November 1946, seluruh serikat buruh membentuk serikat gabungan yang bernama Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Pada 1950, organisasi ini beranggotakan 2.5 juta orang yang terdiri dari 34 serikat buruh. Data lebih dalam dapat ditelusuri dalam tulisan Lance Castle, Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus, (Yogjakarta: Sinar Harapan, 1982), 133; Suri Suroto, "Gerakan Buruh dan Permasalahannya", dalam Prisma no.11 th.1981, hal 11

5

Page 6: Makalah Abdul Jalil.

Berorganisasi dan Perundingan Bersama (ILO Convention on the

Right to Organise and Bargain Collectively). Implikasinya, pada

periode 1960-an, jumlah dan keanggotaan serikat buruh menjamur

dan sangat sulit dihitung. Namun demikian, tingkat kesejahteraan

para buruh ternyata tidak memiliki hubungan signifikan untuk

menumbuhkan peningkatan standar kehidupan para buruh dan

keluarganya.13

Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, pemerintahan

berhasil membentuk MPBI (Majelis Permusyawaratan Buruh

Indonesia) yang diarahkan untuk membicarakan berbagai hal

untuk mengkonsolidasi kehidupan serikat buruh. Pada tahun 1972,

dua puluh satu serikat buruh disatukan sehingga melahirkan

Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).

Dalam perjalanannya, federasi ini dinilai tidak demokratis.

Tuduhan tidak demokratis pertama-tama dilontarkan oleh gerakan

serikat buruh Internasioanal, diantaranya WCL (World

Convenderation of Labour) dan ICFTU (International

Convenderation of Free Trade Unites ). Tuntutan mereka adalah

agar pemerintah Indonesia membuka kesempatan yang seluas-

luasnya bagi kaum buruh untuk berorganisasi dan menentukan

tempat kerja yang nyaman, terhindar dari unsur eksploitasi,

tersusunnya syarat-syarat kerja yang sesuai dengan keinginan

buruh dan manajemen serta lingkungan kerja yang bebas dari

polusi industri.14

Tahun 1974, pemerintah bersama komponen masyarakat

lainnya merumuskan apa yang disebut dengan HIP (Hubungan

Industrial Pancasila). Melalui konsep ini, diharapkan agar sistem

hubungan industrial di Indonesia berjalan sesuai budaya bangsa

yang tercermin dalam UUD 45 dan Pancasila.

13 Soegiri, "Gerakan Serikat Buruh" dalam Gerakan Serikat Buruh Jaman Kolonial Belanda Hingga Orde Baru, (Jakarta: Hasta Mitra, 2003), 91-92.14 Sutanto, Prospektif, 3

6

Page 7: Makalah Abdul Jalil.

Dalam perkembangannya, konsep ini memang telah

melahirkan praktek-praktek hubungan industrial yang mantap dan

serasi. Akan tetapi, dari sisi pekerja, hubungan ini belum

menghasilkan manfaat optimal yang bisa dirasakan oleh mereka.

Partnership sebagaimana yang diharapkan antara pengusaha

dengan pekerja ternyata belum berjalan dengan baik. Belum

pernah ada UU yang mengatur tentang hubungan industrial secara

khusus di Indonesia, tidak seperti Inggris dan bekas jajahannya

yang relatif memiliki UU seperti itu.

Peraturan yang ada juga lebih mengacu pada stabilitas,

sehingga nasib buruh tetap berada pada posisi inverior. Peraturan-

peraturan Menteri Tenaga Kerja yang dirasa tidak sesuai dengan

Perundang-undangan Perburuhan adalah:

a.Permen (Peraturan Menteri) No. 342/1986 tentang intervensi

militer sebagai perantara dalam perselisihan perburuhan.

b.Permen No. 1108/1986 tentang keharusan kalau terjadi

perselisihan perburuhan supaya diselesaikan terlebih dulu

dengan atasan langsung, sebelum lewat perantara atau P4.

c.Permen No. 1109/1986 tentang pembentukan UK (Unit Kerja) di

perusahaan harus melibatkan pengusaha.

d.Permen No. 04/1986 tentang pemberian ijin kepada majikan

untuk merumahkan buruh sewaktu-waktu tanpa menunggu

P4.15

Permen-permen itulah yang memicu gejolak masyarakat

yang peduli terhadap masalah-masalah perburuhan, karena

dirasakan sangat merugikan dan membatasi gerak buruh.

Walaupun beberapa permen tersebut dicabut tahun 1993, tetapi

dampaknya masih nampak dari tindakan-tindakan pengusaha,

15 Agnes Widanti, "Buruh di Sektor Industri Dalam Perdagangan Global", Makalah Sarasehan nasional dan Kongres Forum Mahasiswa Syari'ah seluruh Indonesia (FORMASI), Semarang, 27 Maret 1997.

7

Page 8: Makalah Abdul Jalil.

sehingga posisi, nasib dan kesejahteraan pekerja masih sangat

memperihatinkan.16

Memang, upah minimum regional (UMR), yang kemudian

berubah menjadi UMP (Upah Minimum Propinsi) dan UMK (Upah

Minimum Kabupaten), terus mengalami kenaikan sesuai dengan

perkembangan daya beli masyarakat. Namun, persentase

kenaikan UMR tersebut tidak memiliki korelasi kuat dengan

peningkatan kebutuhan buruh dan masyarakat. Itu berarti tingkat

kesejahteraan buruh masih dibawah standar. Hal ini yang

membuat eskalasi tuntutan dan demontrasi semakin meningkat

khususnya yang dilancarkan oleh pekerja.17

Di era reformasi, yang didahului dengan perpindahan

kekuasaan dalam pemerintahan, serikat buruh tumbuh dengan

subur sesuai dengan aspirasi dan tuntutan terhadap pembebasan.

Hal tersebut merupakan konsekuensi diratifikasinya Konvensi ILO

tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan

Berorganisasi. Konvensi tersebut memberi peluang yang seluas-

luasnya untuk membentuk serikat buruh baru, sesuai dengan

kehendak para pekerja/buruh dan dilarang adanya campur tangan

dari pihak manapun.

Berkaitan dengan ratifikasi itu, pada 18 Juni 1998, ILO

mendeklarasikan prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat

kerja. Deklarasi ini merupakan tonggak sejarah baru bagi ILO

untuk mengubah persepsi yang berkembang, seolah-olah ILO

hanya mendukung kepentingan negara maju, sekaligus

merupakan jawaban terhadap tantangan globalisasi pasar kerja

dan perdagangan yang telah menjadi fokus perdebatan

internasional. Deklarasi ILO tersebut bertujuan merekonsiliasi

keinginan semua pihak dalam hubungan industrial, menggairahkan

usaha-usaha nasional seiring dengan kemajuan sosial-ekonomi,

16 Eggi Sudjana, Bayarlah Upah Buruh Sebelum Keringatnya Kering, (Jakarta: PPMI, 2000), 23-2517 Muhaimin Iskandar, Membajak di Ladang Mesin, (Semarang: Yawas, 2004), 84

8

Page 9: Makalah Abdul Jalil.

mengakomodir perbedaan kondisi lokal masing-masing negara,

dan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM).

Namun di pihak perusahaan, para pengusaha tidak dapat

segera memenuhi standart perburuhan yang baru, disamping

karena pertumbuhan ekonomi yang rendah, juga karena mereka

menghadapi sejumlah pilihan sulit, terutama berkaitan dengan

pengeluaran sejumlah biaya 'siluman', yang tidak berhubungan

dengan proses produksi. Selain itu persediaan tenaga kerja yang

berlimpah juga menjadi salah satu pertimbangan pengusaha untuk

tidak segera merespon tuntutan pekerja yang ada.18  

Untuk keluar dari situasi ini, banyak negara, termasuk

Indonesia, kemudian mengadopsi konsep Negara sejahtera

(welfare state), yang sesungguhnya lahir sebagai respon atas

18 Struktur hubungan ini digambarkan Antonio Gramci sebagai berikut. Lapisan yang tertinggi adalah negara/pemerintah dan aparat-aparatnya, kemudian di bawahnya para kapitalis, di bawahnya buruh, sedang yang paling bawah adalah petani. Petani adalah golongan masyarakat yang memproduksi pangan untuk menghidupi para buruh dan masyarakat lainnya. Sementara itu buruh bekerja untuk kepentingan golongan kapitalis dalam upaya terus meningkatkan produksi sekaligus mengembangkan kapital atau modalnya. Demi kepentingan peningkatan produksi para kapitalis melakukan eksploitasi terhadap buruh. Akan tetapi, para kapitalis tidak akan mampu melakukan eksploitasi tanpa adanya dukungan dan perlindungan dari pihak negara/pemerintah. Sebagai imbalannya, para kapitalis membayar pajak kepada negara yang digunakan untuk membiayai aparat-aparatnya. Dalam upaya itu negara melakukan hegemoni melalui aparat-aparatnya, yang secara umum terdiri dari empat macam, yaitu aparat hukum, militer, pendidikan dan agama. Aparat hukum bertugas memproduksi aturan perundang-undangan untuk menekan dan mengendalikan rakyat (terutama buruh) agar tidak melakukan protes dan kritik terhadap para kapitalis dan negara itu sendiri. Aparat hukum berfungsi sebagai alat hegemoni melalui eksekusi undang-undang, sedangkan aparat militer berfungsi sebagai kekuatan represif yang menindak rakyat dengan cara-cara kekerasan (repressive state apparatus). Militerlah yang secara fisik melakukan pengendalian dan tekanan kepada rakyat agar tetap tenang dan menerima kebijakan negara apa adanya. Hegemoni melalui aparat hukum dan militer masih belum cukup dan dianggap terlalu vulgar, sehingga juga harus dilakukan melalui pendidikan, informasi dan agama. Melalui 'aparat' pendidikan dan informasilah negara melakukan hegemoni kultural dan kesadaran masyarakat (ideological state apparatus). Sementara itu, para pengkhotbah dan tokoh-tokoh agama yang lain --melalui ceramah dan khotbahnya-- bertugas menggiring kesadaran rakyat pada sikap sabar dan pasrah dengan berharap adanya imbalan dari Allah di surga nanti. Agama yang difungsikan seperti ini, sebenarnya untuk melindungi kepentingan kapitalis atau kepentingan negara yang telah menjadi alat bagi kaum kapitalis. Itulah sebabnya agama dengan fungsinya yang seperti ini oleh Karl Mark disebut sebagai candu Antonio Gramsci, "Ekonomi dan Korporasi Negara" dalam Catatan-catan Politik, terj. Gafna Raiza, (Surabaya: Pustaka Promethea, 2001), 64-68

9

Page 10: Makalah Abdul Jalil.

depresi ekonomi 1935 dan Perang Dunia II.19 Landasan filosofisnya

berbeda dengan Darwinisme Sosial tentang kapitalisme laissez-

faire. Negara sejahtera berkeyakinan bahwa kesejahteraan

individu merupakan sesuatu yang sangat penting dan tidak

mungkin hanya tergantung dengan operasi pasar. Paradigma

Filsosofis ini mengindikasikan pengakuan formal terhadap ekonomi

mainstream yang menyatakan bahwa kemiskinan dan

ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya

bukanlah dalil atas kegagalannya. Para pekerja yang terpaksa

melakoni pekerjaan dengan gaji dibawah Upah Minimum Regional

(UMR) dan Upah minimum Kabupaten (UMK), para pengangguran

dan mereka yang jatuh miskin tidak semata-mata disebabkan oleh

kesalahannya sendiri. Oleh karena itu, perlu dicarikan cara agar

mereka mendapatkan pelayanan umum seperti kesehatan,

pendidikan, transportasi, perumahan, dan lain-lain, disamping juga

melindunginya dari resiko sosial, ekses industrialisasi,

ketidakmampuan dan pengangguran.

Negara Sejahtera tidak perlu mengajukan perubahan

fundamental untuk merealisasikan tujuannya. Peran Negara yang

lebih besar sudah dianggap cukup untuk menjalankan fungsi pasar

secara sempurna dan memperbaiki ketidakadilan yang diciptakan

kapitalisme laissez-fire.

Secara teori, target ini bisa dilaksanakan melalui enam

langkah: regulasi, nasionalisasi, gerakan buruh, kebijakan fiskal,

pertumbuhan yang tinggi, dan full employment. Enam langkah

tersebut di atas pada dasarnya mengakui adanya full employment,

distribusi kekeyaan dan pendapatan secara adil sebagai bagian

dari tujuan pokok kebijakan negara. Filosofi ini menuntut peranan

negara dalam bidang ekonomi menjadi lebih aktif dibanding

dengan paham kapitalisme laissez-fire, atau bahkan teori Keynes.

19 Asa Briggs, "The Walfare State in Historical Perspective" dalam Archives Europeenes de Sociologie, 1961.

10

Page 11: Makalah Abdul Jalil.

Hanya saja, karena konsep Negara Sejahtera berbicara

tentang sesuatu yang abstrak, yakni kesejahteraan, maka sampai

hari ini para pakar belum mampu menyepakati definisi Negara

Sejahtera. Bahkan Titmuss sampai berkesimpulan bahwa Negara

Sejahtera adalah abstraksi yang tidak bisa didefinisikan. Dengan

demikian, banyak dijumpai contoh praktis yang berbeda antara

satu negara dengan lainnya, mulai dari yang kurang sempurna

seperti Amerika Serikat, sampai yang sempurna seperti Swedia.

