Mahasiswa dan tanggung jawab sosial

7

Click here to load reader

description

 

Transcript of Mahasiswa dan tanggung jawab sosial

Page 1: Mahasiswa dan tanggung jawab sosial

Terminologi Perguruan Tinggi

Perguruan tinggi adalah sebuah institusi yang tidak sekedar untuk kuliah, mencatat pelajaran, pulang

dan tidur. Tapi harus dipahami bahwa perguruan tinggi adalah tempat untuk penggemblengan mahasiswa

dalam melakukan kontempelasi dan penggambaran intelektual agar mempunyai idealisme dan komitmen

perjuangan sekaligus tuntutan perubahan.

Penggagasan terhadap terminologi perguruan tinggi tidak akan bisa dilepaskan bisa dilepaskan dari

suplemen utama, yaitu mahasiswa. Stigma yang muncul dalam diskursus perguruan tinggi selama ini

cenderung berpusat pada kehidupan mahasiswa. Hal ini sebagai konsekuensi logis agresitivitas mereka dalam

merespon gejala sosial ketimbang kelompok lain dari sebuah sistem civitas akademika.

Akan tetapi fenomena yang berkembang menunjukkan bahwa derap modernisasi di Indonesia dengan

pembangunan sebagai ideologinya telah memenjarakan mahasiswa dalam sekat institusionalisasi,

transpolitisasi dan depolitisasi dalam kampus. Keberhasilan upaya dengan dukungan penerapan konsep

NKK/BKK itu, pada sisi lain mahasiswa dikungkung dunia isolasi hingga tercerabut dari realitas sosial yang

melingkupinya. Akibatnya, mahasiswa mengalami kegamangan atas dirinya maupun peran-peran

kemasyrakatan yang semestinya diambil. Mahasiswapun tidak lagi memiliki kesadaran kritis dan bahkan

sebaliknya bersikap apolitis.

Melihat realitas seperti itu maka perlu ditumbuhkan kesadaran kritis mahassiwa dalam merespon

gejala sosial yang dihadapinya, karena di samping belum tersentuh kepentingan praktis, mahasiswa lebih

relatif tercerahkan (well informed) dan potensi sebagai kelompok dinamis yang diharapkan mampu

mempengaruhi atau menjadi penyuluh pada basis mayarakat baik dalam lingkup kecil maupun secara luas.

Dengan tataran ideal seperti itu, semestinya mahasiswa dapat mengambil peran kemasyrakatan yang lebih

bermakna bagi kehidupan kampus dan mayarakat.

Potret peran Mahasiswa dalam pentas sejarah Indonesia

Peran dan posisi mahasiswa dalam perspektif kehidupan berbangsa dan bernegara, merupakan

diskursus yang menarik sepanjang dinamika kehidupan mahasiswa. Hampir menjadi kenyataan yang lazim

bahwa gerakan mahasiswa terutama di dunia ketiga memainkan peran yang sangat aktif pada posisi sentral di

dalam perubahan sosial-politik, dan hampir tak satupun penguasa di negara-negara berkembang yang

mengabaikan posisi sosial dan pentingnya representasi politik serta dampak aspirasi dari golongan muda

berpendidikan tinggi ini. Sehingga para pemerhati sosial tidak mengabaikan fungsi mereka dalam sistem

sosial politik baik di negeri maju maupun berkembang, termasuk di Indonesia.

Dalam arti yang luas, ideologi berisi tatanan nilai yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai

pedoman untuk menjalankan kehidupan bersama dalam rangka meraih harapan-harapan mereka. Tatanan nilai

tersebut berasal dari tradisi atau adat-istiadat dan dapat pula bersumber dari ajaran agama.

Untuk memahami perkembangan kehidupan ideologi mahasiswa, yang harus diperhatikan adalah arus

perubahan dan pergeseran fokus peranan mahasiswa dari tahapan proses yang satu kepada proses lainnya.

Perubahan intensitas aktifitas ideologi mahasiswa dipergunakan sebagai petunjuk untuk memahami

pergeseran fokus peranan tersebut. Banyak predikat yang disandang mahasiswa kaitannya dengan ideologi

yang diperjuangkan, horison mahasiswa yang menempatkan pada posisi strategis inilah yang mungkin

menjadikan fungsinya sebagai Agent Of Social Change dan Man Of Analysis, menjadi jargon yang

dimitoskan.

