Makala h
Transcript of Makala h
MAKALAH
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
KEGAWATAN GANGGUAN BIDANG KOMUNITAS :
BENCANA ALAM & KEJADIAN LUAR BIASA
Disusun Oleh :
WINDA TRISNAWATI (2120101854/IIIC)
YUNA MUSTAFA (2120101855/IIIC)
YUNIARTI (2120101856/IIIC)
AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO
YOGYAKARTA
2012
1
A. Bencana (disaster)
I. Definisi bencana (disaster)
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia definisi
bencana adalah peristiwa/kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan
kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya
kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan
bantuan luar biasa dari pihak luar.
Bencana adalah Peristiwa yg disebabkan oleh alam/ ulah manusia/
keduanya yg mengakibatkan korban, penderitaan manusia, kerugian harta
benda, lingkungan , prasarana & sarana serta menimbulkan gangguan
terhadap tata kehidupan masyarakat (BNPB).
Sedangkan menurut WHO bencana adalah peristiwa yang
mengakibatkan kerusakan ekologi , kerugian kehidupan manusia serta
memburuknya kesehatan & pelayanan kesehatan yg bermakna shg perlu
bantuan luar biasa dari luar lokasi bencana
II. Jenis Bencana
Usep Solehudin (2005) mengelompokkan bencana menjadi 2 jenis yaitu:
a. Bencana alam (natural disaster) yaitu kejadian-kejadian alami seperti
kejadian-kejadian alami seperti banjir, genangan, gempa bumi, gunung
meletus, badai, kekeringan, wabah, serangga dan lainnya.
b. Tehknological disaster yaitu kejadian-kejadian karena tehknologi atau
perbuatan manusia seperti tabrakan pesawat udara atau kendaraan,
kebakaran, huru-hara, sabotase, ledakan, gangguan listrik, ganguan
komunikasi, gangguan transportasi dan lainnya.
Sedangkan berdasarkan cakupan wilayah, bencana terdiri dari:
a. Bencana Lokal
Bencana ini biasanya memberikan dampak pada wilayah sekitarnya
yang berdekatan. Bencana terjadi pada sebuah gedung atau
bangunan-bangunan disekitarnya. Biasanya adalah karena akibat
faktor manusia seperti kebakaran, ledakan, terorisme, kebocoran
bahan kimia dan lainnya.
2
b. Bencana Regional
Jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh pada area
geografis yang cukup luas, dan biasanya disebabkan oleh faktor
alam, seperti badai, banjir, letusan gunung, tornado dan lainnya.
III. Fase-fase Bencana
Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu
bencana, yaitu diantaranya :
a. Fase preimpact merupakan warning phase, tahap awal dari
bencana. Informasi didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca.
Seharusnya pada fase inilah segala persiapan dilakukan baik oleh
pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat.
b. Fase impact merupakan fase terjadinya klimaks dari
bencana. Inilah saat-saat dimana manusia sekuat tenaga mencoba
untuk bertahan hidup (survive). Fase impact ini terus berlanjut hingga
terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan.
c. Fase postimpact adalah saat dimulainya perbaikan dan
penyembuhan dari fase darurat, juga tahap dimana masyarakat mulai
berusaha kembali pada fungsi komunitas normal. Secara umum dalam
fase postimpact ini para korban akan mengalami tahap respon
psikologis mulai penolakan, marah, tawar-menawar, depresi hingga
penerimaan.
IV. Dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat
a. Korban massal ( mati, luka & sakit )
b. Panik, bingung, depresi & neurosis
c. Diskoordinasi
d. Rusaknya sarana kesehatan
e. Lumpuhnya pelayanan kesehatan rutin
f. Konsentrasi massa / Pengungsi
g. Masalah Pangan dan Gizi
h. Masalah Air bersih
i. Masalah Sanitasi lingkungan
3
j. Pend. Penyakit menular meningkat
k. Kelangkaan SDM kesehatan
l. Timbulnya Post Traumatic Stress (PTSD)
V. Evolusi pandangan terhadap bencana
a. Pandangan Konvensional
Bencana merupakan sifat alam. Terjadinya bencana : Kecelakaan
(accident) ; tidak dapat diprediksi, tidak menentu, tidak terhindarkan,
dan tidak terkendali. Masyarakat dipandang sebagai ‘korban’ dan
‘penerima bantuan’ dari pihak luar.