Sekalipun Negara Sejahtera telah berusaha semaksimal

mungkin mengusung kesejahteraan umum, namun tetap saja tidak

bisa lepas dari unsur kapitalisme. Ia tidak bisa keluar dari unsur

filsafat enlightenment20 atau dari keyakinan akan kesucian sistem

pasar. Sikap antagonistik enlightenment terhadap pertimbangan

nilai juga tetap tak berkurang. Karena itu, pendekatan yang

dipakai adalah pasar bebas. Negara tidak perlu mencampuri

urusan import tenaga kerja asing, misalnya, asal dilakukan sesuai

mekanisme pasar, fair, tidak ada rekayasa dan permainan kotor.

Dalam kondisi ini, negara diibaratkan sebagai wasit dalam

permainan sepak bola. Ia tidak punya hak menendang atau

memegang bola. Yang perlu dilakukan adalah agar permainan

dalam sepak bola tersebut berjalan lancar dan tidak ada

kecurangan.21

Teori pasar di atas, ternyata menimbulkan banyak ekses.

Mereka yang mempunyai kapital tinggi akan dengan sendirinya

menguasai pasar, sehingga potensial melakukan penyimpangan

dan ketidakadilan, sehingga apa yang disebut sebagai

kesejahteraan (walfare) masih jauh panggang dari api.

Kebenaran pernyataan ini tidak membutuhkan riset yang

njlimet karena sejak dulu kita memang belum bisa menyelesaikan

20 Istilah enlightenment (pencerahan) seringkali disebut juga dengan The Age of Reason (Era akal) yang merupakan antitesa terhadap banyak doktrin gereja yang anti ilmu pengetahuan. Crane Brinton, "Eglightenment", dalam Encyclopedia of Philosophy, vol 2 (New York: Macmillan and the Free Press, 1967),521 21 Umer Capra, Islam dan Tantangan Ekonomi (Jakarta: IIT, 2000), 271-278

11

Page 12: Makalah Abdul Jalil.

kondisi ketenagakerjaan. Dari dulu masalah perburuhan menjadi

sorotan banyak pihak, tapi dari dari dulu pula masalah ini tidak

selesai. Hal ini karena ketidakseimbangan supplay dan demand

tenaga kerja. Teorinya memang benar bahwa slope upah bergerak

positif sesuai dengan perkembangan permintaan, tapi ternyata

pergerakannya tidak secepat yang diharapkan sehingga terjadi

kesenjangan (baca: pengangguran).22

Karena ketidakseimbangan supplay dan demand itulah,

maka harga (upah) tenaga kerja di Indonesia sangat murah. Upah

buruh ditetapkan dengan Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Upah

Minimum Kabupaten/Kota (UMK) hanya untuk memenuhi

Kebutuhan Hidup Minimal (KHM), bukan pada Kebutuhan Hidup

Layak (KHL), sehingga seluruh potensinya habis untuk Opportunity

cost, tanpa pernah bisa menikmati economic rent. Kenyataan ini

menunjukkan bahwa di Indonesia faktor yang paling

mempengaruhi pasar tenaga kerja masih upah, belum bergeser ke

faktor selera, nilai pengalaman, atau faktor non materiil lainnya.23

22 Secara teoritis, kepentingan buruh dan majikan akan terselesaikan oleh adanya mekanisme pasar yang mempertemukan supplay dan demand dalam dalam sebuah equilibrium pasar. Kurva permintaan ini bisa bergeser ke kiri atau ke kanan. Jika bergeser ke kanan berarti ada permintaan jumlah tenaga kerja. Kalau penawaran tidak berubah, maka akan terjadi kenaikan penyerapan tenaga kerja. Tapi, jika kurva bergerak ke kiri, maka berarti ada penurunan permintaan. Jika penawaran harga tidak berubah, maka akan ada penurunan volume penyerapan tenaga kerja. Namun, teori ini tidak selamanya demikian. Didalamnya ada beberapa pengecualian seperti terlihat pada: Pertama, kasus Constans Cost Supplay dimana kenaikan produksi tidak mengakibatkan kenaikan harga. Kedua, kurva penawaran inelastis sempurna dimana kenaikan permintaan hanya akan berakibat pada kenaikan harga barang tanpa diikuti kenaikan volume transaksi penjualan dipasar. Ketiga, Backward Bending Supplay dimana kurva penawaran mempunyai slope negatif, dan keempat kasus Decreasing Cost Supplay dimana kenaikan proses produksi justru menurunkan ongkos produksi per-unit. Budiono, Tori Eknomi Mikro, (Yogyakarta: BPFE, 1998) 45-52; William A. McEachern, Ekonomi Mikro Pendekatan Kontemporer, (Jakarta: Thomson Learning, 2001). 23 Faktor-faktor non upah yang mempengaruhi penawaran tenaga kerja adalah; [1] Sumber Pendapatan Lain. Meskipun beberapa pekerjaan memberikan berbagai bentuk imabalan non keuangan, namun alasan utama orang bekerja adalah mencari uang. Dengan demikian, maka tawaran tenaga kerja sesungguhnya berhubungan dengan sumber pendapatan lain yang ia miliki. Mahasiswa yang mendapat beasiswa, bisanya menawarkan waktu bekerja lebih pendek dibandingkan dengan yang mandiri; [2] Faktor non Keuangan. Tenaga kerja adalah sumber daya yang khusus. Ia tidak sama dengan modal dan tanah yang dapat ditawarkan dengan seenaknya tanpa melihat lokasi dan pemiliknya. Karena

12

Page 13: Makalah Abdul Jalil.

Oleh karena itu sangat dimengerti jika buruh selalu

menuntut perbaikan nasib. Tahun 2004 ada 103 kasus

pemogokan yang melibatkan 44.280 tenaga kerja, sehingga

menyebabkan hilangnya jam kerja sebanyak 462.624 jam.24

Data diatas merupakan fakta tak terbantahkan bahwa posisi

buruh memang sangat sulit. Kaum buruh terus hidup dengan

kesadaran tradisional, sementara mereka di hadapkan secara

langsung dengan praktek-praktek diskursif dan hegemonisasi

modal. Kapitalisme telah menjadi ideologi dominan. Ia

membentuk, memproduksi dan melakukan kontrol kesadaran.

Dominasi kapitalisme ini telah sampai pada praktek kekerasan,

penindasan dan penghisapan terhadap kaum pekerja (buruh, tani,

dan kaum miskin kota). Ironisnya, karena fenomena ini menjadi

tontonan keseharian, maka tidak lagi dilihat sebagi kejahatan,

tetapi telah diterima sebagai kewajaran.

Integrasi sistem ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi

dunia yang didasari oleh liberalisme perdagangan dan investasi

diakui atau tidak telah menimbulkan banyak ekses. Disamping

secara ekonomi menimbulkan ketimpangan, secara sosiologis juga

memunculkan kelas sosial buruh perkotaan sebagai akibat arus

urbanisasi yang masif dari desa ke kota. Kondisi ini masih

ditambah lagi dengan media kapitalisme yang membombardir

pekerjaan mensyaratkan keterlibatan person secara langsung, maka faktor non keuangan semisal tingkat kesulitan pekerjaan, lokasi, kualitas lingkungan pekerjaan, dll, akan memainkan peranan penting dalam penawaran tenaga kerja; [3] Pengalaman kerja. Hal lain yang juga menentukan penawaran adalah nilai pengalaman. Mahasiswa jurusan manajemen keuangan akan lebih senang bekerja sebagai asisten bendahara dalam sebuah mikcro finance dari pada bekerja menjadi penjual kacang goreng. Seorang calon pengacara lebih senang kerja sebagai asisten hakim dari pada pekerjaan lain karena ada nilai pengalaman yang kan dipetik nantinya.Bahkan beberapa orang rela menerima bayaran yang relatif rendah, dengan harapan nantinya mendapatkan bayaran yang lebih tinggi; [4] Selera Pekerja. Sebagaimana selera terhadap barang berbeda, maka selera pemilik sumber daya terhadap sebuah pekerjaan juga berbeda. Karena itulah, sebagian orang lebih senag bekerja di lapangan, sementara yang lain lebih suka bekerja di balik meja. Sebagian orang jijik terhadap darah, sementara yang lain memilih kerja sebagai perawat. Begitulah seterusnya. Semua ini akan mempengaruhi penawaran kerja. William A. McEachern, Ekonomi Mikro Pendekatan Kontemporer (Jakarta: Thomson Learning, 2001), 222-223.24 Tempo interaktif, 19 Januari 2005

13

Page 14: Makalah Abdul Jalil.

buruh dengan tontonan visual yang penuh daya persuasif (bujuk

rayu).

Model-model represivitas ini dengan sendirinya membuat

kaum buruh tetap dalam kondisi terpuruk. Kaum buruh secara

sistemik tidak akan sampai pada kesadaran sebagai kelas sosial

yang tertindas, sebagai sapi perahan di dalam siklus jam kerja dan

cost produksi.

Mereka dibelenggu untuk hanya hidup di dalam lingkungan

pabrik, lahan sawah, areal perkebunan, dan ruang perkantoran

swasta. Di luar itu, akibat hegemonisasi, ilusi juga tak henti-

hentinya disusupkan di ruang-ruang kesadaran rakyat pekerja oleh

media-media kapitalisme, sehingga rakyat pekerja hidup dalam

tradisi budaya yang semrawut, konsumtif, dan individualistik.

Budaya liberal telah membuka kemungkinan sebesar-besarnya

bagi penguasaan dan pengebirian potensi kesadaran kritis, daya

korektif dan semangat resistensi rakyat. Melalui tontonan dan

sajian berita yang bebas nilai, potensi kolektivitas yang didasari

oleh kesadaran kelas rakyat digiring untuk tunduk pada

kapitalisme.

C. Basis Normativ Hubungan Industrial Dalam Islam

Melihat paradigma perburuhan di Indonesia yang lebih

menguntungkan modal dan menempatkan buruh pada posisi

lemah, tidak salah jika Islam datang menawarkan sistem lain yang

diharapkan menjadi alternatif. Ada beberapa alasan mengapa

Islam harus mengampil peran. Antara lain, Islam sebagai agama

komprehensif dipandang mempunyai konsep dasar tentang sistem

ekonomi yang bisa menjadi alternatif terhadap dua ideologi besar

yang sama-sama ekstrim, kapitalisme dan sosialisme. Hukum

Islam sebagai konsep normatif yang bersifat operasional dalam

Islam diharapkan mampu mengaktualisasikan dirinya untuk

14

Page 15: Makalah Abdul Jalil.

menjawab realitas perburuhan kontemporer di bawah sistem

kapitalisme.

Alasan lain adalah untuk melakukan pressure terhadap

negara dengan landasasan teologis, agar penanganan masalah

buruh tetap mengacu kepada fitrah kemanusiaan yang menjadi

misi setiap agama. Oleh karenanya, Hukum Islam di abad modern

ini diharapkan mampu berbicara banyak mengenai konsep

perburuhan melalui penelusuran norma-norma Islam, dalam

bentuk prinsip dasar maupun operasional, baik yang terdapat

dalam teks-teks nash mapun pengalaman historis masyarakat

Islam.

Untuk meneropong isu hubungan industrial dengan

kompleksitas persoalannya, mau tidak mau kita mesti melangkah

ke persoalan yang lebih mendasar, yaitu paradigma perekonomian

dalam Islam.

Basis paradigmatic ekonomi Islam adalah keterkecukupan

makhluk akan kebutuhannya, sebagaimana tampak dalam firman:

YٍةW َمVْنT َوQَمQا ْرTِضV ِفVي َدQاَّبQ Tاَأْل YاَّلV YِهV َعQَلQى ِإ ُقjَهQا الَل TْزVْر jُمQ QْعTَل َهQا َوQَي YَّرQَقQ َت Tْسjا َمQَهQَعQَدTْوQ َت TْسjَمQَو vٌّلj ُك

QاٍبW ِفVي Vَت VيْنW ُك )6(َهْوَد: َمjِب

Data menunjukkan bahwa kekayaan alam yang disediakan

Tuhan di bumi ini sebenarnya sangat mencukupi untuk sekedar

memenuhi kebutuhan (bedakan dengan: keinginan) makhluk hidup

yang melata di atasnya, tidak terkecuali umat manusia. Lebih-lebih

dengan senjata ilmu dan teknologinya, umat manusia kini mampu

mengeksplorasi kekayaan alam yang tersimpan di perut bumi yang

paling dalam sekalipun. Oleh sebab itu, apabila dalam

kenyataannya, banyak orang yang tidak mampu memenuhi

kebutuhan dlarûri-nya, apalagi yang takmîli atau tahsîni, itulah

bukan karena persoalan supply yang terbatas melainkan lebih

karena distribusi yang terampas. Berdasar cara pandang ini, Ilmu

Ekonomi Islam didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tata

15

Page 16: Makalah Abdul Jalil.

kehidupan kemasyarakatan dalam memenuhi kebutuhannya untuk

mencapai ridla Allah. Ta'rif ini setidaknya telah mengakomodir tiga

domein utama; [1] domein tata kehidupan [2] domein pemenuhan

kebutuhan, dan [3] domein ridla Allah. Definisi ini juga sekaligus

melengkapi pemikiran Monzer Kahf, Choudhuri, Mannan dan

Marshall.25

Konsisten dengan tiga domein ini, maka pola hubungan

industrial belum sepenuhnya sejalan dengan idealisme Islam yang

menghendaki adanya keadilan yang merata. Sebab, dalam

fungsinya yang sebatas regulator, pemerintah sulit menjamin

kesejahteraan warganya karena ia tidak mempunyai keberpihakan

yang jelas terhadap kaum miskin, atau secara umum terhadap

pemerataan keuntungan. Pemerintah memang telah berusaha

mengatur upah minimum bagi buruh. Tapi sama sekali tidak

menyentuh ‘upah maksimum’ yang dihasilkan oleh modal

pengusaha. Sebagai misal, dari modal 1.000.000,- seorang

pengusaha mendapatkan laba 1.500.000,. Berapa persenkah ia

berhak mengambil keuntungan dari saham modalnya? Kalau buruh

hanya diberi UMR, itu artinya selebihnya milik pengusaha,

berapapun jumlahnya. Buruh hanya mendapatkan taraf kehidupan

minimal, sementara pengusaha mendapatkan keuntungan

maksimal. Dalam kondisi ini, maka penumpukan modal tidak akan

terhindari.

