Makalah Abdul Jalil.
-
Upload
wolfwhite48 -
Category
Documents
-
view
225 -
download
6
Transcript of Makalah Abdul Jalil.
Hubungan Industial di Indonesia;
Perspektif Ekonomi Islam
Oleh: abdul Jalil1
A. Interrelasi Islam Dan Ekonomi
Pada awalnya, banyak pihak meragukan hubungan antara
agama dan ekonomi. Namun, sejak terbitnya buku Max Weber,
The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1904-5), orang
yakin adanya hubungan itu.
Dalam Islam, hubungan agama dan ekonomi diyakini sudah
ada sejak awal, bahkan menjadi salah satu penyebab
kehadirannya. Kelahiran Islam merefleksikan sebuah reformasi
terhadap keangkuhan sistem peradaban masyarakat ja>hiliyyah
kala itu.2 Keangkuhan ini dapat dilihat dari perlakuan yang tidak
fair terhadap perempuan, penindasan terhadap suku dan klan
yang kecil, peminggiran kaum miskin, pemusatan kekuasaan pada
kaum aristokrat, ketimpangan ekonomi, dan lain-lain.3
Ikrar ‘la> ila>ha’ dalam shaha>dat dengan tegas
mengkumandangkan penegasian terhadap kekuatan hegemonik
dan kuasa semu yang membelenggu manusia, baik dalam berfikir,
1 Peneliti pada Central Riset dan Manajemen Informasi (CERMIN) dan Dosen STAIN Kudus2 Term ‘ja>hiliyyah’ menunjuk pada era kehidupan kabilah-kabilah Arab sebelum Rasulullah diangkat menjadi Rasul, yang ditandai dengan ketiadaan petunjuk Allah SWT, seorang Rasul Penerima wahyu, tidak ada pula kitab suci yang menjadi pedoman hidup. Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: The Macmillan Press Ltd, 1970), 87.3 Fazlur Rahman menyebutkan bahwa problem akut yang dihadapi masyarakat Arab pada waktu itu, sebagaimana tampak dalam surat-surat awal al-Qur’an adalah pholitheisme (penyembahan berhala), eksploitasi kaum miskin, permainan kotor dalam perdagangan dan ketiadaan tanggung jawab umum terhadap masyarakat. Problem aktual lain yang juga menjadi ciri kehidupan waktu itu adalah perpecahan dan kecenderungan konflik antar kabilah sehingga mudah sekali berubah menjadi perang yang berkepanjangan. Salah satu contohnya adalah Perang Basu>s yang berlangsung 40 tahun antara Bani Bakr dan Taghli>b yang hanya disebabkan oleh kematian seekor unta. Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press,1982), 3; Abu al-Faraj al-Isfiha>ni>, Kita>b al-Agha>ni>, vol. 1( Beiru>t: Mat}ba’ah al-‘Arabiyyah, tt), 140-152.
bersikap ataupun berbuat, untuk selanjutnya hanya mengakui satu
kekuatan sejati, "illa Alla>h", yang berhak diikuti, ditaati, dan
disembah.
Dalam rangka mengembalikan idealisme awal, bukan
romantisme masa lalu, seorang muslim mesti mampu melakukan
pembongkaran dan pembebasan dari sistem kuasa semu beserta
jaringannya, untuk kemudian memberikan realitas alternatif
dengan seperangkat jaringan kuasa ilahi yang mengikatnya dalam
semua sistem hidupnya. Dengan cara demikian, realitas alternatif
diharapkan mampu memberikan arah, motivasi dan akhirnya
tumbuh kesadaran (self consciousness) secara penuh untuk patuh,
tunduk dan menjalankan kuasa ilahi.
Selama ini masih terdapat stereotip bahwa persoalan
industri sangat ditentukan oleh dua ekstrimitas sistem ekonomi,
yaitu kapitalisme dan sosialisme. Sistem kapitalisme diasumsikan
cenderung mengeksploitasi kaum buruh, karena di dalam sistem
ini buruh diperas tenaganya untuk menghasilkan apa yang disebut
sebagai nilai lebih (surplus value).
Sementara itu, sosialisme cenderung bersikap sebaliknya,
yaitu membela buruh. Pembelaan itu dilakukan dengan
menempatkan buruh sebagai pelopor utama perubahan dan
kepemimpinan negara.
Di Indonesia, sebuah negara yang mayoritas penduduknya
muslim, kebijakan perindustriannya, lebih khusus lagi tentang
system perburuhanya, di set up sebagai bagian dari sistem
produksi dengan metafora mesin. Upah yang diberikan kepada
buruh dianggap sebagai cost (beaya) yang kongruen dengan
produktivitas yang dihasilkan. Unsur-unsur kemanusiaan, termasuk
agama sebagai sistem kesadaran buruh, tidak menjadi factor
penting yang mempengaruhi kebjakan perburuhan.
Banyak penyebab mengapa hal ini bisa terjadi. Diantaranya
adalah minimnya studi tentang hubungan industrial yang mampu
2
mengekplorsi dan mengobkektivikasi konsepsinya sehingga
Negara mempertimbangkan untuk mengadopsinya. Tulisan berikut
ini adalah studi awal tentang hal tersebut.
B. Industrialisasi dan Hubungan Industrial di Indonesia
Di Indonesia, sejarah hubungan industrial, dalam arti
hubungan antara orang yang melakukan pekerjaan pada orang
atau badan hukum, dimulai dengan perbudakan yang dilakukan
oleh budak dan hamba. Mereka ini merupakan "buruh" pada jaman
itu. ‘Upah’ yang mereka terima adalah makanan, pakaian dan
perumahan. Upah berupa uang biasanya tidak diberikan kepada
mereka. Orang lain atau badan itu merupakan "majikan" yang
berkuasa penuh dan mutlak, bahkan menguasai pula hidup-mati
para budak itu. 4
Setelah Indonesia diserahkan kembali kepada Nederland,
pemerintah Hindia-Belanda mulai membuat regulasi perbudakan,
namun tidak sampai menghapuskannya. Yang terjadi justru pada
tahun 1930-an terjadi peralihan status dari budak menjadi buruh.
Hubungan industrial yang kapitalistik mulai terbentuk dengan
adanya produksi komoditas internasional secara massal
(generalized commodity production). Ststistik Hindia-Belanda
tahun 1930 menyebutkan bahwa penduduk Indonesia yang hidup
di sector buruh ada sekitar 6 juta orang. Dari jumlah ini, sekitar
setengah jutanya merupakan buruh yang sudah bersentuhan
teknologi seperti tambang, transportasi dan bengkel. Sedangkan
sisanya terdiri dari buruh inustri kecil (2.208.900), buruh lepas
(2.003.200), dan buruh musiman yang umumnya terdiri dari buruh
tani dan tani miskin.5
4 Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: Djambatan, 1987), 105 Edi Cahyono, "Perburuhan dari masa ke masa: Jaman Kolonial Hindia Belanda sampai orde baru" dalam Gerakan serikat Buruh, (Jakarta: Hasta Mitra, 2003), 132-133.
3
Produksi yang paling menonjol saat itu adalah tebu. Upah
per kepala rata-rata 14,22 gulden, dengan catatan mereka masih
membayar pajak yang disebut natura. Karena hal ini dirasa
memberatkan, 600 planter (penanam tebu) dari 51 Desa di kab.
Batang boikot membayar pajak, dan menuntut kenaikan upaha
menjadi 25 gulden.6
Gelombang kapitalisasi tidak hanya berhenti disitu. Intitusi
keuangan juga didirikan sebagai pendukung konsep Negara7 yang
diimpikan Willem Daendels yang sangat mengagumi revolusi
Perancis. Ada dua lembaga keuangan yang didirikan, yakni
Nederlansche Handels Maatschapij (NHM) dan Javasche Bank.
Kehadiran kedua lembaga juga dimaksudkan untuk menghambat
arus perdagangan Inggris di Pulau Jawa, karena saat Inggris sudah
memiliki 100 kapal yang berlabuh di batavia, sementara belanda
hanya memiliki 43 buah.8
Untuk melancarkan proyeknya, Williem Daendels juga
memberlakukan kerja paksa (rodi)9 dan poenale sanctie, yakni
pidana terutama atas penolakan untuk melakukan pekerjaan dan
melarikan diri serta mengangkut buruh kembali ke perusahaan
dengan bantuan polisi.
Lembaga punale sanksi ini semata-mata diadakan dengan
maksud mengikat buruh, sebab dari ketentuan-ketentuan dalam
kuli ordonansi tersebut jelas bahwa majikan sama sekali tidak
terikat pada perjanjian kerja. Dengan aturan tersebut, buruh,
6Data lebih lanjut dapat di telusuri dalam tulisan Edi Cahyono, Pekalongan 1830-1870: Transformasi Petani Menjadi Buruh Industri Perkebunan, (Bandung: LEC, 2001). 7 Perlu diingat bahwa saat itu status Hindia-Belanda hanya mitra dagang VOC (Vereenigde Osst-Indische Compagnie). Dengan kemandirian keuangan, dia ingin mempertegas posisi Hindia Belanda sebagai Koloni. 8Polak, "tentang cultuurstelsel dan penggantiannja" dalam Penelitian Sedjarah, no 4, th. II, September 1961, hal 18.9 Salah satu bentuk rodi yang sangat tersohor adalah membuat jalan dari Anyer sampai Panarukan.
4
selama masa kontrak, kehilangan kemerdekaannya karena tidak
dapat mempersingkat, apalagi membatalkan kontrak. 10
Keharusan memenuhi kewajiban memang berlaku bagi
semua orang. Akan tetapi, dalam punale sanksi ini, buruh
diwajibkan dengan ancaman pidana, atau ancaman dibawa
kembali oleh polisi ke pekerjaannya. Dengan demikian, pihak
majikan memiliki hak atas pribadi buruh untuk kepentingannnya.
Punale sanksi telah memberikan kekuasaan kepada pengusaha
untuk berbuat kepada buruh-buruh yang dapat menimbulkan
perlakuan tidak adil.11
Sementara itu, Pada masa awal kemerdekaan, hubungan
industrial nampak diwarnai oleh pergolakan politik. Pada masa
awal kemerdekaan hubungan industrial relatif berjalan baik.
Serikat-serikat pekerja mempunyai peranan penting dalam bidang
ekonomi, pemerintahan dan kegiatan-kegiatan politik praktis. Para
anggotanya memandang bahwa organisasinya dapat dipakai
sebagai alat (vehicle) untuk memperjuangkan kepentingan
mereka.12
Pada 1956, pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO
No. 98/1949 tentang Hasar-Hasar Hak dari pada untuk
10 Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, 1999), 3111 Jen Breman menulis beberapa bentuk kekejaman yang terjadi saat itu. Jacobus Nienhuys, pemilik Deli Maatschappij menghukum cambuk 7 buruhnya hingga mati. Dalam kasus lain, seorang buruh perempuan diikat pada bungalow oleh tuan kebunnya dan kemaluannya di gosok dengan lada. Data selengkapnya, baca: Jen Breman, Menjinakkan Sang Kuli, Politik Kolonial pada awal abad ke 20, (Jakarta: Grafitti Press, 1997), xxi-ii 12 Fenomena tersebut nampak, misalnya, dari berdirinya beberapa serikat buruh. Yang berhaluan kiri berdiri Partai Buruh Indonesia (PBI), Partai Rakyat Sosialis (PRS), yang akhirnya melebur diri menjadi Barisan Buruh Indonesia (BBI). Di Kalangan buruh Perempuan, muncul Barisan Buruh Wanita (BBW) yang akhirnya berganti nama menjadi Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GABSI) setelah kongres di Madiun tahun 1946. Organisasi buruh juga muncul berdasarkan jenis pekerjaan mereka. Misalnya Muncul Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (SARBUPRI) dan Serikat Buruh Rokok Kudus. Pada 29 November 1946, seluruh serikat buruh membentuk serikat gabungan yang bernama Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Pada 1950, organisasi ini beranggotakan 2.5 juta orang yang terdiri dari 34 serikat buruh. Data lebih dalam dapat ditelusuri dalam tulisan Lance Castle, Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus, (Yogjakarta: Sinar Harapan, 1982), 133; Suri Suroto, "Gerakan Buruh dan Permasalahannya", dalam Prisma no.11 th.1981, hal 11
5
Berorganisasi dan Perundingan Bersama (ILO Convention on the
Right to Organise and Bargain Collectively). Implikasinya, pada
periode 1960-an, jumlah dan keanggotaan serikat buruh menjamur
dan sangat sulit dihitung. Namun demikian, tingkat kesejahteraan
para buruh ternyata tidak memiliki hubungan signifikan untuk
menumbuhkan peningkatan standar kehidupan para buruh dan
keluarganya.13
Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, pemerintahan
berhasil membentuk MPBI (Majelis Permusyawaratan Buruh
Indonesia) yang diarahkan untuk membicarakan berbagai hal
untuk mengkonsolidasi kehidupan serikat buruh. Pada tahun 1972,
dua puluh satu serikat buruh disatukan sehingga melahirkan
Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).
Dalam perjalanannya, federasi ini dinilai tidak demokratis.
Tuduhan tidak demokratis pertama-tama dilontarkan oleh gerakan
serikat buruh Internasioanal, diantaranya WCL (World
Convenderation of Labour) dan ICFTU (International
Convenderation of Free Trade Unites ). Tuntutan mereka adalah
agar pemerintah Indonesia membuka kesempatan yang seluas-
luasnya bagi kaum buruh untuk berorganisasi dan menentukan
tempat kerja yang nyaman, terhindar dari unsur eksploitasi,
tersusunnya syarat-syarat kerja yang sesuai dengan keinginan
buruh dan manajemen serta lingkungan kerja yang bebas dari
polusi industri.14
Tahun 1974, pemerintah bersama komponen masyarakat
lainnya merumuskan apa yang disebut dengan HIP (Hubungan
Industrial Pancasila). Melalui konsep ini, diharapkan agar sistem
hubungan industrial di Indonesia berjalan sesuai budaya bangsa
yang tercermin dalam UUD 45 dan Pancasila.
13 Soegiri, "Gerakan Serikat Buruh" dalam Gerakan Serikat Buruh Jaman Kolonial Belanda Hingga Orde Baru, (Jakarta: Hasta Mitra, 2003), 91-92.14 Sutanto, Prospektif, 3
6
Dalam perkembangannya, konsep ini memang telah
melahirkan praktek-praktek hubungan industrial yang mantap dan
serasi. Akan tetapi, dari sisi pekerja, hubungan ini belum
menghasilkan manfaat optimal yang bisa dirasakan oleh mereka.
Partnership sebagaimana yang diharapkan antara pengusaha
dengan pekerja ternyata belum berjalan dengan baik. Belum
pernah ada UU yang mengatur tentang hubungan industrial secara
khusus di Indonesia, tidak seperti Inggris dan bekas jajahannya
yang relatif memiliki UU seperti itu.
