Majalah didaktika edisi 42

68
Jual Beli Mutu Internasional ISSN 0215-7241 Kampusiana: Korupsi Pengadaan Alat Penunjang Laboratorium Harga Rp.10.000 Edisi No.42/Th. XXVI/2012

description

 

Transcript of Majalah didaktika edisi 42

Page 1: Majalah didaktika edisi 42

Jual Beli MutuInternasional

ISSN 0215-7241

Kampusiana: Korupsi Pengadaan Alat Penunjang Laboratorium

Harga Rp.10.000

Edisi No.42/Th. XXVI/2012

Page 2: Majalah didaktika edisi 42

Ketika Kami Wisuda

Mau Sehat? Baca DIDAKTIKA!

Page 3: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

3

SURATPEMBACA

Kembali Menjadi Jurusan Sesak

Plagiarisme yang Makin Menjamur

Sesak, pastinya keadaan yang sangat kurang nyaman. Itulah yang terjadi di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia ketika pertama kali saya menginjakkan kaki

sebagai mahasiswa. Pada 2008, JBSI menambah kuota ma-hasiswa pertama kalinya menjadi tujuh kelas, dari A sampai G. Walaupun setiap kelas tidak lebih dihuni 30 orang, ini menjadi hal baru di JBSI. Dua kelas non-reguler pendidikan dan satu kelas non-pendidikan non-reguler.

Sebagai anak baru di tahun itu, saya tidak peduli men-gapa jurusan ini menambah kuota mahasiswanya. Akan tetapi, apakah mereka sudah memikirkan masalah yang akan muncul? Saya langsung dihadapkan pemandangan aneh. Bangku kelas yang entah kurang atau apa. Setiap berku-liah harus menyeka keringat karena menggotong-gotong bangku. Sejatinya saya yang masih awam dunia perkuliahan, mengharapkan kuliah itu lebih dewasa daripada bersekolah tentunya.

Masalah menggotong-gotong bangku ini tetap tidak ada solusinya. Sering diteriakkan, tetapi sering pula dijawab den-gan jawaban klise. “Tidak sembarangan menambah sendiri jumlah bangku karena pengajuannya rumit, harus ke univer-sitas dan jumlah bangku rusak dan yang masih ada harus di data dengan benar”, itulah jawaban petinggi jurusan yang selalu dilemparkan ke mahasiswa setiap ada dialog terbuka. Entah apakah pemandangan konyol menggotong-gotong bangku hanya ditemui di JBSI?

Keadaan sesak di setiap kelas, apalagi jika ada beberapa matakuliah yang digabung beberapa kelas. Mulai menjadi pe-mandangan biasa bagi saya. Suasana belajar kurang kondusif akibat mahasiswa yang begitu banyak pun sudah menjadi bagian dari dunia perkuliahan saya. Namun, berangsur keadaan membaik karena di tahun berikutnya yaitu 2009, 2010, dan 2011, pihak jurusan semakin mempersempit kuota mahasiswa setiap tahunnya. Sekilas ini menjadi jalan keluar dari masalah di JBSI ini.

Akan tetapi tidak lama, nafas sesak kembali saya terima, walaupun saya terhitung mahasiswa tingkat akhir yang hanya menyelesaikan skripsi dan tidak menggunakan ruang kelas lagi. Entah apa yang ada dipikiran para petinggi jurusan untuk kembali menambah kuota mahasiswa barunya begitu banyak. Sekitar 218 mahasiswa baru angkatan 2012 dit-ampung di jurusan ini.

Jumlah yang sama dengan mahasiswa 2012 ini pernah terjadi di tahun 2008. Kelas yang terdiri dari A sampai G ini bisa saya lihat lagi, dengan kelas non-reguler sebanyak 3 buah. Namun, pada tahun 2008 jumlah tidak sebanyak yang ada sekarang di angkatan 2012. Setiap kelas memiliki lebih dari 30 orang mahasiswa. Bayangkan kalau saja ada mata kuliah yang digabung dua kelas. Kondusif kah perkuliahan?

Perkuliahan ajaran baru memang baru saja dimulai. Saya belum tahu apa kebijakan jurusan berikutnya menanggapi masalah ini. Telah lama jurusan ini tidak menghendaki sua-sana belajar yang kondusif.

Ferry Triadi SasonoMahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia 2008

Beberapa bulan lalu ketika sedang berbincang dengan kawan lama dari salah satu jurusan di fakultas Bahasa dan Seni, saya mendapatkan sebuah info yang amat

membuat hati terenyuh. Seorang oknum dosen diduga melakukan plagiarisme terhadap karya mahasiswanya sendiri. Kronologis yang saya dengar ketika itu adalah si dosen meminta karya mahasiswa untuk diakui sebagai karyanya dan dijadikan sebagai tugas dalam perkuliahan di pasca sarjana.

Sebagai imbalannya, dosen akan memberikan nilai kepada mahasiswa itu. Pada akhirnya, mahasiswa tersebut menolak dan memilih untuk tidak lulus. Saya pikir kejadian ini hanya terjadi di jurusan tersebut saja tapi ternyata dugaan saya salah.

Hal yang sama terjadi di jurusan saya sendiri, jurusan

Page 4: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

4

Kegiatan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) dalam benak seluruh mahasiswa, khususnya mahasiswa jurusan pendidikan. Adalah sarana

pengaplikasian ilmu murni dan mengajar yang telah didapat di bangku kuliah. Akan tetapi saya kecewa dengan persiapan Jurusan Sejarah, yang sepertinya mengabaikan mahasiswanya. Terutama mahasiswa yang hendak PPL.

Saya tidak melihat keseriusan yang berarti dalam memberikan pengarahan mahasiswanya. Yang akan terjun ke lapangan untuk mengajar sesungguhnya. Dalam hal ini, Unit Pelayanan Teknis (UPT) PPL selaku yang bertanggung jawab atas kegiatan ini. Memang melakukan pembekalan. Akan tetapi pembekalan ini hanya bersifat umum saja.

Dan jurusan sebatas memberikan mata kuliah pendidikan, yang sifatnya normatif dan jauh dari kondisi sesungguhnya. Hal ini saya rasakan betul.

Saya kini sedang menjalani kegiatan PPL. Hal-hal substansial dalam mengajar. Tidak pernah diberikan, dan ketika terjun ke lapangan. Sudah barang tentu, datang ke sekolah hanya sebagai rutinitas.

Dalam prakteknya di lapangan. PPL sering hanya dipahami sebagai guru pengganti, dan sebagai guru piket. Dan ketika mengajar, mahasiswa PPL merasa diacuhkan. Hal ini tentu berakibat pada siswa.

Sudah semestinya, hal-hal seperti ini ditangani oleh pihak jurusan. Pembekalan jurusan sanagatlah penting. Karena jurusanlah yang paling detil mengetahui kebutuhan mahasiswanya. Jika hanya mengandalkan apa yang UPT PPL berikan. Berarti jurusan tidak menjalankan tugasnya dengan baik.

Ke depan, kiranya pembekalan PPL perlu dilakukan lebih serius. Dan tidak sebatas pada pembekalan materi. Karena hal itu justru semakin menjauhkan mahasiswa pada hal yang bersifat substansial dan kontekstual. Saya harap, tidak akan ada lagi yang seperti ini. Karena sedikit saja guru keliru, tidak hanya membunuh harapan siswa. Juga bangsa dan negaranya.

Yusuf BudiMahasiswa Jurusan

Sejarah

Cover: Abdurrohman Wahid

SURATPEMBACAPPL yang Apa

Adanya Pendidikan Luar Sekolah, UNJ. Layaknya mahasiswa tingkat akhir, saya dan semua mahasiswa yang sudah melaksanakan penelitian akhir (skripsi) diwajibkan untuk menulis jurnal yang akan diterbitkan oleh jurusan. Ketika saya dan teman-teman meminta hasil jurnal yang sebelumnya sebagai bahan referensi, betapa terkejutnya kami ketika melihat jurnal tersebut yang menunjukkan adanya praktek plagiarisme atau pencurian karya intelektual.

Jurnal tersebut memuat tulisan-tulisan yang sebenarnya dibuat oleh mahasiswa namun dalam terbitannya tidak ada pencantuman nama mahasiswa yang bersangkutan sedikit pun. Justru nama yang tertera di situ adalah nama dosen (dalam hal ini dosen pembimbing). Awalnya saya pikir ini merupakan aturan penulisan dan dosen pembimbing berhak mencantumkan namanya di situ. Tapi setelah saya telisik ternyata tidak ada aturan seperti itu. Jika dosen pembimbing ingin mencantumkan namanya, tetap saja harus ada nama mahasiswa yang bersangkutan sebab jurnal itu memang karya orisinal mahasiswa, terlepas apakah isi jurnal bermutu atau tidak.

Saya dan kawan-kawan memang belum mengklarifikasi hal ini pada jurusan tetapi saya sudah mengklarifikasinya pada salah satu mahasiswa yang tulisannya dicatut. Kenyataan yang saya dapatkan ternyata benar bahwa ia sama sekali tidak mengetahui perihal kasus seperti ini. Dia mengaku bahwa waktu itu ia hanya diminta mengumpulkan jurnal dalam bentuk softcopy kepada jurusan sebagai tugas akhir sebelum kelulusan.

Saya dan kawan-kawan sangat berharap permasalahan seperti ini dapat diselesaikan dengan baik dan tidak terulang di masa mendatang. Pihak-pihak yang berwenang harus tegas sebab jika dibiarkan ini tentu akan semakin menurunkan kualitas akademik Universitas Negeri Jakarta. Salam.

Mahasiswa Tingkat AkhirJurusan Pendidikan Luar Sekolah

Page 5: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

5

Pelindung: Pembantu Rektor III UNJPembimbing: Jimmy Ph. Paat, DEA, DEA

Pemimpin Umum: Anggar SeptiadiSekretaris Umum: Satriono Priyo Utomo

Bendahara Umum: Indah Hidayatie

Pemimpin Redaksi: Citra NurainiSekretaris Redaksi: Ferika Lukmana Sari

Sirkulasi dan Pemasaran: Kurnia Yunita Rahayu, Indra Gunawan

Staf Redaksi: Anggar Septiadi, Satriono Priyo Utomo, Indah Hidayatie, Kurnia Yunita Rahayu, Indra Gunawan, Muh. Idris, Sari Wijaya, Yogo Harsaid, Virdika Rizky, Daniel Fajar, Binar Murgati. Editor: Anggar Septiadi, Citra

Nuraini. Tata Letak: Satriono Priyo Utomo. Ilustrasi: Anggar Septiadi. Cover: Abdurrohman Wahid Email: [email protected] Website: didaktikaunj.com Telepon: 021-47865543

Alamat Redaksi: Gedung G, lt III, Ruang 304. Komplek Universitas Negeri Jakarta. Jl Rawamangun Muka No. 1, Jakarta Timur 13220

ISSN: 0215-7241

Diterbitkan oleh: Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika Universitas Negeri Jakarta

Redaksi menerima artikel maksimal lima halaman folio spasi ganda atau 10.000 karakter. Redaksi berhak mengedit artikel tanpa merubah makna dan isi. Artikel yang dimuat akan mendapat imbalan yang layak dari redaksi.

REDAKSI

Bogor, Pelantikan Didaktikawan 2012, Minggu (29/7)

Salam Perjuangan!

Maaf. Maaf karena keterlambatan kami menghadirkan informasi kepada para pembaca yang masih setia menanti kehadiran majalah

Didaktika. Kami tak mau beralasan. Telat ya telat. Maaf karena dengan lamanya terbit pun kami tak mampu menjamin kesempurnaan. Karena kami bukan mencari kesempurnaan. Namun, kami hanya berupaya terus-menerus tumbuh bersama pembaca dalam dialektika.

Terima kasih kepada teman-teman yang selalu mengingatkan agar kami segera terbit. Merawat semangat dan memeras keringat, itu yang tengah kami jaga.

Sepanjang masa pengerjaan majalah ini, ada beberapa isu yang telah diangkat di produk kami lainnya. Untuk mengingatkan dan mencegah lupa, kami me-review lagi beberapa isu yang penting di rubrik lintas. Walau cuma dibahas selintas, tapi isu-isu ini patut jadi perhatian kita bersama. Sebetulnya ada banyak persoalan dunia pendidikan yang perlu disorot. Sayangnya, hanya beberapa yang dapat kami sajikan mendalam. Salah satunya kebijakan Dirjen Dikti yang mewajibkan seluruh PTN di Indonesia bersertifikat ISO pada 2014.

Kebijakan Dikti ini dilatarbelakangi masuknya Indonesia pada era liberalisasi pendidikan. Agar tetap dapat eksis dalam zaman liberalisasi pendidikan, perguruan tinggi mesti dapat

memberikan jaminan kualitas. Jaminan kualitas ini disahkan dengan adanya sertifikat ISO.

Lebih jauh, sertifikat ISO ini dinilai sebagai langkah awal memasuki word class university. Kelas internasional penting untuk memenangkan pertarungan dengan PTA. Bukan tidak mungkin PTA akan bertebaran di Indonesia karena sudah dilegalkan dalam UU PT.

Mengikuti kebijakan Dikti, Rektor UNJ Bedjo Sudjanto pun menerapkan Progam sertifikasi ISO di UNJ. Progam ini merangsek di kampus eks IKIP sejak 2009. Rector menargetkan tahun 2017, UNJ menuju universitas bertaraf internasional. Perjalanan ISO di kampus kami angkat dalam laporan utama Majalah Didaktika edisi 42 ini.

Selanjutnya dalam rubrik laporan khusus, kami beralih menyoroti minimnya kujungan perpustakaan. Terlihat sederhana, tapi sebenarnya ada masalah silang sengkarut di dalamnya. Minimnya kunjungan ke perpustakaan merupakan dampak dari beberapa faktor yang tidak diselesaikan dengan baik. Urusan managemen, keberadaan pustakawan, suplai buku, progam jemput bola, konsep perpustakaan yang kaku.

Di seni budaya, kami mengajak pembaca untuk memperhatikan lukisan di bak truk. Ekspresi sang supir di truknya menjadikan jalanan sebagai etalase. lukisan bak truk merupakan seni urban yang merepersentasikan masyarakat tiap zaman. Kehadiran lukisan ini sangat dipengaruhi dinamisasi antara si supir dan si penjual jasa melukis.

Dalam kampusiana, kami menyelidiki kasus korupsi pejabat UNJ yang dikait-kaitkan dengan Nazarudin beberapa waktu. Dalam kasus korupsi ini, pembantu rektor III Fakhruddin Arbah dan Tri Mulyono dosen dari Fakultas Teknik telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Tapi dibalik itu ternyata ada peran rektor UNJ Bedjo Sujanto.

Sila baca hingga tuntas tulisan yang kami sajikan. Ibarat sebuah makanan, kami telah memberikan hidangan utamanya. Untuk hidangan penutup, mari kita berdialektika bersama. Selamat membaca, selamat berdialektika.

Page 6: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

6

a

DIDAKTIKA

6

DAFTAR ISI

GambarLaput

Laporan Utama

3 Surat Pembaca5 Redaksi7 Beranda

8 Lintas10 Tamu KitaGunawan Wiradi

Kampusiana24 Sepi-Sepi di

OrganisasiStudent Back to Class, kiranya

begitulah istilah yang laik menceritakan kondisi

kemahasiswaan kekinian. Tidak ada pengembangan potensi

soft skill, tidak ada pengabdian masyarakat. Kembali ke kelas, seperti itulah praktek represi

akademik.

26 Jejaring Korupsi Nazaruddin Hinggap di

UNJMesti ada aktor utama. Tuduhan ini mengarah kepada si empunya

kekuasaan tertinggi dalam lingkaran kampus.

29 Semua Mau Cari Aman

Ketika sudah menjadi kasus, semua pihak saling lempar

tanggung jawab

32 Opini Dosen

34 Opini Mahasiswa

36 SuplemenLaporan Khusus

44 Siapa Mau ke Perpustakaan?

Bila koleksinya terbatas, fasilitas minim, lantas siapa yang mau ke

perpustakaan?.47 Bermimpi

Perpustakaan RamaiKetiadaan koleksi yang

terbarukan ditambah minimnya pustakawan membuat

perpustakaan jarang dilirik.50 Agar Tak Jadi Gudang

BukuPerpustakaan mesti menjadi subjek, agar masyarakat rajin

membaca.52 Opini Khusus55 Seni Budaya

60 Karya62 Buku

64 Ruang Sastra66 Kontemplasi

12 Pemberi Mutu dari Genewa

Gagasan awal, ISO yang ber-pusat di Genewa, Swiss bertu-juan untuk memerangi Perang Dunia. Kini menjadi alat ukur

mutu, suatu produk.16 Icip-Icip Mutu Inter-

nasionalHadirnya ISO di dunia pendidi-kan mempertegas, telah terjadi

liberalisasi pendidikan.19 Berharap Mutu dari

Selembar SertifikatBermasalah dengan mutu?

Menghadirkan lembaga pengu-kur mutu, tidaklah mengatasi

masalah.22 Wawancara Khusus

Sjafnier Ronisef

Page 7: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

7

BerandaDID

AKTIKA

Edisi 42

2012

ISO (International Organization for Standarization) lahir pada tahun 1947 atas kesepakatan 25 negara yang berkumpul di Inggris. Mereka punya semangat untuk membuat standar internasional atas prosedur pekerjaan industri. Pasalnya, semasa Perang Dunia Kedua

berlangsung, banyak terjadi ledakan di pabrik perakitan bom di Inggris. Maka, untuk menanggulanginya dibuatlah standar prosedur kerja yang harus dilaksanakan serta didokumentasikan oleh awak pabrik.

Berkat standar kerja yang dipatuhi oleh industri senjata, Blok Barat resmi memenangkan Perang Dunia Kedua. Tak pelak, munculnya standar kerja dimaknai sebagai titik tolak perubahan serta penjaminan mutu produk industri. Makanya, standar ini kemudian disepakati dan diberlakukan di seluruh dunia, lewat pendirian organisasi internasional yang menaunginya.

ISO tampil prima dengan beragam standar internasional yang diterbitkannya. Kesuksesan besar yang diraih pada masa Perang Dunia membuat banyak sektor tergiur buat menyicipinya. Pasalnya, selain mampu menjamin mutu, eksistensi ISO pada sebuah organisasi juga menjadi nilai jual. Untuk bersaing di era liberalisasi ekonomi.

Pasca reformasi, dunia pendidikan Indonesia turut menerapkan liberalisme sebagai ideologinya. Logika pasar bebas tidak mampu dielak untuk menjadi paradigma kegiatannya. Status otonomi yang dimiliki institusi pendidikan, membuatnya mesti melakukan beragam upaya untuk membiayai operasional kegiatannya. Makanya, institusi pendidikan pun harus punya lulus kualifikasi standar internasional ISO. Untuk melabeli diri, di tengah persaingan di kancah internasional.

Atas nama penjaminan mutu, pemerintah menjadikan ISO sebagai prasyarat Sekolah Standar Nasional untuk menuju Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional dan Sekolah Bertaraf Internasional. Begitu pula untuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Dirjen Dikti mewajibkan, pada 2014, seluruh PTN harus sudah memiliki sertifikat ISO.

Sertifikat berskala internasional ini mau tidak mau memang harus dimiliki perguruan tinggi. Pasalnya, Undang-undang Perguruan Tinggi yang baru saja disahkan tahun 2012, membuka akses bagi universitas luar negeri membuka cabangnya disini. Dirjen Dikti sendiri memaknai kebebasan ini sebagai perkara sah dalam dunia internasional. Makanya, untuk mampu unjuk gigi, PTN pun harus punya label internasional.

Permasalahan muncul ketika untuk menyertifikasi diri menggunakan ISO, institusi pendidikan harus merogoh kocek dalam-dalam. Lebih dari Rp 50 juta harus dikeluarkan demi membeli sertifikatnya. Kemudian, perbaikan mutu yang dijanjikan, dilaksanakan melalui prosedur administratif. Padahal dalam dunia pendidikan, yang dibina adalah manusia, makhluk ekstra dinamis yang mutunya tidak mampu diukur lewat selembar kertas.

Belum lagi, menurut Guru Besar UNJ Prof Conny Semiawan, kemunculan standarisasi pendidikan ini tidak lepas dari filsafat pendidikan yang dianut setiap negara. Standar yang mulai ikut diterapkan di Indonesia ini, kiranya berasal dari Amerika Serikat yang menganut mazhab pragmatisme. Menurutnya, mazhab ini sudah mulai digugat di negara asalnya karena dinilai menihilkan esensi pendidikan. Tapi Indonesia malah mulai menerapkannya.

Tahun 2009, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) memulai program ISO. Senada dengan kerangka awal pemerintah, program ini diharapkan mampu menjamin mutu kampus. Terlebih, masalah matinya kultur akademik, minim prestasi mahasiswa, serta sarana dan prasarana kampus yang tidak memadai masih membebani.

Alih-alih menjamin mutu, kehadiran ISO malah memunculkan masalah baru bagi UNJ yang tidak punya cukup uang untuk membiayai seluruh unitnya mengikuti sertifikasi internasional. Sertifikasi dilaksanakan dengan prinsip asal, yang penting ISO. Ini disebabkan oleh kampus yang memang tidak punya gambaran besar bagaimana pelaksanaannya. Hanya sekedar menindaklanjuti kebijakan Dikti.

Dibenarkan oleh Rektor UNJ Bedjo Sujanto, ISO dimaknai sebagai salah satu tahap menuju status bertaraf internasional. Dirinya menargetkan, 2017 UNJ sudah menjadi universitas bertaraf internasional. Tetapi, ia pun tidak berani menjamin bagaimana pengelolaan mutu universitas setelah standarisasi internasional yang temporer itu berakhir masanya.

Selain itu, UNJ juga mau curi-curi kesempatan dengan menyandang status internasional lewat selembar sertifikat. Pasalnya, status Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU) mewajibkan UNJ membiayai sendiri kegiatan operasionalnya. Makanya, kampus ini butuh label untuk menarik perhatian mahasiswa baru yang jadi sumber eksploitasi uang, serta korporasi-korporasi besar untuk menghibahkan uang atau merelakan diri menjadi pasar tempat lulusan disebar nantinya.

Sing Penting ISO

Page 8: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

8

LINTAS

Setelah tahun 2011 mahasiswa baru

(Maba) berhadapan dengan kenaikan biaya kuliah, kini maba berhadapan dengan sistem pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT). Dengan sistem UKT format pem-bayaran biaya kuliah yang biasanya mahal di semester pertama kuliah, kini tetap sama jumlahnya ditiap semester berikutnya. Hasil itu didapat dari penjumlahan semua komponen-komponen pembiayaan kuliah se-lama delapan semester. Komponen pembiay-aan didalam UKT ini meliputi SPP, DPPS, DPSP, biaya prakti-kum, KKL, wisuda, dan berbagai biaya lainnya yang bakal

dibebankan kepada mahasiswa. Kemudian, jumlahnya dibagi dela-pan semester karena target mahasiswa lulus hanya delapan semester.

UKT ini ditengarai sebagai ancaman ke-pada mahasiswa untuk lulus cepat. Zainal Rafli pun mengakui hal tersebut, “UKT memang memacu ma-hasiswa untuk fokus akademik dan lulus cepat,” jelasnya kepada Didaktika saat ditemui seusai peresmian pele-takan batu pertama Gedung IDB I dan II.

Kebijakan ini merupakan bagian dari kebijakan Kementerian Pendidikan dan Ke-budayaan (kemendik-bud). Kemendikbud melalui Surat Edaran

(SE) Dirjen Dikti No. 488/E/T/2012 tang-gal 21 Maret 2012. Menurut Pembantu Rektor I Bidang Aka-demik Zainal Rafli, ala-san pemberlakuannya sendiri dilandasi oleh pungutan yang sering dilakukan oleh banyak PTN. Makanya dir-espon oleh pemerintah dengan format UKT. “Ini respon Mendik-bud/Dikti atas aduan masyarakat menge-nai maraknya PTN mengambil pungutan besar dari mahasiswa,” paparnya. UNJ sendiri merespon UKT ini dengan Keputusan Rektor UNJ Nomor 374/SP/2012 tanggal 8 Juni 2012. Ketika diterapkan tahun ini, belum ada perincian anggaran yang jelas.

Format Baru, Pembayaran Biaya Kuliah

Petani Sedunia Berkumpul di Sumatera Barat

Agenda Pembinaan Pasca MPA Masa Pengenalan

Akademik (MPA) 2012 ini berbeda dari biasanya. MPA yang biasanya

hanya berlangsung empat hari, kini, dilaksanakan dengan durasi lebih lama dari tahun sebelumnya. Setelah penutupan, ada rangkaian agenda pembinaan pasca MPA yang dirancang sebanyak sepuluh kali pertemuan, dilaksanakan tiap akhir minggu. “Karena empat hari MPA tidak cukup untuk memperkenalkan kampus,” terang Pembantu Rektor III Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Fakhrudin Arbah.

Konsep agenda pembinaan memprioritaskan hal-hal yang sifatnya akademik.

Tujuannya agar mahasiswa dapat terintegrasi dengan lingkungan kampus dalam hal akademik. “Agenda pembinaan ini sebagai pembentukan

Organisasi serikat petani internasional, La Via Campesina, mengadakan rang-kaian acara Workshop dan Seminar

Internasional pada 9 - 14 Juli 2012 di Bukittinggi, Sumatra Barat. Kegiatan ini mengangkat tema ‘Pembaharuan Agraria, Mempertahankan Tanah dan Kawasan di Abad 21: Peluang dan Tantan-gan ke Depan’. Peserta yang hadir sebanyak 170 organisasi petani di 70 negara. Semuanya akan memaparkan fenomena global terkait lahan yang terjadi di seluruh belahan dunia, terutama di negara miskin dan berkembang.

Di pelbagai belahan dunia tidak asing dengan fenomena pengambil alihan kepemilikan lahan, sewa pemakaian lahan, ijin konsensi lahan per-tanian. Perampasan lahan ini didalangi oleh elite lokal dan nasional dalam hal ini pembuat kebi-jakan. Juga investor transnasional yang bekerjasa-ma dengan pemerintah dalam merampas tanah

Foto

Bin

ar M

.P.

Page 9: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

9

Petani Sedunia Berkumpul di Sumatera Barat

Judicial Review RSBIkarakter diri,” ujar Dedi Purwana, Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi (FE) ketika ditemui di ruangannya. Dia menambahkan, di dalamnya disisipkan kegiatan asah mental yang diinternalisasikan ke dalam dimensi akademik.

Kemunculan agenda pembinaan ini diindikasi kuat karena UNJ tidak memiliki prestasi yang membanggakan dalam beberapa tahun belakangan. Terutama dalam ranah kejuaraan karya tulis. Oleh sebab itu, salah satu poin yang diprioritaskan dalam agenda pembinaan adalah menciptakan mahasiswa yang mahir dalam membuat karya tulis. “Kemarin ada 300 judul karya tulis yang masuk untuk mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa- Gagasan Tertulis (PKM-GT),” terang Fakhrudin. “Namun tidak ada satu pun yang lolos.”

rakyat, yang sering mengatasnamakan konservasi. Syahdan, tujuan dari peram-pasan lahan global (Land Grabbing) ini adalah mengontrol sumber daya paling berharga di dunia.

Maraknya proses distribusi dan akumulasi modal transnasional terhadap perusahaan-perusahaan besar. Mengaki-batkan komodifikasi alam secara masif dan bersamaan. Arus besar kapital pada industri ekstraktif, agrofuel, kehutanan, perkebunan, pariwisata, dan pembangu-nan infrastruktur raksasa. Tidak pernah sekalipun membawa kesejahteraan rakyat.

Oleh karena itu, rangkaian acara ini ditutup dengan pembacaan deklarasi. Deklarasi dibacakan di Bung Hatta Con-vention Center, hari Sabtu. Mendeklara-

sikan tuntutan yang berisi pelaksanaan reforma agraria dan kewajiban pemer-intah untuk memenuhi hak-hak petani. “Reforma agraria adalah bagian dari proses kemerdekaan,” teriak Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih dalam sambutannya.

Guna membuka pembacaan deklar-asi yang dihadiri Staf Ahli Presiden Bi-dang Kemiskinan H.S. Dillon, Pengajar UGM DR. Revrisond Baswir, Profesor IPB Gunawan Wirahadi, puluhan tokoh petani dunia, ratusan masyarakat petani Indonesia, dan pejabat BPN diwakili BPN Sumbar. Di mana deklarasi terse-but dibacakan oleh Pemimpin La Via Campesina yang berasal dari Mozambik, Reinaldo Chingore.

Di mana dalam salah satu poin deklarasi tersebut berisi, perlunya mem-bangun kedaulatan dengan cara mem-berikan alat produksi kepada petani bu-kan pada para pengusaha. “Rakyat harus

mempunyai akses atas alat-alat produksi. Itulah bagian dari proses kemerdekaan, dan pemerintah sampai hari ini belum melakukan itu,” Papar Revrisond Baswir dalam pidatonya.

Sampai hari ini pemerintah baru sekedar berwacana untuk melaksanakan proses land reform. Rakyat masih menunggu janji pemerintah membagi-kan lahan kepada petani. “ Kita masih dalam tahap pembahasan, segera mung-kin akan dilaksanakan,” kata H.S. Dillon yang mewakili suara pemerintah dalam menjawab permasalahan pelaksanaan land reform di Indonesia. Yang sampai hari ini sering terjadi, “Ketika Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan yang memakai tanah rakyat ini habis. Bukan malah dikembalikan kepada rakyat, malah diperpanjang.” Ungkap Pengajar Universitas Sriwijaya J.J. Polong kepada Didaktika meceritakan hambatan terlak-sananya land reform di Indonesia.

Koalisi Masyarakat Anti Komer-sialisasi Pendidikan (KMAKP) mengajukan judicial review

UU Sisdiknas tentang RSBI/SBI ke Mahkamah Konstitusi. Sidang pleno telah digelar sebnyak tujuh kali. Pleno mendengarkan pembacaan argumen dari masing-masing saksi ahli yang mewakili KMAKP sebagai pemohon, serta dari pihak termohon, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kini ting-gal menunggu hasil keputusan Mahka-mah Konstitusi.

Pengamat pendidikan yang ter-gabung dalam KMAKP, Lody F. Paat mengatakan RSBI menciptakan jurang kastanisasi dan mengarah pada liberalisa-si pendidikan. Hal itu dibuktikan dengan

standar biaya yang mahal, digunakannya bahasa asing sebagai bahasa pengantar dan pengkhususan RSBI untuk siswa dengan kemampuan akademik di atas rata-rata. Hal ini didukung Darman-ingtyas. “Kalau argumen pemerintah un-tuk memisahkan siswa-siswa unggul agar lebih berprestasi, ini malah menegaskan pendidikan sebagai alat diskriminasi sosial. Seharusnya semuanya disatukan agar terjalin integrasi sosial,” tandasnya. Selain itu, pemakaian bahasa asing seb-agai pengantar dalam dunia pendidikan dikhawatirkan merusak bahasa Indo-nesia. “Pemakaian bahasa asing sangat bertentangan dengan UUD dan UU kebahasaan,” ungkap Abdul Chaer yang datang sebagai saksi ahli KMAKP.

