Politik Luar Negeri Indonesia dan Identitas Islam: Kebijakan ......Dan identitas islam, yang...
Transcript of Politik Luar Negeri Indonesia dan Identitas Islam: Kebijakan ......Dan identitas islam, yang...
Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507
Politik Luar Negeri Indonesia dan Identitas Islam:
Kebijakan Indonesia dalam Mengatasi Krisis Muslim
Rohingya Tahun 2017
Muhammad Jullyo Bagus Firdaus
Departemen Hubungan Internasional
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
ABSTRAK
Membahas mengenai Politik Luar Negeri Indonesia tentu tidak jauh dari landasan
ideologis “Politik Bebas-Aktif”, yang juga sebagai postulat dalam implementasi
setiap politik luar negeri Indonesia. Sejak awal kemerdekaan Indonesia hingga
sekarang, doktrin ini juga masih berlaku di era pemerintahan Presiden Joko
Widodo. Dalam pembahasan jurnal ini, penulis menganalisa mengenai studi kasus
diplomasi bilateral yang dilakukan oleh Indonesia untuk mengatasi krisis Rohingya
di Myanmar pada tahun 2017 dalam menciptakan perdamaian dunia. Bentuk yang
dilakukan oleh Indonesia tentu berkaitan dengan kepentingan nasional berupa
upaya penciptaan kestabilan dan keamanan di level global. Jurnal ini menggunakan
metode Historical and Identity Representation untuk membedah pelaksanaan
Politik Luar Negeri Indonesia berdasarkan landasan ideologis Bebas-Aktif serta
landasan konstitusional pada pembukaan UUD 1945, serta konstruksi identitas
Indonesia sebagai salah satu negara Muslim terbesar di dunia. Penulis menganggap
bahwa negara harus mengetahui arah kebijakan luar negeri berdasarkan identitas.
Kata Kunci: Politik luar negeri,bebas-aktif, Indonesia, konstruktivisme,Rohingya
Pendahuluan
Pada dasarnya landasan politik luar negeri Indonesia mengacu pada konstitusi
dalam pembukaan UUD 1945 maupun gagasan dari Mohammad Hatta yang dengan
judul “Mendayung antara dua Karang”. Kedua hal tersebut telah memberikan
ideologis penting Indonesia sebagai pijakan dalam pelaksanaan kebijakan luar
Negeri. Politik Bebas-Aktif menjadi pijakan utama setiap pemimpin NKRI dalam
merumuskan setiap kebijakan luar negeri. Selain kedua hal tersebut terdapat sebuah
landasan konstitusional dalam pembukaan UUD 1945, dengan upaya penciptaan
perdamaian dunia. Di masa Orde Baru,ASEAN menjadi poros utama dalam
10
Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507
mengembangkan setiap unsur dan kesempatan untuk memperkokoh perdamaian
dan stabilitas di wilayah Asia Tenggara.
Indonesia di era Orde Baru sangat berperan dalam pelaksanaan stabilitas kawasan
di kawasan Asia Tenggara mengingat regionalisme sebelumnya sering mengalami
kegagalan seperti ASA maupun Maphilindo, ASEAN terbukti dapat bertahan lama
hingga kini. Indonesia hadir menjadi salah satu pendiri regionalisme kawasan. Pada
tahun 1967, Indonesia tercatat sebagai salah satu founding father ASEAN dan sejak
itu pula Indonesia terus memainkan peran penting dalam penyusunan visi dan misi
ASEAN, termasuk dalam pelaksanaan ASEAN Community 2015. Di masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, peran Indonesia dalam ASEAN yang
paling menonjol yakni mendesak para menteri luar negeri ASEAN
mengimplementasikan deklarasi bersama atau DoC (Declaration Code of Conduct)
yang memuat elemen-elemen kerjasama di Laut China Selatan, agar menjadi kode
etik bersama yang mengikat (Wardhana,2011). Dalam regional, Indonesia telah
berperan dalam penciptaan stabilitas regional.
Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo Indonesia melakukan upaya dalam
mengatasi krisis kemanusiaan yang dialami etnis muslim Rohingya di Myanmar
pada tahun 2017, hal tersebut memang sejalan dengan kepentingan nasional
Indonesia sesuai dengan landasan konstitusional mengenai penciptaan perdamaian
dunia dan keadilan sosial. Selain dalam tatanan normatif, terdapat faktor penting
yang menjadi suatu alasan, atas aksi Indonesia dengan hadirnya ASEAN sebagai
lingkaran konsentris utama dalam politik luar negeri Indonesia (Kementerian Luar
Negeri,2019).