Peraturan yang ada juga lebih mengacu pada stabilitas,
sehingga nasib buruh tetap berada pada posisi inverior. Peraturan-
peraturan Menteri Tenaga Kerja yang dirasa tidak sesuai dengan
Perundang-undangan Perburuhan adalah:
a.Permen (Peraturan Menteri) No. 342/1986 tentang intervensi
militer sebagai perantara dalam perselisihan perburuhan.
b.Permen No. 1108/1986 tentang keharusan kalau terjadi
perselisihan perburuhan supaya diselesaikan terlebih dulu
dengan atasan langsung, sebelum lewat perantara atau P4.
c.Permen No. 1109/1986 tentang pembentukan UK (Unit Kerja) di
perusahaan harus melibatkan pengusaha.
d.Permen No. 04/1986 tentang pemberian ijin kepada majikan
untuk merumahkan buruh sewaktu-waktu tanpa menunggu
P4.15
Permen-permen itulah yang memicu gejolak masyarakat
yang peduli terhadap masalah-masalah perburuhan, karena
dirasakan sangat merugikan dan membatasi gerak buruh.
Walaupun beberapa permen tersebut dicabut tahun 1993, tetapi
dampaknya masih nampak dari tindakan-tindakan pengusaha,
15 Agnes Widanti, "Buruh di Sektor Industri Dalam Perdagangan Global", Makalah Sarasehan nasional dan Kongres Forum Mahasiswa Syari'ah seluruh Indonesia (FORMASI), Semarang, 27 Maret 1997.
7
sehingga posisi, nasib dan kesejahteraan pekerja masih sangat
memperihatinkan.16
Memang, upah minimum regional (UMR), yang kemudian
berubah menjadi UMP (Upah Minimum Propinsi) dan UMK (Upah
Minimum Kabupaten), terus mengalami kenaikan sesuai dengan
perkembangan daya beli masyarakat. Namun, persentase
kenaikan UMR tersebut tidak memiliki korelasi kuat dengan
peningkatan kebutuhan buruh dan masyarakat. Itu berarti tingkat
kesejahteraan buruh masih dibawah standar. Hal ini yang
membuat eskalasi tuntutan dan demontrasi semakin meningkat
khususnya yang dilancarkan oleh pekerja.17
Di era reformasi, yang didahului dengan perpindahan
kekuasaan dalam pemerintahan, serikat buruh tumbuh dengan
subur sesuai dengan aspirasi dan tuntutan terhadap pembebasan.
Hal tersebut merupakan konsekuensi diratifikasinya Konvensi ILO
tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan
Berorganisasi. Konvensi tersebut memberi peluang yang seluas-
luasnya untuk membentuk serikat buruh baru, sesuai dengan
kehendak para pekerja/buruh dan dilarang adanya campur tangan
dari pihak manapun.
Berkaitan dengan ratifikasi itu, pada 18 Juni 1998, ILO
mendeklarasikan prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat
kerja. Deklarasi ini merupakan tonggak sejarah baru bagi ILO
untuk mengubah persepsi yang berkembang, seolah-olah ILO
hanya mendukung kepentingan negara maju, sekaligus
merupakan jawaban terhadap tantangan globalisasi pasar kerja
dan perdagangan yang telah menjadi fokus perdebatan
internasional. Deklarasi ILO tersebut bertujuan merekonsiliasi
keinginan semua pihak dalam hubungan industrial, menggairahkan
usaha-usaha nasional seiring dengan kemajuan sosial-ekonomi,
16 Eggi Sudjana, Bayarlah Upah Buruh Sebelum Keringatnya Kering, (Jakarta: PPMI, 2000), 23-2517 Muhaimin Iskandar, Membajak di Ladang Mesin, (Semarang: Yawas, 2004), 84
8
mengakomodir perbedaan kondisi lokal masing-masing negara,
dan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM).
Namun di pihak perusahaan, para pengusaha tidak dapat
segera memenuhi standart perburuhan yang baru, disamping
karena pertumbuhan ekonomi yang rendah, juga karena mereka
menghadapi sejumlah pilihan sulit, terutama berkaitan dengan
pengeluaran sejumlah biaya 'siluman', yang tidak berhubungan
dengan proses produksi. Selain itu persediaan tenaga kerja yang
berlimpah juga menjadi salah satu pertimbangan pengusaha untuk
tidak segera merespon tuntutan pekerja yang ada.18
Untuk keluar dari situasi ini, banyak negara, termasuk
Indonesia, kemudian mengadopsi konsep Negara sejahtera
(welfare state), yang sesungguhnya lahir sebagai respon atas
18 Struktur hubungan ini digambarkan Antonio Gramci sebagai berikut. Lapisan yang tertinggi adalah negara/pemerintah dan aparat-aparatnya, kemudian di bawahnya para kapitalis, di bawahnya buruh, sedang yang paling bawah adalah petani. Petani adalah golongan masyarakat yang memproduksi pangan untuk menghidupi para buruh dan masyarakat lainnya. Sementara itu buruh bekerja untuk kepentingan golongan kapitalis dalam upaya terus meningkatkan produksi sekaligus mengembangkan kapital atau modalnya. Demi kepentingan peningkatan produksi para kapitalis melakukan eksploitasi terhadap buruh. Akan tetapi, para kapitalis tidak akan mampu melakukan eksploitasi tanpa adanya dukungan dan perlindungan dari pihak negara/pemerintah. Sebagai imbalannya, para kapitalis membayar pajak kepada negara yang digunakan untuk membiayai aparat-aparatnya. Dalam upaya itu negara melakukan hegemoni melalui aparat-aparatnya, yang secara umum terdiri dari empat macam, yaitu aparat hukum, militer, pendidikan dan agama. Aparat hukum bertugas memproduksi aturan perundang-undangan untuk menekan dan mengendalikan rakyat (terutama buruh) agar tidak melakukan protes dan kritik terhadap para kapitalis dan negara itu sendiri. Aparat hukum berfungsi sebagai alat hegemoni melalui eksekusi undang-undang, sedangkan aparat militer berfungsi sebagai kekuatan represif yang menindak rakyat dengan cara-cara kekerasan (repressive state apparatus). Militerlah yang secara fisik melakukan pengendalian dan tekanan kepada rakyat agar tetap tenang dan menerima kebijakan negara apa adanya. Hegemoni melalui aparat hukum dan militer masih belum cukup dan dianggap terlalu vulgar, sehingga juga harus dilakukan melalui pendidikan, informasi dan agama. Melalui 'aparat' pendidikan dan informasilah negara melakukan hegemoni kultural dan kesadaran masyarakat (ideological state apparatus). Sementara itu, para pengkhotbah dan tokoh-tokoh agama yang lain --melalui ceramah dan khotbahnya-- bertugas menggiring kesadaran rakyat pada sikap sabar dan pasrah dengan berharap adanya imbalan dari Allah di surga nanti. Agama yang difungsikan seperti ini, sebenarnya untuk melindungi kepentingan kapitalis atau kepentingan negara yang telah menjadi alat bagi kaum kapitalis. Itulah sebabnya agama dengan fungsinya yang seperti ini oleh Karl Mark disebut sebagai candu Antonio Gramsci, "Ekonomi dan Korporasi Negara" dalam Catatan-catan Politik, terj. Gafna Raiza, (Surabaya: Pustaka Promethea, 2001), 64-68
9
depresi ekonomi 1935 dan Perang Dunia II.19 Landasan filosofisnya
berbeda dengan Darwinisme Sosial tentang kapitalisme laissez-
faire. Negara sejahtera berkeyakinan bahwa kesejahteraan
individu merupakan sesuatu yang sangat penting dan tidak
mungkin hanya tergantung dengan operasi pasar. Paradigma
Filsosofis ini mengindikasikan pengakuan formal terhadap ekonomi
mainstream yang menyatakan bahwa kemiskinan dan
ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya
bukanlah dalil atas kegagalannya. Para pekerja yang terpaksa
melakoni pekerjaan dengan gaji dibawah Upah Minimum Regional
(UMR) dan Upah minimum Kabupaten (UMK), para pengangguran
dan mereka yang jatuh miskin tidak semata-mata disebabkan oleh
kesalahannya sendiri. Oleh karena itu, perlu dicarikan cara agar
mereka mendapatkan pelayanan umum seperti kesehatan,
pendidikan, transportasi, perumahan, dan lain-lain, disamping juga
melindunginya dari resiko sosial, ekses industrialisasi,
ketidakmampuan dan pengangguran.
Negara Sejahtera tidak perlu mengajukan perubahan
fundamental untuk merealisasikan tujuannya. Peran Negara yang
lebih besar sudah dianggap cukup untuk menjalankan fungsi pasar
secara sempurna dan memperbaiki ketidakadilan yang diciptakan
kapitalisme laissez-fire.
Secara teori, target ini bisa dilaksanakan melalui enam
langkah: regulasi, nasionalisasi, gerakan buruh, kebijakan fiskal,
pertumbuhan yang tinggi, dan full employment. Enam langkah
tersebut di atas pada dasarnya mengakui adanya full employment,
distribusi kekeyaan dan pendapatan secara adil sebagai bagian
dari tujuan pokok kebijakan negara. Filosofi ini menuntut peranan
negara dalam bidang ekonomi menjadi lebih aktif dibanding
dengan paham kapitalisme laissez-fire, atau bahkan teori Keynes.
19 Asa Briggs, "The Walfare State in Historical Perspective" dalam Archives Europeenes de Sociologie, 1961.
10
Hanya saja, karena konsep Negara Sejahtera berbicara
tentang sesuatu yang abstrak, yakni kesejahteraan, maka sampai
hari ini para pakar belum mampu menyepakati definisi Negara
Sejahtera. Bahkan Titmuss sampai berkesimpulan bahwa Negara
Sejahtera adalah abstraksi yang tidak bisa didefinisikan. Dengan
demikian, banyak dijumpai contoh praktis yang berbeda antara
satu negara dengan lainnya, mulai dari yang kurang sempurna
seperti Amerika Serikat, sampai yang sempurna seperti Swedia.
Sekalipun Negara Sejahtera telah berusaha semaksimal
mungkin mengusung kesejahteraan umum, namun tetap saja tidak
bisa lepas dari unsur kapitalisme. Ia tidak bisa keluar dari unsur
filsafat enlightenment20 atau dari keyakinan akan kesucian sistem
pasar. Sikap antagonistik enlightenment terhadap pertimbangan
nilai juga tetap tak berkurang. Karena itu, pendekatan yang
dipakai adalah pasar bebas. Negara tidak perlu mencampuri
urusan import tenaga kerja asing, misalnya, asal dilakukan sesuai
mekanisme pasar, fair, tidak ada rekayasa dan permainan kotor.
Dalam kondisi ini, negara diibaratkan sebagai wasit dalam
permainan sepak bola. Ia tidak punya hak menendang atau
memegang bola. Yang perlu dilakukan adalah agar permainan
dalam sepak bola tersebut berjalan lancar dan tidak ada
kecurangan.21
Teori pasar di atas, ternyata menimbulkan banyak ekses.
Mereka yang mempunyai kapital tinggi akan dengan sendirinya
menguasai pasar, sehingga potensial melakukan penyimpangan
dan ketidakadilan, sehingga apa yang disebut sebagai
kesejahteraan (walfare) masih jauh panggang dari api.
Kebenaran pernyataan ini tidak membutuhkan riset yang
njlimet karena sejak dulu kita memang belum bisa menyelesaikan
20 Istilah enlightenment (pencerahan) seringkali disebut juga dengan The Age of Reason (Era akal) yang merupakan antitesa terhadap banyak doktrin gereja yang anti ilmu pengetahuan. Crane Brinton, "Eglightenment", dalam Encyclopedia of Philosophy, vol 2 (New York: Macmillan and the Free Press, 1967),521 21 Umer Capra, Islam dan Tantangan Ekonomi (Jakarta: IIT, 2000), 271-278
11
kondisi ketenagakerjaan. Dari dulu masalah perburuhan menjadi
sorotan banyak pihak, tapi dari dari dulu pula masalah ini tidak
selesai. Hal ini karena ketidakseimbangan supplay dan demand
tenaga kerja. Teorinya memang benar bahwa slope upah bergerak
positif sesuai dengan perkembangan permintaan, tapi ternyata
pergerakannya tidak secepat yang diharapkan sehingga terjadi
kesenjangan (baca: pengangguran).22
Karena ketidakseimbangan supplay dan demand itulah,
maka harga (upah) tenaga kerja di Indonesia sangat murah. Upah
buruh ditetapkan dengan Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Upah
Minimum Kabupaten/Kota (UMK) hanya untuk memenuhi
Kebutuhan Hidup Minimal (KHM), bukan pada Kebutuhan Hidup
Layak (KHL), sehingga seluruh potensinya habis untuk Opportunity
cost, tanpa pernah bisa menikmati economic rent. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa di Indonesia faktor yang paling
mempengaruhi pasar tenaga kerja masih upah, belum bergeser ke
faktor selera, nilai pengalaman, atau faktor non materiil lainnya.23
22 Secara teoritis, kepentingan buruh dan majikan akan terselesaikan oleh adanya mekanisme pasar yang mempertemukan supplay dan demand dalam dalam sebuah equilibrium pasar. Kurva permintaan ini bisa bergeser ke kiri atau ke kanan. Jika bergeser ke kanan berarti ada permintaan jumlah tenaga kerja. Kalau penawaran tidak berubah, maka akan terjadi kenaikan penyerapan tenaga kerja. Tapi, jika kurva bergerak ke kiri, maka berarti ada penurunan permintaan. Jika penawaran harga tidak berubah, maka akan ada penurunan volume penyerapan tenaga kerja. Namun, teori ini tidak selamanya demikian. Didalamnya ada beberapa pengecualian seperti terlihat pada: Pertama, kasus Constans Cost Supplay dimana kenaikan produksi tidak mengakibatkan kenaikan harga. Kedua, kurva penawaran inelastis sempurna dimana kenaikan permintaan hanya akan berakibat pada kenaikan harga barang tanpa diikuti kenaikan volume transaksi penjualan dipasar. Ketiga, Backward Bending Supplay dimana kurva penawaran mempunyai slope negatif, dan keempat kasus Decreasing Cost Supplay dimana kenaikan proses produksi justru menurunkan ongkos produksi per-unit. Budiono, Tori Eknomi Mikro, (Yogyakarta: BPFE, 1998) 45-52; William A. McEachern, Ekonomi Mikro Pendekatan Kontemporer, (Jakarta: Thomson Learning, 2001). 23 Faktor-faktor non upah yang mempengaruhi penawaran tenaga kerja adalah; [1] Sumber Pendapatan Lain. Meskipun beberapa pekerjaan memberikan berbagai bentuk imabalan non keuangan, namun alasan utama orang bekerja adalah mencari uang. Dengan demikian, maka tawaran tenaga kerja sesungguhnya berhubungan dengan sumber pendapatan lain yang ia miliki. Mahasiswa yang mendapat beasiswa, bisanya menawarkan waktu bekerja lebih pendek dibandingkan dengan yang mandiri; [2] Faktor non Keuangan. Tenaga kerja adalah sumber daya yang khusus. Ia tidak sama dengan modal dan tanah yang dapat ditawarkan dengan seenaknya tanpa melihat lokasi dan pemiliknya. Karena
12
Oleh karena itu sangat dimengerti jika buruh selalu
menuntut perbaikan nasib. Tahun 2004 ada 103 kasus
pemogokan yang melibatkan 44.280 tenaga kerja, sehingga
menyebabkan hilangnya jam kerja sebanyak 462.624 jam.24
Data diatas merupakan fakta tak terbantahkan bahwa posisi
buruh memang sangat sulit. Kaum buruh terus hidup dengan
kesadaran tradisional, sementara mereka di hadapkan secara
langsung dengan praktek-praktek diskursif dan hegemonisasi
modal. Kapitalisme telah menjadi ideologi dominan. Ia
membentuk, memproduksi dan melakukan kontrol kesadaran.