Foto

Rep

ro

Foto

Sat

riono

Priy

o U

tom

o

Page 10: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

10

tamukita Gunawan Wiradi

Dengan kulit keriput dan tubuhnya kurus, dia tetap lantang mengarungi barisan

petak tanah di Kecamatan Palupuh, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Raut wajah sumringah, dengan senyu-man yang melengkung tajam diberi-kannya saat sepasang bola matanya melihat ribuan tangkai padi menguning. “Tanahnya subur. Sudah jelas, inilah alasan kenapa Tan Malaka membe-rontak,” cetusnya sambil mengepakan tangan menggerayangi tangkai padi yang berada di sisi kanannya.

Lelaki itu adalah Gunawan Wiradi. Didaktika menemuinya saat berlang-sung acara workshop dan seminar internasional di Bukittinggi, Sumatra Barat. Rangkaian kegiatan yang diga-gas oleh organisasi petani internasional, La Via Campesina, ini berlangsung dari tanggal 9 Juli sampai 14 Juli dengan tema ‘Pembaharuan Agraria, Memper-tahankan Tanah dan Kawasan di Abad 21: Peluang dan Tantangan ke Depan’.

“Seharusnya pemerintah mem-perlakukan petani sebagai tuannya negara,” kata lelaki tiga zaman ini menanggapi maraknya kekerasan yang dilakukan pemerintah terhadap petani dewasa ini. Pada kesempatan ini, bekas mahasiswa Fakultas Pertanian Univer-sitas Indonesia (UI) yang waktu itu ma-sih berlokasi di Bogor (sekarang IPB), menjelaskan bahwa memperjuangkan nasib petani guna kesejahteraan rakyat tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan.

Di Indonesia – bahkan global – marak terlihat fenomena pengam-bilalihan kepemilikan lahan, sewa pemakaian lahan, ijin konsensi lahan pertanian oleh korporasi besar nasional dan transnasional. “Sejarah terulang kembali, kolonialisme dan imperialisme masih hadir secara nyata dengan wajah barunya di abad 21 ini,” ujar Dosen IPB Fakultas Peternakan kelahiran tahun 1932, saat menjadi pembicara dalam acara tersebut. Ia menilai,

tantangan petani sekarang lebih sulit. Fenomena yang terjadi kekinian, sesungguh-nya merupakan land grabbing atau perampasan lahan-lahan rakyat. Tidak hanya dalam skala nasional, melainkan global.

Komodifikasi alam berjalan bersamaan dengan maraknya modal finansial korporasi nasonal dan trans-nasional telah mengalirkan arus besar kapital pada industri ekstraktif, agrofuel, kehutanan, perkebunan, pari-wisata, dan pembangunan infrastruktur raksasa. Aliran modal ini menghasilkan gagasan “ekonomi hijau” dan “eko-nomi biru”, yang berarti komodifikasi alam dan siklus kehidupannya. Investa-si berakibat pada perampasan wilayah masyarakat adat, petani, dan nelayan. “Negara beserta elit-elit memainkan peran pada proses perampasan ini atas nama keuntungan pribadi, dan mereka juga bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan transnasional,” jelas Dosen IPB Fakultas Peternakan kelahiran tahun 1932.

Menurut Gunawan Wiradi, perselingkuhan antara kapital dengan negara dalam sektor agraria, yang mengakibatkan kesejahteraan rakyat urung tercipta bukan baru-baru ini terjadi. Dalam dekade tahun 1970-an, saat dirinya masih terlibat dalan proyek Survei Agro Ekonomi (SAE), dia menemukan temuan-temuan yang mengejutkan dalam Revolusi Hijau. Kebijakan yang dicetus pada masa Soe-harto ini, rupanya banyak cacatnya bagi para petani. “Dampak yang terjadi di wilayah pedesaan sejak dekade 1970-an adalah meluasnya ketimpangan,” pung-kas penerima gelar Honoris Causa dari almamaternya, IPB tahun 2009. Pada masa Orede Baru, pemerintah melaku-kan monopoli pupuk. Dampak dari ini semua, banyak petani yang berhutang guna membeli pupuk. Selain itu, pupuk

yang digunakan pun mengand-

ung bahan kimia berbahaya.

Hasil temuan-nya dalam proyek

SAE membawa lelaki yang berasal dari kelu-arga Kasunanan Surakarta ini

dikenal kalan-gan luas. Argumennya soal pertanian dianggap cukup keras pada masa itu, terutama dalam tulisan. Dia pun tidak takut berbicara lantang di seminar-seminar, padahal situasinya politik ti-dak menghendaki masyarakat bersikap kritis terhadap pemerintah.

Melihat perkembangan pertanian, bekas Ketua Senat Fakultas Pertanian UI di Bogor (1957-1958) ini semakin yakin, bahwa pembaharuan agraria adalah unsur utama yang dapat mem-bawa kemajuan Indonesia. Distribusi lahan melalui pembaharuan agraria, yang mandek hingga hari ini, meru-pakan kuncinya. “Karena itu Indonesia memerlukan reforma agraria sebagai prasyarat terjadinya transformasi strukutral. Guna mewujudkan cita-cita Pancasila,” tegas lelaki yang pernah menjadi pimpinan seksi Panitia Persia-pan Nasional Konferensi Mahasiswa Asia-Afrika pada masa Soekarno.

Memasuki usia senja, semangat Gunawan tidak meredup. Di usianya yang telah 80 tahun, dia masih aktif mengkampanyekan isu perampasan lahan dan pentingnya Reforma Agraria. Kondisi fisik tidak membuatnya berhenti memberikan penyuluhan langsung kepada petani dalam masalah pengolahan lahan pertanian. “Tidak berlebihan jika saya sebut Reforma Agraria sebagai landasan bagi perada-ban baru dunia yang adil dan manusia,” kata penulis buku berjudul, Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Satriono Priyo Utomo

Reforma AgrariaSampai Usia Senja

Page 11: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

11

ISOMENGATASI MASALAHDENGAN MASALAH

LAPORAN UTAMAMajalah Didaktika Edisi 42

Page 12: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

12

LAPORAN UTAMAISO: Mengatasi masalah dengan masalah

Senjata yang mutakhir dan efektif memang jadi satu faktor kenapa Blok Barat (Amerika, Inggris, dan

Perancis) memenangi Perang Dunia Kedua. Namun, siapa sangka sebelum Blok Barat menang justru senjata mereka sering memakan tuannya? Semasa Perang Dunia Kedua, khususnya di Inggris, banyak sekali ledakan saat perakitan bom di pabrik-pabrik mesiu.

Saking banyaknya kecelakaan, Pemerintah Inggris curiga bahwa prosedur perakitan senjata itu tidak berjalan semestinya. Untuk tindakan pencegahan, terbit standar manajemen BS 5750 yang jadi standar operasional bagi industri untuk menjalankan pabrik dengan utuh. Caranya dengan mendokumentasikan semua prosedur kerja, agar mutu produk dapat terkendali. Hasilnya memuaskan, Blok Barat memenangi perang.

Senang dengan standar yang dibuat, pada 1946 pemerintah Inggris mengundang 25 negara untuk bertemu di Institut Teknologi London untuk menyosialisasikan standar manajemen BS 5750. Inggris meyakinkan negara lain bahwa standar yang dibuatnya punya banyak faedah supaya industri

PemberiMutu dariGenewa

mampu mengontrol mutu produknya. Kemudian pertemuan tersebut menghasil International Organization for Standardization (ISO) yang resmi berdiri Februari 1947.

Dengan bukti dapat mengendalikan mutu senjata yang mampu memenangi Perang Dunia, ISO ingin berperan sebagai organisasi pemberi restu bermutu secara internasional. Ia kemudian menjelma sebagai mantri bagi perusahaan yang ingin sehat mutunya. “Banyak pihak yang tidak percaya terhadap mutu produk bila tidak punya standar dari ISO,” ujar Syafral, Auditor ISO Lembaga Pemerintahan Non Departemen Badan Pengawasan Keuangan Pemerintah

(LPND/BPKP).Hingga kini organisasi yang

punya kantor pusat di Genewa, Swiss ini sudah memiliki 164 negara anggota termasuk Indonesia. Urusan penjaminan mutu juga tidak hanya sebatas manajemen perusahaan melainkan pemusnahan limbah pabrik, manajemen resiko, tanggung jawab sosial dan lingkungan, serta kepuasan layanan bagi pelanggan. Ditambah keharusan dalam menaati prosedur yang berlaku.

Makanya, ISO punya beragam fokus standar mutu yang dikode seperti ISO 9000 untuk menajemen mutu, ISO 26000 untuk tanggung jawab sosial (lebih jelas lihat tabel). ISO 9000 jadi

Para Pendiri Lembaga ISO International Organization for Standardization (ISO), resmi berdiri pada Februari 1947.

Foto

Rep

roAwalnya bertujuan untuk memenangi Perang Dunia, kini merembes ke dunia pendidikan.

Page 13: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

13

yang paling banyak digunakan karena sifatnya yang fundamental mengenai kesehatan dalam manajemen dengan tujuan menciptakan produk yang laku di pasaran karena berprioritas pada kepuasan konsumen.

ISO 9001 menyediakan satu set prosedur yang mencakup semua proses krusial dalam bisnis. Seperti pengawasan dalam proses pembuatan produk, penyimpanan data dan arsip penting, serta pemeriksaan barang-barang hasil produksi untuk mencari unit-unit yang rusak. Kemudian dilanjut dengan melakukan tindak perbaikan secara efektif.

Ihwal produk yang laku di pasaran, makanya pada 1970-an perusahaan negeri di Indonesia mulai meminta restu bermutu dari ISO. Penyebabnya, saat itu banyak perusahaan asing

yang hadir di Indonesia, “standarisasi (internasional) ini mampu membantu perusahaan lokal bersaing dalam dunia perdagangan internasional,” papar Syafral.

Di Indonesia, kemudian ISO mulai merangsek ke semua sektor. Niatnya tak jauh-jauh dari upaya internasionalisasi dan persaingan ekonomi. Belakangan sektor pendidikan kesengsem oleh sertifikat internasional dari ISO. Hal ini dilakukan karena sektor pendidikan bisa jadi barang dagang yang potensial.

Greget mengenai mutu di dunia pendidikan dimulai saat keluar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005. Dalam peraturan tersebut muncul rumusan Standar Nasional Pendidikan (SNP), yang kemudian mengeluarkan kebijakan agar tiap institusi pendidikan harus menyelenggarakan kegiatan penjaminan mutu. Demi memberikan pelayanan terbaik kepada konsumen.

Lebih serius, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas)-sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)-banyak menyisipi perihal mutu pendidikan dalam Rencana Strategis (Renstra) Nasional 2010-2014. Renstra tersebut berfokus soal penjaminan mutu berdasarkan optimalisasi pelayanan. Produk strategisnya berupa Sekolah Standar Nasional.

Kemudian ISO mulai diundang guna memantapkan penjaminan mutu. Kemdikbud mewajibkan Sekolah Standar Nasional memiliki Sertifikat ISO guna melangkah menjadi Rintisan Sekolah bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). “Sekarang ini (ISO-red) dijadikan nilai jual,” jelas Syafral.

Di tingkat universitas, pada 2009 terbit pula kebijakan Kemdikbud melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) untuk mewajibkan seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memiliki sertifikat ISO.

Penjaminan mutu melalui ISO dirasa cocok atas konfigurasi liberalisasi pendidikan, yang diusung Indonesia

setelah reformasi. Di universitas Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU-BHP) dengan maksud memberi otonomi penuh bagi universitas jadi garis awal.

Berteguh atas semangat kemandirian kampus dalam ranah pendanaan, penolakan RUU-BHP pada Desember 2008 di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengendur semangat. Setelahnya muncul kebijakan-kebijakan substitusi seperti Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU) yang malah lebih jujur mempersiapkan universitas menjadi industri pengharap laba.

Konsep liberalisasi pendidikan menjadi sempurna ketika Undang-Undang Perguruan Tinggi (UU-PT) dilegalkan. Dimulailah kegiatan akademis berlogika pasar bebas. Karena, lewat UU-PT, universitas asing kini bisa membuka cabang di Indonesia. Makanya, univeritas di Indonesia kini punya tugas tambahan untuk menjual dirinya agar tidak kalah bersaing dengan universitas asing.

“Munculnya universitas asing seharusnya tidak menjadikan PTN rendah diri. Oleh karena itu, harus membuktikan diri dengan meningkatkan kualitas,” terang Nizam, Sekretaris Dewan Dikti. Untuk berada satu panggung dengan universitas asing, muncul kebutuhan standar-standar internasional. Makanya, membeli sertifikat dari ISO jadi langkah instan.

Pernyataan Nizam sejalan dengan target Dikti agar semua program studi di universitas negeri sudah memiliki sertifikat ISO. Maka berbondong universitas negeri membeli sertifikat ISO. Universitas Negeri Jakarta (UNJ) jadi salah satu yang reaksioner ikut-ikutan melabeli diri.

Pada 2009 ada tiga unit yang dibiayai UNJ untuk membeli sertifikat ISO: Jurusan Bahasa dan Sastra Perancis, Jurusan Bimbingan Konseling, dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan. Pada 2011 giliran Jurusan Sejarah, Jurusan Seni Tari, dan Lembaga Penjaminan Mutu (LPjM)

Para Pendiri Lembaga ISO International Organization for Standardization (ISO), resmi berdiri pada Februari 1947.

Page 14: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

14Sekarang ini ISO

dijadikan nilai jual

Syafral, Auditor ISO BPKP

yang dihadiahi sertifikat ISO oleh UNJ. (Baca: Icip-Icip Mutu Internasional)

“Usaha (melalui ISO) ini tidak dapat dipisahkan atas target kampus menuju kancah internasional,” papar Sjafnir Ronisef, Kepala Lembaga Penjaminan Mutu (LPjM) UNJ. UNJ menggunakan sertifikat ISO 9001-2008 mengenai penjaminan mutu yang didasari atas kepuasan mahasiswa sebagai konsumen mengenai layanan pendidikan di UNJ.

Meski bercita-cita berkiprah dalam dunia internasional, UNJ belum punya konsep mengenai internasionalisasi, “tentang go international itu belum, saya belum memikirkan jauh kesana,” kata Rektor Bedjo Sujanto. Namun UNJ tetap berani memasang target, “paling tidak tahun 2017 sudah tercapai,” lanjut Bedjo.

Terlepas silang sengkarut mengenai konsep internasional versi UNJ, paling tidak lewat ISO, UNJ telah menyiapkan dagangannya menuju pasar internasional. Dengan cara ini, UNJ berharap mampu menarik banyak konsumen agar membeli produknya.

Niat dimulai dengan menjual diri dengan baju internasional agar menarik masyarakat menjadi mahasiswa untuk berkuliah di UNJ. “Kita mencari

merk, itu penting untuk orang tua dan mahasiswa baru,” kata Sri Harini Ekawati, Kepala Jurusan Bahasa Perancis UNJ menjelaskan motif institusinya ikut program ISO UNJ jilid satu.

Sertifikat ISO juga berguna untuk menarik investor agar menanam modal di UNJ. Lagipula, ini linear dengan status PK-BLU UNJ yang banyak memohon dana di luar dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada perusahaan. Kepala Jurusan Seni Tari Didin Supriadi ikut merasakan faedah tersebut melalui ISO UNJ jilid dua, “Tidak dipungkiri, dengan ISO kita lebih mudah dapat hibah (dari perusahaan),” ungkapnya.

Saat semua prosedur serta komponen lengkap dan berjalan baik, UNJ percaya, ia akan jadi pedagang yang menghasilkan banyak untung. Asal, jangan lupa, bahwa ilmu dagang lebih banyak menampilkan rugi ketimbang untung.

Kurnia Yunita Rahayu

Atas, Boris Aleshin, Presiden ISO.Bawah, laboratorium material milik FT, sudah mendapat ISO 9001:2008.

Foto

Rep

ro

LAPORAN UTAMAISO: Mengatasi masalah dengan masalah

Page 15: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

15

Foto

Fer

ika

Lukm

ana

Sari

Page 16: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

16

Pada 2014 Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (Dikti) mewajibkan seluruh universitas

di Indonesia untuk melakukan penjaminan mutu. Kebijakan ini kemudian diterjemahkan universitas dengan menggaet International Organization for Standardization (ISO) guna membuat universitas lebih ‘bermutu’.

Urusan penjaminan mutu memang jadi lahan garapan ISO. Ia menawarkan paket lengkap untuk mewujud mutu berstandar internasional. Misalnya: tata kelola pelayanan publik dan administrasi, serta monitoring dan evaluasi. Untuk instansi pendidikan, ISO memfokuskan penjaminan mutu dalam ranah akademik seperti: tingkat partisipasi dan prestasi dosen dan mahasiswa, administrasi akademik, serta dokumentasi akademik.

Melihat peluang tersebut, beberapa universitas negeri ambil langkah cepat. Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Negeri Semarang, Universitas Gajah Mada, serta Universitas Negeri Jakarta meminjam restu ISO untuk meluruskan tujuan internasionalisasi diri.

Untuk universitas yang disebut terakhir, internasionalisasi memang sedang digeber kencang. Rektor UNJ Bedjo Sujanto berniat memperbaiki mutu universitas lewat pelayanan publik dan administrasi. Selain itu, Bedjo Sujanto dalam masa kepemimpinannya yang kedua ini berniat program internasionalisasi bisa mengundang banyak investor untuk memberi pinjaman lunak dan dana hibah. Hal ini tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) UNJ 2006-2014.

Tingkat partisipasi dan prestasi dosen dan mahasiswa, administrasi akademik, serta dokumentasi akademik, menjadi titik tekan perbaikan mutu universitas. Hal ini dilakukan mengingat di UNJ

Icip-Icip MutuInternasionalSejak 2009 UNJ giat menyertifikasi unit-unit lewat ISO. Langkah reaksioner menghadapi liberalisasi pendidikan.

Kiri, Rudy Prihantoro, WMM Teknik Mesin.Atas, Jurusan Teknik Mesin UNJ.Fo

to F

erik

a Lu

kman

a Sa

ri

Foto

Fer

ika

Lukm

ana

Sari

LAPORAN UTAMAISO: Mengatasi masalah dengan masalah

Page 17: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

17

Audit(5 kali) Rp.33.000.000

ada administrasi yang amburadul, kesemrawutan pengisian KRS, belum lagi jadwal kuliah yang saling tubruk.

Tak puas, segi akademis juga coba dibenahi. Dosen yang kurang dari segi kuantitas dan kualitas dicoba didisiplinkan kerjanya. Ihwal dokumentasi dibuat rapih dan teratur. Semua ini diharapkan berjalan baik dari selembar sertifikat dari ISO.

Dengan dorongan perbaikan mutu, kampus eks IKIP Jakarta mulai melaksanakan program ISO pada tahun 2009. Kegiatan yang dikoordinatori oleh Lembaga Penjaminan Mutu (LPjM) ini memfokuskan diri pada sistem penjaminan mutu di bidang akademik.

Ninuk Lustyantie mantan Ketua Program Penjaminan Mutu UNJ yang kini menjabat sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) mengatakan, mutu akademik bisa diukur diantaranya melalui capaian Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) rata-rata mahasiswa serta kualitas dosen. Berpihak pada konsep mutu yang dinamis, ISO bekerja dengan menerapkan konsep sasaran mutu. Dalam hal ini, sasaran mutu ditentukan sendiri oleh unit terkait. “Sasaran mutu itu dibuat langsung oleh tim dosen,” kata Ninuk memastikan bahwa sasaran mutu yang dibuat benar sesuai kepentingan mahasiswa

Untuk menjamin semua kegiatan berhasil mencapai sasaran mutu, ISO melakukan kerjanya melalui sebuah

sistem pendokumentasian. Seperti semboyan yang dibawa jauh-jauh dari Genewa, Swiss, ‘tulis apa yang kau kerjakan, kerjakan apa yang kau tulis’. Pencatatan dilaksanakan secara terus menerus untuk merekam semua jejak proses perkuliahan. Dari data-data yang tercatat itu soal mutu akademik kemudian dipantau.

Kemudian Lembaga Penjaminan Mutu (LPjM) UNJ ditunjuk sebagai unit yang bertanggung jawab dalam program internasionalisasi lewat ISO di UNJ. Ia melakukan pelatihan dan seminar dan kemudian menunjuk unit yang akan di-ISO.

Melalui dua orang delegasi mereka diikut sertakan seminar dan pelatihan mengenai ISO yang diberikan oleh konsultan. Unit kerja, diberikan tugas merapikan dokumen, menata hasil kegiatan dosen dan mahasiswa, serta merumuskan sasaran mutu kemudian dipresentasikan. Komitmen tinggi dan menjalankan tugas pelatihan dengan baik. Menjadi penilaian, unit bakal memperoleh sertifikat.

Biaya Untuk ISO*untuk masa berlaku 3 tahun

*Untuk Organisasi setingkat Jurusan atau UPT.

Dilanjutkan pengauditan oleh tim auditor internal yang dilakukan tim kampus, disambung auditor eksternal oleh tim perusahaan ISO, World Quality Assurance (WQA) atau Societe Generale de Surveillance (SGS) yang dilakukan 6 bulan sekali. Evaluasi kinerja unit menjadi kerja utama tim ini, setelah evaluasi, unit-unit bergegas melakukan pembenahan. Jika sesuai prosedur ISO, akan diganjar sertifikat kualitas internasional.

Universitas bertanggung jawab atas pembiayaan Sertifikat Internasional hingga tiga tahun. Dalam kurun waktu tersebut, kerja-kerja monitoring dan pengauditan terus dilakukan. Perpanjangan sertifikat, dilakukan sama seperti proses awal pendaftaran. Dalam proses perbaikan dan pembenahan, Wakil Manajemen Mutu (WMM) menjadi koordinator ISO dalam lingkup unit kerja.

Di UNJ pada 2009 tepilih tiga unit: Unit Pelakasana Teknis Perpustakaan, Jurusan Bimbingan Konseling (BK), dan Jurusan Bahasa dan Sastra Perancis. Di 2011 giliran Jurusan Sejarah, Jurusan Seni Tari, Dan LPjM yang diganjar sertifikat ISO.

Pembiayaan tergantung besar kecilnya organisasi, makin besar organisasi maka semakin banyak uang yang dikeluarkan. Biaya konsultan, auditor, pelatihan dan program ISO menjadi tanggungan universitas. Sedang perbaikan fasilitas, dibebani masing-masing unit.

Demi menuju panggung internasional, enam unit yang sudah memiliki baju ISO mulai berbenah. Misalnya, Jurusan bimbingan Konseling berusaha memperbaiki kinerjanya untuk meningkatkan produktifitas, efisiensi, dan kompetensi elemen pendidikan. Mereka membuat beberapa poin peningkatan mutu seperti: 85% kehadiran dosen dalam satu semester, rerata IPK mahasiswa 3,0.

Menurut Gantina Komalasari, Wakil Manajemen Mutu (WMM) jurusan Bimbingan Konseling (BK),

Rp.24.000.000Uang Pangkal

Foto

Fer

ika

Lukm

ana

Sari

Page 18: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

18

upaya meningkatkan lulusan dilakukan dengan memberikan kurikulum dan rencana perkuliahan yang jelas. Sedang dosen diharuskan membuat silabus pembelajaran yang sesuai bagi mahasiswa. “Absensi dosen yang kosong, harus diselesaikan di minggu berikutnya atau honor ditahan sampai dosen menyelesaikan perkulihannya,” paparnya.

Sayangnya usaha jurusan BK belum maksimal. Ada kendala dalam sosialisasi ISO kepada mahasiswa. Banyak mahasiswa belum mengerti dan paham tentang standar ISO di Jurusan BK. Mahasiswa Jurusan BK 2008 Yuni jadi contoh, “Urusan ISO hanya dilaksanakan oleh staf atau dosen terkait,” ujarnya. Mahasiswa BK hanya mengetahui setelah ISO ada perbaikan fasilitas di Jurusan BK. Namun, setelah dapat sertifikat ISO masih banyak mahasiswa BK masih mengeluhkan soal birokrasi.

Tidak seperti jurusan BK, dalam menyambut sertifikasi ISO, Jurusan Bahasa dan Sastra Perancis justru melakukannya dengan tidak meriah. WMM Jurusan Bahasa dan Sastra Perancis Subur Ismail mengakui bahwa Jurusan Bahasa dan Perancis memang lebih menekankan kualitas ketimbang eksistensi identitas ISO. “Kita (Jurusan Bahasa dan Sastra Perancis) butuh waktu 1,5 tahun,” katanya. Waktu tersebut digunakan untuk melakukan pembenahan dokumen yang diaudit oleh auditor internal dan eksternal untuk siap ISO.

Riuh rendah pelaksanaan ISO di masing-masing unit kerja ternyata membawa kerisauan bagi Kepala LPjM Sjafnir Ronisef. Menurutnya, pola penyertifikasian merayap dari bawah yang dilakukan UNJ tidak sesuai dengan amanat Kemendikbud. “Seharusnya dilakukan secara Top Down,” katanya.

Namun, UNJ tidak bisa melakukannya karena terhambat masalah dana. “Untuk ISO secara menyeluruh, UNJ belum siap,” tambahnya menyesalkan. Meski begitu,

universitas tetap melanjutkan program ISO yang sudah tiba pada gelombang keduanya. Agar perlahan, semua unit kerja bisa menyicipi gurihnya mutu internasional.

Menyadari betapa pentingnya standarisasi internasional di tengah era liberalisasi pendidikan, beberapa unit kerja tidak ragu-ragu untuk menyertifikasi diri, tanpa menunggu dihadiahkan sertifikasi ISO dari universitas. Jurusan Teknik Mesin salah satunya. Ia mengerahkan seluruh

sumber daya yang dipunya, untuk menjemput sertifikat internasional ISO. “Semuanya berpartisipasi dari kajur, dosen sampai tukang sapu bahkan mahasiwa juga memperbaiki jurusan,” ungkap Rudy Prihantoro, WMM Teknik Mesin

Tidak mau ketinggalan dari Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik (FT) yang menaunginya pun bergegas mengejar sertifikat ISO. Berbekal dana patungan dari jurusan-jurusan serta program studi (prodi), FT menggondol standar internasional pada 2011. ISO yang dilaksanakan secara mandiri ini juga membuat struktur organisasinya sendiri. “Sebagai penanggung jawab, dibentuk Gugus Penjaminan Mutu (GPJM) yang punya garis koordinasi di bawah dekan,” jelas Alsuhendra, Kepala GPJM FT.

Bak sebuah partai politik yang sedang pecah koalisi, pelaksanaan ISO

di UNJ berjalan di dua jalur. Tentunya, ini linear dengan ketiadaan gambaran besar kampus soal internasionalisasi. “Saya tidak mencanangkan itu (internasionalisasi kampus-Red),” Kata Rektor UNJ Bedjo Sujanto. “Bagi jurusan yang mampu dan mau mengikuti standar internasional silakan saja.”

Program yang digadang universitas ini memang sekadar mengarahkan unit-unit kerja untuk tahu bagaimana organisasi bermutu internasional

bekerja. Pasalnya, UNJ tidak pernah punya pola pendokumentasian kegiatan yang baik. Kegiatan akademis pun berjalan serabutan. “Sebelum ISO dosen tidak pernah ketahuan bila tidak membuat silabus,” kata Elindra Yetti, WMM Jurusan Seni Tari.

Soal memertahankan mutu yang sudah dipunya, universitas lepas tangan setelah tiga tahun. Unit-unit kerja mesti melanjutkannya sendiri. Sebagai Wakil Manajemen Mutu yang bertanggung jawab memelihara dan menjamin mutu Jurusan Seni Tari, Elindra Yetti pun tidak tahu setelah tiga tahun akan seperti apa keberlanjutan ISO di jurusannya. “Soal keuangan (setelah masa belaku habis) saya tidak tahu harus gimana,” katanya polos.

Ferika Lukmana Sari

Rektor UNJ Bedjo Sujanto.

Foto

Fer

ika

Lukm

ana

Sari

Foto

KM

PF-N

illa

LAPORAN UTAMAISO: Mengatasi masalah dengan masalah

Page 19: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

19

Hanya tiga bulan kira-kira pengunjung menikmati sejuknya Air Conditioner di Per-pustakaan Universitas

Negeri Jakarta (UNJ). Setelah itu, pen-gunjung kembali hanya mengandalkan angin sejuk yang masuk lewat jendela terbuka. Tak pelak, dampak bagi pen-gunjung pun jauh dari kata nyaman karena udara begitu panas.

Tak cuma itu, perkara demi kepua-san pengunjung macam toilet pun kerap terabaikan. Hal ini terlihat dari enam lantai perpustakaan hanya satu

toilet yang beroperasi untuk maha-siswa, sisanya terkunci dan tidak jelas peruntukannya untuk apa.

Padahal, dalam Dokumen Interna-tional Organization of Standardization (ISO) yang perdana dikeluarkan tahun 2009, AC beserta fasilitas demi kepua-san pengunjung adalah temuan yang musti ditindaklanjuti dengan perbaikan. Namun, dua tahun lebih audit yang dilakukan ISO, perbaikan pengunjung tersebut hanya sekadar rekomendasi tanpa perbaikan nyata. Belum lagi pen-gadaan buku-buku perpustakaan yang tidak kunjung diperbarui.

Kalau ada lembaga yang ngukur-ngukur

kualitas, itu sebenernya cuma cari pekerjaan.

Berharap Mutu dari Selembar Sertifikat

Semenjak mendapatkan sertifikat ISO, Jurusan Teknik Mesin UNJ berbenah diri. Di setiap ruangan kini menggunakan CCTV untuk kontrol kegiatan akademik.

PenggunaanCCTV

Foto

Fer

ika

Lukm

ana

Sari

Page 20: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

20

Satu-satunya mungkin adalah uru-san dokumentasi yang memang lebih baik dari sebelumnya setelah audit. Namun, temuan mayor seperti alat pemindai yang sama sekali tidak ber-fungsi, tetap tidak digubris pengelola perpustakaan. Sehingga, pengunjung yang datang otomatis tidak mampu terdeteksi, begitu pun halnya jika ada pencurian buku.

Menyoal ketiadaan tindak lanjut temuan mayor yang harus dibenahi, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan Joko Irianto berdalih jika birokrasi keuangan penyebabnya. ”Kita sudah mengajukan dana kepada Pembantu Rektor (PR) II, namun kita tak bisa berbuat banyak jika dana tidak ada,” keluh Joko.

Menurutnya, perbaikan lembaga yang ia naungi harus pula didukung penuh oleh pimpinan. Sebab, program tersebut merupakan rencana jangka panjang periode kedua kepemimpinan Rektor Bedjo Sujanto. “ISO proga-ram rektor, maka pimpnan harus care, mayor minor harus diatasi,” tukasnya mantap.

Sejatinya, ISO merupakan alat pelecut untuk memperbaiki pelayanan dan kepuasan bagi pelanggan. Jika ada kekurangan, hal tersebut diperbaiki secara terus-menerus untuk mencapai produk suatu institusi yang diharapkan konsumen. Tetapi, temuan seperti di UPT Perpustakaan tidak menunjukkan dampak yang diharapkan.

Tujuan inilah yang diabaikan oleh lembaga yang diaudit, bahwa mer-eka hanya mencukupkan diri untuk sesuai (compliance) pada persyaratan-persyaratan ISO dan pada akhirnya mendapat sertifikat. ISO di UNJ jadi sekadar asal ada tanpa perencanaan yang jelas dan matang.

