MAHASISWA; Identitas politik kaum intelektual.docx

8
MAHASISWA; IDENTITAS POLITIC KAUM INTELEKTUAL 1 Oleh : Alam Permana Tulisan ini merupakan sedikit refleksi setelah membaca Q.S Al-Jumu’ah: 10, orang yang sholat adalah orang yang benar-benar mempungsikan potensi dirinya bukan hanya sebagai manusia tapi sebagai seorang yang menghamba pada yang Maha Suci Sang pemilik Ilmu. Artinya orang yang sholat adalah seorang intelektual seorang yang cerdas dan seorang yang benar-benar yang tahu tentang yang Maha Benar yang sebenarnya, seperti yang dijelaskan dalam Q.S Ali Imron : 190-191, bahwa Ulul albab atau dalam hal ini kaum intelektual adalah orang yang senan tiasa merenungi ayat-ayat Alloh atau dalam katalain dalam kondisi menjaga sholatnya. Dalam ayat ini ada tuntutan untuk orang yang sholat untuk menyebar atau melakukan perubahan baik nasib pribadi terlebih masyarakat secara komunal. Apa itu Mahasiswa? Dan kenapa disebut Mahasiswa? Setidaknya dua pertanyaan tadi mula-mula harus terjawab di tengah stigma bahwa hari ini mahasiswa tengah kehilangan identitasnya sebagai embrio kaum intelektual kedepannya, sebelum kita di hadapkan kembali pada satu pertanyaan besar dan fundamental, yakni kenapa mahasiswa diidentikan sebagai embrio atau cikal-bakal kaum intelektual yang akhrinya tidak melihat basic dari keilmuan yang di gelutinya. Inilah setidaknya tiga kerangka berfikir awal kita untuk masuk dan mengidentifikasi kenapa posisi mahasiswa begitu seksi untuk kaum intelektual dalam menegaskan eksistensi dirinya diruang public. APA ITU MAHASISWA DAN KENAPA DISEBUT MAHASISWA? 1 . Disampaikan Untuk Buletin PD HIMA PERSIS GARUT

Transcript of MAHASISWA; Identitas politik kaum intelektual.docx

MAHASISWA; IDENTITAS POLITIC KAUM INTELEKTUAL [footnoteRef:1] [1: . Disampaikan Untuk Buletin PD HIMA PERSIS GARUT]

Oleh : Alam PermanaTulisan ini merupakan sedikit refleksi setelah membaca Q.S Al-Jumuah: 10, orang yang sholat adalah orang yang benar-benar mempungsikan potensi dirinya bukan hanya sebagai manusia tapi sebagai seorang yang menghamba pada yang Maha Suci Sang pemilik Ilmu. Artinya orang yang sholat adalah seorang intelektual seorang yang cerdas dan seorang yang benar-benar yang tahu tentang yang Maha Benar yang sebenarnya, seperti yang dijelaskan dalam Q.S Ali Imron : 190-191, bahwa Ulul albab atau dalam hal ini kaum intelektual adalah orang yang senan tiasa merenungi ayat-ayat Alloh atau dalam katalain dalam kondisi menjaga sholatnya.Dalam ayat ini ada tuntutan untuk orang yang sholat untuk menyebar atau melakukan perubahan baik nasib pribadi terlebih masyarakat secara komunal.Apa itu Mahasiswa? Dan kenapa disebut Mahasiswa? Setidaknya dua pertanyaan tadi mula-mula harus terjawab di tengah stigma bahwa hari ini mahasiswa tengah kehilangan identitasnya sebagai embrio kaum intelektual kedepannya, sebelum kita di hadapkan kembali pada satu pertanyaan besar dan fundamental, yakni kenapa mahasiswa diidentikan sebagai embrio atau cikal-bakal kaum intelektual yang akhrinya tidak melihat basic dari keilmuan yang di gelutinya.Inilah setidaknya tiga kerangka berfikir awal kita untuk masuk dan mengidentifikasi kenapa posisi mahasiswa begitu seksi untuk kaum intelektual dalam menegaskan eksistensi dirinya diruang public. APA ITU MAHASISWA DAN KENAPA DISEBUT MAHASISWA?Jika kita coba tilik secara terminologis ada dua suku kata yang memiliki arti yang berbeda pertama Maha dan selanjutnya Siswa, Maha selalu di fahami dan diidentikan dengan kemampuan, tingkatan atau derajat yang melebihi kelaziman yang ada disekelilingnya, sementara siswa adalah orang yang melakukan kegiatan belajar atau dalam bahasa lain lebih dikenal sebagai pelajar, artinya Mahasiswa adalah orang yang melakukan aktifitas belajar yang melebihi kelaziman pelajar lainnya, diantaranya, memahami, menghayati, berkarya dan segala aktifitas yang bersangkutan dengan upaya memaksimalkan potensi otak dan akal, jika yang di sentuk bukan hanya proses memaksimalkan potensi otak saja tapi akal, maka bukan hanya persoalan akademik saja yang harus diselesaikan atau setidaknya mendapat perhatian lebih dari masyarakat akamdemik yang disebut mahasiwa, hatta ini menjadi salah satu tanggungjawab besar mahasiswa yang secara sekaligus sebenarnya ini adalah tanggung jawab utama kaum intelektual.

Dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi point ke-15 dan PP No.30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi point ke-6, disebutkan bahwa Mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan tinggi tertentu. Artinya secara legal formal status mahasiswa merupakan salah satu status akademik dalam rentetan jenjang pendidikan sekolah. Dengan kata lain orang yang ingin menyandang status mahasiswa dia harus melanjutkan sekolah formalnya dari sekolah menengan ke jenjang sekolah tinggi atau orang yang meneruskan jenjang akademiknya ketingkat yang lebih tinggi maka secara otomatis dia mendapatkan statusnya sebagai mahasiswa.

Lalu apa yang menjadi nilai, tanggung jawab dan idealitas mahasiswa menurut aturan pemerintah ini? Hal ini dijelaskan masih dalam UU No.12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi point ke-9 yakni Tridharma Perguruan Tinggi yang selanjutnya lebih dikenal dengan Tridharma mahasiswa, adalah kewajiban Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan Pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.Tridarma perguruan tinggi ini atau pada akhirnya lebih di kenal dengan tridarma mahasiswa menjadi penegas bahwa idealitas dan tanggung jawab mahasiswa bukan hanya pada wilayah akademik saja namun pada tahap aplikasi dan advokasi keilmuan dalam bentuk pengabdian masyarakat, bahkan perubahan revolusioner struktur social kemasyarakatan. Pada UU No.12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi point ke-1, bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Dengan definisi pendidikan yang diberikan oleh UU tersebut lebih mengkristalisasi pemahaman kita kaum terdidik atau mahasiswa tentang pola macam apa yang harus disuguhkan kepada masyarakat, dalam prosesnya melakukan perubahan atau dinamisasi kehidupan kemasyarakatan dalam struktur social politik masyarakat.

Ada proses dan fase yang fundamen yang harus di penuhi oleh kaum terdidik atau dalam hal ini mahasiswa untuk melaksanakan dan memenuhi tanggung jawabnya melakukan advokasi, pencerdasan dan perubahan struktur social kemasyarakatan menuju arah yang lebih baik. Diantaranya dalam definisi pendidikan yang di sampaikan UU No.12 tahun 2012 tersebut bahwa point penting dari pendidikan usaha sadar dan terencana, artinya ada semacam proses rekayasa yang didasari pada kesadaran murni seorang terdidik atau cendikiawan atau seorang intelektual. Sepeti apa bentuk kesadaran murni seorang terdidik itu? Hatta dalam tulisannya pernah menulis bahwa tanggungjawab seorang akademikus adalah intelektual dan moral! Ini terbawa oleh tabiat ilmu itu sendiri yang wujudnya mencari kebenaran dan membela kebenaran[footnoteRef:2]. Inilah gambaran Hatta tentang kesadaran murni seorang terdidik, cendikiawan ataupun intelektual. [2: . M. Hatta Tanggung Jawab Kaum Intelegensia dalam Aswab Mahasin Ismed Narsir (Peny.), Cendikiawan dan Politik, (Jakarta:LP3ES, 1984), hal.3]