Lingkaran konsentris dalam politik luar negeri suatu negara menjadi suatu
kepentingan nasional dalam setiap pelaksanaan kebijakan. Ditambah dengan
identitas Indonesia sebagai salah satu negara muslim terbesar di dunia menjadi
salah satu sebab.Argumen utama dari penulis adalah kebijakan bilateral Indonesia-
Myanmar memiliki kaitan dengan identitas Indonesia sebagai negara muslim
moderat sekaligus identitas sebagai penjaga perdamaian dunia menjadi pendorong
utama terciptanya kebijakan luar negeri tersebut. Faktor identitas dalam perumusan
kebijakan luar negeri menjadi salah satu pertimbangan bagi pembuat kebijakan luar
negeri.
11
Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507
Metodologi
Pada dasarnya suatu konsep tidak mungkin ahistoris. Mengacu pada pendapat
George Lawson dan John M. Hobson (2008) bahwa penggunaan sejarah dalam
hubungan internasional berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan teori dalam
Hubungan Internasional, teori berfungsi menjelaskan fenomena yang ada. Dalam
tulisan ini, penulis menggunakan metode historicist historical sociology (historisis
sosiologi). Metode ini fokus pada detail historis tertentu mengenai penjelasan
kausal dalam hubungan internasional, serta menentukan bagaimana pola,
konfigurasi dan settinghubungan sosial dalam konteks sejarah yang
melatarbelakangi setiap kejadian.
Untuk dapat menganalisis lebih dalam, penulis menggunakan analisis wacana
dalam memahami identitas Indonesia. Analisis wacana dilakukan dengan cara
melakukan fenomenan sosial (intrepretatif) dari kontestasi identitas yang diteliti,
dalam pelaksanaannya berfokus pada gagasan wacana, sehingga membentuk
pemahaman pada fenomena sosial. Gagasan wacana terdiri dari berbagai kumpulan
teks-teks terkait, yang terdiri dari pidato, dokumen tertulis, dan praktik sosial, yang
menghasilkan makna secara empiris dengan cara memahami identitas kolektif.
Analisis wacana dengan demikian dapat dianggap sebagai kontekstualisasi
kualitatif dari teks dan praktik untuk menggambarkan makna sosial (Abdelal et.
al,2009)
Identitas Sebagai Formula Kebijakan Luar Negeri
Penggunaan Konstruktivisme, yang awal mula dijabarkan oleh Nicholas Onuf dan
disempurnakan oleh Alexander Wendt, berguna untuk melihat realasi identitas
dalam perumusan kebijakan luar negeri. Jika kita mencari sebuah teori yang
menyatukan perhatian dengan identitas, khususnya untuk untuk memberikan
pemahaman akan kebijakan luar negeri (menyangkut unsur negara, kedaulatan dan
anarki), bisa memulai dari penjabaran identitas dalam Hubungan Internasionl dari
Alexander Wendt (Waever,2002). Menurut Wendt (1992) hadirnya interaksi negara
dikarenakan adanya kepentingan dan identitas yang sama antar kedua negara atau
12
Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507
lebih. Secara lebih lanjut, identitas adalah konstruksi nilai, sehingga memberikan
pengaruh dalam pengambilan kebijakan luar negeri dengan melihat posisi negara
dalam sistem internasional, selanjutnya melahirkan konstruksi identitas dan
kepentingan yang telah dibentuk bagaimana suatu negara memandang negara lain
(Wendt,1994). Identitas negara dinyatakan oleh pembuat keputusan utama (Jackson
& Sorensen,2016). Dalam hal ini pernyataan maupun respon pemimpin
pemerintahan suatu negara diungkapkan melalui surat kabar nasional, pidato
kepresidenan, memoar, jurnal, teks buku ataupun arsip nasional.
Historis Identitas Politik Luar Negeri Indonesia dan Identitas Muslim
Moderat
Membahas mengenai kontruksi politik luar negeri Indonesia, dapat dilacak dari sisi
historis dan landasan konstitusional. Pasca berhasil memperoleh kemerdekaan,
menghasilkan sebuah konsekuensi untuk menciptakan politik luar negeri. Dasar
dari politik luar negeri Indonesia telah termaktub dalam Pembukaan UUD 1945
pada alinea pertama yang berbunyi :
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu,
maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri
kemanusiaan dan peri keadilan”.