Disampaikan: pada diskusi Komisariat PMII STIT-NU Cianjur (08-12-2012)

Page 2: Mahasiswa dan tanggung jawab sosial

Dalam kurun waktu sejarah gerakan mahasiswa yang strategi dan menonjol dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Pertama, terjadi pada kurun waktu 1910-an sampai dengan 1930, kedua pada era

1960-an.

Peran ideologi mahasiswa tahun 1910-an sampai dengan 1930-an terfokus pada peran penggagas,

yaitu menysun, menafsirkan serta memulasikan pemikiran tentang segenap aspek kehidupan bermasyarakat

yang berasal dari masyarakat asing dan masyarakat sendiri menjadi ideologi yang sesuai dengan kondisi dan

kebutuhan masyarakatnya sendiri. Mahasiswa dari generasi Soetomo 1910-an dan generasi Soekarno-Hatta

1920-an, adalah pemikir-pemikir yang meletakkan dasar ideologi nasiolnalisme bagi bangsa Indonesia di

kemudian hari. Nasionalisme merupakan fokus dari keseluruhan ideologi yang digagaskan oleh mahasiswa

1910-1930-an.

Pada tahun 1940-an gerakan mahasiswa mengalami pergeseran peran, peran penggagas tidak lagi

menonjol. Gerakannya lebih terfokus pada sebagai pendukung dan penerap dari ideologi yang sudah ada.

Dekade 1950-an dunia mahasiswa kembali disegani, sekalipun kemandirian dan peran sebagai penggagas

semakin menipis. Hal ini di latarbelakangi oleh dominannya peran politik profesional didalam kehidupan

politik. Politisi sipil yang dominan saat itu berasal dari tokoh politik yang mengalami sosialisasi politik tahin

1910, 1930-an di kampus dalam dan luar negeri (Eropa). Pada era ini kampus sebagai lembaga lembaga

pendidikan tinggi terbelenggu pengaruh politisi dari partai politik sebagai kekuatan dominan. Akibatnya,

kampus dan mahasiswa mengikuti pola persaingan antar partai dan terpecah berdasarkan politik aliran.

Perjalanan Indonesia era 1910-an sampai 1950-an, menempatkan kekuatan sipil yang berasal dari

kaum intelektual (mahasiswa) sebagai sumber kepemimpinan bangsa yang dominan. Akan tetapi sejak yahun

1960-an kekuatan militer muncul sebagai suatu sumber kepemimpinan bangsa yang dominan. Fungsi parpol

bersama ormas pengikutnya sebagai sumber kepemimpinan merosot bersama penurunan peran politiknya.

Namun yang perlu dicatat dalam sejarah gerakan mahasiswa, pada era 1960-an peran ideologi mahasiswa

meningkat tajam. Gerakan idiologi masa ini, melahirkan angkatan 1966. Dekade 1960-an dengan angkatan

1966-nya telah membentuk identitas sosial mahasiswa sebagai sebuah kekuatan sosial politik. Persepsi dan

konsepsi tentang peran sosial ini, terbentuk dan menguat sejalan dengan tegaknya hegemoni pemerintahan

orde baru.

Di satu sisi lahirlah Orde Baru seiring dengan kehendak gerakan mahasiswa, sehingga gerakannya

mendapat dukungan kekuatan-kekuatan establishment (ABRI). Disisi lain arus perubahan menuju

terbentuknya keuatan orde baru sebenarnya berangkat dari keinginan militer dan teknorat untuk lebih

memerankan diri dalam konstalasi kehidupan bangsa dan negara setelah melihat kebobrokan dan kegagalan

kekuatan sipil pada pemerintahan demokrasi terpimpin. Keinginan militer ini diwujudkan dalam Doktrin Dwi

Fungsi ABRI diaman ABRI disamping sebagai kekuatan HANKAM juga memiliki peran sosial politik.

Lakon yang dimainkan mahasiswa angkatan 66 berada dalam panggung sejarah yang romantis, di

dalamnya terjadi aliansi segitiga yang harmonis antara militer, teknokrat, dan mahasiswa. Ketiganya

merupakan bagian lapisan elit intelegensia yang bakal mengobarkan gagasan modernisasi. Dengan kata lain

disamping militer teknokrat, mahasiswa juga dipercaya sebagai agen modernisasi atau pembangunan.

Dekade 1970-an aliansi ini pecah akibat berubahnya orientasi dan strategi pemerintahan orde baru.

