Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

64

description

Diterbitkan oleh LPM Didaktika UNJ, Desember 2013

Transcript of Majalah DIDAKTIKA Edisi 43

  • Edisi 43 3

    Redaksi

    Syukur kami ucapkan kepada semesta yang masih mengizinkan ma-jalah Didaktika terbit untuk edisi ke-43. Banyak akhir yang mengir-ingi kehadiran majalah ini, mulai dari 2013 yang segera habis, Rektor Bedjo yang mesti lekas hengkang, hingga masa kepengurusan kami yang akan tutup buku. Biar begitu, ada asa dan usaha yang tak pernah habis untuk selalu menghadirkan bacaan untuk pembaca sekalian.

    Pada edisi kali ini, kami menyuguhkan bagaimana proses produksi guru dikelola secara profesional sejak hadirnya ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005. Undang-Undang ini mengutamakan agenda profesion-alisasi bagi guru dan tenaga pendidik. Caranya, dengan menyertifikasi para guru yang sudah terlanjur bertahun-tahun mengajar, dan menyelenggarakan Pendidikan Profesi Guru (PPG) untuk para calon guru. Agenda-agenda terse-but giat dilakukan, sebab Kemdikbud punya target seluruh guru di Indonesia mesti sudah profesional pada 2015.

    Namun, bagaimana sistem sertifikasi guru secara riil dapat meningkatkan profesionalitas? Apakah tunjangan profesi yang jadi iming-iming utama mampu memotivasi guru dalam meningkatkan kompetensi serta kinerjanya? Bagaimana pula nasib pendidikan guru yang seakan direduksi secara funda-mental dengan keberadaan PPG? Kami membahasnya secara mendalam pada rubrik Laporan Utama.

    Sedangkan dalam Laporan Khusus, ada ulasan mengenai Uang Kuliah Tunggal (UKT), sistem penarikan uang kuliah yang baru saja diterapkan di seluruh Perguruan Tinggi Negeri pada 2013. Terobosan yang didasarkan pada salah satu pasal dalam Undang-Undang Perguruan Tinggi ini disinyalir justru bakal membuka pintu kenaikan biaya kuliah. Makanya, beberapa pihak menolak sekuat tenaga.

    Selain itu, kami juga menampilkan laporan mengenai beberapa karya seni visual yang digunakan kampus sebagai alat untuk memasyarakatkan nilai-nilai institusinya. Seperti pada logo dan beberapa bangunan monumental yang dimiliki UNJ. Semuanya dapat dibaca dalam rubrik Suplemen.

    Kemudian dalam rubrik Seni Budaya, ada ulasan tentang musik Rap dan gaya Hip Hop yang berkembang di Indonesia tidak seperti kemasan aslinya. Beberapa pihak mengemasnya dengan identitas kedaerahan. Katanya, merupa-kan bentuk resistensi kultural terhadap musik kulit hitam yang telah menjadi budaya populer di Indonesia. Namun, tidak dapat dipungkiri ada juga yang menjadikannya sebagai nilai jual. Satu yang sedang mengemuka adalah Rap Betawi dengan ikonnya, Kojek.

    Untuk rubrik Kampusiana, kami menyoroti pembangunan UNJ yang nampak mandek di beberapa gedung. Padahal, pembangunan fisik besar-besaran ini sudah berjalan hampir empat tahun. Tidak hanya itu, kami pun masih punya beragam artikel menarik yang tidak hanya akan memenuhi hasrat akan informasi, namun juga mengajak segenap pembaca untuk sama-sama menoleh kembali pada hal-hal di sekitar yang kadang nampak tak berarti.

    Akhirnya, kami ucapkan selamat membaca. Senang rasanya apabila kalian dapat membantu kami untuk membuat majalah ini tetap layak untuk dibaca dengan senantiasa memberikan tanggapan melalui kritik dan saran terhadap segala yang kami tampilkan. Semoga kita semua dapat berdialektika dalam alam pikiran yang kritis dan merdeka..

    Salam Perjuangan !

  • 4 Didaktika

    Didaktika Edisi 43, Desember 2013LINTAS6-79

    LAPORAN UTAMA1112-1314-1516-1718-1920-21

    KAMPUSIANA23-25

    SUPLEMEN31-3233-34

    LAPORAN KHUSUS36-3738-4042-4344-45

    SENI BUDAYA48-4950-5152-54

    TAMU KITA55

    RUANG SASTRA56-57

    KARYA58-59

    RESENSI60-61

    KONTEMPLASI62

  • Edisi 43 5

    Sebentar lagi musim pemilihan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan (BEMJ) sampai dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEM-UN). Dalam pengamatan saya, sudah tiga kali pemilu jumlah massa pemilih, misalnya di FBS, kurang dari 30 persen mahasiswa aktif. Saya rasa, ada faktor soal si calon yang memang kurang dikenal di orang-orang merdeka non OPMAWA. Mereka cuma populer di kalangan pejabat mahasiswa, lantas berani mencalonkan diri. Kita bukan kampus yang suka budaya pingitan, tetapi keterbukaan dan integritas calon lebih dibutuhkan. Sepertinya kurang bijak kalau kita biarkan, tetapi saya juga bingung harus berbuat apa: Majelis Tinggi Mahasiswa (MTM) dan Badan Pengawas Mahasiswa (BPM) sampai dengan Lembaga Legislatif Mahasiswa Jurusan (LLM-J) saja tidak akur dalam menetapkan jadwal. Sampai sekarang, isu pemilu tidak diadakan serentak di berbagai jurusan lintas fakultas menguat. Ini disebabkan lambatnya koordinasi MTM dan ketidaksiapan petugas di fakultas untuk menanggapi.UNJ kampus besar. Saya menghormati orang-orang di dalamnya karena bertahan di Ibukota sebagai kampus besar yang bebas partai. Tetapi, lebih bijak jika soal ini ditindaklanjuti. Masak iya, ketua BEM terpilih hanya dipilih oleh sekian ratus dari sekian ribu orang di fakultasnya? Bukan masalah siapa calonnya, tapi budaya demokratis yang diimbangi budaya kritis yang intelek. Jangan-jangan ketua BEM dipilih hanya untuk mewakili satu organisasi pencalon, bukan kepentingan mahasiswa secara luas di UNJ, apalagi kepentingan penguatan peran UNJ di Ibukota dan secara luas di Indonesia. KPU harus bekerja keras dengan meningkatkan jumlah pemilih, dan MTM harus banting tulang mempersiapkan sistem yang membuat si calon benar-benar orang yang dibutuhkan mahasiswa, bukan dibutuhkan karena memang waktunya pemira sudah tiba. .Amar Ar-Risalah

    Mahasiswa JBSI-FBS.

    Soal Suara-suara Bervolume Rendah

    Baru beberapa bulan ini saya menjadi bagian dari keluarga besar jurusan Bahasa dan Sastra Jepang Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Sampai saat ini saya masih memiliki motivasi yang besar untuk belajar. Saya bangga berada di jurusan Bahasa Jepang karena saya menyukainya, juga sebagian besar metode yang saya terima dari dosen sesuai dengan saya. Untuk itu saya berterima kasih kepada seluruh Dosen dan pengurus jurusan Bahasa Jepang UNJ atas kerja keras yang telah mereka lakukan.

    Now, lets talk about this University generally.

    Berdasarkan pengalaman saya, 16 juli 2013, pertama kali saya menginjakkan kaki di UNJ dengan niat menempa ilmu. Hal pertama yang saya alami adalah mengantri untuk daftar ulang di Biro Administrasi Akademik (BAAK) pada 22 juli 2013.

    Tidak ada masalah dengan daftar ulangnya, hanya saja untuk mengantri yang terkadang membuat saya gusar karena terlalu panjang dan memakan waktu yang lama. Dan itu pun tidak ada antisipasi dari para birokrat. Terlebih lagi banyak berkas untuk registrasi ulang yang tercecer. Begitu pula yang terjadi dengan tes kesehatan dan rontgen di Poliklinik. Selain dari proses registrasi tersebut, untuk bayaran pun saya merasakan kesulitan. Dan saya bingung ketika bayaran, karena tidak diberi tahu sebelumnya jumlah bayarran yang harus dibayarkan ke bank.

    Sungguh rumit. Andaikata ada beberapa orang dari kalangan UNJ yang mampu memberikan solusi masalah ini maka saya bersedia menjadi bagian di dalamnya. Akan lebih baik lagi jika orang yang sedang menjabat untuk masalah ini bertanggung jawab atas pekerjaannya. Saya tidak ingin generasi selanjutnya mengalami hal yang serupa dengan saya. Dengan jumlah pendaftar yang banyak seharusnya hal ini sudah dipikirkan sebelum saya masuk ke kampus hijau ini agar masalah antrian ini tidak berulang-ulang setiap tahunnya.

    Selanjutnya mengenai tampilan untuk Masa Pengenalan Akademik (MPA) baik di Universitas dan Jurusan. Keduanya sama-sama dapat ditangkap dalam satu kali pandang saja, yakni pemakaian atribut-atribut yang tidak penting. Itu pun tidak ada proses interaksi dari panitia dengan mahasiswa baru mengenai maksud atribut itu.

    Baiklah jika kita diajak melihat dari segi tradisi, namun apakah akan terus seperti itu? Hal ini menjadi momok yang mengerikan bagi saya pribadi. Saya juga tidak ingin hal ini terjadi untuk generasi berikutnya. Untuk itu saya meminta kepada pihak UNJ agar menghapuskan pemakaian atribut yang aneh dan kekanak-kanakan itu.

    Begitulah first impression yang saya dapat di UNJ. Semoga tulisan saya ini mendapat perhatian dari seluruh pihak terkait.

    Terima kasih. .Vegy Januarika Mahasiswa Jurusan Bahasa Jepang 2013

    First Impression at The First sight

    Surat Pembaca

    Kulit Depan: Dhado Wacky, Mahasiswa Seni Rupa 2010

    Kulit Belakang: Aby Rafdi Aufar, Mahasiswa Seni Rupa 2011

  • Akhir-akhir ini tempat parkir motor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sedang dilanda berbagai kasus kehilangan, baik helm maupun motor. Tepat pada Kamis (26/9), telah terjadi pencurian helm di Gedung Parkir, pelakunya berhasil tertangkap oleh petugas keamanan kampus dan para petugas parkir. Di sini (Gedung Parkir-Red) memang sudah diintai karena terlihat mencurigakan. Ketika masuk tas mereka kosong, namun ketika keluar sudah penuh. Anehnya lagi mereka ambil helem disini tapi parkir motornya di parkiran belakang, jelas Herun, penjaga Gedung Parkir.

    Kasus pencurian helm memang tengah marak terjadi di UNJ. Kalau kehilangan helm di sini sudah sering sekali, modus pelakunya juga pintar-pintar. Meraka suami istri, jadi suaminya yang beroperasi, isterinya yang memantau keadaan. Ada juga

    yang menaruh motornya di lantai empat, ambil helmnya di lantai 2, banyak deh strategi mereka. paparnya.

    Tidak berhenti sampai di sana, hanya dalam hitungan hari kasus pencurian kembali terjadi di UNJ. Seperti yang diungkapkan Wahyudin Ketua Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam Eka Citra yang juga telah kehilangan motor Yamaha Mio (30/9). Akhir-akhir ini sudah ada 5 motor yang hilang, anak Eka Citra dua, anak Seni Rupadan satu anak Sigma TV, ungkapnya saat ditemui Didaktika Selasa (8/10).Menurut keterangan Wahyudin, motornya memasuki kampus sekitar pukul 17.00. Saat malam hari, ia menggunakan motornya untuk membeli makanan di luar kampus, dan kembali memasuki kampus pukul 23.00. Namun keesokan paginya, Mio berwarna hitam itu telah tiada. Saya sudah lihat di CCTV, motornya itu

    Dalam waktu kurang dari sebulan, lima unit motor hilang di area parkir. Kinerja pengelola parkir dipertanyakan.

    Pencurian Motor Merajalela di Kampus

    Lintas

    6 Didaktika

    Foto:Didaktika

  • Dalam beberapa kasus terakhir, pencurian motor dilakukan dengan ragam modus. Namun, para pencuri cenderung memanfaatkan kelengahan petugas penjaga.

    Modus Pencurian Motor di UNJ

    hilang pukul 04.56. Di sana terlihat tidak ada petugas keamanan yang menjaga dan kondisi pintu gerbang pun tidak terkunci, ujar Wahyudin.

    Serangkaian kehilangan motor nyatanya kurang ditanggapi serius oleh petugas keamanan kampus. Mufti, anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Sigma TV yang kehilangan motor di UNJ pada Sabtu (7/9), justru mendapat perlakuan tak adil. Ia yang mengambil inisiatif untuk melapor ke polisi, malah digugat balik oleh pihak kampus.