Dalam pembentukan Negara Indonesia dalam konteks cara bertindak dalam
hubungan internasional khususnya melaksanakan syarat de jure diawal
kemerdekaan suatu negara adalah untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Kedua prinsip
tersebut telah melatarbelakangi pembentukan politik luar negeri bebas – aktif dalam
kontestasi politik di dunia Internasional. Hal tersebut merupakan suatu landasan
konstitusional yang membentuk strategi Indonesia untuk berinterkasi di dalam
hubungan Internasional. Dan ini juga menjadi doktrin dasar maupun landasan
ideologis pandangan politik luar negeri Indonesia dalam konstelasi politik
internasional.
Secara penerapan acuan konkrit pada mulanya dijelaskan oleh Mohammad Hatta
(Departemen Luar Negeri,1948 ) pada pidato “ Mendayung Antara Dua Karang” di
13
Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507
sidang badan pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dengan tegas
mengatakan :
“Politik Republik Indonesia harus ditentukan sesuai dengan kepentingan sendiri
dan fakta – fakta yang dihadapi. Garis Politik Indonesia tidak digantungkan pada
Negara lain, yang mengejar “kepentingan sendiri”
Dari adanya tinjauan historis akan politik luar negeri Indonesia, terdapat penafsiran
masing-masing dari setiap presiden Indonesia mengenai identitas Indonesia sebagai
negara muslim. Identitas akan Indonesia menjadi negara muslim terbesar mengaju
pada laporan Pew research, sebagai lembaga riset global menyatakan bahwa
Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia (205 juta) dan
sekitar 88% populasi Indonesia adalah Muslim, Indonesia memiliki sekitar 13%
dari populasi muslim di dunia (Pew Research,2010).
Dimensi historis, identitas muslim dan identitas pendukung perdamaian dunia telah
diartikulasikan oleh setiap pemimpin pemerintahan mulai dari Sukarno hingga Joko
Widodo. Pada masa pemerintahan Soekarno, identitas penciptaan perdamaian dunia
terlihat dari upaya diplomasi secara multilateral dengan melakukan balancing
terhadap great power (Uni Soveit dan Amerika Serikat) dengan menjadi tuan rumah
Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955. Sedangkan identitas islam, di masa ini
kurang terlihat jelas hanya saja upaya pengakuan de facto dengan negara-negara
islam seperti Mesir, Iran, serta Negara timur tengah lainnya. Telah menjadi langkah
awal diplomasi Indonesia dalam memperoleh pengakuan negara lain, berawal dari
kunjungan delegasi Indonesia yang diketuai oleh Agus Salim, Mesir merupakan
Negara pertama yang mengakui Indonesia secara de facto terhadap proklamasi 17
Agustus 1945 (Tempo,2013).
Selanjutnya, dimasa pemerintahan Soeharto bentuk dari penerapan akan identitas
pencipta perdamaian dunia, terlihat akan hadirnya Indonesia sebagai stabilitator
kawasan dengan menjadi salah satu pendiri ASEAN yang sekaligus dianggap
sebagai soko guru politik luar negeri Indonesia. Mengenai identitas islam, secara
domestik partai islam di Indonesia dilarang di era pemerintahan Soeharto
(Anwar,2010). Pada tahun 1970-1980 an Indonesia tidak memiliki kedekatan
dengan negara-negara Islam yang berada di Timur Tengah. Pada tahun 1990an, di
14
Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507
masa orde baru Indonesia menjadi tuan rumah bagi beberapa Organisasi Islam
dunia, seperti pertemuan OIC (Organization of Islamic Cooperation), dan IFTIHAR
(The International Islamic Forum For Science,Technology dan HumanResources)
sebuah Forum Islam International untuk pengembangan Iptek dan Sumber Daya
Manusia, pada Desember 1996 (Olson,2001).