Dominasi kapitalisme ini telah sampai pada praktek kekerasan,
penindasan dan penghisapan terhadap kaum pekerja (buruh, tani,
dan kaum miskin kota). Ironisnya, karena fenomena ini menjadi
tontonan keseharian, maka tidak lagi dilihat sebagi kejahatan,
tetapi telah diterima sebagai kewajaran.
Integrasi sistem ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi
dunia yang didasari oleh liberalisme perdagangan dan investasi
diakui atau tidak telah menimbulkan banyak ekses. Disamping
secara ekonomi menimbulkan ketimpangan, secara sosiologis juga
memunculkan kelas sosial buruh perkotaan sebagai akibat arus
urbanisasi yang masif dari desa ke kota. Kondisi ini masih
ditambah lagi dengan media kapitalisme yang membombardir
pekerjaan mensyaratkan keterlibatan person secara langsung, maka faktor non keuangan semisal tingkat kesulitan pekerjaan, lokasi, kualitas lingkungan pekerjaan, dll, akan memainkan peranan penting dalam penawaran tenaga kerja; [3] Pengalaman kerja. Hal lain yang juga menentukan penawaran adalah nilai pengalaman. Mahasiswa jurusan manajemen keuangan akan lebih senang bekerja sebagai asisten bendahara dalam sebuah mikcro finance dari pada bekerja menjadi penjual kacang goreng. Seorang calon pengacara lebih senang kerja sebagai asisten hakim dari pada pekerjaan lain karena ada nilai pengalaman yang kan dipetik nantinya.Bahkan beberapa orang rela menerima bayaran yang relatif rendah, dengan harapan nantinya mendapatkan bayaran yang lebih tinggi; [4] Selera Pekerja. Sebagaimana selera terhadap barang berbeda, maka selera pemilik sumber daya terhadap sebuah pekerjaan juga berbeda. Karena itulah, sebagian orang lebih senag bekerja di lapangan, sementara yang lain lebih suka bekerja di balik meja. Sebagian orang jijik terhadap darah, sementara yang lain memilih kerja sebagai perawat. Begitulah seterusnya. Semua ini akan mempengaruhi penawaran kerja. William A. McEachern, Ekonomi Mikro Pendekatan Kontemporer (Jakarta: Thomson Learning, 2001), 222-223.24 Tempo interaktif, 19 Januari 2005
13
buruh dengan tontonan visual yang penuh daya persuasif (bujuk
rayu).
Model-model represivitas ini dengan sendirinya membuat
kaum buruh tetap dalam kondisi terpuruk. Kaum buruh secara
sistemik tidak akan sampai pada kesadaran sebagai kelas sosial
yang tertindas, sebagai sapi perahan di dalam siklus jam kerja dan
cost produksi.
Mereka dibelenggu untuk hanya hidup di dalam lingkungan
pabrik, lahan sawah, areal perkebunan, dan ruang perkantoran
swasta. Di luar itu, akibat hegemonisasi, ilusi juga tak henti-
hentinya disusupkan di ruang-ruang kesadaran rakyat pekerja oleh
media-media kapitalisme, sehingga rakyat pekerja hidup dalam
tradisi budaya yang semrawut, konsumtif, dan individualistik.
Budaya liberal telah membuka kemungkinan sebesar-besarnya
bagi penguasaan dan pengebirian potensi kesadaran kritis, daya
korektif dan semangat resistensi rakyat. Melalui tontonan dan
sajian berita yang bebas nilai, potensi kolektivitas yang didasari
oleh kesadaran kelas rakyat digiring untuk tunduk pada
kapitalisme.
C. Basis Normativ Hubungan Industrial Dalam Islam
Melihat paradigma perburuhan di Indonesia yang lebih
menguntungkan modal dan menempatkan buruh pada posisi
lemah, tidak salah jika Islam datang menawarkan sistem lain yang
diharapkan menjadi alternatif. Ada beberapa alasan mengapa
Islam harus mengampil peran. Antara lain, Islam sebagai agama
komprehensif dipandang mempunyai konsep dasar tentang sistem
ekonomi yang bisa menjadi alternatif terhadap dua ideologi besar
yang sama-sama ekstrim, kapitalisme dan sosialisme. Hukum
Islam sebagai konsep normatif yang bersifat operasional dalam
Islam diharapkan mampu mengaktualisasikan dirinya untuk
14
menjawab realitas perburuhan kontemporer di bawah sistem
kapitalisme.
Alasan lain adalah untuk melakukan pressure terhadap
negara dengan landasasan teologis, agar penanganan masalah
buruh tetap mengacu kepada fitrah kemanusiaan yang menjadi
misi setiap agama. Oleh karenanya, Hukum Islam di abad modern
ini diharapkan mampu berbicara banyak mengenai konsep
perburuhan melalui penelusuran norma-norma Islam, dalam
bentuk prinsip dasar maupun operasional, baik yang terdapat
dalam teks-teks nash mapun pengalaman historis masyarakat
Islam.
Untuk meneropong isu hubungan industrial dengan
kompleksitas persoalannya, mau tidak mau kita mesti melangkah
ke persoalan yang lebih mendasar, yaitu paradigma perekonomian
dalam Islam.
Basis paradigmatic ekonomi Islam adalah keterkecukupan
makhluk akan kebutuhannya, sebagaimana tampak dalam firman:
YٍةW َمVْنT َوQَمQا ْرTِضV ِفVي َدQاَّبQ Tاَأْل YاَّلV YِهV َعQَلQى ِإ ُقjَهQا الَل TْزVْر jُمQ QْعTَل َهQا َوQَي YَّرQَقQ َت Tْسjا َمQَهQَعQَدTْوQ َت TْسjَمQَو vٌّلj ُك
QاٍبW ِفVي Vَت VيْنW ُك )6(َهْوَد: َمjِب
Data menunjukkan bahwa kekayaan alam yang disediakan
Tuhan di bumi ini sebenarnya sangat mencukupi untuk sekedar
memenuhi kebutuhan (bedakan dengan: keinginan) makhluk hidup
yang melata di atasnya, tidak terkecuali umat manusia. Lebih-lebih
dengan senjata ilmu dan teknologinya, umat manusia kini mampu
mengeksplorasi kekayaan alam yang tersimpan di perut bumi yang
paling dalam sekalipun. Oleh sebab itu, apabila dalam
kenyataannya, banyak orang yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan dlarûri-nya, apalagi yang takmîli atau tahsîni, itulah
bukan karena persoalan supply yang terbatas melainkan lebih
karena distribusi yang terampas. Berdasar cara pandang ini, Ilmu
Ekonomi Islam didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tata
15
kehidupan kemasyarakatan dalam memenuhi kebutuhannya untuk
mencapai ridla Allah. Ta'rif ini setidaknya telah mengakomodir tiga
domein utama; [1] domein tata kehidupan [2] domein pemenuhan
kebutuhan, dan [3] domein ridla Allah. Definisi ini juga sekaligus
melengkapi pemikiran Monzer Kahf, Choudhuri, Mannan dan
Marshall.25
Konsisten dengan tiga domein ini, maka pola hubungan
industrial belum sepenuhnya sejalan dengan idealisme Islam yang
menghendaki adanya keadilan yang merata. Sebab, dalam
fungsinya yang sebatas regulator, pemerintah sulit menjamin
kesejahteraan warganya karena ia tidak mempunyai keberpihakan
yang jelas terhadap kaum miskin, atau secara umum terhadap
pemerataan keuntungan. Pemerintah memang telah berusaha
mengatur upah minimum bagi buruh. Tapi sama sekali tidak
menyentuh ‘upah maksimum’ yang dihasilkan oleh modal
pengusaha. Sebagai misal, dari modal 1.000.000,- seorang
pengusaha mendapatkan laba 1.500.000,. Berapa persenkah ia
berhak mengambil keuntungan dari saham modalnya? Kalau buruh
hanya diberi UMR, itu artinya selebihnya milik pengusaha,
berapapun jumlahnya. Buruh hanya mendapatkan taraf kehidupan
minimal, sementara pengusaha mendapatkan keuntungan
maksimal. Dalam kondisi ini, maka penumpukan modal tidak akan
terhindari.
Hal ini, disadari atau tidak, pada gilirannya dianggap turut
bertanggung jawab atas kesenjangan pembagian kekayaan dan
pendapatan secara mencolok, karena dalam perkembangannya, ia
meningkatkan kekuasaan perusahaan, memonopoli harga, sistem
produksi, kebebasan pasar, dan pengejaran keuntungan. Konsep
ini, disadari atau tidak, telah membuat si kaya menjadi lebih kaya
dan si miskin menjadi lebih miskin.
25 Murassa Sarkaniputra, " 'adl dan ih}san dalam ekonomi Islam" dalam Jurnal al-Iqtis}a>diyyah, vol. 1, januari 2004.
16
Islam juga tidak sepakat dengan tawaran kepemilikan
kolektif dari kaum sosialis, sebagai cara untuk meratakan
kemakmuran warganya. Sebab hal itu akan berakibat pada
dihapuskannya milik pribadi. Sekalipun skenario totaliter yang
dituntun oleh konsep hak kolektif ini dapat membantu mengurangi
pengangguran, distribusi yang tidak adil, dan banyak
kekurangan-kekurangan kapitalis lainnya, namun tidak berarti
bebas dari keterbatasan-keterbatasan, terutama soal insentif dan
kebebasan pribadi. Di bawah komunisme, manusia sesungguhnya
diasumsikan sebagai mesin yang tidak berperasaan.26
Islam berposisi diantara kapitalis-sosialis yang hanya melihat
manusia secara parsial. Islam tidak hanya mengakui hak milik
pribadi, tetapi dengan menjamin pembagian kekayaan yang
seluas-luasnya dan bermanfaat melalui lembaga-lembaga yang
didirikan dengan bimbingan moral universal. 27
Islam berkeyakinan bahwa kesejahteraan sosial merupakan
sesuatu yang sangat penting. Kemiskinan dan ketidakmampuan
seseorang dalam memenuhi kebutuhannya, bukanlah dalil atas
26 Penjelasan lebih lanjut tentang masalah ini dapat ditelusuri dalam Tulisan MA. Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, 309-329.27 Sebagaimana diketahui, bahwa ilmu ekonomi muncul karena ada keterbatasan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan yang tak terbatas. Disinilah simpang jalan ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Ekonomi Islam berusaha memenuhi kebutuhan tersebut dengan tuntunan nilai Islam, sementara ilmu ekonomi konvensional berusaha memenuhinya dengan caranya sendiri yang dituntun oleh kepentingan individu.Dari sini kita tahu, bahwasanya dilihat dari pokok masalah, sesungguhnya tidak ada perbedaan antara ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Yang berbeda adalah sifat dan volume pemenuhan kebutuhan yang tidak terbatas tersebut. Perbedaan paradigma ini pada gilirannya menimbulkan sistem yang berbeda pula. Ekonomi Islam digerakkan oleh pertukaran terpadu dan transfer satu arah yang dituntun oleh etika Islam, kekuatan pasar dan kekuatan non pasar sehingga langsung merge dengan kesejahteraan umat manusia secara menyeluruh. Sementara sistem ekonomi konvensional lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar yang sering terdistorsi.Karena pertimbangan nilai inilah, ekonomi Islam tidak bisa berdiri netral diantara tujuan-tujuan yang melingkupi manusia. Meskipun pariwisata dengan pelayanan seks dan Miras mempunyai prospek bisnis tinggi, namun hal ini tidak mungkin di-handle sistem ekonomi Islam karena bertentangan dengan nilai Islam yang lebih memperhatikan kesejahteraan sosial secara umum. M. Umar Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi (Jakarta, IIT, 1998), 79-83.
17
kegagalannya. Para pekerja yang terpaksa melakoni pekerjaan
dengan gaji dibawah Upah Minimum Propinsi (UMP), para
pengangguran dan mereka yang jatuh miskin, tidak semata-mata
disebabkan oleh kesalahannya sendiri.
Oleh karena itu, perlu dicarikan formula agar mereka
mendapatkan pelayanan umum; seperti kesehatan, pendidikan,
transportasi, perumahan, dan lain-lain, disamping juga
melindunginya dari ekses industrialisasi seperti pencemaran
lingkungan, terganggunya sistem sosial, pengangguran, dan
sebagainya. Semua itu tidak mungkin terjadi jika pemerintah
hanya berperan sebagai regulator.
Secara umum, prinsip hubungan industrial dalam Islam
harus mengakomodir kepentingan buruh yang meliputi:
1. Hak mendapatkan pendidikan dan keterampilan sesuai dengan
kompetensinya.
Pada dasarnya, setiap tenaga kerja berhak untuk
memperoleh, meningkatkan dan mengembangkan kompetensi
kerja, sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui
pelatihan kerja untuk meningkatkan produktivitas mereka..