    Ya aneh saja, saya yang kehilangan tapi saya juga yang dilaporin. Akhirnya saya tanggapi saja, papar Mufti. Salah satu petugas keamanan UNJ menggugatnya dengan tuduhan pencemaran nama baik.

    Mufti tak gentar untuk melaporkan kehilangannya ke Polres Pulo Gadung sebab ia masih memegang karcis parkir UNJ dan STNK motornya. Buat Mufti, mestinya beberapa barang tersebut cukup untuk dijadikan bukti dalam menuntut tanggung jawab kampus.

    Menanggapi kejadian pencurian yang terus terjadi, Bambang Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Keamanan UNJ menyayangkan jumlah petugas keamanan kampus yang minim. Idealnya 160, namun UNJ hanya memiliki 56 petugas, ujarnya. Sedangkan di kampus A sendiri hanya memiliki sekitar 20 petugas keamanan. Terlebih jika malam hari petugas keamanan di kampus A hanya berjumlah delapan orang.

    Tidak lengkapanya fasilitas Pos Keamanan turut dijadikan alasan. Itu kejadiannya rata-rata jam lima pagi, jadi mungkin saja petugasnya sedang salat, atau ke kamar mandi. Karena di pos tidak tersedia fasilitas untuk itu, jelasnya.

    Hal itu mendapat kritikan dari Mufti Kalau kinerja petugas keamanannya memang bagus, ya tidak akan terjadi seperti ini. Saya pernah lihat, jam 1 malam petugas yang di gerbang depan bukannya jaga malah main kartu. ungkapnya..

    Pencurian sepeda motor di UNJ bukanlah hal baru. Pada Oktober 2013 lalu tercatat lima sepeda motor raib. Terakhir, Senin (25/11) malam, seorang pencuri babak belur dikeroyok beberapa orang yang memergoki aksinya di depan gedung G (gedung kemahasiswaan red). Taufik Hidayat, anggota Unit Kesenian Mahasiswa (UKM) menuturkan, peristiwa itu terjadi sekitar pukul 22.00 WIB. Berdasarkan informasi yang diterimanya, pelaku yang sedang mencoba mencuri sebuah motor Honda Beat dipergoki oleh mahasiswa jurusan Sosiologi. Menurut Taufik, pelaku telah mengamati sepeda motor dari depan Universitas Terbuka (UT).

    Pelaku memanfaatkan sepinya penjagaan satpam di tempat parkir belakang Fakultas Ilmu Sosial (FIS). Setelah diinterogasi, pelaku diketahui bernama Supri warga Pulo Gadung. Akhirnya pelaku tidak melanjutkan aksinya. Hal itu menyulut emosi beberapa orang yang ada disana. Pasalnya, pencurian sepeda motor di UNJ sering terjadi. Yang punya motor itu anak FT, pelaku sambil jalan terus diteriaki maling, kata Taufik.

    Modus memanfaatkan kelengahan penjagaan yang dilakukan oleh pelaku diamini oleh Ari, salah satu juru parkir UNJ. Biasanya pelaku pencurian memanfaatkan sepinya penjagaan satpam. Apabila satpam sedang banyak bertugas di parkiran FIP maka pelaku mencuri di parkiran FIS, begitu pun sebaliknya, ujarnya.

    Sebelumnya, pada September lalu juga terjadi pencurian motor. Korbannya adalah Wahyudin, Ketua Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam Eka Citra (EC) UNJ. Ia mengatakan, memasuki kampus

    pukul 23.00, namun keesokan paginya motor Mio hitam miliknya telah raib.

    Saya sudah lihat pada CCTV, motor itu hilang pukul 04.56. Di tempat kejadian tak ada satupun petugas satpam yang berjaga. Terlebih pintu gerbang terbuka, ujar Wahyudin yang akrab disapa Jay. Menurut Komandan Satpam Bambang, Pelaku memanfaatkan lengahnya petugas yang mungkin saja sedang shalat atau ke kamar mandi.

    Lain halnya dengan Iwan salah satu petugas satpam UNJ mengatakan pernah mendapat laporan kehilangan saat ia berjaga di parkiran belakang FIS. Sekitar awal tahun ini pernah mendapat dua laporan kehilangan dari mahasiswa. Pelaku menggunakan cara menukar plat nomor. Dia menyebutkan ciri-ciri motornya, akan tetapi plat nomornya berbeda, celoteh Iwan.

    Dalam menjalankan aksinya, pelaku biasanya datang ke kampus dengan membawa plat nomor berikut Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Pelaku akan mencari sepeda motor bertipe sama dengan yang tertera di STNK. Biasanya sepeda motor yang diincar letaknya jauh dari loket pembayaran parkir. Setelah menemukan motor yang sesuai, pelaku akan menukar plat nomor yang terpasang dengan plat nomor yang dibawanya, tutur Iwan.

    Setelah plat nomor terpasang di kendaraan yang diincar, maka pelaku akan melenggang dengan aman. Tiket parkir yang diminta pun akan dibilang hilang. Atas hilangnya tiket parkir, pelaku hanya akan dikenakan denda sebesar harga karcis yakni Rp 1000.

    Selain menggunakan modus tersebut, biasanya mereka

    Edisi 43 7

  • mengincar motor yang tidak dikunci kemudinya. Hal ini dialami oleh Fauzi Anwar dan Luthfi Hakim, kedua mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) ini kehilangan sepeda motornya di kampus A UNJ. Waktu itu parkirannya penuh, jadi motor kami diparkir di belakang motor lainnya, kata mereka.

    Kemudian petugas parkirnya bilang gak perlu dikunci stang, kenang Luthfi. Ia melanjutkan, ketika hendak pulang, motor kami sudah tidak ada dan tidak ada pertanggungjawaban dari satpam. Mengenai pertanggungjawaban kehilangan motor, Suryadi Pembantu Rektor (PR) II UNJ mengatakan akan bertanggungjawab. Kami tentu saja akan bertanggungjawab sesuai dengan Peraturan Daerah (PERDA) tentang parkir, kan kalau ada kehilangan itu tanggung jawab pengelola parkir, cetusnya. Namun, hingga kini para korban sama sekali tak ada yang menerima penggantian dari pihak kampus.

    Menanggapi seringnya pencurian sepeda motor di UNJ, Bambang tak menampik. Memang benar, bulan Oktober ada lima sepeda motor yang hilang dan kami sudah tindaklanjuti, katanya. Bambang melanjutkan, memang masih ada kelemahan dari sistem parkir. Tapi toh kami sudah berjaga semaksimal mungkin dengan personel keamanan yang terbatas.

    Kita masih melakukan penyelidikan untuk mengungkap siapa pelakunya, tambah Bambang. Selain penyelidikan terhadap siapa pelaku pencurian motor ini, pihak keamanan juga akan melakukan koordinasi dengan kepolisian guna meningkatkan pengamanan di dalam kampus itu. Kami sudah melakukan koordinasi dengan kampus dan Polsek. Mudah-mudahan dalam waktu singkat pelakunya dapat tertangkap dan tidak ada lagi pencurian motor di UNJ, pungkas Bambang..

    Lintas

    8 Didaktika

  • Area Parkir Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang dahulu dikelola oleh Koperasi Pegawai, sejak 11 Maret 2013 resmi dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis Keamanan, Ketertiban, Keindahan Kampus (UPT K3). Perpindahan terjadi karena ada keputusan baru dari rektor. Hal ini semata karena ada perintah dari rektor, ujar Taryono, kepala K3P.Sejak perpindahan tersebut, K3 yang mengelola urusan operasional perparkiran. Mulai dari pengajuan proposal, mengurus pegawai ,sampai hal teknis seperti mencetak karcis parkir. K3P hanya mengajukan anggaran dan mengurusi hal-hal teknis di lapangan, ujar Budiman, Kepala Pengelola Parkir.Tak hanya pengelolaan operasionalnya saja yang berubah, pengelolaan keuangan pun ikut berubah. Semua uang yang masuk dari hasil parkir tidak mengalir mengisi uang kas K3, melainkan masuk dan dikelola oleh bendahara pemasukan Badan Layanan Umum (BLU). Kami ada laporan untuk diberikan kepada Bendahara BLU setiap harinya, jelas Mas Bud sapaan akrab Budiman.Begitu pun dengan anggaran pengeluaran, setiap awal tahun K3 diharuskan membuat proposal anggaran untuk segala keperluannya. Kemudian menanti berapa anggaran yang akan disetujui oleh Biro Administrasi Perencanaan dan Sistem Informasi (BAPSI). Setelah itu baru mengambil uang tersebut dari Bendahara pengeluaran. Kita hanya buat proposal anggaran. Yang memutuskan berapa dianggarkannya tetap pihak kampus, tambahnya. Seperti anggaran tahun ini. Menurut pengakuan Budiman, untuk upah para juru parkir yang berjumlah 53 petugas, kampus memberikan anggaran sekitar RP 900 juta per tahun. Upah pokoknya satu juta. Tapi, kalau absennya full, upah mereka kita

    Pengelolaan Parkir UNJ di Tangan Baru

    berikan seorang 1,3 juta perbulan, jelasnya.Namun, gaji tersebut dipandang masih rendah. Yah, itu mah (upah-Red) di bawah Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta, tutur Hasan Basri, salah satu petugas parkir. Terlebih durasi kerjanya sama dengan standar jam kerja UMR, yakni 8 jam. Jam kerja tersebut dibagi menjadi 2 sesi. Sesi pertama mulai dari pukul 06.00 14.00. Dan sesi kedua mulai dari pukul 14.00 22.00. Selain itu, anggaran yang diberikan kampus kepada K3 bukan hanya untuk membayar upah petugas. Tapi, juga untuk keperluan lain seperti kebutuhan logistik, hal teknis, dan pelatihan-pelatihan. Uangnya juga untuk bikin karcis, konsumsi sehari-hari seperti air galon, dan untuk pelatihan yang suka kita adakan beberapa minggu atau bulan sekali.Namun, sayangnya fasilitas anggaran yang diberikan untuk pelatihan-pelatihan tak pernah dirasakan oleh Hasan Basri. Selama saya di sini belum pernah ikut-ikut pelatihan gitu deh, aku Hasan, yang sudah tujuh tahun bekerja menjadi petugas parkir UNJ. Selain itu perpindahan pengelolaan parkir dari Koperasi Pegawai ke K3, dianggap menggangu oleh sebagian pihak. Sebagaimana dirasakan oleh Hasan. Sekarang kalau kasbon, digantinya harus langsung lunas saat gajian. Kalau dulu kan bisa diangsur per bulan. Tak hanya Hasan, pihak pengelola parkir saat ini pun merasakan perbedan itu. Seperti yang diungkapkan Budiman. Enaknya waktu dikelola oleh Koperasi Pegawai, kita bisa memakai uang pemasukan secara langsung, jika ada agenda dadakan, ujarnya..

    Kini, urusan perparkiran UNJ dikelola UPT K3. Ihwal keuangan, beberapa pihak merasakan kekurangan, cenderung mengganggu kegiatan.

    Sumber data: UPT K3P UNJData dihimpun selama 2011 - 2012

    Diolah: Litbang Didaktika

    Edisi 43 9

  • 6 DidaktikaIlustrasi: Istimewa

  • Edisi 43 11

    Beranda

    Pemerintah khususnya Kemdikbud mestinya sadar kekeliruannya dalam meningkatkan kualitas guru lewat program sertifikasi yang instan. Bagaiamana tidak, meskipun saat ini program tersebut sudah berjalan tujuh tahun dan meluluskan lebih dua juta guru, nyatanya menurut Bank Dunia yang notabene pendorong program tersebut kualitas guru Indonesia tidak beranjak mutunya.

    Hal itu tentu saja berkorelasi kuat terhadap kualitas pendidikan Indonesia secara keseluruhan. Karena guru merupakan insan yang berada di garis paling depan, yang setiap saat berinteraksi dengan murid. Maka tidak heran kultur ketidakadilan telah mengeroposkan dunia pendidikan kita. Praktik jual beli nilai, sistem katrol nilai, maraknya ketidakjujuran melalui kegiatan mencontek, dan tak adanya akuntabilitas keuangan ataupun manajerial dalam dunia pendidikan membuat kita berkutat dalam posisi juru kunci di antara bangsa-bangsa. Karena pada dasarnya sertifikasi tidak berdampak apa-apa pada kemampuan guru dalam meningkatkan kualitas mental peserta didik.

    Sebenarnya, sertifikasi guru yang didasari Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) dan dipayungi Peraturan Pemerintah Nomot 78 Tahun 2008 ini memang punya standar cukup ideal dalam misinya. Yakni guru ditargetkan setelah menjalani sertifikasi mampu untuk menguasai berbagai kompetensi. Diantaranya kompetensi pedagogik, emosional, kepribadian dan sosial.