Kemudian, di masa pemerintahan B. J. Habibie, bentuk dari identitas perdamaian
dunia ketika adanya ajuan dari Indonesia terhadap referendum kemerdekaan Timor
Leste, Indonesia dianggap sebagai negara demokratis yang berpengaruh akan
perbaikan citra Indonesia dalam lingkup regional maupun global. Identitas islam
terlihat kabur, menurut Rizal Sukma (2010) di masa pemerintahan ini tidak
mengakomodasi suara Islam ke dalam politik luar negerinya, kebijakan Indonesia
dengan negara-negara Islam juga tidak ada perkembangan, tidak adanya hubungan
signifikan dalam OIC. Beralih ke masa pemerintahan Abdurrahman Wahid,
identitas akan perdamaian dunia dan islam terlihat adanya sikap demokratis dan
pluralis ditujukan dengan adanya wacana pembukaan hubungan diplomatik dengan
Israel meskipun sangat kontroversial, dengan mendapat respon keras dari
masyrakat Indonesia yang mayoritas muslim, dikarenakan negara Israel melakukan
penindasan kepada negara palestina. Tujuan dari kebijakan tersebut Indonesia dapat
berperan dalam upaya perdamaian di Tmur Tengah (Nainggolan,2001). Identitas
islam dalam forum internasional masih terlihat dengan hadirnya presiden Wahid
pada KTT OKI.
Di masa pemerintahan Megawati, identitas perdamaian dunia terlihat ketika
Indonesia ikut mendukung atas War On Terrorism sebagai ancaman bagi kemanan
internasional. Untuk memperkuat identitas islam yang sebelumnya mengganggu
citra Indonesia, melalui penguatan di tingkat Internasional dalam Forum PBB
maupun regional ASEAN untuk deradikalisasi (Wuryandari,2014). Berpindah ke
masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia hadir dengan
memperkenalkan jargon baru “thousand friends zero enemy” dengan tujuan lebih
memperluas diplomasi Indonesia baik secara bilateral dan multilateral khususnya
ASEAN. Identitas islam diperiode ini dikombinasikan dengan modernitas sebagai
identitas baru politik luar negeri Indonesia.
15
Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507
Periode terkahir yakni pada masa pemerintahan Joko Widodo, Secara garis besar
peran dan posisi Indonesia di Pemerintahan Joko Widodo secara identitas menjaga
perdamaian dunia, terlihat dari penguatan arsitektur kawasan melalui ASEAN, East
Asia Summit, dan penguatan kemitraan startegis bilateral serta penguatan
demokratisasi. Sedangkan secara identitas islam, penguatan Indonesia sebagai
negara Islam Moderat dan ikut serta pencegahan isu kemanusiaan dan terorisme
guna terciptanya perdamaian dunia. Dari beberapa kepemimpinan yang telah ada,
terdapat benang merah dalam membentuk identitas Indonesia dalam upaya
pencapaian perdamaian dunia, Indonesia cenderung tidak menggunakan diplomasi
kooperatif dengan pihak manapun yang sesuai dengan ideologi bebas-aktif.
Dan identitas islam, yang dimiliki Indonesia merupakan faktor penting dalam sisi
domestik dengan adanya mayoritas, yang menjadi pertimbangan setiap presiden
dalam mengambil kebijakan dengan identitas muslim. Nilai-nilai Demokrasi, Islam
dan modernitas menjadi poin penting bagi postur polugri Indonesia. Setelah
melacak dari artikulasi identitas setiap kepemimpinan, penulis menelaah kedua
identitas yang dimiliki Politik Luar negeri Indonesia dalam kasus mengatasi
masalah krisis etnis muslim Rohingya di Myanmar tahun 2017.
Identitas Indonesia dalam Kebijakan Mengatasi Krisis Rohingya Tahun 2017
Etnis minoritas Rohingnya sudah tinggal di Myanmar selama berabad-abad.
Namun pemerintah Myanmar menganggap bahwa Rohingya bukan kelompok etnis
asli. Keturunan Rohingya dianggap sebagai pengungsi ilegal etnis Bengali dari
negara Banglades. Di pihak lain, Banglades juga tidak mengakui mereka sebagai
warga negara (Kusuma & Sitorus,2019). Konflik di Rakhine State, Myanmar,
antara umat Buddha Rakhine dan Muslim Rohingya adalah ketegangan etnis dan
agama yang telah lama ada. Telah dicatat bahwa tindakan utama kekejaman di
wilayah ini telah terjadi setidaknya empat kali (1960, 1978, 1982, dan 1991)
(Mathieson,2009). Pada tahun 2012, konflik muncul kembali. Konflik dipicu
karena terdapat dua bentrokan utama. Pada 28 Mei 2012, seorang wanita Rakhine
dilaporkan diperkosa, dirampok, dan dibunuh oleh tiga pemuda Muslim Rohingya
di Kota Yanbye. Ketika berita itu beredar di kalangan umat Buddha Rakhine,
membuat sebuah rencana pembalasan. Seminggu kemudian, di sebuah bus umum
16
Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507
Muslim Rohingya diserang, sekitar 10 korban jiwa Muslim Rohingya dibunuh
(Smith,2013).