Kondisi serupa pun terjadi di berbagai jurusan dan UPT yang telah memiliki sertifikat ISO. Seperti yang diakui oleh Kajur Bahasa Perancis Sri Marini Ekawati, ia mengungkapkan jika dukungan dan fasilitas dari universitas sama sekali hanya untuk kegiatan serti-

fikasi saja. “UNJ hanya mendaftarkan ISO, sedangkan temuan yang harus diperbaiki kita usahakan sendiri,” ujar Kajur yang baru menjabat kurang dari setahun ini.

Setali tiga uang, di Jurusan Sejarah pun mirip keadaannya. Kuota maha-siswa yang membludak menyebabkan mahasiswa kurang kondusif dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Selain itu, fasilitas penunjang macam AC pun hanya dinikmati tiga bulan pertama, setelah itu keadaan kembali gerah. “Udah AC mati, jumlah mahasiswanya banyak, makin sumpek aja di kelas,” ke-luh Bekti Paringgi Mahasiswa Jurusan Sejarah 2011. Terlepas hal itu, Jurusan Sejarah tetap diganjar dengan nilai A oleh ISO pada 2011.

Terkait kurang matangnya ISO UNJ ini diamini sendiri oleh Sjafnir Ronisef, penanggung jawab program ISO UNJ. Menurutnya, ISO harus dilaksanakan atas dukungan semua pihak, jika tidak, temuan mayor atau minor tidak akan terselesaikan dengan maksimal. “Alasannya tidak ada dana dari pimpinan, maka diserahkan ke masing-masing unit,” katanya. “Na-mun masih ada kelemahan (dana) dari bawah. Jadi mau diapain lagi.”

ISO yang dilakukan oleh Univer-sitas Negeri Jakarta (UNJ) tahun 2009 memang terkesan asal-asalan. Padahal, Konsultan ISO untuk pendidikan sendiri mematok harga yang cukup tinggi yang dibayarkan dari bayaran semester mahasiswa. Untuk sekadar pembinaan implementasi saja, ISO 9000:2008 yang dilakukan di tiap enam bulan sekali harus mengeluarkan enam juta rupiah (belum termasuk pajak) dan itu dilakukan enam kali, setelah itu baru disertifikasi.

Biaya itu belum termasuk biaya sertifikasi yang harus dibayarkan ke-pada lembaga sertifikasi. Sjafnir sendiri tidak mau menyebutkan secara gam-blang mengenai pembiayaan biaya ISO di UNJ. “Pokoknya puluhan jutalah,” akunya.

Padahal, menurut Assesor BAN-PT Komala yang dihubungi Didaktika melalui pesan elektronik, ISO hanya berkutat pada hal-hal administratif. Sehingga, tidak berkaitan dengan seluk-beluk peningkatan kualitas pendidikan. Hal inilah yang menyebabkan sertifika-si ISO sekadar hanya hambur-hambur uang mahasiswa.

Namun, Rektor Bedjo Sujanto pu-nya pendapat sendiri tentang ISO ini.

Foto

Fer

ika

Lukm

ana

Sari

LAPORAN UTAMAISO: Mengatasi masalah dengan masalah

Page 21: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

21

“Hal administratif kan juga harus di-latih walau mahal,” tuturnya disela-sela acara buka bersama sivitas akademika UNJ, Juli lalu.

Sekadar InternasionalSertifikat ISO 9000:2008 men-

jadi sertifikat ISO yang paling laku di dunia pendidikan. UNJ pun rela untuk dibuat menjadi bermutu sertifikat ini. ISO 9000:2008 meminta lembaga pendidikan untuk menentukan goal setting untuk setiap produk yang akan dihasilkan, “target mutu kita yang buat sendiri,” terang Sjafnir yang juga kepala Lembaga Penjamin Mutu (LPjM) UNJ.

Kemudian institusi yang berhajat mendapat sertifikat ISO membentuk auditor internal, sebutan untuk auditor yang dibentuk sendiri oleh institusi bersangkutan. Tim auditor ini dibentuk dengan metode pengawasan silang, misalnya auditor Jurusan BK men-gaudit UPT Perpustakaan, auditor dari perpustakaan mengaudit jurusan BK, begitu seterusnya dengan jurusan lain.

Auditor internal bertugas memerik-sa target-target mutu yang sebelumnya telah dirumus. Selain itu, auditor inter-nal mendorong institusi tersebut untuk melakukan perbaikan sebelum diaudit oleh auditor eksternal, sebutan auditor dari perusahaan penerbit sertifikat ISO. Audit eksternal sendiri dilakukan dua kali dalam satu tahun.

Dengan bayaran yang tidak sedikit, auditor eksternal memberitahu adanya temuan mayor dan minor yang harus diperbaiki berdasar target mutu yang ditetapkan. Anehnya, walau banyak temuan mayor dan minor, institusi tersebut tetap dinyatakan lulus dan diberikan sertifkat ISO. Begitupun selama enam kali audit yang dilakukan selama sertifikat itu berlaku, sertifi-kat ISO tetap punya kekuatan walau banyak masalah besar atau kecil dalam institusi.

Masalah utama sebenarnya cuma mengenai dana. Asal institusi mem-bayar biaya dengan benar, tidak akan ada peristiwa pencabutan sertifikat. ISO sendiri tidak bisa menekan insti-tusi dengan banyak masalah dengan mencabut sertifikat. Ia cuma sekadar memberi rekomendasi untuk memper-baiki. “Yang penting, kita (institusi) su-dah memberi laporan temuan. Urusan memperbaiki jadi urusan kampus yang menyediakan dana,” kata Joko Irianto.

Sekalipun ada temuan yang diper-baiki, biasanya hanya terjadi menjelang waktu audit eksternal tiba. Setelahnya tetap dibiarkan terbengkalai. Sebena-rnya ini masalah fundamental bagaima-na mengenai kerja birokrasi, karena temuan yang disampaikan tidak banyak masuk ke telinga. Rektor Bedjo pun lepas tangan mengenai budaya kerja di kampus yang ia pimpin, “itu tergantung

anak buah saya menerjemahkannya seperti apa,” ujarnya berkelit.

Hal ini menjadikan upaya internasi-onalisasi melalui ISO sekadar program menghambur-hamburkan uang. Guru Besar UNJ Conny Semiawan men-gatakan, sertifikat ISO sebagai penja-min mutu sebenarnya mulai diragukan, “(ISO) ini berasal dari paradigma pen-didikan pragmatis, di Amerika sudah banyak digugat oleh akademisi,” Conny menerangkan.

Walaupun demikian, di Indonesia hal-hal yang beraroma internasional memang masih jadi hal yang menjual. Buktinya kebijakan sertifikasi ISO jus-tru diwajibkan oleh Kemdikbud buat semua universitas negeri di Indonesia hingga 2014. Makanya, banyak uni-versitas yang reaksioner mengadopsi kebijakan sertifikasi ISO. Apalagi UNJ yang tidak pernah punya Grand Design atas dimensi apapun.

Mantan Rektor IKIP Jakarta Ana Suhaenah juga turut angkat bicara mengenai langkah UNJ menyertifi-kasi beberapa unitnya dengan ISO, “sebenarnya jika sudah ada akreditasi , tidak perlu ISO lagi,” Ana menanggapi. “Kalo sadar kualitasnya, tidak usah dioprak-oprak.”

Membangun mutu sebenarnya bisa dilakukan dengan cara bottom-up, apalagi mengenai internasionalisasi. Universitas yang kredibilitasnya diakui dunia pun merintis jalan dengan mem-bangun kredibilitas atas identitas dan karakternya yang khas, bukan dengan meminta restu. Apalagi dengan meng-gelontor banyak uang.

Sudjiarto, Guru Besar UNJ menanggapi usaha mendapat label internasional sebenarnya hal yang keliru, “(universitas) Harvard nomor satu, tapi tidak pernah bicara dirinya bertaraf internasional,” katanya. “Di jaman globalisasi sebenarnya semua internasional, nasional hanya identitas. Jadi lembaga yang ukur-ukur cuma cari pekerjaan saja.” Indra Gunawan

Berbenah, jurusan Teknik Mesin baru merapihkan dokumentasi setelah ISO ada.

Foto

Fer

ika

Lukm

ana

Sari

Page 22: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

22

Masih Berantakan, Butuh Keteraturan

Wawancara khusus

Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Universitas Negeri JakartaSjafnir Ronisef

Pada 2009, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sudah mulai menerapkan standarisasi penjaminan mutu berkelas

internasional melalui ISO. Standar yang awalnya digunakan di ranah industri, dengan tujuan untuk menunjang peningkatan akademik dan kepuasan pelanggan kini masuk ke pendidikan. Program sertifikasi yang dilakukan merayap dari bawah pun sudah berjalan sepanjang dua gelombang. Berikut petikan wawancara reporter Didaktika, Ferika Lukmana Sari dan Kurnia Yunita Rahayu dengan Ketua Lembaga Penjaminan Mutu (LPjM) UNJ.

Apa itu ISO?ISO merupakan pelaksanaan

manajemen mutu menurut aturan-aturan tertentu sehingga hasilnya peningkatan kualitas. Terdapat beberapa prinsip dalam manajemen mutu: plan, do, check dan action. Ini merupakan langkah-langkah ISO.

Kenapa UNJ di ISO?Ini berdasarkan Rencana Strategis

(renstra) UNJ sampai tahun 2014. Tiap Perguruan Tinggi Negeri mesti menerapkan standar ISO. UNJ sebagai Perguruan Tinggi Negeri ingin melaksanakan ISO untuk peningkatan mutu.

Bagaimana Mekanisme ISO di UNJ?

Pada tahun 2009 ada tiga instansi yang sudah mendapatkan sertifikat ISO. Tiga instansi pertama yang memperoleh ISO antara lain, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan, Jurusan Bahasa dan Sastra Prancis, dan Jurusan Bimbingan Konseling (BK).

Awalnya ada sepuluh unit yang kita latih, delapan program studi dan dua UPT. Yang tiga itu, dipilih berdasarkan hasil terbaik dari pelatihan untuk mendapatkan sertifikat. Yang tiga ini sudah mendapat sertifikat. Setiap enam bulan mereka di audit. Audit ada dua yaitu internal oleh kita dan eksternal oleh pemberi sertifikat. Untuk perusahaan pelaksana audit, kami menggunakan World Quality

Foto

Fer

ika

Lukm

ana

Sari

Page 23: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

23

Assurance (WQA). Setiap enam bulan sekali mereka datang.

Berapa biaya mengikuti ISO?Soal biaya, saya tidak tahu persis,

tidak terlalu paham. Itu tergantung besar kecilnya organisasi tersebut. Urusan pembiayaan itu bagian PR II. Untuk satu progam studi, sekitar Rp 6 juta belum termasuk pajak, nanti diatur tiap audit.

Kenapa ISO tidak dilaksanakan secara menyeluruh?

Ini akan berjalan secara keseluruhan, tapi bagian-bagian kecilnya harus sudah siap lebih dulu. Itu juga yang jadi kelemahan kita, dimulai dari bawah, karena kita belum bisa hidup sendiri. Ada program studi yang sudah siap, tapi fakultasnya belum. Semua ada kelemahannya-lah. Seharusnya juga bukan dilaksanakan per-program, paling tidak per-fakultas. Sehingga komponen-komponen yang bermasalah dapat langsung ditangani Dekan.

Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bukan program studi yang di ISO, tapi universitas yang seharusnya di ISO. Tapi pendekatan kita merayap dari bawah. Seperti UNY, semuanya di ISO. Tetapi untuk melakukan itu, harus mengeluarkan berapa banyak uang? Mungkin bagi universitas yang punya uang ya silakan. Kalau bagi UNJ tidak bisa seperti itu. Jadi didahulukan yang siap. Toh akhirnya akan selesai juga, itu bagian dari pendekatan.

ISO yang dilakukan oleh UNJ masih parsial, seperti semua program studi di teknik. Mereka melaksanakan prinsip manajemen ISO . Kedepannya ada fakultas yang ikut serta mempersiapkan diri untuk melakukan sertifikasi ISO. Diantaranya, FBS, FE, dan MIPA. Mereka sudah dilatih menyiapkan dokumen-dokumen untuk dapat sertifikat ISO.

Kita ingin ISO berjalan sesuai dengan renstra. Pada 2011 dan 2012 UNJ baru menuju standar internasional, tapi belum sampai, baru diupayakan. Masuk dalam tahap mandiri, kemudian mempersiapkan program Studi Standar Internasional.

Namun, bagi program studi yang bagus dan siap untuk mengajukan diri mengikuti ISO, nanti kita dorong.

Diharapkan tahun 2014 semua program studi, fakultas, dan unit-unit sudah mendapat sertifikat ISO. Sesuai dengan renstra Kemendikbud.

Kenapa menggunakan ISO?Ya, memang ada standar apa lagi.

Kan cuma itu saja.Bukankah ISO itu digunakan

untuk standarisasi dunia industri?Sekarang bukan hanya industri.

Bidang pendidikan, hingga kesehatan juga di ISO.

Memangnya logika produsen-konsumen berlaku di dunia pendidikan?

Iya, di universitas konsumennya mahasiswa.

Bukankah konsumen itu pasif menerima produk dari produsen?

Disini perbedaannya, konsumen di universitas (mahasiswa) ikut aktif menentukan mutu yang akan didapat.

Kalau begitu jelas mahasiswa bukan konsumen?

Ya ini yang perlu ditekankan. Karena yang dikelola adalah mutu mahasiswa, manusia, jadi dibutuhkan waktu yang lebih panjang.

Kenapa masih terdapat banyak kekurangan di unit-unit yang sudah punya sertifikat ISO. Misalnya UPT Perpustakaan, AC-nya sering mati, pengadaan buku juga minim.

Setelah dievaluasi semestinya ada peningkatan. Namun, anggaran kita terbatas. Tidak semua rencana kita dapat bagian dari anggaran. Soal banyak kekurangan di perpustakaan ya tidak apa-apa. Kalau buku-buku tidak ada ya mau diapakan, kita terbentur masalah anggaran. Yang tidak boleh itu, anggarannya ada, tapi orang-orangnya tidak mau bekerja. Semua yang sudah dilakukan selama ini adalah supaya UNJ punya standar bagus.

Kenapa masih melakukan ISO, padahal tahu kalau universitas dananya terbatas?

Kita ini merencanakan, semua lembaga juga merencanakan, seperti perpus mengajukan. Hal itu sebenarnya sudah diatur, tetapi ternyata dana yang

diperlukan untuk ISO lebih besar dari yang disediakan. Maka sekarang disesuaikan saja dengan yang ada.

Kalau semua unit mengusulkan, tidak akan cocok dengan penerimaan SPP dari pemerintah.

PR II mendukung ISO, tetapi tidak mau melakukan tindak lanjut bila ada laporan kekurangan, seperti AC misalnya?

Ya, bila ada kerusakan di jurusan, harus dilaporkan ke PR II. Jadi nanti ada suratnya, dan yang bertanggung jawab pun PR II.

Apa yang akan dilakukan LPjM bila setelah tiga tahun berjalan dengan ISO, tapi ada situasi ketidakpuasan dari konsumen universitas?

LPjM akan mendorong. Di setiap siklus, paling tidak ada peningkatan.

Setelah tiga tahun, apakah unit-unit yang sudah disertifikasi ISO akan melanjutkannya?

Itu terserah kepada mereka. Yang penting kita sudah memberikan “roh” ISO. Jadi nanti sudah mengenal bagaimana cara kerjanya.

Apakah program ini wajib? Adakah unit yang menolak untuk melakukan sertifikasi?

Belum ada yang menolak. Program ini kan berdasarkan Renstra hingga tahun 2014. Maka targetnya, tahun 2014, seratus persen Perguruan Tinggi Negeri sudah ikut ISO.

Apakah ISO jadi nilai lebih di era liberalisasi pendidikan?

Oh iya, jadi nilai lebih buat menghadapi persaingan.

Apabila sudah ada ISO, lantas bagaimana fungsi dan peran LPjM sebagai penjamin mutu?

Sehubungan dengan adanya PP No. 19 Tahun 2005, Kementerian Pendidikan kan membuat Standar Nasional Pendidikan (SNP), dengan itu perguruan tinggi mesti membuat standar-standar. Nah, LPjM menyusun standar tersebut, buat UNJ.

Tanpa ISO, apakah UNJ tidak bisa melakukan pendokumentasian dengan baik?

Kerja kita masih berantakan, jadi butuh keteraturan.

Page 24: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

24

Foto

Indr

a G

unaw

an

Sepi-sepi di OrganisasiTahun ini boleh dibilang

merupakan periode berat bagi Yusuf Fauzi selaku Ketua

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra (BEM FBS). Yusuf yang kerap disapa Ucup kini harus berkeliling FBS buat cari mahasiswa yang mau jadi anggota BEM. Ia agak linglung karena belakangan niat mahasiswa buat berorganisasi surut, “padahal, saat zaman saya (dua tahun yang lalu) mahasiswa belomba-lomba jadi pengurus walau ada seleksi,” kenangnya. “Sekarang boro-boro ada yang diseleksi, ditawari saja tidak mau.”

Kondisi tidak menggemari organisasi bukan terjadi di FBS saja. Serupa Yusuf, Ketua BEM Fakultas Ekonomi Muhammad Ridwan juga merasakan hal yang sama. Buat Ridwan sekalipun ada mahasiswa yang ikut organisasi mereka setengah-setengah. Orientasinya tidak penuh. Kinerjanya,

selalu berkutat pada urusan teknis. Sekadar partisan dan partisipan.

Rendahnya minat berorganisasi akan berdampak bagi keutuhan dan hidup organisasi selanjutnya. Bukan cuma di tingkat Fakultas melainkan pegiat-pegiat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)juga khawatir akan hal ini. “Sumber Daya Manusia ini yang merupakan subjek vital bagi keberlangsungan organisasi, tapi kurangnya minat berorganisasi saat ini bisa mengancam roda organisasi,” ujar mantan Ketua Unit Kegiatan Olahraga Hari Agustina.

Dalam survei yang dilakukan Didaktika selama Februari 2012 mengenai minat organisasi mahasiswa UNJ. Didapati dari 203 total responden hanya 100 mahasiswa yang mengaku mengikuti organisasi yang terdaftar. Data ini bisa jadi gambaran bahwa antusiasme berorganisasi makin tak

bergairah.Dirunut ke belakang, Organisasi

Mahasiswa (Ormawa) sendiri lahir tidak lepas dari dinamika mahasiswa dan kemahasiswaannya. Mereka berinisiatif membuka ruang alternatif dari ruang kelas yang dirasa kurang bisa menyediakan wadah aktualisasi. Dari sana berkembang pula Unit-unit Kegiatan Mahasiswa yang bergerak dalam bidang minat dan bakat. Tujuan lebih besarnya membangun semangat Tri Dharma Perguran Tinggi berupa Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat.

Lama-kelamaan ruang-ruang macam organisasi makin sepi. Penyebabnya banyak yang ogah lantaran makin sempitnya ruang gerak mahasiswa. Mobilitas hanya ada di ruang kelas, sementara semua tahu walau pura-pura tidak tahu bila ruang kelas tidak pernah punya mobilitas.

RenovasiGedung G

Minimnya sosialisasi dan tidak adanya relokasi. Renovasi pusat kegiatan mahasiswa, Gedung G. Semakin mematikan kehidupan berorganisasi.

kampusiana

Foto

Sat

riono

Priy

o U

tom

o

Page 25: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

25

Pusa

t Dat

a da

n In

form

asi D

idak

tika

Kemudian muncul stagnasi di ruang kelas yang kemudian punya dampak struktural akan kondisi kampus yang beku dan statis.

Bukannya tanggap situasi, UNJ malah memberi restu akan kebekuan kampus dan terus memeliharanya. Sistem Uang Kuliah Tunggal yang mengalkulasi semua biaya dibagi delapan semester malah terlihat mengancam mahasiswa untuk buru-buru lulus. Ada lagi mengenai Bidik Misi yang digagas guna memberi jaminan bagi mahasiswa justru memasung mahasiswa di ruang kelas. Terbukti dari 2010 dimana Program Bidik Misi pertama keluar. Dari 4200 mahasiswa UNJ yang diterima hanya 30 persen yang berorganisasi. (Majalah Didaktika Edisi 41).

Purwanto, Mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah (PLS), salah satu yang jadi korban. Ia tidak tangguh menahan hantaman ruang kelas. Ia memilih seratus persen untuk belajar di kelas. Sebab, hanya dengan meraih Indeks Prestasi yang tinggi, ia terjamin berkuliah hingga lulus karena dibiayai

Bidik Misi. “Awalnya saya juga ikut salah satu UKM di gedung G, dikarenakan padatnya kuliah dan butuh biaya saya keluar,” aku mahasiswa angkatan 2011 yang dibesarkan dan tinggal di panti asuhan tersebut.

Sikap Purwanto sebagai mahasiswa jadi cerminan mahasiswa yang jauh dari ranah kemahasiswaanya. Terbatasnya akses mahasiswa selain di ruang kelas menjadikan universitas sebagai ruang produksi pengetahuan juga jalan di tempat. Makin pula mengarahkan kampus sebagai pencetak tenaga-tenaga kerja yang siap dilempar di pasar.

Di UNJ bau-bau akademik memang jadi primadona. Buktinya pihak kampus sudah menyiapkan agenda penuh muatan akademik. Selepas Masa Pengenalan Akademik (MPA) ada masa pembinaan mahasiswa baru berisi materi Program Kreatifitas Mahasiswa, Mahasiswa Wirausaha, dan juga Karya Tulis ilmiah, “Ormawa harus memaklumi kebijakan kampus, Pembinaan pasca MPA ini harus diprioritaskan untuk menciptakan kultur akademik. Ini juga dari imbas UNJ tidak menyabet penghargaan di pentas nasional bidang akademik,” papar Pembantu Rektor Bidang Akademik Zainal Rafli.

Sebenarnya semua kegiatan di universitas bisa dikatakan sebuah aktifitas akademik, termasuk di dalam Ormawa. Karena aktifitas-aktifitas tersebut berlandas pada nafas Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sementara Identitas UNJ sebagai Lembaga

Pendidikan Tenaga Kependidikan bisa jadi pedoman dalam beraktifitas.

Tapi tindak tanduk beberapa kegiatan ormawa belakangan juga kerap jadi biang keladi orientasi dan identitas itu memudar. Jajaran Rektorat berpendapat bahwa organisasi makin tidak karuan berkegiatan, ”itu organisasi mau belajar atau mau bisnis seperti Event Organizer, jika membuat kegiatan selalu mengadakan bazar?” ungkap salah satu jajaran rektorat yang tak mau disebut namanya.

Pegiat UKM Niki Segara Mahardika Ilyas justru mencurigai balik. Ia menuding Rektorat memang mencoba membuat takut mahasiswa untuk aktif berorganisasi. “Pidato Pak Bedjo di pembukaan MPA (2011) yang mewanti-wantinya mahasiswa mengenai Pembatasan Masa Studi saja sudah jelas bahwa pihak kampus berkampanye tidak mendukung (berorganisasi),” tandas mantan ketua Unit Kesenian Mahasiswa ini.

Hal ini makin diperjelas dengan ketiadaan rancangan besar UNJ mengenai ranah mahasiswa dan kemahasiswaanya, “kami (rektorat) belum memiliki rancangan dalam membentuk mahasiswa,” ujar Erika Takidah, Staf Pengembang Kemahasiswaan. Melulu soal akademik yang kaku.

Bila sudah begini tujuannya makin jelas, makanya ada aransemen universitas dalam logika ekonomi. Karena mahasiswa hanya dilihat dari nilai-nilai praktis yang kelak berguna bagi perolehan-perolehan materi. Kemudian mahasiswa dibentuk dalam sistem produksi yang mengharuskan pendisiplinan di ruang kelas. Lurus, tidak boleh melenceng.

Pun untuk menjamin situasi temporal berupa stabilitas dalam atmosfer kampus. Juga dalam rangka memastikan karakter bawaan dan psikis mahasiswa sebagai pribadi-pribadi yang patuh. Mahasiswa semakin kehilangan dimensi kemahasiswaannya. Karena dilokalisir untuk menetap di ruang kelas yang hanya berurusan dengan dosen penceramah, spidol, dan papan tulis. Indra Gunawan

Mahasiswa makin kehilangan dimensi kemahasiswaanya,

penyebab Organisasi

Mahasiswa makin tak diminati. ”

Daftar Anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Tiga Tahun Terakhir

Page 26: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

26

kampusiana

November 2011, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Fakhrudin

Arbah ketar-ketir. Ia tak pernah menyangka dalam hidupnya harus tersandung kasus korupsi. Buatnya, posisi sebagai Pembantu Rektor yang mengurusi mahasiswa dan kemahasiswaan memang tidak punya banyak kesempatan untuk menyuburkan bibit korupsi.

“Saya stress luar biasa, sampai tidak bisa tidur. Keluarga sampai menyebut saya koruptor, pembohong,” Fakhrudin mengiba. “Belum lagi anak-anak saya yang mendapat tekanan dari teman-teman sekolahnya yang mengetahui berita tersebut.”

Korupsi memang tidak pandang bulu siapa saja bisa didapuk menjadi pembawa risalahnya, termasuk Fakhrudin. Karena kejahatan memang

bukan terjadi cuma bermodal niat, tapi kejahatan turut mencipta kesempatan. Fakhrudin masuk dalam pusaran ini.

Mulanya dari sebuah proyek pengadaan alat laptop dan alat penunjang laboratorium. Total nilai proyek tersebut 17 miliar rupiah. Proyek tersebut merupakan proyek tahunan dari Dirjen Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (kemdikbud) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P).

Proyek ini bermasalah karena muncul dugaan penggelembungan dana sebesar 5 miliar rupiah. Indikasinya muncul karena mulai terungkapnya gurita korupsi yang dilakukan M. Nazaruddin, Anggota DPR sekaligus Bendahara Umum Partai Demokrat.

Kasus ini melibatkan dua perusahaan tender milik M. Nazaruddin: PT Marell Mandiri dan PT Anugerah Nusantara. PT Marell yang memenangi tender proyek tersebut, tapi di tengah jalan ia tidak bisa melanjutkan proyek tersebut. Maka hadirlah PT Anugerah Nusantara sebagai pelaksana proyek hingga proyek ini selesai. Dua perusahaan itu satu konsorsium dalam Grup Permai milik M. Nazaruddin.

Sebenarnya indikasi korupsi sudah tercium Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak semester pertama 2011. Namun, penyidikan selama 4 bulan tersebut terhenti karena KPK tidak banyak menemukan bukti yang memeperkuat. Baru pada November 2011 Kejaksaan Agung kembali memeriksa kasus ini dan mendapati Fakhrudin sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Tri Mulyono ketua Proyek sebagai tersangka dalam kasus ini.

Lewat surat perintah penyidikan bernomor 161/F.2/Fd.1/11/2011 untuk Fakhrudin dan 162 /F.2/Fd.1/11/2011 untuk Tri Mulyono, mereka berdua resmi menjadi tersangka. “Saya kaget, saya belum sekalipun dipanggil oleh Kejagung tapi nama saya sudah disebut sebagai tersangka,” seloroh Fakhrudin.

Urusan menjadi komando dalam sebuah proyek harusnya jadi hajat Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum, tapi kampus mendapat proyek ini saat Rektor Bedjo Sudjanto baru memenangi kembali kursi Rektor UNJ untuk kedua kali menyebabkan hal itu tidak terjadi.

Dalam periode kedua sebagai Rektor UNJ ada struktur yang berubah Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum yang sebelumnya dijabat Syarifudin kini jadi milik Suryadi. “Pak Suryadi sendiri tidak bisa dijadikan PPK karena belum resmi menjabat, sedangkan Pak Syarifudin karena sudah lengser dan sudah banyak pegang proyek,” Bedjo Sujanto mengklarifikasi pada acara Deklarasi Hari Anti Korupsi (9/12) 2012.

Maka datanglah jabatan PPK

Bermula dari terbongkarnya jejaring proyek M. Nazaruddin, Korupsi UNJ mulai terbongkar. Rektor Bedjo Sudjanto diduga terkait kuat.

Bedjo SujantoFakhrudin Arbah

Jejaring KorupsiNazaruddin Hinggap di UNJ

Page 27: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

27

sekonyong-konyong ke ruangan Fakhrudin. “Fakhrudin itu seorang yang lugu dan jujur, makanya jabatan ini disemat kepadanya,” lanjut Bedjo Sujanto. ”Walaupun saya tahu ia tidak mengerti perihal teknis proyek.”

Fakhrudin yang ditunjuk langsung oleh Bedjo pun tidak bisa banyak berkutik. Ia yang mengaku sejak mengajar di UNJ pada 1984 tidak pernah mau berurusan dengan soal keuangan, kali ini menjadi orang linglung, “sekali ini saya tidak tahu kenapa menyetujui untuk menjadi PPK, saya seperti terbius,” ujar Fakhrudin.

Posisi Fakhrudin sebagai Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan sebenarnya rawan untuk dijadikan seorang PPK dalam sebuah proyek. Bukan cuma tentang posisi tapi juga soal kapasitasnya. Selain tidak pernah sekalipun berurusan dengan proyek, ia juga tidak terdaftar sebagai pejabat yang tersertifikasi untuk menangani sebuah proyek pengadaan barang.

Sementara itu Tri Mulyono, dosen fakultas Teknik yang berduet bersama Fakhrudin sebagai tersangka kasus ini ogah berkomentar mengenai keterlibatannya, “saya tidak mau berkomentar karena saya cuma pelaksana teknis,” katanya kepada Didaktika (31/07).

Janggal Dari AwalSelasa (6/12) 2012 Fakhrudin

bercerita banyak kepada mahasiswa dalam rapat dengan pimpinan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) membahas agenda studi banding UKM. Di sela-sela acara tersebut ia meluangkan waktu untuk mengklarifikasi kasus yang menimpa dirinya. “Ada (tanggapan) yang enak saya dengar, kemudian saya semakin teguh untuk menghadapi ini. Tapi ada juga yang membuat saya nggak bisa tidur,” katanya.

Sebelum datang, Fakhrudin mengaku menemui Rektor Bedjo untuk menjelaskan niatnya untuk bertemu mahasiswa dan menjelaskan kasus ini. Awalnya, Bedjo ragu-ragu akan kehadiran Fakhrudin untuk

menjelaskan kasus ini, “kenapa berhadapan dengan mahasiswa? Nanti bisa nggak menyampaikan?” Ujar Fakhrudin menirukan Bedjo Sujanto.

Sepak terjang Fakhrudin dalam proyek ini dimulai setelah keluar Surat Keputusan (SK) Kemendiknas atas nama Sekretaris Jendral Kemendiknas Dodi Nandika Nomor 5138/A.A3/KU/2010. Tertanggal 21 Januari 2010, ia resmi menjadi PPK proyek pengadaan sarana penunjang laboratorium.

Di lapangan Fakhrudin cuma bertindak sebagai asesor, “Saya tidak menyusun (dokumen). Jadi kalau dalam menyusun disitu memang ada salah, ya Saya sebenarnya salah tanda tangan, karena Saya tidak pernah baca. Tidak mungkin baca, kalau baca pun tidak mengerti juga,” katanya lugu.