Sebagai sebuah terminologi, istilah produktivitas memang
baru muncul pertama kali pada tahun 1776 dalam suatu
makalah yang disusun oleh seorang ekonom Perancis, Francois
Quesney, dalam tulisannya yang berjudul Historis Viewpoint of
Economic Theories. Sedangkan produktivitas sebagai konsep
dengan input dan Output sebagai eleman utamanya pertama
kali dicetuskan oleh David Ricardo bersama Adam Smith sekitar
tahun 18.28 Ini senada dengan pernyataan Stevenson yang
mengatakan bahwa yang disebut produktivitas tak lain adalah
indeks untuk mengukur seberapa jauh keluaran relatif dapat di
capai dengan mendayagunakan masukan yang dapat
28 Winardi, Sejarah Perkembangan Ilmu Ekonomi (Bandung: Tarsito, 1997), 20
18
dikombinasikan.29 Penjelasan lebih lanjut tentang produktivitas
dikemukakan oleh Adam and Ebert yang menyatakan bahwa
productivity can be expressed on a total faktor basis or on
partial faktor basis.30
Akan tetapi, sebagai sebuah substansi, produktivitas
bukanlah konsep baru, jauh-jauh hari Islam telah mengenal
konsep tersebut. Dalam surat al-Mulk ayat 2 Allah berfirman:
YِذVي TَمQْوTَتQ َخQَلQَقQ ال QاَةQ ال ي QَحT jُمT َوQال jْوQُك Tَل Qِب Vي jُمT ل �ُك Qَي ْنj َأ QْسTْحQ TْعQُزVَيُزj َوQَهjْوQ َعQَمQاًل� َأ ال
(الَمَلك: jْوْرjُفQَغT )2ال
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun"
Ayat ini menyatakan bahwa Allah menciptakan kematian
dan kehidupan adalah untuk menemukan siapa di antara
mereka yang lebih baik perbuatannya. Dalam konteks ekonomi,
yang lebih baik perbuatannya adalah yang lebih produktif. Nabi
juga pernah menyatakan bahwa barang siapa yang hari ini lebih
jelek dari hari kemarin berarti rugi karena tidak ada nilai
tambah. Karena itu, satu-satunya pilihan bagi seorang muslim
adalah bahwa hari ini harus lebih baik (lebih produktif) dari hari
kemarin.
2. Hak Mendapatkan pekerjaan dan penghasilan sesuai dengan
pilihannya.
Keterampilan sesorang merupakan aset pribadi buruh,
bukan milik majikan. Sehingga, ia tidak terbebani untuk
melakukan sesuatu yang berada diluar miliknya.
Konsekwensinya adalah, jikalau dengan skill tersebut buruh
merasa tidak pas bekerja dengan majikan tersebut, ia punya
hak untuk pindahSebagaimana tertera dalam pasal 31, setiap
tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama
29 W.J. Stevenson, Production And Operation Management (Illinois: Richard D. Irwin, 1993), 36 30 Evertt. Jr. Adam and Ronald J. Ebert, Production and Operation’s Management 4th ed (New Jersey: Prentice Hall, 1989), 40.
19
untuk mendapatkan pekerjaan, memilih jenisnya, pindah dari
pekerjaan lama dan memperoleh penghasilan, baik di dalam
atau di luar negeri. 31 Garis yang dibikin Islam sangat jelas. Allah
berfirman :
Tٌّلjُق vٌّلj QْعTَمQٌّلj ُك VِهV َعQَلQى َي Qَت Vَل اُك Qَش Tُمj �ُك َّب QَّرQِف jُمQ QَعTَل VَمQْنT َأ QَهTَدQى َهjْوQ َّب (ااَّلسَّراء َأ Vياًل� ِب Q84: س(
"Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya"
3. Hak Mendapatkan keselamatan, Kesehatan dan perlindungan
kerja, terutama bagi pekerja yang cacat, anak dan perempuan.
Disamping konsep h}ifz} al-nafs dalam al-d}aru>riyya>t
al-khamsah, dalam sebuah Hadith, Nabi bersabda:
Tُمjَه... Tُمj jُك VَخTْوQاُن Qَهjُمj ِإ Yِهj َجQْعQَل QَحTَتQ الَل jُمT َت TَدVَيُك Qَي Yِهj َجQْعQٌّلQ ِفQَمQْنT َأ QَخQاُهj الَل QَحTَتQ َأ QَدVُهV َت jْطTْعVَمTِهj َي Tي ِفQَل
jٌّلj َمVَمYا Tُك Qْأ ِهj َي TْسV Tِب jَل Tي Qُسj َمVَمYا َوQل Tِب Qَل �ُفjِهj َوQاَّلQ َي Qَل jُك TْعQَمQٌّلV َمVْنQ َي jِهj َمQا ال Vِب QَغTَل VْنT َي YُفQِهj ِفQِإ Qَل jِهj َمQا ُك Vِب QَغTَل َي
jِهT jْعVْن Tي TِهV ِفQَل Qي 32الِبخاْرى) (ْرَواُه َعQَل
" Para perkerja adalah saudaramu yang dikuasakan Allah kepadamu. Maka barang siapa mempunyai pekerja hendaklah diberi makanan sebagaimana yang ia makan, diberi pakaian sebagaimana yang ia pakai, dan jangan dipaksa melakukan sesuatu yang ia tidak mampu. Jika terpaksa, ia harus dibantu" (HR. Ahmad).
Hadith ini sangat jelas menyatakan bahwa keamanan
buruh berada dalam tanggungan para majikan. Kewajiban
memberi makanan dan pakaian sebagaimana yang dipakai
majikan, jika dipahami dengan pemahaman Isha>rah al-Nas},33
adalah perintah untuk menyediakan basic need, sebagaimana
dibayangkan Maslow. Juga, larangan memaksa melakukan
pekerjaan yang mereka tidak mampu dan kewajiban membantu
melaksanakan pekerjaan tersebut bisa dipahami sebagai
kewajiban memberikan fasilitas dan perlindungan kerja.
Pemaknaan secara isha>ri> ini akan menemukan
kerangka yang lebih kongkrit ketika kita memahaminya dengan
31 Muhammad al-Ghazali, Huquq al-Insan, (Iskandariyyah: Dari al-Da'wah, 1999), 125-12832 al-Bukhary, Shahih Bukhari>, (Beirut: Da>r al-Qalam, 1987), no. 55933 Wahab Khallaf, Ilm Ushul fiqh, 145
20
menggunakan beberapa prinsip yang ada dalam Islam. Prinsip
tersebut antara lain adalah:
a. Prinsip al-Maslah}ah} al-Mursalah, yaitu suatu prinsip
kemashlahatan umum yang telah menjadi acuan sahabat
dan tabi’in, terutama masalah yang berkaitan dengan
kepentingan umum yang tidak ada ketentuannya dalam
berbagai hukum syarak atau semisalnya.
b. Prinsip al-Istih}san, yaitu persetujuan terhadap sesuatu
karena sesuatu itu mengandung kebaikan yang berguna
untuk manusia. Ia merupakan satu prinsip yang digunakan
oleh fuqaha dalam usaha untuk menda-patkan beberapa
kepentingan yang sangat diperlukan oleh manusia.
c. Prinsip al-Istish}ab, yaitu mengqiyaskan satu masalah yang
sudah ijmak hukumnya terhadap masalah yang baru yang
belum ada hukumnya.
d. Prinsip sadd al-dhara>’i', yaitu prinsip menghindari bahaya
yang diramalkan akan berlaku.
Prinsip-prinsip di atas dapat dijabarkan menjadi bagian-
bagian yang lebih khusus dengan berdasarkan pada kebutuhan
pihak-pihak yang bertransaksi. Upaya penerjemahan ini telah
dimulai oleh para fuqaha. Secara fiqh, hubungan kerja antara
buruh-majikan dikonsepsi menjadi ‘akad ijarah yang merupakan
akad pertukaran manfaat dan upah. Sebagai konsekwensi akad,
pihak majikan bertanggung jawab atas berbagai hal yang
menyangkut keselamatan pekerja. Oleh karena itu, pihak
pekerja mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dan perawatan secara teratur agar bisa menjalankan
pekerjaan sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian
kerja.
Para fuqaha mengharuskan majikan untuk memberikan
anggaran biaya perawatan kesehatan bagi setiap orang dalam
waktu satu sesi kerja. Biaya tersebut perlu dipersiapkan lebih
21
awal, karena tidak diketahui dengan pasti kapan para pekerja
itu akan jatuh sakit. Adalah sebuah kesalahan (dan juga
termasuk perbuatan menganiaya) jika majikan membiarkan
pekerjanya sakit, di mana yang sakit itu masih menjadi
tanggungannya selama dalam jangka waktu yang tercantum
dalam perjanjian kerja.
Mengenai buruh anak, istilah itu sendiri senantiasa
memunculkan berbagai interpretasi yang lebih menjurus
kepada soal-soal negatif, seperti isu kemiskinan, keterpaksaan
dan kekerasan. Nabi sangat menyadari posisi dilematis ini.
Karena itulah beliau menyatakan:
QاَّلQْوا ...َوjُف� Qَل jُك QْسTَبQ الَّصYَغVيَّرQ َت Tُك Yِهj ال Vُن VَذQا ِفQِإ QُمT ِإ QِجVَدT ل َقQ َي Qَّر Qُف�ْوا سVَعQَو TَذV jُمj ِإ QَعQُفYُك َأjِهY jُمT الَل Tُك Qي V َمVْنQ َوQَعQَل TَمQْطQاَعVُم VَمQا ال TَهQا َطQاٍبQ َّب 34 َمالك) (ْرَواُه َمVْن
Dari kata idha> lam yajid saraqa dapat dipahami bahwa
fenomena pekerja anak bukanlah fenomena normal. Semua itu
lahir dari kemiskinan, yang jika tidak terpenuhi mereka akan
terjebak pada pencurian.
Termasuk dalam kategori melindungi keselamataan dan
kesehatan kerja adalah dengan memberinya hak istirahat dan
cuti. Aturan cuti ini juga selaras dengan misi Islam untuk
menghilangkan eksploitasi terhadap makhluk, termasuk buruh.
Tidak memberi kesempatan istirahat secara cukup terhadap
buruh termasuk bagian dari eksploitasi, yang merupakan
kesalahan besar dan bertentangan dengan fitrah kemanusiaan.
Dalam al-Qur'an Allah berfirman:
Qاَّل... jَل�ُفQ jُك Yِهj َي ا الَل QُفTْس� VاَّلY ُن QاَهQا َمQا ِإ QِجTْعQٌّلj ءQاَت ي Qس jِهY QْعTَدQ الَل َّرW َّب Tْسjَع
ا(الْطاًلَق َّر� Tْسj )7: َي
"…Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan"
Setiap pekerja mempunyai hak untuk beristirahat dan
juga mendapatkan ketenangan jasmani dan rohani. Tuntutan
34 Malik Ibn Anas, al-Muwattha', (Beirut: Dar Ihya' al-Ulum, 1988), no. 1553
22
akan hal-hal tersebut menjadi tanggung jawab majikan selama
ia masih terikat dengan perjanjian kerja dengannya.
Keseimbangan antara tuntutan jasmani dan ruhani
merupakan anjuran syari’at, seperti sabda Rasulullah SAW;
QْنVي Tَدj ْحQَدYَث YِهV َعQِب Tْنj الَل TْنV َعQَمTَّرVَو َّب TْعQاِصV َّب ِضVيQ ال Qْر jِهY TَهjَمQا الَل سjْوَلj لVي ُقQاَلQ َعQْن Qْر VِهY Yِهj َصQَلYى الَل TِهV الَل Qي YُمQ َعQَل َل QسQا َوQ TَدQ َي YِهV َعQِب QُمT الَل Qل QَّرT َأ ِب Tَخ
j YكQ َأ Qُن Qَّصjْوُمj َأ YَهQاْرQ َت الْنjْوُمjَقQ TٌّلQ َوQَت Yي QَلQى ِفQَقjَلTَتj الَل Qا َّب سjْوَلQ َي Qْر VِهY QُفTْعQٌّلT ِفQاًلQ ُقQاَلQ الَل QِفTْطVَّرT َصjُمT َت َوQُقjُمT َوQَأ
TُمQ VْنY َوQُن َدVَكQ ِفQِإ QْسQِجV TكQ ل Qي VْنY ْحQَق²ا َعQَل VكQ َوQِإ Tْن VْعQي TكQ ل Qي VْنY ْحQَق²ا َعQَل َوTَجVكQ َوQِإ QُزV TكQ ل Qي َعQَلVْنY ْحQَق²ا َوTْرVَكQ َوQِإ QُزV TكQ ل Qي 35الِبخاْرى) ْحQَق²ا... (ْرَواُه َعQَل
”Wahai Abdullah, saya mendengar kabar bahwa engkau puasa disiang hari dan shalat semalam suntuk. 'Abdullah menjawab: Benar, wahai Rasul. Rasul bersabda: jangan lakukan itu. Fisikmu, matamu, istrimu, dan tamumu mempunyai hak atas dirimu…"
Kata jasd dalam kontek hadis ini, sebagaimana yang diyakini
Ibn Hajar, adalah memberikan hak dasarnya, termasuk
didalamnya istirahat, baik jasmani maupun ruhani. 36
Secara fiqh, hak untuk beristirahat bagi adalah bagian
integral dari kontrak, sehingga ketentuan tersebut harus
diperjelas dan terpisah dari waktu kerja.37
Soal aturan khsus bagi perempuan, termasuk didalamnya
waktu istirahat, memang sangat diperlukan. Hal ini karena ada
waktu-waktu tertentu dimana ia mempunyai tuntutan
reproduksi yang tidak bisa dibatalkan oleh siapapun. Kita tidak
boleh memaksa mereka untuk tidak punya anak, tidak
menyusui, tidak haid dan semisalnya, karena semua itu fitrah
mereka. Kita juga tidak boleh menolak buruh perempuan
karena alasan-alasan tidak produktif, karena produktivitas
perempuan tidak semata-mata diukur dari sisi jam kerja. Allah
berfirman:
35 al-Bukhary, Shahih Bukhari>, (Beirut: Da>r al-Qalam, 1987), no.183936 al-Asqalani, Fath al-Barri (Syarh Sahih Bukhari), III: 3837 al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, V: 275-280; Abdullah ibn Hijazi, Hashiyah al-Syarkawi, II: 85; al-Asqalani, Fath al-Barri, III: 38.