    Alih-alih menciptakan guru yang profesional, program sertifikasi ini hanya memotivasi peningkatan gaji guru saja. Karena Kemdikbud pun hanya menargetkan pada 2015 semua guru telah disertifikasi. Dengan target tersebut, penyelenggaraan sertifikasi guru kelihatannya telah dipersepsikan sebagai proyek besar yang keberhasilannya diukur secara kuantitatif sesuai target. Akibatnya, proses pelaksanaannya mudah terbawa ke kebiasaan formalitas birokrasi belaka.

    Sehingga, dalam proses sertifikasi pun guru tidak berbeda jauh rancangannya seperti sebelum sertifikasi. Yakni direduksi hanya sebagai operator saja. Ini terlihat dari pelatihannya yang banyak berkutat pada penyusunan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Pengamatan kompetensi di kelas pun kurang diperhatikan. Apalagi, di lapangan guru dikebiri otonominya lewat Ujian Nasional (UN).

    Padahal, secanggih apapun model pembelajaran, hasilnya akan nihil bila tidak dicontohkan dan diperagakan dalam kelas. Seperti menurut Profesor Conny R. Semiawan, model pembelajaran yang mampu menciptakan lingkungan belajar yang mengundang dan mampu memberi kesenangan pada tiap peserta didik harus dilatih oleh guru dalam proses sertifikasi. Bukan hanya mengandalkan bakat bawaan guru.

    Selain itu, program yang berbiaya miliaran rupiah ini hanya dilangsungkan begitu singkat. Logika sederhananya, para lulusan LPTK yang menghabiskan studi lebih dari empat tahun saja belum tentu mampu menampilkan diri menjadi guru yang profesional. Apalagi sertifikasi yang hanya berdurasi 10 hari.

    Makanya, begawan pendidikan H.A.R. Tilaar berani menyimpulkan bahwa sertifikasi ini hanya menghamburkan uang rakyat. Serta merupakan pembohongan publik karena mengklaim mampu men-simsalabim guru profesional dalam waktu 10 hari dengan miliaran uang rakyat.

    Justru yang paling kentara dari proses sertifikasi ini adalah praktik korupsi yang mengemuka di hampir semua lini. Di hilir, bukan menjadi rahasia umum lagi jika ingin lebih cepat untuk menjadi peserta sertifikasi mengambil jalur belakang dengan membayar uang pelicin. Sedangkan di hulu, hampir semua daerah mengalami kemunduran dalam proses pencairan dana. Jika cair pun, guru pun harus gigit jari karena uang tunjangan disunat dalam proses birokrasi. Bahkan banyak pula yang tidak dibayarkan.

    Oleh karena itu, Kemdikbud mestinya mengevaluasi kembali hasil daripada pelaksanaan sertifikasi guru. Jika lembaganya ini ingin punya komitmen membersihkan diri dari noda-noda korupsi. Karena sudah sama-sama diketahui jika lembaga vital pencerdas bangsa ini justru merupakan salah satu lembaga terkorup di Indonesia.

    Pada dasarnya, penataran lewat sertifikasi merupakan jalan pintas, yang hanya menghambur-hamburkan uang tapi tidak menghasilkan hasil signifikan. Penataran tidak peduli melihat hubungan kerja guru dengan tingkat kesejahteraan guru yang mengerdilkan profesionalisme. Kemudian penataran nyatanya hanya memberikan lisensi kenaikan pangkat daripada kenaikan kemampuan profesional.

    Padahal, jika saja pemerintah mau untuk memecahkan kebuntuan dalam menghasilkan guru profesional seharusnya tidak berpaling dari lembaga yang dari awal mencetak guru, yakni LPTK. Karena lembaga ini didirikan khusus untuk mendidik dan menyiapkan tenaga-tenaga kependidikan

    yang profesional. Dalam arti kata mampu menjalankan sebuah profesi yang khas, yakni mengajar atau mendidik, sesuai dengan berbagai persyaratan profesi guru.

    Namun, sejak terbitnya UUGD status khusus LPTK sebagai pencetak guru mulai dikesampingkan. Lewat Pasal 9 UU Nomor 14 Tahun 2005 profesi guru berhak dimasuki oleh sarjana non kependidikan. Karena untuk mendapat sertifikat mengajar para sarjana tinggal memasuki jenjang Pendidikan Profesi Guru (PPG). Hal ini justru tidak mendapat tanggapan berarti dari pihak LPTK sendiri selaku pihak yang keistimewaannya terlucuti.

    Bahkan, LPTK cenderung terlihat hanya menjadi pengikut yang membabi-buta terhadap kebijakan pemerintah. Seperti halnya UNJ yang secara reaksioner menanggapi pelaksanaan PPG dengan menghapus praktik mengajar (PPL) mahasiswa kependidikannya. Karena PPL dianggap UNJ akan

    dilaksanakan dalam PPG. Praktik Kompetensi Mengajar (PKM) sebagai pengganti PPL yang awalnya dikonsepsikan ke arah observasi kelas pun tidak berbeda sama sekali praktiknya selain dari jumlah SKS-nya yang ralatif lebih kecil.

    Alhasil, hal ini ditanggapi oleh beberapa beberapa jurusan dan fakultas yang lebih memilih tetap melaksanakan PPL bukan PKM. Bukan karena ketidakbulatan konsep PKM saja tapi juga terhadap pelaksanaan PPG yang saat ini tidak jelas oleh pihak mana pembiayaannya.

    Selama ini, LPTK memang seperti tertidur karena ia telah lama pula didiskriminasikan oleh negara. Konversinya menjadi universitas tidak lebih hanya dalih untuk menampung sebanyak-banyaknya mahasiswa. Bukan sebagai penguatan keilmuan seperti ketika awal ia digagas untuk berkonversi.

    LPTK pun kian jauh dari sekolah, yang mestinya menjadi partnernya. Lembaga yang dulu ada di bawah koordinasinya justru dijadikan lembaga elit dan komersil. Padahal, dari lembaga-lembaga sekolah percobaan di bawahnyalah ilmu kependidikan akan banyak digali untuk memperbaiki kualitas pendidikan.

    Menilai LPTK, khususnya guru sebagai satu mata rantai pendidikan yang lemah memang harus dilakukan secara obyektif. Akan tetapi memusatkan perhatian hanya kepada LPTK dan guru sebagai sebuah dari sejumlah mata rantai adalah kesalahan yang lebih besar, karena jelas faktor ini tidak berdiri sendiri. Dibutuhkan usaha yang terarah dan kontinyu didasarkan atas perencanaan yang lebih sistemis dan komprehensif dari pemerintah agar kualitas guru umumnya dan pendidikan khususnya sesuai cita-cita bangsa yang sesuai cita-cita revolusi 1945. Yakni manusia merdeka yang mampu mengisi dan menjaga bangsa ini dengan kekuatan sendiri..

    Jalan Buntu Pendidikan Guru

  • 12 Didaktika

    Pada 2006, Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) mengeluarkan kebijakan pelaksanaan Sertifikasi dalam Jabatan

    untuk guru. Kebijakan tersebut merupakan amanah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) untuk menciptakan guru-guru profesional. Yakni para guru harus memiliki kualifikasi akademik S1 atau D-IV serta menguasai beberapa kompetensi dasar: profesional, pedagogik, kepribadian, dan sosial.Serius dengan ikhtiarnya, pemerintah berharap 2,5 juta guru Indonesia mampu memiliki sertifikat profesionalnya pada 2015. Melalui target tersebut kualitas pendidikan Indonesia dipercaya mampu didongkrak. Guru memang kerap jadi biang keladi atas karut marutnya pendidikan nasional. Merujuk hasil penelitian Bank Dunia pada 2012 kualitas guru Indonesia berada di posisi terendah dari beberapa begara miskin lainnya. Ihwal tersebut juga melengkapi riset Trends in International Mathematics and Science Study (TIMMS) mengenai kemampuan bernalar pelajar Indonesia yang terus menerus turun selama lima tahun terakhir. Sementara sebuah lembaga di Kanada pernah meneliti tentang sistem pendidikan. Menurutnya, sistem pendidikan di Indonesia terburuk nomor tiga di dunia, tegas Retno Listyarti, guru SMAN 13 Jakarta Utara. Kita cuma di

    atas Brazil dan Meksiko.Oleh karenanya, Kemdikbud mendesak pelaksanaan sertifikasi guru segera ditunaikan. Negara seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Finlandia menjadi rujukan menjalankan sistem sertifikasi guru. Negara-negara tersebut turut pula memberikan imbalan tinggi bagi guru yang tersertifikasi. Ucu Cahyana, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) Universitas Negeri Jakarta (UNJ), lembaga yang menyelenggarakan sertifikasi guru mengamini langkah tersebut ditiru Indonesia. Menurutnya ada dua tujuan utama diberlakukannya kebijakan ini, yaitu peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan guru. Jadi, untuk meningkatkan kesejahteraan guru, profesionalismenya ditingkatkan dulu melalui program sertifikasi ini, katanya.Bedanya, di negara yang ditiru Indonesia mengenai sistem sertifikasi gurunya, sertifikasi guru bukan langkah perbaikan tunggal melainkan terangkum dalam strategi besar pendidikan nasionalnya. Misalnya Finlandia memulai dengan revitalisasi lembaga pendidikan pencetak guru. Lalu, apa yang dilakukan oleh Kemdikbud dengan sistem sertifikasinya? Pemerintah memberikan kewenangan penuh kepada Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK) untuk menerapkan sertifikasi guru. Sejumlah universitas negeri mantan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) didaulat untuk menjadi pusat kegiatan sertifikasi di tiap wilayah.

    Sertifikasi sendiri dilaksanakan dengan dua cara. Pertama, melalui portofolio berkas-berkas kompetensi dan prestasi yang pernah diraih guru. Sedang jalur lainnya menawarkan beberapa jenis pelatihan, dikenal dengan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Mulanya, PLPG hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak lolos seleksi portofolio. Namun, pada 2011 Kemdikbud memerintahkan kepada seluruh guru untuk ikut dalam prosedur PLPG. Tanpa portofolio. Sebab (selama 5 tahun) sangat sedikit guru yang lulus portofolio, hanya 1%, terang Ucu Cahyana. PLPG digelar selama 10 hari untuk tiap kelompok peserta. Dengan komposisi materi yang dianggap mampu memenuhi empat kompetensi yang diemban UUGD. Tiap rombongan belajar akan dilatih membuat beberapa perangkat pembelajaran seperti Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Silabus. Juga diadakan beberapa workshop dan praktik peer teaching. Setelah lulus PLPG, guru-guru akan diberi lisensi mengajar seumur hidup atas mata pelajaran yang diampu. Selain itu, mereka akan menerima tunjangan profesi sejumlah gajinya tiap bulan. Dengan mekanisme ini, pemerintah yakin dapat merevitalisasi peran dan posisi guru di masyarakat. Sebab, guru bakal punya citra baru, yakni sejahtera secara ekonomi dan profesional terhadap pekerjaannya.Ucu Cahyana percaya sertifikasi guru merupakan satu-satunya mekanisme yang dapat dilakukan untuk menjamin

    Simsalabim, Jadilah Guru Profesional

    LAPORAN UTAMA

    Hingga saat ini, sistem sertifikasi tidak mampu menunjukkan kinerja nyata dalam meningkatkan profesionalisme guru.