Atas persetujuan-persetujuan yang dilakukannya, ia mengaku mendapat honor proyek yang memang dijatahkan oleh Rektor Bedjo. “Honor yang saya peroleh berdasar Surat Keputusan Rektor 500.000 per bulan dipotong pajak jadi 425.000,” aku Fakhrudin. “Saya bekerja diberi tambahan masa tidak ada penghasilan tambahan.” Di lain kesempatan, Fakhrudin menolak bila dikatakan ia menerima fee atas proyek tersebut. “Saya tidak menerima fee apapun,” aku Fakhrudin kepada Didaktika.

Dalam kerja-kerjanya Fakhrudin tidak sendiri, ia punya tim pengadaan barang di bawah koordinasinya, data yang didapat dari Kejaksaan Agung, panitia pengadaan barang ini sudah disahkan melalui SK Rektor Nomor 11.B/SP/2010 pada tanggal 5 Januari 2010. Mereka adalah Tri Mulyono (Ketua), Ifaturohiah Yusuf (Sekretaris), Suwandi (anggota), M. Abud Robiudin (anggota), dan Andi Irawan Sulistyo (anggota).

Idealnya, dalam sebuah proyek pengadaan barang panitia lelang dibentuk oleh PPK. Namun, dalam kasus ini Rektor Bedjo yang memilih. Pun penunjukkannya dilakukan lebih dahulu ketimbang pemilihan PPK. Makanya kemudian muncul indikasi keterlibatan Rektor Bedjo dalam kasus

ini.Hal ini diperkuat dengan adanya

pengakuan Ahmad Rifai, pengacara Mindo Rosalina Manulang koordinator PT Marell Mandiri perusahaan yang terkait dalam kasus ini, “Rosa mengaku disuruh Nazar menemui Rektor UNJ pada 2010. Maksud pertemuan itu untuk proyek pengadaan Alat Laboratorium dan peralatan penunjang Laboratorium pendidikan,” Kata Rifai dikutip dari Koran Tempo, 15 Februari 2012.

“Dalam proyek kampus Nazar memang melakukan banyak lobi-lobi untuk meloloskan proyeknya,” tambah Ade Irawan Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) kepada Didaktika (19/2). “Ia melobi Badan Anggaran (Banggar), anggota DPR, orang Dikti, termasuk pejabat kampus.”

Saat dikonfirmasi, Bedjo Sujanto mengaku pernah bertemu dengan Nazruddin membahas perihal proyek, “saya pernah bertemu Nazaruddin dulu di sini (Gedung Rektorat),” aku Bedjo. Namun, Bedjo membantah bahwa pertemuannya dengan Nazaruddin membicarakan kasus korupsi yang yang menimpa UNJ, “waktu itu ia (Nazaruddin) datang sebagai orang PP, ya kami membicarakan proyek PP.” Bedjo mengklarifikasi.

Bedjo juga menjamin ia tidak pernah mengintruksi untuk melakukan tindakan korupsi kepada bawahannya, “sekarang yang bisa membuktikan bahwa itu kasus korupsi siapa?” Tukas Bedjo. Rektor Bedjo sendiri tak mau ambil pusing atas kasus ini, atau indikasi keterlibatannya. Proses pengusutan yang berlarut bisa menenangkan hati Bedjo. “Hingga saat ini kan belum terbukti,” tampik Bedjo.

Sementara itu, Fakhrudin belakangan merasa semakin tegar menjalani kasus yang berlarut-larut ini sendirian, “saya merasa dikorbankan disini, bila kemudian ada pelaku yang bermain di belakang itu benar-benar di luar pengetahuan saya,” ujarnya lirih. “Saya mau bawa Rektor sebenarnya, tapi tidak bisa karena namanya tidak ada.” Kurnia Yunita Rahayu

Page 28: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

28

Dikti mengumumkan proyek pengadaan alat penunjang laboratorium bagi PTN

Belum ada PPK, Terbit SK Rektor No 11.B/SP/2010 mengenai panitia proyek.

Sepanjang 2010 proyek dilaksanakan

Terbit SK Kemendiknas 5138/A.A3/KU/2010 yang menetapkan Fakhrudin sebagai PPK

Proses lelang digelar walau UNJ belum memiliki PPK

M. Nazaruddin bertemu Bedjo untuk membahas proyek tersebut. ia mengaku orang proyek

Mindo bertemu Bedjo guna meloloskan perusa-haannya. pengumuman lelang belum dilakukan

2010

5 Jan

Jan-April 2011

21 Jan

Juli

1 Nov Jun 2012

KPK datang memeriksa proyek tersebut. namun, tidak ada bukti kuat

Mindo disidangkan mengenai kasus ko-rupsi di PTN. Korupsi UNJ mulai tebuka

Agsts-NovBeberapa PTN mulai diperiksa terkait kasus ini. UNJ turut terlibat.

Fakhrudin dan ketua Proyek Tri Mulyono ditetapkan jadi tersangka oleh Kejagung

Muncul kecurigaan keterlibatan Rektor rektor yang terkait kasus ini, Bedjo ikut diselidiki

KRONOLOGI DI KAMPUS BEKAS IKIP JAKARTA

Page 29: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

29

kampusiana

Secara prosedural proyek pengadaan alat penunjang laboratorium berjalan lancar. Mencari aman semua pihak lempar tanggung jawab.

SemuaMau

Cari Aman

Beberapa kali dihubungi Di-daktika ketua panitia lelang Tri Mulyono benar-benar

ogah memberikan komentar, apalagi penjelasan soal proses pelaksanaan proyek pengadaan alat penunjang labo-ratorium. Ia bersi keras menjelaskan, posisi yang disandang sekadar sebagai pelaksana teknis. Sehingga urusan mark up anggaran semestinya dijelaskan oleh rektor sebagai pembuat kebijakan.

Bagi Tri Mulyono ada pihak lain yang harusnya lebih bertanggung jawab perihal tuduhan ini. “Saya tidak menunjuk secara personal, tapi setida-knya secara kelembagaan, Pembantu Rektor II Bidang Administrasi Umum yang bertanggung jawab penuh soal proyek,” tegasnya.

Tuntutan tersebut diperkuat oleh kepala Biro Administrasi Perencanaan dan Sistem Informasi Syachrian. “Se-tahu saya, (Pembantu Rektor II Bidang Administrasi Umum) Pak Suryadi

memang yang tanda tangan proyek, lalu Tri Mulyono itu meneruskan penger-jaannya,” kata lelaki lulusan IKIP Jakarta Jurusan Matematika ini.

Sedang Pembantu Rektor II Sury-adi, tidak bisa memberi penjelasan atas indikasi keterlibatannya. “Kita lihat saja nanti, karena belum tentu juga,” katanya sambil menjanjikan pertemuan di lain waktu.

Rektor Bedjo sendiri santai menanggapi pertanyaan yang sama. Baginya secara kelembagaan, memang benar ia harus bertanggung jawab. Tetapi dalam proses penyelidikan, tentu akan ditemukan di mana letak penyimpangan terjadi.

Soal teknis, Tri Mulyono beserta keempat orang panitia lelang lainnya sudah melaksanakan seluruh prosedur proyek sesuai Perpres No. 80 Tahun 2003. “Mulai dari pemberitahuan lelang proyek di koran nasional hingga media online sudah dilaksanakan,” ujar Sekre-taris Panitia Lelang Ifaturohiah Yusuf.

Rahim proses tersebut melahirkan PT Marell Mandiri sebagai pemenang-nya. Ifath sapaan akrab sekretaris panitia lelang, punya alasan kuat atas keputusan timnya. PT Marell Mandiri menang karena punya penawaran harga yang paling murah dan kredibel secara dokumen.

Ditambah tidak ada protes dari

perusahaan peserta lelang lainnya menyangkut kemenangan PT Marell Mandiri. Padahal, mereka punya masa sanggah selama tujuh hari untuk meng-kritik ketidaksesuaian. “Buktinya nggak ada perusahaan lain yang menyanggah kan?” Seloroh Ifath.

Di lain kesempatan sumber Dida-ktika yang sering menangani proyek pengadaan barang dan jasa di kampus berujar soal kerjasama perusahaan peserta lelang di belakang panitia. Perusahaan yang berniat memenang-kan lelang biasa membagikan fee kepada peserta-peserta lain. “Jadi peserta lain nggak akan protes, karena sebelumnya sudah ada perjanjian pembagian fee,” tegasnya.

Mengenai data penawaran terkait perusahaan peserta tender, Ifath men-gaku sudah tidak menyimpannya dan sudah diserahkan ke (BAPSI). Namun, hal ini segera dibantah Kepala BAPSI Syachrian, “BAPSI hanya menyimpan dokumen anggaran yang bersumber dari PNBP,” tampiknya.

Ketiadaan data menjadi salah satu alasan bagi Tri Mulyono untuk bung-kam. Baginya, sudah tidak ada yang bisa dibicarakan tanpa ada data-data

Mindo bertemu Bedjo guna meloloskan perusa-haannya. pengumuman lelang belum dilakukan

Atas, Jajaran Rektorat.(kiri-tersenyum) Bedjo Sudjanto,(tengah-menunduk) Fakhrudin.

Foto

KM

PF-N

illa

Page 30: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

30

kampusianaterkait proyek. Lelaki berjanggut tebal ini menjelaskan semua dokumen sudah disita oleh Kejaksaan Agung, “saya mau bicara apa, dokumen saja sudah tidak ada.”

Sementara itu, PT Marell Mandiri sebagai pemenang, di tengah pelak-sanaan proyek melakukan pemind-ahtanganan kerja kepada PT Anugerah Perkasa. Perusahaan yang masih satu konsorsium di bawah Grup Permai milik Nazaruddin. Namun, ihwal pe-mindahan kerja ini panitia lelang men-gaku tidak mengetahuinya. “Bagaimana mau mengawasi kalau mereka kesini atas nama PT Marell Mandiri?” Ifath memprotes.

Sikap yang sama sudah jauh-jauh hari diambil oleh Rektor Bedjo Sujanto sebagai orang yang membentuk panitia lelang. Buatnya, tender sudah dibuka untuk umum dan perusahaan manapun bisa mengikutinya. Tetapi soal penger-jaan secara teknis, ia tidak bisa mengin-tervensi apalagi soal pemindahtanga-nan kerja. “Itu urusan perusahaan, sudah bukan urusan UNJ,” kata Bedjo pada Deklarasi Hari Anti Korupsi (9/12/11).

Eksistensi perusahaan pemenang dititik beratkan pada keabsahan dan kelengkapan dokumen. Sehingga tidak ada kecurigaan bahwa perusahan tersebut hanyalah fiktif. Padahal, dalam pemberitaan di media nasional, dite-mukan lebih dari satu perusahaan palsu milik Nazaruddin. Secara administratif punya dokumen lengkap, tetapi bentuk nyata perusahaan tidak ada.

Ketika dikonfirmasi mengenai hal ini, Ifath mengaku bahwa ia tidak tahu-menahu apabila memang PT Marell Mandiri adalah perusahaan fiktif. “Yang penting dokumennya lengkap, barang yang menjadi materi proyek ada, selesai kan?” sergahnya.

Mengalir ke Lima FakultasDalam proyek ini, pengajuan ba-

rang harus dilakukan dalam waktu sing-kat. Karena dananya yang bersumber dari Anggaran Penerimaan dan Belanja

Negara Perubahan (APBN-P) digelon-tor DIKTI pada akhir tahun.

Berdasar penelusuran Didaktika dana ini mengalir ke lima Fakultas, yakni Fakultas Teknik (FT), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Fakultas Ilmu Pendidi-kan (FIP), Fakultas Ekonomi (FE), dan Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK).

“Saya memang lupa fakultas apa saja yang dapat, tapi yang pasti paling banyak itu FT dan FMIPA.” Cerita Ifath. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Kabag Tata Usaha FT Churiatun Naimah, “semua jurusan di FT dapat kok.” Dekan FIP Karnadi ikut mem-benarkan soal aliran barang dari proyek itu ke fakultasnya. “Kami (FIP) dapat komputer, lengkapnya bisa dicek di Kabag TU kok,” pungkasnya.

Sarana Penunjang Laboratorium segera diberikan sebagaimana mestinya di lima fakultas tersebut. Namun, seir-ing dengan munculnya dugaan mark up pada proses pengadaannya, awal 2012 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyisir seluruh laboratorium yang ada di kampus.

Pola kerja yang diterapkan KPK kali ini tidak bersifat Top Down. “KPK

datang langsung menemui kajur-kajur atau kepala lab, dan langsung ke labora-torium,” kata Churiatun Naimah.

Pemeriksaan KPK menunjuk-kan hasil bahwa semua barang sesuai dengan keterangan yang ada di dalam dokumen. PD II Fakultas Ekonomi (FE) Siti Zulaichati bercerita bahwa pemeriksaan dari KPK tetap tidak menunjukkan temuan kejanggalan mes-ki sempat ada barang yang tidak sesuai pengajuan di FE. “Barang yang sudah tidak diproduksi di pabriknya diganti dengan barang yang kualitasnya sama, jadi kita terima saja,” akunya.

Kegiatan mark up logis terjadi meskipun bukti mikro di fakultas menunjukkan tidak ada kejanggalan. Meski fakultas diberi wewenang untuk menentukan spesifikasi serta jangkauan harga barang, adanya skenario penen-tuan perusahaan pemenang sekaligus nilai proyek, memunculkan potensi-potensi mark up anggaran.

Mulanya karena panitia lelang yang ditunjuk langsung oleh rektor. “Iya benar, kalau bukan saya siapa lagi yang bisa memilih mereka,” kata Rektor Bedjo. Sementara alasan pemilihannya Bedjo enggan menjelaskan. “Kami memang dibentuk dengan SK Rektor, mengenai alasan pemilihan dan orang-orang di belakangnya, kami tidak tahu,” sambut Ifath menanggapi pernyataan rektor.

Urusan memeriksa barang yang sudah dibeli oleh perusahaan pelaksana proyek jadi hajat panitia penerima dan pemeriksa barang. Tugasnya menim-bang jumlah, merk, dan spesifikasi ba-rang telah sesuai dengan kontrak. “Soal harga itu terserah, bukan urusan panitia penerima barang,” ujar Kabag Perleng-kapan FBS Sukirman memaparkan ranah kerja panitia penerima barang.

Kemudian setelah barang dikirim, dibuatlah berita acara tanda sah atas barang-barang yang dikirim. “Yang tanda tangan banyak, ada ketua, sekre-taris, anggota,” lanjut Kirman. Dengan spesifikasi kerja seperti itu, maka indikasi mark up terjadi disini memang besar terjadi sebelum panitia proyek menjalankan kerjanya.

Kurnia Yunita RahayuBukti Transaksi yang dilakukan Mindo Rosalinda dengan UNJ.

Page 31: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

31

Page 32: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

32

Susi FitriDosen Jurusan Bimbingan dan KonselingUniversitas Negeri Jakarta

Pertanyaan itu menyeruak di kepala saya ketika melihat mahasiswa-mahasiswa baru berdatangan bersama

orang tua mereka untuk mendaftar ulang setelah dinyatakan lulus masuk universitas ini. Semakin tahun semakin banyak orang tua yang saya lihat menunggui anak-anak mereka yang berusia 17 tahunan itu bergiliran memeriksa kesehatan, mengisi formulir, mengantri di bank dan berbagai syarat daftar ulang lainnya.

Saya seringkali heran, bagaimana mungkin anak-anak yang sudah berani pacaran ini, yang artinya sudah harus menanggung konsekuensi reproduksi, malah ditunggui orang tua ketika melakukan hal-hal kecil semacam daftar ulang ini? Seorang kolega muda, dulunya mahasiswa saya, menyatakan bahwa hal itu, ditunggui orang tua ketika daftar ulang, bisa saja bukan keinginan sang remaja. Namun karena orang tuanya tidak percaya sang anak dapat melakukannya sendiri.

Representasi remaja dalam psikologi: masa remaja sebagai masa bermasalah

Dalam psikologi, masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak yang merupakan masa tergantung pada orang dewasa dan masa memasuki masa dewasa, tapi belum dewasa. Masa remaja dianggap pengalaman universal yang dialami semua manusia, karena faktor psikologis tersebut berkaitan dengan biologi manusia yaitu usia. Konsep usia mengacu pada realitas biologis.

Namun pengalaman keusiaan, sesungguhnya merupakan proses historis dan kultural yang memberikan makna khusus pada proses keremajaan dan pendewasaan. Keremajaan memiliki makna yang berbeda tergantung pada situasi sosial, kultural

dan politik remaja tersebut. Bila masa remaja dalam psikologi dianggap sebagai masa persiapan menuju dunia dewasa. Yaitu, untuk mendapatkan pekerjaan, rumah tangga dan bertanggung jawab secara sosial, maka hal ini tidak berlaku pada anak-anak jalanan, pekerja anak maupun anak-anak yang mengalami pernikahan dini pada budaya tertentu. Juga anak-anak yang dipaksa menjadi tentara anak pada negara-negara atau daerah-daerah yang mengalami konflik bersenjata. Bagi mereka pengalaman masa remaja ‘tidak ada’. Pada situasi-situasi tersebut anak-anak telah mengujud menjadi ‘dewasa’ walaupun usia mereka masih anak-anak atau remaja.

Contoh lain adalah situasi perempuan. Dalam masyarakat yang patriarkis, transisi kedewasaan perempuan berbeda dengan laki-laki. Pola-pola karir perempuan seringkali tidak sesuai dengan perkembangan yang diasumsikan dalam psikologi mengenai kemandirian. Dalam masyarakat yang cenderung konservatif atau pada kelas ekonomi tertentu, perempuan seringkali tergantung pada pasangannya secara sosial dan ekonomi, walaupun mereka telah mencapai usia dewasa.

Hal ini secara budaya sering dianggap ‘lumrah’. Berbeda dengan anggapan kedewasaan terhadap laki-laki. Pekerjaan, merupakan penanda kedewasaan laki-laki, yang tidak demikian halnya dengan perempuan. Sehingga tak heran bila kita temukan sangat sedikit perempuan-perempuan yang dapat mencapai posisi-posisi atas dalam jenjang karir, bahkan pada pekerjaan-pekerjaan yang secara tradisional merupakan ‘pekerjaan perempuan’. Sampai sekarang, belum pernah sekalipun menteri pendidikan adalah kaum perempuan. Padahal konon mendidik anak adalah pekerjaan khas perempuan. Maka,

walaupun banyak perempuan muda menyadari peluang-peluang potensial yang mereka miliki karena tingkat pendidikan yang mereka miliki. Namun kenyataannya masih ada ketidaksetaraan di tempat kerja dan hambatan sosial mengenai peran utama perempuan dalam kehidupan domestik.

Selain remaja dianggap sebagai masa ‘menjadi’, masa yang ‘belum sampai’, masa remaja sering juga digambarkan dalam psikologi sebagai masa krisis terutama krisis identitas. Dengan kata lain, pengalaman masa remaja merupakan pengalaman bermasalah. Gambaran umum remaja masihlah sebagai pecandu narkoba, pelaku kriminal dan pelaku seks bebas (coba anda browsing menggunakan kata kunci: remaja, kebanyakan hasilnya adalah ‘masalah remaja’). Remaja sering diposisikan sebagai kelompok usia yang mengancam nilai-nilai sosial dengan sering terlibat pada perilaku bermasalah.

Media memframe fenomena aborsi marak dilakukan oleh remaja, yang kemudian remaja dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah tersebut. Dan hal ini jelas diterima oleh sosial sebagai sebuah masalah. Mengapa orang dewasa, terutama yang sudah menikah, sebagai pelaku pengguguran yang berpersentase lebih besar dibanding remaja, tidak diframe

Siapakah Remaja?

Page 33: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

33

OP N DOSEN

sebagai ‘masalah’ bila tindakan aborsi dianggap sebagai masalah sosial yang penting? Tak lain karena anggapan bahwa orang dewasa dianggap bisa bertanggung jawab dan tidak memerlukan arahan, sehingga walaupun mereka melakukan sebuah tindakan yang secara umum tidak diterima secara sosial, tapi pilihan mereka tidak dianggap sebagai ‘masalah’.

Perhatian terhadap pengalaman

remaja sebagai ‘masa bermasalah’ bukanlah kecenderungan yang netral, tapi berkaitan dengan kondisi sosial dan perubahan ekonomi. Kecenderungan masyarakat kita terhadap konservatisme belakangan ini mendorong minat orang dewasa melakukan kontrol lebih ketat terhadap remaja. Hal ini dapat kita perhatikan dalam praktek-praktek pengendalian perilaku remaja khususnya di sekolah.

Perkembangan ekonomi kapitalistik belakangan pada negara-negara berkembang menuntut tenaga kerja yang murah, patuh, robotik, dan tidak banyak protes. Sehingga cara-cara pengendalian perilaku remaja untuk secepat mungkin beradaptasi pada nilai-nilai sosial arus utama (yaitu nilai-nilai konservatif, feodal dan kapitalistik) menjadi agenda penting dalam pendidikan.

Relasi kuasa remaja dan orang dewasa

Walaupun remaja seringkali diacu

sebagai konsep yang kategorial, khususnya dalam psikologi dan pendidikan, tapi sesungguhnya konsep remaja bersifat relasional. Keberadaannya, berkaitan dengan konsep kedewasaan. Masa remaja dianggap sebagai masa “menuju dewasa” sedangkan masa dewasa sebagai kehidupan yang “sesungguhnya”. Menjadi remaja berarti ‘bukan’ dewasa atau ‘kurang’ dewasa.

Dengan kata lain orang yang belum sempurna, karena kedewasaan dianggap sebagai kesempurnaan perkembangan. Hal ini bisa kita perhatikan pada wacana umum yang berkembang dalam masyarakat mengenai masa remaja. Remaja dianggap masa krisis identitas, sementara masa dewasa memiliki identitas yang mapan. Remaja tidak memiliki kekuasaan dan lemah. Sedangkan orang dewasa memiliki kekuasaan dan kuat. Remaja tergantung baik secara ekonomi, sosial, politik, emosi. Sementara orang dewasa orang yang mandiri. Remaja pemberontak, orang dewasa konformis. Remaja tidak berpengetahuan, orang dewasa memiliki pengetahuan.

Konsep remaja yang seperti inilah yang memposisikan remaja sebagai individu yang dianggap selalu membutuhkan bimbingan, kendali, dan arahan orang dewasa untuk memastikan proses kedewasaan dilakukan secara ‘benar’. Dalam dunia pendidikan hal ini tampak dalam berbagai hubungan antara guru dan murid baik di dalam kelas maupun di luar kelas lewat berbagai peraturan.

Orang dewasa (guru) adalah orang yang dianggap memiliki pengetahuan, sementara remaja (murid) dianggap tidak memiliki pengetahuan. Maka bukan kebetulan bila metode yang paling umum digunakan di sekolah, dan paling sulit diubah dalam

reformasi pendidikan, adalah metode berceramah. Bukan kebetulan pula berbagai metode dakwah agama berbentuk ceramah. Dalam metode ceramah, hubungan antara penceramah dan pendengar tidak setara, karena berceramah mengasumsikan penceramah adalah orang yang berpengetahuan dan pendengar adalah orang yang belum memiliki pengetahuan.

Konsekuensi Ada beberapa konsekuensi yang

akan dialami oleh masyarakat kita bila kita meneruskan pandangan yang demikian terhadap remaja. Pertama, pengabaian terhadap hak-hak dan suara remaja sebagai warga negara. Dalam relasi kuasa yang timpang antara orang dewasa dan remaja, hak-hak remaja sangat mudah diabaikan walaupun dalam undang-undang dasar kita remaja memiliki hak yang sama dengan orang dewasa sebagai warga negara.

Kedua, menciptakan lingkaran setan terhadap masalah remaja. Remaja yang distigma sebagai remaja yang tidak normal, akan termarginalisasikan dari institusi masyarakat yang sebenarnya dapat membantu mereka keluar dari masalah yang mereka hadapi. Remaja marjinal akan mengalami ketiadaan harapan, apatis, dan marah. Karena ketiadaan sumber dukungan sehingga menceburkan mereka pada masalah yang lebih dalam. Maka institusi yang pertama-tama perlu memikir ulang pemahaman mereka mengenai remaja adalah institusi pendidikan, tempat di mana kebanyakan remaja berada. Apakah kita –orang-orang yang bergerak dalam bidang pendidikan- akan berpikir remaja sebagai masalah, atau remaja sebagai warganegara yang setara dengan orang dewasa dalam masyarakat kita. Itu akan menunjukkan tingkat peradaban bangsa ini.

Siapakah Remaja?

Page 34: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

34

Mahasiswa dan Pendidikan Masa Kini

opini

Apa artinya menjadi mahasiswa? Apakah kuliah di universitas, kongkow di mall, up date gadget, diskusi tentang

masalah politik dan kerakyatan. Sudah memberikan jawaban sebagai mahasiswa? Pertanyaan retoris itu perlu dijawab oleh semua yang memang merasa sebagai mahasiswa. Tulisan ini tidak akan menjelaskan apa artinya menjadi mahasiswa. Penulis hanya akan menuliskan bagaimana keadaan universitas masa kini. Bagaimana menyikapinya adalah pilihan sadar tiap-tiap yang mengaku menjadi mahasiswa.

“Knowledge is power” ungkapan Francis Bacon ini kiranya cocok untuk menggambarkan keadaan pendidikan kita yang sangat hegemonik. Pendidikan benar-benar menjadi aparatus ideologi negara yang sangat efektif. Semangat neoliberalisme yang digawangi oleh pemerintah pun merasuk dalam dunia pendidikan. Pemotongan subsidi pendidikan, manajemen berbasis sekolah dan Badan Layanan Umum (BLU) di kampus, menggambarkan dengan jelas semangat neoliberalisme yang mendera dunia pendidikan.

Pendidikan menjadi sebuah sistem yang menghegemoni para mahasiswa untuk tunduk, taat peraturan, taklid buta, cepat lulus, bernilai bagus, dan cepat kerja. Para mahasiswa hanya diarahkan menjadi pekerja, sekrup kapitalisme. Pendidikan dalam hal ini diibaratkan sebagai sebuah pengetahuan yang menguasai. Meminjam istilah Gramsci hanya menghasilkan intelektual tradisional. Intelektual tukang tanpa adanya kesadaran untuk melihat realitas dan melakukan perubahan.

Ketika kekuasaan ekonomi

mendominasi pendidikan tinggi maka yang akan terjadi pendidikan menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan dikomersilkan. Para mahasiswa menjadi konsumen pendidikan. Posisi mereka bukan lagi subjek pendidikan, tapi objek dari komoditas pendidikan. Di sinilah, humanisme tersinggung.

Dehumanaisasi yang terjadi akibat massification dalam masyarakat. Masyarakat yang telah termasifikasi menurut Paulo Freire adalah masyarakat di mana anggota-anggotanya ketika memasuki proses historis dimanipulasi oleh kaum elitenya ke dalam kelompok yang dapat diatur dan taklid. Ini berlawanan dengan conscientization, suatu proses dalam mencapai kesadaran kritis (listiyono, 2003:136).

Mahasiswa digiring untuk menyesuaikan dengan kebutuhan pasar atau industri. Jurusan–jurusan yang terlihat tidak mempunyai prospek kerja yang jelas mulai ditinggalkan. Sepinya peminat jurusan agama atau jurusan yang tidak berorientasi di sektor riil adalah efek dari mekanisme link and match. Pendidikan tinggi hanya melakukan impor pengetahuan barat atau imitasi tanpa ada upaya menciptakan pengetahuan yang berbasis kondisi dan realitas lokal.

Dalam industri budaya, Theodore Adorno dan Max Horkheimer mengatakan bahwa segala sesuatu (termasuk pendidikan) apabila telah terjebak dalam sistem komersial, maka ia akan terpenjara pula dalam sistem

yang disebut industri kebudayaan. Meskipun Adorno dan Horkheimer menjelaskan industri kebudayaan dalam menganalisis masyarakat konsumerisme tapi ada pola-pola yang sama juga berlaku dalam dunia pendidikan, sebagai alat ideologi negara maupun sebagai alat ekonomi. Dalam hal ini pemaksaan pendidikan tinggi untuk menghasilkan lulusan yang hanya siap bekerja dalam industri (link and match) merupakan suatu bentuk kekerasaan budaya. Sistem pendidikan memaksa setiap manusia menjadi pekerja, menjadi sekrup dalam sebuah mesin industri. Struktur pendidikan ini hanya akan menjadi penghambat mental kepeloporan, kepemimpinan, dan kewirausahaan. Mentalitas yang justru penting dalam membangun

Usilnya Crayon

Page 35: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

35

Mahasiswa dan Pendidikan Masa Kini

Ulfatun Ni’mah

Pemimpin UmumLPM Arena

UIN Sunan Kalijaga

manusia manusia pembangunan dalam masyarakat yang sedang berkembang. (Yasraf , 2005: 270-271).

Apa yang digambarkan oleh Horkheimer dan Adorno terlihat dalam dunia pendidikan kita, terutama di pendidikan tinggi. Kritisisme ditingkatan mahasiswa dikikis. Peraturan, kode etik, bahkan arsitektur kampus pun dibuat untuk menciptakan stabilitas. Laiknya sistem ekonomi yang membutuhkan stabilitas politik, pun sama di wilayah pendidikan. Padahal kretivitas-dalam segala bidang keilmuan- muncul dari orang-orang yang berpikir kritis.

Mahasiswa representasi kaum muda sebagai generasi penerus bangsa yang akan menjalankan negara ini dalam waktu sepuluh sampai dua puluh

tahun kedepan tentunya cara pandang dan fikirnya dipengaruhi apa yang sedang berkembang sekarang. Penetrasi kapitalisme yang telah menggurita ke relung-relung kehidupan kita membuat kaum muda lebih terbiasa dengan keadaan komersialisasi disegala bidang.

Karnaval budaya populer dengan segenap kontestan artis atau idola turut membuai kesadaran mahasiswa. Di sinilah identitas mahasiswa bersinggungan. Mahasiswa dibingungkan dengan kondisi realitas masyarakat. Sehingga ia bahkan tak mengenali siapa dirinya. Mengikuti iklan ataupun yang dianggap tren oleh masyarakat banyak, itulah dirinya. Ini tentu tak lepas dari pasar. Mestinya, pendidikan mampu menjelaskan kondisi masyarakat yang ada. Sehingga

mahasiswa minimal mengerti siapa diri dan tanggung jawab. Bukan hanya dihabiskan di ruang kuliah dengan memamah biak dan menghafalkan teori.

Pendidikan merupakan tonggak kemajuan suatu bangsa. Pendidikan memegang pengaruh penting terhadap kemajuan sebuah peradaban manusia. Namun, kini yang terjadi terutama di perguruan tinggi menjauhkan mahasiswa dari kondisi riil yang terjadi di masyarakat, bahkan saking jauh jaraknya mahasiswa tak mampu lagi membaca kondisi tersebut.

Mao Zedong menyatakan dengan jelas, bahwa yang bodoh itu miskin, yang miskin itu akan bodoh, dan akan terus menerus begitu. Inilah tugas pemerintah untuk menyediakan

pendidikan yang harus di nikmati oleh seluruh warga negara sesuai UUD 1945. Pendidikan dari dasar hingga tinggi harus mampu di jangkau masyarakat luas dengan biaya terjangkau.