b. Pandangan Ilmu Pengetahuan Alam
Bencana merupakan unsur lingkungan fisik yang membahayakan
kehidupan manusia. Karena kekuatan alam yang luar biasa. Proses
geofisik, geologi dan hidrometeorologi. Tidak memperhitungkan
manusia sebagai penyebab bencana.
c. Pandangan Ilmu Terapan
Besaran (magnitude) bencana tergantung besarnya ketahanan atau
kerusakan akibat bencana. Pengkajian bencana ditujukan pada upaya
meningkatkan kekuatan fisik struktur bangunan untuk memperkecil
kerusakan.
d. Pandangan Progresif
Menganggap bencana sebagai bagian dari pembangunan masyarakat
yang ‘normal’. Bencana adalah masalah yang tidak pernah berhenti.
Peran sentral dari masyarakat adalah mengenali bencana itu sendiri.
e. Pandangan Ilmu Sosial
Fokus pada bagaimana tanggapan dan kesiapan masyarakat
menghadapi bahaya. Ancaman adalah alami, tetapi bencana bukan
alami. Besaran bencana tergantung perbedaan tingkat kerawanan
masyarak.
f. Pandangan Holistik
Menekankan pada ancaman (threat) dan kerentanan (vulnerability),
serta kemampuan masyarakat dalam menghadapi risiko. Gejala alam
4
menjadi ancaman jika mengancam hidup dan harta-benda. Ancaman
akan berubah menjadi bencana jika bertemu dengan kerentanan.
VI. Paradigma-paradigma Penanggulangan Bencana
a. Daur Penanggulangan Bencana : Memandang bencana sebagai rentetan
kejadian dengan fokus ketika, sebelum dan sesudah bencana.
b. Model Kue-marmer : Upaya penanggulangan bencana dapat
dilaksanakan setiap saat, masing-masing meluas atau menyempit,
tergantung pada risiko yang dihadapi.
c. Tabrakan Unsur : Upaya mengatasi (melepaskan tekanan) kerentanan
(tekanan) yang berakar pada proses proses sosial ke arah masyarakat
yang aman, berdaya tahan, dan berkesinambungan.
d. Pengurangan Risiko : Upaya-upaya untuk mengatasi secara
komprehensif dan terpadu untuk mengurangi risiko bencana.
VII. Peran perawat komunitas dalam manajemen kejadian bencana
Perawat komunitas dalam asuhan keperawatan komunitas memiliki
tanggung jawab peran dalam membantu mengatasi ancaman bencana baik
selama tahap preimpact, impact/emergency, dan post impact.
Peran perawat disini bisa dikatakan multiple; sebagai bagian dari
penyusun rencana, pendidik, pemberi asuhan keperawatan bagian dari tim
pengkajian kejadian bencana.
Tujuan utama : Tujuan tindakan asuhan keperawatan komunitas pada
bencana ini adalah untuk mencapai kemungkinan tingkat kesehatan terbaik
masyarakat yang terkena bencana tersebut.
Peran Perawat
a. Peran dalam Pencegahan Primer
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan perawat dalam masa pra
bencana ini, antara lain:
1) Mengenali instruksi ancaman bahaya,
2) Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan saat fase emergency
(makanan, air, obat-obatan, pakaian dan selimut, serta tenda),
3) Melatih penanganan pertama korban bencana, dan
5
4) Mengkoordinasi berbagai dinas pemerintahan, organisasi lingkungan,
palang merah nasional maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan
dalam memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi
ancaman bencana kepada masyarakat.
Pendidikan kesehatan diarahkan kepada :
1. Usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut).
2. Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong
anggota keluarga dengan kecurigaan fraktur tulang , perdarahan, dan
pertolongan pertama luka bakar.
3. Memberikan beberapa alamat dan nomor telepon darurat seperti dinas
kebakaran, rs dan ambulans.
4. Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa
(misal pakaian seperlunya, portable radio, senter, baterai).
5. Memberikan informasi tempat-tempat alternatif penampungan atau
posko-posko bencana.
b. Peran Perawat dalam Keadaan Darurat (Impact Phase)
Biasanya pertolongan pertama pada korban bencana dilakukan tepat
setelah keadaan stabil. Setelah bencana mulai stabil, masing-masing
bidang tim survey mulai melakukan pengkajian cepat terhadap kerusakan-
kerusakan, begitu juga perawat sebagai bagian dari tim kesehatan.
Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk memutuskan
tindakan pertolongan pertama. Ada saat dimana ”seleksi” pasien untuk
penanganan segera (emergency) akan lebih efektif. (Triage).
c. Peran perawat di dalam posko pengungsian dan posko bencana
1) Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek
kesehatan sehari-hari.
2) Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harian.
3) Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan
penanganan kesehatan di RS.
4) Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian.
6
5) Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan
khusus bayi, peralatan kesehatan.
6) Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit
menular maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri
dan lingkungannya berkoordinasi dengan perawat jiwa.
7) Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban
(ansietas, depresi yang ditunjukkan dengan seringnya menangis
dan mengisolasi diri) maupun reaksi psikosomatik (hilang nafsu
makan, insomnia, fatigue, mual muntah, dan kelemahan otot).
8) Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak, dapat
dilakukan dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi
bermain.
9) Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para
psikolog dan psikiater.
10) Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan
kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi.
d. Peran perawat dalam fase postimpact
Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, sosial, dan
psikologis korban. Selama masa perbaikan perawat membantu masyarakat
untuk kembali pada kehidupan normal. Beberapa penyakit dan kondisi
fisik mungkin memerlukan jangka waktu yang lama untuk normal kembali
bahkan terdapat keadaan dimana kecacatan terjadi.
B. Triage
I. Pengertian triage
Triage adalah suatu sistem untuk melakukan pemilahan penderita
berdasarkan kebutuhan pertolongan medis.
Seleksi penderita berdasarkan :
a. Problem yang ada pada penderita
Seleksi berdasarkan problem/gangguan ABC tanpa melihat sarana
yang ada
7
b. Jumlah Penderita itu sendiri
Seleksi berdasarkan berat ringannya keadaan penderita yang
mempunyai kemungkinan hidup lebih besar dihadapkan kepada
waktu, sarana dan tenaga yang ada
II. Tujuan triage
Mendapatkan hasil yang sebaik mungkin pada kondisi jumlah pasien besar
dengan sarana terbatas.
Penentuan prioritas akan menekan
Morbiditas
mortalitas
kecacatan
III. Dasar-dasar triage
a. Derajat cedera
b. Jumlah yang cedera
c. Sarana dan kemampuan
d. Kemungkinan bertahan hidup
e. Sehari-hari >< korban masal
IV. Yang dilakukan pada triage
a. Penilaian tanda vital dan kondisi
b. Penilaian tindakan yang diperlukan
c. Penilaian harapan hidup
d. Penilaian kemampuan medis
e. Prioritas penanganan definitif
f. Pemberian label
V. Prosedur
a. Triage dulu sebelum pengobatan
b. Jangan lebih dari 60 detik tiap pasien
c. Tentukan fasilitas terbaik untuk penanganan
i. di ruang emergensi
ii. di lapangan
8
a) Triage pada keadaan sehari-hari/pasien satu
Penting untuk mengatur supaya alur pasien baik terutama pada
kondisi ruang terbatas. Prioritas pasien untuk menekan morbiditas dan
mortalitas ada tiga kategori emergency, urgent, non urgent.
a. Emergency
1. Trauma berat
2. Akut MCI
3. Sumbatan jalan nafas
4. Tension pneumothorax
5. Flail chest
6. Shock hipovolemic derajat III - IV
7. Luka bakar dengan trauma inhalasi
b. Urgent
1. Cedera tulang belakang
2. Patah tulang terbuka
3. Trauma capitis tertutup
4. Luka bakar
5. Apendiksi Akut
c. Non Urgent
1. Luka lecet
2. Luka memar
3. Fraktur extremitas atas
4. Demam
5. Keluhan-keluhan lain
b) Triage pada korban massal/Bencana
1. Bencana
a. jumlah korban banyak
b. pelayanan terbaik sesuai kondisi bencana
c. sangat tergantung dari kondisi yang dibutuhkan saat itu
2. Kategorinya
a. pelayanan cepat (merah)
9
b. pelayanan ditunda (kuning)
c. pasien berjalan (hijau)
d. meninggal – tak tertolong (hitam)
VI. KLASIFIKASI TRIAGE
Hijau → Penderita luka ringan
Kuning → Luka berat, tidak mengancam nyawa
Merah → Luka berat, Gangguan ABC, mengancam nyawa
Hitam → Meninggal
VII. METODE TRIAGE
Metode yang dipakai dalam pelaksanaan Triage adalah Sistem “Simple
Triage And Rapid Treatment” (START)
0. Awal
1. Airway
2. Breathing
3. Circulation
4. Kesadaran
Metode ini membagi penderita menjadi 4 kategori :
1. Prioritas 1 – Merah
Merupakan prioritas utama, diberikan kepada para penderita yang
kritis keadaannya seperti gangguan jalan napas, gangguan pernapasan,
perdarahan berat atau perdarahan tidak terkontrol, penurunan status
mental
2. Prioritas 2 – Kuning
Merupakan prioritas berikutnya diberikan kepada para penderita yang
mengalami keadaan seperti luka bakar tanpa gangguan saluran napas
atau kerusakan alat gerak, patah tulang tertutup yang tidak dapat
berjalan, cedera punggung.