Hal ini, disadari atau tidak, pada gilirannya dianggap turut

bertanggung jawab atas kesenjangan pembagian kekayaan dan

pendapatan secara mencolok, karena dalam perkembangannya, ia

meningkatkan kekuasaan perusahaan, memonopoli harga, sistem

produksi, kebebasan pasar, dan pengejaran keuntungan. Konsep

ini, disadari atau tidak, telah membuat si kaya menjadi lebih kaya

dan si miskin menjadi lebih miskin.

25 Murassa Sarkaniputra, " 'adl dan ih}san dalam ekonomi Islam" dalam Jurnal al-Iqtis}a>diyyah, vol. 1, januari 2004.

16

Page 17: Makalah Abdul Jalil.

Islam juga tidak sepakat dengan tawaran kepemilikan

kolektif dari kaum sosialis, sebagai cara untuk meratakan

kemakmuran warganya. Sebab hal itu akan berakibat pada

dihapuskannya milik pribadi. Sekalipun skenario totaliter yang

dituntun oleh konsep hak kolektif ini dapat membantu mengurangi

pengangguran, distribusi yang tidak adil, dan banyak

kekurangan-kekurangan kapitalis lainnya, namun tidak berarti

bebas dari keterbatasan-keterbatasan, terutama soal insentif dan

kebebasan pribadi. Di bawah komunisme, manusia sesungguhnya

diasumsikan sebagai mesin yang tidak berperasaan.26

Islam berposisi diantara kapitalis-sosialis yang hanya melihat

manusia secara parsial. Islam tidak hanya mengakui hak milik

pribadi, tetapi dengan menjamin pembagian kekayaan yang

seluas-luasnya dan bermanfaat melalui lembaga-lembaga yang

didirikan dengan bimbingan moral universal. 27

Islam berkeyakinan bahwa kesejahteraan sosial merupakan

sesuatu yang sangat penting. Kemiskinan dan ketidakmampuan

seseorang dalam memenuhi kebutuhannya, bukanlah dalil atas

26 Penjelasan lebih lanjut tentang masalah ini dapat ditelusuri dalam Tulisan MA. Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, 309-329.27 Sebagaimana diketahui, bahwa ilmu ekonomi muncul karena ada keterbatasan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan yang tak terbatas. Disinilah simpang jalan ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Ekonomi Islam berusaha memenuhi kebutuhan tersebut dengan tuntunan nilai Islam, sementara ilmu ekonomi konvensional berusaha memenuhinya dengan caranya sendiri yang dituntun oleh kepentingan individu.Dari sini kita tahu, bahwasanya dilihat dari pokok masalah, sesungguhnya tidak ada perbedaan antara ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Yang berbeda adalah sifat dan volume pemenuhan kebutuhan yang tidak terbatas tersebut. Perbedaan paradigma ini pada gilirannya menimbulkan sistem yang berbeda pula. Ekonomi Islam digerakkan oleh pertukaran terpadu dan transfer satu arah yang dituntun oleh etika Islam, kekuatan pasar dan kekuatan non pasar sehingga langsung merge dengan kesejahteraan umat manusia secara menyeluruh. Sementara sistem ekonomi konvensional lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar yang sering terdistorsi.Karena pertimbangan nilai inilah, ekonomi Islam tidak bisa berdiri netral diantara tujuan-tujuan yang melingkupi manusia. Meskipun pariwisata dengan pelayanan seks dan Miras mempunyai prospek bisnis tinggi, namun hal ini tidak mungkin di-handle sistem ekonomi Islam karena bertentangan dengan nilai Islam yang lebih memperhatikan kesejahteraan sosial secara umum. M. Umar Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi (Jakarta, IIT, 1998), 79-83.

17

Page 18: Makalah Abdul Jalil.

kegagalannya. Para pekerja yang terpaksa melakoni pekerjaan

dengan gaji dibawah Upah Minimum Propinsi (UMP), para

pengangguran dan mereka yang jatuh miskin, tidak semata-mata

disebabkan oleh kesalahannya sendiri.

Oleh karena itu, perlu dicarikan formula agar mereka

mendapatkan pelayanan umum; seperti kesehatan, pendidikan,

transportasi, perumahan, dan lain-lain, disamping juga

melindunginya dari ekses industrialisasi seperti pencemaran

lingkungan, terganggunya sistem sosial, pengangguran, dan

sebagainya. Semua itu tidak mungkin terjadi jika pemerintah

hanya berperan sebagai regulator.

Secara umum, prinsip hubungan industrial dalam Islam

harus mengakomodir kepentingan buruh yang meliputi:

1. Hak mendapatkan pendidikan dan keterampilan sesuai dengan

kompetensinya.

Pada dasarnya, setiap tenaga kerja berhak untuk

memperoleh, meningkatkan dan mengembangkan kompetensi

kerja, sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui

pelatihan kerja untuk meningkatkan produktivitas mereka..

Sebagai sebuah terminologi, istilah produktivitas memang

baru muncul pertama kali pada tahun 1776 dalam suatu

makalah yang disusun oleh seorang ekonom Perancis, Francois

Quesney, dalam tulisannya yang berjudul Historis Viewpoint of

Economic Theories. Sedangkan produktivitas sebagai konsep

dengan input dan Output sebagai eleman utamanya pertama

kali dicetuskan oleh David Ricardo bersama Adam Smith sekitar

tahun 18.28 Ini senada dengan pernyataan Stevenson yang

mengatakan bahwa yang disebut produktivitas tak lain adalah

indeks untuk mengukur seberapa jauh keluaran relatif dapat di

capai dengan mendayagunakan masukan yang dapat

28 Winardi, Sejarah Perkembangan Ilmu Ekonomi (Bandung: Tarsito, 1997), 20

18

Page 19: Makalah Abdul Jalil.

dikombinasikan.29 Penjelasan lebih lanjut tentang produktivitas

dikemukakan oleh Adam and Ebert yang menyatakan bahwa

productivity can be expressed on a total faktor basis or on

partial faktor basis.30

Akan tetapi, sebagai sebuah substansi, produktivitas

bukanlah konsep baru, jauh-jauh hari Islam telah mengenal

konsep tersebut. Dalam surat al-Mulk ayat 2 Allah berfirman:

YِذVي TَمQْوTَتQ َخQَلQَقQ ال QاَةQ ال ي QَحT jُمT َوQال jْوQُك Tَل Qِب Vي jُمT ل �ُك Qَي ْنj َأ QْسTْحQ TْعQُزVَيُزj َوQَهjْوQ َعQَمQاًل� َأ ال

(الَمَلك: jْوْرjُفQَغT )2ال

"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun"

Ayat ini menyatakan bahwa Allah menciptakan kematian

dan kehidupan adalah untuk menemukan siapa di antara

mereka yang lebih baik perbuatannya. Dalam konteks ekonomi,

yang lebih baik perbuatannya adalah yang lebih produktif. Nabi

juga pernah menyatakan bahwa barang siapa yang hari ini lebih

jelek dari hari kemarin berarti rugi karena tidak ada nilai

tambah. Karena itu, satu-satunya pilihan bagi seorang muslim

adalah bahwa hari ini harus lebih baik (lebih produktif) dari hari

kemarin.

2. Hak Mendapatkan pekerjaan dan penghasilan sesuai dengan

pilihannya.

Keterampilan sesorang merupakan aset pribadi buruh,

bukan milik majikan. Sehingga, ia tidak terbebani untuk

melakukan sesuatu yang berada diluar miliknya.

Konsekwensinya adalah, jikalau dengan skill tersebut buruh

merasa tidak pas bekerja dengan majikan tersebut, ia punya

hak untuk pindahSebagaimana tertera dalam pasal 31, setiap

tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama

29 W.J. Stevenson, Production And Operation Management (Illinois: Richard D. Irwin, 1993), 36 30 Evertt. Jr. Adam and Ronald J. Ebert, Production and Operation’s Management 4th ed (New Jersey: Prentice Hall, 1989), 40.

19

Page 20: Makalah Abdul Jalil.

untuk mendapatkan pekerjaan, memilih jenisnya, pindah dari

pekerjaan lama dan memperoleh penghasilan, baik di dalam

atau di luar negeri. 31 Garis yang dibikin Islam sangat jelas. Allah

berfirman :

Tٌّلjُق vٌّلj QْعTَمQٌّلj ُك VِهV َعQَلQى َي Qَت Vَل اُك Qَش Tُمj �ُك َّب QَّرQِف jُمQ QَعTَل VَمQْنT َأ QَهTَدQى َهjْوQ َّب (ااَّلسَّراء َأ Vياًل� ِب Q84: س(

"Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya"

3. Hak Mendapatkan keselamatan, Kesehatan dan perlindungan

kerja, terutama bagi pekerja yang cacat, anak dan perempuan.

Disamping konsep h}ifz} al-nafs dalam al-d}aru>riyya>t

al-khamsah, dalam sebuah Hadith, Nabi bersabda:

Tُمjَه... Tُمj jُك VَخTْوQاُن Qَهjُمj ِإ Yِهj َجQْعQَل QَحTَتQ الَل jُمT َت TَدVَيُك Qَي Yِهj َجQْعQٌّلQ ِفQَمQْنT َأ QَخQاُهj الَل QَحTَتQ َأ QَدVُهV َت jْطTْعVَمTِهj َي Tي ِفQَل

jٌّلj َمVَمYا Tُك Qْأ ِهj َي TْسV Tِب jَل Tي Qُسj َمVَمYا َوQل Tِب Qَل �ُفjِهj َوQاَّلQ َي Qَل jُك TْعQَمQٌّلV َمVْنQ َي jِهj َمQا ال Vِب QَغTَل VْنT َي YُفQِهj ِفQِإ Qَل jِهj َمQا ُك Vِب QَغTَل َي

jِهT jْعVْن Tي TِهV ِفQَل Qي 32الِبخاْرى) (ْرَواُه َعQَل

" Para perkerja adalah saudaramu yang dikuasakan Allah kepadamu. Maka barang siapa mempunyai pekerja hendaklah diberi makanan sebagaimana yang ia makan, diberi pakaian sebagaimana yang ia pakai, dan jangan dipaksa melakukan sesuatu yang ia tidak mampu. Jika terpaksa, ia harus dibantu" (HR. Ahmad).

Hadith ini sangat jelas menyatakan bahwa keamanan

buruh berada dalam tanggungan para majikan. Kewajiban

memberi makanan dan pakaian sebagaimana yang dipakai

majikan, jika dipahami dengan pemahaman Isha>rah al-Nas},33

adalah perintah untuk menyediakan basic need, sebagaimana

dibayangkan Maslow. Juga, larangan memaksa melakukan

pekerjaan yang mereka tidak mampu dan kewajiban membantu

melaksanakan pekerjaan tersebut bisa dipahami sebagai

kewajiban memberikan fasilitas dan perlindungan kerja.

Pemaknaan secara isha>ri> ini akan menemukan

kerangka yang lebih kongkrit ketika kita memahaminya dengan

31 Muhammad al-Ghazali, Huquq al-Insan, (Iskandariyyah: Dari al-Da'wah, 1999), 125-12832 al-Bukhary, Shahih Bukhari>, (Beirut: Da>r al-Qalam, 1987), no. 55933 Wahab Khallaf, Ilm Ushul fiqh, 145

20

Page 21: Makalah Abdul Jalil.

menggunakan beberapa prinsip yang ada dalam Islam. Prinsip

tersebut antara lain adalah:

a. Prinsip al-Maslah}ah} al-Mursalah, yaitu suatu prinsip

kemashlahatan umum yang telah menjadi acuan sahabat

dan tabi’in, terutama masalah yang berkaitan dengan

kepentingan umum yang tidak ada ketentuannya dalam

berbagai hukum syarak atau semisalnya.

b. Prinsip al-Istih}san, yaitu persetujuan terhadap sesuatu

karena sesuatu itu mengandung kebaikan yang berguna

untuk manusia. Ia merupakan satu prinsip yang digunakan

oleh fuqaha dalam usaha untuk menda-patkan beberapa

kepentingan yang sangat diperlukan oleh manusia.

c. Prinsip al-Istish}ab, yaitu mengqiyaskan satu masalah yang

sudah ijmak hukumnya terhadap masalah yang baru yang

belum ada hukumnya.

d. Prinsip sadd al-dhara>’i', yaitu prinsip menghindari bahaya

yang diramalkan akan berlaku.

Prinsip-prinsip di atas dapat dijabarkan menjadi bagian-

bagian yang lebih khusus dengan berdasarkan pada kebutuhan

pihak-pihak yang bertransaksi. Upaya penerjemahan ini telah

dimulai oleh para fuqaha. Secara fiqh, hubungan kerja antara

buruh-majikan dikonsepsi menjadi ‘akad ijarah yang merupakan

akad pertukaran manfaat dan upah. Sebagai konsekwensi akad,

pihak majikan bertanggung jawab atas berbagai hal yang

menyangkut keselamatan pekerja. Oleh karena itu, pihak

pekerja mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan dan perawatan secara teratur agar bisa menjalankan

pekerjaan sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian

kerja.