Perguruan tinggi yang lahir di Indonesia tentunya bukan tanpa tendensi. Pendidikan diharapkan menyejahterakan masyarakat dengan membangun teknologi mandiri, kebijakan-kebijakan yang akan dilahirkan pun pro rakyat. Krisis Eropa menandai adanya keruntuhan negara Barat atas konsep yang ada, bahwa kapitalisme yang dibangun mereka atas dominasi negara-negara dunia ketiga mulai rapuh. Pembangunan ekonomi negara-negara baru seperti Cina, Rusia, India ini tentu harus ditanggapi secara serius.

Indonesia, salah satu negara yang berpeluang dengan adanya globalisasi ini tentu harus menyiapkan diri secara matang dan bekerja keras agar menikmati adanya perubahan yang terjadi. Salah satunya dengan adanya perbaikan di bidang pendidikan, salah satunya perguruan tinggi.

Page 36: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

36

Jalan SurabayaPada hari kerja terlihat lengang. Baru menunjukan aktifitas yang sesungguhnya, jika hari libur.

SUPLEMENFo

to S

atrio

no P

riyo

Uto

mo

Page 37: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

37

GeliatJalan

Surabaya

Jalan SurabayaPada hari kerja terlihat lengang. Baru menunjukan aktifitas yang sesungguhnya, jika hari libur.

Sepetak toko bernomer 147, menjajakan barang seperti buku-buku, kamera, dan radio yang telah berumur. Toko itu

milik Abdul Gani. Toko itu berdiri di atas Jalan Surabaya, Kecamatan Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat. Puluhan toko lainnya, berjajar di sepanjang jalan menemani toko Abdul Gani.

Toko-toko lainnya menjajakan bermacam barang. Patung-patung kayu, ukiran, lukisan, setrikaan, jam, pemutar piringan hitam, kamera jadul, keramik dari piring hias, guci, wayang, topeng, dan beragam barang lainnya. Semua barang itu terlihat antik.

Abdul Gani dan pemilik puluhan toko itu dikenal sebagai penjual barang antik. Sudah puluhan tahun mereka berjualan di sepanjang Jalan Surabaya. Jalan ini memang telah terkenal sebagai pasar barang antik. Abdul Gani bagian dari sejarah panjang Jalan Surabaya.

Sebelum dinisbatkan sebagai pasar barang antik, Jalan Surabaya memiliki rekam jejak sebagai pasar barang loak atau bekas. Daerah ini merekam dinamika perjalanan barang loak menjadi barang antik. “Dulunya, tahun lima puluhan, Jakarta ramai sama pedagang barang loak,” ujar laki-laki berumur 82 tahun ini mengawali pembicaraan. Pedagang-pedagang barang bekas berperan meramaikan perekonomian masa itu. Barang-barang bekas yang di jual saat itu seperti

Page 38: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

38

Bermula dari pasar barang loak, kini Jalan Surabaya

dikenal sebagai pasar barang antik

elektronik dan pakaian. Perabot rumah tangga juga mewarnai komoditas barang bekas. Ada piring, sendok, ember, juga gayung.

Keberadaaan barang bekas sangat dibutuhkan masyarakat. Belum banyak industri yang berdiri. Produksi komoditas masih minim sehingga harga barang baru bisa sangat mahal. Abdul Gani bercerita sambil memberi perumpamaan, “ibaratnya kalau dulu uang yang mencari barang, sekarang barang yang mencari uang.”

Para pedagang berjualan keliling sambil memikul dagangan. Ada beberapa pedagang yang sudah mangkal di titik tertentu. Salah satunya Jalan Surabaya. Mereka berjualan di tepi trotoar dan lahan-lahan kosong. Abdul Gani memilih mangkal di Pasar Rumput, Jalan Sultan Agung. “Sebelum saya ke Jalan Surabaya, saya berjualan sepeda bekas di Pasar Rumput. Seperti kaki lima,” ujar lelaki asal Serpong ini. Selain itu, di Pasar Rumput, dia pernah melakoni sebagai penjual mesin jahit bekas. Barangnya dia dapat dari Pasar Senin.

Namun, di Pasar Rumput Abdul Gani tak bertahan lama. Tahun 1960, dia beserta teman-temannya dilarang berjualan. Mereka pun direlokasi ke Jalan Surabaya. Jalan Surabaya pun menjadi tempat mangkal tetap. Walau kondisinya sedikit kumuh, hanya bermodal terpal plastik, di sana barang-barang para pedagang dijajakan. Perlahan geliat Jalan Surabaya sebagai tempat berkumpulnya pedagang loak mulai terlihat. Retribusi mulai diterapkan di Jalan Surabaya oleh pihak kelurahan.

Perlahan para pedagang lain menjajaki pasar loak ini. Salah satunya, Mumu Hidayat. Laki-laki yang memiliki ketertarikan dengan dunia perlayaran ini berminat menjajaki Jalan Surabaya karena potensi ekonominya besar. “Mulanya tiap Minggu dan hari libur saya jualan di sini. Cuma sampai jam 2 saja,” ujar Mumu. Saat itu dia telah mempunyai kios di Pasar Ciputat dan berjualan di Pasar Senin tiap hari Senin. Hingga pasca tahun 1970-an, kondisi Jalan Surabaya semakin ramai

pedagang. Jumlahnya mencapai 50 pedagang tetap.

Ternyata, dari berbagai macam barang loakan terdapat barang loakan yang bernilai antik. Abdul Gani sendiri mulanya tidak bisa memperkirakan akan muncul istilah barang antik. Dia melihat barang antik muncul karena ada barang bekas yang semakin lama umurnya, semakin memiliki nilai. Faktor utamanya karena langkanya barang produksi lama. “Dulu, yang bisa bikin kursi cuma orang-orang Kongho, Cina,” Imbuh Abdul Gani seraya menunjukan koleksi barang-barang antiknya.

Industri barang jadi yang sudah berkembang tidak memproduksi barang yang sama. Menurut Abdul Gani tiap masa punya ciri khas komoditasnya. “Kalau pembuatan mebel itu dulu dari jati asli. Sekarang bahannya sudah sangat beda,” yakin laki-laki yang pernah berdagang rokok ini sambil menunjukan katalog mebel miliknya. Di katalog terlihat berbagai contoh mebel dengan beragam jenis. “Sekalipun bentuknya sama, bahannya beda dengan yang sekarang.”

Kemunculan barang antik menjadi magnet baru bagi jalan Surabaya. Masyarakat tidak lagi sekedar

mengenalnya sebagai pasar barang loak, tapi juga pasar barang antik. Bahkan semakin bertambah tahun, pembeli lebih tertarik dengan barang antik daripada barang loak. Perubahan minat ini dilirik para pedagang. Akhirnya para pedagang berlomba mendapatkan barang antik.

Semakin Memikat, Jalan Surabaya pun Berbenah

Beberapa pedagang, memperoleh benda antik dari orang yang datang ke tempat tersebut untuk menjual koleksi mereka. Tak cukup dengan menunggu, beberapa sampai mencari barang antik ke pelbagai daerah. Barang antik yang dominan dicari pembeli saat itu ialah piringan hitam. “Dagang di Jalan Surabaya itu sendiri musim-musiman. Ada tren yang berkembang. Sekarang orang cari porselin. Kemarin cari yang lain.” Laki-laki tiga zaman ini bercerita. Barang antiknya sebagian besar berasal dari luar Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.

Ramainya jumlah pedagang dan pembeli membuat kondisi Jalan Surabaya telihat kumuh dan berantakan. Kondisi ini menarik perhatian pemerintah daerah (Pemda) DKI Jakarta yang dipimpin Gubernur Ali Sadikin kala itu. “Saya sempat bicara dengan Ali Sadikin minta dibenahi. Akhirnya Tahun 1974, Pemda bikin tendanisasi. Bentuk tenda terbuka tanpa tutup,” cerita Abdul Gani. Gubernur mengharapkan kegiatan perdagangan lebih efektif dengan penataan ini.

Foto

Sat

riono

Priy

o U

tom

o

SUPLEMEN

Page 39: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

39

Abdul Gani, pemilik dan pedagang barang antik di Jalan Surabaya.(Bawah)Keseharian pedagang, sambil menunggu pembeli.

Usai pembuatan tendanisasi, pedagang yang sudah ada di Jalan Surabaya langsung dipersilakan menempati tenda-tenda yang sudah disediakan. Tenda yang masih kosong, disediakan bagi pedagang yang mau menetap di Jalan Surabaya. Untuk menjaga komunikasi dengan Pemda dan sesama pedagang di Jalan Surabaya, dibutuhkan seorang koordinator pedagang. Semua pedagang mendapuk Mumu Hidayat sebagai Koordinator Paguyuban Jalan Surabaya.

Sejak saat itu, Ali Sadikin pun menetapkan Jalan Surabaya sebagai pasar barang antik. Tempat ini menjadi legal dengan izin Pemda. Jalur koordinasinya pun berubah, bukan lagi kelurahan. “Bayar retribusi langsung ke Pemda,” ungkap Mumu. Sebelum tenda-tenda kosong terisi, dihuni pedagang baru, mereka membuat kesepakatan bersama. “Kita punya kesepakan dari dulu, tidak boleh ada orang tidur di dalamnya, tidak boleh ada nongkrong, dan harus warga negara pribumi asli. Makanya tidak ada orang keturunan Tionghoa disitu,” tegas Abdul Gani. “Kami bukan benci Tionghoa, tapi sejarahnya, kita (pribumi) selalu kalah kalau berdagang dengannya,” tambahnya.

Dari beberapa pasar yang ada masa itu, Jalan Surabaya menjadi salah satu pasar kecil yang teramai. Rancangan Jalan Surabaya sebagai pasar barang

antik, memancing para pedagang lain berdomisili di Jalan Surabaya. Menempati tenda-tenda di sini. Saat itu jumlah pedagang bertambah hingga mencapai 184. “Itu kan karena ramai, jadi pedagang makin banyak datang kesini,” cetus Mumu.

Tidak semuanya pedagang baru yang datang ikut menjual barang antik, 30 persen diisi pedagang koper. Selebihnya pedagang barang dan kerajinan antik dengan berbagai model. Sayangnya, karena tenda terbuka, maka barang-barang tidak bisa menginap di toko. Penyimpanan barang terpaksa dirumah masing-masing. Kerepotan para pedagang ini harus berlangsung lama.

Saat Ali Sadikin kembali mengadakan kunjungan ke Jalan Surabaya, Dia ditodong dengan permintaan para pedagang untuk segera menata ulang pasar. Abdul Gani angkat bicara, “Pak, ini Ibu Kota kan?” Ali Sadikin lekas menjawab, ”ya tentu, mana ada bapak kota.” “Kalau ibu kan harus cantik. Ini masih berantakan, Pak, Ini belum tiga E. Enak dilihat, enak dipandang, enak dirasakan,” Abdul gani tak segan berseloroh. “Ah, bapak ada-ada saja,” Ali Sadikin tertawa. “Dibikin kios seragam saja, Pak. Biar sama. Biar tidak berantakan ke mana-mana,” tembak Abdul Gani. Ali Sadikin sepakat dengan ide pembenahan itu. “Ok, asal kebersihan

dan keamaman dijaga ya,” tutur Abdul Gani menirukan Ali Sadikin.

Tahun 1982, dibangunlah kios semi permanen di sepanjang jalan. Tata letaknya dibuat serapih dan senyaman mungkin. Karena ada beberapa pedagang koper, Jalan Surabaya dikhususkan sebagai pasar barang antik dan koper.

Semakin lama, peminat barang antik semakin banyak. Jalan Surabaya pun semakin dikenal sebagai pasar barang antik. Bahkan di dunia internasional. Selain diramaikan peminat domestik, sering turis-turis asing berkunjung ke sini. Tahun 1988, daerah ini ditetapkan sebagai salah satu tempat tujuan wisata belanja. Untuk melindunginya, Pemda menetapkan wilayah ini sebagai daerah cagar budaya.

“Ada orang-orang terkenal yang pernah kesini,” bangga Mumu. Artis-artis dunia pernah mengunjungi jalan Surabaya ini. Seperti Mick Jagger dan Sharon Stone. Bahkan mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton pun tertarik menyambangi daerah ini.

Perekonomian Jalan Surabaya mencapai puncak keemasannya. “Sekitaran tahun 1990-1995 itu masa keemasan kami,” ujar Mumu, ”banyak kok yang sampai bisa beli mobil, istri bahkan.” Sambil sedikit tertawa Mumu bercerita riwayat Jalan Surabaya kini.

Gelombang kerusuhan peristiwa 1998, turut menghantam stabilitas perekonomian Jalan Surabaya. Pasca peristiwa 1998, ketika merebak bentrokan dan penjarahan, Jalan Surabaya mulai sepi pembeli. Namun, perbaikan ekonomi pasca reformasi tidak membawa dampak bagi Jalan Surabaya. Masa keemasan sudah berlalu begitu jauh. “Yah, akhirnya seperti jalan ditempat saat ini. Kadang ada yang beli kadang ngga ada sama sekali,” tutup Mumu mengakhiri pembicaraan.

Indah Hidayatie

Foto

Sat

riono

Priy

o U

tom

o

Page 40: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

40

Tua,PenuhNostalgiaMenjual barang antik mesti melalui sistem kepercayaan.

Sepasang pengendara sepeda motor tepat berhenti di depan rumah No. 38 di Jalan Mangga, Utan

Kayu Utara, Jakarta Timur. Seorang lelaki dengan jaket kulit hitam bergegas turun. Dengan masih mengenakan helmnya, lelaki itu berteriak-teriak memanggil penghuni rumah.

Sepasang pengendara sepeda motor ini ialah pengepul buku-buku bekas, yang tiap bulannya datang ke rumah mantan Ketua RT. 005/06. “Kali ini kita dapat banyak, Pak.” jelas Imron sambil menggendong kardus berisi buku-buku bekas dan meletakannya tepat di depan pintu.

Mantan Ketua RT itu adalah Abdul Gani, pemilik toko barang antik di Jalan Surabaya. Teras rumahnya yang berukuran 5x1 meter, dipenuhi tumpukan buku dan majalah yang hampir semua sampulnya telah menguning dan berdebu. Dia kolektor buku-buku sekaligus penjual buku-buku antik. Abdul Gani segera melihat-lihat buku-buku bekas yang ditawarkan.

Ahmad, nama salah satu pengumpul buku-buku bekas itu, membuka jaket kulit dan menggantungnya di atas sebuah besi berkarat yang diletakan

menggantung. “Hei, jangan ditaruh di sana. Itu barang baru saja datang, ditaruh begituan, nanti jatuh gimana?” Omel Abdul Gani ketika lampu gentor miliknya digelantungi jaket kulit milik Ahmad. “Maaf Pak Dul, habis saya pikir cuma besi bekas yang tidak terpakai,” sesal Ahmad.

Abdul Gani segera merebahkan badannya di kursi plastik berwarna

merah, melihat-lihat buku-buku yang dibawa Ahmad dan Imron. “Jangan mentang-mentang kuning dan berdebu. Ini buku apa? Saya tidak mau ambil yang ini,” tanya Abdul Gani ketika sedang memilah buku-buku. Pemilahan buku-buku bekas bagi Abdul Gani sangatlah penting. Karena buku-buku bekas yang dibeli, akan dibawa ke kios miliknya untuk dijual. Tidak semua buku bekas

Foto

Inda

h H

iday

atie

Foto

Sat

riono

Priy

o U

tom

o

SUPLEMEN

Page 41: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

41

dicari orang (baca: pembeli). Abdul Gani tidak sembarang dalam memilih buku.

“Buku seperti ini tidak akan dicari pembeli,” Abdul Gani menunjukan buku kerohanian yang dicetak pada tahun 1978 oleh Departemen Agama Republik Indonesia. Dia mengutarakan, “halaman pada buku ini ada yang hilang. Sampulnya pun rusak. Pembeli jarang sekali mencari buku seperti ini.” Sontak Abdul Gani bangun dari tempat duduknya dan melangkah ke gudang. Dari gudang, dia menunjukan buku tebal dengan sampul berwarna biru tua. “Buku ini dicetak oleh Belanda tahun 1921. Ini baru buku antik,” bangga laki-laki yang telah memiliki cucu belasan ini. Dia menyuruh Imron untuk memeriksanya. “Tidak ada halaman yang kurang sedikit pun, kertasnya saja masih bagus,” puji Imron.

“Jadi semuanya Rp 150.000, Pak,” kata Imron menghargai semua isi buku-buku bekas di kardus yang dibawanya. Mendengar itu Abdul Gani hanya menjawab, “Saya tidak ambil semua. Hanya yang ini saja.” Kemudian Imron dan Ahmad bergegas kembali ke kiosnya di Blok M, Jakarta Selatan. Meninggalkan semua buku di rumah Abdul Gani tanpa uang sepeserpun. “Besok siang kita ketemu di kios saya saja,” dia berjanji melunasi pembayaran kepada Imron.

Sedari tahun 1950-an Pak Dul, sapaan akrab Abdul Gani, bergelut di dunia loak. Bermula dari kedatangannya ke Jakarta tahun 1946, Abdul Gani memutuskan untuk bekerja serabutan. Menurutnya kata antik baru kali ini saja dipakai untuk menyebut barang-barang bekas atau loak.

Pasca kepergian Ahmad dan Imron, Abdul Gani kembali kedatangan tamu. Kali ini tamunya seorang wanita bernama Yuliana. “Sama siapa kesini?” tanya Abdul Gani. “Saya sendiri naik taksi, turun di depan jalan. ke sininya jalan kaki,” jawab Yuliana.

Dari tasnya, Yuliana mengeluarkan

benda kotak dengan bungkus menyerupai kulit, berwarna coklat. Dia menyerahkannya kepada Abdul Gani. “Ini kamera kodak milik kakek saya yang pernah kita bicarakan waktu itu, Pak.” Serah Yuliana menjulurkan kamera itu di depan Abdul Gani.

Kamera kodak yang terbuat tahun 1912 itu merupakan milik kakeknya yang mantan seorang wartawan pada media lokal di Bandung, Jawa Barat kala itu. Semasa kakeknya hidup, kamera itu setiap hari dibersihkan. Setelah kakeknya meninggal pada tahun 2009, berbondong-bondong orang berdatangan untuk membeli kamera buatan Amerika itu. Mereka menawarnya dengan harga tinggi. Mereka berani menawar tinggi karena mengetahui kenangan dalam kamera itu.

Semasa kakeknya masih hidup, dia punya kebiasaan mencaritakan kisah hidupnya bersama kamera kodak itu. Kamera itu selalu menemaninya memotret orang-orang penting negara. “Tamu-tamunya selalu diceritakan tentang kisahnya bersama kamera ini. Anak dan cucunya pun diajak bernostalgia ketika kakek harus beradu mulut dengan polisi sewaktu ingin mengambil gambar Soekarno di Jalan Braga,” kenang Yuliana. Bentuk kamera itu seperti kamera poket seukuran saku baju. “Begitupun dengan kamera ini, dia jenis poket. Tapi cara pemakaiannya masih tradisional, tidak seperti sekarang berbentuk digital,” tambahnya.

Berapapun harga yang ditawarkan, Yuliana memutuskan untuk tidak menjualnya. Dia lebih memilih menyerahkannya kepada Abdul gani. “Sejak kamera ini saya pegang jadi tidak terawat. Pak Dul sendiri merupakan teman almarhum sejak dinas di Jakarta,” ungkap Yuliana. Yuliana berharap kamera ini tidak pindah tangan ke orang yang tidak tepat. “Kamera ini adalah bukti kalau kakek saya itu seorang wartawan,” tambahnya.

Sudah ribuan barang, termasuk buku dan lembaran foto yang disimpan Abdul Gani berasal dari pemberian orang yang dikenalnya. Biasanya barang pemberian itu tidak dipinjam atau dijual tanpa seizin yang punya. “Sebenarnya yang

(Kiri) Selain menjual, beberapa pedagang barang antik di Jalan Surabaya juga mampu memperbaiki barang-barang antik yang rusak.(Bawah) Rumah Abdul Gani dipenuhi barang antik.

Page 42: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

42

disebut antik adalah barang yang sudah tidak dipunyai lagi oleh orang banyak. Dan mempunyai nilai sejarah,” beginilah Abdul Gani menerjemahkan barang antik. Nilai sejarah biasa muncul karena suatu benda mempunyai kenangan.

Hal itu juga yang kemudian diutarakan oleh Pengamat Budaya Populer Irsyad Ridho. Menurutnya barang antik yang mempunyai nilai sejarah adalah barang yang menyimpan ingatan kolektif.

Barang yang khusus membawa mereka kepada ruang dan waktu yang pernah dilalui. “Mereka para pegiat barang antik. Biasanya melepas barang tersebut atas dasar kepercayaan. Di situlah sisi-sisi ingatan kolektif dijaga,” imbuh Irsyad yang juga mengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Bukan Cuma Karena NostalgiaNamun tidak semua memperlakukan

barang antik karena memiliki memori kolektif. Salah satunya, Ibrahim Esmad. Seorang Direktur Eksekutif pada salah satu hotel yang terletak di Pecenongan, Jakarta Pusat. Dia telah sebelas tahun mengoleksi barang antik berupa furnitur. Dari meja, kursi, lampu, kipas angin sampai perlengkapan dapur.

Bagi Esmad, dirinya memang tidak memiliki kenangan khusus pada barang-barang yang dikoleksinya. Atas dasar ketertarikan dengan seni, dirinya terjun ke dunia yang telah menyita separuh waktunya. “Hampir selepas pulang kantor, saya selalu menyempatkan diri ke Jalan Surabaya. Kalau hari Sabtu dan Minggu, saya bisa seharian di sana (Jalan Surabaya),” jelas lelaki yang dalam seminggu ada saja barang antik yang

dibelinya di Jalan Surabaya. Dengan penghasilannya, dia telah

menyediakan anggaran khusus untuk kesenangan mengoleksi barang antik. “Dalam seminggu, saya sediakan Rp10.000.000. Peranti ada barang-barang antik yang saya suka. Kalau tidak paling sekadar ngobrol-ngbrol dengan para pedagang,” tambahnya. Esmad termotivasi menjadikan rumahnya menyerupai ‘Rumah Jengki’. Rumah dengan atap berbentuk piramida, yang populer di bangun oleh masyarakat kelas menegah atas Batavia (Jakarta) pada masa penjajahan Belanda.

Oleh karena itu, Esmad tidak peduli berapapun biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi keinginannya.Menurutnya, barang antik adalah sesuatu seni yang harus dipelihara. “Sekarang

lebih banyak orang yang berburu barang antik karena seni. Bukan karena mereka memiliki ingatan khusus pada barang tersebut,” cetus lelaki berusia 54 tahun. Terkadang, sakin cintanya pada seni antik, barang-barang buruannya sering menjadi pajangan di tempatnya bekerja. Dia akan terus berburu mebel antik, sampai rumahnya sangat mirip dengan ‘Rumah Jengki’.

Pemaknaan baru terhadap barang

antik ini menimbulkan pergeseran fungsi. “Kondisi yang seperti ini, menjadikan barang antik bernilai ekonomis,” kata Irsyad Ridho menyayangkan hal tersebut. Sekarang, banyak jual-beli barang antik yang bukan berangkat dari kepercayaan. Melainkan kebutuhan akan barang tersebut. Hal itu semakin membuat barang antik semakin mahal harganya. Bukan karena ingatan yang ada di dalamnya, melainkan karena kemasan yang belum tentu mencerminkan kelamaan usianya. Barang antik pun tidak terlepas dari komodifikasi ekonomi.

Satriono Priyo Utomo

(Kiri) Rupa-rupa aksesoris lebih diminati pembeli.(Kanan) Kamera Kodak buatan tahun 1912

Foto

Inda

h H

iday

atie

SUPLEMEN

Page 43: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

43

Siang itu, Roni sedang asyik memandikan setrika tuanya. Setrikanya berbeda dari setrika

yang diproduksi kini. Cara pakainya bukan menyambungkannya dengan saluran listirik, melainkan memasukan arang pada badan setrika, kemudian membakarnya. “Setrika ini jenis ayam jago. Yang saya punya keluaran tahun 1950-an,” kata pemuda asal Bandung ini. Roni mendapatkan setrika ayam jago dari seorang kolektor sebanyak tiga buah. Masing-masing setrika dibeli dengan kocek Rp 50.000.

Jika dijual di Jalan Surabaya, setrika ini bisa berkisar dari Rp 200.000 sampai jutaan rupiah. Keuntungan ekonomi yang besar memunculkan sejumlah pedagang nakal untuk memproduksi ulang setrika antik ini. Tidak seperti barang antik lainnya, setrika seperti ini lebih banyak orang yang menjualnya ketimbang membeli.“Di Bandung ada pabrik yang memproduksi ulang setrika ayam jago ini. Banyak pedagang membeli barang baru dan dipoles jadi setrika antik,” ungkap Roni.

Pemolesan barang berani dilakukan para pedagang karena banyak pembeli yang tidak paham seluk beluk barang antik. “Sasaran saya biasanya bule, dan menjualnya dibumbui cerita-cerita antik,” Roni menambahkan

Akhirnya, barang antik yang dijual tidak melulu barang lawas. Banyak pedagang yang sekadar menjual barang antik karena bentuknya atau motifnya. Serta menambahkan cerita-cerita ‘antik’ pada barang tersebut.

Dia mengamini bahwa ada beberapa guci dan porselen di kiosnya diperoleh dari pusat keramik yang terletak di daerah Rawasari, Jakarta Pusat. Di sana Roni dapat membeli berbagai macam pernak-pernik seperti guci dan porselen baru dengan motif lama. Lelaki ini tidak memoles guci dan porselen yang dibelinya di pusat keramik Rawasari. “Saya menjualnya persis dengan barang yang saya beli,”

gumamnya.Hal ini memang dibenarkan oleh

beberapa pedagang barang antik di Jalan Surabaya. “Lampu gentor ini produksi baru. Tapi motifnya lama. Pembeli pun tidak memperhatikan ini,” kata seorang pedagang di pasar barang antik Jalan Surabaya yang tidak mau disebutkan namanya.

Abdul Gani yang berdagang sudah puluhan tahun bergelut di dunia barang antik menuturkan kondisi saat ini tidak semua barang di Jalan Surabaya dapat

Jual Beli Barang Antik

disebut barang antik. “Barang yang di jual disini pun tidak bisa dibilang antik. Guci atau porselen bisa dibilang antik kalau berumur ratusan tahun,” ujar laki-laki pemilik kios nomer 147 ini. Abdul Gani menambahkan guci, patung, dan porselen yang banyak dijual merupakan barang baru dengan motif antik. “Ada yang sengaja menyeset guci atau memecahkannya biar barang itu dibilang tua,” tambahnya.

Kecenderungan ini terjadi karena barang antik semakin langka. Semakin langka keberadaan suatu barang maka semakin mahal harganya. Tapi tak semua pedagang memilih memoles barang baru sebagai jalan pintas mengatasi langkanya barang antik. “Itu hanya dilakukan oleh beberapa oknum,”kata koordinator paguyuban pedagang jalan surabaya Mumu Hidayat. Oknum itu tergiur akan keuntungan berlebih dalam bisnis barang

antik. Pedagangnya lainnya memilih

berkompromi menjual barang lain untuk mengatasi kelangkaan barang antik. “Barang antik sekarang sulit didapat. Kebanyakan menggantinya dengan barang seni. Macam gong, tifa, topeng dari kayu, dan ukir-ukiran,” imbuh laki-laki yang masih bertahan menjual barang-barang tua perlengkapan pelayaran ini.

Kondisi ini dimapankan oleh para pembeli yang tidak lagi memaknai Jalan Surabaya sebagai pasar barang antik semata. Sehingga pembeli barang antik di Jalan Surabaya yang biasanya berasal dari lapisan masyarakat kelas menengah atas tidak merasa dirugikan oleh kejadian ini. Hal ini diakui oleh Resti Amira, pembeli yang baru pertama kali berkunjung ke Jalan Surabaya. Dia mengatakan kerabatnya sering bercerita tentang Jalan Surabaya, yang dikenal menjual banyak souvenir dan barang-barang tua. “Saya ke sini cari pajangan untuk menghiasi restoran milik keluarga,” jawab Resti, pemilik sebuah restoran yang terletak di bilangan Jakarta Selatan.

Ibu tiga anak ini memborong tiga buah patung wayang golek dari kios nomor 136. “Tadi bapaknya (penjual) menceritakan kalau patung ini buatan tahun 1970 dan bertuah. Tapi saya tidak peduli itu, saya suka ini karena motifnya unik,” terang Resti Amira bergegas meletakan patung itu ke sebuah mobil sedan berwarna merah buatan Jerman.

Keberadaan Jalan Surabaya yang sudah dikenal menjadi pasar barang antik menjadi pemuas pemburu barang-barang tua. Baik perabotan rumah tangga, buku, radio, kaset yang sudah dimakan waktu dan tidak diproduksi lagi. Kini orang yang datang ke jalan surabaya bukan lagi mencari barang antik. Melainkan barang seni macam gelang, kalung, pajangan, serta aksesoris pabrikan lainnya. Buatan baru dengan motif antik. Hal ini semakin melunturkan keberadaan barang antik sebagai ruang nostalgia, juga menjaga ingatan kolektif.

Satriono Priyo Utomo

Pembeli barang antik di Jalan Surabaya kini bukan lagi mencari barang

yang mempunyai kedekatan ingatan khusus dengannya. Melainkan karena

hasrat pemuas seni, karena materi

berlebih.

SUPLEMEN

Page 44: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

44

Siapa Mau ke Perpustakaan?

Foto

Rep

ro

LAPORAN KHUSUS

Page 45: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

45

Saat dapat tugas Sosiologi dari gurunya, siswa kelas 3 SMA 54 Tiara (17) berge-gas mencari buku referensi di Perpustakaan Daerah

Jakarta Timur. Ia yang sudah dua tahun menjadi anggota perpustakaan ber-harap dapat sumber guna memenuhi makalahnya mengenai kelompok sosial.

Jarak antara sekolah dan Per-pustakaan Daerah Jaktim yang dekat membuat Tiara sering berkunjung. Untuk mencari referensi tugas atau sekadar melihat buku-buku baru. Saat itu di perpustakaan seluas 10x15 meter Tiara asik kasak-kusuk mencari buku tujuannya. “Abis ngga ada OPAC (me-sin pencarian buku otomastis) jadinya mesti cari satu-satu gini,” keluh Tiara.

Setelah cukup lama memilah buku, Tiara kecewa. Ia tak berhasil mendapat buku yang dituju. “Sayang bukunya ti-dak ada,” ujarnya memelas. Biar sudah jadi anggota selama dua tahun, sebena-rnya Tiara tahu kondisi perpustakaan memang tidak banyak menyediakan buku-buku baru. Makanya lawatan kali ini ia hanya mencari buku tentang kelompok sosial. Tapi hasilnya tetap mengecewakan.