3. Prioritas 3 – Hijau
10
Merupakan kelompok yang paling akhir prioritasnya, dikenal juga
sebagai ‘Walking Wounded” atau orang cedera yang dapat berjalan
sendiri.
4. Prioritas 0 – Hitam
Diberikan kepada mereka yang meninggal atau mengalami cedera
yang mematikan.
Pelaksanaan triage dilakukan dengan memberikan tanda sesuai
dengan warna prioritas. Tanda triage dapat bervariasi mulai dari suatu
kartu khusus sampai hanya suatu ikatan dengan bahan yang warnanya
sesuai dengan prioritasnya. Jangan mengganti tanda triage yang sudah
ditentukan. Bila keadaan penderita berubah sebelum memperoleh
perawatan maka label lama jangan dilepas tetapi diberi tanda, waktu
dan pasang yang baru.
Pelaksanaan Triage Metode S.T.A.R.T
Untuk memudahkan pelaksanaan triage maka dapat dilakukan
suatu pemeriksaan sebagai berikut :
a. Kumpulkan semua penderita yang dapat / mampu berjalan sendiri
ke areal yang telah ditentukan, dan beri mereka label HIJAU.
b. Setelah itu alihkan kepada penderita yang tersisa periksa :
c. Pernapasan :
1) Bila pernapasan lebih dari 30 kali / menit beri label MERAH.
2) Bila penderita tidak bernapas maka upayakan membuka jalan
napas dan bersihkan jalan napas satu kali, bila pernapasan
spontan mulai maka beri label MERAH, bila tidak beri
HITAM.
3) Bila pernapasan kurang dari 30 kali /menit nilai waktu
pengisian kapiler.
d. Waktu pengisian kapiler :
1) Lebih dari 2 detik berarti kurang baik, beri MERAH, hentikan
perdarahan besar bila ada.
11
2) Bila kurang dari 2 detik maka nilai status mentalnya.
3) Bila penerangan kurang maka periksa nadi radial penderita.
Bila tidak ada
4) maka ini berarti bahwa tekanan darah penderita sudah rendah
dan perfusi
5) jaringan sudah menurun.
e. Pemeriksaan status mental :
1) Pemeriksaan untuk mengikuti perintah-perintah sederhana
2) Bila penderita tidak mampu mengikuti suatu perintah
sederhana maka beri MERAH.
3) Bila mampu beri KUNING.
12
C. Kejadian luar biasa
I. Pengertian kejadian luar biasa (KLB)
Kejadian Luar Biasa (KLB) mempunyai banyak kesamaan kata,
diantaranya outbreak dan epidemic (Wabah). Ketiganya mempunyai
pengartian yang hampir sama. Disini dijelaskan mengenai pengertian
Kejadian Luar biasa (KLB), Outbreak, dan Epidemic (wabah) dari
berbagai sumber.
1. Dalam PP No 41 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah
Penyakit Menular, Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya
atau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang bermakna
secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu,
dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.
2. Dalam UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular,
Wabah penyakit menular yang selanjutnya disebut wabah adalah
kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat
yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada
keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat
menimbulkan malapetaka.
3. Menurut Last (1988), Epidemic is the occurrence in a community or
region of cases of an illness, specific health related behavior, or
other health related events clearly in excess of normal expectancy.
The community or region and the period in the cases occur, are
specified precisely. The number of cases indicating the presence of
an epidemic varies according to the agent, size and type of
population exposed, previous experience or lack of exposure to the
disease, and time and place of occurrence; epidemicity is thus
relative to the usual frequency of the disease in the same area,
among the specific population, at the same season of the year. Two
cases of such of disease associated in time and place may be
sufficient evidence to be considered an epidemic.