Proses rekayasa yang di buat adalah proses rekayasa yang senantiasa menuju pada hakikat kebenaran, karena watak dan moralitas Ilmu itu bermuara pada hakijat kebenaran. Pun, proses aktualisasi dari rekayasa yang di buat senantiasa dengan proses penyadaran terlebih dahulu baik kita sebagai subjek dari perubahan struktur social tersebut atau pun masyarakat baik kelas elit maupun kelas bawah- sebagai objek dari project perubahan yang kita galangkan.

Kenapa solah melulu project perubahan yang menjadi garapan mahasiswa dan kaum intelektual Islam khususnya?

MAHASISWA DAN KAUM INTELEKTUAL

Tradisi intelektual dalam hal ini Islam membidik empat tema pokok: Tuhan, Alam, Jiwa Manusia, dan hubungan antar pribadi (social). Tidak diragukan, banyak, jika tidak sebagian besar, orang tidak reflektif dan bahkan tidak pernah bertanya kepada dirinya sendiri kenapa mereka harus repot-repot memikirkan segala sesuatu. Mereka hanya menjalani rutinitas sehari-hari mereka dan membayangkan bahwa mereka memahami rutinitas mereka. Muslim taat semacam ini tampaknya berasumsi bahwa Alloh tidak menginginkan mereka lebih dari sekedar mengikuti syariat. Akan tetapi ini bukan argument bagi mereka yang memiliki kemampuan berfikir. Siapa pun yang memiliki kemampuan berfikir dan bakat untuk merenung kan Tuhan, Alam semesta dan jiwa manusia mempunyai tugas untuk melakukannya. Tidak melakukannya yakni perenungan dan penghayatan terhadap empat hal tersebut , adalah menghianati wataknya sendiri dan tidak mentaati perintah-perintah Alloh untuk merenungkan Ayat-ayat-Nya.[footnoteRef:3] [3: . Williyam C. Chittick, Kosmologi islam dan Dunia Moderen, Mizan, Bandung 2010]

Artinya proses berinteraksi dengan fikiran dan mengaktualisasikannya dalam sebuah gerakan adalah tanggung jawab mereka yang telah mendaulatkan dirinya sebagai kaum terdidik atau dengan katalain kaum intelektual atau dalam hal ini Mahasiswa.

Frans magnish suseno, dalam pengantar buku Edwar W. Said mengartikan intelektual sebagai orang pintar yang mengatakan hal-hal yang oposisional atau bersebrangan dengan sesuatu yang dianggap benar sebelum melakukan penelaahan dan pengujian terhadap hal yang dianggap benar tersebut.[footnoteRef:4] [4: . Edward W. Said, Peran Intelektual, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2014]

Ada karakteristik yang sangat fundamen dan menonjol antara mahasiswa dan kaum intelektual tersebut, diantaranya tanggung jawab memfungsikan akal dan nalar dan untuk tidak bersikap tidak perduli terhadap segala gejala-gejala yang ada yang ada dilingkungan sosialnya, bahkan penghianatan terbesar baik untuk kaum mahasiswa ataupun intelektual adalah ketika dia tidak memfungsikan atau mengikhtiyarkan akalnya saat ada gejala ketidak beresan dalam struktur sosialnya. Bahkan Edward Shils, memasukan secara saklek mahasiswa dan mereka yang bergerak dalam bidang hukum sebagai kaum intelektual.