Eskalasi kembali memuncak pada agustus 2017, dan membuat pemerintah hadir
untuk bersikap, terutama sebagai negara yang memiliki identitas menjaga
perdamaiana dunia. Lebih dari setengah juta etnis Rohingya telah melarikan diri
dari kekerasan di Negara Bagian Rakhine Myanmar sejak Agustus 2017, pada 25
agustus 2017 media pemerintah Myanmar telah melaporkan terdapat 12 petugas
keamanan dibunuh oleh gerilyawan ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army)
selama serangkaian serangan yang terkoordinas.Militer Myanmar melakukan
tindakan balasan lebih masif dengan membakar desa-desa dan memicu eksodus
massal etnis Rohingya ke Bangladesh (Hunt,2017).
Berdasarkan perkiraan jumlah korban menurut Medicine Sans Frontieres, sejak
serangan atas sejumlah pos polisi oleh kelompok militan Rohingya, sekitar 647.000
orang Rohingya mengungsi ke Bangladesh untuk menghindari aksi kekerasan oleh
aparat keamanan Myanmar maupun kelompok nasionalis Budha (BBC
Indonesia,2017). Pada akhir tahun 2016, sebelum konflik mengalami eskalasi,
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan Indonesia adalah negara berpenduduk
muslim terbesar, maka Indonesia punya kewajiban moral untuk membantu
permasalahan krisis kemanusiaan yang meinmpa etnsi muslim Rohingya di
Myanmar (Purnomo,2016).
Sejak adanya eskalasi konflik pada akhir agustus 2017, belum ada negara yang
diterima oleh Myanmar untuk menyelsaikan konflik tersebut. Penolakan juga
dialami oleh PBB, alasan Myanmar menolak bantuan dari seluruh badan PBB
dikarenakan masalah keamanan. Penolakan ini dibenarkan oleh perwakilan PBB di
Myanmar. Perwakilan PBB mengatakan, mereka telah meminta izin kepada
pemerintah Myanmar, namun hal itu ditolak dengan alasan situasi keamanan yang
masih belum kondusif (Maulana,2017). Myanmar juga menutup diri dengan
negara-negara anggota ASEAN pada awalnya dan juga menutup akses dalam
menyalurkan bantuan kepada kelompok etnis Rohingya. Saat itu, ASEAN tidak
bereaksi, karena terhambat oleh prinsip non-intervensi yang telah ada dalam prinsip
ASEAN Way(Affan,2017).
17
Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507
Grafik 1.1 Neraca Perdagangan Indonesia-Myanmar Tahun 2015-2020
Sumber : Kementrian Perdagangan Republik Indonesia,2019
Hubungan Myanmar Indonesia berjalan baik selama 67 tahun. Hubungan baik
antara Myanmar dan Indonesia digunakan oleh Kedutaan Besar Indonesia di
Yangon sebagai perwakilan dari Pemerintah Indonesia untuk dapat membangun
dan mengembangkan kerja sama dalam bidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan
pertahanan. Mengacu pada data Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
pada grafik diatas, hubungan ekonomi antara Indonesia dan Myanmar di sektor
perdagangan pada tahun 2012-2017 mengalami peningkatan yang terlihat dari
neraca perdagangan kedua negara (Kemendag,2019). Oleh karena itu, merujuk
pada proses hubungan bilateral Indonesia dan Myanmar dalam mengatasi krisis
kemanusiaan. Bentuk hubungan baik ini adalah investasi bagi Indonesia dalam
mendukung jalannya diplomasi kemanusiaan. Dalam hal ini, Indonesia sudah
memiliki hubungan investasi jangka panjang sehingga lebih mudah untuk
melakukan kontak dengan Pemerintah Myanmar.
Di di sisi lain, menurut Arya Sandhiyudha (2017,dalam okezone.com) tindakan
Indonesia segera melakukan diplomasi dengan pemimpin de facto Myanmar, Aung
San Suu Kyi diapresiasi dunia. Indonesia merupakan negara pertama yang
18
Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507
melakukan diplomasi dengan Myanmar untuk menangani krisis kemanusiaan, hal
tersebut dikarenakan di masa lalu Indonesia memiliki kontribusi dalam
bergabungnya Myanmar ke dalam ASEAN.