Yang kurang lebih berartikan sebagai berikut :
13
Epidemi adalah kejadian dalam sebuah komunitas atau wilayah
kasus penyakit, kesehatan spesifik yang berhubungan dengan
perilaku, atau kesehatan lainnya yang berhubungan dengan kegiatan
yang jelas melebihi harapan normal. Masyarakat atau wilayah dan
periode dalam kasus yang terjadi, telah ditentukan dengan tepat.
Jumlah kasus yang menunjukkan adanya epidemi bervariasi sesuai
dengan ukuran, agen dan jenis populasi terpapar, pengalaman
sebelumnya atau kurangnya paparan penyakit, dan waktu dan tempat
kejadian; epidemi yang demikian relatif terhadap frekuensi yang
biasa dari penyakit di daerah yang sama, di antara populasi tertentu,
pada musim yang sama pada tahun tertentu. Dua kasus seperti
penyakit yang berhubungan dalam waktu dan tempat mungkin
menjadi bukti yang cukup untuk dipertimbangkan epidemi
4. Menurut Last (2001), Outbreak adalah peningkatan insidensi kasus
yang melebihi ekspektasi normal secara mendadak pada suatu
komunitas, di suatu tempat terbatas, misalnya desa, kecamatan, kota,
atau institusi yang tertutup (misalnya sekolah, tempat kerja, atau
pesantren) pada suatu periode waktu tertentu. Hakikatnya outbreak
sama dengan epidemi (wabah). Hanya saja terma kata outbreak
biasanya digunakan untuk suatu keadaan epidemik yang terjadi pada
populasi dan area geografis yang relatif terbatas.
5. Menurut Eko, dkk (2002), Epidemi merupakan kejadian luar biasa
yaitu timbulnya suatu penyakit yang menimpa masyarakat pada
suatu daerah yang melebihi perkiraan kejadian yang normal dalam
periode yang singkat. Mula-mula epidemi hanya ditujukan pada
penyakit menular kemudian berkembang menjadi epidemi penyakit
infeksi yang tidak menular, bahkan berlaku juga untuk fenomena-
fenomena penyakit non infeksi dan nonpenyakit yang berkaitan
dengan masalah sosial seperti kenakalan remaja dan penyalahgunaan
obat.
14
Dari beberapa pengertian dari KLB, Outbreak, dan Epidemi (wabah)
dapat disimpulkan bahwa KLB (outbreal/wabah) adalah terjadinya
peningkatan jumlah kasus penyakit yang menimpa pada kelompok
masyarakat tertentu, di daerah tertentu, dan selama periode waktu tertentu.
II. Kriteria Yang Menyebabkan Suatu Penyakit dikatakan KLB/wabah
Kriteria tentang KLB mengacu pada Keputusan Dirjen No. 451/9. Suatu
kejadian dinyatakan luar biasa jika ada unsur:
1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau
tidak dikenal
2. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3
kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari,
minggu)
3. Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih
dibandingkan dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan,
tahun).
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2
kali lipat atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata
perbulan dalam tahun sebelumnya.
III. Faktor yang mempengaruhi KLB
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya KLB/Wabah
adalah Herd Immunity. Secara umum dapat dikatakan bahwa herd
immunity ialah kekebalan yang dimiliki oleh sebagian penduduk yang
dapat menghalangi penyebaran. Hal ini dapat disamakan dengan tingkat
kekebalan individu yaitu makin tinggi tingkat kekebalan seseorang, makin
sulit terkena penyakit tersebut. Demikian pula dengan herd immunity,
makin banyak proporsi penduduk yang kebal berarti makin tinggi tingkat
herd immunity-nya hingga penyebaran penyakit menjadi semakin sulit.
Kemampuan mengadakan perlingangan atau tingginya herd immunity
untuk menghindari terjadi epidemi bervariasi untuk tiap penyakit
tergantung pada:
1. Proporsi penduduk yang kebal,
15
2. Kemampuan penyebaran penyakit oleh kasus atau karier, dan
3. Kebiasaan hidup penduduk.
Pengetahuan tentang herd immunity bermanfaat untuk mengetahui bahwa
menhindarkan terjadniya epidemi tidak perlu semua penduduk yang rentan
tidak dapat dipastikan, tetapi tergantung dari jenis penyakitnya, misalnya
variola dibutuhkan 90%-95% penduduk kebal.