Namun, perbedaan yang ada antara mahasiswa dan kaum intelektual terutama pada dimensi ruang public dan politik. Kaum intelektual terkadang sulit untuk tidak mengindahkan keikut campurannya dalam dimensi politik terutama praktis. Hal ini disebabkan tidak memiliki lembaga formal yang memberikan batasan-batasan keterlibatan kaum cendikiawan pada ranah politik dan kebijakan praktis. Contoh jelas adalah apa yang terjadi pada politisasi ICMI pada masa orde baru, sehingga kebijkan-kebijakan terkait keagamaan dan pendidikan keagamaan tidak bisa di refresentasikan dan diadvokasi oleh kalangan intelektual yang ada di ICMI.

Julian Benda menulis suatu buku yang memaparkan tentang Pengkhianatan kaum intelektual. Alih-alih kaum intelektual memegang tinggi kemanusiaan yang menjadi dasar segala Ilmu, malah berkata bahwa mereka telah menyesuaikan diri pada berbagai macam aliran egoism dan kepentingan disebelah masyarakat atau di luar kepentingan masyarakat. Orang terpelajar tidak saja dikalahkan, tapi juga di pungut, orang terpelajar yang disewa oleh yang berkuasa di dunia adalah pengkhianat kepada fungsinya kaum intelektual. Inti tuduhan julien benda kepada kaum terpelajar ialah bahwa mereka tidak memberikan petunjuk dan memberipimpinan kepada perkembangan hidup kemasyarakatan, malah menyerahkan diri pada penguasa yang memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing.[footnoteRef:5] [5: . M. Hatta Tanggung Jawab Kaum Intelegensia dalam Aswab Mahasin Ismed Narsir (Peny.), Cendikiawan dan Politik, (Jakarta:LP3ES, 1984), hal.3]

Dalam sejarahnya, besar sekali peran mahasiswa selaku pencetus perubahan social dan politik. Orang-orang dapat melihat kekuatan mereka itu dalam peristiwa penggulingan Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, penggulingan Soekarno di Indonesia tahun 1966, jatuhnya Ayub Khan di Pakistan tahun 1969 dan banyak lagi yang lainnya. Tetapi penting dicatat bahwa bukan kelompok mahasiswalah yang beraksi sampai akhirnya terlaksana gerakan revolusioner; mereka adalah katalisator yang penting dalam aksi yang bersifat politis.[footnoteRef:6] Sifat khas mahasiswa yang penting dalam hubungan social adalah bahwa situasi mereka selalu bercorak sementara. Mahasiswa mendapatkan perhatian lebih [6: Arif Budiman Peran Mahasiswa sebagai Intelegensia dalam Aswab Mahasin Ismed Narsir (Peny.), Cendikiawan dan Politik, (Jakarta:LP3ES, 1984), hal.144-145]

Mahasiawa sering mendapatkan perhatian lebih dari public karena karakter mereka seperti intelek tual yang di jelaskan sebelumnya yakni selalu menyampaikan pendapat yang bersifat oposisi, sehingga mendapat sorotan lebih dari public, ditambah lembaga pendidikan formal mereka yakni perguruan tinggi melindungi mereka dari ekses-ekses negative penyelewengan hokum yang dilancarkan pemerintah yang merasa terusik.Inilah akhirnya kenapa mahasiswa menempati posisi yang cukup ideal dan aman untuk kaum intelektual melakukan prubahan-perubahan dalam struktur masyarakat. Mahasiswa, pada akhirnya tidak bisa menempati pos-pos politik praktik karena keterkitannya dengan lembaga, kaum intelektual inilah yang bisa secara revolusioner menyuarakan perubahan kearah lebih baik, dan sifat sementara mahasiswa member kesempatan kaum intelektual untuk tidak terlampau jauh menggeluti ruang public dan politik, hanya fungsi tridarma mahasiswa menjadi standar menjaga idealitasnya sebagai kaum intelektual terutama khususnya dalam Islam.

Wallohu alam