    Oleh : Kurnia Yunita Rahayu

  • Edisi 43 13

    profesionalisme. Dengan cara lain akan sulit meningkatkan profesionalisme guru, apalagi wilayah Indonesia ini sangat luas, tutur Ucu. Kalau jumlah guru hanya 100-200 mungkin gampang (membenahinya), tapi kalau sudah terlanjur gini ya sulit.Meskipun demikian, Ucu sendiri tak menyangkal bahwa sertifikasi guru melalui PLPG bukan cara instan membentuk guru bergelar profesional. Buatnya, kompetensi yang diharap muncul tentu tak dapat dihasilkan dari 90 jam pelatihan. Pada akhirnya guru harus memupuk kompetensi tersebut secara mandiri.Celah inilah yang jadi satu kekurangan sistem peningkatan kualitas guru di Indonesia, bahwa peningkatan mutu guru hanya dilakukan secara parsial, alih-alih membentuk rancangan besar yang menyeluruh. Pakar pendidikan mantan Rektor IKIP Jakarta Winarno Surakhmad dalam buku Pendidikan Nasional, Strategi dan Tragedi berpendapat kalau kualitas pendidikan hanya bisa terjadi di tingkat akar rumput. Kualitas pendidikan dalam arti sebenarnya terjadi di tangan guru, tulisnya.Artinya, pembinaan yang dibutuhkan mesti menjangkau seluruh guru dalam gagasan besar yang sistematis mengenai peningkatan pendidikan nasional. Mulai dari rahim yang melahirkan guru hingga kebutuhan guru yang merata di Indonesia.Jauh panggang dari api, jangankan urusan revitalisasi mantan IKIP, guru Indonesia masih banyak berserak tak diurus tanpa ada pemberdayaan. Data yang dihimpun Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyebutkan 65% dari guru Sekolah Dasar di 20 daerah luar ibukota belum

    pernah mengikuti pelatihan apapun dari Kemdikbud bahkan di usia jelang pensiun. Tak hanya di kota kecil, guru di kota besar juga punya cerita sama. Menurut Sekretaris Jenderal FSGI Retno Listyarti, kebanyakan dari mereka baru ikut pelatihan satu kali selama lima tahun terakhir. Di Jakarta bahkan ada guru yang terakhir mengikuti program pelatihan pemerintah pada 1980. Data-data ini merupakan kondisi dimana kualitas guru yang rendah adalah sumbangsih pemerintah, karena tidak membangun kualitas guru, ucap Retno. Saat ini, sistem sertifikasi via PLPG punya niat mulia menjawab masalah tersebut. Sayangnya, PLPG dengan kegiatan yang intens hanya dilaksanakan dalam sepuluh hari ini masih dirasa kurang memadai, tanpa ada tindak lanjut yang signifikan.Ginanjar, guru SMAN 7 Pandeglang turut merasakan. Menurutnya, pembinaan secara berkelanjutan minimal dapat dilaksanakan guru beserta Kepala Sekolah. Karena idealnya Kepala Sekolah merupakan guru terbaik di tiap sekolah. Tapi peran tersebut kini sulit diharapkan, mengingat mekanisme perekrutan Kepala Sekolah cenderung bermasalah. Sejak diberlakukannya otonomi daerah, profesi guru ikut dalam paket kebijakan tersebut. Kepala Sekolah kini ditunjuk Kepala Dinas ataupun Pemerintah Daerah setempat. Menurut Ginanjar, hal ini menyebabkan pemilihan petinggi sekolah didasari pada kedekatan pribadi, bukan atas kelayakan kompetensi. Ada anekdot seperti ini kalau di Pandeglang, nggak usah ngajar rajin-rajin, jadilah tim sukses Bupati, minimal bisa jadi Kepsek, seloroh Ginanjar.

    Sementara peran Kepala Sekolah hampir lumpuh karena dipolitisasi segelintir pihak, kehadiran pengawas sekolah diharap mampu jadi tumpuan. Namun, Ginanjar mengatakan di kota kecil, profesi Pengawas tidak diminati oleh para guru, sebab penghasilannya rendah. Mesti diingat upah pengawas itu lebih kecil daripada upah guru, beber Ginanjar soal kondisi pengawas. Mengenai pengaruh kebijakan desentralisasi terhadap performa guru, Guru Besar Emeritus UNJ H.A.R. Tilaar turut meragukannya. Melalui desentralisasi, guru tidak bisa ditempatkan di suatu daerah tanpa restu kepala daerah. Hal ini yang kemudian memengaruhi persebaran guru di Indonesia, pun tentang kualitas pendidikan nasional. Makanya, Tilaar menolak keras perbaikan kinerja guru yang dilakukan dengan sistem sertifikasi. Mana mungkin menatar orang dalam beberapa hari? Gila itu orang, ucapnya geram. Ini (sertifikasi) pembohongan masyarakat!Sedangkan, Winarno Surakhmad melihat bahwa sertifikasi sebagai intervensi teknis pemberi lisensi mengajar tak mampu memberi motivasi terhadap kualitas guru. Tujuan peningkatan kualitas guru hanya bisa diraih apabila sertifikasi ditempatkan sebagai bagian dari strategi yang lebih luas. Yang tidak menempatkan sistem tersebut sebagai entitas tunggal, katanya.Sebab, permasalahan yang melanda guru terjadi bukan karena sertifikasi tidak atau belum dilakukan. Melainkan merupakan satu susunan kompleks, yang perlu diselesaikan dengan sejumlah strategi secara terpadu dan bersinergi..

    [1] H.A.R Tilaar [2] Retno Listyarti

    Foto: Istimewa Foto: Istimewa

  • 14 Didaktika

    LAPORAN UTAMA

    Weni Aisyah, Guru SMP Islam Nurul Huda Bekasi bersikeras untuk mengeyam lagi bangku kuliah setelah 20 tahun

    lalu lulus sebagai Ahli Madya. Ia yang mengampu mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolahnya berniat melanjutkan studi menjadi sarjana lantaran kesengsem tunjangan profesi guru bersyarat pendidikan minimal sarjana.Sejak 2006, Kemdikbud memang telah memberikan tunjangan lebih bagi guru yang telah lolos sertifikasi. Namun, karena Weni cuma lulusan D3 ia tak mampu merasakan manisnya tunjangan sertifikasi. Sementara, ia sendiri melihat teman satu profesinya yang baru lulus sarjana telah mampu menikmati gaji tinggi berkat tunjangan sertifikasi.Makanya, Weni tak ragu memenuhi syarat akademik untuk mendapat berkah sertifikasi. Jujur saja, saya kuliah lagi itu karena dorongan dari luar, karena sertifikasi, ujar Weni Aisyah, Guru SMP Islam Nurul Huda, Bekasi. Ya, karena ujung-ujungnya duit.Weni mulai kuliah pada 2010 dan telah lulus pada 2013. Selama kuliah ia kerapkali meninggalkan tugas mengajarnya di sekolah akibat berbenturan dengan jadwal kuliahnya. Terpaksa, tapi Kepala Sekolah telah memberi dispensansi, ujarnya. Meskipun telah lulus, Weni tak bisa langsung ikut program sertifikasi karena harus tunggu giliran bersama jutaan guru lainnya. Kualifikasi akademik sarjana bagi guru memang baru kali ini diberlakukan di Indonesia. Puluhan tahun sebelumnya, hal ini tidak menjadi prioritas. Merujuk data Kemdikbud, baru ada 24,64% guru SD yang bergelar sarjana. Sedangkan tingkat SMP dan SMA masing-masing ada 22,64% dan 78,96%. Sisanya cuma lulusan Diploma bahkan sekolah guru.

    Banyaknya guru yang belum sarjana ini disebabkan kebijakan percepatan pembangunan masa Orde Baru melalui Sekolah instruksi Presiden (Inpres). Melalui kebijakan tersebut, siapapun bisa menjadi guru, sebab pemerintah sedang kejar target mendirikan sekolah hingga ke pelosok desa melalui program Sekolah Instruksi Presiden (Inpres)H.A.R. Tilaar, sebagai Koordinator Program Inpres mengakui bahwa kebijakan tersebut merupakan sebuah kekeliruan yang akibatnya muncul puluhan tahun kemudian. Selama 12 tahun Inpres berjalan, pemerintah mengangkat sejumlah guru secara serabutan, katanya. Harusnya ada tindak lanjut setelahnya, tetapi ini tidak ada.Proses rekrutmen guru yang serabutan serta jumlahnya yang banyak kemudian mengakibatkan gaji guru dibayar rendah. Alex sapaan akrab Tilaar melanjutkan bahwa selama 32 tahun berkuasa Orde Baru telah membuat kondisi sosial ekonomi guru memprihatinkan. Bahkan kondisi tersebut masih meningalkan jejak hingga kini.Berdasarkan data yang dihimpun Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), hingga kini masih terdapat guru honorer di Jakarta yang dibayar Rp 200 ribu. Sedang di Pandeglang dan Tangerang, beberapa guru diganjar bayaran yang sangat murah. Masing-masing Rp 60 ribu dan Rp 150 ribu tiap bulan. Ihwal kesejahteraan memang kerapkali jadi wacana utama yang diserukan guru. Mantan Rektor IKIP Jakarta Conny R. Semiawan pun memberikan apresiasi bahwa sistem sertifikasi turut memberikan tunjangan profesi bagi guru. Secara formal, ini memang menguntungkan guru. Dalam arti dengan adanya kertas-kertas ijazah maupun sertifikat itu, katakanlah guru ditingkatkan posisinya atas dasar penghargaan-penghargaan yang diberikan pemerintah kepada guru, ujar Conny.

    Tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok akan diberikan kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik. Dengan tujuan meningkatkan profesionalisme serta peran guru di dalam masyarakat, hanya saja tunjangan ini tidak gratis melainkan harus ditebus dengan syarat dan ketentuan berlaku. Mulai dari kualifikasi akademik, hingga persyaratan beban mengajar.Ada tiga teman saya yang sudah disertifikasi tapi tidak dapat tunjangan, karena jam mengajar kurang dari 24 jam, tutur Weni Aisyah. Untuk menyiasati mengenai jam belajar, guru biasanya melakukan beragam upaya. Misalnya kerjasama membagi jam mengajar antarguru, mengajar lebih dari satu sekolah. Modus memenuhi target mengajar bukan tanpa dampak buruk, terutama buat siswa. Seringkali karena mengajar di sekolah yang berbeda guru kerap memiliki jadwal yang bersamaan antarsekolah, akibatnya kelas berjalan

    Iming-iming Tunjangan ProfesiAlih-alih menjadi pelipur lara bagi guru yang puluhan tahun digaji rendah, tunjangan

    profesi justru membuat guru lupa tujuan peningkatan kompetensinya.

    Oleh : Kurnia Yunita Rahayu

    Ilustrasi: Istimewa

  • Edisi 43 15

    Eka tahu benar ayahnya sering mengalami pungutan liar tersebut. Biasanya untuk pajak Rp 200 ribu dan langsung dipotong dari Pemda Depok, katanya.Guru SMAN 7 Pandegalang Ginanjar pun mengamini hal serupa terjadi di daerah ia mengajar. Menurutnya pemotongan dilakukan dinas terkait. Seperti UPT (Unit Pelaksana Teknis) atau organisasi guru, katanya. Sayangnya, guru yang mengalami pemotongan tunjangan yang tak jelas ini malah bergeming, dan cenderung memaklumi hal tersebut. Kalau guru itu, (tunjangannya) dipotong malah bisa berterima kasih lho, karena mereka menganggap itu sebuah kelaziman. Mereka cenderung menganggap wajar apa yang sebenarnya tidak wajar. Ginanjar melanjutkan.Pada akhirnya, berapapun pungutan liar tak menggerus kegembiraan guru karena mendapat tunjangan. Semua guru

    tentu ingin lebih diapresiasi mengingat jasanya pada bangsa. Tak terkecuali bagi Weni Aisyah, buatnya pemerintah harus memberi kehidupan yang layak kepada guru dengan atau tanpa seritifkasi. Pemerintah harus sadar diri, celetuknya..

    tanpa guru. Sekretaris Jenderal FSGI Retno Listyarti menolak alur pemberian tunjangan yang rumit ini. Baginya, soal kesejahteraan guru sudah semestinya dipenuhi pemerintah. Kalau niatnya menyejahterakan, mestinya tidak perlu pakai syarat. Hitung-hitung pemerintah ini bayar hutang, tutur Retno. Guru Indonesia sudah dibayar murah sejak dulu.Sudah rumit, mekanisme pemberian tunjangan profesi tak jarang menghadir masalah. Mulai dari keterlambatan pengiriman hingga terdapat sejumlah dana sertifikasi yang benar-benar tidak diterima guru.Eka Supriyadi (22) mahasiswa Jurusan Sejarah UNJ berkisah, ayahnya sudah sejak 2009 mendapat lisensi untuk mengajar di SD Negeri Depok. Namun, di tahun pertama tunjangan profesi yang diberikan Pemerintah Kota Depok hanya sejumlah enam bulan. Yang sisa enam bulan lagi tidak tahu kemana, tidak diberikan, ujar Eka menirukan sang bapak. Kejadian yang sama kembali terjadi di 2012, Eka mengaku ayahnya hanya menerima menerima delapan bulan tunjangan profesi.Kasus serupa terjadi pula di beberapa daerah. Menurut data Litbang Kompas, penunggakan pemberian dana sertifikasi juga terjadi di Jawa Barat, Kalimantan Barat dan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Para guru di daerah tersebut mengatakan belum menerima dana sertifikasi selama Triwulan IV-2012. Bahkan, terdapat 343 guru di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur yang sama sekali belum menerima hak profesi mereka sejak 2011 (Kompas, 12/10).Tak hanya soal keterlambatan, dana sertifikasi juga sering jadi modus nakal oknum pemerintah daerah. Selalu ada pemotongan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

    Kalau niatnya menyejahterakan,

    mestinya tidak perlu pakai syarat.Hitung-hitung pemerintah ini bayar hutang, tutur

    Retno.