Setelah terjadi wabah, jumlah penduduk yang kebal bertambah hingga
herd immunity meningkat hingga penyebaran penyakit berhenti. Setelah
beberapa waktu jumlah penduduk yang kebal menurun demikian pula
dengan herd immunity-nya dan wabah penyakit tersebut datang kembali,
demikianlah seterusnya.
IV. Langkah-Langkah yang Dilakukan Jika Terjadi Wabah
Langkah pencegahan kasus dan pengendalian wabah dapat dimulai sedini
mungkin setelah tersedia informasi yang memadai. Bila investigasi atau
penyelidikan wabah telah memberikan fakta yang jelas mendukung
hipotesis tentang penyebab terjadinya wabah, sumber agen infeksi, dan
cara transmisi yang menyebabkan wabah, maka upaya pengendalian dapat
segera dimulai tanpa perlu menunggu pengujian hipotesis. Tetapi jika pada
investigasi wabah belum memberikan fakta yang jelas maka dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi Wabah
Wabah merupakan peningkatan kejadian kasus penyakit yang lebih
banyak daripada keadaan normal di suatu area tertentu atau pada
suatu kelompok tertentu, selama suatu periode waktu tertentu.
Informasi tentang terjadinya wabah biasanya datang dari sumber-
sumber masyarakat, yaitu laporan pasien, keluarga pasien, kader
kesehatan, atau warga masyarakat. Tetapi informasi tentang
terjadinya wabah bisa juga berasal dari petugas kesehatan, laporan
kematian, laporan hasil pemeriksaan laboratorium, atau media
lokal (suratkabar dan televisi). Pada dasarnya wabah merupakan
penyimpangan dari keadaan normal karena itu wabah ditentukan
16
dengan cara membandingkan jumlah kasus sekarang dengan rata-
rata jumlah kasus dan variasinya di masa lalu (minggu, bulan,
tahun).
Kenaikan jumlah kasus belum tentu mengisyaratkan terjadinya
wabah. Terdapat sejumlah faktor yang bisa menyebabkan jumlah
kasus “tampak” meningkat:
a. Variasi musim (misalnya, diare meningkat pada musim
kemarau ketika air bersih langka)
b. Perubahan dalam pelaporan kasus;
c. Kesalahan diagnosis (misalnya, kesalahan hasil
pemeriksaan laboratorium);
d. Peningkatan kesadaran petugas kesehatan (meningkatkan
intensitas pelaporan);
e. Media yang memberikan informasi bias dari sumber yang
tidak benar.
Terjadinya wabah dan teridentifikasinya sumber dan penyebab
wabah perlu ditanggapi dengan tepat. Jika terjadi kenaikan
signifikan jumlah kasus sehingga disebut wabah, maka pihak dinas
kesehatan yang berwewenang harus membuat keputusan apakah
akan melakukan investigasi wabah. Sejumlah faktor
mempengaruhi dilakukan atau tidaknya investigasi wabah: (1)
Keparahan penyakit; (2) Potensi untuk menyebar; (3) Perhatian dan
tekanan dari masyarakat; (4) Ketersediaan sumber daya. Beberapa
penyakit menimbulkan manifestasi klinis ringan dan akan berhenti
dengan sendirinya (self-limiting diseases), misalnya flu biasa.
Implikasinya, tidak perlu dilakukan investigasi wabah maupun
tindakan spesifik terhadap wabah, kecuali kewaspadaan. Tetapi
wabah lainnya akan terus berlangsung jika tidak ditanggapi dengan
langkah pengendalian yang tepat. Sejumlah penyakit lain
menunjukkan virulensi tinggi, mengakibatkan manifestasi klinis
berat dan fatal, misalnya flu burung. Implikasinya, sistem
17
kesehatan perlu melakukan investigasi wabah dan mengambil
langkah-langkah segera dan tepat untuk mencegah penyebaran
lebih lanjut penyakit itu.