Ihwal koleksi di perpustakaan umum negeri bukan cuma jadi keluhan Tiara. Di tempat berbeda, Rizha ma-hasiswi Universitas Negeri Jakarta juga mengalaminya. Di Perpustakaan DKI Jakarta di bilangan Kuningan, Rizha mengaku kesulitan untuk mencari lit-erasi yang mendukung skripsinya. “Iya nih, kurang lengkap. Saya mencari buku tentang pertanahan,” keluhnya.

Ketidaklengkapan sumber-sumber buku menjadi lawas buat perpustakaan. Bisa jadi ini masalah utama bagi per-pustakaan yang tak kunjung dijawab.(Baca: Bermimpi Perpustakaan Ramai) Sebagai salah satu sarana pendidikan, perpustakaan harus berkontribusi dalam meningkatkan tingkat membaca masyarakat. Melengkapi koleksi jadi salah satu cara.

“Seharusnya perpustakaan meye-diakan buku terbaru agar pembaca mau datang ke perpustakaan,’’ ujar Ketua Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) Jakar-ta Afrizal Sinaro. Hal ini kemudian jadi

penyebab mengapa jumlah pengunjung perpustakaan sedikit.

Afrizal cukup maklum dengan sedikitnya jumlah kunjungan per-pustakaan. “Saya menterjemahkan perpustakaan itu identik dengan ada kumpulan buku yang tertata rapih. Mudah-mudahan sekian lama tidak tersentuh. Itu gambaran perpustakaan,” ungkapnya.

Contohnya di Perpustakaan Daerah Jakarta Timur rata-rata kunjungan tiap hari hanya mencapai 50 kunjungan. Itu pun hanya kalangan terbatas. “Pen-gunjung disini berasal dari pelajar dan mahasiswa,” ujar Kepala Tata Usaha Kantor Perpustakaan dan Arsip Kota (KPAK) Jakarta Timur Edi Susanto.

Tampilan perpustakaan yang kaku juga mempengaruhi kunjungan yang terbatas dari pelajar saja. Mahasiswa Ju-rusan Ekonomi Universitas Indraprasta Rangga jadi contoh, “saya kesini untuk mencari bahan skripsi. Ia mengaku ketika mengerjakan skripsi bisa dua minggu sekali datang ke perpustakaan.

Edi Susanto sebenarnya agak geram dengan pengunjung yang sangat spesifik tersebut. “Mereka datang kalau ada perlunya saja. Seperti yang kuliah itu, kalau cari buku buat kuliah baru mau datang,” keluh Edi. Ia menambah-kan dari kondisi tersebut ada dampak berarti ketika masa liburan sekolah, perpustakaan benar-benar sepi pen-gunjung.

Walaupun demikian, pengunjung yang sudah datang lebih sering dapat layanan minim di perpustakaan. Pen-galaman ini pernah dirasa Anton ketika sedang di Perpustakaan DKI Jakarta. Saat sedang membaca di lantai delapan, tiba-tiba petugas merapihkan bangku, dan mematikan lampu. Padahal, ketika itu belum jadwal perpustakaan tutup. “Saya jadi risih, kemudian saya keluar saja,” ujarnya.

Selain fasilitas utama, seperti koleksi, kondisi ruangan yang nyaman pun mempengaruhi minat pengun-jung. Edi Susanto menyadari hal ini. “Sejak masih di Rawabunga saya sudah mengajukan perbaikan, tapi ditolak,” kata Edi. Jangankan bermimpi untuk memiliki fasilitas memadai, kebutuhan

Perpustakaan itu identik dengan

kumpulan buku yang tertata rapih. Mudah-

mudahan sekian lama tidak tersentuh dan

berdebu.

Siapa Mau ke Perpustakaan?

Page 46: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

46

dasar non-koleksi saja belum terpenuhi. Misalnya keberadaan mesin pencarian buku di lima perpustakaan kotamadya Jakarta masih belum terealisasi. Selama ini, pelayaan di lima wilayah masih manual.

Butuh waktu perlahan dan bertahap untuk melengkapi fasilitas elektronik. “Mula-mula jika sistem internetnya

daerah. Sedangkan, tingkat pendapa-tan daerah di Indonesia masih belum merata. Ada yang sangat tinggi seperti kota-kota besar macam Jakarta, Band-ung, dan Semarang

Ada pula yang sejak otonomi anggarannya minimalis. Contohnya di Palu, Sulawesi Tengah. Saat Per-pustakaan Nasional masih menjadi

berjalan, anggota dibuatkan kartu anggota elektoronik. Baru semuanya bertahap bisa elektronik.” Rudy, Staff KPAK administrasi Jakarta Timur menunjukan tumpukan buku-buku koleksi yang berserakan. “Kalau mau elektronik ini (buku) mesti dibarcode, untuk menata ulang semuanya saja butuh biaya di atas 25 juta.”

Masalah mampatnya anggaran per-pustakaan disebabkan karena pola pen-danaan yang kini sudah berotonomi. Hal ini dijelaskan Humas Perpustakaan Nasional Agus Sutoyo. Pengelolaan perpustakaan daerah kini jadi tanggung jawab pemerintah setempat. Masalah-masalah sarana menjadi urusan Waliko-ta. Sementara perpustakaan kelurahan tanggung jawab lurah setempat.

Persoalan timbul dari sisi anggaran, karena anggaran yang didapat dari perpustakaan daerah hingga tingkat kelurahan bersumber dari pendapatan

pusat perpustakaan-perpustakaan dae-rah anggarannya mencapai 2,5 milliar rupiah setahun. Kini hanya mencapai 750 juta rupiah. Atau di Maluku Utara yang hanya punya anggaran setahun 250 juta. Anggaran tersebut juga sudah termasuk gaji pegawai dan urusan pengelolaan perpustakaan.

Dia juga menuturkan akibat ketida-kmerataan pembangunan perpustakaan di daerah, Perpustakaan Nasional juga turut turun tangan. Biasanya Perpustakaan Nasional memberikan bantuan lewat dana dekonsentrasi APBN. Semisal di Palu diganjar 2,5 milliar rupiah, atau Maluku disantuni 1,25 milliar rupiah. “Seperti itulah kondisi perpustakaan sekarang,” tandas laki-laki lulusan IKIP ini.

Saat ini urusan membangun per-pustakaan hingga ke daerah-daerah juga bukan lagi kewenangan Per-pustakaan Nasional, kini hal tersebut

jadi wewenang Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri). “Jadi kalau desa itu belum punya perpustakaan, Badan Pengelola Pengambangan Desa (BPPD) yang bertugas mengembang-kan perpustakaan sampai kedesa-desa,” terang Kepala Humas Perpustakaan Nasional Agus Sutoyo.

Lewat otonomi, pengelolaan

perpustakaan secara struktural kini ada dibawah walikota, secara administrasi ada di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) provinsi. BPAD ini menggantikan kewenangan mengelola perpustakaan di tingkat provinsi yang tadinya dimiliki perpustakaan nasional.

Makanya, di tiap perpustakaan daerah bisa punya fasilitas yang berbeda-beda. Misalnya Perpustakaan Daerah Jakarta Barat. Ia telah mereno-vasi gedung, yang selesai pada Januri 2012, karena mendapat anggaran dari walikota Jakarta Barat. Kini kunjungan di Perpustakaan Daerah Jakarta Barat telah mencapai 350 setiap hari dengan tambahan 400 anggota pasca renovasi.

Di Perpustakaan Daerah Jakarta Timur sudah berapa kali mengada-kan pengajuan perbaikan fasilitas dan koleksi. “Saya mengajukan untuk elek-tronik saja belum diterima. Dianggap belum jadi kebutuhan,” tambah Edi. Makanya, kondisi Perpustakaan Daerah Jakarta Timur tidak banyak berubah mengenai fasilitas dan koleksinya.

Bila koleksinya terbatas, fasilitas minim, lantas siapa yang mau ke per-pustakaan? Citra Nuraini

“Mereka datang kalau ada perlunya saja. Seperti yang kuliah itu, kalau cari buku buat kuliah baru mau datang,”

Edi Susanto, Kepala Tata Usaha KPAK Jakarta Timur

Perpustakaan Jakarta Timur terlihat sepi dan lengah.

LAPORAN KHUSUS

Foto Citra Nuraini

Page 47: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

47

Seperti layaknya remaja puteri jaman sekarang, Puput (19) gandrung dengan hal-hal berbau cinta populer. Entah musik, film, atau novel dan

cerita pendek. Ia suka. Untuk bacaan ia menyukai Dewi Lestari. Menurutnya, buku-buku Dee sapaan akrab Dewi Lestari punya kekuatan yang bisa me-nyentuh pembaca.

Saking terpukau dengan Dee, Puput berencana menuntaskan serial Supernova. Sayangnya, langkah Puput membaca karya Dee agak terhambat.

Ketiadaan koleksi yang terbarukan ditambah minimnya pustakawan membuat perpustakaan jarang dilirik.

Harga buku Dee dirasa cukup mahal buat ukuran kantong pelajar macam dia. Tak habis akal, Puput men-cari siasat. Ia tahu Supernova buku terbitan lama, maka ia mencoba ke perpustakaan untuk menuntas hasrat membacanya.

Ia kemudian datang ke Per-pustakaan DKI Jakarta. Di sana ia kembali harus menunda syahwat menemui Dee lewat karyanya. “Payah, novel Dee berjudul Petir tidak ada,” ke-luh Puput. Padahal buat Puput pilihan ke perpustakaan adalah pilihan terakhir,

setelah ia coba membaca di toko buku berulang kali. “Saya berharap bisa langsung baca disini, di toko buku lelah berdiri terus.” Cerita Puput. “abis bukunya mahal.”

Orang seperti Puput, yang kecewa atas koleksi buku perputakaan yang tidak mumpuni jumlahnya tidak sedikit. Padahal, bila melihat konteks Puput yang terhadang oleh harga buku yang cukup mahal, potensi perpustakaan sebagai penyedia bacaan bisa digdaya bila punya koleksi yang banyak dan berkualitas.

Bermimpi Perpustakaan Ramai

Page 48: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

48

Koleksi pustaka memang kerap menjadi salah satu biang keladi bagi perpustakaan dalam mendatangkan pengunjung. Kondisi ini disebabkan oleh sistem pengadaan koleksi pustaka bagi perpustakaan negeri. Secara garis besar ada dua model pengadaan koleksi pustaka. Pertama melalui anggaran negara, APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) buat Perpustakaan Nasional, APBD (Anggaran Pendapa-tan dan Belanja Daerah) untuk Per-pustakaan Daerah.

Cara kedua yakni melalui penyera-han KCKR (Karya Cetak dan Karya Rekam) berdasarkan UU No.4 tahun 1990 tentang kewajiban lembaga penerbitan dan perusahaan rekaman menyerahkan karya setelah tiga bulan diterbitkan. Dua eksemplar untuk dokumentasi perpustakaan nasional, satu eksemplar untuk perpustakaan provinsi.

Cara melalaui APBN dan APBD dilakukan karena perpustakaan negara merupakan lembaga negara yang harus patuh atas mekanisme pengadaan barang dan anggaran. Melalui me-kanisme ini, pengadaan koleksi dilelang kepada perusahaan-perusahaan tender. Sementara frekuensi pengadaan koleksi pustaka juga tidak menentu, tergantung ketersediaan anggaran.

Hal ini yang kemudian agak mem-

beratkan perpustakaan untuk terus memperbaharui koleksi pustakanya. Kepala Humas Perpustakaan Nasi-onal Agus Sutoyo juga menyayangkan mekanisme pengadaan koleksi pustaka yang disamakan dengan pengadaan barang di lembaga-lembaga pemerin-tahan. Karena dalam mekanisme terse-but perpustakaan bisa memperbaharui koleksi hingga waktu enam bulan. Sementara buku baru pasti muncul setiap bulan.

“Perpustakaan Nasional sudah berupaya agar Kementerian Keuangan mau memberi toleransi dalam pen-gadaan koleksi pustaka,” kata Agus. “Namun, hingga kini belum digubris sama sekali.” Selain itu, dengan me-kanisme ini pihak perpustakaan juga tidak langsung bertemu dengan pihak penerbit yang menyebabkan harga buku menjadi lebih mahal. Makanya koleksi yang didapat juga makin minim.

Sementara itu, menanggapi perihal mekanisme tender, Ketua Ikatan Penerbit (Ikapi) Jakarta Afrizal Sinaro menyarankan agar pihak perpustakaan berhubungan langsung dengan penerbit. “Banyak keuntungan yang didapat selain harganya lebih murah, perpustakaan akan dapat info buku terbaru, best seller, dan berkualitas,” jelas Afrizal.

Cara kedua yang biasa digunakan

untuk menambah koleksi adalah den-gan penyerahan KCKR. Potensi den-gan cara ini lebih strategis, mengingat dalam peraturan perundang-undangan-nya terbitan apapun harus diserahkan ke negara dalam rangka menunjang pembangunan nasional pada umumnya, khususnya pembangunan pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian dan penyebaran informasi serta pelestarian kekayaan budaya bangsa.

Lewat penyerahan KCKR, Per-pustakaan Nasional setiap tahun menerima koleksi hingga 6000 buah eksemplar. Sedangkan untuk tingkat provinsi semisal Perpustakaan DKI Jakarta bisa menerima hingga 4000 buah. Sebenarnya angka tersebut masih belum maksimal karena di Jakarta saja tercatat ada 285 penerbit, “ada kelema-han dari kawan-kawan penerbit, banyak yang tidak menyerahkan KCKR ke per-pustakaan,” Afrizal menjelaskan.

Setelah KCKR diarsipkan sesuai jumlah yang ditetapkan, koleksi dari KCKR ini juga tidak menetap di Per-pustakaan Nasional dan Perpustakaan Provinsi. Koleksi yang didapat juga didistribusi untuk perpustakaan tingkat kelurahan dan desa melalui program hibah. Bersama koleksi dari hasil pen-gadaan melalui APBN, Perpustakaan Nasional memberi koleksi ke seluruh

LAPORAN KHUSUS

Page 49: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

49

Indonesia. Sedangkan Perpustakaan Provinsi ke seluruh wilayah kotamadya dan kelurahan.

Tujuan program tersebut, bu-kan hanya untuk menambah koleksi perpustakaan-perpustakaan di tingkat yang lebih kecil, melainkan untuk kemajuan potensi daerah. Penyaluran-nya diverifikasi berdasar kajian pemakai yang disesuaikan dengan letak geo-grafis, terutama wilayah yang sangat spesifik. “Buku-buku kelautan tidak mungkin diserahkan ke wilayah pengu-nungan. Wilayah pertanian kita berikan buku-buku pertanian. Jadi buku itu lebih pada buku-buku keterampilan,” papar Agus.

Pembagian koleksi ini hanya diberi-kan pada wilayah yang telah memiliki perpustakaan. “Hanya desa yang sudah memiliki perpustakaan yang dibantu, yang belum ada itu tanggung jawab pemerintah setempat,” tan-das Agus yang lulusan IKIP Jakarta. Perpustakaan nasional mempunyai kewajiban, bukan wewenang, untuk membagikan koleksi ke pelosok daerah terpencil.

Sekarang tanggung jawab penge-lolaan perpustakaan daerah provinsi berada di pemerintah daerah dengan institusi yang berwenang bernama Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD). BPAD berwenang membuat kebijakan umum untuk perpustakaan

hingga tingkat kotamadya dengan membawahi Kantor Perpustakaan dan Arsip Kota (KPAK).

Sedangkan untuk tingkat kelurahan, kewenangan membuat perpustakaan menjadi tanggung jawab kelurahan. “Dari sisi tempat dan sumber daya ma-nusia untuk tenaga teknis diharapkan kelurahan bisa menyediakan. Sedang-kan tugas BPAD adalah untuk melatih SDM dan pengadaan koleksi mereka,” ujar Ketua BPAD Provinsi DKI Jakarta Maman Achidayat.

Selain koleksi, keberadaan SDM juga sering diributkan pihak per-pustakaan. Pustakawan amat terbatas. Di Indonesia, ada 542 pustakawan yang tersebar hingga tingkat Perpustakaan kabupaten dan kota. “Untuk tingkat provinsi ada 7 pustakawan di Jakarta, sedangkan di tingkat kotamadya dan kecamatan belum ada,” jelas Maman.

Karena keterbatasan tenaga pustakawan, maka kebutuhan pustakawan di tingkat kotamadya bi-asanya meminjam pustakawan provinsi. “Saat banyak buku baru, kita baru minta tenaga pustakawan ke provinsi,” ujar Edi Susanto, kepala Tata Usaha KPAK Jakarta Timur. Pola kerja seperti ini dimulai sejak 2005.

Kerja pustakawan pun masih seba-tas tenaga fungsional. “Dulu sewaktu ada biasanya dia kerjanya di bagian teknisi pengolahan buku,” ujar Rudy,

staf KPAK administrasi Jakarta Timur. Ini berarti ada kondisi penurunan fungsi dan peran pustakawan.

Manajer Perpustakaan Univer-sitas Bunda Mulia Yustinus Yuni-arto memandang peran pustakawan sangat vital dalam setiap alur kerja perpustakaan, seperti pengadaan, pengolahan, dan sirkulasi. “Untuk pengolahan, pustakawan harus tahu tren buku, kualitas buku, dan sasaran pembaca. Sedangkan untuk pengola-han ia membuat katalog buku berdasar klasifikasinya,” papar Yustinus.

Untuk kerja sirkulasi, Yustinus menambahkan, pustakawan punya peran dalam menarik minat baca. “Saya lihat disalah salah satu kampus swasta, pustakawan juga bertugas mengadakan kegiatan yang berhubungan dengan perbukuan, seperti temu penulis, book event,” tandas laki-laki yang merangkap jadi dosen manajemen ini.

Tampilan kaku yang identik dengan perpustakaan bisa jadi dipengaruhi oleh SDM perpustakaan yang tidak berkapasitas di bidangnya. “Kami ini tahunya kerja teknis saja,” aku Rudy. Biar begitu Rudy sebenarnya menyadari bahwa kerja pustakawan tidak hanya sekadar melansir buku. Kemudian bila berjalan dengan baik pustakawan berpotensi untuk menggerak per-pustakaan. Semoga tak cuma mimpi.

Citra Nuraini

“Untuk tingkat provinsi ada 7 pustakawan di Jakarta, sedangkan di tingkat kotamadya dan kecamatan belum ada,”

Maman Achdiyat, Kepala BPAD DKI Jakarta

Kiri, Sumber pustaka yang beragam jadi daya tarik perpustakaan. Kanan, Koleksi di ruang referensi Perpustakaan DKI di Kuningan. Belum mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat akan buku-buku baru.

Foto

Rep

ro

Foto

Citr

a N

urai

ni

Foto

Rep

ro

Page 50: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

50

Rudi Hartanto ge-lisah. Tetangganya sering mengeluh sulit mendapatkan buku ba-caan bagi anak-anak

mereka. Sebagai pemuda dia berniat mengambil peran. Akhirnya, laki-laki berumur 35 tahun itu berniat mendiri-kan sebuah taman bacaan.

Ia mengumpulkan buku-buku koleksi pribadinya. Merasa koleksinya kurang, laki-laki yang bekerja sebagai Staf Administrasi Politeknik Bunda Kandung ini meminta bantuan rekan-

rekannya di Karang Taruna Kelurahan Manggarai. Bersama teman-temannya, akhirnya terkumpul sebanyak 700 buku. Teras rumahnya yang beru-kuran 2x4 meter disulap menjadi perpustakaan mini. Berdirilah Rumah Baca Zaffa (RBZ) secara resmi pada 28 Agustus 2008.

Konsep perpustakaannya semacam Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Selain berfungsi sebagai penyedia buku, RBZ punya fungsi sebagai pusat edukasi masyarakat. Karena itu, Rudi bersama relawan RBZ lainnya pun

menyusun sejumlah acara agar per-pustakaan ramai pengunjung, setida-knya bagi masyarakat sekitar. “Kalau saya bikin sekedar perpustakaan saja, nanti sepi dikunjungi,” ujar laki-laki berumur 35 tahun ini.

Agar ramai kunjungan RBZ mengadakan kelas origami, mendon-geng, membaca bersama, menonton bersama, bimbingan belajar, dan lomba mewarnai. RBZ juga menyiasati agar anak-anak yang rajin berkunjung dan membaca agar tidak bosan dengan mengadakan kegiatan wisata edukasi, buka puasa bersama Yayasan 1001 Buku.

RBZ, hanyalah salah satu dari sekian banyak TBM yang ada dan ber-jaya. Sejak 2000, TBM bermunculan dibeberapa daerah, sebagai alternatif perpustakaan. Gerakan ini dimotori oleh individu-individu. Mereka merasa perlu ada pembenahan dalam per-pustakaan umum.

Konsep yang mereka hadirkan

Agar Tak Jadi Gudang Buku

Menyadari kunjungan ke perpustakaan kurang diminati, perpustakaan berbenah diri. Meniru konsep TBM, coba mengajak

masyarakat datang ke perpustakaan.

Mobil Keliling, upaya meningkatkan partisipasi masyarakat kepada literasi

LAPORAN KHUSUS

Page 51: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

51

adalah perpustakaan sebagai pusat edukasi. “Kami lebih suka menyebut-nya dengan taman baca masyarakat. Perpustakaan dan taman baca punya konsep yang berbeda,” ujar Afrizal Sinaro, ketua Ikapi (Ikatan Penerbit) Jakarta. Lembaganya turut mendirikan sebuah TBM.

Gerakan TBM mulai banyak di-lakukan sebagai jawaban atas kebekuan perpustakaan. di Bandung misalnya Tarlen Handayani pemilik Toko Buku Kecil (Tobucil) juga menyisihkan laba tokonya guna mendanai taman baca gratis. Dauzan Farook di Jogjakarta malah lebih greget membuat TBM. Ia berkeliling mengendarai sepeda men-jajakan buku dan majalah gratis. Ini disebutnya Mabulir atau Majalah dan Buku Bergilir.

Rudi, Tarlen, dan Dauzan bergerak demi menyuguh bacaan dengan cara yang menarik. Bukan cuma itu. “Untuk menarik minat atau untuk membuat tidak bosan saya dan kawan yang juga sesama pengurus TBM sering menga-dakan riset atau studi banding, pam-eran, workshop, dan publikasi-publikasi di surat kabar,” ujar ketua pengurus Forum TBM se-Jakarta Yopie Dahlan.

Namun, perjalanan TBM bukan tanpa hambatan. Masalah utama yang sering dihadapi TBM adalah menge-nai dana dan sumber daya manusia. Karena dibangun secara swadaya maka dana yang didapat juga byarpet. “Kami (TBM) sama sekali tidak dibayar dan dihidupi pemerintah,” lanjut Yopie. Guna mensiasati hal tersebut TBM biasa saling tukar koleksi.

Mencontoh cara menyajikan bacaan yang tidak monoton, perpustakaan negeri mulai ikut berbenah diri. Di Jakarta, beberapa perpustakaan memulainya dari perbaikan gedung dan fasilitas. Diawali Perpustakaan Jakarta Utara. Disusul Perpustakaan Jakarta Barat. Kini perpustakaan provinsi DKI Jakarta. “Tahun 2012, gedung ini akan direnovasi total. Gedung administrasi dan depo arsip ini akan dijadikan per-pustakaan provinsi berstandar interna-sional,” ujar Maman.

Utamanya, perbaikan fasiiltas ingin menghapus citra perpustakaan yang terlihat kumuh dan kaku. Gedung

KPAK Jakarta Barat misalnya, setelah direnovasi ruangannya tak melulu berisi koleksi buku dan ruang baca. Ada tempat bermain anak, ruang kios pendidikan, ruangan multimedia anak, ruang diskusi, ruang belajar, kafetaria, dan ruang seminar.

Pembenahan perpustakaan juga diikuti program-program yang mem-bujuk masyarakat agar sering datang ke perpustakaan. Misalnya ada lomba membaca cerita, lomba pidato, lomba menulis, atau pemilihan Abang dan None Buku. Kegiatan semacam ini mulai dilakukan sejak 2006.

“Tiap tahun kita menyelenggarakan Hang Jabah (Hari Anak Jakarta Mem-baca). Dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat wilayah masing-mas-ing yang dikomandoi KPAK,” ung-kap Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip DKI Jakarta Maman Achdiyat. Kegiatan ini bertujuan menghadirkan perpustakaan yang tidak kaku dan membosankan.

Progam perpustakaan yang sistema-tis untuk mengajak masyarakat mem-

baca mungkin baru Mobil Keliling. programnya sudah terlaksana secara berkala di setiap titik-titik tertentu. “Animonya cukup bagus. Sekalian sosialisasi, ternyata banyak yang belum tahu ada perpustakaan didaerah sini,” ujar Edi, Kepala Tata Usaha Kantor Perpustakaan dan Arsip Kota (KPAK) Jakarta Timur.

Yustinus Yuniarto, dosen sekal-igus manager Perpustakaan Univer-sitas Bunda Mulia mengkhawatirkan program seperti itu tidak menghasilkan apa-apa. Karena program tersebut tidak dilakukan secara konsisten dan serius, serta masih berpusat pada insti-tusi dan kurang melibatkan secara aktif masyarakat.

Rudy, Staff Tata Usaha KPAK Jakarta Timur mengamini Yustinus, “Acara Hang Jabah dan pemilihan Abang dan None buku ramai karena ada kerja sama dengan sekolah untuk mengirimkan perwakilan,” katanya. “Setelah kegiatan selesai orang-orang-nya hilang begitu saja dan tidak ada kelanjutannya.”

Belum lagi, upaya perbaikan yang dirasa sia-sia. Luky, pengunjung Perpustakaan Daerah Jakarta Barat misalnya mengeluhkan fasilitas-fasilitas baru yang tidak dimanfaatkan dengan baik. “Tempatnya sudah nyaman, tapi banyak ruangan yang tidak diisi dengan kegiatan. Makanya kosong terbengka-lai,” katanya.

Yustinus mengatakan bahwa se-banarnya, perpustakaan bisa membuat program yang sebenarnya sederhana tapi fundamental. Seperti menjadikan perpustakaan sebagai tempat pembela-jaran yang kontekstual dan membuka akses 24 jam di perpustakaan. “Di Amerika, di salah satu negara bagian yang punya banyak imigran, per-pustakaan punya program pelajaran buat mereka, dengan konsep New American,” papar Yustinus.

Sekarang pepustakaan berarti dituntut aktif untuk membuat masyara-kat mau membaca, dengan mengelu-arkan program-program yang efektif. Selain, menjadikan perpustakaan ramai dikunjungi, program-program tersebut berguna agar perpustakaan tak jadi gudang buku. Citra Nuraini

Foto

Rep

ro

Page 52: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

52

Opini

Dalam berbagai kesempatan dalam waktu yang berbeda, saya secara pribadi pernah menanyakan

kepada beberapa orang pandangannya perihal perpustakaan. Saya mendapatkan pandangan mereka melihat perpustakaan masih di seputar tempat penyimpanan buku, gudang buku, gudang ilmu, dan hal-hal semacam itu. Hal ini sebetulnya tidak mengejutkan, tapi cukup memprihatinkan saya. Ini bisa dimaklumi karena memang sebagian besar fungsi perpustakaan di Indonesia hanya menampilkan kesan seperti itu.

Gambaran ideal perpustakaan dibenak mereka mengarah pada perpustakaan yang hi-tech dan nyaman. Mereka menginginkan perpustakaan dengan pemanfaatan teknologi informasi dan perpustakaan yang bisa buat refreshing seperti ada kafe, bisa nonton film, bisa diskusi bebas, dan sebagainya.

Problem lain yang akan muncul dalam benak kita tentang perpustakaan di Indonesia adalah masalah Sumber Daya Manusianya. Seakan sulit menghilangkan kesan bahwa para petugas perpustakaan seringkali digambarkan sebagai manusia yang kaku, sulit tersenyum, ketinggalan jaman, kurang pergaulan, cuek terhadap pelayanan dan sebagainya.

Ihwal SDM tentunya akan lebih diperparah lagi bila dalam kenyataannya memang seringkali perpustakaan sebagai tempat “buangan”. Bila ada guru yang jam ngajarnya kurang maka akan ditugaskan sebagai pustakawan. Bila ada karyawan yang bermasalah di sebuah departemen tertentu akan ditugaskan mengelola perpustakaan.

Sehingga latar belakang pendidikan kurang diperhatikan. Entah itu orang yang berpendidikan bukan sarjana -yang ditugaskan di perpustakan- ataupun sarjana tetapi tidak berlatar belakang pendidikan perpustakaan.

Perpustakaan yang berbenahMungkin yang perlu disadari

bersama masyarakat adalah bahwa perpustakaan sendiri sebenarnya sudah mulai berbenah. Seiring kemajuan teknologi informasi, dunia media dan komunikasi, banyak perpustakaan di Indonesia yang tidak mau ketinggalan jaman.

Selain itu, dari segi kegiatan untuk meningkatkan minat baca dan kunjungan ke perpustakaan tentunya pengurus perpustakaan sudah memahami makna “menjemput bola”. Kegiatan menumbuh kembangkan komunitas dengan basis perpustakaan seperti klub pembaca, komunitas diskusi dengan bahasa asing, acara bedah buku, temu pengarang, mendongeng, komunitas diskusi bebas, dan sebagainya. Aktivitas semacam ini sudah mulai bermunculan di perpustakaan

terutama perpustakaan umum. Ditambah perbaikan dari segi

interior. Sudah banyak perpustakaan terutama perpustakaan umum yang dikelola swasta memberikan kenyamanan yang cukup terhadap pengunjung. Desain yang apik dan nyaman sangat mendukung suasana belajar dan membaca bagi pengunjung. Dan tak sedikit juga perpustakaan umum yang dikelola oleh pemerintah daerah setingkat walikota atau kabupaten yang menyediakan tempat khusus untuk bermain dan belajar bagi anak-anak. Hal ini sangatlah positif mengingat anak-anak tidak lagi dimarjinalkan secara buku bacaan dan fasilitas. Di beberapa perpustakaan yang saya pernah kunjungi malah anak-anak adalah pengunjung setia dan mayoritas.

Perpustakaan di masyarakat dan tantangannya

Namun, pembenahan diri pihak perpustakaan di Indonesia sebenarnya bukanlah tidak ada tantangan ke depannya. Seringkali malah yang terjadi adalah kondisi yang selalu satu langkah di belakang, one step behind, dari

Perpustakaan dan MasyarakatLAPORAN KHUSUS

Page 53: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

53

perkembangan di masyarakat.Putu Laxman Pendit dalam sebuah

makalah seminarnya di tahun 2012 membuat judul presentasi “Perpustakaan Digital: dari konvensional ke hibrida, sebuah tinjauan sosio-teknis”. Beliau menunjukkan bagaimana perpustakaan di dunia ini telah berubah banyak dari segi praktik, rancang bangun dan juga kebijakannya. Pendit memberikan contoh perubahan dan kesinambungan perpustakaan pada tahun 1970 – 1999 dengan konsep Library Automation, lalu pada tahun 2000 – 2012 dengan konsep Digital Library, sedangkan setelah tahun 2013 dan selanjutnya sudah berkonsep Virtual Library. Pertanyaannya adalah di manakah posisi perpustakaan di Indonesia? Dan siapkah perpustakan di Indonesia menyongsong era Virtual Library tersebut?

Perpustakaan pada hakekatnya adalah pelayanan. Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat pengguna akan informasi yang dicari. Terkait dengan hal tersebut tentulah banyak aspek untuk menunjangnya.