Para fuqaha mengharuskan majikan untuk memberikan

anggaran biaya perawatan kesehatan bagi setiap orang dalam

waktu satu sesi kerja. Biaya tersebut perlu dipersiapkan lebih

21

Page 22: Makalah Abdul Jalil.

awal, karena tidak diketahui dengan pasti kapan para pekerja

itu akan jatuh sakit. Adalah sebuah kesalahan (dan juga

termasuk perbuatan menganiaya) jika majikan membiarkan

pekerjanya sakit, di mana yang sakit itu masih menjadi

tanggungannya selama dalam jangka waktu yang tercantum

dalam perjanjian kerja.

Mengenai buruh anak, istilah itu sendiri senantiasa

memunculkan berbagai interpretasi yang lebih menjurus

kepada soal-soal negatif, seperti isu kemiskinan, keterpaksaan

dan kekerasan. Nabi sangat menyadari posisi dilematis ini.

Karena itulah beliau menyatakan:

QاَّلQْوا ...َوjُف� Qَل jُك QْسTَبQ الَّصYَغVيَّرQ َت Tُك Yِهj ال Vُن VَذQا ِفQِإ QُمT ِإ QِجVَدT ل َقQ َي Qَّر Qُف�ْوا سVَعQَو TَذV jُمj ِإ QَعQُفYُك َأjِهY jُمT الَل Tُك Qي V َمVْنQ َوQَعQَل TَمQْطQاَعVُم VَمQا ال TَهQا َطQاٍبQ َّب 34 َمالك) (ْرَواُه َمVْن

Dari kata idha> lam yajid saraqa dapat dipahami bahwa

fenomena pekerja anak bukanlah fenomena normal. Semua itu

lahir dari kemiskinan, yang jika tidak terpenuhi mereka akan

terjebak pada pencurian.

Termasuk dalam kategori melindungi keselamataan dan

kesehatan kerja adalah dengan memberinya hak istirahat dan

cuti. Aturan cuti ini juga selaras dengan misi Islam untuk

menghilangkan eksploitasi terhadap makhluk, termasuk buruh.

Tidak memberi kesempatan istirahat secara cukup terhadap

buruh termasuk bagian dari eksploitasi, yang merupakan

kesalahan besar dan bertentangan dengan  fitrah kemanusiaan.

Dalam al-Qur'an Allah berfirman:

Qاَّل... jَل�ُفQ jُك Yِهj َي ا الَل QُفTْس� VاَّلY ُن QاَهQا َمQا ِإ QِجTْعQٌّلj ءQاَت ي Qس jِهY QْعTَدQ الَل َّرW َّب Tْسjَع

ا(الْطاًلَق َّر� Tْسj )7: َي

"…Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan"

Setiap pekerja mempunyai hak untuk beristirahat dan

juga mendapatkan ketenangan jasmani dan rohani. Tuntutan

34 Malik Ibn Anas, al-Muwattha', (Beirut: Dar Ihya' al-Ulum, 1988), no. 1553

22

Page 23: Makalah Abdul Jalil.

akan hal-hal tersebut menjadi tanggung jawab majikan selama

ia masih terikat dengan perjanjian kerja dengannya.

Keseimbangan antara tuntutan jasmani dan ruhani

merupakan anjuran syari’at, seperti sabda Rasulullah SAW;

QْنVي Tَدj ْحQَدYَث YِهV َعQِب Tْنj الَل TْنV َعQَمTَّرVَو َّب TْعQاِصV َّب ِضVيQ ال Qْر jِهY TَهjَمQا الَل سjْوَلj لVي ُقQاَلQ َعQْن Qْر VِهY Yِهj َصQَلYى الَل TِهV الَل Qي YُمQ َعQَل َل QسQا َوQ TَدQ َي YِهV َعQِب QُمT الَل Qل QَّرT َأ ِب Tَخ

j YكQ َأ Qُن Qَّصjْوُمj َأ YَهQاْرQ َت الْنjْوُمjَقQ TٌّلQ َوQَت Yي QَلQى ِفQَقjَلTَتj الَل Qا َّب سjْوَلQ َي Qْر VِهY QُفTْعQٌّلT ِفQاًلQ ُقQاَلQ الَل QِفTْطVَّرT َصjُمT َت َوQُقjُمT َوQَأ

TُمQ VْنY َوQُن َدVَكQ ِفQِإ QْسQِجV TكQ ل Qي VْنY ْحQَق²ا َعQَل VكQ َوQِإ Tْن VْعQي TكQ ل Qي VْنY ْحQَق²ا َعQَل َوTَجVكQ َوQِإ QُزV TكQ ل Qي َعQَلVْنY ْحQَق²ا َوTْرVَكQ َوQِإ QُزV TكQ ل Qي 35الِبخاْرى) ْحQَق²ا... (ْرَواُه َعQَل

”Wahai Abdullah, saya mendengar kabar bahwa engkau puasa disiang hari dan shalat semalam suntuk. 'Abdullah menjawab: Benar, wahai Rasul. Rasul bersabda: jangan lakukan itu. Fisikmu, matamu, istrimu, dan tamumu mempunyai hak atas dirimu…"

Kata jasd dalam kontek hadis ini, sebagaimana yang diyakini

Ibn Hajar, adalah memberikan hak dasarnya, termasuk

didalamnya istirahat, baik jasmani maupun ruhani. 36

Secara fiqh, hak untuk beristirahat bagi adalah bagian

integral dari kontrak, sehingga ketentuan tersebut harus

diperjelas dan terpisah dari waktu kerja.37

Soal aturan khsus bagi perempuan, termasuk didalamnya

waktu istirahat, memang sangat diperlukan. Hal ini karena ada

waktu-waktu tertentu dimana ia mempunyai tuntutan

reproduksi yang tidak bisa dibatalkan oleh siapapun. Kita tidak

boleh memaksa mereka untuk tidak punya anak, tidak

menyusui, tidak haid dan semisalnya, karena semua itu fitrah

mereka. Kita juga tidak boleh menolak buruh perempuan

karena alasan-alasan tidak produktif, karena produktivitas

perempuan tidak semata-mata diukur dari sisi jam kerja. Allah

berfirman:

35 al-Bukhary, Shahih Bukhari>, (Beirut: Da>r al-Qalam, 1987), no.183936 al-Asqalani, Fath al-Barri (Syarh Sahih Bukhari), III: 3837 al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, V: 275-280; Abdullah ibn Hijazi, Hashiyah al-Syarkawi, II: 85; al-Asqalani, Fath al-Barri, III: 38.

23

Page 24: Makalah Abdul Jalil.

QاَّلQا َوTْوY QَمQْن Qَت Yِهj ِفQَّضYٌّلQ َمQا َت VِهV الَل jُمT َّب QْعTَّضQُك QْعTٍضW َعQَلQى َّب َجQاَلV َّب Vَلَّر� QَّصVيَب¶ ل َمVَمYا ُنjْوا ِب QْسQ Tَت اءV اُك Qْس� Vَلْن QَّصVيَب¶ َوQل TْنQ َمVَمYا ُن ِب QْسQ Tَت jْوا اُك Qل ْأ TاسQَو QِهY VِهV َمVْنT الَل VْنY ِفQَّضTَل YِهQ ِإ الَل

QاْنQ jٌّل� ُك Vُك يTءW َّب Qيَم�ا َشV T: َعQَل (32( الْنْسا" Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu"

Untuk itu, menjadi benar jika undang-undang

mengkhususkan waktu-waktu cuti bagi perempuan,

sebagaimana uraian di atas. Dalam sebuah Hadith, Nabi juga

berpesan agar jangan memaksakan pekerjaan terhadap tenaga

kerja perempaun. Imam Malik meriwayatkan bahwa:

QْنVي Vي َعQَم�ِهV َعQْنT َمQالVك ْحQَدYَث َّبQ TٌّلV َأ َهQي jس VْنT VكW َّب VيِهV َعQْنT َمQال َّب

Q Yِهj َأ ُنQ َمVَعQ َأ Qس QاْنQَمT َعjْث

QْنT QخTْطjَبj َوQَهjْوQ َعQُفYاْنQ َّب Qَقjْوَلj َوQَهjْوQ َي �ُفjْوا اَّلQ َي Qَل jُك QَمQٍةQ َت Tاَأْل QَّرT TْعQٍةV َذQاَتV َغQي الَّصYْنQَبTْسQ Tُك jُمT ال Yُك Vُن Qى ِفQِإ jَمjْوَهQا َمQَت YُفTَت Qَل VكQ ُك QَتT َذQل ِب QْسQ َجVَهQا ُك TَّرQُفV 38... (َمالك) َّب

"Usman berkata dalam sebuah pidatonya: Janganlah kalian memaksa buruh perempuan yang tidak layak kerja untuk bekerja. Sebab, jika hal itu terjadi, mereka akan berkerja dengan alat vitalnya"

Karena cuti dengan mekanisme di atas telah sesuai

dengan hak reproduksi perempuan, maka pihak majikan tidak

boleh membatalkan hak tersebut, apalagi sampai memutuskan

hubungan kerja.

4. Hak melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya

dengan tetap mendapatkan upah.

Dalam sebuah negara demokrasi, melakukan internalisasi

terhadap standar, harapan, prinsip, norma, ide dan keyakian

yang dipegangnya adalah hak azasi. Ia berhak mengetahui,

memahami, dan mengambil tindakan sesuai dengan nilai-nilai

yang diyakininya. Dalam konteks seorang buruh muslim, nilai

tersebut adalah keimanannya. Keimanan dalam perspektif ini

adalah keyakinan pada keesaan Allah yang terbangun jauh

38 Malik Ibn Anas, al-Muwattha', (Beirut: Dar Ihya' al-Ulum, 1988), no. 1553

24

Page 25: Makalah Abdul Jalil.

sebelum ia dilahirkan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-

Nya:

TَذV QَخQِذQ َوQِإ �كQ َأ َّب Qْر TْنVي َمV Qْن QَهjُمT ُظjَهjْوْرVَهVُمT َمVْنT ءQاَدQُمQ َّب Yَت َي َهQَدQَهjُمT َذjْر� TَشQ َعQَلQى َوQَأTُمVَه VْسjُفT Qُن QلQْسTَتj َأ jُمT َأ �ُك َّب QَّرV jْوا َّب QَلQى ُقQال Qا َّب َهVَدTُن Qَش TْنQ jْوا َأ Qَقjْول QْوTُمQ َت QاَمQٍةV َي TَقVي Yا ال Vُن Yا ِإ jْن ُك

TْنQا َعQِذQَه QيْنV )172(ااَّلَعَّراف: َغQاِفVَلDan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",

Agar iman berjalan lurus, stabil, konsisten, dan

mempunyai daya responsifitas tinggi, Islam tidak memisahkan

keimanan (faith) dari pengetahuan (knowledge). Jelas

pandangan ini berseberangan dengan pandangan yang

menyatakan bahwa agama dan pengetahuan secara tegas

terpisah dan saling eksklusif. Islamlah yang paling peduli

menumbuhkan konvergensi dan kesatuan dalam keragaman.

Ketidakterpisahan antara keimanan dan pengetahuan

menandakan bahwa, pertama, pengetahuan dalam

pengertiannya yang paling luas diinspirasikan oleh keimanan

yang mengantarkan pada jalan yang lurus; dan kedua,

pengetahuan tidak hanya mengarahkan bagaimana seseorang

harus berindak, tetapi juga menginspirasikan dan

mengkarakterisasikan bentuk-bentuk tindakan (action).

Keterkaitan antara keimanan (faith), pengetahuan

(knowledge), dan tindakan (action) menunjukkan kesatuan

elemen-elemen itu, yaitu, sebuah pemahaman yang

mengantarkan diri pada kesadaran diri (self consciousness)

untuk selalu menghambakan dirinya hanya pada Allah.

Dengan paradigma ini, pelaksanaan ibadah bagi seorang

buruh bukan sebagai tindakan yang merugikan pihak majikan

karena mengurangi waktu, akan tetapi justru sebagai

25

Page 26: Makalah Abdul Jalil.

mekanisme untuk membangun kesadaran diri yang

memunculkan spirit, motivasi, dan kekuatan baru untuk bekerja

lebih baik sehingga produktivitas kerjanya akan naik. Dengan

ibadah, ia akan semakin menyadari makna Hadith Nabi:

TْنQي َعV َّبQ TَّرW َأ Qُك ِضVيQ الَّص�َد�َيَقV َّب Qْر jِهY Tِهj الَل سjْوَلj ُقQاَلQ ُقQاَلQ َعQْن Qْر VِهY Yِهj َصQَلYى الَل الَلVِهT Qي YُمQ َعQَل َل QسQَو Qاَّل jٌّلjَخTَدQ YٍةQ َي ْن QِجT QخVيٌّل¶ ال Vْن¶ َوQاَّلQ َخQَبv َوQاَّلQ َّب اِئ Qَخ QاَّلQَو jُئ� ي Qس VٍةQ Qُك TَمQَل الjَلYَو

Q ُعj َمQْنT َوQَأ QَّرTَقQ QاٍبQ َي YٍةV َّب ْن QِجT jْوْنQ ال jْوُك TَمQَمTَل VَذQا ال jْوا ِإ ْن QْسTْحQ QَهjُمT ِفVيَمQا َأ Tْن Qي TْنQ َّب Qي YِهV َوQَّب الَلYُزQَع YٌّلQَجQا َوQيَمVِفQَو TُمjَهQ Tْن Qي TْنQ َّب Qي VيَهVُمT َوQَّب 39اْحَمَد) (ْرَواُه َمQْوQال

"Tidak masuk Surga orang pelit, penipu, pengkhianat, dan orang yang jelek pelayananannya terhadap majikan. Sedangkan orang yang pertama kali mengetuk pintu Surga adalah para buruh yang baik terhadap sesamanya, taat kepada Allah, dan kepada majikannya. (HR Ahmad)

Hadith ini dengan lugas menyatakan bahwa kewajiban

kepada Allah dan majikannya bukan sesuatu yang antagonistik,

tapi seseuatu yang saling mengisi. Oleh karena itu, Islam tidak

memetaforakan tenaga kerja sebagai sebagai mesin, yang

kemudian kehidupan, struktur, dan individualitasnya dirancang

dan dikendalikan secara mekanistis. Sungguh, penggunaan

metafora mesin, secara radikal telah merombak hakikat

aktivitas produksi dan telah meninggalkan jejaknya dalam

pikiran, pemikiran, dan perasaaan manusia selama beberapa

waktu. Dan implikasi-implikasi lain dapat ditemukan, seperti

presisi dan repetisi kerja mekanik, aktivitas-aktivitas yang dapat

diramalkan hasilnya, dan kehidupan yang kering dari nilai

kehidupan.