23
QاَّلQا َوTْوY QَمQْن Qَت Yِهj ِفQَّضYٌّلQ َمQا َت VِهV الَل jُمT َّب QْعTَّضQُك QْعTٍضW َعQَلQى َّب َجQاَلV َّب Vَلَّر� QَّصVيَب¶ ل َمVَمYا ُنjْوا ِب QْسQ Tَت اءV اُك Qْس� Vَلْن QَّصVيَب¶ َوQل TْنQ َمVَمYا ُن ِب QْسQ Tَت jْوا اُك Qل ْأ TاسQَو QِهY VِهV َمVْنT الَل VْنY ِفQَّضTَل YِهQ ِإ الَل
QاْنQ jٌّل� ُك Vُك يTءW َّب Qيَم�ا َشV T: َعQَل (32( الْنْسا" Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu"
Untuk itu, menjadi benar jika undang-undang
mengkhususkan waktu-waktu cuti bagi perempuan,
sebagaimana uraian di atas. Dalam sebuah Hadith, Nabi juga
berpesan agar jangan memaksakan pekerjaan terhadap tenaga
kerja perempaun. Imam Malik meriwayatkan bahwa:
QْنVي Vي َعQَم�ِهV َعQْنT َمQالVك ْحQَدYَث َّبQ TٌّلV َأ َهQي jس VْنT VكW َّب VيِهV َعQْنT َمQال َّب
Q Yِهj َأ ُنQ َمVَعQ َأ Qس QاْنQَمT َعjْث
QْنT QخTْطjَبj َوQَهjْوQ َعQُفYاْنQ َّب Qَقjْوَلj َوQَهjْوQ َي �ُفjْوا اَّلQ َي Qَل jُك QَمQٍةQ َت Tاَأْل QَّرT TْعQٍةV َذQاَتV َغQي الَّصYْنQَبTْسQ Tُك jُمT ال Yُك Vُن Qى ِفQِإ jَمjْوَهQا َمQَت YُفTَت Qَل VكQ ُك QَتT َذQل ِب QْسQ َجVَهQا ُك TَّرQُفV 38... (َمالك) َّب
"Usman berkata dalam sebuah pidatonya: Janganlah kalian memaksa buruh perempuan yang tidak layak kerja untuk bekerja. Sebab, jika hal itu terjadi, mereka akan berkerja dengan alat vitalnya"
Karena cuti dengan mekanisme di atas telah sesuai
dengan hak reproduksi perempuan, maka pihak majikan tidak
boleh membatalkan hak tersebut, apalagi sampai memutuskan
hubungan kerja.
4. Hak melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya
dengan tetap mendapatkan upah.
Dalam sebuah negara demokrasi, melakukan internalisasi
terhadap standar, harapan, prinsip, norma, ide dan keyakian
yang dipegangnya adalah hak azasi. Ia berhak mengetahui,
memahami, dan mengambil tindakan sesuai dengan nilai-nilai
yang diyakininya. Dalam konteks seorang buruh muslim, nilai
tersebut adalah keimanannya. Keimanan dalam perspektif ini
adalah keyakinan pada keesaan Allah yang terbangun jauh
38 Malik Ibn Anas, al-Muwattha', (Beirut: Dar Ihya' al-Ulum, 1988), no. 1553
24
sebelum ia dilahirkan, sebagaimana dinyatakan dalam firman-
Nya:
TَذV QَخQِذQ َوQِإ �كQ َأ َّب Qْر TْنVي َمV Qْن QَهjُمT ُظjَهjْوْرVَهVُمT َمVْنT ءQاَدQُمQ َّب Yَت َي َهQَدQَهjُمT َذjْر� TَشQ َعQَلQى َوQَأTُمVَه VْسjُفT Qُن QلQْسTَتj َأ jُمT َأ �ُك َّب QَّرV jْوا َّب QَلQى ُقQال Qا َّب َهVَدTُن Qَش TْنQ jْوا َأ Qَقjْول QْوTُمQ َت QاَمQٍةV َي TَقVي Yا ال Vُن Yا ِإ jْن ُك
TْنQا َعQِذQَه QيْنV )172(ااَّلَعَّراف: َغQاِفVَلDan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
Agar iman berjalan lurus, stabil, konsisten, dan
mempunyai daya responsifitas tinggi, Islam tidak memisahkan
keimanan (faith) dari pengetahuan (knowledge). Jelas
pandangan ini berseberangan dengan pandangan yang
menyatakan bahwa agama dan pengetahuan secara tegas
terpisah dan saling eksklusif. Islamlah yang paling peduli
menumbuhkan konvergensi dan kesatuan dalam keragaman.
Ketidakterpisahan antara keimanan dan pengetahuan
menandakan bahwa, pertama, pengetahuan dalam
pengertiannya yang paling luas diinspirasikan oleh keimanan
yang mengantarkan pada jalan yang lurus; dan kedua,
pengetahuan tidak hanya mengarahkan bagaimana seseorang
harus berindak, tetapi juga menginspirasikan dan
mengkarakterisasikan bentuk-bentuk tindakan (action).
Keterkaitan antara keimanan (faith), pengetahuan
(knowledge), dan tindakan (action) menunjukkan kesatuan
elemen-elemen itu, yaitu, sebuah pemahaman yang
mengantarkan diri pada kesadaran diri (self consciousness)
untuk selalu menghambakan dirinya hanya pada Allah.
Dengan paradigma ini, pelaksanaan ibadah bagi seorang
buruh bukan sebagai tindakan yang merugikan pihak majikan
karena mengurangi waktu, akan tetapi justru sebagai
25
mekanisme untuk membangun kesadaran diri yang
memunculkan spirit, motivasi, dan kekuatan baru untuk bekerja
lebih baik sehingga produktivitas kerjanya akan naik. Dengan
ibadah, ia akan semakin menyadari makna Hadith Nabi:
TْنQي َعV َّبQ TَّرW َأ Qُك ِضVيQ الَّص�َد�َيَقV َّب Qْر jِهY Tِهj الَل سjْوَلj ُقQاَلQ ُقQاَلQ َعQْن Qْر VِهY Yِهj َصQَلYى الَل الَلVِهT Qي YُمQ َعQَل َل QسQَو Qاَّل jٌّلjَخTَدQ YٍةQ َي ْن QِجT QخVيٌّل¶ ال Vْن¶ َوQاَّلQ َخQَبv َوQاَّلQ َّب اِئ Qَخ QاَّلQَو jُئ� ي Qس VٍةQ Qُك TَمQَل الjَلYَو
Q ُعj َمQْنT َوQَأ QَّرTَقQ QاٍبQ َي YٍةV َّب ْن QِجT jْوْنQ ال jْوُك TَمQَمTَل VَذQا ال jْوا ِإ ْن QْسTْحQ QَهjُمT ِفVيَمQا َأ Tْن Qي TْنQ َّب Qي YِهV َوQَّب الَلYُزQَع YٌّلQَجQا َوQيَمVِفQَو TُمjَهQ Tْن Qي TْنQ َّب Qي VيَهVُمT َوQَّب 39اْحَمَد) (ْرَواُه َمQْوQال
"Tidak masuk Surga orang pelit, penipu, pengkhianat, dan orang yang jelek pelayananannya terhadap majikan. Sedangkan orang yang pertama kali mengetuk pintu Surga adalah para buruh yang baik terhadap sesamanya, taat kepada Allah, dan kepada majikannya. (HR Ahmad)
Hadith ini dengan lugas menyatakan bahwa kewajiban
kepada Allah dan majikannya bukan sesuatu yang antagonistik,
tapi seseuatu yang saling mengisi. Oleh karena itu, Islam tidak
memetaforakan tenaga kerja sebagai sebagai mesin, yang
kemudian kehidupan, struktur, dan individualitasnya dirancang
dan dikendalikan secara mekanistis. Sungguh, penggunaan
metafora mesin, secara radikal telah merombak hakikat
aktivitas produksi dan telah meninggalkan jejaknya dalam
pikiran, pemikiran, dan perasaaan manusia selama beberapa
waktu. Dan implikasi-implikasi lain dapat ditemukan, seperti
presisi dan repetisi kerja mekanik, aktivitas-aktivitas yang dapat
diramalkan hasilnya, dan kehidupan yang kering dari nilai
kehidupan.
Metafora seperti ini tentu mempunyai efek yang
menguntungkan dan merugikan. Efek menguntungkannya
adalah produk yang dihasilkan dapat dengan pasti dihitung,
sehingga tujuan majikan dapat tercapai. Akan tetapi, Effek
terburuk yang terjadi adalah mengurangi dan merendahkan
hakikat esensial manusia sebagai aktor sosial yang mampu
mengkonstruk realitas sosialnya sendiri yang peniuh dengan
39 Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, (Mesir: Da>r al-Ma'arif, 1988), no. 13
26
makna. Bukan realitas yang kering norma, nilai atau etika yang
pada akhirnya menambah rasa keterasingan aktor-aktor sosial
dari hakikat kemanusiaan mereka.
Oleh karena itu, sebagaimana Hadi>th di atas, Islam
memandang kerja sebagai amanah yang bermata ganda.
Seorang buruh harus menjalankan amanah Allahnya, disamping
amanah majikannya. Dengan cara ini, maka majikan tidak
boleh melarang buruh menjalankan ibadah menurut keyakinan
mereka. Majikan juga tidak perlu kuatir pekerjaan akan
terbengkalai, karena jika hal itu terjadi, maka si buruh telah
mengkhianati amanah majikannya dan bertentangan dengan
misi peribadatan itu sendiri. Dalam sebuah Hadi>th, Nabi
bersabda:
Qا Qْن QُزVَيَدj ْحQَدYَث Tْنj َي َوْنQ َّب jاْرQا َهQ ُن QَّرQ ِب TَخQ Tْنj َصQَدQُقQٍةj َأ ُقQَدW َعQْنT َمjْوسQى َّب TَّرQي� ِفVخQ ِب Yالْس TْنQَع
Qَة Yَّرjَم Vَب� Vي َعQْنT الْطYي َّبQ TَّرW َأ Qُك ِضVي الَّص�َد�َيَقV َّب Qَهُم ْرYَهُم الَلT Vي� َعQْنV َعQْن Yِب َصQَلYى الْن
TِهV الَلYَهُم Qي YُمQ َعQَل َل QسQَو QاَلQُق Qاَّل jٌّلjَخTَدQ YٍةQ َي ْن QِجT QخVيٌّل¶ َوQاَّلQ َخQَبv ال Yاْن¶ َوQاَّلQ َّب �ُئj َوQاَّلQ َمQْن ي Qس VٍةQ Qُك TَمQَل َوYَلj ال
Q QَدTَخjٌّلj َمQْنT َوQَأ YٍةQ َي ْن QِجT TَمQَمTَلjْوَكj ال VَذQا ال QَطQاُعQ ِإ YِهQ َأ QَطQاُعQ الَل �َدQُه َوQَأ ي Qس 40اْحَمَد) (ْرَواُه
Rumusan ini memang masih abstrak dan normatif. Oleh
karena itu, metafora amanah perlu diterjemahkan ke dalam
bentuk-bentuk nyata dan operatif yang merge dengan karakter,
kebutuhan masyarakat, dan lingkungan, serta kekuatan sosial
lain.
5. Hak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.
Sebelum bicara lebih jauh berbicara tentang upah,
terlebih dulu harus diperhatikan asumsi dasar pengupahan,
yakni pertama, ada hubungan yang signifikan antara upah
dengan perolehan laba; dan kedua, ada tindakan tidak
maksimal dari pihak buruh jika upah tidak diperhatikan.41
40 Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, (Mesir: Da>r al-Ma'arif, 1988), no. 32
41 Bambang Setiadji, Upah Antar Buruh Industri di Indonesia, ( Surakarta: Muhammdiyyah University Press, 2002),21
27
Ada banyak teori yang menjelaskan besaran dan jenis
upah yang mesti diterima buruh. Antara lain adalah; 1] Teori
Subsistensi yang digunakan untuk pekerja yang tidak
mempunyai keterampilan khusus. Upah, menurut teori ini,
didasarkan pada tingkat subsistensi sesuai tingkat kebutuhan
mendasar; 2] Teori Dana Upah. Menurut terori ini, upah pekerja
adalah bagian dari modal untuk berproduksi. Besaran upah
pekerja akan selalu didasarkan pada penambahan modal atau
pengurangan jumlah pekerja; 3] Teori Marginal Productivity.
Menurut teori ini, upah tenaga kerja didasarkan pada
permintaan dan penawaran tenaga kerja. Pengusaha akan
menambah upah pekerja sampai batas pertambahan
produktivitas marjinal minimal sama dengan upah yang
diberikan pada mereka. 4]. Teori Bargaining. Teori ini
mengandaikan ada batas minimal dan maksimal upah. Upah
yang ada merupakan hasil persetujuan kedua belah pihak; 5]
Teori Daya Beli. Teori ini mendasarkan permintaan pasar atas
barang dengan upah. Agar barang terbeli, maka upah harus
tinggi. Jika upah rendah, maka daya beli tidak ada, dan barang
tidak laku. Jika hal ini dibiarkan, maka akan terjadi
pengangguran besar-besaran; 6] Teori upah hukum alam. Teori
ini menyatakan bahwa upah ditetapkan atas dasar biaya yang
diperlukan untuk memelihara atau memulihkan tenaga buruh
yang telah dipakai untuk berproduksi. 42
Konsepsi Islam tentang upah sesungguhnya hampir sama
dengan Teori Marginal Productivity dan Teori Bargaining.