Pada 3 September 2017, presiden Jokowi mengadakan konferensi pers di istana
presiden, mengumumkan bahwa ia telah menginstruksikan Menteri Luar Negeri
untuk pergi ke Myanmar dan mendesak untuk menghentikan kekerasan, melindungi
umat Islam dan memastikan akses bagi organisasi kemanusiaan untuk mengirimkan
bantuan ke Rakhine State (Institute of Policy Analysis and Conflict,2018). Dari
pernyataan presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dapat dilihat
mengenai pengartikulasian identitas baik sebagai negara pencipta perdamaian dunia
serta identitas muslim moderat. Hubungan Indonesia dengan Myanmar secara
bilateral dalam mengatasai konflik antar etnis didorong oleh komitmen untuk
menjaga stabilitas keamanan di ASEAN terutama menjadi perantara damai, lalu
dilakukan upaya untuk memastikan akses untuk bantuan kemanusiaan, dan
kebutuhannya untuk menanggapi tekanan domestik untuk membela sesama Muslim
yang diserang.
Selang sehari usai konferensi pers, pada tanggal 4 September 2017, Menteri Luar
Negeri Indonesia Retno Marsudi melakukan diplomasi secara bilateral dengan
pemerintah Myanmar guna menghentikan kekerasan mematikan terhadap etnis
muslim Rohingya, tugas Menlu ke Myanmar bertujuan untuk mengadakan
"komunikasi intensif" dengan pihak-pihak yang terlibat seperti National Security
Advisor Aung San Suu Kyi dan Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Jenderal
Senior U Min Aung Hlaing, termasuk PBB (AlJazeera,2017). Ketika berkunjung
ke Myanmar, menteri luar negeri memberikan desakan untuk Rakhine State, tediri
dari empat elemen, yaitu mengembalikan stabilitas dan keamanan, menahan diri
secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan, perlindungan kepada semua
orang yang berada di Rakhine State tanpa memandang suku dan agama, dan
pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan keamanan (Suryowati,2017).
Selanjutnya, Pemerintah Indonesia di bawah koordinasi Kementerian Luar Negeri
membentuk Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM). Aliansi ini
dibentuk sebagai forum untuk masyarakat Indonesia dan LSM kemanusiaan
19
Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507
Indonesia. Aliansi ini terdiri dari 11 lembaga kemanusiaan, termasuk dua organisasi
Islam terbesar yakni Nadhlatul Ulama dan Muhammadiyah. AKIM menciptakan
program yang disebut Assistance for Sustainable Community (HASCO). Program
ini bertujuan untuk membantu masyarakat Myanmar khususnya Rohingya dalam
meningkatkan kapasitas, mengirimkan para ahli, mata pencaharian, dan pemulihan.
Program ini dilaksanakan selama dua tahun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
Rakhine di bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Sebagai tindak lanjut
kunjungan 4 September 2017, Indonesia telah mengirimkan bantuan kemanusiaan
kepada etnis Rohingya, antara lain: berupa makanan, pakaian, obat-obatan, dan
tenda untuk pengungsi di Bangladesh berjumlah 74 ton dan untuk masyarakat di
Rakhine State sejumlah 20 ton (Kementrian Luar Negeri,2018). Dalam memenuhi
kebutuhan dasar orang-orang yang mengalami krisis, AKIM mengumpulkan
sumbangan dari masyarakat Indonesia. LSM yang berafiliasi dengan AKIM juga
mengumpulkan donasi, dana yang terkumpul disalurkan melalui AKIM ke
Myanmar. Pemerintah Indonesia dan AKIM bekerja sama untuk melaksanakan
komitmen untuk mendukung penanganan krisis melalui bantuan kemanusiaan. Ini
untuk realisasi reformasi, rekonsiliasi, dan pembangunan inklusif di Myanmar.
Presiden Joko Widodo (2018, dalam VoA Indonesia) membutuhkan komitmen dari
semua negara anggota untuk tetap menjaga perdamaian dan kesejahteraan di
kawasan sebagai satu keluarga. Ia juga mengungkapkan kekhawatiran apabila krisis
kemanusiaan ini dibiarkan terus berlanjut, akan memiliki dampak yang tidak baik
bagi Myanmar dan kohesifitas ASEAN, yang tentu mengancam perdamaian dunia.