  • 16 Didaktika

    guru dianggap mengkhawatirkan. Sayang, ikhtiar mereka menemui jalan buntu, gugatan mereka dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena dinilai soal menjadi guru bukan hanya milik mahasiswa LPTK seorang. Meskipun demikian, PPG tetap menimbulkan masalah yang pelik. Aktivis pendidikan Lodewyk F. Paat menilai PPG sebagai program turunan dari UUGD telah menggeser model pendidikan guru Indonesia. Melalui Pasal 8 UUGD, pemerintah cenderung mentransformasikan model pendidikan guru menjadi consecutive model. Yang memberikan pendidikan keguruan usai mahasiswa menyelesaikan urusan pendidikan keilmuan. Sementara, secara historis Indonesia telah mengembangkan model pengintegrasian pendidikan pedagogik serta keilmuan dalam satu tahap (concurrent model). Sebagaimana yang diterapkan oleh kampus-kampus IKIP yang tersebar di seluruh Indonesia. Bila consecutive model terus dilaksanakan sambil tetap mempertahankan institusi model IKIP, tentu mahasiswanya akan sangat dirugikan, ujar Lody sapaan akrab Lodewyk F. Paat. Sebab, secara teknis waktu penguasaan mahasiswa eks IKIP terhadap materi keilmuan lebih sedikit karena masih harus menekuni mata kuliah kependidikan di jenjang S1. Tetapi harus bersaing dengan lulusan non pendidikan, yang menguasai

    materi keilmuan secara komprehensif. Dalam alternatif pekerjaan lain pun, sarjana ilmu murni cenderung lebih diperhitungkan ketimbang sarjana pendidikan. Makanya, Lody tak ragu menegaskan, bila model ini (PPG) yang mau dijalankan, bubarkan saja jurusan pendidikan!Kasak-kusuk soal siapa pantas jadi guru tersebut juga tak bertahan lama karena pelaksanaan PPG untuk seluruh sarjana sendiri yang masih buram. Seperti dikatakan Sekretaris Lembaga Pengembangan Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (LPP UNJ) Ucu Cahyana, untuk sementara, PPG itu hanya untuk sarjana kependidikan yang telah mengikuti SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan Terluar Tertinggal) jadi saluran untuk mahasiswa non pendidikan belum dibuka, walaupun menurut MK boleh.Tahun ajaran 2012/2013 seluruh kampus penyelenggara serempak melaksanakan PPG. UNJ merupakan salah satu yang melaksanakannya. Hingga saat ini, UNJ sudah melaksanakan tiga jenis PPG, yakni PPG Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM3T), PPG Terintegrasi (PPGT) dan PPG Kolaboratif. Masing-masing pesertanya adalah sarjana pendidikan yang sudah mengabdi di daerah 3T satu tahun. Kemudian PPGT diikuti oleh calon guru-guru SD dari daerah 3T, mereka lulusan SMA yang diseleksi oleh masing-masing daerah untuk dikirim ke LPTK untuk bisa menjadi

    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) benar tak main-main menyiapkan guru guna memajukan pendidikan nasional. Sambil terus menjalankan sertifikasi

    bagi 2,5 juta guru Indonesia, Kemdikbud juga turut menyiapkan guru melalui program Pendidikan Profesi Guru (PPG). PPG dilaksanakan oleh mahasiswa yang berminat menjadi guru.Merunut pasal 9 Undang-Undang Guru dan Dosen yang menjadi landasan PPG, setiap mahasiswa yang telah jadi sarjana atau memiliki gelar Diploma IV harus mengikuti PPG untuk menjadi guru. Tidak hanya terbatas pada mahasiswa lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK). Ihwal peserta PPG yang tak terbatas ini kemudian menimbulkan kecemburuan para mahasiswa pendidikan, karena mahasiswa non pendidikan mampu ikut serta dalam PPG. Salah satu penolakan keras sempat hadir dari Aliansi yang diwakili tujuh mahasiswa dari beragam universitas. Mereka sempat mengajukan Peninjauan Kembali pasal 9 UUGD kepada Mahkamah Konstitusi.Menurut mereka, guru merupakan profesi khas yang butuh pembinaan sejak awal masuk di LPTK. Tidak mungkin bisa dicapai dengan pembelajaran PPG yang hanya satu tahun. Dan keberadaan lulusan nonpendidikan sebagai pesaing profesi

    LAPORAN UTAMA

    Siapa Pantas Jadi Guru? Bubarkan saja Jurusan Pendidikan!

    Oleh : Kurnia Yunita Rahayu

    Mekanisme cara perekrutan calon guru profesional

  • Edisi 43 17

    Siapa Pantas Jadi Guru?

    guru SD. Sedangkan PPG Kolaboratif adalah PPG kejuruan, untuk lulusan SMK yang akan menjadi guru SMK, tutur Ucu Cahyana. Sebagai program yang dilaksanakan dalam lingkup nasional, PPG memberikan jatah pembagian mata pelajaran yang akan diselenggarakan kepada masing-masing LPTK. Menurut Ucu, penentuannya didasarkan pada kesiapan kampus itu sendiri dalam mengelola mata pelajaran tersebut sebagai bagian dari PPG.Misalnya di UNJ, kampus eks IKIP Jakarta ini punya tugas membina profesionalitas calon guru dari delapan program studi (prodi). Yakni Seni Musik, Seni Tari, Seni Rupa, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Biologi dan Fisika. Sedangkan PPG di Universitas Negeri Surabaya membuka 12 prodi, yaitu Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini, Bimbingan Konseling, Pendidikan keolahragaan, Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, Bahasa Indonesia, Ekonomi, Biologi, Matematika, Sejarah dan Pendidikan Kewarganegaraan.Mudiyanto, mahasiswa PPG Bahasa Inggris di UNJ mengatakan bahwa, 167 peserta PPG angkatan pertama diberikan kegiatan workshop selama satu semester. Alumnus Universitas Tidar Magelang ini melanjutkan, agenda tersebut disambung dengan praktik mengajar di kelas tiap minggunya. Selanjutnya, di semester dua para peserta PPG mulai lebih sibuk melaksanakan Program Pengalaman Lapangan (PPL), Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan Uji Kompetensi Guru (UKG). Mudi sapaan akrab Mudiyanto sendiri merasa tidak banyak dapat faedah dalam program PPG kecuali soal adminstratif. Dalam kegiatan PPG itu yang penting

    membuat RPP, saat PPL juga harus menunjukkan RPP, membuat laporan pun harus menyertakan RPP, kata Mudi. Ia berseloroh sejak mengikuti PPG hidupnya bagaikan hanya untuk membuat RPP. Karena sudah tidak ada materi yang terkait Bahasa Inggris (mata pelajaran yang diampu masing-masing-Red) ataupun teori-teori pendidikan, itu tidak ada di PPG.Apa yang terjadi dengan PPG sekarang sebenarnya bukan yang diniatkan pada awal inisiasinya. Conny R. Semiawan yang menggagas ide ini berujar bahwa, tujuan awal PPG adalah mengembalikan peran IKIP sebagai LPTK setelah berubah menjadi universitas.Conny menghendaki adanya suatu program spesifik yang mampu mematangkan mental keguruan calon guru. Ia menghendaki iklim pendidikan yang ramah terhadap murid melalui pembangunan internal mental environment yang harus diciptakan oleh guru di kelas kelak. Oleh karenanya mahasiswa LPTK harus dipersiapkan sebelum terjun ke lapangan karena, pascakonversi ada dualitas yang tak terarah mengenai bidang keilmuan dan kapasitas pegadogik yang dibangun oleh LPTK.

    Untuk menciptakan lingkungan belajar yang mengundang, Conny mengungkapkan bukan hanya butuh bakat bawaan dari tiap pribadi guru. Melainkan mesti dilatih dengan mencontohkan serta meragakan model tersebut, termasuk dalam PPG. Nah, itu yang kurang diperhatikan dalam PPG. Itu yang saya sayangkan sejak awal terlibat, sebab itulah yang terpenting bagi perkembangan siswa, tegasnya.Conny melanjutkan, PPG kini justru mementingkan formalitas belaka, sebab yang dipentingkan melulu soal administratif. Sehingga hal-hal teknis ini berkembang jadi hal yang utama ketimbang konten atau isi pembelajarannya. Makanya, Conny menilai PPG yang berjalan kini telah salah arah. Terlebih, soal dibukanya program pendidikan profesi ini bagi sarjana non kependidikan. Itu yang dulu saya tentang, tegasnya. Buat Conny, keterbukaan akses ini telah memudarkan inti pendidikan keguruan yang ingin dicapai oleh PPG. Karena yang diutamakan segi lahiriah, yaitu segi instructional objective, segi ilmu-ilmu yang dikuasainya. Bukan bagaimana cara ilmu itu dijadikan materi yang mendarah daging pada diri anak, pungkas Guru Besar berparas ayu ini..

    Conny R. Semiawan, Mantan Rektor IKIP Jakarta

    Foto: Istimewa

  • 18 Didaktika

    LAPORAN UTAMA

    Di penghujung 2012, beberapa jurusan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) merilis keputusan meniadakan mata kuliah Program Pengalaman Lapangan (PPL) untuk digantikan dengan mata kuliah lain. Serupa tapi berbeda bobot. PPL bermuatan empat Sistem Kredit Semester (SKS) ditukar dengan Program Kompetensi Mengajar (PKM) yang hanya dua SKS. Namun, ada yang lain di Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial (FIS). Salah satu mahasiswanya, Andi Anang Firmansyah linglung saat jurusannya tak jua memberi kepastian soal ada tidaknya PPL. Pasalnya, ia sudah semester tujuh, mesti segera mengurus administrasi terkait PPL. Selain itu, waktu belajar siswa Sekolah Menengah Atas yang jadi tujuan praktik mengajarnya juga hampir dimulai. Sekolah menuntut Andi dan beberapa temannya segera memastikan niatan mereka untuk PPL di sekolah tersebut. Namun, sekolah cenderung tidak menerima mahasiswa yang ingin melaksanakan PKM. Kalau seperti itu (PKM), banyak sekolah yang menolak. Karena mereka maunya kami disana selama satu semester penuh, ujar Andi. Ia melanjutkan, jika ada sekolah yang mau menerima, mereka pasti langsung mengiyakan, karena takut di sekolah lain tidak diterima. Bisa-bisa tidak PPL jika menunggu keputusan pihak jurusan, katanya.Beruntung, Andi dan teman sekelompoknya ambil keputusan tepat. Selang beberapa hari sebelum ia mulai praktik mengajar di sekolah, jurusan Sejarah keluarkan pengumumuan resmi, tentang tetap diberlakukannya PPL. Kebijakan ini rupanya keputusan bulat yang diambil FIS. Menurut Pembantu

    Dekan Bidang Akademik FIS Djunaedi, tak banyak jurusan di fakultasnya yang tahu apalagi mengerti ihwal PKM. Konsepnya belum jelas, makanya kita masih menjalankan seperti tahun lalu (melaksanakan PPL), tutur Djunaedi.Sedangkan Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) PPL Faried Wadjdi saat ditemui Didaktika Agustus lalu mengatakan, dirinya pun masih menunggu ketukan palu universitas terkait PPL dan PKM. Menurutnya, memang belum dibuat rumusan baku terkait mata kuliah praktik mengajar tersebut. Sementara, jika kita (sekarang) ada dalam masa transisi ya kita lakukan saja seperti PPL biasa, ujar Faried.Ribut-ribut soal PPL yang diganti PKM merupakan imbas langsung dari kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menambah durasi pendidikan guru melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG). Rencananya, praktik mengajar memang tak lagi dilaksanakan di tingkatan S1 karena akan dipindah dalam pendidikan profesi. Makanya, yang ada dalam posisi terancam bukan hanya PPL sebagai mata kuliah, tapi juga keberadaan UPT PPL. Faried Wadjdi membenarkan bahwa dalam beberapa waktu ke depan, unit yang dipimpinnya tak lagi berdiri secara mandiri karena akan dilebur dalam Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP). Kini, LPP sudah ada namun, UPT PPL tak jua masuk ke dalamnya untuk ikut menentukan arah pendidikan keguruan yang mau diusung. LPP hanya fokus pada urusan Sertifikasi Guru dan PPG. Sayangnya, Kemdikbud juga belum punya kepastian kapan PPG dilaksanakan serentak. Saat ini, PPG baru dilaksanakan untuk angkatan pertama. Pesertanya hanya mereka yang usai mengikuti program Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM3T). Padahal,

    Kemdikbud juga mengeluarkan wacana bahwa calon guru profesional harus memiliki lisensi mengajar yang hanya didapat melalui PPG. Beberapa pegiat dan pakar pendidikan meyakini, pemberlakuan PPG telah mengubah pola pendidikan guru dari model concurrent menjadi consecutive. Hal ini telah mengingkari hakikat institusi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) secara historis. Makanya, menurut Ucu Cahyana, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNJ Kemdikbud punya strategi untuk mengakhiri pendapat ini dengan menggabungkan dua model pendidikan guru tersebut. Ada beberapa hal yang akan dilakukan untuk mengakhiri perdebatan panjang antara concurrent dan consecutive, kata Ucu.