2. Melakukan Investigasi Wabah
Pada Investigasi wabah dilakukan dua investigasi, yaitu investigasi
kasus dan investigasi penyebab. Pada investigasi kasus, peneliti
melakukan verifikasi apakah kasus-kasus yang dilaporkan telah
didiagnosis dengan benar (valid). Peneliti wabah mendefinisikan
kasus dengan menggunakan seperangkat kriteria sebagai berikut:
(1) Kriteria klinis (gejala, tanda, onset); (2) Kriteria epidemiologis
karakteristik orang yang terkena, tempat dan waktu terjadinya
wabah); (3) Kriteria laboratorium (hasil kultur dan waktu
pemeriksaan)
Dengan menggunakan definisi kasus, maka individu yang diduga
mengalami penyakit akan dimasukkan dalam salah satu klasifikasi
kasus. Berdasarkan tingkat ketidakpastian diagnosis, kasus dapat
diklasifikasikan menjadi: (1) kasus suspek (suspected case,
syndromic case), (2) kasus mungkin (probable case, presumptive
case), dan (3) kasus pasti (confirmed case, definite case).
Klasifikasi kasus (yang berbeda tingkat kepastiannya tersebut)
memungkinkan dilakukannya upaya untuk meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas pelaporan. Kasus suspek bersifat
sensitive tetapi kurang spesifik, dengan tujuan mengurangi negatif
palsu. Kasus mungkin dan kasus pasti bersifat lebih sensitif dan
lebih spesifik daripada kasus suspek, dengan tujuan mengurangi
positif palsu.
Investigasi selanjutnya adalah investigasi penyebab terjadinya
wabah. Pada investigasi penyebab terjadinya wabah dapat
dilakukan dengan wawancara dan epidemiologi deskriptif. Pada
wawancara intinya, tujuan wawancara dengan kasus dan nara
sumber terkait kasus adalah untuk menemukan penyebab terjadinya
18
wabah. Dengan menggunakan kuesioner dan formulir baku, peneliti
mengunjungi pasien (kasus), dokter, laboratorium, melakukan
wawancara dan dokumentasi untuk memperoleh informasi berikut:
(1) Identitas diri (nama, alamat, nomer telepon jika ada); (2)
Demografis (umur, seks, ras, pekerjaan); (3) Kemungkinan sumber,
paparan, dan kausa; (4) Faktor-faktor risiko; (5) Gejala klinis
(verifikasi berdasarkan definisi kasus, catat tanggal onset gejala
untuk membuat kurva epidemi, catat komplikasi dan kematian
akibat penyakit); (6) Pelapor (berguna untuk mencari informasi
tambahan dan laporan balik hasil investigasi). Pemeriksaan klinis
ulang perlu dilakukan terhadap kasus yang meragukan atau tidak
didiagnosis dengan benar (misalnya, karena kesalahan pemeriksaan
laboratorium).
Tujuan epidemiologi deskriptif adalah mendeskripsikan frekuensi
dan pola penyakit pada populasi menurut karakteristik orang,
tempat, dan waktu. Dengan menghitung jumlah kasus, menganalisis
waktu, incidence rate, dan risiko, peneliti wabah mendeskripsikan
distribusi kasus menurut orang, tempat, dan waktu, menggambar
kurva epidemi, mendeskripsikan kecenderungan (trends) kasus
sepanjang waktu, luasnya daerah wabah, dan populasi yang terkena
wabah. Dengan epidemiologi deskriptif peneliti wabah bisa
mendapatkan hipotesa penyebab dan sumber wabah.
3. Melaksanakan penanganan wabah
Bila investigasi kasus dan penyebab telah memberikan fakta
tentang penyebab, sumber, dan cara transmisi, maka langkah
pengendalian hendaknya segera dilakukan, tidak perlu melakukan
studi analitik yang lebih formal. Prinsipnya, makin cepat respons
pengendalian, makin besar peluang keberhasilan pengendalian.
Makin lambat repons pengendalian, makin sulit upaya
pengendalian, makin kecil peluang keberhasilan pengendalian,
19
makin sedikit kasus baru yang bisa dicegah. Prinsip intervensi
untuk menghentikan wabah sebagai berikut:
a. Mengeliminasi sumber patogen;
b. Memblokade proses transmisi;
c. Mengeliminasi erentanan.
Eliminasi sumber patogen mencakup:
a. Eliminasi atau inaktivasi patogen;
b. Pengendalian dan pengurangan sumber infeksi (source
reduction);
c. Pengurangan kontak antara penjamu rentan dan orang atau
binatang terinfeksi (karantina kontak, isolasi kasus, dan
sebagainya);
d. Perubahan perilaku penjamu dan/ atau sumber (higiene
perorangan, memasak daging dengan benar, dan sebagainya);
e. Pengobatan kasus.