Asumsi pemilihan rentang tahun 2017, menjadi penting dikarenakan pada tahun ini
pada pemerintahan Joko Widodo kita dapat mengartikulasikan identitas Indonesia
sebagai pencipta perdamaian dunia dan identitas sebagai negara muslim, keduanya
menjadi latar belakang bagi politik luar negeri di Indonesia dalam pengambilan atau
permusan kebijakan luar negeri dalam merespon isu global.
Penutup
Pelakasanaan kebijakan luar negeri Indonesia dalam menangani krisis kemanusiaan
di Myanmar pada tahun 2017. Telah memberikan kesimpulan sekaligus pembuktian
20
Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507
bahwa kontrsuksi identitas Indonesia sebagai negara pencipta perdamaian dunia
dalam tatanan normatif dan identitas islam yang dimiliki, berperan dalam
perumusan kebijakan luar negeri Indonesia. Penggunaan analisis wacana melalui
kacamata konstruktivisme memberikan opsi baru dalam menganalisis politik luar
negeri Indonesia serta dapat memberikan paradigma baru dalam menganalisis
politik luar negeri Indonesia lebih luas, dalam aspek ideasional.
Referensi
Abdelal, Rawi et. al (eds.).2009. Measuring Identity A Guide for Social
Scientists.Cambridge: Cambridge University Press.
Al Jazeera.2017. Indonesia FM to urge Myanmar to halt Rohingya violence
[daring]. dalam https://www.aljazeera.com/news/2017/09/indonesia-fm-
urge-myanmar-halt-rohingya-viol ence-170903160924784.html [diakses 5
Februari 2020].
Affan,Heyder.2017. Krisis Rohingya, mengapa ASEAN tidak mampu berperan?
[daring]. dalam https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41160293
[diakses 5 Februari 2020].
Anwar,Dewi Fortuna.2010. Foreign Policy, Islam and Democracy in Indonesia.
Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities Vol. 3, 2010, halaman
37-54.
BBC Indonesia.2017. Sekitar 6.700 Muslim Rohingya Tewas Dalam Waktu
Sebulan [daring]. dalam https://www.bbc.com/indonesia/dunia-42351386
[diakes 6 Februari 2020].
Hunt, Katie.2017. Rohingya Crisis: How We Got Here [daring]. dalam
https://edition.cnn.com/2017/11/12/asia/rohingya-crisis-timeline/index.html
[diakses 5 Februari 2020].
Institute of Policy Analysis and Conflict.2018. Indonesia And The Rohingya Crisis
[pdf]. dalam
https://www.burmalibrary.org/sites/burmalibrary.org/files/obl/2018-06-29-
Indonesia_and _Rohingya_Crisis-en-red.pdf [diakses 6 Februari 2020].IPAC
Report No.46.
Jackson,Robert dan Sorenson, Georg.2013.Pengantar Studi Hubungan
Internasional (diterjemahkan oleh Dadan Suryadipura dan Pancasari
Suyatiman, Introduction to International Relations, fifth edition). Jogjakarta :
Pustaka Pelajar
21
Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507
Kementrian Luar Negeri.2019. Kerja Sama Regional [daring]. dalam
https://kemlu.go.id/portal/id/page/20/kerja-sama-regional [diakses 2 Februari
2020].
Kementrian Luar Negeri.2018. Laporan Kinerja 2017 : Direktorat Jenderal Asia
Pasifik dan
Afrika [pdf]. dalam
https://kemlu.go.id/download/L3NpdGVzL3B1c2F0L0RvY3VtZW50cy9B
S0lQL0Rpc
mVrdG9yYXQlMjBKZW5kZXJhbCUyMEFTUEFTQUYvTEtKJTIwRGl0
amVuJTIw QXNwYXNhZiUyMDIwMTcucGRm [diakses 6 Februari 2020].
Kementrian Perdagangan Republik Indonesia.2019.Neraca Perdagangan dengan
Mitra Dagang, Neraca Perdagangan Indonesia Dengan Burma Periode: 2015
- 2020 dalam https://statistik.kemendag.go.id/balance-of-trade-with-trade-
partner-country [diakses 5 Februari 2020].
Kusuma, Ardli Johan & Sitorus,Fernando Ersento Maraden.Strategi Diplomasi
Kemanusiaan Pemerintah Indonesia Dalam Kasus Krisis Kemanusiaan Yang
Dialami Etnis Rohingya Di Myanmar Tahun 2017. Mandala Jurnal Ilmu
Hubungan Internasional Vol.2 No.2 Juli-Desember 2019.