Masalah keramahan. Tentulah petugas perpustakaan saat ini sudah

tidak ingin lagi dianggap orang yang jutek. Paling tidak konsep 3 S (Senyum, Salam, Sapa) yang biasa diterapkan pada industri jasa ritel bisa diterapkan. Tentunya juga masih penting adanya ketegasan pada pengguna perpustakaan.

Pendidikan pustakawan. Mungkin sudah bukan rahasia lagi bila masih ditemukan petugas perpustakaan yang hanya pernah mengikuti kursus di bidang perpustakaan lalu ditugaskan untuk mengelola perpustakaan. Seperti diungkapkan pada bagian awal tulisan ini bahwa tenaga perpustakaan yang terdidik sangat dibutuhkan karena perpustakaan sendiri meliputi banyak aspek teknis dan ilmu pengetahuannya. Penempatan orang terdidik perpustakaan yang tepat tentunya akan sendirinya mningkatkan layanan kepada pengguna perpustakaan.

Penguasaan teknologi informasi. Pada era saat ini tentulah penggunaan teknologi informasi di perpustakaan sudah menjadi kebutuhan primer. Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh TI sangatlah berguna bagi pengelolaan dan temu balik informasi di perpustakaan. Petugas

perpustakaan pun dituntut dalam penggunaan TI ini.

Program peningkatan minat baca. Seperti diuraikan sebelumnya bahwa banyak perpustakaan sudah berbenah diri dengan program-program untuk meningkatkan minat baca di masyarakat. Namun tetap dibutuhkan inovasi-inovasi lagi dalam membentuk karakter membaca dan menulis di masyarakat Indonesia. Perpustakaan mempunyai peran juga di dalamnya.

Desain ruang yang nyaman bagi pengunjung. Desain yang nyaman dan menarik tentulah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk mengunjungi perpustakaan selain dari isi perpustakaan itu sendiri.

Beberapa hal di atas tentunya sedikit dari banyak tantangan perpustakaan di masyarakat. Sehingga peningkatan dalam banyak aspek di perpustakaan bagi penggunanya adalah hal yang terus dituntut dari waktu ke waktu.

Saya cukup tertarik dengan usulan dari seorang pustakawan senior di Indonesia, Blasius Sudarsono, yang memberikan masukan bahwa sebelum calon pustakawan atau mahasiswa sekolah perpustakaan diberikan kuliah tentang ilmu dan teknologi perpustakaan. Mereka pun hendaknya diajak atau diajar tentang: berpikir kritis, membaca, menulis, kewirausahaan, dan etika. Hal tersebut seolah menggambarkan bahwa perpustakaan di masyarakat tidaklah berdiri sendiri, tetapi selalu terkait dengan aspek bidang keilmuan dan juga kemampuan teknis lainnya. Pertanyaan refleksinya adalah bagaimana tantangan bagi perpustakaan agar tidak selalu one step behind dengan teknologi dan harapan dari masyarakat yang dilayaninya?

Yustinus YuliantoSarjana Jurusan Ilmu Perpustakaan

Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang FIB-UI)

Perpustakaan dan Masyarakat

Page 54: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

54

Statistik Jumlah Perpustakaan di IndonesiaSampai Pada Tahun 2012

Sekolah Perguruan Umum Khusus

20.868 1060 1163916

Page 55: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

55

CoratCoret di Bak Truk

Seni Budaya

Page 56: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

56

bisa bergaya di jalanan. Lewat lukisan di truknya, Suwignyo mau mnegatakan bahwa ia seorang yang kenyang pengalaman dengan perempuan. Karena, di jalanan truknya dengan gambar perempuan tersebut lebih dilihat ketimbang Suwingnyo sendiri.

Memiliki niat bergaya di jalanan dengan melukiskan truk bergambar perempuan menggoda memang tak selamanya asik buat supir truk. Seorang supir asal Padang yang sering ambil muatan di Pasar Induk Beras Cipinang salah satu yang ketiban apes. Gara-gara melukis truknya dengan sebuah gambar wanita berpakaian minim ditambah dengan kalimat yang punya rima seperti pantun yang artinya kurang lebih seputar si supir, minuman keras, kelamin wanita, dan seks, ia ditegur polisi.

Saat kembali ke Padang si supir tiba-tiba diberhentikan polisi. Karena merasa tak berbuat salah, dengan nada tinggi ia bertanya kepada si polisi, “ada apa Pak?” si polisi malah membentak balik, “Apa maksudnya ini gambar di belakang?” Setelah sadar bahwa lukisan di belakang truk yang buat si polisi menghampirinya, si supir diam. “Saya dibentak, malah dimaki-maki dan suruh menghapus lukisannya,” cerita si supir kepada Didaktika.

Dalam arti dasar seni adalah sebuah letupan ekspresi, tak terkecua

li bagi

supir truk, dan bak truk jadi media yang efektif.

Gairah SenialaSupir TrukDengan penuh percaya

diri seorang perempuan menyilangkan tangan di perutnya. Ia yang hanya

mengenakan bra merah transparan memang berniat menunjukkan dadanya yang bisa jelas terlihat walau ditutup. Si perempuan memang punya tujuan menggoda, apalagi ditambah dengan rambut yang sengaja ia gerai ke belakang ditambah kacamata hitam yang mengesankan ia seorang penggoda.

Hanya saja betapa pun si perempuan mampu menggoda, mungkin tidak banyak berarti bagi yang melihatnya karena ia cuma sekadar lukisan, lukisan di bak truk milik Suwingnyo supir truk yang biasa mengangkut pasir di Tanggerang. Suwignyo memang enggan memberitahu maksud dan tujuan dari lukisan di truknya, ”iseng saja digambari ini,” jelasnya sambil tertawa. Namun, kata-kata di atas gambar si perempuan: Jablay Kolot Tapi Nyedot mungkin sebuah pengalamannya menunggu malam di warung remang-remang, seperti ditemui Didaktika awal Maret lalu.

Awalnya, Suwignyo memang punya niatan untuk menggambar bak truk-nya dengan lukisan, lantas setelah bertemu dengan si pelukis, ia disodor pilihan gambar untuk dilukiskan di bak truk, “saya pilih saja yang ini,” timpalnya sembari menunjuk gambar perempuan di bak truknya.

Apapun yang terkandung dalam lukisan tersebut, paling tidak Suwignyo

Ulah si supir dengan lukisannya bukan cuma dapat masalah dari polisi, si supir malah punya masalah lebih besar dengan bos empunya truk. Gara-gara gambar tersebut ia dipecat, “gambar tersebut saya buat di sini (Jakarta) tanpa sepengetahuan Bos,” kenangnya. “Sekarang bosnya beda,“ tambahnya setelah kini mendapat pekerjaan sebagai supir kembali.

Jalanan memang punya fungsi utama sebagai media yang menghubungkan satu tempat ke tempat lainnya. Adanya jalanan, memudahkan mobilitas si penghuni wilayah yang mau pergi atau kembali menuju wilayahnya. Semakin tinggi mobilitasnya maka semakin tinggi si penghuni tersebut untuk menikmati jalanan.

Buat supir truk yang menjalankan hidup lewat roda truknya, makanya hadir mobilitas yang tinggi. Ketika di atasnya ramai hilir mudik segala jenis kendaraan dengan segala jenis

Seni Budaya

Foto

Rep

ro

Page 57: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

57

Dalam arti dasar seni adalah sebuah letupan ekspresi, tak terkecua

li bagi

supir truk, dan bak truk jadi media yang efektif.

status bersifat pulang-pergi, jalanan bukan hanya dimaknai sebagai etalase. Namun, jalanan telah mendukung adanya paradigma definisi sosial yang mengakui manusia sebagai aktor yang kreatif dalam realitas sosialnya.

M. Gatot Pringgantono pegiat komunitas seni Serrum mengungkapkan ada kesadaran dari supir atas truknya yang punya mobilitas tinggi, ”mereka memanfaatkan ruang kosong pada bak truk,” ujarnya. “Itu juga bisa jadi sarana untuk supir berkomunikasi.”

Bak truk memang jadi media komunikasi visual yang tepat dalam mengangkat realitas hidup. Sebagai ekspresi atas realitas hidup si supir. Selain tu, lukisan di bak truk juga dimaknai sebagai sebuah upaya seni yang dilakukan para penghuni kota, atau yang lazim disebut proyek seni urban.

Seni urban sendiri bermula ketika sebuah ruang perkotaan dianggap sebagai ruang yang diperebutkan dengan berbagai kepentingan. Dari

kejadian tersebut muncul beragam bentuk ekspresi. Kesepakatan awal bisa saja tidak berpretensi sebagai sebuah ekspresi seni, tapi lebih pada kebutuhan pragmatis atas persoalan kota tersebut.

Seni urban ala supir truk berbeda dengan seni yang biasa dilakukan oleh seniman-seniman jalanan atau biasa disebut street art seperti grafitti, stensil, mural. Walau sama-sama bersingunggan dengan ruang publik, seni urban ala supir truk dilakukan di properti pribadi baru dilempar ke publik.

Sedangkan street art memang dibuat di fasilitas-fasilitas publik seperti tembok jalan raya, bis kota, kereta, jembatan. “Makanya, kadang anak street art musti kucing-kucingan sama petugas, beda sama supir truk yang bebas melukis truknya,” papar MG sapaan Akrab Gatot.

Di kalangan supir truk sendiri, lukisan bak truk lama-kelamaan menjadi sebuah ajang pembuktian diri. Karena Seni urban selalu bergerak

serta mengalami perubahan sesuai situasi kotanya. Dalam perwujudannya kemudian, seni urban menjelma menjadi tren. Keberadaan lukisan bak truk sudah menjadi kultur dalam persoalan-persoalan yang menyangkut kota sebagai ruang.

Syafrudin supir truk di Tanggerang yang biasa mengangkut barang-barang saat pindahan belakangan kesengsem buat melukiskan bak truknya. Awal 2012 ketika seorang menawari untuk melukiskan bak truknya, ia langsung setuju. Truk ber-plat B9011ND miliknya kemudian dilukiskan dengan gambar perempuan, “lazimnya, gambar di truk itu kan perempuan,” katanya.

“Tapi kalo ini saya tambahkan kerudung.”

Adanya kerudung buat si perempuan bukan perihal sepele bagi Syafrudin. Saat ditawari untuk melukis truknya, ia sudah memperingatkan si pelukis untuk tidak menggambari truknya dengan gambar perempuan berpose vulgar dan kata-karta seronok. “Malu lah, saya

rajin shalat masa gambarnya (vulgar) seperti itu,” katanya.

Setelah berunding, jadilah sebuah gambar wanita berkerudung dengan tulisan Istri Soleha yang di atasnya punya gradasi warna, juga dihiasi latar belakang sebuah pemandangan alam. “Untuk latar belakanganya karena saya memang suka gambar pemandangan alam,” lanjut Syafrudin.

Dengan bentuk yang norak, kampungan, dan seringkali vulgar, bak truk bisa menjelma sebagai sebuah karya seni yang khas. Supir truk juga punya andil besar sebagai aktor kreatif mencipta karya seni. Karena di bak truknya muncrat letupan-letupan ekspresi dari manifestasi hidup, ide, gagasan, bahkan hasrat dan syahwat.

Walaupun tak selamanya lukisan-lukisan di bak truk dapat dimengerti, paling tidak bila sedang berada di jalan jangan tergesa-tergesa, karena jumlah truk yang terlukis baknya tidak sedikit. Beberapa lukisan kadang mengundang gelak tawa, kesal, heran, bahkan marah.

Anggar Septiadi

Page 58: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

58

Foto

Ang

gar S

eptia

di

Hampir setahun lalu, Harmoyo bersama anaknya Hardi dapat pesanan mengangkut

barang-barang pada pameran furnitur di Istora Senayan. Buat supir truk seperti Harmoyo pesanan macam ini adalah rezeki besar. Maka dengan suka cita dan semangat Harmoyo dibantu kernet Hardi tak sungkan mengantar barang-barang pameran walau hari sudah malam.

Saat malam, ketika kondisi sepi, Hardi yang masih muda iseng mengambil beberapa stiker-stiker yang sudah tidak terpakai. Ia membuat tulisan di bak truk-nya: WWW.HATIE.COM dengan huruf “I” yang agak diposisikan di atas sesekali tulisan itu bisa terbaca WWW.HATE.COM. “Banyak yang menanyakan saya, apa

artinya” ungkap Harmoyo.Tapi Harmoyo yang awalnya tidak

tahu truknya dibuat tulisan seperti itu jelas tidak tahu artinya. Penasaran setelah banyak ditanyai orang arti tulisan tersebut, Harmoyo menanyakan Hardi, ia cuma dapat jawaban, “lagi patah hati, Pak,” kata Hardi ditirukan Harmoyo.

Sebagai sebuah seni urban, bak truk tidak dilihat sebagai sebuah hasil seni yang utuh. Artinya bak truk lebih bisa dilihat atas bagaimana sebuah karya seni itu bisa hadir, sedangkan kehadirannya justru ambil porsi belakangan. Buktinya tulisan di bak truk Harmoyo juga bisa dikatakan sebuah percik yang berasal dari sebuah keresahan. Keresahan anaknya yang sedang putus cinta. Makanya ia bisa disebut proyek seni urban.

Menggunakan kalimat sebagai gambar sebenarnya baru belakangan tahun ini marak dilakukan. Dahulu bak truk selalu identik dengan perempuan berpose menggoda ditambah kalimat vulgar seperti: Pemburu Janda, Gairah Malam, Mamaku Sayang Mamaku Malang. Akibat gambar-gambar tersebut mendominasi, muncul internalisasi identitas bagi supir truk sebagai orang yang sering mampir ke tempat lokalisasi.

“Bagaimana mau ke tempat lokalisasi, orang sudah hampir tiga

Carlos Tevez si Pemain CadanganWalau masih menjadi objek utama, gambar perempuan di bak truk kini makin berkurang. Pernah jadi sebagai penanda penghindar tindak kriminalitas.

Seni Budaya

(Kanan atas) Buyung, pelukis bak truk yang masih tersisa di Jakarta.(Kiri atas) Buah karya seni buyung.

Page 59: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

59

bulan ini saya tidak angkut muatan,” Harmoyo menyanggah. “lah ini, truk di sini (Pasar Induk Beras Cipinang) juga jarang ada yang bergambar porno, paling ada beberapa itu pun truk dari luar Jawa.”

Harmoyo ada betulnya, kini gambar-gambar perempuan sudah mulai menurun tingkat kehadirannya. Arus informasi yang makin mudah diakses membuat supir truk juga punya banyak pilihan untuk melukiskan bak truknya. Gambar-gambar tokoh animasi seperti Sponge Bob, Ultraman, Power Ranger, Naruto, atau lukisan pemandangan justru mulai dapat tempat di bak truk.

Selain itu, pergeseran gambar perempuan juga turut dipengaruhi oleh beberapa pelukisnya. Iswarno alias Buyung salah satu yang menentang melukiskan gambar perempuan yang seronok. “Lukisan itu kan karya cipta, ada tanggung jawab pribadi yang besar disana,” ungkap Iswarno yang dipanggil Buyung gara-gara sering nongkrong di komunitas pelukis Padang.

Iswarno yang punya kios kecil tempatnya menerima pesanan lukisan di Pasar Induk Beras Cipinang memang cukup disegani di kalangan supir truk. Kengganan Iswarno untuk melukis perempuan juga diketahui para supir, makanya kini Suwarno jarang dapat permintaan untuk melukis perempuan di truk. Sekalipun ia ditawari, ia selalu berkata, “coba, Anda kan pasti punya

Ibu, pasti ndak mau toh ibumu digambari seperti itu,” Iswarno berpetuah.

Di umur yang makin senja, sebenarnya kondisi fisiknya kerap jadi biang keladi bagi Iswarno untuk melukis. Apalagi lukisan yang punya tingkat kesulitan tinggi. Makanya sekarang ia cuma

melukis yang ringan seperti logo-logo toko beras di Pasar

Induk Beras Cipinang.Hendra Jaya salah satu pemilik

toko beras yang menggunakan jasa Iswarno untuk menggambari armada pengangkut berasnya. “Mobil (Truk) saya sudah empat yang gambar Pak Buyung,” ujar lelaki keturunan China ini. Koh Hendra sendiri punya lima truk. Saat ditemui Didaktika, ia dengan Iswarno sedang bernegosiasi untuk menggambari truknya yang kelima. “Dengan Pak Buyung harganya lebih murah ketimbang harus ke bengkel aksesoris dan variasi.” Apa yang dilakukan Hendra juga turut membuat perkembangan dalam lukisan bak truk.

Apa yang dilakukan Hendra pernah juga dilakukan para pemilik truk dahulu, yaitu melukis truk sebagai identitas kepemilikan. Namun, niatnya berbeda, dahulu lukisan truk digunakan untuk menghindari tindakan kriminalitas. Perjalanan supir truk yang kadang tak kenal waktu agar dapat mengantar muatan tepat waktu kadang harus menempuh rute yang rawan tindak kejahatan: perampokan, penjarahan yang terorganisir. Penjarahnya biasa disebut Bajing Lompat, atau Alap-Alap.

Biasanya untuk menghindari dan mensiasati hal tersebut para supir truk berangkat secara berkelompok. Dan pada daerah yang dianggap aman mereka biasa menunggu kelompok-kelompok truk dibelakangnya. Di saat seperti ini lukisan bak truk punya fungsi sebagai penanda, truk mana saja yang sudah datang dan tiba dengan selamat, atau masih ada truk yang tertinggal.

Walau tak jarang, untuk bisa lolos dari tindak kejahatan para supir truk harus memberikan upeti bagi

para penjarah. Saat dalam perjalanan balik, giliran para penjarah yang memanfaatkan lukisan bak truk untuk mengidentifikasi siapa yang sudah memberikan upeti dan siapa yang belum.

Malah untuk beberapa truk sengaja menuliskan atau menggambarkan nama sebuah Komando-Komando Daerah Militer seperti Resimen Ronggolawe, Resimen Siliwangi. Makanya kata-kata seperti Putra Ronggolawe, Pangeran Siliwangi diyakini mampu buat Bajing Lompat atau Alap-Alap ketar-ketir.

Untungnya Bajing Lompat atau Alap-Alap sudah tidak ada, jadi para supir tidak perlu khawatir dalam mengantarkan muatannya. Demikian dalam menggambarkan bak truknya, mereka sekarang punya geliat penuh untuk melukiskan bak truknya sebagai ungkapan seni.

Ade Susanto salah satu supir yang tahu benar bagaimana memanfaatkan bak truk sebagai ekspresi hidupnya. Bagaimana tidak, kala Manchester City, menang 3-2 di laga pamungkas Liga Premier Inggris melawan Queens Park Rangers, ia senang bukan kepalang. Ia memang bukan penggemar berat The Citizen,tapi ia gandrung dengan Carlos Tevez, penyerang City yang jutsru lebih bersinar di Manchester United.

“Semenjak selesai bermasalah dengan Mancini, saya senang sekali. Sehabis itu City juga main bagus hingga menjadi juara,” ujarnya. Buat Ade, Tevez adalah pemain hebat. Makanya saat atasan Ade ingin memperbaiki salah satu truk yang rusak, Ade langsung menyambutnya. Ia langsung punya niat melukiskan truknya dengan nama Carlos Tevez ditambah banyak hiasan-hiasan yang buat truknya gemerlap. “Saya sudah minta izin sama bos,” kata Ade.

Pemilihan Tevez sendiri bukan hanya karena ia fan Tevez, menurutnya truk ini mirip dengan Tevez. “Dulu bila tidak terpaksa truk ini tidak akan digunakan,” cerita Ade. Ceritanya mirip saat Tevez lebih sering dibangku cadangkan gara-gara berselisih dengan Pelatih Roberto Mancini. “Makanya, buat saya truk ini seperti Tevez, si pemain cadangan.” Anggar Septiadi

Page 60: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

60 Mekanik dan pembalap Auto Racing Team (ART UNJ) tengah bersiap memacu gokartnya. Dalam kejuaraan Humpuss Karting Series.

KARYA

Dalam balapan, prestasi harga mati.

Dalam dunia otomotif, turnamen seperti Formula Satu, sudah tidak asing lagi di

telinga pecinta olahraga kendaraan roda empat. Sirkuit yang megah dan mobil yang berlari cepat, menjadi daya pikat tersendiri dari olahraga motor yang selalu mengikuti perkembangan teknologi ini.

Beberapa negara mulai membuka dirinya untuk turnamen Formula Satu. Meskipun belum terdapat nama pembalapnya, banyak negara yang unjuk diri untuk terlibat sebagai penyelenggara. Salah satunya India, yang kini tengah membangun sirkuit untuk menggelar kejuaraan otomotif kelas dunia ini. Menyusul dua negara Asia sebelumnya yang telah sukses membangun sirkuit formula satu; Singapura dan Korea Selatan.

Tidak mau ketinggalan, Indonesia juga berencana akan berpartisipasi. Lahan seluas 1,175 Ha yang terdapat di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, akan diproyeksikan menjadi sirkuit balap Formula Satu. Namun, persiapan menuju turnamen internasional bukan saja soal infrastruktur. Melainkan juga teknis dan sumber daya manusianya yaitu, pembalap dan mobil. Tentu dalam hal ini, Indonesia belum mampu bicara banyak.

Di balik kesulitan itu, beberapa mahasiswa Jurusan Teknik Mesin UNJ mampu memberi harapan dalam dunia otomotif. Mereka yang tergabung dalam Auto Racing Team Universitas Negeri Jakarta (ART UNJ), berhasil menghasilkan mobil gokart. Gokart termasuk dalam varian kendaraan roda empat.

Gokart dikenal sebagai olahraga motor pengisi waktu luang (baca:

hiburan). Gokart juga termasuk jenis kendaraan yang kini diperlombakan, bahkan sampai tingkat nasional. Bahkan jauh sebelum itu, gokart menjadi olahraga alternatif sebagai batu loncatan untuk melangkah kejenjang yang lebih tinggi yaitu, formula satu. Contohnya, juara dunia tujuh kali formula satu Michael Schumacher. Sebelum dia terjun ke formula satu, dunia gokart sempat digelutinya.

Merakit Gokart, Menatap PrestasiBerawal dengan niat mengaktulisasi

diri dalam dunia otomotif, beberapa mahasiswa membentuk tim yang dinamakan ART UNJ. Tujuannya melahirkan gokart. Setelah tim dibentuk, mereka membutuhkan bantuan teknisi. Sebagai ketua tim, Fico Azhari menunjuk sembilan mahasiswa Fakultas Teknik untuk berpartisipasi sebagai anggota tim yang akan menggarap gokart ini dari nol.

Setelah tim lengkap, dimulailah pembagian tugas. “Saya buat riset sebelum merancang gokart. Setelah itu kita bagi-bagi tugas,” kata Fico. Tugas awal tim ialah membuat proposal. Ada yang berperan sebagai administrator, mekanik, dan seksi lapangan. Lainnya, bertugas mencari spare part gokart.

Gokart yang mau dibuat, sudah difokuskan untuk balapan. Oleh karena itu, spesifikasi gokart harus disesuaikan dengan aturan perlombaan. Aturan perlombaan ini memiliki tahapan yang panjang. Tidak hanya sampai situ, beda penyelenggara perlombaan menyebabkan perbedaan aturan spesifikasi pada gokart yang dilombakan. Maka dari itu, dalam perlombaan gokart, penyesuaian merupakan keharusan yang mesti dilakukan.

Aturan perlombaan biasa dipisahkan pada format lomba itu sendiri. Ada perlombaan yang hanya mengukur pada tingkat kecepatan mobil dan ada pula yang mengukur pada tingkat ketahanan. Tapi pada umumnya, setiap perlombaan diberi jenjang pada jenis mesin yang dipakai mobil dan kelas dari pembalap tersebut. Semisal: kelas senior, pemula, pelajar, dan mahasiswa. Untuk kelas senior, mesin yang dipakai ialah Rotax. Mesin yang dipakai khusus dan dibuat hanya untuk gokart. Harganya mencapai Rp65 juta. “Kita tidak sanggup beli,” ungkap Budi Setiawan, salah seorang mekanik ART UNJ.

Budi, yang masih menempuh kuliah di Jurusan Teknik mesin ini menambahkan, “kita buat gokart sesuai dengan kelas mahasiswa. Mesin yang biasa dipakai dalam kelas ini yaitu mesin sepeda motor.” Semua bahan yang dibeli oleh ART UNJ dalam pembuatan gokart disesuaikan dengan jenjang perlombaan dalam kelas mahasiswa.

Semua bahan dalam pembuatan gokart tidak dibeli di Jakarta. “Saya beli

Berkarya Dalam Lintasan Balap

Page 61: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

61

di Bandung. Chassis, fire rot, mountain engine, bodykit dan lainnya,” terang Fico. Bekas Ketua BEM Jurusan Teknik Mesin tahun 2010 ini memilih untuk menggunakan mesin sepeda motor Kawasaki AR 125cc. Menurutnya, ketahanan mesin ini bagus, meskipun sulit dicari.

Tapi untuk lomba kelas mahasiswa diharuskan mesin 150cc. Meskipun mesin yang dipakai oleh ART UNJ jauh dari regulasi lomba kelas mahasiswa. Hal ini tidak menyurutkan nyali mereka untuk terus membuat gokart yang siap tampil dilomba kejuaraan kelas mahasiswa tingkat nasional.

Mereka mengakalinya dengan menaikan kapasitas dan pengapiannya. Dengan cara menaikan piston. Alhasil, kapasitasnya mendekati regulasi lomba yaitu, 150cc. Usaha dan kesungguhan mereka tidak hanya sampai disini. Karena bahan-bahan pembuatan gokart mahal, maka tidak semua bahan diperoleh dengan cara membeli. Tuas kopling, gigi, dan dudukan jok mereka buat sendiri.

Proses pembuatan dan perakitan

mereka lakukan di Sentul, Bogor, Jawa Barat. Bermodal keakraban dengan salah satu dedengkot gokart yang bermukim disana. Beberapa peralatan yang sulit diperoleh, mereka dapatkan dengan mudah. Dalam proses perakitannya ini, jarang sekali mereka memakai peralatan yang dimiliki kampus. Lama perakitan gokart berlangsung 28 hari, dari September sampai Oktober 2011.

Uji kendaraan mereka lakukan di tempat yang sama, tempat gokart dirakit. Meskipun dalam beberapa kali mereka membawa mobilnya ke kampus. “Untuk sekadar memanaskan mesin, itu juga kita lakukan malam hari. Soalnya mobil ini mengeluarkan suara bising,” sahut mekanik ART UNJ Teguh Saefuddin.

Sampai pada uji kendaraan, mereka memastikan kembali kondisi gokart. Agar tetap sesuai dengan syarat perlombaan. Kejuaraan Humpuss Kart Series merupakan target perlombaan yang ingin mereka capai setelah gokart berhasil dirakit. Pembuatan sampai pemastian kesiapan kendaraan, mereka lakukan dengan hanya berpatok pada buku panduan. Tentu, proses pembelajaran alamiah seperti ini dilakukan atas dasar minimnya dukungan kampus.

Alhasil, pada Kejuaraan Humpuss Karting Series, ART UNJ hanya masuk ke dalam sepuluh besar. Tertinggal di belakang ITB (Institut Teknologi bandung), UI (Universitas Indonesia), UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), Untar (universitas Tarumenegara), dan Polban (Politeknik Bandung). Mereka mendapat dukungan lebih dari kampusnya. Terbukti tim-tim tersebut dimodali lebih dari satu gokart. Sedangkan UNJ hanya memiliki satu buah, itupun mengandalkan keringat tim ART UNJ. Belum lagi, dilihat dari kecanggihan mesin gokart mereka. Mesin-mesin canggih bercokol di gokart mereka, seperti Ninja, NSR, dan CBR.

Dengan kondisi itu, tim ART UNJ sulit mengantisipasi masalah pada saat kejuaraan terjadi masalah pada mesin gokart. “Besi penghubung antara setir dan ban patah saat perlombaan. Kita hanya punya satu, tidak ada gantinya.

Akhirnya kita tidak bisa melanjutkan lomba,” keluh Fico menyesali kegagalan merebut juara dalam Humpuss Kart Series. Seandainya, mereka diberi modal membuat satu gokart lagi, tentu hal ini tidak akan terjadi.

Mendatang ART UNJ akan mengikuti Kejuaraan Rotax Max Chalange yang akan diikuti pegokart dari pelbagai kampus nasional. Tentu tidak murah biaya pendaftarannya. “Pendanaan, mereka didukung seratus persen dari kampus. Kita?” Imbuh Fico sembari menghela nafas panjang.

Minimnya dukungan dari kampus, merupakan salah satu hambatan mereka dalam meraih mimpi berprestasi di dunia balap gokart. Dari total biaya pembuatan gokart yang memakan dana sebesar Rp47 juta, kampus hanya memberikan batuan dana sebesar 20%. Itupun ketika gokart sudah berhasil dibuat. Sisanya mereka peroleh secara mandiri melalui bantuan dari pemerintah daerah (Pemda) dan beberapa instansi pemerintahan lainnya macam Kementrian Perindustrian.

Gagasan yang sepenuhnya berasal dari mahasiswa ini, sempat mendapat tanggapan sinis. Baik dari pihak jurusan dan fakultas. Saat program gokart ini maju ke dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), gagasan ini ditolak. “Mereka beralasan kalau kami tidak akan sanggup membuatnya. Apalagi dana yang dibutuhkan besar,” terang Fico sambil mengeluhkan pemakaian dana yang diperoleh fakultasnya.

Padahal, gagasan gokart ini mendapat sambutan yang luar biasa diluar kampus. Apresiasi besar didapat dari DPR ketika mereka mementaskan gagasan ini dalam pertemuan antara Ketua BEM Se-Nasional dengan DPR. Barulah, ketika gokart ini jadi, Jurusan Teknik Mesin UNJ mengeluarkan keabsahan atas gokart dan berdirinya ART UNJ sebagai bagian dari kampus. “Mau kami Cuma mengukir prestasi di bidang balap. Bukan tidak mungkin ini akan memajukan UNJ,” pesan Fico.

Satriono Priyo Utomo

Mekanik dan pembalap Auto Racing Team (ART UNJ) tengah bersiap memacu gokartnya. Dalam kejuaraan Humpuss Karting Series.

Foto

Bud

i

Page 62: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

62

Buku

Dewasa ini, dalam memaha-mi politik. Kita selalu men-gacu pada apa yang disaji-

kan oleh televisi, surat kabar, radio, dan media massa lainnya. Yang tidak lebih bicara soal bagaimana pergulatan partai politik, saling jegal antar politisi, proses pemenangan pemilihan umum (pemi-lu), perebutan jabatan-jabatan strategis pemerintahan, dan penguasan sumber daya publik atas hasil perubahan legislasi.

Alhasil, politik sudah terlanjur dipa-hami dalam ketegori penguasaan, pen-gendalian, dominasi, dan pertarungan kepentingan. Kegiatannya berciri tinda-kan instrumentalistik yang menggunakan perangkat kekuasaan macam undang-undang, mekanisme regulasi, dan prose-dur birokrasi. Yang berguna mengejar kepentingan pribadi dan kelompok.