Metafora seperti ini tentu mempunyai efek yang

menguntungkan dan merugikan. Efek menguntungkannya

adalah produk yang dihasilkan dapat dengan pasti dihitung,

sehingga tujuan majikan dapat tercapai. Akan tetapi, Effek

terburuk yang terjadi adalah mengurangi dan merendahkan

hakikat esensial manusia sebagai aktor sosial yang mampu

mengkonstruk realitas sosialnya sendiri yang peniuh dengan

39 Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, (Mesir: Da>r al-Ma'arif, 1988), no. 13

26

Page 27: Makalah Abdul Jalil.

makna. Bukan realitas yang kering norma, nilai atau etika yang

pada akhirnya menambah rasa keterasingan aktor-aktor sosial

dari hakikat kemanusiaan mereka.

Oleh karena itu, sebagaimana Hadi>th di atas, Islam

memandang kerja sebagai amanah yang bermata ganda.

Seorang buruh harus menjalankan amanah Allahnya, disamping

amanah majikannya. Dengan cara ini, maka majikan tidak

boleh melarang buruh menjalankan ibadah menurut keyakinan

mereka. Majikan juga tidak perlu kuatir pekerjaan akan

terbengkalai, karena jika hal itu terjadi, maka si buruh telah

mengkhianati amanah majikannya dan bertentangan dengan

misi peribadatan itu sendiri. Dalam sebuah Hadi>th, Nabi

bersabda:

Qا Qْن QُزVَيَدj ْحQَدYَث Tْنj َي َوْنQ َّب jاْرQا َهQ ُن QَّرQ ِب TَخQ Tْنj َصQَدQُقQٍةj َأ ُقQَدW َعQْنT َمjْوسQى َّب TَّرQي� ِفVخQ ِب Yالْس TْنQَع

Qَة Yَّرjَم Vَب� Vي َعQْنT الْطYي َّبQ TَّرW َأ Qُك ِضVي الَّص�َد�َيَقV َّب Qَهُم ْرYَهُم الَلT Vي� َعQْنV َعQْن Yِب َصQَلYى الْن

TِهV الَلYَهُم Qي YُمQ َعQَل َل QسQَو QاَلQُق Qاَّل jٌّلjَخTَدQ YٍةQ َي ْن QِجT QخVيٌّل¶ َوQاَّلQ َخQَبv ال Yاْن¶ َوQاَّلQ َّب �ُئj َوQاَّلQ َمQْن ي Qس VٍةQ Qُك TَمQَل َوYَلj ال

Q QَدTَخjٌّلj َمQْنT َوQَأ YٍةQ َي ْن QِجT TَمQَمTَلjْوَكj ال VَذQا ال QَطQاُعQ ِإ YِهQ َأ QَطQاُعQ الَل �َدQُه َوQَأ ي Qس 40اْحَمَد) (ْرَواُه

Rumusan ini memang masih abstrak dan normatif. Oleh

karena itu, metafora amanah perlu diterjemahkan ke dalam

bentuk-bentuk nyata dan operatif yang merge dengan karakter,

kebutuhan masyarakat, dan lingkungan, serta kekuatan sosial

lain.

5. Hak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan

yang layak bagi kemanusiaan.

Sebelum bicara lebih jauh berbicara tentang upah,

terlebih dulu harus diperhatikan asumsi dasar pengupahan,

yakni pertama, ada hubungan yang signifikan antara upah

dengan perolehan laba; dan kedua, ada tindakan tidak

maksimal dari pihak buruh jika upah tidak diperhatikan.41

40 Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, (Mesir: Da>r al-Ma'arif, 1988), no. 32

41 Bambang Setiadji, Upah Antar Buruh Industri di Indonesia, ( Surakarta: Muhammdiyyah University Press, 2002),21

27

Page 28: Makalah Abdul Jalil.

Ada banyak teori yang menjelaskan besaran dan jenis

upah yang mesti diterima buruh. Antara lain adalah; 1] Teori

Subsistensi yang digunakan untuk pekerja yang tidak

mempunyai keterampilan khusus. Upah, menurut teori ini,

didasarkan pada tingkat subsistensi sesuai tingkat kebutuhan

mendasar; 2] Teori Dana Upah. Menurut terori ini, upah pekerja

adalah bagian dari modal untuk berproduksi. Besaran upah

pekerja akan selalu didasarkan pada penambahan modal atau

pengurangan jumlah pekerja; 3] Teori Marginal Productivity.

Menurut teori ini, upah tenaga kerja didasarkan pada

permintaan dan penawaran tenaga kerja. Pengusaha akan

menambah upah pekerja sampai batas pertambahan

produktivitas marjinal minimal sama dengan upah yang

diberikan pada mereka. 4]. Teori Bargaining. Teori ini

mengandaikan ada batas minimal dan maksimal upah. Upah

yang ada merupakan hasil persetujuan kedua belah pihak; 5]

Teori Daya Beli. Teori ini mendasarkan permintaan pasar atas

barang dengan upah. Agar barang terbeli, maka upah harus

tinggi. Jika upah rendah, maka daya beli tidak ada, dan barang

tidak laku. Jika hal ini dibiarkan, maka akan terjadi

pengangguran besar-besaran; 6] Teori upah hukum alam. Teori

ini menyatakan bahwa upah ditetapkan atas dasar biaya yang

diperlukan untuk memelihara atau memulihkan tenaga buruh

yang telah dipakai untuk berproduksi. 42

Konsepsi Islam tentang upah sesungguhnya hampir sama

dengan Teori Marginal Productivity dan Teori Bargaining.

Sebagaimana penjelasan di atas, teori marginal productivity

menyatakan bahwa upah tenaga kerja didasarkan pada

permintaan dan penawaran tenaga kerja. Pengusaha akan

menambah upah pekerja sampai batas pertambahan

42 Mamik Indaryani, dkk. Hasil Penelitian Penentuan Upah Minimal di Kabupaten Kudus Jawa tengah, Kudus: Kantor Tenaga Kerja dan Transmigrasi bekerja sama dengan Litbang UMK, 2002

28

Page 29: Makalah Abdul Jalil.

produktivitas marjinal minimal sama dengan upah yang

diberikan pada mereka. Dengan cara ini, maka upah dapat

ditentukan secara transparan, seksama, adil, dan tidak

menindas pihak manapun. Setiap pihak mendapat bagian yang

sah dari hasil usahanya, tanpa menzalimi pihak yang lain,

sebagaimana firman Allah SWT:

TْنQ TُسQ َوQَأ Qي اْنV ل QْسT Vُن TِإْلV VاَّلY ل ْعQى َمQا ِإ Qس YْنQ Qِهj َوQَأ ْعTي Qس QفTْو Qى س Qَّرj jُمY َي اُهj َث QُزTِجj َي

Qاء QُزQِجT َوTِفQى الQ T41-39: (الْنِجُم اَأْل(

"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna"

Setelah besaran upah berdasarkan produktivitas marjinal

ketemu angkanya, kedua belah pihak kemudian melakukan

bargaining berdasarkan perubahan umum tingkat harga barang

dan biaya kebutuhan hidup, sehingga upah riil merupakan hasil

persetujuan kedua belah pihak. Islam selalu memotivasi untuk

memberikan penjelasan (dan persetujuan) besaran upah dari

kedua belah pihak. Nabi bersabda:

TْنQي َعV َّبQ ْعVيَدW َأ Qي� سVْرTَدjخT QْنY ال VيY َأ Yِب TِهV الَلYَهُم َصQَلYى الْن Qي YُمQ َعQَل َل QسQى َوQَهQ َعQْنV ُن

VاْرQِجT Vْئ َت Tاس VيَّرVَجQ Tى اَأْلY YْنQ ْحQَت Qي jِب Qِهj َي ُهj ل jَّرTَجQ YِجTِشV َوQَعQْنV َأ YَمTُسV الْن TَقQاءV َوQالَل Vل TَحQِجQَّرV َوQِإ ال43( اْحَمَد)

"Sesungguhnya Nabi melarang mempekerjakan buruh sampai ia menjelaskan besaran upahnya, melarang Lams, najash dan ilqa>' al-hajr"

Masuknya kompenen biaya hidup dalam upah, tidak

semata-mata pertimbangan produktivitas kerja, memang

masalah tersendiri jika majikan memetaforakan tenaga kerja

sebagai mesin. Akan tetapi, dengan pertimbangan surplus value

dan kemanusiaan, hal tersebut bisa diterima.44

43 Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, (Mesir: Da>r al-Ma'arif, 1988), no. 1113944 Kenaikan upah yang berujung pada tingginya biaya produksi ini pada akhirnya harus diantisipasi negara dalam kebijakan makro ekonominya agar tetap kompetitif dipasar. Penentuan harga dalam Islam didasarkan pada prinsip koperasi dan persaingan sehat, bukannya persaingan monopoli seperti yang dibawa ekonomi kapitalis. Persaingan sehat disini bukan berati persaingan sempurna dalam arti modern, tetapi persaingan yang bebas dari spekulasi, penimbunan,

29

Page 30: Makalah Abdul Jalil.

Dalam konteks inilah Islam bisa menerima kehadiran

Upah Minimum. Allah berfirman:

YْنV QكQ ِإ QاَّلY ل QِجjْوُعQ َأ ى َوQاَّلQ ِفVيَهQا َت QَّرTْعQ YكQ َت Qُن j اَّلQ َوQَأ QْظTَمQْأ QَّضTَحQى َوQاَّلQ ِفVيَهQا َت : (َطِه َت

119-120 (

"Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya".Nabi juga menyatakan bahwa:

jَتTْعVَم Qس YيV Yِب TِهV الَلYَهُم َصQَلYى الْن Qي YُمQ َعQَل َل QسQَو jْوَلjَقQ VيQ َمQْنT َي Qا َوQل Qْن TُسQ َعQَمQاًل� ل Qي Qِهj َوQل ل

TُزVَل¶ YخVِذT َمQْن Qَت Tي TُزVاَّل� ِفQَل َوT َمQْنQ TْسQَتT َأ Qي Qِهj ل َوTَجQٍة¶ ل Qْز TْجYَو QُزQ Qَت Tي َوT ِفQَل

Q TُسQ َأ Qي Qِهj ل َخQاَدVُم¶ ل

TِذVخY Qَت Tي َوT َخQاَدVَم�ا ِفQَلQ TْسQَتT َأ Qي Qِهj ل Yٍة¶ ل YخVِذT َدQاَّب Qَت Tي Yٍة� ِفQَل َصQاٍبQ َوQَمQْنT َدQاَّب

Q �ا َأ Tْئ ي Qى َشQْو Vس

QكV 45(اْحَمَد) َغQاَلv ِفQَهjْوQ َذQل

"Saya mendengar Nabi bersabda: Barang siapa mengangkat pekerja, jika ia tidak mempunyai rumah harus dibikinkan rumah; jika belum menikah harus dinikahkan; jika tidak mempunyai pembantu harus dicarikan pembantu; jika tidak mempunyai kendaraan harus diberikan kendaraan. Jika Majikan tidak memberikan hal tersebut, ia adalah pembunuh"

Dari ayat dan Hadi>th ini kita mengetahui bahwa besaran

upah dikaitkan dengan hak dasar untuk hidup (hifz al-nafs)

secara layak, bukan semata-mata oleh sejauhmana

produktivitas mereka.

Dengan demikian, dalam Islam, upah yang layak

bukanlah semata-mata konsesi buruh-majikan, tetapi

merupakan hak asasi yang dapat dipaksakan oleh kekuasaan

negara.46 Majikan harus memberikan upah minimum yang bisa

penyelundupan, dan lain-lain. Penentuan harga yang timbul dari persaingan tidak sempurna telah melahirkan harga monopoli lebih tinggi daripada harga kompetisi, dan hasil yang dibuat di bawah kondisi bersaing yaitu persaingan tidak sempurna. Disamping itu, produksi monopoli lebih rendah daripada produksi kompetitif. Kenaikan Harga yang sebenarnya disebabkan oleh; 1] Bertambahnya persediaan uang; 2] Berkurangnya produktivitas; 3] Bertambahnya kemajuan aktifitas; dan 4. Berbagai pertimbangan fiscal dan moneter. Manan, Teori.., 148-158. 45 Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, (Mesir: Da>r al-Ma'arif, 1988), no. 1732946 Dalam pemerintahan islam, hal ini pernah terjadi. Pada suatu ketika, beberapa budak milik Hathib ibn Abi Baltha’ah mencuri seekor unta kepunyaan tetangga, dan

30

Page 31: Makalah Abdul Jalil.

menutupi keperluan dasar hidup yang meliputi makanan,

pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya.