Lawson, George dan Hobson, John M.2008. What is history in international
relations?.Millennium - Journal of International Studies,37 (2). halaman 415-
435.
Mathieson,David.2009. Perilous Plight Burma’s Rohingya Take to the Seas
[daring]. dalam https://www.hrw.org/report/2009/05/26/perilous-
plight/burmas-rohingya-take-seas [diakses 7 februari 2020].
Maulana,Victor.2017. Myanmar Tolak Bantuan PBB untuk Rakhine [daring].
dalam https://international.sindonews.com/berita/1236576/40/myanmar-
tolak-bantuan-pbb-unt uk-rakhine [diakses 6 Februari 2020].
Nainggolan,Poltak Partogi.2001.Diplomasi Ofensif Pemerintah Wahid : Analisis
dari Perspektif Politik, dalam Sekretariat Jenderal DPR –RI. Jakarat : Pusat
Pengkajian dan Pelayanan lnformasi (P31) Bekerjasama dengan Konrad
Adenauer Stiftung
Olson,Robert Edward.2008. Suharto: A Political Biography 1st Edition.Cambridge:
Cambridge University Press.
Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Alinea
Pertama.
Pew Research Center.2010. Muslim Population of Indonesia [daring]. Dalam
https://www.pewforum.org/2010/11/04/muslim-population-of-indonesia/
[diakses 3 Februari 2020].
22
Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507
Purnomo, Nurmulia Rekso.2016. Jusuf Kalla Jelaskan Alasan Pemerintah RI Harus
Bantu
Selesaikan Konflik[daring]. dalam
https://www.tribunnews.com/nasional/2016/12/13/jusuf-kalla-jelaskan-
alasan-pemerintah -ri-harus-bantu-selesaikan-konflik-rohingya [diakses 6
Februari 2016].
Smith,Matthew.2013. “All You Can Do is Pray” Crimes Against Humanity and
Ethnic Cleansing of Rohingya Muslims in Burma’s Arakan State [daring].
dalam https://www.hrw.org/report/2013/04/22/all-you-can-do-pray/crimes-
against-humanity-an d-ethnic-cleansing-rohingya-muslims [diakses 6
Februari 2020].
Sukma,Rizal.2004. Islam in Indonesian Foreign Policy 1st edition.London:
Routledge. Sandhiyudha, Arya.2017. Konflik Rohingya, Kenapa Myanmar
Mau Berdiplomasi dengan
Indonesia? [daring]. dalam
https://nasional.okezone.com/read/2017/09/08/337/1771806/konflik-
rohingya-kenapa-my anmar-mau-berdiplomasi-dengan-indonesia [diakses 6
Februari 2020].
Suryowati,Estu.2017.Temui Otoritas Myanmar, Menlu Retno Tawarkan Solusi
untuk Warga
Rohingya[daring].dalamhttps://nasional.kompas.com/read/2017/09/05/13215991/t
emui-otoritas-myanmar-menlu -retno-tawarkan-solusi-untuk-warga-
rohingya?page=all [diakses 6 Februari 2020].
VoA Indonesia.2018.Jokowi Dorong ASEAN Terlibat Atasi Krisis Rohingya
[daring]. dalam https://www.voaindonesia.com/a/jokowi-dorong-asean-
terlibat-atasi-krisis rohingya/4657902.html [diakses 5 Februari 2020].
Waever, Ole (2002). Identity, communities and foreign policy: Discourse analysis
as foreign policy theory,dalam L. Hansen & O. Waever (eds.), European
Integration and National Identity: The Challenge of the Nordic
States.London: Routledge. Chapter 2.
Wardhana,Raditya.2011.SBY Desak Menlu ASEAN Percepat Penanganan Laut
Cina Selatan
[daring]. dalam https://www.dw.com/id/sby-desak-menlu-asean-percepat-
penanganan-laut-cina-selatan/ a-15250224 [diakses 2 Februari 2020].
Wendt, Alexander.1992.Anarchy is what States Make of it, International
Organization.41 halaman 335-370.
23
Volume 1 No. 2 Juli 2020 IISN: 2715-2507
______________.1994. Collective Identity Formation and the International State.
American Political Science Review, 88(02),halaman 384–396.
Wuryandari,Ganewati.2014. Indonesian Foreign Policy In Dealing With
International Terrorism Issue.Jurnal Penelitian Politik Volume 11 No. 2
Desember 2014,halaman 71–83.
24