    Dalam kerangka UUGD, LPTK sekadar jadi lembaga sertifikasi.

    Kocar-Kacir LPTKOleh : Indra Gunawan

    Winarno Surakhmad, Rektor IKIP Jakarta 1975-1980

    Foto: Istimewa

  • Edisi 43 19

    Niatan tersebut rencananya akan diwujudkan dengan penguatan pendidikan keguruan bagi mahasiswa eks Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) sejak semester awal kuliah. Sehubungan dengan itu Farid Wadjdi mengatakan, UNJ akan kembali mengganti PKM dengan mata kuliah Praktik Kompetensi Pembelajaran (PKP). Nantinya, PKP mengharuskan mahasiswa untuk magang di sekolah sebanyak tiga kali selama berkuliah. Agar mahasiswa lekat dengan kondisi sekolah. Namun, tidak ada sinkronisasi yang dilakukan antara PKP dan Mata Kuliah Dasar Kependidikan (MKDK). Padahal, hal tersebut tentu dibutuhkan. Kita (UNJ) selalu terdepan dalam menerapkan kebijakan pemerintah. Tapi tidak memikirkan panduan teknis pelaksanaannya, cetus Djunaedi.Apa yang dikatakan Djunaedi merupakan konsekuensi logis dari kampus eks IKIP yang memang berada di bawah koordinasi Dikti, Kemdikbud. Sebagaimana dikatakan Zainal Rafli, namanya perguruan tinggi pemerintah, ya ikut peraturan yang dibuat pemerintah. Meskipun ia juga tak dapat memungkiri, beberapa kebijakan nampak merugikan posisi LPTK. Seperti gambaran guru profesional yang ditawarkan Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) memang menjanjikan

    perbaikan kesejahteraan bagi calon guru. Hal ini kemudian menarik masyarakat untuk masuk LPTK hingga terjadi pembludakan jumlah mahasiswa. Di UNJ, pada 2012 berani menerima hingga 6200 mahasiswa dan terpaksa menurunkannya jadi 5700 pada 2013. Kasus ini pun terjadi karena tak pernah ada kontrol dari pemerintah. Selain itu, jumlah LPTK di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat tak terkendali. Pada 2010, jumlahnya 241 lembaga kemudian melonjak pada 2013 sudah mencapai 415 LPTK. Sehingga kini terdapat sekitar 1,2 juta calon guru yang hampir tak punya bayang-bayang masa depan. Sebab, hanya ada 400 ribu guru pensiun tiap tahun. Lulusan LPTK yang overload ini pun dipertanyakan kualitasnya. Menurut Zainal Rafli, LPTK negeri selalu jadi bulan-bulanan saat kualitas guru buruk. Padahal, buatnya hal tersebut terjadi karena Kemdikbud tak pernah berupaya mengontrol LPTK swasta, yang menerima banyak mahasiswa tapi tak pernah memperhatikan kualitas pendidikan. Hal itulah yang saya selalu protes kepada Dikti, kok Dikti membiarkan begitu? Kenapa bisa disahkan perguruan tinggi-perguruan tinggi dengan kondisi seperti itu, keluh Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni itu.

    Sudah begitu, pembenahan LPTK sebagai tonggak utama perbaikan kualitas guru nyatanya kurang diperhatikan. Menurut Guru Besar Emeritus UNJ H.A.R. Tilaar fasilitas pembelajaran sebagai tempat praktik sangat dibutuhkan calon guru. Namun, hingga kini LPTK justru nampak berjarak dari sekolah. Bahkan, sejak konversi IKIP sekolah-sekolah laboratorium yang dimiliki LPTK justru ditutup. LPTK sekarang jauh dari sekolah-sekolah, makanya (LPTK) tidak ditunjang ilmu-ilmu pendidikan terbaru. Akibatnya, ketika para guru mengajar, suasana yang terbangun di kelas cenderung pasif dan kaku, ujar Tilaar.Saat LPTK nampak tak punya banyak terobosan baru dalam ilmu-ilmu pendidikan, tak heran jika pakar pendidikan Winarno Surakhmad mengatakan, dalam kerangka UUGD, LPTK sekadar menjadi lembaga sertifikasi. UUGD sangat mengerdilkan keberadaan LPTK, mendistorsi eksistensinya sehingga berkembang menjadi sekadar lembaga sertifikasi, serta memerosotkan mutu pendidikan itu sendiri, tulisnya dalam buku Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi. Buatnya, Kemdikbud telah melakukan kekeliruan fatal, menyamakan antara pendidikan profesi dan pendidikan profesional guru konsekutif..

    Kocar-Kacir LPTK Foto: D

    idak

    tika

    Foto: Istimewa

  • 20 Didaktika

    LAPORAN UTAMAOPINI

    Tulisan ini sengaja dimulai dengan mengutip kesimpulan panitia UNESCO karena pernyataan itu menekankan tentang demikian pentinya peranan guru dalam menghadapi perubahan masyarakat global hampir dalam semua dimensi kehidupan, untuk ikut moulding the character and minds dari generasi muda memasuki abad ke-21. Kini kita telah memasuki dekade kedua abad ke-21. Tetapi lebih dari itu sesungguhnya para Founding Fathers pada saat proklamasi menyadari bahwa pada saat proklamasi kemerdekaan masyarakat bangsa Indonesia juga menghadapi masalah yang sama dengan masyarakat dunia dalam memasuki abad 21 yaitu tantangan untuk mengubah masyarakat Indonesia yang serba tertinggal memasuki peradaban modern abad 20.

    Ini berarti bahwa yang dibutuhkan adalah proses transformasi budaya, dengan memanfaatkan kedudukan sekolah yang sangat strategis. Sayangnya, sejak proklamasi sistem persekolahan kita belum sepenuhnya diberi kemampuan untuk berperan sebagai pusat pembudayaan tetapi tidak lebih dari tempat untuk mendengar, mencatat dan menghafal. Suatu tradisi sekolah yang di zaman penjajahan merupakan tradisi sekolah untuk kaum pribumi yaitu sekolah desa dan bukan tradisi sekolah yang melahirkan Soekarno, Hatta, Syahrir dan para Founding Fathers sebagai pemikir dan pembaharu.

    Memasuki abad 21 kita memiliki UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU no.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang dalam pandangan penulis, filosofi pendidikan yang terkandung di dalamnya memungkinkan sekolah dapat berperan sebagai pusat pembudayaan dan mendudukan guru untuk berperan ikut moulding the character and minds of the young generation. Berangkat dari pandangan dasar pendidikan sebagai wahana proses pembudayaan dalam proses transformasi budaya (mencerdaskan kehidupan bangsa) selanjutnya marilah kita soroti Profesionalisme Guru dan Tenaga Kependidikan dalam Era Globalisasi dan Implikasinya terhadap kurikulum LPTK.

    Guru sebagai Jabatan Profesional dan MaknanyaBagi penulis, lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khususnya bagian tentang Guru adalah suatu pembaharuan pendidikan guru yang revolusioner. Karena melalui UU ini jabatan guru secara resmi didudukkan sebagai jabatan

    profesional.

    Kalau kita menjajaki sejarah pendidikan Indonesia, kita akan mendapatkan pengetahuan bahwa kualifikasi guru yang mengajar di SD, SLTP, SLTA pada zaman penjajahan dan zaman Indonesia merdeka sampai dengan tahun terakhir dekade 1950-an dan permulaan dekade 1960-an jauh di bawah kualifikasi guru pada saat ini. Pertanyaannya mengapa pada masa penjajahan dan permulaan kemerdekaan, guru dengan kualifikasi pendidikan yang jauh lebih rendah dari kualifikasi pendidikan guru saat ini dipandang telah berhasil menghasilkan lulusan yang bermutu sedangkan sekarang dengan kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi banyak dipersoalkan mutu dari pendidikan yang dihasilkan?

    Memang tidak proporsional membandingkan pendidikan pada tahun 1950-an dengan mutu pendidikan pada tahun 1989 ke atas. Karena jumlah peserta didik pada dua periode tersebut perbedaannya berlipat. Di samping itu, sekolah pada waktu itu pendidikannya mengutamakan fungsi memilih dan memilah daripada mengembangkan potensi peserta didik. Disinilah letaknya masalahnya. Peranan guru pada saat melayani jumah murid yang jumlahnya sedikit dan peranan sekolah terutama adalah memilah dan memilih, tidak dapat disamakan dengan peranan guru, pada saat tugasnya adalah mengembangkan potensi pserta didik yan heterogen latar belakangnya, baik kemampuan dasar, sosial, ekonomi, dan budaya. Dan kenyataan baru inilah yang menjadikan jabatan guru dituntut menjadi jabatan profesional.

    Untuk itu perlu adanya upaya peningkatan untuk meningkatkan pendidikan guru yang berderajat profesional. Dikatakan berderajat karena dalam setiap jabaran profesional dikenal hierarki profesional yaitu: profesioal, semi profesional, teknisi, juru dan tukang. Di Jerman untuk guru SD, harus bependidikan PAEDAGOGISCHE HOCSCHULE4 tahun setelah SMA, untuk guru (Gymnasium) dituntut pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan pada universitas yang meliputi 6 semester untuk penguasaan ilmu pengetahuan sebagai sumber bahan ajar dan 2 semester pedagogik. Kesemuanya baik guru SD, SMP, maupun SMA setelah lulus pendidikan di Perguruan Tinggi/Universitas tidak otomatis berwenang sebagai guru (certified teacher) melainkan harus melalui tahap magang selama 18

    Profesionalisme Guru dan Tenaga Kependidikan dalam Era Globalisasi dan Implikasinya terhadap Kurikulum LPTKProf.DR.H.Soedijarto, MA

    The importance of the role of the teacher as an agent of change, promoting understanding and tolerance, has never been obvious than today. It is likely become ever more critical in the twenty first century. The need for change, from understanding and pluralism, from autocracy to democracy in its various manifestations and from technologically divided world where high technology is the privilege of the few to technologically united worl places enormous reponbilities on teacher who participate in the moulding of the character and minds of the young generation.

  • Edisi 43 21

    bulan dan diakhiri dengan ujian kewenangan mengajar sebelum dapt memperoleh tanda sebagai guru yang berwenang (certified teacher).

    Terilhami oleh praktik pendidikan calon guru di Amerika dan Jerman, dan pengalaman menerapkan berbagai inovasi pendidikan dalam periode 1974-1981, penulis pada tahun 1982 sampai kepada kesimpulan perlunya peningkatan jabatan guru sebagai jabatan profesional, suatu jabatan yang memerlukan pendidikan tingkat lanjut dan latihan khusus, yaitu S1 plus sebagai yang saya tulis dalam artikel pada 1989 (dalam buku Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu, Balai Pustaka, 1989). Dalam kaitan inilah UU No. 14 tahun 2005 yang menuntut pendidikan guru sebagai pendidikan bertaraf S1+D4+ merupakan suatu keputusan yang sesuai dengan tuntutan pendidikan memasuki abad 21.

    Walaupun demikian penulis tidak sepenuhnya sepaham dengan UUGD yang membuat taksonomi kompetensi guru menjadi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Menurut penulis, guru profesional harus menguasai tujuh gugus pengetahuan dan teknologi yakni 1. Karakteristik peserta didik; 2. Ilmu pengetahuan sebagai objek belajar dan ways of learning dan mode of inquiry; 3. Hakekat tujuan pendidikan dan kompetensi yang harus dicapai dan dikuasai peserta didik; 4. Teori belajar umumm dan khusus; 5. Model pembelajaran sesuai dengan bidang studi; 6. Teknologi pendidikan; 7. Sistem dan teknik evaluasi.

    Kemudian, tujuh gugus pengetahuan dan teknologi tersebut ditambah dengan pengetahuan dan pemahaman dengan filsafat pendidikan, dasar negara pancasila, UUD 1945, sejarah nasional bangsa dan sistem pendidikan nasional. Kiranya seperti itulah pengetahuan yang seharusnya dimiliki guru Indonesia yang berderajat profesional.

    Masalah yang harus dibahas selanjutnya adalah bagaimana kita merancang program pendidkan yang dapat menghasilkan pendidik (guru) dan tenaga kependidikan yang profesional?

    Kurikulum untuk Pendidikan Prajabatan Guru yang Berderajat Profesional Untuk mendidik calon guru profesional, perlu dirancang dua tahap program pendidikan yaitu: 1. Tahap pendidikan akademik profesional dan 2. Tahap pendidikan dan latihan profesional.