Data sejarah menunjukkan bahwa upah minimum dimasa

Rasul (tahun 5 H) adalah 200 Dirham, sedang upah

maksimumnya adalah 2000 dirham, dengan perbandingan 1:10.

Seiring dengan perkembangan perekonomian Madinah saat itu,

upah minimumnya menjadi 300 dirham

dan upah maksimumnya 3000 dirham.47

Namun perlu diingat pula, bahwa adanya jaminan

kebutuhan ini bukan berarti Islam menyamakan seluruh upah

sebagaimana dibayangkan mazhab sosialis. Islam tetap

mengakui perbedaan upah karena faktor perbedaan skill dan

pengalaman kerja.48

6. Hak mendirikan dan menjadi anggota serikat buruh.

Penulis tidak menemukan padanan kata arab untuk kata

guild (serikat pekerja). Istilah ‘T{a>ifah’ yang sering digunakan

untuk menyebut serikat pekerja, sebenarnya menunjukkan

pengertian yang lebih luas, yakni suatu komunitas atau

kelompok, khususnya kelompok keagamaan atau nasional.

Sedangkan kata hirfah dan Shinf, yang juga kadang-kadang

menyembelihnya. Menerima penganduan ini, Umar ibn Khattab r.a. tidak segera menjatuhkan hukuman melainkan lebih dahulu bertanya kepada budak-budak itu tentang sebab-musabab mengapa sampai mencuri. Ternyata mereka benar-benar terpepet untuk mengisi perut karena diterlantarkan oleh majikannya. Umar yang Khalifah benar-benar marah. Hathib segera dipanggil dan dipaksanya untuk mengganti unta yang dicuri budak-budaknya. Sementara budak-budak itu sendiri ia bebaskan dari segala tuntutan. Abdul Mun’im an-Namriy, al-Ijtihad (Kairo: Dar al-Ilm, 1987), 98. 47 Dengan melakukan konversi dinar ke emas kita bisa menentukan berapa UMR dimasa Nabi. Menurut Perhitungan Wahbah Zuhali dan Muhammad Maksum ibn Ali, 1 dirham diera Nabi sama dengan 1.4 gram emas. Dengan mengasumsikan 1 gram emas seharga 90.000 diwaktu sekarang, maka UMR di awal pemerintahan Madinah adalah 90.000x200=18.000.000, dan selanjutnya naik menjadi 27.000.000,-. Sebuah angka fantastis untuk ukuran Indonesia. Afzalurahman, Doktrin, II, 378; Maksum ibn Ali, Fath al-Qadir, (Surabaya: Ahmad Nabhan, tt), 18. 48 Upah, dalam konteks ini, merupakan kompensasi  (imbalan)  dari  nilai kerja (produktivitas), bukan kompensasi pekerjaan itu  sendiri  (ainul amal). Karena itu, sekalipun secara fisik pekerja  kasar  lebih berat dibanding insinyur, tapi upahnya lebih tinggi insinyur. Taqiyuddin al-Nabhani, al-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam (Beirut : Da>r al-Fikr, 1410 H/1990M), 92

31

Page 32: Makalah Abdul Jalil.

dipakai, lebih berarti perdagangan, bukan organisasinya.

Ketiadaan padanan kata yang pas bagi ‘serikat pekerja’

mungkin akibat terlambatnya kemunculan serikat pekerja di

dunia arab.49

Menurut Claude Cahen dan Samuel Stren dalam The

Islamic City (1970), serikat pekerja secara resmi baru muncul di

era Uthmaniyyah. Di Turki Anatolia, organisasi profesional

pernah muncul pada abad XIV, yang kala itu disebut Akhi dan

Fityan, sebagaimana di ulas oleh Ibn Battutah. Dokumen lain

menyebut adanya kelompok-kelompok profesional (jama’ah)

sebelum penaklukan Uthmaniyyah, yang dipimpin oleh Sheikh

dan dikontrol oleh muhtasib.50 Serikat Pekerja ini aktif di

Andalusia, dimana institusi Hisbah51 terorganisasi dengan baik. 49 Andre Raymond , ‘Serikat Pekerja ‘ dalam Dunia Islam Modern, John L. Esposito (Ed), (Jakarta: Mizan, 1997), 14550 Muhtasib adalah petugas negara yang secara khusus diangkat oleh Negara dalam rangka melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Dalam pelaksanaan tugasnya, muhtasib bekerjasama dengan hakim dan polisi untuk menyerukan pelaksanaan undang-undang yang ditetapkan oleh negara yang berkaitan dengan kepentingan umum dan moral. Muhtasib bekerja untuk menjaga masyarakat dari kejahatan para pelaku yang berusaha merusak kebebasan dalam kehidupannya, melindungi kaum lemah, membantu setiap orang yang akan secara sukarela membantu kesulitan keuangan negara, serta selalu mencegah munculnya kejahatan yang menimpa negara. John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Vol. 2,3 (New York: Oxford University Press, 1995), 2:113-114; Muhammad Diya’ al-Din al-Ris, al-Nazariyyat al-Siyasah al-Islamiyyah (Kairo: Maktabat Dar al-Turath, 1979), 315-316.51 Kata al-hisbah secara etimologis berasal dari kata hasaba-yahsubu-hasban-hisaban-hisbanan-husbanan-hisbatan-hisabatan yang berarti upah dan balasan (al-ajr wa al-thawab). Hans Wehr menyatakan bahwa kata hisbah diambil dari kata hasaba yang berarti menghitung (reckoning dan computing), berfikir (thinking) memberikan opini, pandangan, dan lain-lain. Sedangkan definisi terminologis, sebagaimana dikemukakan oleh al-Mawardi, adalah: al-hisbah hiya amrun bi al-ma’ruf idha zahara tarkuhu wa nahyun ‘an al-munkar idha azhara fi’luhu.? Definisi tersebut menegaskan bahwa al-hisbah merupakan perintah untuk melaksanakan perbuatan yang baik, bila perbuatan baik itu telah nampak ditinggalkan dan mencegah perbuatan munkar, bila perbuatan munkar itu telah nampak dikerjakan. Definisi ini masih terlalu umum, karena al-qada dan al-mazalim juga tidak bisa melepaskan diri dari pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar dan mendamaikan masyarakat, sehingga definisi seperti ini akan menyulitkan perbedaan antara wewenang al-hisbah, al-qada, dan al-mazalim. Definisi al-hisbah yang lebih spesifik dari segi kelembagaan dikemukakan oleh Ibn Khaldun: al-muhtasib fahuwa wazifah diniyyah min bab al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar alladhi huwa fard ‘ala al-qa’im bi umur al-muslimin wa yu’ayyin li dhalik man yarahu ahlan lahu fa yata’ayyanu farduhu ‘alayhi wa yattakhidhu al-a’wana ‘ala dhalik. Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (Ithaca N.Y: Cornell University Press, 1961), 205-207; Al-Mawardi, Kitab al-Ahkam, 240, definisi yang sama juga dikemukakan

32

Page 33: Makalah Abdul Jalil.

Sejak abad keenam belas hingga kesembilan belas,

serikat-serikat pekerja terorganisir diseputar wilayah

perdagangan dan kegiatan pertukangan. Mereka hidup di pasar

kota, termasuk pasar yang dikelola oleh grossir (pedagang

besar) rempah-rempah dan tujjar (pedagang kain) yang

merupakan bagian dari sistem itu. Tidak hanya pedagang

besar, pedagang kecil-pun mempunyai serikat pekerja. Bahkan,

pencuri tampaknya juga mempunyai serikat pekerja.52

Serikat pekerja umumnya dikepalai oleh seorang Shaikh

(Timur Dekat) atau Ami>n (Maghribi) yang dipilih oleh anggota

serikat pekerja, dan disahkan oleh otoritas lokal atau penguasa

pusat, sebagaimana dibuktikan oleh sarana nominasi di

Istanbul. Tampaknya, mereka juga punya otoritas melakukan

intervensi, khususnya ketika muncul masalah dengan nominasi

seorang shaikh atau ami>n.

Dalam tradisi Syi'ah, keberadaan serikat pekerja

dipertalikan dengan Nabi melalui wali pelindung mereka, pir.

Imam Ali yang dilantik Nabi Muhammad dalam upacara

pengikatan (shadd),53 pada gilirannya meresmikan tujuh belas

pir, dan kemudian Salman Al-Farisi (sahabat Nabi dan pelindung

tukang cukur) mengambil sumpah para pelindung serikat

pekerja non ekonomi lainnya (mu'azin, pembawa

panji/pemimpin) dan serikat pekerja non tradisional (kopi

disebut, tetapi tembakau tidak).

oleh al-Farra’,lihat juga, Abu Ya’la Muhammad ibn al-Husayn al-Farra’ al-Hanbali, al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1994), 320; Ibn Khaldu>n, Muqaddimah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1961), 225.52 Andre Raymond , ‘Serikat Pekerja ‘ dalam Dunia Islam Modern, John L. Esposito (Ed), (Jakarta: Mizan, 1997), 14653 Ritual shadd adalah kegiatan berupa mengikat simpul yang jumlahnya bervariasi menurut kelas orang yang diinisiasi. Upacara ini terkaitdengan didokumentasikannya ritual tersebut dalam sumber lain di luar buku pedoman futuwah. Pertemuan diadakan oleh syaikh serikat pekerja (melalui naqib, wakil sheikh). Selama pertemuan ini orang diinisiasi menerima sabuk yang disimpul di tiga hingga tujuh tempat; ini diikuti dengan penjamuan (wali>mah) yang dihadiri oleh sejumlah perajin ahli tertentu. Setidaknya beberapa serikat pekerja menyelenggerakan perayaan untuk menghormati pelindung mereka atau wali tertentu yang dihormati.

33

Page 34: Makalah Abdul Jalil.

Dengan menyimak data sejarah di atas, maka dapat

dikatakan bahwa dalam Islam, peranan serikat pekerja di

bidang ekonomi antara lain adalah mengatur produksi barang,

menjaga kode etik profesi,54 menjaga stabilitas harga,

khususnya pada masa krisis, membina hubungan baik antar

anggota, dan memasok tenaga kerja.

Serikat pekerja juga membantu mengelola kota di area

ekonominya sendiri, dan dengan demikian mereka membantu

memelihara tatanan. Oleh karena itu, serikat pekerja telah

memainkan sebuah mekanisme yang sangat dibutuhkan kota

yang tak punya struktur administratif yang jelas. Dengan

mengorganisasi penduduk pekerja sesuai dengan profesinya,

serikat pekerja telah memberikan andil secara efesien bagi

keseimbangan sosial.55

7. Hak melakukan mogok kerja.

Harus diakui, bahwa pemogokan buruh memang

persoalan yang krusial. Pemogokan dapat diartikan sebagai

penarikan diri seorang buruh dari pekerjaannya yang selama ini

dilakukan, dengan harapan memperoleh perlakuan atau

penghasilan yang lebih baik. Pressure ini akan mengakibatkan

produksi terhenti, sehingga harga akan naik, dan majikan akan

mengalami kerugian.

Jawaban dari langkah ini, jika kesepakatan tetap tidak

tercapai, adalah dengan lock out atau menutup perusahaan.

Target dari langkah ini adalah untuk memaksakan keinginan

majikan terhadap buruh, sebab buruh akan dihadapkan pada

dua pilihan yang sama-sama sulit; tetap kerja atau PHK.

Secara umum, ada dua motivasi besar pemogokan, yaitu

faktor ekonomis dan faktor psikologis. Secara ekonomis, laba

54 Serikat pekerja mempunyai kode etik profesi yang dapat dibuktikan dengan adanya persyaratan masuk (numerus clausus) yang disebit gadik (lisensi profesional). 55 Andre Raymond , ‘Serikat Pekerja ‘ dalam Dunia Islam Modern, John L. Esposito (Ed), (Jakarta: Mizan, 1997), 146-149

34

Page 35: Makalah Abdul Jalil.

merupakan penambahan tenaga buruh atas modal, atau pinjam

istilahnya Marx, suplus value. Jika buruh hanya diberi sekedar

untuk mencukupi taraf hidupnya yang minimal, sementara

majikan memiliki kelebihannya, mau tak mau hal ini akan

menimbulkan rasa tidak senang buruh. Maraknya model kerja

lembur disaat banyak pengangguran seperti sekarang ini, tidak

lain adalah upaya majikan untuk mengurangi hak kaum miskin

yang merugikan buruh karena bersifat retrogresif,

menghilangkan standar upah yang sebenarnya, memperbanyak

pengangguran, dan juga membahayakan kesehatan pekerja.

Sedangkan faktor psikologis penyebab mogok adalah

adanya keberpihakan pemerintah lebih kepada majikan dari

pada buruh. Para majikan dengan cerdik membuat regulasi

yang menekan buruh pada posisi inferior. Karena keterdesakan

ini, kemudian muncul perlawanan (baca: pemogokan) kolektif.

Umumnya, hal ini disebabkan adanya ketidakadilan regulasi

mengenai konstruk hubungan kerja, syarat-syarat kerja

dan/atau keadaan perburuhan. Namun demikian, ada pula

pemogokan yang bersifat personal, jika ternyata si buruh tidak

menjadi anggota serikat pekerja. Karena dipicu oleh hal-hal

tersebut di atas, sampai saat pemogokan masih merupakan

masalah besar yang pro-kontra.

Apapun alasannya, baik mogok ataupun pemecatan

(termasuk lock out) sebenarnya bukan pilihan ideal, karena

keduanya berdampak negatif dalam skala makro. Karena itulah,

Islam mengidealkan musyawarah kolektif dibawah panji-panji

norma Islam untuk menyelesaikan perselisihan industrial.

