Mahasiswa Tak Bisa Hidup Tanpa Smartphone

2
Mahasiswa Tak Bisa Hidup Tanpa Smartphone MAHASISWA masa kini mengalami nomophobia, perasaan cemas dan takut jika tidak bersama telepon selulernya. Hal ini merupakan kesimpulan dari survei terbaru yang dilakukan SecurEnvoy, sebuah perusahaan yang mengkhususkan diri dalam password digital, yang melakukan survei terhadap 1.000 orang di Inggris. Hasil survei menunjukkan, 66 persen responden mengaku takut kehilangan atau hidup tanpa telepon seluler mereka. Persentase ini semakin membengkak pada responden berusia 18 dan 24 tahun. Sebanyak 77 persen responden di antara kelompok usia ini mengalami nomophobia. Munculnya nomophobia pada orang usia perguruan tinggi, dipicu oleh meroketnya penggunaaan smartphone di kampus-kampus. Sebuah survei yang dilakukan pada Februari 2012 atas mahasiswa Ball State University di Indiana juga mencatat pertumbuhan ini. Disebutkan bahwa kepemilikan smartphone di kampus lebih dari dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir. Pada 2009, jumlahnya 27 persen, dan pada 2012 menjadi 69 persen. Demikian seperti dikutip dari US News and World Report, Selasa (27/3/2012). Meningkatnya kepemilikan smartphone jelas menimbulkan kekhawatiran dari para dosen. Mereka khawatir nomophobia akan mengganggu kegiatan belajar. Namun ada beberapa dosen yang menemukan cara untuk menggunakan smartphone sehingga semakin banyak yang dillibatkan. Dosen bisnis di New York University Aria Finger membolehkan penggunaan ponsel dalam kuliahnya. COO organisasi nirlaba yang fokus untuk remaja dan perubahan sosial, DoSomething.org ini membuat kelasnya terbuka untuk perdebatan di antara mahasiswa.

Transcript of Mahasiswa Tak Bisa Hidup Tanpa Smartphone

Mahasiswa Tak Bisa Hidup Tanpa Smartphone

MAHASISWA masa kini mengalami nomophobia, perasaan cemas dan takut jika tidak bersama telepon selulernya. Hal ini merupakan kesimpulan dari survei terbaru yang dilakukan SecurEnvoy, sebuah perusahaan yang mengkhususkan diri dalam password digital, yang melakukan survei terhadap 1.000 orang di Inggris.

Hasil survei menunjukkan, 66 persen responden mengaku takut kehilangan atau hidup tanpa telepon seluler mereka. Persentase ini semakin membengkak pada responden berusia 18 dan 24 tahun. Sebanyak 77 persen responden di antara kelompok usia ini mengalami nomophobia.

Munculnya nomophobia pada orang usia perguruan tinggi, dipicu oleh meroketnya penggunaaan smartphone di kampus-kampus. Sebuah survei yang dilakukan pada Februari 2012 atas mahasiswa Ball State University di Indiana juga mencatat pertumbuhan ini.

Disebutkan bahwa kepemilikan smartphone di kampus lebih dari dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir. Pada 2009, jumlahnya 27 persen, dan pada 2012 menjadi 69 persen. Demikian seperti dikutip dari US News and World Report, Selasa (27/3/2012).

Meningkatnya kepemilikan smartphone jelas menimbulkan kekhawatiran dari para dosen. Mereka khawatir nomophobia akan mengganggu kegiatan belajar. Namun ada beberapa dosen yang menemukan cara untuk menggunakan smartphone sehingga semakin banyak yang dillibatkan.

Dosen bisnis di New York University Aria Finger membolehkan penggunaan ponsel dalam kuliahnya. COO organisasi nirlaba yang fokus untuk remaja dan perubahan sosial, DoSomething.org ini membuat kelasnya terbuka untuk perdebatan di antara mahasiswa.

Finger memungkinkan mahasiswanya menggunakan ponsel mereka untuk alat penelitian real-time. Dia menyebut smartphone sebagai alat untuk mengecek fakta secara langsung,. Akibatnya, mahasiswa pun menjadi lebih terlibat di dalam kelas.Meski Finger mencatat pengalaman positif dengan smartphone di kelas, dia menjelaskan ada beberapa dosen yang mengalami kesulitan di tengah booming-nya smartphone.

Ini merupakan ketakutan professor pemasaran di California State University-San Marcos Vassilis Dalakas. Setelah mengizinkan mahasiswa membawa smartphone ke dalam kelas, kini Dalakas membatasi smartphone karena menyebabkan gangguan.

Dulu saya berpikir (mahasiswa) adalah orang dewasa dan mereka dapat membuat pilihan. Tapi saya sampai ke titik yang mengganggu, tidak hanya untuk orang yang menggunakannya tapi untuk beberapa orang di kelas, jelas Dalakas.

Dalakas mengakui manfaat penggunaan teknologi, namun dia skeptis terhadap keuntungan smartphone di arena akademis. Saya menduga seorang dosen harus sangat kreatif untuk mengintegrasikan teknologi di kelasnya," ujarnya.

Finger mencatat beberapa profesor memang masih harus belajar untuk menerima penggunaan smartphone di kelas. Dia menyarankan agar para pendidik merangkul perubahan budaya. Seperti halnya teknologi baru, ada sisi baik dan buruk. Hal ini tidak semuanya buruk, pungkasnya.(rhs) Browser anda tidak mendukung iFrame