    Pada tahap pertama para mahasiswa calon guru mengikuti pendidikan untuk menguasai: 1. Pengetahuan dan pemahaman tentang karakteristik peserta didik, baik kognitif, emosional, fisik dan sosial Sesuai dengan tingkat perkembangannya yang terkait dengan jenjang pendidikan; 2. Pengetahuan dan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan sebagai sumber objek belajar dan sebagai ways of knowing; 3. Filsafat pendidikan dan teori pendidikan, yang meliputi yujuan pendidikan nasional dan peranan setiap kegiatan pendidikan untuk mencaapai tujuan pendidikan; 4. Berbagai teori beljar baik umum, termasuk social learning theory dan khusus yang terkait dengan suatu bidnag studi dan atau dengan karakteristik peserta didik; 5. Berbagai model pembelajaran yang terkait dengan berbagai bidang studi; 6. Teknologi pendidikan; 7. Sistem dan teknik evaluasi; 8. Sejarah dan sistem kenegaraan NKRI sesuai dengan pencasila dan UUD 1945. Tahap ini dapat ditempuh dalam periode enam semester.

    Tahap kedua adalah tahap pendidikan dan praktik profesional. Pada tahap ini selama dua semester para mahasiwa belajar menerapkan berbagai pengetahuan dasar akademik yang profesional yang diperoleh selama enam semester pertama untuk: 1. Merencanakan program pembelajaran; 2. Melaksanakan program pembelajaran, termasuk mengevaluasi; 3. Mendiagnosa berbagai hambatan dan masalah yang dihadapi peserta didik; 4. Menyempurnakan program pembelajaran berdasarkan umpan balik yang telah dikumpulkan secara sistematik.

    Dalam tahap kedua ini calon mahasiswa dua pertiga waktunya berada dalam lingkungan sekolah untuk mengamati, memimpin dan membimbing proses pembelajaran di bawah supervisi tim dosen profesional. Setelah melalui program pendidikan yang demikian seseorang mahasiswa yang lulus setelah melalui berbagai evaluasi yang komprehensif dan terus menerus dapat memperoleh sertifikat sebagai pengajar.

    Mereka yang telah lulus program pendidikan guru profesional inilah yang selanjutnya dapat mengikuti pendidikan pasca sarjana untuk menjadi tenaga kependidikan seperti : Bimbingan konseling, ahli hukum, ahli administrasi pendidikan dan ahli teknologi pendidikan. Dengan demikian tenaga kependidikan yang profesional dalam pandangan saya hendaknya adalah mereka yang telah mengikuti pendidikan guru profesional dan atau telah juga berpengalaman sebagai guru profesional, sehingga dapat berperanan memberikan bantuan profesional kepada guru untuk terus memperbaiki mutu pendidikan..

    Soedjiarto (tengah)

    Foto: Istimewa

  • [1]

    [4]

    18 Didaktika

  • [1] Gedung Eks- Sarwahita

    [2] Gedung IDB I

    [3] Gedung IDB II

    [4] Gedung Parkir

    [5] Gedung Pascasarjana

    [2] [3]

    [4] [5] Karut Marut PembangunanSudah empat tahun UNJ melakukan pembangunan fisik besar-besaran. Kini, beberapa gedung nampak berhenti proses pengerjaannya. Tidak ada transparansi mengenai pembangunan terhadap civitas academica.

    Oleh : Virdika Rizky Utama

    Foto

    : Did

    akti

    ka

    Edisi 43 23

  • 24 Didaktika

    Sejak 2009, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) giat melakukan pembangunan fisik. Mulai dari renovasi gedung lama hingga membangun beberapa

    bangunan baru. Kampus eks Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta ini mendapat kucuran hibah dari Islamic Development Bank (IDB) dan dana pendamping dari Government of Indonesia (GoI) untuk membangun.

    Hibah IDB sebesar US$ 25 juta digunakan untuk mendirikan beberapa gedung baru, yakni IDB Building I dan II yang terletak di sekitar gedung Rektorat. Sedangkan dana dari GoI hanya untuk merenovasi gedung yang sudah ada. Gunanya renovasi agar IDB percaya, bahwa kita (UNJ-red) cepat dalam melakukan pembangunan dan diharapkan uang dari IDB cepat turun, tutur Dedi Purwana, Koordinator Pembangunan IDB di UNJ.

    GoI sendiri mengucurkan dana sebesar Rp 25 miliar dari total rencana anggaran pembangunan sebesar Rp 60 miliar. Masing-masing berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2010 sebesar Rp 10 miliar dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011 sebesar Rp 15 miliar.

    Berbekal sejumlah dana tersebut, UNJ fokus melaksanakan pembangunan fisik. Utamanya di Kampus A, sudah dilakukan renovasi di beberapa gedung dan pendirian dua IDB Buiding. Gedung-gedung tersebut nantinya diperuntukkan untuk pengembangan kampus seperti penelitian, beberapa ruang kelas dan ruang kantor untuk perwakilan IDB di UNJ, kata Koordinator Kegiatan Pembangunan UNJ Dedi Purwana. Selain itu, rencananya kampus akan mendirikan enam gedung baru lainnya. Yakni untuk Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Fakultas Teknik (FT), Fakultas Bahasa dan Seni (FBS). Fakultas Ekonomi, Pascasarjana dan Gedung Kemahasiswaan.

    Kini, empat tahun sudah pembangunan fisik dijalankan. Masih dalam masa kepemimpinan Rektor Bedjo Sujanto, beberapa bangunan sudah nampak berdiri, diantaranya IDB Building I dan II. Keduanya sudah hampir selesai dibangun, tinggal menunggu waktu penggunaan serta peruntukannya yang masih simpang siur.

    Sementara, beberapa bangunan lainnya terlihat mangkrak. Hampir setahun terhenti pengerjaannya. Misalnya saja, Gedung Parkir, Gedung eks Sarwahita yang terletak di samping Masjid Alumni dan Gedung Pascasarjana. Masing-masing nampak layaknya bangunan setengah jadi.

    Menurut Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum (PR II) Suryadi, beberapa gedung yang proses

    pembangunannya terhenti bukan dibiayai IDB melainkan pemerintah. Oleh karena itu, hal tersebut menjadi sangat wajar. Sebab, terkait dengan dana yang memang diberikan berangsur oleh pemerintah. Sejumlah dana yang dibutuhkan kampus untuk menyelesaikan sebuah bangunan tidak diberikan sekaligus.

    Sesuai perjanjian sejak 2009, kontrak kerja dengan kontraktor bangunan memang sudah habis dan akan kembali berjalan jika dana dari IDB dan APBN sudah turun, ujar Suryadi. Kontrak kerja dengan kontraktor ini berlangsung paling lama dua tahun setelah uang proposal dari IDB dicairkan dan diharapkan selama dua tahun tersebut target pembangunan selesai. Suryadi melanjutkan, hingga kini pihak kampus belum lagi mendapatkan dana dari IDB untuk melanjutkan proses pembangunan. Lantaran UNJ belum merapikan sejumlah gedung fakultas yang dinilai masih jelek.

    Ifaturohiah Yusuf, salah satu panitia pengadaan alat laboratorium 2010 yang banyak pula berhubungan dengan proyek-proyek yang ditangani UNJ mengatakan, pembangunan beberapa gedung yang berhenti secara tidak langsung justru ada hubungannya dengan kasus korupsi pengadaan alat laboratorium yang mendera beberapa orang di UNJ sejak 2012. Menurut Ifath sapaan akrabnya, dana APBN yang tak kunjung turun bukan hanya karena pemerintah belum menurunkanya. Melainkan tim-tim UNJ yang bertugas

    KAMPUSIANA

    Dedi Purwana, Dekan FE

    Foto: Istimewa

  • Edisi 43 25

    mengajukannya pun tidak lagi mengusahakannya.

    Sejak ada kasus korupsi kebanyakan teman-teman (yang mengurus proyek) malas mengurus lagi, seloroh Ifath saat ditemui Didaktika sekitar setahun lalu. Habis kami sudah kerja keras mengurus proyek seperti itu yang tujuannya untuk kebaikan UNJ malah dihujat beberapa pihak.

    Lagipula, menurut Dedi Purwana ada hal lain yang bisa jadi penyebab beberapa gedung berhenti dibangun. Ia mencontohkan untuk Gedung eks Sarwahita yang berlokasi di sebelah Masjid Alumni, pendiriannya tidak sesuai dengan rencana awal. Sebenarnya dulu direncanakan hanya empat lantai, namun Pak Rektor (Bedjo Sujanto) menginginkan dibangun 10 lantai, ya sudah jadi sekarang 10 lantai, ungkap Dedi.

    Ketidaksesuaian pembangunan gedung dengan rencana awalnya memang sangat mungkin terjadi di UNJ. Sebab, sejak awal diselenggarakan kegiatan ini seolah tidak punya sebuah rancangan besar yang digunakan dengan disiplin. Hal ini nampak pada kegiatan pembangunan di bawah kepemimpinan Rektor Bedjo Sujanto ini selalu berdalih mengandalkan master plan yang telah disusun oleh Rektor sebelumnya, Sutjipto.

    Padahal, kini pihak kampus tidak melaksanakan master plan yang dibuat Sutjipto. Perencanaan yang menegaskan bahwa tiap bangunan tidak boleh didirikan melebihi empat lantai itu dinilai sangat sulit dilaksanakan sebab, sudah tidak relevan dengan dinamika ibukota. Seperti dikatakan Dedi Purwana,

    Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang menargetkan 30% wilayah dialokasikan untuk ruang terbuka hijau. Kami mendukung program Pemprov, maka dari itu kita buat gedung melebihi empat lantai. Hal ini dilakukan agar dapat menghemat lahan, ujar Dedi. Sisa lahan pembangunan akan kita buat taman terbuka hijau.

    Bagi Sutjipto, tiadanya perencanaan dalam pembangunan kampus ini sangat bermasalah. Karena pada tingkatan berikutnya, master plan dapat menjadi penjelasan atas urgensi serta keberpihakan kegiatan pembangunan yang sedang dilakukan. Kenyataannya banyak mahasiswa baik S1 maupun Pascararjana tidak pernah tahu rencana pembangunan kampus. Apakah gedung yang sedang dibangun untuk ruang belajar, atau untuk keperluan pribadi UNJ? tutur Sutjipto.

    Sutjipto menyangka, beberapa gedung

    bertingkat hanya dibangun untuk urusan bisnis birokrat kampus. Hal ini nampak pada sejumlah bangunan yang digunakan sebagai lokasi bisnis. Padahal, pada 2012 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menargetkan seluruh Perguruan Tinggi Negeri untuk menerima 45.000 mahasiswa. Ia membayangkan, dengan jumlah tersebut kondisi kampus akan sangat sesak dan mestinya disiasati dengan konsep pembangunan yang sesuai. Awal Perkuliahan tahun lalu (2012) saja, hampir tidak ada tempat untuk berjalan karena jumlah mahasiswa yang membludak diiringi jumlah kendaraaan yang juga naik, ucapnya.

    Hal ini terjadi karena sejumlah gedung baru belum jelas kapan akan selesai dan siapa yang dapat menggunakannya. Apalagi jumlah mahasiswa baru akan meningkat 5% tiap tahun. Proporsi ini sangat jauh dari kesan nyaman dalam melakukan perkuliahan.

    Buat mantan rektor yang akrab disapa Tjipto ini, bayang-bayang ketidaknyamanan yang bakal muncul bahkan setelah pembangunan selesai hadir karena selama ini kampus tidak pernah memberikan transparansi mengenai pembangunan kepada civitas academica. Padahal semestinya sudah sejak awal hal macam itu dilakukan oleh pihak kampus, karena apapun yang dilakukan kampus secara langsung akan punya pengaruh pada kehidupan mahasiswa. Bagaimana mahasiswa bisa mengabdi pada masyarakat kalau kampusnya saja tidak pernah mengabdi pada mahasiswa? pungkas Tjipto..

    Sutjipto, Guru Besar UNJ

    Foto: Istimewa

  • 26 Didaktika

    Opini Dosen

    Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar ditangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu malam (2/10/13). Ditemukan barang bukti berupa uang dalam bentuk Dolar Singapura sekitar Rp 3 miliar di rumah dinasnya, Widya Chandra Jakarta. Kasus tersebut diduga memiliki kaitan dengan perkara pemilihan kepala daerah di Kalimantan Tengah. Kenyataan itu berkebalikan dengan pernyataan Akil Mochtar sebelumnya bahwa independensi MK adalah harga mati.