Sebagaimana penjelasan di atas, teori marginal productivity
menyatakan bahwa upah tenaga kerja didasarkan pada
permintaan dan penawaran tenaga kerja. Pengusaha akan
menambah upah pekerja sampai batas pertambahan
42 Mamik Indaryani, dkk. Hasil Penelitian Penentuan Upah Minimal di Kabupaten Kudus Jawa tengah, Kudus: Kantor Tenaga Kerja dan Transmigrasi bekerja sama dengan Litbang UMK, 2002
28
produktivitas marjinal minimal sama dengan upah yang
diberikan pada mereka. Dengan cara ini, maka upah dapat
ditentukan secara transparan, seksama, adil, dan tidak
menindas pihak manapun. Setiap pihak mendapat bagian yang
sah dari hasil usahanya, tanpa menzalimi pihak yang lain,
sebagaimana firman Allah SWT:
TْنQ TُسQ َوQَأ Qي اْنV ل QْسT Vُن TِإْلV VاَّلY ل ْعQى َمQا ِإ Qس YْنQ Qِهj َوQَأ ْعTي Qس QفTْو Qى س Qَّرj jُمY َي اُهj َث QُزTِجj َي
Qاء QُزQِجT َوTِفQى الQ T41-39: (الْنِجُم اَأْل(
"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna"
Setelah besaran upah berdasarkan produktivitas marjinal
ketemu angkanya, kedua belah pihak kemudian melakukan
bargaining berdasarkan perubahan umum tingkat harga barang
dan biaya kebutuhan hidup, sehingga upah riil merupakan hasil
persetujuan kedua belah pihak. Islam selalu memotivasi untuk
memberikan penjelasan (dan persetujuan) besaran upah dari
kedua belah pihak. Nabi bersabda:
TْنQي َعV َّبQ ْعVيَدW َأ Qي� سVْرTَدjخT QْنY ال VيY َأ Yِب TِهV الَلYَهُم َصQَلYى الْن Qي YُمQ َعQَل َل QسQى َوQَهQ َعQْنV ُن
VاْرQِجT Vْئ َت Tاس VيَّرVَجQ Tى اَأْلY YْنQ ْحQَت Qي jِب Qِهj َي ُهj ل jَّرTَجQ YِجTِشV َوQَعQْنV َأ YَمTُسV الْن TَقQاءV َوQالَل Vل TَحQِجQَّرV َوQِإ ال43( اْحَمَد)
"Sesungguhnya Nabi melarang mempekerjakan buruh sampai ia menjelaskan besaran upahnya, melarang Lams, najash dan ilqa>' al-hajr"
Masuknya kompenen biaya hidup dalam upah, tidak
semata-mata pertimbangan produktivitas kerja, memang
masalah tersendiri jika majikan memetaforakan tenaga kerja
sebagai mesin. Akan tetapi, dengan pertimbangan surplus value
dan kemanusiaan, hal tersebut bisa diterima.44
43 Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, (Mesir: Da>r al-Ma'arif, 1988), no. 1113944 Kenaikan upah yang berujung pada tingginya biaya produksi ini pada akhirnya harus diantisipasi negara dalam kebijakan makro ekonominya agar tetap kompetitif dipasar. Penentuan harga dalam Islam didasarkan pada prinsip koperasi dan persaingan sehat, bukannya persaingan monopoli seperti yang dibawa ekonomi kapitalis. Persaingan sehat disini bukan berati persaingan sempurna dalam arti modern, tetapi persaingan yang bebas dari spekulasi, penimbunan,
29
Dalam konteks inilah Islam bisa menerima kehadiran
Upah Minimum. Allah berfirman:
YْنV QكQ ِإ QاَّلY ل QِجjْوُعQ َأ ى َوQاَّلQ ِفVيَهQا َت QَّرTْعQ YكQ َت Qُن j اَّلQ َوQَأ QْظTَمQْأ QَّضTَحQى َوQاَّلQ ِفVيَهQا َت : (َطِه َت
119-120 (
"Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya".Nabi juga menyatakan bahwa:
jَتTْعVَم Qس YيV Yِب TِهV الَلYَهُم َصQَلYى الْن Qي YُمQ َعQَل َل QسQَو jْوَلjَقQ VيQ َمQْنT َي Qا َوQل Qْن TُسQ َعQَمQاًل� ل Qي Qِهj َوQل ل
TُزVَل¶ YخVِذT َمQْن Qَت Tي TُزVاَّل� ِفQَل َوT َمQْنQ TْسQَتT َأ Qي Qِهj ل َوTَجQٍة¶ ل Qْز TْجYَو QُزQ Qَت Tي َوT ِفQَل
Q TُسQ َأ Qي Qِهj ل َخQاَدVُم¶ ل
TِذVخY Qَت Tي َوT َخQاَدVَم�ا ِفQَلQ TْسQَتT َأ Qي Qِهj ل Yٍة¶ ل YخVِذT َدQاَّب Qَت Tي Yٍة� ِفQَل َصQاٍبQ َوQَمQْنT َدQاَّب
Q �ا َأ Tْئ ي Qى َشQْو Vس
QكV 45(اْحَمَد) َغQاَلv ِفQَهjْوQ َذQل
"Saya mendengar Nabi bersabda: Barang siapa mengangkat pekerja, jika ia tidak mempunyai rumah harus dibikinkan rumah; jika belum menikah harus dinikahkan; jika tidak mempunyai pembantu harus dicarikan pembantu; jika tidak mempunyai kendaraan harus diberikan kendaraan. Jika Majikan tidak memberikan hal tersebut, ia adalah pembunuh"
Dari ayat dan Hadi>th ini kita mengetahui bahwa besaran
upah dikaitkan dengan hak dasar untuk hidup (hifz al-nafs)
secara layak, bukan semata-mata oleh sejauhmana
produktivitas mereka.
Dengan demikian, dalam Islam, upah yang layak
bukanlah semata-mata konsesi buruh-majikan, tetapi
merupakan hak asasi yang dapat dipaksakan oleh kekuasaan
negara.46 Majikan harus memberikan upah minimum yang bisa
penyelundupan, dan lain-lain. Penentuan harga yang timbul dari persaingan tidak sempurna telah melahirkan harga monopoli lebih tinggi daripada harga kompetisi, dan hasil yang dibuat di bawah kondisi bersaing yaitu persaingan tidak sempurna. Disamping itu, produksi monopoli lebih rendah daripada produksi kompetitif. Kenaikan Harga yang sebenarnya disebabkan oleh; 1] Bertambahnya persediaan uang; 2] Berkurangnya produktivitas; 3] Bertambahnya kemajuan aktifitas; dan 4. Berbagai pertimbangan fiscal dan moneter. Manan, Teori.., 148-158. 45 Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, (Mesir: Da>r al-Ma'arif, 1988), no. 1732946 Dalam pemerintahan islam, hal ini pernah terjadi. Pada suatu ketika, beberapa budak milik Hathib ibn Abi Baltha’ah mencuri seekor unta kepunyaan tetangga, dan
30
menutupi keperluan dasar hidup yang meliputi makanan,
pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya.
Data sejarah menunjukkan bahwa upah minimum dimasa
Rasul (tahun 5 H) adalah 200 Dirham, sedang upah
maksimumnya adalah 2000 dirham, dengan perbandingan 1:10.
Seiring dengan perkembangan perekonomian Madinah saat itu,
upah minimumnya menjadi 300 dirham
dan upah maksimumnya 3000 dirham.47
Namun perlu diingat pula, bahwa adanya jaminan
kebutuhan ini bukan berarti Islam menyamakan seluruh upah
sebagaimana dibayangkan mazhab sosialis. Islam tetap
mengakui perbedaan upah karena faktor perbedaan skill dan
pengalaman kerja.48
6. Hak mendirikan dan menjadi anggota serikat buruh.
Penulis tidak menemukan padanan kata arab untuk kata
guild (serikat pekerja). Istilah ‘T{a>ifah’ yang sering digunakan
untuk menyebut serikat pekerja, sebenarnya menunjukkan
pengertian yang lebih luas, yakni suatu komunitas atau
kelompok, khususnya kelompok keagamaan atau nasional.
Sedangkan kata hirfah dan Shinf, yang juga kadang-kadang
menyembelihnya. Menerima penganduan ini, Umar ibn Khattab r.a. tidak segera menjatuhkan hukuman melainkan lebih dahulu bertanya kepada budak-budak itu tentang sebab-musabab mengapa sampai mencuri. Ternyata mereka benar-benar terpepet untuk mengisi perut karena diterlantarkan oleh majikannya. Umar yang Khalifah benar-benar marah. Hathib segera dipanggil dan dipaksanya untuk mengganti unta yang dicuri budak-budaknya. Sementara budak-budak itu sendiri ia bebaskan dari segala tuntutan. Abdul Mun’im an-Namriy, al-Ijtihad (Kairo: Dar al-Ilm, 1987), 98. 47 Dengan melakukan konversi dinar ke emas kita bisa menentukan berapa UMR dimasa Nabi. Menurut Perhitungan Wahbah Zuhali dan Muhammad Maksum ibn Ali, 1 dirham diera Nabi sama dengan 1.4 gram emas. Dengan mengasumsikan 1 gram emas seharga 90.000 diwaktu sekarang, maka UMR di awal pemerintahan Madinah adalah 90.000x200=18.000.000, dan selanjutnya naik menjadi 27.000.000,-. Sebuah angka fantastis untuk ukuran Indonesia. Afzalurahman, Doktrin, II, 378; Maksum ibn Ali, Fath al-Qadir, (Surabaya: Ahmad Nabhan, tt), 18. 48 Upah, dalam konteks ini, merupakan kompensasi (imbalan) dari nilai kerja (produktivitas), bukan kompensasi pekerjaan itu sendiri (ainul amal). Karena itu, sekalipun secara fisik pekerja kasar lebih berat dibanding insinyur, tapi upahnya lebih tinggi insinyur. Taqiyuddin al-Nabhani, al-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam (Beirut : Da>r al-Fikr, 1410 H/1990M), 92
31
dipakai, lebih berarti perdagangan, bukan organisasinya.
Ketiadaan padanan kata yang pas bagi ‘serikat pekerja’
mungkin akibat terlambatnya kemunculan serikat pekerja di
dunia arab.49
Menurut Claude Cahen dan Samuel Stren dalam The
Islamic City (1970), serikat pekerja secara resmi baru muncul di
era Uthmaniyyah. Di Turki Anatolia, organisasi profesional
pernah muncul pada abad XIV, yang kala itu disebut Akhi dan
Fityan, sebagaimana di ulas oleh Ibn Battutah. Dokumen lain
menyebut adanya kelompok-kelompok profesional (jama’ah)
sebelum penaklukan Uthmaniyyah, yang dipimpin oleh Sheikh
dan dikontrol oleh muhtasib.50 Serikat Pekerja ini aktif di
Andalusia, dimana institusi Hisbah51 terorganisasi dengan baik. 49 Andre Raymond , ‘Serikat Pekerja ‘ dalam Dunia Islam Modern, John L. Esposito (Ed), (Jakarta: Mizan, 1997), 14550 Muhtasib adalah petugas negara yang secara khusus diangkat oleh Negara dalam rangka melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Dalam pelaksanaan tugasnya, muhtasib bekerjasama dengan hakim dan polisi untuk menyerukan pelaksanaan undang-undang yang ditetapkan oleh negara yang berkaitan dengan kepentingan umum dan moral. Muhtasib bekerja untuk menjaga masyarakat dari kejahatan para pelaku yang berusaha merusak kebebasan dalam kehidupannya, melindungi kaum lemah, membantu setiap orang yang akan secara sukarela membantu kesulitan keuangan negara, serta selalu mencegah munculnya kejahatan yang menimpa negara. John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Vol. 2,3 (New York: Oxford University Press, 1995), 2:113-114; Muhammad Diya’ al-Din al-Ris, al-Nazariyyat al-Siyasah al-Islamiyyah (Kairo: Maktabat Dar al-Turath, 1979), 315-316.51 Kata al-hisbah secara etimologis berasal dari kata hasaba-yahsubu-hasban-hisaban-hisbanan-husbanan-hisbatan-hisabatan yang berarti upah dan balasan (al-ajr wa al-thawab). Hans Wehr menyatakan bahwa kata hisbah diambil dari kata hasaba yang berarti menghitung (reckoning dan computing), berfikir (thinking) memberikan opini, pandangan, dan lain-lain. Sedangkan definisi terminologis, sebagaimana dikemukakan oleh al-Mawardi, adalah: al-hisbah hiya amrun bi al-ma’ruf idha zahara tarkuhu wa nahyun ‘an al-munkar idha azhara fi’luhu.? Definisi tersebut menegaskan bahwa al-hisbah merupakan perintah untuk melaksanakan perbuatan yang baik, bila perbuatan baik itu telah nampak ditinggalkan dan mencegah perbuatan munkar, bila perbuatan munkar itu telah nampak dikerjakan. Definisi ini masih terlalu umum, karena al-qada dan al-mazalim juga tidak bisa melepaskan diri dari pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar dan mendamaikan masyarakat, sehingga definisi seperti ini akan menyulitkan perbedaan antara wewenang al-hisbah, al-qada, dan al-mazalim. Definisi al-hisbah yang lebih spesifik dari segi kelembagaan dikemukakan oleh Ibn Khaldun: al-muhtasib fahuwa wazifah diniyyah min bab al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar alladhi huwa fard ‘ala al-qa’im bi umur al-muslimin wa yu’ayyin li dhalik man yarahu ahlan lahu fa yata’ayyanu farduhu ‘alayhi wa yattakhidhu al-a’wana ‘ala dhalik. Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (Ithaca N.Y: Cornell University Press, 1961), 205-207; Al-Mawardi, Kitab al-Ahkam, 240, definisi yang sama juga dikemukakan
32
Sejak abad keenam belas hingga kesembilan belas,
serikat-serikat pekerja terorganisir diseputar wilayah
perdagangan dan kegiatan pertukangan. Mereka hidup di pasar
kota, termasuk pasar yang dikelola oleh grossir (pedagang
besar) rempah-rempah dan tujjar (pedagang kain) yang
merupakan bagian dari sistem itu. Tidak hanya pedagang
besar, pedagang kecil-pun mempunyai serikat pekerja. Bahkan,
pencuri tampaknya juga mempunyai serikat pekerja.52
Serikat pekerja umumnya dikepalai oleh seorang Shaikh
(Timur Dekat) atau Ami>n (Maghribi) yang dipilih oleh anggota
serikat pekerja, dan disahkan oleh otoritas lokal atau penguasa
pusat, sebagaimana dibuktikan oleh sarana nominasi di
Istanbul. Tampaknya, mereka juga punya otoritas melakukan
intervensi, khususnya ketika muncul masalah dengan nominasi
seorang shaikh atau ami>n.
Dalam tradisi Syi'ah, keberadaan serikat pekerja
dipertalikan dengan Nabi melalui wali pelindung mereka, pir.
Imam Ali yang dilantik Nabi Muhammad dalam upacara
pengikatan (shadd),53 pada gilirannya meresmikan tujuh belas
pir, dan kemudian Salman Al-Farisi (sahabat Nabi dan pelindung
tukang cukur) mengambil sumpah para pelindung serikat
pekerja non ekonomi lainnya (mu'azin, pembawa
panji/pemimpin) dan serikat pekerja non tradisional (kopi
disebut, tetapi tembakau tidak).
oleh al-Farra’,lihat juga, Abu Ya’la Muhammad ibn al-Husayn al-Farra’ al-Hanbali, al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1994), 320; Ibn Khaldu>n, Muqaddimah (Beirut: Da>r al-Fikr, 1961), 225.52 Andre Raymond , ‘Serikat Pekerja ‘ dalam Dunia Islam Modern, John L. Esposito (Ed), (Jakarta: Mizan, 1997), 14653 Ritual shadd adalah kegiatan berupa mengikat simpul yang jumlahnya bervariasi menurut kelas orang yang diinisiasi. Upacara ini terkaitdengan didokumentasikannya ritual tersebut dalam sumber lain di luar buku pedoman futuwah. Pertemuan diadakan oleh syaikh serikat pekerja (melalui naqib, wakil sheikh). Selama pertemuan ini orang diinisiasi menerima sabuk yang disimpul di tiga hingga tujuh tempat; ini diikuti dengan penjamuan (wali>mah) yang dihadiri oleh sejumlah perajin ahli tertentu. Setidaknya beberapa serikat pekerja menyelenggerakan perayaan untuk menghormati pelindung mereka atau wali tertentu yang dihormati.
33
Dengan menyimak data sejarah di atas, maka dapat
dikatakan bahwa dalam Islam, peranan serikat pekerja di
bidang ekonomi antara lain adalah mengatur produksi barang,
menjaga kode etik profesi,54 menjaga stabilitas harga,
khususnya pada masa krisis, membina hubungan baik antar
anggota, dan memasok tenaga kerja.