Blokade proses transmisi mencakup:
a. Penggunaan peralatan pelindung perseorangan (masker,
kacamata, jas, sarung tangan, respirator);
b. Disinfeksi/ sinar ultraviolet;
c. Pertukaran udara/ dilusi;
d. Penggunaan filter efektif untuk menyaring partikulat udara;
e. Pengendalian vektor (penyemprotan insektisida nyamuk
Anopheles, pengasapan nyamuk Aedes aegypti, penggunaan
kelambu berinsektisida, larvasida, dan sebagainya).
Eliminasi kerentanan penjamu (host susceptibility) mencakup:
a. Vaksinasi;
b. Pengobatan (profilaksis, presumtif);
c. Isolasi orang-orang atau komunitas tak terpapar (“reverse
isolation”);
d. Penjagaan jarak sosial (meliburkan sekolah, membatasi
kumpulan massa).
20
4. Menetapkan Berakhirnya Wabah
Pada tahap ini, langkah yang dilakukan sama dengan langkah pada
mengidentifikasi wabah. Pada tahap ini, dilakukan dengan mencari
informasi tentang terjadinya wabah biasanya datang dari sumber-
sumber masyarakat, yaitu laporan pasien, keluarga pasien, kader
kesehatan, atau warga masyarakat. Informasi juga bisa berasal dari
petugas kesehatan, laporan kematian, laporan hasil pemeriksaan
laboratorium, atau media lokal (suratkabar dan televisi). Hal ini
untuk menganalisis apakah program penanganan wabah dapat
menurunkan kasus yang terjadi.
5. Pelaporan Wabah
Peneliti wabah memberikan laporan tertulis dengan format yang
lazim, terdiri dari:
(1) introduksi,
(2) latar belakang,
(3) metode,
(4) hasil-hasil,
(5) pembahasan,
(6) kesimpulan, dan
(7) rekomendasi.
Laporan tersebut mencakup langkah pencegahan dan pengendalian,
catatan kinerja sistem kesehatan, dokumen untuk tujuan hukum,
dokumen berisi rujukan yang berguna jika terjadi situasi serupa di
masa mendatang.
Selain itu pada pelaopran wabah terdapat tahap akhir dari
investigasi wabah yaitu evaluasi program. Peneliti wabah perlu
melakukan evaluasi kritis untuk mengidentifikasi berbagai
kelemahan program maupun defisiensi infrastruktur dalam sistem
kesehatan. Evaluasi tersebut memungkinkan dilakukannya
perubahan-perubahan yang lebih mendasar untuk memperkuat
upaya program, sistem kesehatan, termasuk surveilans itu sendiri.
21
DAFTAR PUSTAKA
Bencana, Pujiono. (2007). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2007 Tentang Penanggulangan Bencana Paragdima Penanggulangan.
Blogspot (2010).
Bencana.http://keperawatankomunitas.blogspot.com/2010/04/bencana.ht
ml. Diakses Pada Tanggal 10 September 2012. Pukul 08.45 WIB.
Community Health Nursing Theory&Practice.1995
Eko, Budiarti & Dwi, Anggraeni. 2002. Pengantar Epidemiologi edisi 2. Jakarta :
EGC
Fendi, Ferry. (2007). KonsepBencanaDisaster.
www.ferryefendi.blogspot.com/2007/12/konsep-bencana-disaster.html.
Diakses Pada 10 September 2012. Pukul 08.55 WIB
Munawar. (2011). Pengertian Dan Istilah-istilah Bencana.
www.kangmunawar.com/bencana/pengertian-dan-istilah-istilah-bencana.
Diakses Pada Tanggal 21 Maret 2012. Pukul 08.15 WIB.
Weenbee. (2011). Peran Perawat Dalam Manajemen Bencana.
http://weenbee.wordpress.com/2011/08/23/peran-perawat-dalam-
manajemen-bencana/#more-94. Diakses Pada 10 September 2012. Pukul
09.05 WIB.
Murti, Bhisma. Investigasi Outbreak. Available from
http://fk.uns.ac.id/index.php/download/file/16
Turkanto. 2006. Splinting & Bandaging. Kuliah Keperawatan Kritis PSIK
Universitas Airlangga, Surabaya.
22
Lampiran
23