    Suap terhadap perkara hukum bukan barang baru di negeri ini. Kasus itu memperpanjang pesimisme publik terhadap penegakan keadilan. Publik yang pesimis itu mengenal orang-orang yang disebut dengan makelar perkara, polisi dengan rekening gendut, jaksa amplop, hingga hakim bayaran. Publik merasa masgul ketika benteng terakhir keadilan tidak lagi bisa dipercaya; kemana lagi publik akan mencari keadilan?

    Patokan-patokan tentang penegakan keadilan tampaknya tidak lagi dapat dicocokkan dengan teori kontemporer. Selama ini, dalam teori keadilan yang dikembangkan oleh John Rawls berbunyi bahwa lembaga keadilan adalah realisasi dari nalar publik untuk penegakan keadilan. Nalar publik ini haruslah disokong oleh nilai-nilai yang menjadi pijakan bersama.

    Pada kenyataannya, rasionalitas yang menopang lembaga peradilan itu tidak bisa diserahkan saja pada mekanisme peradilan publik semata. Kasus yang terjadi pada lembaga peradilan di Indonesia sekarang ini seperti menunjukkan kepada kita bahwa mekanisme nalar publik, rasionalitas, dan partisipasi masyarakat dalam menegakkan keadilan tidak memadai sebagai kerangka pemahaman bersama. Berbanding terbalik Karena itu, Habermas dan Rawls boleh saja kecewa ketika keadilan tidak bisa diselesaikan oleh lembaga peradilan sendiri. Faktanya, tingginya realisasi ideal itu berbanding terbalik dengan kasus-kasus kejahatan yang melibatkan tokoh pemimpin lembaga peradilan.

    Negeri Si Pemimpin Rakus

    Dalam konteks politik, pemimpin yang terpilih langsung juga tidak sedikit yang terlibat kejahatan. Di antara 400 kepala daerah di Indonesia, ada sebanyak 174 kepada daerah yang telah dipilih langsung. Sejak 2004 hingga sekarang, ternyata perubahan model pemilihan itu menghasilkan 140 kepala daerah yang sekaligus berstatus sebagai koruptor.

    Kita dapat pelajaran, perbaikan model pemilihan pemimpin tidak memberikan jaminan terhadap perbaikan mental pemimpin. Dalam perubahan sistem tersebut, mental pemimpin hanya terlihat dalam keberanian untuk maju untuk dicalonkan sebagai pemimpin. Contoh, untuk bisa menjadi calon kepala daerah melalui jalur partai maupun jalur independen, seseorang harus berani mengorbankan segala waktu dan tenaga untuk memperoleh suara rakyat.

    Untuk maju menjadi calon pemimpin partai, seseorang dituntut berani mengorbankan segala hal yang dimiliki agar memperoleh suara dari para kader. Keberanian itu dapat dikatakan sebagai realisasi dari pepatah Latin, Virescit

    Ilustrasi: Istimewa

  • Edisi 43 27

    Pesan dari fakta di atas, kekayaannya meningkat berkali-kali lipat dibanding sebelumnya. Hal itu berbeda dengan usaha perdagangan dan jasa yang membutuhkan waktu yang lama untuk meningkatkan laba dan kekayaan pribadi. Jadi dalam banyak hal, jabatan pemimpin menjadi sarana mengumpulkan kekayaan sebesar-besarnya.

    Fakta, pada tahun 2012 sudah 24 kepala daerah yang telah diproses hukum karena korupsi. Kejahatan yang menjadi pembicaraan publik di antaranya adalah kasus Bupati Buol yang terlibat dalam kasus penerbitan izin usaha perkebunan dan hak huna usaha PT Citra Cakra Murdaya.

    Demikian pula mantan Wali Kota Cilegon diketahui terlibat kasus pembangunan tiang pancang dermaga. Ada kasus Bupati Seluma Murman Effendi yang menyuap 27 anggota DPRD Seluma periode 2009-2014. Wali Kota Semarang Soemarmo dinyatakan terlibat dalam kasus suap kepada anggota dewan terkait dengan pembahasan APBD Kota Semarang.

    Kasus-kasus di atas memberikan tengara tentang tak ada hubungan implikatif tentang perubahan sistem politik terhadap karakter kepemimpinan di Indonesia. Maksudnya perbaikan yang ada tidak membawa dampak terhadap perbaikan karakter kepemimpinan. Dalam bahasa ilmiah bisa dikatakan, tidak ada korelasi positif antara perbaikan sistem pemerintahan dengan perbaikan mental pemimpin lembaga peradilan.

    Sekarang bisa dijawab, itulah kenapa munculnya pemimpin lembaga peradilan dalam sistem politik, kepemerintahan, dan sosial tidak memberikan harapan terhadap perbaikan kualitas kepemimpinan pada masa yang akan datang. Kita tidak memiliki sistem untuk keluar dari krisis mental para pemimpin bangsa karena mekanisme pemilihan pemimpin dalam lingkungan eksekutif, yudikatif, dan legislatif tidak bisa mengidentifikasi pemimpin-pemimpin peradilan yang rakus dan haus kemewahan. (1/2/13)..

    Negeri Si Pemimpin Rakus

    vulnere virtus, keberanian makin besar melalui rasa sakit. Semakin banyak dia mengorbankan segala kenyamanan, maka seseorang semakin berani.

    Tetapi para pemimpin kita tidak berani menolak kemewahan yang ditawarkan oleh suatu seseorang atau kelompok. Dalam bahasa Aristoteles, keberanian melawan rasa sakit tidak setara dengan keberanian untuk menjadi sederhana. Kata Artistoles, Jika pemimpin memiliki keberanian, maka dia tidak mengambil keuntungan apapun terhadap keputusannya. (Aristoteles, 1134a-1134b). Sarana menjadi kaya Kecenderungan yang terjadi, proses demokratisasi ini justru menjadi peluang untuk mengubah nasib pribadi maupun kelompok. Bukti, pada mulanya seorang pendiri partai hidup dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Setelah menjadi ketua partai, dalam waktu tidak lama dia kemudian berhasil membeli rumah di tanah seluas 500 meter persegi di Jakarta.

    SAIFUR ROHMAN, Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia

    Ilustrasi: Istimewa

  • 28 Didaktika

    Opini Mahasiswa

    Tabir berbicara dalam bahasanya sendiri. Ia mengindikasikan selubung yang menutup, menghalangi penglihatan. Tentu apa yang dianggap penglihatan ini tidak selalu bermakna inderawi.

    Pemakaian tabir pasti dilandasi sejumlah motif. Ada hal yang disembunyikan, ada yang dilindungi supaya hal itu tidak bisa dijangkau penglihatan. Hal yang patut diamankan. Ada makna tertentu yang berada dibalik tabir. Oleh karena itu, tabir adalah sarana yang penggunaannya tergantung si pemakai.

    Terlepas bagaimana motif perlindungan ataupun pengamanan dari pemakaian tabir, raison detre nya adalah sebagai sarana. Konsekuensinya, konotasi tabir menjadi sangat lentur, tergantung bagaimana pemaknaan kontekstual yang mengalaskannya.

    Lantas, bagaimana jika tabir berkawin dengan kekuasaan dan dimaknai sebagai selubung terhadap kebenaran?

    Jawaban pertanyaan di atas pernah menjadi torehan noda sejarah Indonesia. Lekat dalam ingatan soal orde baru yang mahir membuat tabir untuk menutupi borok dari aneka rupa penyimpangan. Soeharto dan kroninya menciptakan tabir dari kebenaran tragedi 30 September dengan kanal represi militer dan hukum. Hasilnya? Ratusan ribu orang terpenjara, puluhan ribu manusia melayang. Pengorbanan bangsa ini begitu besar untuk menerima konsekuensi dari penjagaan tabir yang dibangun penguasa. Muara semua ini tidak main-main. Karena kedigdayaan tabir atas kebenaran telah bercokol selama puluhan tahun, terciptalah kebenaran semu. Ada realita yang diciptakan untuk menghasilkan kesadaran palsu (false consciousness). Ekses ini disebut Baudrillard sebagai hiperrealitas.

    ***

    Salah satu lembaga yang bekerja untuk kebenaran adalah pers.

    Melalui empat fungsinya sebagai lembaga informasi, edukasi, hiburan dan kontrol sosial, pers dengan laku jurnalistiknya berupaya keras mencari kebenaran. Tentu kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran jurnalistik yang dijalankan dengan disiplin verifikasi dan objektivitas yang saklek.

    Oleh karena tujuannya adalah kebenaran, pers selayaknya diberi kebebasan dalam menjalankan lakunya. Kebebasan ini tidak dimaknai tanpa batas. Harus ada pertanggungjawaban yangmenurut Bill Kovach dan Tom Rossentiel dalam Sembilan Elemen Jurnalismeberkiblat pada publik.

    Kebebasan menyebarkan informasi yang ada pada pers diakomodasi negara dan diakui sebagai hal yang asasi dalam pasal 28 F UUD 1945 : Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

    Kebebasan yang dipunyai pers harus dimanfaatkan untuk menyingkap tabir atas kebenaran. Potensi dari penggunaan disiplin verifikasi seharusnya membuat pers lebih bergigi dalam mengajukan pertanyaan atas setiap kejanggalan. Utamanya pada hal-hal yang bersifat publik.

    Maka ketika pers yang berupaya menyampaikan kebenaran dihalang-halangi oleh sejumlah pihak, memunculkan pertanyaan, apa tujuan? Apa hal di balik tabir yang ditutupi?

    Sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga.

    TabirIlustrasi: Istimewa

  • Edisi 43 29

    Mengapa ditutupi?

    Apalagi, moda penghalangan diperburuk dengan adanya kekerasan. Dua kata yang apabila dipadukan sangat berdampak negatif bagi sehatnya iklim kebebasan berpendapat : penghalangan dan kekerasan. Bagi para pihak yang melakukan dua tindakan ini layak disinyalir ada usaha perlindungan agar tabir kebenaran yang dirajutnya tidak tersingkap. Ada resistensi terhadap upaya pers yang ingin menengok tabir tersebut supaya bangkai yang disimpan sang perajut tidak terendus. Supaya pembenaran tetap dibenarkan.

    Supaya orasi pembenaran tetap pada panggungnya.

    ***

    Yang lebih buruk dari segala buruk adalah apabila resistensi pencarian

    kebenaran yang diupayakan pers terjadi kampus.

    Kampus semestinya menjadi percontohan iklim kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi bagi masyarakat luas. Apabila kampus sudah mengingkari adanya proses ini, maka kampus sudah menegasikan peran dasarnya sebagai lembaga formal memanusiakan manusia. Menjadi suatu paradoks ketika kampus yang notabene produsen kebenaran ilmiah, malah membuat tabir dari permasalahannya sendiri.

    Sayangnya, dalam beberapa kasus belakangan, kampus semakin melegitimasi diri menjadi contoh yang tidak baik. Beberapa represi kepada pers mahasiswa yang terjadi dimulai dari Sigli, Aceh, yang menimpa Lembaga Pers Mahasiswa Pijar, Universitas Jabal Ghafur. Rektorat secara aktif ingin membekukan Pijar karena pemberitaannya yang dianggap mencemarkan nama baik kampus. Kasus serupa

    juga menimpa rekan-rekan pers mahasiswa Epicentrum yang ditekan habis melalui penyuntingan berita pra terbit oleh rektorat IISIP Jakarta. Belum lagi kekerasan yang menimpa awak redaksi LPM Didaktika UNJ yang dibiarkan begitu saja oleh kampus seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

    Berbagai kanal represi yang dilakukan kampus, dengan mengambil contoh kasus di atas menimbulkan kecurigaan. Apa yang ada di balik tabir yang dilindungi? Mengapa suatu upaya pencarian kebenaran di sentra ilmu pengetahuan dianggap haram?

    Menjawab ragam pertanyaan, saya menganalogikan represi pers mahasiswa di kampus dengan apa yang disampaikan Albert Camus dalam novelnya berjudul Sampar. Novel ini menceritakan tentang beberapa perilaku manusia ketika penyakit Sampar mewabah di kota Oran. Salah satu yang diceritakan Camus adalah Cottard si rentenir yang merasa menikmati kondisi sosial yang terjadi akibat wabah Sampar. Kenikmatan Cottard dilatarbelakangi para polisi yang fokus membantu masyarakat Oran mengatasi wabah. Jika dalam situasi normal, Cottard merasa ketakutan karena dikejar-kejar penegak hukum mengingat profesinya saat itu meresahkan masyarakat. Akhirnya, alih-alih membantu pengobatan penderita Sampar, Cottard malah membiarkan penyakit itu terus mewabah. Cottard menolak perilaku haramnya terungkap melalui tindakan pembiaran.

    Pastinya, tidak semua orang menyepakati kesimpulan saya. Pada titik ini tesis masuk pada grey area, wilayah yang warna pemaknaannya sulit diidentifikasi. Hal ini wajar, karena kebenaran yang dicari