Serikat pekerja juga membantu mengelola kota di area
ekonominya sendiri, dan dengan demikian mereka membantu
memelihara tatanan. Oleh karena itu, serikat pekerja telah
memainkan sebuah mekanisme yang sangat dibutuhkan kota
yang tak punya struktur administratif yang jelas. Dengan
mengorganisasi penduduk pekerja sesuai dengan profesinya,
serikat pekerja telah memberikan andil secara efesien bagi
keseimbangan sosial.55
7. Hak melakukan mogok kerja.
Harus diakui, bahwa pemogokan buruh memang
persoalan yang krusial. Pemogokan dapat diartikan sebagai
penarikan diri seorang buruh dari pekerjaannya yang selama ini
dilakukan, dengan harapan memperoleh perlakuan atau
penghasilan yang lebih baik. Pressure ini akan mengakibatkan
produksi terhenti, sehingga harga akan naik, dan majikan akan
mengalami kerugian.
Jawaban dari langkah ini, jika kesepakatan tetap tidak
tercapai, adalah dengan lock out atau menutup perusahaan.
Target dari langkah ini adalah untuk memaksakan keinginan
majikan terhadap buruh, sebab buruh akan dihadapkan pada
dua pilihan yang sama-sama sulit; tetap kerja atau PHK.
Secara umum, ada dua motivasi besar pemogokan, yaitu
faktor ekonomis dan faktor psikologis. Secara ekonomis, laba
54 Serikat pekerja mempunyai kode etik profesi yang dapat dibuktikan dengan adanya persyaratan masuk (numerus clausus) yang disebit gadik (lisensi profesional). 55 Andre Raymond , ‘Serikat Pekerja ‘ dalam Dunia Islam Modern, John L. Esposito (Ed), (Jakarta: Mizan, 1997), 146-149
34
merupakan penambahan tenaga buruh atas modal, atau pinjam
istilahnya Marx, suplus value. Jika buruh hanya diberi sekedar
untuk mencukupi taraf hidupnya yang minimal, sementara
majikan memiliki kelebihannya, mau tak mau hal ini akan
menimbulkan rasa tidak senang buruh. Maraknya model kerja
lembur disaat banyak pengangguran seperti sekarang ini, tidak
lain adalah upaya majikan untuk mengurangi hak kaum miskin
yang merugikan buruh karena bersifat retrogresif,
menghilangkan standar upah yang sebenarnya, memperbanyak
pengangguran, dan juga membahayakan kesehatan pekerja.
Sedangkan faktor psikologis penyebab mogok adalah
adanya keberpihakan pemerintah lebih kepada majikan dari
pada buruh. Para majikan dengan cerdik membuat regulasi
yang menekan buruh pada posisi inferior. Karena keterdesakan
ini, kemudian muncul perlawanan (baca: pemogokan) kolektif.
Umumnya, hal ini disebabkan adanya ketidakadilan regulasi
mengenai konstruk hubungan kerja, syarat-syarat kerja
dan/atau keadaan perburuhan. Namun demikian, ada pula
pemogokan yang bersifat personal, jika ternyata si buruh tidak
menjadi anggota serikat pekerja. Karena dipicu oleh hal-hal
tersebut di atas, sampai saat pemogokan masih merupakan
masalah besar yang pro-kontra.
Apapun alasannya, baik mogok ataupun pemecatan
(termasuk lock out) sebenarnya bukan pilihan ideal, karena
keduanya berdampak negatif dalam skala makro. Karena itulah,
Islam mengidealkan musyawarah kolektif dibawah panji-panji
norma Islam untuk menyelesaikan perselisihan industrial.
Akan tetapi, jika hal tersebut tidak tercapai,
pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana hak untuk mogok
dan memecat diperkenankan? Ini masalah yang tidak bisa
dijawab secara hitam-putih dan memuaskan semua pihak.
Sebab disana ada banyak variabel, seperti tingkat pemusatan
35
tenaga kerja, orientasi gerakan buruh, tingkat kesenjangan,
kebijakan perusahaan dan perundang-undangan pemerintah.
Akan tetapi, jika kedua belah pihak mau menghayati nilai-
nilai Islam, setidaknya persoalan tersebut dapat berkurang.
Sebab, kedua belah pihak harus tunduk dalam panji-panji Islam.
Majikan dilarang menghisap buruh, buruh-pun dilarang
menuntut sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh majikan.
Dalam Islam, ada beberapa norma yang bisa kita jadikan
sebagai basic ideas untuk menyelesaikan perselisihan antara
buruh dan majikan secara damai, jujur dan menjamin rasa
keadilan bagi kedua belah pihak.
Pertama-tama harus dipahami, bahwa kedua belah pihak
terikat dengan norma amanah. Seorang majikan mempunyai
amanah untuk mengelola perusahaan dengan cara yang adil
dan tidak menindas, sementara buruh juga mempunyai amanah
untuk melaksanakan tugasnya dengan baik, tidak curang,
apalagi mengkhianati majikan. Dalam konteks inilah Allah
berfirman:
YْنV YِهQ ِإ jُمT الَل ُك jَّرjَمT Qْأ QْنT َي jَؤQَد�َوا َأ QاَتV َت QَمQاُن Tى اَأْلQلV VَهQا ِإ َهTَل
Q VَذQا َأ jُمT َوQِإ QَمTَت TْنQ ْحQُك Qي YاِسV َّب QْنT الْن َأjَمjْوا QَحTُك TْعQَدTَلV َت Vال VْنY َّب YِهQ ِإ VْعVَمYا الَل jُمT ُن QْعVْظjُك VِهV َي VْنY َّب YِهQ ِإ QاْنQ الَل َمVيْع�ا ُك Qس
ا(الْنْساء: QَّصVيَّر� )58َّب"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat"
Dengan cara ini, hubungan industrial buruh-majikan akan
berjalan dengan damai, aman, kondusif dan produktif. Mereka
tidak angkuh, keras kepala, boikot, dan saling mencari
kesalahan pihak lain. Yang diperlukan oleh kesalahan bukan
kambing hitam, tapi ma'af dan penyelesaian. Nabi bersabda:
36
Qاء Qٌّل¶ َجjَج Qى ْرQلV Vي� ِإ Yِب TِهV الَلYَهُم َصQَلYى الْن Qي YُمQ َعQَل َل QسQَو QاَلQَقQا ِفQ سjْوَلQ َي Qْر VِهY QُمT الَل ُكjْعTُفQى TَمQَمTَلjْوَكV َعQْنV َي Tِهj ِفQَّصQَمQَتQ ُقQاَلQ ال jُمY َعQْن QَعQاَدQ َث Tِهj ِفQَّصQَمQَتQ َأ jُمY َعQْن QَعQاَدQ َث َأQاَلQَقQى ِفQُفTْعj Tِهj َي jٌّلY َعQْن W ُك QْوTُم TْعVيْنQ َي ِب Qَة� س YَّرQ56اْحَمَد) (ْرَواُه َم
"Seorang laki-laki datang kepada Nabi. Ia bertanya: wahai Rasul, berapa kali seorang buruh layak dimaafkan (jika melakukan kesalahan). Nabi diam saja. Kemudian ia bertanya lagi, dan Nabipun hanya diam. Untuk pertanyaan yang ketga kalinya, Nabi menjawab: Buruh harus dima'afkan, walaupun ia melakukan kesalahan 70 kali sehari"
Jika mereka tidak mau melaksanakannya, sudah pasti
iklim kerja berubah menjadi panas, destruktif dan jauh dari
tujuan awal. Mereka terjebak pada sikap saling intai, mencari
kesalahan pihak lain, dan berkutat pada alasan pembenar untuk
menjastifikasi kesalahan masing-masing. Maka tak ayal lagi,
situasi kerja menjadi tidak kondusif dan produktivitas meenjadi
rendah. Dalam konteks inilah al-Qur'an berpesan agar
kondusivitas dirawat sedemikian rupa.
VَمQا ْحTَمQٍةW ِفQِب Qْر QْنVَم VِهY TَتQ الَل Vْن QَهjُمT ل QْوT ل TَتQ َوQل jْن VيَظQ ِفQْظ²ا ُك TَقQَلTَبV َغQَل TُفQَّض�ْوا ال ُن Qاَّل TْنVَم QكVلTْوQْح jُفTاَعQِف
TُمjَهT QَغTُفVَّرT َعQْن َت TاسQَو TُمjَهQ َهjُمT ل TْرVاَو QَشQي َوVِف VَّرTَمQ Tا اَأْلQَذV َمTَتQ ِفQِإ QُزQَع TٌّلY QْوQُك YِهV َعQَلQى ِفQَت VْنY الَل YِهQ ِإ jَحVَب� الَل َي
QيْنV �َل QْوQُك Tَمjَت )159: َعَمَّراْن (اَل ال
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya"
Sikap angkuh tidak akan menghasilkan apapun kecuali
perselisihan, yang berakhir pada pemutusan hubungan kerja
(PHK). Kedua belah pihak akan sama-sama rugi dengan
tindakan tersebut.
Nabi bersabda:
TْنQَع VُسQ Qُن TْنV َأ VكW َّب QاْنQ ُقQاَلQ َمQال QَخQْوQاْنV ُك Vي� َعQَهTَدV َعQَلQى َأ Yِب Yِهj َصQَلYى الْن TِهV الَل Qي َعQَلQُمY َل QسQَو QاْنQ QْحQَدjَهjَمQا ِفQُك Vي َأ Tَت Qْأ VيY َي Yِب Yِهj َصQَلYى الْن TِهV الَل Qي YُمQ َعQَل َل QسQَو jَّرQَخ TاآْلQَو jفVَّرQ َت TَحQ َي
56 Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad, (Mesir: Da>r al-Ma'arif, 1988), no. 5633
37
Qا ُك QَشQِف jفVَّرQ َت TَحjَمT QَخQاُهj ال VلQى َأ Vي� ِإ Yِب Yِهj َصQَلYى الْن TِهV الَل Qي YُمQ َعQَل َل QسQَو QاَلQَقQِف QكYَلQْعQ لjَق Qْز Tَّرj VِهV َت 57الَتَّرَمِذى) (ْرَواُه َّب
"Salah satu dua orang bersaudara datang kepada Nabi dan mengeluhkan saudaranya yang tidak mau bekerja. Nabi menjawab: Justru (anda terpacu kerja) sehingga mendapatkan hasil sebab dia"
Apabila terpaksa berselisih, dan perselisihan tersebut
tidak mampu didamaikan secara intern, yaitu penyelesaian
secara bersama antara majikan dan buruh, maka kasus
tersebut bisa diselesaikan segera oleh badan arbitrase (al-
tahkim) untuk mendamaikannya, sehingga masing-masing
pihak merasa puas dengan keputusan itu. Penyelesaian kasus
ini pertama-tama dilakukan oleh lembaga yang bertanggung
jawab terhadap stabilitas sosial perdagangan yang dikenal
dengan nama wilayat al-H{isbah,58 yang kemudian diteruskan
57 Abu 'Isa al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, (ttp: Dar al-Kutub, tt), no. 226758 Wewenang lembaga Hisbah, sebagaimana dikatakan oleh Isma’il Raji al-Faruqi, adalah untuk:
1. Menginspeksi timbangan dan takaran untuk mencegah terjadinya kecurangan.
2. Memeriksa notaris yang menulis kontrak atas nama pihak-pihak pembuat kontrak dan penjualan.
3. Mendengarkan keluhan masyarakat, mengunjungi mereka, dan memberikan perhatian khusus kepada anak-anak dan wanita.
4. Mengawasi pelayanan publik seperti kebebasan berjalan di jalan raya, pemeliharaan fasilitas umum, penerangan, kebersihan, kesejahteraan umum, ketertiban dan kebersihan masjid, restoran, dan tempat pemandian umum.
5. Menginspeksi kuttab, hukum pengadilan, dan semua tempat berkumpulnya orang untuk mengupayakan pelaksanaan hukum dan etika Islam.
6. Memeriksa barang dan jasa di seluruh dusun dan kota untuk mencegah terjadinya penipuan kualitas atau ukuran dengan menyimpan ukuran standar di kantornya.
7. Mengupayakan agar hewan beban dan kapal tidak berlebihan muatan, supaya tidak membahayakan jiwa manusia dan hewan.
8. Bertanggung jawab atas keamanan non-muslim agar mereka tidak dianiaya atau diganggu, dapat menikmati kemerdekaan, dan dapat menjalankan kewajiban berdasarkan shari’at agamanya.
9. Bertanggung jawab atas kehadiran tamu di wilayahnya.
Dengan melihat wewenang muh}tasib tersebut, dapat dikatakan bahwa melalui lembaga hisbah ini negara dapat mengontrol kondisi sosio-ekonomi secara komprehensif atas kegiatan perdagangan dan praktek-praktek ekonomi, jasa profesional, dan standarisasi produk. Selain itu, muh}tasib juga mengawasi perilaku sosial penduduk dan aktivitas mereka dalam melaksanakan kewajiban agama, serta ketaatan mereka terhadap aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah.Lebih lanjut, al-Faruqi menjelaskan bahwa setiap orang dapat memohon kepada muh}tasib untuk mengatasi ketidaksempurnaan pasar. Namun muhtasib tidak
38
kepada wilayat al-qad}a>' 59 atau wilayat al-maz}a>lim,60
sesuai dengan jenis pelanggarannya. Ketiga kekuasaan ini,
masing-masing mempunyai tugas dan wewenang tersendiri
yang berbeda antara satu dengan yang lain, tetapi ketiganya
mempunyai tujuan yang sama yaitu menciptakan keamanan,
ketertiban, dan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
boleh memata-matai warganya. Muhtasib tidak boleh menjadikan dirinya sebagai hakim yang mendengarkan saksi dan bukti dalam suatu perselisihan yang kontroversial. Ketidakberesan yang dikuasakan kepadanya adalah ketidakberesan yang nampak saja Isma’il Raji al-Faruqi, Cultural Atlas of Islam (New York: Macmillan Publishing Company, 1986), 157. 59 Wilayat al-qada adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menangani kasus-kasus yang membutuhkan putusan berdasarkan hukum Islam. Kasus yang ditangani lembaga ini adalah kasus yang timbul dalam kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat muslim atau non-muslim. Menurut al-Mawardi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang qadi yaitu laki-laki, berakal dan memiliki kecerdasan yang dapat menjauhkan dirinya dari kelalaian, merdeka, adil, sehat pendengaran dan penglihatan, dan memiliki pengetahuan yang luas tentang shari’ah. Sedangkan tugas dan wewenang al-qada adalah: 1) Menyelesaikan persengketaan baik secara damai maupun secara paksa. 2) Membebaskan orang-orang yang tidak bersalah dari sanksi dan hukuman, memberikan sanksi kepada yang bersalah baik dengan pengakuan maupun sumpah. 3) Menetapkan penguasaan harta benda orang-orang yang tidak bisa menguasai diri sendiri karena gila, anak-anak, atau idiot. 4) Mengawasi waktu dengan memelihara prinsip-prinsipnya dan mengembangkan cabang-cabangnya. 5) Melaksanakan wasiat dari orang yang berwasiat sesuai dengan shari’at. 6) Menikahkan janda dengan orang yang sederajat jika tidak ada wali dan menghendaki menikah. 7) Melaksanakan hukuman bagi para terhukum. 8) Mengawasi pegawai demi kemaslahatan mereka. 9) Meneliti para saksi dan sekretarisnya serta menentukan penggantinya. 10) Menegakkan persamaan di depan hukum antara yang kuat dan lemah, bangsawan maupun rakyat biasa. Lihat. Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Basri al-Baghdadi al-Mawardi, Kitab al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beiru>t: Da>r al-Fikr, tt), 70-71.60 Wilayat al-maz}a>lim merupakan lembaga peradilan yang khusus menangani kasus pelanggaran yang dilakukan oleh para penyelenggara negara, para hakim, maupun anak-anak orang yang berkuasa. Al-Mawardi menjelaskan bahwa tugas dan wewenang lembaga ini adalah 1) Penganiayaan para penguasa baik terhadap perorangan maupun terhadap golongan. 2) Kecurangan pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat dan harta-harta kekayaan negara lainnya. 3) Mengontrol dan mengawasi keadaan para pejabat 4) Pengaduan yang diajukan oleh tentara karena gaji mereka dikurangi ataupun dilambatkan pembayarannya. 5) Mengembalikan kepada rakyat harta-harta mereka yang dirampas oleh penguasa-penguasa yang zalim. 6) Memperhatikan harta-harta wakaf. 7) Melaksanakan putusan-putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan oleh hakim-hakim sendiri, karena yang dijatuhkan hukumannya adalah orang-orang yang tinggi derajatnya. 8) Meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang berkaitan dengan kemaslahatan umum yang tidak dapat dilaksanakan oleh muhtasib. 9) Memelihara hak-hak Allah yaitu ibadah-ibadah seperti salat Jumat, ‘id, haji, dan jihad. 10) Menyelesaikan perkara-perkara yang telah menjadi sengketa di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Ibid., 80-83.