Akan tetapi, jika hal tersebut tidak tercapai,

pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana hak untuk mogok

dan memecat diperkenankan? Ini masalah yang tidak bisa

dijawab secara hitam-putih dan memuaskan semua pihak.

Sebab disana ada banyak variabel, seperti tingkat pemusatan

35

Page 36: Makalah Abdul Jalil.

tenaga kerja, orientasi gerakan buruh, tingkat kesenjangan,

kebijakan perusahaan dan perundang-undangan pemerintah.

Akan tetapi, jika kedua belah pihak mau menghayati nilai-

nilai Islam, setidaknya persoalan tersebut dapat berkurang.

Sebab, kedua belah pihak harus tunduk dalam panji-panji Islam.

Majikan dilarang menghisap buruh, buruh-pun dilarang

menuntut sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh majikan.

Dalam Islam, ada beberapa norma yang bisa kita jadikan

sebagai basic ideas untuk menyelesaikan perselisihan antara

buruh dan majikan secara damai, jujur dan menjamin rasa

keadilan bagi kedua belah pihak.

Pertama-tama harus dipahami, bahwa kedua belah pihak

terikat dengan norma amanah. Seorang majikan mempunyai

amanah untuk mengelola perusahaan dengan cara yang adil

dan tidak menindas, sementara buruh juga mempunyai amanah

untuk melaksanakan tugasnya dengan baik, tidak curang,

apalagi mengkhianati majikan. Dalam konteks inilah Allah

berfirman:

YْنV YِهQ ِإ jُمT الَل ُك jَّرjَمT Qْأ QْنT َي jَؤQَد�َوا َأ QاَتV َت QَمQاُن Tى اَأْلQلV VَهQا ِإ َهTَل

Q VَذQا َأ jُمT َوQِإ QَمTَت TْنQ ْحQُك Qي YاِسV َّب QْنT الْن َأjَمjْوا QَحTُك TْعQَدTَلV َت Vال VْنY َّب YِهQ ِإ VْعVَمYا الَل jُمT ُن QْعVْظjُك VِهV َي VْنY َّب YِهQ ِإ QاْنQ الَل َمVيْع�ا ُك Qس

ا(الْنْساء: QَّصVيَّر� )58َّب"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat"

Dengan cara ini, hubungan industrial buruh-majikan akan

berjalan dengan damai, aman, kondusif dan produktif. Mereka

tidak angkuh, keras kepala, boikot, dan saling mencari

kesalahan pihak lain. Yang diperlukan oleh kesalahan bukan

kambing hitam, tapi ma'af dan penyelesaian. Nabi bersabda:

36

Page 37: Makalah Abdul Jalil.

Qاء Qٌّل¶ َجjَج Qى ْرQلV Vي� ِإ Yِب TِهV الَلYَهُم َصQَلYى الْن Qي YُمQ َعQَل َل QسQَو QاَلQَقQا ِفQ سjْوَلQ َي Qْر VِهY QُمT الَل ُكjْعTُفQى TَمQَمTَلjْوَكV َعQْنV َي Tِهj ِفQَّصQَمQَتQ ُقQاَلQ ال jُمY َعQْن QَعQاَدQ َث Tِهj ِفQَّصQَمQَتQ َأ jُمY َعQْن QَعQاَدQ َث َأQاَلQَقQى ِفQُفTْعj Tِهj َي jٌّلY َعQْن W ُك QْوTُم TْعVيْنQ َي ِب Qَة� س YَّرQ56اْحَمَد) (ْرَواُه َم

"Seorang laki-laki datang kepada Nabi. Ia bertanya: wahai Rasul, berapa kali seorang buruh layak dimaafkan (jika melakukan kesalahan). Nabi diam saja. Kemudian ia bertanya lagi, dan Nabipun hanya diam. Untuk pertanyaan yang ketga kalinya, Nabi menjawab: Buruh harus dima'afkan, walaupun ia melakukan kesalahan 70 kali sehari"

Jika mereka tidak mau melaksanakannya, sudah pasti

iklim kerja berubah menjadi panas, destruktif dan jauh dari

tujuan awal. Mereka terjebak pada sikap saling intai, mencari

kesalahan pihak lain, dan berkutat pada alasan pembenar untuk

menjastifikasi kesalahan masing-masing. Maka tak ayal lagi,

situasi kerja menjadi tidak kondusif dan produktivitas meenjadi

rendah. Dalam konteks inilah al-Qur'an berpesan agar

kondusivitas dirawat sedemikian rupa.

VَمQا ْحTَمQٍةW ِفQِب Qْر QْنVَم VِهY TَتQ الَل Vْن QَهjُمT ل QْوT ل TَتQ َوQل jْن VيَظQ ِفQْظ²ا ُك TَقQَلTَبV َغQَل TُفQَّض�ْوا ال ُن Qاَّل TْنVَم QكVلTْوQْح jُفTاَعQِف

TُمjَهT QَغTُفVَّرT َعQْن َت TاسQَو TُمjَهQ َهjُمT ل TْرVاَو QَشQي َوVِف VَّرTَمQ Tا اَأْلQَذV َمTَتQ ِفQِإ QُزQَع TٌّلY QْوQُك YِهV َعQَلQى ِفQَت VْنY الَل YِهQ ِإ jَحVَب� الَل َي

QيْنV �َل QْوQُك Tَمjَت )159: َعَمَّراْن (اَل ال

"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya"

Sikap angkuh tidak akan menghasilkan apapun kecuali

perselisihan, yang berakhir pada pemutusan hubungan kerja

(PHK). Kedua belah pihak akan sama-sama rugi dengan

tindakan tersebut.

Nabi bersabda:

TْنQَع VُسQ Qُن TْنV َأ VكW َّب QاْنQ ُقQاَلQ َمQال QَخQْوQاْنV ُك Vي� َعQَهTَدV َعQَلQى َأ Yِب Yِهj َصQَلYى الْن TِهV الَل Qي َعQَلQُمY َل QسQَو QاْنQ QْحQَدjَهjَمQا ِفQُك Vي َأ Tَت Qْأ VيY َي Yِب Yِهj َصQَلYى الْن TِهV الَل Qي YُمQ َعQَل َل QسQَو jَّرQَخ TاآْلQَو jفVَّرQ َت TَحQ َي

56 Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, (Mesir: Da>r al-Ma'arif, 1988), no. 5633

37

Page 38: Makalah Abdul Jalil.

Qا ُك QَشQِف jفVَّرQ َت TَحjَمT QَخQاُهj ال VلQى َأ Vي� ِإ Yِب Yِهj َصQَلYى الْن TِهV الَل Qي YُمQ َعQَل َل QسQَو QاَلQَقQِف QكYَلQْعQ لjَق Qْز Tَّرj VِهV َت 57الَتَّرَمِذى) (ْرَواُه َّب

"Salah satu dua orang bersaudara datang kepada Nabi dan mengeluhkan saudaranya yang tidak mau bekerja. Nabi menjawab: Justru (anda terpacu kerja) sehingga mendapatkan hasil sebab dia"

Apabila terpaksa berselisih, dan perselisihan tersebut

tidak mampu didamaikan secara intern, yaitu penyelesaian

secara bersama antara majikan dan buruh, maka kasus

tersebut bisa diselesaikan segera oleh badan arbitrase (al-

tahkim) untuk mendamaikannya, sehingga masing-masing

pihak merasa puas dengan keputusan itu. Penyelesaian kasus

ini pertama-tama dilakukan oleh lembaga yang bertanggung

jawab terhadap stabilitas sosial perdagangan yang dikenal

dengan nama wilayat al-H{isbah,58 yang kemudian diteruskan

57 Abu 'Isa al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, (ttp: Dar al-Kutub, tt), no. 226758 Wewenang lembaga Hisbah, sebagaimana dikatakan oleh Isma’il Raji al-Faruqi, adalah untuk:

1. Menginspeksi timbangan dan takaran untuk mencegah terjadinya kecurangan.

2. Memeriksa notaris yang menulis kontrak atas nama pihak-pihak pembuat kontrak dan penjualan.

3. Mendengarkan keluhan masyarakat, mengunjungi mereka, dan memberikan perhatian khusus kepada anak-anak dan wanita.

4. Mengawasi pelayanan publik seperti kebebasan berjalan di jalan raya, pemeliharaan fasilitas umum, penerangan, kebersihan, kesejahteraan umum, ketertiban dan kebersihan masjid, restoran, dan tempat pemandian umum.

5. Menginspeksi kuttab, hukum pengadilan, dan semua tempat berkumpulnya orang untuk mengupayakan pelaksanaan hukum dan etika Islam.

6. Memeriksa barang dan jasa di seluruh dusun dan kota untuk mencegah terjadinya penipuan kualitas atau ukuran dengan menyimpan ukuran standar di kantornya.

7. Mengupayakan agar hewan beban dan kapal tidak berlebihan muatan, supaya tidak membahayakan jiwa manusia dan hewan.

8. Bertanggung jawab atas keamanan non-muslim agar mereka tidak dianiaya atau diganggu, dapat menikmati kemerdekaan, dan dapat menjalankan kewajiban berdasarkan shari’at agamanya.

9. Bertanggung jawab atas kehadiran tamu di wilayahnya.

Dengan melihat wewenang muh}tasib tersebut, dapat dikatakan bahwa melalui lembaga hisbah ini negara dapat mengontrol kondisi sosio-ekonomi secara komprehensif atas kegiatan perdagangan dan praktek-praktek ekonomi, jasa profesional, dan standarisasi produk. Selain itu, muh}tasib juga mengawasi perilaku sosial penduduk dan aktivitas mereka dalam melaksanakan kewajiban agama, serta ketaatan mereka terhadap aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah.Lebih lanjut, al-Faruqi menjelaskan bahwa setiap orang dapat memohon kepada muh}tasib untuk mengatasi ketidaksempurnaan pasar. Namun muhtasib tidak

38

Page 39: Makalah Abdul Jalil.

kepada wilayat al-qad}a>' 59 atau wilayat al-maz}a>lim,60

sesuai dengan jenis pelanggarannya. Ketiga kekuasaan ini,

masing-masing mempunyai tugas dan wewenang tersendiri

yang berbeda antara satu dengan yang lain, tetapi ketiganya

mempunyai tujuan yang sama yaitu menciptakan keamanan,

ketertiban, dan keadilan di tengah-tengah masyarakat.

boleh memata-matai warganya. Muhtasib tidak boleh menjadikan dirinya sebagai hakim yang mendengarkan saksi dan bukti dalam suatu perselisihan yang kontroversial. Ketidakberesan yang dikuasakan kepadanya adalah ketidakberesan yang nampak saja Isma’il Raji al-Faruqi, Cultural Atlas of Islam (New York: Macmillan Publishing Company, 1986), 157. 59 Wilayat al-qada adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menangani kasus-kasus yang membutuhkan putusan berdasarkan hukum Islam. Kasus yang ditangani lembaga ini adalah kasus yang timbul dalam kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat muslim atau non-muslim. Menurut al-Mawardi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang qadi yaitu laki-laki, berakal dan memiliki kecerdasan yang dapat menjauhkan dirinya dari kelalaian, merdeka, adil, sehat pendengaran dan penglihatan, dan memiliki pengetahuan yang luas tentang shari’ah. Sedangkan tugas dan wewenang al-qada adalah: 1) Menyelesaikan persengketaan baik secara damai maupun secara paksa. 2) Membebaskan orang-orang yang tidak bersalah dari sanksi dan hukuman, memberikan sanksi kepada yang bersalah baik dengan pengakuan maupun sumpah. 3) Menetapkan penguasaan harta benda orang-orang yang tidak bisa menguasai diri sendiri karena gila, anak-anak, atau idiot. 4) Mengawasi waktu dengan memelihara prinsip-prinsipnya dan mengembangkan cabang-cabangnya. 5) Melaksanakan wasiat dari orang yang berwasiat sesuai dengan shari’at. 6) Menikahkan janda dengan orang yang sederajat jika tidak ada wali dan menghendaki menikah. 7) Melaksanakan hukuman bagi para terhukum. 8) Mengawasi pegawai demi kemaslahatan mereka. 9) Meneliti para saksi dan sekretarisnya serta menentukan penggantinya. 10) Menegakkan persamaan di depan hukum antara yang kuat dan lemah, bangsawan maupun rakyat biasa. Lihat. Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Basri al-Baghdadi al-Mawardi, Kitab al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beiru>t: Da>r al-Fikr, tt), 70-71.60 Wilayat al-maz}a>lim merupakan lembaga peradilan yang khusus menangani kasus pelanggaran yang dilakukan oleh para penyelenggara negara, para hakim, maupun anak-anak orang yang berkuasa. Al-Mawardi menjelaskan bahwa tugas dan wewenang lembaga ini adalah 1) Penganiayaan para penguasa baik terhadap perorangan maupun terhadap golongan. 2) Kecurangan pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat dan harta-harta kekayaan negara lainnya. 3) Mengontrol dan mengawasi keadaan para pejabat 4) Pengaduan yang diajukan oleh tentara karena gaji mereka dikurangi ataupun dilambatkan pembayarannya. 5) Mengembalikan kepada rakyat harta-harta mereka yang dirampas oleh penguasa-penguasa yang zalim. 6) Memperhatikan harta-harta wakaf. 7) Melaksanakan putusan-putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan oleh hakim-hakim sendiri, karena yang dijatuhkan hukumannya adalah orang-orang yang tinggi derajatnya. 8) Meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang berkaitan dengan kemaslahatan umum yang tidak dapat dilaksanakan oleh muhtasib. 9) Memelihara hak-hak Allah yaitu ibadah-ibadah seperti salat Jumat, ‘id, haji, dan jihad. 10) Menyelesaikan perkara-perkara yang telah menjadi sengketa di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Ibid., 80-83.