Dalam konteks relasi rakyat dan negara, politik mutlak dipahami sebagai otoritas hegemonik negara guna men-

gatur kehidupan rakyat, termasuk dengan

memonopoli peng-gunaan perangkat koersif. Negara dan aparatus represif di-anggap berhak me-

maksakan norma dan kewajiban apapun ke-

pada rakyatnya. Dalam kondisi seperti ini, Agus Sudibyo dalam bukunya yang berjudul, Politik Otentik: Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt mengungkapkan bahwa telah ter-jadi penyimpangan hakikat dan filosofis tentang politik itu sendiri.

Melalui buku ini, Agus Sudibyo berbi-cara tentang politik bukan dari kaca mata politik itu sendiri, melainkan dari pemiki-ran filosofis yang mendalam. Pemikiran politik Arendt merupakan respon atas totalitarianisme, dimana dia mempunyai pengalaman langsung sebagai korban. Dengan merujuk pada Nazisme dan Stalinisme, totalitarianisme digambarkan Arendt sebagai kondisi dimana keseluru-han hidup manusia dipolitisasi atau dide-terminasi secara hampir tak terbatas oleh

negara. Sehingga penghapusan total atas segi-segi kebebasan manusia menjadi tak terhindarkan.

Arendt menolak politik yang hanya didominasi oleh penguasaan dan pen-gendalian. Bagi Arendt, politik adalah kebebasan. Singkatnya, inilah tesis Han-nah Arendt tentang politik. Politik adalah tatanan atau kondisi untuk membebas-kan manusia dari cengkeraman hidup yang naturalistik dan serba niscaya, dari bentuk-bentuk prasangka, standarisasi dan sistematisasi yang berasal dari masa lalu, tradisi, agama, ilmu pengetahuan, atau hukum positif. (hlm 177)

Untuk membedakan politik dari kat-egori penguasaan dan pemaksaan. Dalam buku ini, Sudibyo dengan cermat men-gambil pokok pikiran Arendt tentang konsep ruang publik dan ruang privat. Yang diterapkan dalam ranah politik, dengan mengedepankan manusia politik sebagai manusia tindakan.

Sudibyo merujuk pada karya Arendt, The Human Condition, yang sangat mewa-risi pemikiran Aristotelian. Garis demar-kasi antara ruang privat dan ruang publik ini penting bagi Arendt untuk meng-hindarkan politik dari intervensi hubun-gan yang bersifat privat: penguasaan, pemaksaan, pengendalian, dan domi-nasi. Politik dan kekuasaan tidak boleh dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip ruang privat. Dengan demikian bagi Ar-endt, semua bentuk pemerintahan adalah kondisi prapolitis. Politik baru terlaksana ketika terwujud koeksistensi individu-individu yang setara dan bertindak bersa-ma-sama di ruang publik.

Relevansi Pemikiran Hannah ArendtPandangan Arendt bahwa politik

adalah soal kebebasan manusia, bukan penguasaan dan pengendalian, mungkin terasa berlebihan dan utopis pada saat sekarang. Nyatanya, politik justru diprak-tikkan sebagai penguasaan dan pengen-dalian. Meminjam istilah Carl Schmitt, politik sudah dipahami sebagai distingsi kawan dan lawan. Oleh karena itu, Ar-endt dirasa gagal dalam merumuskan

grand design tentang politik yang ketat dan tegas. Keberhasilan Arendt adalah dalam menggali dan memperkenalkan kembali secara fenomenologis prinsip atau keuta-maan politik yang telah ditenggelamkan oleh kategori politik tradisional.

Dalam konteks Indonesia, persoalan-nya adalah bagaimana mungkin mencip-takan kebebasan politik terwujud jika rata-rata masyarakat masih hidup dalam kemiskinan. Seluruh energi masyarakat tercurahkan hanya pada urusan kerja dan survival. Dengan kata lain, kemiskinan dan ketertinggalan yang membuat rata-rata masyarakat Indonesia tidak mampu mengakses politik secara memadahi dise-babkan oleh realitas state capture.

Dalam istilah Arendt, meluas ge-jala state capture itu menandakan di mana kekuasaan, dalam arti proses legislasi pe-rundang-undangan dan penyelenggaraan pelayanan publik. Dideterminasi oleh motif anti-politik. Atau urusan-urusan publik telah terjajah oleh motif privat, dalam upaya mencari keuntungan pribadi atau kelompok.

Oleh karena itu, buku ini memperin-gatkan kita bahwa politik dapat tumbuh sebagai suatu sistem anonim yang me-nindas atau membohongi rakyat tanpa disadari lagi oleh para pelakunya, maka politik perlu dikembalikan ke fitrahnya. Yaitu, rakyat sebagai subjek manusia tin-dakan. Yang artinya politik harus mem-berikan ruang pada rakyat kuasa. Dan jelas sekali, kehadiran buku ini menyentil kepemimpinan lembek yang menimbul-kan rasa ketidakberdayaan masyarakat dan ketidakpercayaan terhadap politik

Satriono Priyo Utomo

Menuntun Politik Pada Khitahnya

Judul : Politik Otentik, Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah ArendtPenulis : Agus SudibyoPenerbit : Marjin Kiri, Agustus 2012Halaman : xxvi+240 hlm

“Politik seharusnya berada

di ruang publik, bicara soal kebebasan manusia. Bukan penguasaan dan

pengendalian yang selama ini ada di ruang

privat.” Hannah Arendt

BukuBukuBuku

Page 63: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

63

Agamawan Plus Negarawan

Judul :Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, Antara Gereja dan NegaraPenulis :Anhar GonggongPenerbit :Grasindo, 2012Halaman : 148 hlm

Soegija, itulah nama yang diberi-kan kedua orang tuanya ketika baru lahir pada 25 Novem-ber 1896. Sebuah nama yang

berasal dari kata Soegih yang artinya kaya. Soegija berbeda dengan anak-anak kebanyakan yang memiliki nasib lebih baik. Pertama, ia berkesempatan mengenyam pendidikan yang keban-yakan anak-anak lain tidak bisa menik-matinya. Kedua, sewaktu ia bersekolah di Yogyakarta, ia bertemu dengan Pastor Frans van Lith yang akan menjalankan karya misi di Jawa Tengah. Pastor Frans van Lith sengaja mengunjungi murid yang bersekolah di Yogyakarta untuk mengajak masuk sekolah guru yang baru didirikannya di Muntilan.

Bak gayung bersambut, anak cerdas sekaligus nakal karena sering berkelahi dengan sinyo Belanda bernama Soegija itu menerima tawaran belajar di sekolah guru tersebut. Hal ini sontak membuat Kariyosudarmo ayahnya keheranan karena mereka berasal dari keturunan Islam , walau abangan. Namun, pemuda Soegija nampaknya menikmati menuntut ilmu di Muntilan tersebut. Ia bahkan cepat akrab dengan Pastor Frans van Lith. Tak jarang mereka pun sering berdiskusi serius masalah teologi. Per-nah suatu ketika Soegija muda menyebut bahwa para missionaris datang ke Indo-nesia hanya untuk menjadi kaya.

Walau awalnya ia masih mempertah-ankan agama semulanya, yakni Islam, pada 1909 akhirnya ia berpindah keya-kinan menjadi seorang Katolik. Pada tahun 1915 akhirnya ia pun memperoleh ijazahnya setelah menjalani rangakaian pendidikannya untuk menjadi imam. Tepatnya 15 agustus 1931 ia menerima pentahbisan imam dan harus men-jalankan tugasnya di luar negeri sebelum akhirnya kembali ke tanah air pada 1933.

Soegijapranata, itulah nama “tu-anya”. Kebiasaan penggantian nama tersebut sesuai ada kebiasaan jawa. Pas-tor Soegijapranata langsung ditempatkan di Bintaran. Selain menjalankan fungsi

sebagai guru rohani, Soegijapranata pun aktif di kegiatan sosial seperti simpan pinjam untuk meringankan beban hidup warga sekitar. Pada 1931 pun ia diangkat menjadi konsultor untuk missi Serikat Jesuit seluruh Jawa. Suatu “kehormatan “ yang pertama bagi bumiputera. Keju-juran dan keberanian yang pada akhirnya membawanya menjadi Uskup Agung un-tuk daerah Vikariat Apolistik Semarang pada 1940.

Lika-liku penyebaran karya missi terberat di Indonesia yang dirasakan oleh MGR. Soegijapranata adalah ketika Jepang menjadi penjajah baru Indonesia. Pada pendudukan Jepang inilah segala bentuk penyebaran agama, termasuk karya missi diberangus dengan tindakan keras. Ini terlihat dengan ditawannya para missionaris dan uskup Surabaya, Purwekerto dan Bandung ikut pula ditahan. Terkecuali uskup Willikens dari Batavia dan uskup Soegijapranata. Hal tersebut tak lepas dari wibawa, kecerdi-kan dan keberanian uskup tadi. Bah-kan Soegija berani menentang Jepang dengan cara menantang untuk memeng-gal lehernya, jika Jepang tetap ingin menduduki gereja Kathedral Randusari untuk dijadikan kantor pendudukannya.

Tindakan keras dan kejam Jepang tidak membuat MGR. Soegijapra-nata mengurangi sikap ramahnya dan wataknya yang penggembira. Ketika proklamasi dilantunkan pada 17 Agus-tus 1945 oleh Sukarno tak membuat Indonesia lepas dari rongrongan bangsa asing. Dengan mendaratnya pasukan sekutu dan pada September dan disusul pasukan Belanda/Netherlands Indies Civil Administration (NICA) telah men-gukuhkan bahwa bangsa Belanda ingin tetap menjajah Indonesia.

Kedatangan bangsa Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia Mgr. Soegijapranata pun turut berekasi dengan pidato yang diucapkannya di RRI Solo. Beliau mengajak khsusus-nya golongan Katolik Belanda untuk membantu mewujudkan kemerdekaan

bangsanya. Hal tersebut cukup beralasan karena golongan Katolik beserta par-tainya disana salah satu penentang keras kemerdekaan Indonesia.

Hal itu cukup disayangkan olehnya,kemudian ia mengajak ke-tika Hari Natal dilangsungkan untuk merayakannya secara sangat sederhana. Menurutnya, perayaan yang sederhana itu sebagai tanda keikutsertaannya menghayati penderitaan rakyat karena serangan “membabi buta” kolonialis Be-landa. “Jangan mengadakan Natal yang meriah, perayaan Natal harus sederhana sekali,” tegasnya.

Tak sampai disitu, Mgr, Soegijapra-nata turut memprakarsai pendirian seri-kat buruh di Semarang bernama Serikat Buruh Pancasila. Hal ini tidak lain untuk meningkatkan kesadaran organisasi dalam tubuh masyarakat. Khususnya pada waktu sedang gencar-gencarnya na-sionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia.

Jika kita melihat perjalanan to-koh yang ditulis Anhar Gonggong ini kita akan menyelemi perilaku seorang warganegara yang baik sekaligus sebagai beragama yang baik pula. Karena pergaulannya yang luas, ia pun terkenal dengan hubungannya yang akrab dengan Sukarno. Bahkan ketika beliau mening-gal di Belanda, Sukarno melarang beliau dimakamkan disana dan menyuruh un-tuk membawanya ke Indonesia. Dengan perjuangannya yang selalu konsisten untuk mengusung Indonesia merdeka di waktu hidupnya, Sukarno pun langsung mengangkat ia menjadi Pahlawan Nasi-onal Indonesia. Indra Gunawan

Buku

Page 64: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

64

11 September 1980, pukul 22.36. Di sebuah pinggiran kota kecil, di dalam sebuah Bar.

Malam sebelum pembunuhan terjadi, dua laki-laki bertemu di sebuah bar. Del-Quistro sejak 15 menit sudah berada di Bar Estorado. Matanya tajam mengawasi sekitar, kaki kananya berdraf-draf di lantai, seperti gugup, atau menampakan ketidaksabarannya. Sepatunya yang besar, sepatu tentara, sepatu para pemburu babi hutan. Membuat irama kencang lantai terdengar keras, berdraf-draf beraturan. Bergetar.

Sambil melihat tarian erotis, striptease, lenggak-lenggok perempuan binal sedikit menguras isi kantongnya. Perempuan yang mendatangi setiap pengunjung laki-laki.

Tiba gilirannya, nakalnya, Del-Quistro mencium perempuan itu dari paha lalu mendaratkan ciuman ke wajahnya. Tangannya tak ikut bermain. Dengan nada kasar namun sopan, ia meminta perempuan itu untuk memesan tiga bir untuk tamu kawannya, Loher jr, yang sedang ia tunggu. Kabarnya, setengah jam lagi ia akan datang.

Setelah mendapatkan kabar dari kawannya itu. Ia segera menutup ponselnya. Segera ia memanggil penari erotis itu diputaran selanjutnya.“Tolong, aku tahu kau perempuan yang tak pernah mau bercinta denganku! Setengah jam lagi, bawakan tiga botol bir untuk meja nomor delapan. Aku dan temanku akan duduk disana. Menghabiskan malam. Mengerti kau,manis.” Agak tersendat ia tertawa, “Haha..haha.....heak...!” ia menelan ludahnya.

Sambil berbisik tangan kanannya melekuk, memegang leher penari erotis dan tangan kirinya merogoh uang di saku jaketnya, seraya menaruh uang di bra-nya. Ia katakan kalimat yang lebih sopan,“berhentilah kau menari ditempat muram ini, aku sedang bosan, lebih baik kau tinggal di apartemenku!”Perempuan itu hanya tersenyum.

Seperti sudah terbiasa mendengar celotehan anak muda yang penuh

dengan kesia-sian. Namun ia sepenuhnya mengerti. Orang-orang di bar adalah orang-orang yang meluapkan kemarahannya dengan uang. Orang yang penuh kepura-puraan, mengubur kesepiannya. Tertawanya, kemabukannya, berharga dan bernilai uang. Mereka adalah orang-orang yang bersembunyi dibalik botol-botol bir. Habislah, berenang lalu tenggelam dengan soda bir. Setiap malam, terdampar dengan pesona lampu-lampu tembak bak kunang-kunang, diiringi irama lagu penari erotis.

Del-Quistro merasa gerah. Perlahan mulai dari lengan kanan, ia membuka dan meletakan jaket hitamnya yang tebal di belakang kursi kayunya. Ia tak sadar, ia meletakanya tak rapi. Jaket itu menggantung setengah di kursi.

Jarum jam di tangan kirinya, seperti berdetak cepat. Begitu pula jantungnya, ia merasakan panas ditubuhnya, jantungnya terus memompa, sementara keringatnya terus mengucur. Kali ini ia merasa benar-benar gugup, atau apalah ia pun tak mengerti. Soda-soda di gelas birnya yang ia minum seolah-olah keluar, menguap, keluar dari pori-porinya.

Di mana kawannya, ia belum dapat kabar selanjutnya. Ia tak sabar. Bir di gelas besarnya sudah habis setengah. Kini busa bir itu seperti meletus berirama mengalahkan suara detak jarum jam tangganya. Telinganya terlalu awas terhadap apapun. Terlebih ketika gugup. Apapun menjadi keras, ditelingannya.

Laki-laki tua, berada di seberang meja bernomor delapan itu, meja Del-Quistro. Laki-laki tua yang menurut matanya menarik untuk diajak bicara. Minimal merubah situasinya yang sedang gugup itu. Ia menggesar kursinya ke belakang. Kursi itu hampir saja jatuh, untungnya ia masih memegang kepala kursi dengan tanggan kanannya. Ia putar setengah lingkaran. Dan mengangkatnya setengah pinggang. Ia berjalan. Segera menuju laki-laki tua itu.“Kau orang baru disini, Pak tua!”, tanyanya ketus.

Laki-laki tua itu menjawab, “Aku Robert. Aku orang Asia.”“Oh, ow, who..., namamu Robert, tak terdengar seperti Asia,” Del-Quistro meniru ucapan laki-laki tua itu ketika mengucapakan ‘Robert’. Ia menimpalinya dengan tertawa.“Kau hanya laki-laki tua dari Asia yang bodoh, yang tak punya rumah, dengar-dengar, lahan-lahan di Asia sudah tak subur. Dan apa yang bisa kau banggakan lagi dengan Asiamu ...? Cih ...!” tanya Del-Quistro.

Laki-laki tua itu terdiam. Mengaduk-ngaduk kopinya dengan tenang. Detakan sendok kecil yang bergoyang di gelas laki-laki tua itu terasa meretakan kesunyian obrolan mereka akibat tidak dijawab laki-laki tua itu.

“Draakkkkkk ...,” suara pistol Del-Quistro yang ia cabut dari belakang levisnya. Dengan keras ia menggebrak meja, tekanan diatas meja. Telah menggoyang kopi yang sedang diaduk laki-laki tua itu.“Kau tahu pistol ini?”“Aku tidak tahu,” laki-laki tua itu masih menggoyangkan sendok kecilnya dengan tenang.“Ku kira kau bukan orang Asia. Bodoh...!! Bisakah kau membacanya...!!”Ia berbicara lebih banyak lagi. “Bacalah ...! Dari mana asalnya!” Suaranya keras menekankan dalam bahasa Inggris yang begitu kurang jelas. Agak cadel. Ia menambahkan, sambil tersenyum, pula menunjuk pada merk pistol tersebut. “Filipin ...,” dengan nada pelan sedikit berbisik panjang. Ia melanjutkan, “kemarin baru saja aku menembak kepalanya.” Nadanya setengah berbisik menegaskan.

Laki-laki tua tak menghiraukan celotehan anak muda itu. Ia malah menyuruh Del-Quistro balik ke meja nomor 8. Dengan sangat sopan, ia menasihati Del-Quistro. Kata-kata yang memancing kekonyolanlain dari Del-Quistro. “Lebih baik kau urus jaket mu,” kata laki-laki tua itu.

Dengan tingkahnya, Del-Quistro meledek dengan muka tatapan seorang perempuan merengek. “Urus jaketmu?”

Memburu Del-Quistro dan Satu TemannyaRuang Sastra

Page 65: Majalah didaktika edisi 42

Edisi 42-2012

65

Ia menengok sebentar ke belakang mengusap mukanya. Menggaruk kedua alisnya bergantian. Kiri. Kemudian kanan. Ketika laki-laki tua itu masih saja merunduk, asik dengan adukan kopinya, sesekali menaikan kacamatanya, yang seperti mau lepas dari sandaran hidungnya. Tangan Del-Quistro menyambar gelas kopi, lalu meminum kopi laki-laki tua itu. Disisakannya setengah. Dengan tersenyum penuh dengan pasang muka-muka meledek, ia kembali menaruh gelas kopi itu sembarangan. Dengan keras gelas kopi itu beradu dengan meja, sehingga memuncratkan kopi di meja laki-laki tua itu. Keras sekali.

Orang-orang disekitarnya mulai memperhatikan. Sejenak. Lalu kembali normal seperti biasa. Tak ada apa-apa. Tak ada yang menarik.

Tetap, laki-laki tua itu masih tenang. Ia mengeluarkan sapu tangan dari tas kecilnya. Tas yang hanya muat satu buku atau 7 bungkus rokok saja. Membersihkan noda yang berada dimejanya. Kembali ia mengaduk sisa-sisa kopinya. Asyiknya, suara khas sendok kecil dalam adukan kopi seperti berirama. Telinga Del-Quistro juga tajam mendengar gesekan sendok tersebut. Tertegun, ia mengomel, berteriak memaki laki-laki tua itu. Sejurus jalan kembali ke mejanya. Ya, Laki-laki tua yang tidak mengasyikan untuk diajak bicara.

Del-Quistro kembali ke mejanya nomor 8. Ia pun tak lupa membawa kursi kayunya. Temannya Lohmen Jr, belum juga datang. Del-Quistro menyalakan rokok. Belum lama ia merokok, ia tekan rokok itu ke asbak. Mati, bara merahnya kurang menarik untuk matanya. Ia pun memindahkan asbak itu ke kolong mejanya. Menendangnya pelan ke tengah. Tak tahu asbak itu tumpah atau tidak. Tapi ia merasa puas dan senyum sendiri, saat asbak itu jauh dari pandangannya.

Jari-jarinya bermain-main, seperti bermain piano. Kelingking, jari manis, tengah, telunjuk, beraturan membentuk irama di meja. Jelas ia merasa bosan.

Semua orang di bar ini tidak menarik. Membosankan. Musik jazz di bar ini mengalun seperti radio-radio pemerintah yang bersuara mengenai para tentaranya yang terbunuh di medan perang, pengumuman perang lagi. Menjijikan, dimana orang-orang muda seumurannya dulu terpaksa untuk berperang. Bahkan teman-teman Del-Quistro banyak yang menjadi korban. Tidak menarik. Lagi pula penari-penari erotis telah usai menemani malamnya, menambah pening kepalanya. Kecuali laki-laki tua. Orang Asia itu.

Kali ini ia menyeret kursi kayunya. Ia duduk dengan sopan tepat di depan laki-laki tua itu. Kacamata laki-laki tua itu di lepasnya. Ia yang sedang membaca koran jelas terganggu. “Apa yang kau inginkan dariku”, tanya laki-laki tua itu

“Ceritakan padaku. Bagaimana Asia-mu itu? Atau apalah yang sekiranya bisa membuatku tertarik dengan cerita-cerita Asia-mu malam ini. Aku Del-Quistro, Aku sedang menunggu temanku. Ia belum juga datang,” ucapnya lebih ramah. Tapi itu semua tidak merubah keadaan. Laki-laki tua itu kembali menggunakan kacamatanya, dan kembali membalikan korannya.

Kali ini Del-Quistro sabar. Ia menunggu laki-laki- tua itu membalik koran sampai kehalaman terakhir. Ia memperhatikan tangan laki-laki tua itu ketika membalikan koran. Ruas-ruas jarinya kecil, ya ia seperti orang asia pada umumnya. “Kau bisa sabar juga,” ucapnya seraya menutup korannya.“Ya, aku memang orang sabar. Meski aku juga kasar sewaktu-waktu,” sambil menuang bir. “Mari kita minum,” ajak Del-Quistro.“Aku tidak minum bir,” jawab laki-laki tua itu.“Kau orang yang aneh, sedari tadi segelas kopi itu tak pernah kau minum, kau terus mengaduk-ngaduknya.”“Lebih baik kau ganti kopiku ini dengan yang baru, dari pada mengurusiku, atau kau mau mengusikku?” kata laki-laki itu. Seraya menyambungkan, “pernahkah kau berjalan-jalan di hutan tropis Asia, di sekitar Kalimantan, ketika kakimu

terpendam, ketika kau tarik, lintah akan menyedot darahmu dengan asyik. Saat memasuki hutan tersebut bersiap-siaplah tubuhmu akan tersayat-sayat, terluka oleh semak belukar. Dan tidak sedikit yang beracun pula. Orang Eropa yang pada saat itu melakukan perjalanan di sana banyak yang sakit. Bahkan hanya itu nyamuk disana siap menerjangmu dengan malarianya.”“Belum. Apa... kau pernah memasuki hutan itu?”

“Sekarang siapa yang bodoh? Apa kau tak pernah di dongengi oleh gurumu mengenai perjalanan ekpedisi Alfred Russel Wallace ke hutan Kalimantan, Nusantara? Orang itu pergi ke belukar itu hanya untuk meneliti orang hutan. Bukan hanya itu. Jika beruntung, tanah-tanah disana banyak mengandung emas... Itulah terbaik-baiknya tanah di Asia. Berfikir ulanglah mengenai persepsi Asia-mu nak...,” dengan wajah geram ia berniat untuk memulai rencananya. Laki-laki tua itu mundur. Mendorong meja sehingga kursi kayunya mundur satu langkah. Seraya mengeluarkan pistol. Keadaan begitu kacau. Orang-orang di dalam berhamburan ke luar. Dengan santai laki-laki tua itu menelpon. “Sudah kulaksanakan tugasku,” katanya tenang.“Bagus, aku senang ia telah tidak bernyawa. Biar mampus!” terdengar suara dari telepon laki-laki tua itu.“Ia menunggumu sejak setengah jam lalu. Sekarang tunggulah, Aku juga akan menjemput nyawamu,” ia pun melanjutkan dengan nada yang sangat tenang.

“Aku orang Filipine....Salah satu teman agen yang kalian bunuh. Dan aku lebih profesional,” nadanya agak sombong. Loher jr gugup. Telpon itu pun ditutup. Dan laki-laki itu jalan keluar bar. Menghirup udara malam. Malam untuk memburu bos yang telah menyewanya. Oh bukan, kali ini menjadi TARGETNYA.

Rianto AnarkiMahasiswa Jurusan Geografi

Universitas Negeri Jakarta

Memburu Del-Quistro dan Satu Temannya

Page 66: Majalah didaktika edisi 42

DIDAKTIKA

66

Ada banyak prinsip yang dapat digunakan seorang desainer grafis. Namun, bagi desainer karbitan macam saya, prinsip

KISS (Keep It Simple, Stupid!) nampaknya me-mang paling cocok. Mengapa cocok? Buat saya, seorang desainer grafis layaknya seorang nabi. Harus menyampaikan pesan yang mampu dicerna oleh khalayak umum lewat media yang ia ciptakan.

Dalam KISS efektifitas jadi panglima. Ia memadukan semua komponen visual yang dibutuhkan dengan menye-derhanakan bentuk, demi menuju tatanan fungsionalis. Satu yang jadi langganan dalam merayakan KISS adalah tipe huruf (font) Helvetica, yang punya karakter sederhana dengan tingkat keterbacaan tinggi. Manuel Krebs dalam Film Dokumentasi: Helvetica! menyatakan, “If You’re not a good designer, and if you are not a designer. Just use Helvetica. It looks Good!”

Helvetica sendiri lahir pada 1960 di tangan Max Miedinger dan Eduard Hoffman dari perusahaan pembuat huruf Haas di Swiss. Max dan Eduard mengklaim bahwa Helvetica adalah anak kandung dari modernitas. Lahir atas sebuah optimisme atas modernitas yang apik setelah ke-mencekaman dunia lewat Perang Dunia Kedua, khususnya Fasisme. Buat mereka, makna hanya dikandung oleh kata-kata, bukan oleh huruf. Makanya huruf harus bersifat netral dan tidak perlu sifat dan bentuk yang ekspresif. Cukup punya satu fungsi: tingkat keterbacaan (legibility) tinggi.

Klaim Max dan Eduard bukan tanpa alasan. Helvetica memang mewakili semangat zaman modern yang penuh dengan efektifitas, dan efisiensi. Ia menyajikan sebuah bentuk kenyamanan yang terstandarisasi, dan karakter yang stabil. Tampilan Helvetica tidak macam-macam, sangat jelas dengan dominasi garis-garis yang melintang lurus. Praktis, ia jadi representasi modernitas, meninggalkan barbarianisme menuju keteraturan.

Karena kenetralannya, membaca tulisan berhuruf Helvetica tidak mungkin menemukan sebuah rasa, kecuali informasi. Dengannya, tidak akan ada lelaki yang bergairah atau mencoba menerka saat membaca “vagina” atau tak akan ada mawas diri ketika membaca “kematian”. Semua berjalan sangat datar, sangat modern.

Pada tingkat tertentu, Helvetica bisa disebut sebagai agen modernitas yang aktif. Andilnya besar dalam proses produksi dan reproduksi modernitas. Hingga setengah abad umurnya, sudah lebih dari 3000 perusahaan multinasional di seluruh dunia menggunakan Helvetica. Belum lagi lembaga-lembaga pemerintah yang juga menggunakannya. Semisal, untuk penanda jalan, nama stasiun kereta api, dan body text buat dokumen-dokumen pemerintahan.

Dominasi Helvetica menyerupai sebuah fasisme dalam desain grafis. Seiring kemajuan teknologi mekanik seperti

komputer, Helvetica makin trengginas. Ia menjadi huruf bawaan pada Macintosh dan Microsoft, sehingga orang akan lebih sering bertemu dengan-nya. Dimana-mana ada Helvetica! Manusia tidak pernah diberi pilihan lain, dan Helvetica sendiri bersifat sangat represif. Ia hadir dalam semua

ranah manusia dan kemanusiaan. Sehingga mem-buat manusia mau tidak mau menerimanya, sebagai font

yang menjunjung efektifitas. Yang efektif adalah Helvetica, sedang Helvetica pasti efektif.

Teoretikus Frankfurt, Herbert Marcuse begitu memben-ci hal demikian. Buat Marcuse, masyarakat modern seperti itu sangat irrasional dalam rasionalitas yang dipaksakan hingga menginternaslisasi menjadi sebuah kewajaran. Pada-hal, kondisi tersebut mampu menghancurkan kondisi manu-sia yang aktif dan kreatif dalam menghidupi kehidupan.

Bangun tidur, manusia melihat merk pasta gigi, kenda-raan, box makan, bahkan nama jalan semua menggunakan Helvetica. Dimana-mana ada Helvetica. Kemudian muncul apa yang disebut Marcuse sebagai kolektifitas membentuk One Dimensional Society. Dimensi Helvetica.

Atas kondisi satu dimensi tersebut, Marcuse mengecam modernitas hingga menjadi seorang anti-modernis. Baginya modernitas mengebiri akal-akal fakultatif manusia dengan keseragaman. Melalui penyeragaman, Helvetica mulai mem-bantai habis identitas-identitas mikro. Bukan hanya dalam artian produksi dan reproduksi. Ia yang memuncak sejak 1960-an mulai mempergunakan otoritasnya untuk memper-tahankan dominasi.

Dominasi Helvetica sudah mencapai taraf lengkap, sehingga manusia mewajarinya. Sepanjang sejarah, tidak pernah ada hal yang sangat dominatif dalam waktu yang sangat lama tanpa menggunakan represifitas tingkat tinggi. Nazisme Hitler saja tidak mampu bertahan selama itu. Tapi Helvetica bisa.

Watak destruktif Helvetica juga tergambar dalam keme-lut para desainer grafis di Amerika Serikat periode 1970-an. Mereka curiga, Helvetica memberi dukungan penuh invasi Amerika Serikat dalam Perang Vietnam. Kala itu, dokumen-dokumen resmi pemerintah Amerika Serikat sangat bergan-tung kepada Helvetica. Hampir seluruh masyarakat Amerika Serikat menolak perang tersebut. Namun, Helvetica mau berkontribusi.

Entah apa yang ada di pikiran Max dan Eduard saat mendesain Helvetica, atau mereka memang tidak memikir apapun. Hingga muncul raksasa huruf yang menyeram-kan. Nampaknya, mereka juga anak-anak modernitas, yang menunjukkan kapasitasnya melalui Helvetica. Padahal buat saya, huruf punya fungsi penting sebagai jembatan menuju makna dari kata-kata. Tidak bisa bersifat netral seperti yang diniatkan oleh mereka berdua. Anggar Septiadi

HELVETICAKONTEMPLASI{ }

Page 67: Majalah didaktika edisi 42

[HOAX][HOAX]

[HOAX]

[HOAX]

[HOAX] [HOAX] [HOAX] [HOAX] [HOAX]

TIDAK ADA IKLANYANG MELAYANI KEPENTINGAN MASYARAKAT

Bagi anda yang mau melayani kepentingan masyarakat. Segera hubungi nomor ini (087885040001, 085716909532), atau temui kami di www.didaktikaunj.com

Page 68: Majalah didaktika edisi 42

KICK FREEPORT

Save Indonesia