39
D. Obkektifikasi Konsep Islam di Indonesia
Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa konsep
hubungan industrial dirumuskan Islam sebagai pola perilaku
manajemen yang didasarkan pada penghormatan setiap individu
sebagai potensi, kapabelitas, pengalaman, hak dan kewajiban
masing-masing.
Masalahnya kemudian adalah karena buruh sudah menjadi
kelas atau komunitas tersendiri, maka rumusan-rumusan hukum
tekstual yang telah dihasilkan oleh ulama terdahulu kurang
mampu mengakomodir isu perburuhan kontemporer. Persoalan
buruh dewasa ini sudah menjadi masalah sosial yang sangat
kompleks yang melibatkan institusi dan struktur-struktur negara.
Maka mengkaji isu buruh harus pula melibatkan pendekatan sosial,
ekonomi dan politik.
Objektifikasi konsep Islam dalam perindustrian di Indonesia
mengharuskan perubahan paradigmatic, dimana hubungan
industrial memiliki kualitas yang spesifik dan berbeda dengan
negara lain. Sehingga pola hubungan industrial model liberal
kapitalis, sosialis, dan semacamnya harus ditolak. Pola hubungan
industrial yang diharapkan tumbuh berkembang di negara
Indonesia adalah yang memegang teguh nilai dan cara pandang
orang Indonesia yang harmonis dan seimbang. Hubungan antara
pekerja dan perusahaan bukan didasarkan pada mola profit
maximize, tapi pada pola yang saling menguntungkan.
Kehadiran UU nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan dan UU no 2 tahun 2004 adalah bagian dari
skenario besar pemerintah Indonesia untuk menata dan
menegosiasikan kepentingan bersama buruh, majikan dan negara.
Jika pengusaha berkepentingan terhadap pengembangan modal,
buruh berkepentingan menaikkan pendapatan, maka pemerintah
berkepentingan mengamankan makro ekonominya. Tanpa kondisi
40
yang kondusif, maka makro ekonomi sebuah negara akan
terguncang. Dalam posisi ini, semua pihak akan terkena getahnya.
Buruh berkewajiban menjalankan pekerjaan sesuai dengan
kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi,
menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan
ketrampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan
dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
Sedangkan majikan berkewajiban menciptakan kemitraan,
mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan
memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka,
demokratis, dan berkeadilan. Sementara pemerintah, disamping
memerankan tiga fungsi, pelindung (protector), pembimbing
(guide), dan penengah (arbitrator), juga dituntut untuk lebih aktif
membela kepentingan rakyatnya, bukan tunduk begitu saja pada
pasar.
Disamping pergeseran paradigma yang berimplikasi pada
penerjemahan prinsip-prinsip Islam di atas dalam perundang-
undangan,61 satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa
perundang-undangan di Indoensia masih mendikotomi buruh dan
majikan, sehingga buruh selamanya buruh dan majikan selamanya
majikan. Ini merupakan kerawanan yang tersembunyi.
Untuk itu, Islam dapat menawarkan kombinasi konsep ijarah
dengan Shirkah inan. Sebagaimana diketahui, bahwa Shirkah
'Ina>n adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih
untuk melaksanakan sebuah pekerjaan. Setiap pihak memberikan
suatu porsi dari keseluruhan dana, dan juga berpartisipasi dalam
kerja. Kedua belah pihak berbagi dalam untung maupun rugi
(profit-loss Sharing) sesuai dengan kesepakatan yang mereka
capai.62
61 Menurut penelitian penulis, beberapa prinsip Islam sudah terakomodir dalam UU no 13 tahun 2003 dan UU no 2 tahun 2004. Abdul Jalil, Hak buruh menurut Islam dan UU no 13 tahun 2003, tesis Magister IAIN Sunan Ampel 2004.62 Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu,vol. V (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1977), 3881; M.A. Mannan, Islamic Economy: Theory and Practice (England:
41
Dengan kombinasi Shirkah Ina>n-Ija>rah, seorang buruh
mempunyai posisi yang relatif sama dengan majikan dalam hal
keuntungan. Semakin tinggi laba yang diperoleh, maka dengan
sendirinya upah mereka akan naik. Begitupun sebaliknya. Jika
perusahaan mengalami kerugian, maka seorang buruh-pun ikut
merasakan derita majikannya.
Aplikasi teori shirkah ini dapat menggunakan gainsharing
approach sebagaimana telah dilakukan oleh Manajemen Sumber
Daya Modern. Gainsharing adalah pendekatan kompensasi yang
berhubungan dengan outcome tertentu. Sistem ini di set up
sebagai bentuk berbagi keuntungan dengan pekerja atas
performa dan produktvitas mereka dalam menghasilkan
peningkatan laba dalam perusahaan. Biasanya gainsaharing
diterapakan terhadap seluruh pekerja, bukan secara individual.63
Gainsharing dibagi manjadi tiga kategori, yaitu;
kepemilikan pekerja (Employee ownership), sharing produksi
(Production Sharing), dan profit sharing.
1. Employee ownership
Employee ownership adalah pendekatan gainsharing
bagi pekerja untuk memiliki perusahaan. Beberapa perusahaan
memperbolehkan pekerja membeli sahamnya sebagai andil
perusahaan. Hasilnya adalah partisipasi pekerja dalam memiliki
bagian-bagian perusahaan.
Pendekatan revolusioner ini salah satunya diwujudkan
dengan rencana kepemilikan saham pekerja, atau ESOP
(Employee Stock Ownership Plan). Sekalipun Employee
ownership dilakukan dengan berbagai cara, namun semua
berarti pekerja membeli saham perusahaan.
Edward Arnold Limited, 1993), 115-118.63
Pemberian yang bersifat individual ini biasanya disebut insentif, baik yang berupa piecework, komisi, curve maturity, merit raises, pay for knowledge compensation, non monetary incentive ataupun incentive executive.
42
Ada beberapa model ESOP yang bisa dipilih perusahaan.
Antara lain adalah:
a. Pekerja membeli saham dengan uang pinjaman
berdasarkan perjanjian pekerja.
b. Pekerja membeli saham dengan dana dari kontribusi
pajak (tax-deductible contribution).
c. Pekerja membeli saham melalui keuntungan yang akan
diperoleh di perusahaan dengan perencanaan tertentu.
d. Pekerja membeli saham melalui perusahaan yang sudah
go publik.
Dengan cara tesebut, ESOP sesungguhnya dapat digunakan
untuk melindungi perusahaan dari serangan kerja-sama
(corporate raider), perburuan membeli perusahaan, pemogokan
buruh. ESOP juga bisa menjadi salah satu cara untuk malakukan
divestasi perusahaan menuju prospek yang lebih cerah.
2. Production Sharing Plans
Prodution Sharing Plans adalah rencana pembagian
produksi dengan pekerja dengan memberikan bonus ketika
melebihi tingkat output yang direncanakan. Rencana ini
cenderung menjadi jangka pendek dan berhubungan dengan
tujuan produksi yang spesifik.
3. Profit-sharing plans
Profit-sharing plans adalah sistem membagi keuntungan
perusahaan dengan para pekerja. Profit-sharing dipilih karena
keuntungan tidak selalu berhubungan dengan performa
pekerja. Sebuah resesi atau kompetisi baru bisa berpangaruh
secara signifikan. Beberapa perusahaan kemudian
mengantisipasinya dengan mengurangi insentif untuk kemudian
mengalokasikannya pada pembagian profit pekerja. Ketika
langkah reinforcement (penguatan) ini berjalan dengan baik,
maka akan menimbulkan pengaruh yang dramatis pada
organisasi, melahirkan kepercayaan baru dan memunculkan
43
perasaan senasib-sepenanggungan di antara para pekerja dan
menajemen.64
Dengan gainsharing system di atas, maka tidak ada alasan
bagi buruh untuk malas bekerja, karena hasil yang akan mereka
terima (deviden) bergantung pada produktivitas yang mereka
hasilkan. Disamping itu, mereka juga masih menerima upah harian
yang besaran dan regulasinya menggunakan model Ijarah, yang
secara teoritik hampir sama dengan Teori Marginal Productivity
dan Teori Bargaining.
Riset Werther menyebutkan bahwa sistem gainsharing
mampu menumbuhkan perasaan senasib sehingga bisa
meningkatkan komitmen, performa, produktivitas, dan kualitas
kerja. Dia menyatakan bahwa 80 % perusahaan di Amerika
menggunakan sistem gainsharing sebagaimana yang telah
dilakukan oleh Lincoln Electric. Dengan gainsharing, pengusaha
telah membagi informasi finansial dan non finansial dengan
pekerja lebih sering (65 persen) dibanding perusahaan tanpa
gainsharing (37 persen). Selama tahun 1980 dan awal 1990,
penggunaan gainsharing menjadi berlipat ganda.65
Di Indonesia, Bank Mandiri dan bank BRI adalah contoh
perusahaan yang menerapkan system tersebut. Hasilnya sangat
fantastis. Dalam waktu dua tahun sejak pola tersebut diterapkan,
return saham Bank Mandiri naik 119 %, sedangkan bank BRI naik
234%.66
Sampai disini sesungguhnya masih ada masalah lain, yakni
bagaimana menyiapkan basis kesadaran kultural dan struktural
yang memungkinkan cita ideal tersebut menjadi sebuah kenyataan
sosial-politik di negeri ini. Dalam konteks negara kebangsaan,
norma tersebut harus dipahami sebagai bahan baku (raw
64 William B Werther, Human Resources and Personal management (New York: University Of Miami, 1989), 373.65 Ibid, 36566 Wawasan, 11 Juli 2005
44
material) seperti halnya hukum adat atau hukum-hukum yang lain,
yang bisa saja ditransformasikan menjadi hukum positif sejauh
bisa disepakati/diterima oleh forum pengambil keputusan publik
(parleman) melalui cara dan prosedur yang demokratis. Wallahu
A'lam.
45
BIBLIOGRAPHY
al-Azhari, Abdullah ibn Hija>zi ibn Ibra>hi>m al-Shafi’I, Hashiyah al-
Syarqa>wi ‘ala> Tuhfah al-Tulla>b, vol.2 Beirut: Da>r al-
Ma’rifah, tt.;
Briggs, Asa "The Walfare State in Historical Perspective" dalam
Archives Europeenes de Sociologie, 1961.
Brinton, Crane, "Eglightenment", dalam Encyclopedia of Philosophy,
vol 2, New York: Macmillan and the Free Press, 1967;
al-Buhuti, Mans}u>r ibn Yu>nus ibn Idris, Sharh Muntaha> al-Ira>dat
al-Musamma, vol. 2, Madi>nah: maktabah al-Salafiyah , tt;
1980;
Budiono, Tori Eknomi Mikro, Yogyakarta: BPFE, 1998;
Capra, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Jakarta: IIT, 2000;
al-Fanjari, Shauqi, Huquq al-Ummal fi al-Islam, Riyad: Rabithah
al-'alam al-Islami, Gramsci, Antonio, "Ekonomi dan Korporasi
Negara" dalam Catatan-catan Politik, terj. Gafna Raiza,
Surabaya: Pustaka Promethea, 2001;
Hitti, Philip K. History of The Arabs, London: The Macmillan Press Ltd,
1970;
Indaryani, Mamik, dkk. Hasil Penelitian Penentuan Upah Minimal di
Kabupaten Kudus Jawa tengah, Kudus: Kantor Tenaga Kerja dan
Transmigrasi bekerja sama dengan Litbang UMK, 2002;
al-Isfiha>ni>, Abu al-Faraj Kita>b al-Agha>ni>, vol. 1, Beiru>t:
Mat}ba’ah al-‘Arabiyyah, tt;
Mannan, M.A. Islamic Economy: Theory and Practice, England: Edward
Arnold Limited, 1993;
McEachern, William A., Ekonomi Mikro Pendekatan Kontemporer,
Jakarta: Thomson Learning, 2001;
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity Transformation of an Intellectual
Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, 1982;
al-Sharbaini, Muhammad al-Kha>tib, Mughni al-Muhta>j, vol. 2,
46
Qa>hirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1985;
Setiadji, Bambang, Upah Antar Buruh Industri di Indonesia, Surakarta:
Muhammdiyyah University Press, 2002;
Tempo interaktif, 19 Januari 2005
'Uthma>n, Fakhr al-di>n ibn 'Ali al-H{anafi, Tabyi>n al-H{aqa>iq,
vol. 5, Qa>hirah: Mat}ba’ah al-Kubra> al-A<miriyah, 1315 H.;
Wawasan, 11 Juli 2005
Werther, William B, Human Resources and Personal management,
New York: University Of Miami, 1989;
Zaman, Hasanuz, S.M. Economic Funtion of an Economic State: The
Early experience, Leicerster, The Islamic Funtion, 1991;
Zuhaili>,Wahbah, al-Fiqh al-Isla>m wa Adillatuhu,vol. V, Damaskus:
Da>r al-Fikr, 1977.
47