39

Page 40: Makalah Abdul Jalil.

D. Obkektifikasi Konsep Islam di Indonesia

Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa konsep

hubungan industrial dirumuskan Islam sebagai pola perilaku

manajemen yang didasarkan pada penghormatan setiap individu

sebagai potensi, kapabelitas, pengalaman, hak dan kewajiban

masing-masing.

Masalahnya kemudian adalah karena buruh sudah menjadi

kelas atau komunitas tersendiri, maka rumusan-rumusan hukum

tekstual yang telah dihasilkan oleh ulama terdahulu kurang

mampu mengakomodir isu perburuhan kontemporer. Persoalan

buruh dewasa ini sudah menjadi masalah sosial yang sangat

kompleks yang melibatkan institusi dan struktur-struktur negara.

Maka mengkaji isu buruh harus pula melibatkan pendekatan sosial,

ekonomi dan politik.

Objektifikasi konsep Islam dalam perindustrian di Indonesia

mengharuskan perubahan paradigmatic, dimana hubungan

industrial memiliki kualitas yang spesifik dan berbeda dengan

negara lain. Sehingga pola hubungan industrial model liberal

kapitalis, sosialis, dan semacamnya harus ditolak. Pola hubungan

industrial yang diharapkan tumbuh berkembang di negara

Indonesia adalah yang memegang teguh nilai dan cara pandang

orang Indonesia yang harmonis dan seimbang. Hubungan antara

pekerja dan perusahaan bukan didasarkan pada mola profit

maximize, tapi pada pola yang saling menguntungkan.

Kehadiran UU nomor 13 tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan dan UU no 2 tahun 2004 adalah bagian dari

skenario besar pemerintah Indonesia untuk menata dan

menegosiasikan kepentingan bersama buruh, majikan dan negara.

Jika pengusaha berkepentingan terhadap pengembangan modal,

buruh berkepentingan menaikkan pendapatan, maka pemerintah

berkepentingan mengamankan makro ekonominya. Tanpa kondisi

40

Page 41: Makalah Abdul Jalil.

yang kondusif, maka makro ekonomi sebuah negara akan

terguncang. Dalam posisi ini, semua pihak akan terkena getahnya.

Buruh berkewajiban menjalankan pekerjaan sesuai dengan

kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi,

menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan

ketrampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan

dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.

Sedangkan majikan berkewajiban menciptakan kemitraan,

mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan

memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka,

demokratis, dan berkeadilan. Sementara pemerintah, disamping

memerankan tiga fungsi, pelindung (protector), pembimbing

(guide), dan penengah (arbitrator), juga dituntut untuk lebih aktif

membela kepentingan rakyatnya, bukan tunduk begitu saja pada

pasar.

Disamping pergeseran paradigma yang berimplikasi pada

penerjemahan prinsip-prinsip Islam di atas dalam perundang-

undangan,61 satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa

perundang-undangan di Indoensia masih mendikotomi buruh dan

majikan, sehingga buruh selamanya buruh dan majikan selamanya

majikan. Ini merupakan kerawanan yang tersembunyi.

Untuk itu, Islam dapat menawarkan kombinasi konsep ijarah

dengan Shirkah inan. Sebagaimana diketahui, bahwa Shirkah

'Ina>n adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih

untuk melaksanakan sebuah pekerjaan. Setiap pihak memberikan

suatu porsi dari keseluruhan dana, dan juga berpartisipasi dalam

kerja. Kedua belah pihak berbagi dalam untung maupun rugi

(profit-loss Sharing) sesuai dengan kesepakatan yang mereka

capai.62

61 Menurut penelitian penulis, beberapa prinsip Islam sudah terakomodir dalam UU no 13 tahun 2003 dan UU no 2 tahun 2004. Abdul Jalil, Hak buruh menurut Islam dan UU no 13 tahun 2003, tesis Magister IAIN Sunan Ampel 2004.62 Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu,vol. V (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1977), 3881; M.A. Mannan, Islamic Economy: Theory and Practice (England:

41

Page 42: Makalah Abdul Jalil.

Dengan kombinasi Shirkah Ina>n-Ija>rah, seorang buruh

mempunyai posisi yang relatif sama dengan majikan dalam hal

keuntungan. Semakin tinggi laba yang diperoleh, maka dengan

sendirinya upah mereka akan naik. Begitupun sebaliknya. Jika

perusahaan mengalami kerugian, maka seorang buruh-pun ikut

merasakan derita majikannya.

Aplikasi teori shirkah ini dapat menggunakan gainsharing

approach sebagaimana telah dilakukan oleh Manajemen Sumber

Daya Modern. Gainsharing adalah pendekatan kompensasi yang

berhubungan dengan outcome tertentu. Sistem ini di set up

sebagai bentuk berbagi keuntungan dengan pekerja atas

performa dan produktvitas mereka dalam menghasilkan

peningkatan laba dalam perusahaan. Biasanya gainsaharing

diterapakan terhadap seluruh pekerja, bukan secara individual.63

Gainsharing dibagi manjadi tiga kategori, yaitu;

kepemilikan pekerja (Employee ownership), sharing produksi

(Production Sharing), dan profit sharing.

1. Employee ownership

Employee ownership adalah pendekatan gainsharing

bagi pekerja untuk memiliki perusahaan. Beberapa perusahaan

memperbolehkan pekerja membeli sahamnya sebagai andil

perusahaan. Hasilnya adalah partisipasi pekerja dalam memiliki

bagian-bagian perusahaan.

Pendekatan revolusioner ini salah satunya diwujudkan

dengan rencana kepemilikan saham pekerja, atau ESOP

(Employee Stock Ownership Plan). Sekalipun Employee

ownership dilakukan dengan berbagai cara, namun semua

berarti pekerja membeli saham perusahaan.

Edward Arnold Limited, 1993), 115-118.63

Pemberian yang bersifat individual ini biasanya disebut insentif, baik yang berupa piecework, komisi, curve maturity, merit raises, pay for knowledge compensation, non monetary incentive ataupun incentive executive.

42

Page 43: Makalah Abdul Jalil.

Ada beberapa model ESOP yang bisa dipilih perusahaan.

Antara lain adalah:

a. Pekerja membeli saham dengan uang pinjaman

berdasarkan perjanjian pekerja.

b. Pekerja membeli saham dengan dana dari kontribusi

pajak (tax-deductible contribution).

c. Pekerja membeli saham melalui keuntungan yang akan

diperoleh di perusahaan dengan perencanaan tertentu.

d. Pekerja membeli saham melalui perusahaan yang sudah

go publik.

Dengan cara tesebut, ESOP sesungguhnya dapat digunakan

untuk melindungi perusahaan dari serangan kerja-sama

(corporate raider), perburuan membeli perusahaan, pemogokan

buruh. ESOP juga bisa menjadi salah satu cara untuk malakukan

divestasi perusahaan menuju prospek yang lebih cerah.

2. Production Sharing Plans

Prodution Sharing Plans adalah rencana pembagian

produksi dengan pekerja dengan memberikan bonus ketika

melebihi tingkat output yang direncanakan. Rencana ini

cenderung menjadi jangka pendek dan berhubungan dengan

tujuan produksi yang spesifik.

3. Profit-sharing plans

Profit-sharing plans adalah sistem membagi keuntungan

perusahaan dengan para pekerja. Profit-sharing dipilih karena

keuntungan tidak selalu berhubungan dengan performa

pekerja. Sebuah resesi atau kompetisi baru bisa berpangaruh

secara signifikan. Beberapa perusahaan kemudian

mengantisipasinya dengan mengurangi insentif untuk kemudian

mengalokasikannya pada pembagian profit pekerja. Ketika

langkah reinforcement (penguatan) ini berjalan dengan baik,

maka akan menimbulkan pengaruh yang dramatis pada

organisasi, melahirkan kepercayaan baru dan memunculkan

43

Page 44: Makalah Abdul Jalil.

perasaan senasib-sepenanggungan di antara para pekerja dan

menajemen.64

Dengan gainsharing system di atas, maka tidak ada alasan

bagi buruh untuk malas bekerja, karena hasil yang akan mereka

terima (deviden) bergantung pada produktivitas yang mereka

hasilkan. Disamping itu, mereka juga masih menerima upah harian

yang besaran dan regulasinya menggunakan model Ijarah, yang

secara teoritik hampir sama dengan Teori Marginal Productivity

dan Teori Bargaining.

Riset Werther menyebutkan bahwa sistem gainsharing

mampu menumbuhkan perasaan senasib sehingga bisa

meningkatkan komitmen, performa, produktivitas, dan kualitas

kerja. Dia menyatakan bahwa 80 % perusahaan di Amerika

menggunakan sistem gainsharing sebagaimana yang telah

dilakukan oleh Lincoln Electric. Dengan gainsharing, pengusaha

telah membagi informasi finansial dan non finansial dengan

pekerja lebih sering (65 persen) dibanding perusahaan tanpa

gainsharing (37 persen). Selama tahun 1980 dan awal 1990,

penggunaan gainsharing menjadi berlipat ganda.65

Di Indonesia, Bank Mandiri dan bank BRI adalah contoh

perusahaan yang menerapkan system tersebut. Hasilnya sangat

fantastis. Dalam waktu dua tahun sejak pola tersebut diterapkan,

return saham Bank Mandiri naik 119 %, sedangkan bank BRI naik

234%.66

Sampai disini sesungguhnya masih ada masalah lain, yakni

bagaimana menyiapkan basis kesadaran kultural dan struktural

yang memungkinkan cita ideal tersebut menjadi sebuah kenyataan

sosial-politik di negeri ini. Dalam konteks negara kebangsaan,

norma tersebut harus dipahami sebagai bahan baku (raw

64 William B Werther, Human Resources and Personal management (New York: University Of Miami, 1989), 373.65 Ibid, 36566 Wawasan, 11 Juli 2005

44

Page 45: Makalah Abdul Jalil.

material) seperti halnya hukum adat atau hukum-hukum yang lain,

yang bisa saja ditransformasikan menjadi hukum positif sejauh

bisa disepakati/diterima oleh forum pengambil keputusan publik

(parleman) melalui cara dan prosedur yang demokratis. Wallahu

A'lam.

45

Page 46: Makalah Abdul Jalil.

BIBLIOGRAPHY

al-Azhari, Abdullah ibn Hija>zi ibn Ibra>hi>m al-Shafi’I, Hashiyah al-

Syarqa>wi ‘ala> Tuhfah al-Tulla>b, vol.2 Beirut: Da>r al-

Ma’rifah, tt.;

Briggs, Asa "The Walfare State in Historical Perspective" dalam

Archives Europeenes de Sociologie, 1961.

Brinton, Crane, "Eglightenment", dalam Encyclopedia of Philosophy,

vol 2, New York: Macmillan and the Free Press, 1967;

al-Buhuti, Mans}u>r ibn Yu>nus ibn Idris, Sharh Muntaha> al-Ira>dat

al-Musamma, vol. 2, Madi>nah: maktabah al-Salafiyah , tt;

1980;

Budiono, Tori Eknomi Mikro, Yogyakarta: BPFE, 1998;

Capra, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Jakarta: IIT, 2000;

al-Fanjari, Shauqi, Huquq al-Ummal fi al-Islam, Riyad: Rabithah

al-'alam al-Islami, Gramsci, Antonio, "Ekonomi dan Korporasi

Negara" dalam Catatan-catan Politik, terj. Gafna Raiza,

Surabaya: Pustaka Promethea, 2001;

Hitti, Philip K. History of The Arabs, London: The Macmillan Press Ltd,

1970;

Indaryani, Mamik, dkk. Hasil Penelitian Penentuan Upah Minimal di

Kabupaten Kudus Jawa tengah, Kudus: Kantor Tenaga Kerja dan

Transmigrasi bekerja sama dengan Litbang UMK, 2002;

al-Isfiha>ni>, Abu al-Faraj Kita>b al-Agha>ni>, vol. 1, Beiru>t:

Mat}ba’ah al-‘Arabiyyah, tt;

Mannan, M.A. Islamic Economy: Theory and Practice, England: Edward

Arnold Limited, 1993;

McEachern, William A., Ekonomi Mikro Pendekatan Kontemporer,

Jakarta: Thomson Learning, 2001;

Rahman, Fazlur, Islam and Modernity Transformation of an Intellectual

Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, 1982;

al-Sharbaini, Muhammad al-Kha>tib, Mughni al-Muhta>j, vol. 2,

46

Page 47: Makalah Abdul Jalil.

Qa>hirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1985;

Setiadji, Bambang, Upah Antar Buruh Industri di Indonesia, Surakarta:

Muhammdiyyah University Press, 2002;

Tempo interaktif, 19 Januari 2005

'Uthma>n, Fakhr al-di>n ibn 'Ali al-H{anafi, Tabyi>n al-H{aqa>iq,

vol. 5, Qa>hirah: Mat}ba’ah al-Kubra> al-A<miriyah, 1315 H.;

Wawasan, 11 Juli 2005

Werther, William B, Human Resources and Personal management,

New York: University Of Miami, 1989;

Zaman, Hasanuz, S.M. Economic Funtion of an Economic State: The

Early experience, Leicerster, The Islamic Funtion, 1991;

Zuhaili>,Wahbah, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu,vol. V, Damaskus:

Da>r al-Fikr, 1977.

47