Cita-cita awal gerakan orde baru sudah tidak sesuai dengan idealisme dan ideologi mahasiswa. Akibatnya,

hampir sepanjang era 1970-an terjadi protes, kritik, petisi, selebaran dan lobi yang diarahkan kepada

pemerintahan orde baru. Gerakan ini bermuara pada persoalan demokrasi, peran militer, dan pembangunan

ekonomi. Akibatnya gerakan mahasiswa semakin berhadapan dengan kekuatan represif, yang mengutamakan

stabilitas nasional dalam upaya menjaga kelangsungan pembangunan nasional. Pada gilirannya gerakan

mahasiswa mengalami kemerosotan yang sangat tajam, yang belum pernah terjadi dalam gerakan mahasiswa

Disampaikan: pada diskusi Komisariat PMII STIT-NU Cianjur (08-12-2012)

Page 3: Mahasiswa dan tanggung jawab sosial

di Indonesia. depolitisasi dan deparpolisasi, melalui penerapan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan

BKK (Badan Koordinasi Kampus) menjadi senjata pamungkas hegemoni Orba terhadap kehidupan

mahasiswa. Lalu kepada mahasiswa yang melanggar NKK/BKK diberikan sanksi akademik yang berat, mulai

dari skorsing sementara atau terbatasnya sampai kepada pemecatan bahkan dipenjarakan.

Dekade 1980-an adalah masa-masa mandul peran mahasiswa dalam kancah sosial-politik karena

perannya dipersempit dalam peran profesional saja. Dalam masa-masa ini terjadi proses-proses penggugatan

dan penyadaran terhadap peran sosial-politik mahasiswa. Upaya ini tampak berbuah ketika pada era 1990-an

angin perubahan di dalam diri mahasiswa mulai berhembus, yang berujung pada munculnya generasi

reformasi pada tahun 1990-an akhir ini.

Mahasiswa adalah sebuah komunitas intelektual. Ciri utama seorang intelektual adalah kapasitasnya

untuk berpikir merdeka. Ia selalu mempertanyakan segala sesuatu: mengapa ini harus begini, mengapa itu

harus begitu. Realitas tidak diterima sebagai apa adanya, tapi juga dipersoalkan bagaimana seharusnya.

Seorang intelektual adalah sekelompok orang yang merasa terpanggil  memperbaiki masyarakatnya,

menangkap aspirasi mereka, dan merumuskannya dalam bahasa yang bisa dipahami mereka, juga

menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah.

Siapa Mahasiswa ?

Kata Mahasiswa dibentuk dari dua kata dasar yaitu “maha” dan “siswa”. Maha berarti besar atau

agung, sedangkan siswa berarti orang yang sedang belajar. Kombinasi dua kata ini menunjuk pada suatu

kelebihan tertentu bagi penyandangnya. Di dalam PP No. 30 Tentang Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa

mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan tinggi tertentu (Bab I ps.1 [6]),

yaitu lembaga pendidikan yang bertujuan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang

memiliki kemampuan akademik dan / atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau

menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian. (Bab II ps. 1 [1]). Dengan demikian, mahasiswa

adalah anggota dari suatu masyarakat tertentu yang merupakan “elit” intelektual dengan tanggung-jawab

terhadap ilmu dan masyarakat yang melekat pada dirinya, sesuai dengan “tridarma” lembaga tempat ia

bernaung

Mahasiswa adalah anggota masyarakat yang berada pada tataran elit karena kelebihan yang

dimilikinya, yang dengan demikian mempunyai kekhasan fungsi, peran dan tanggung-jawab.

Dari identitas dirinya tersebut, mahasiswa sekaligus mempunyai tanggung jawab intelektual,

tanggung jawab sosial, dan tanggungjawab moral

Bagaimana bentuk peran mahasiswa?

• Peran dalam Memperdalam dan mengembangkan diri di dalam pembidangan keilmuan yang ditekuninya

sehingga dapat memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab intelektualnya

• Merupakan jembatan antara dunia teoritis dan dunia empiris dalam arti pemetaan dan pemecahan masalah-

masalah kehidupan sesuai dengan bidangnya.

• Merupakan dinamisator perubahan masyarakat menuju perkembangan yang lebih baik. (agen perubahan).

• Sekaligus merupakan kontrol terhadap perubahan sosial yang sedang dan akan berlangsung.

Simbol kemahasiswaan yang melekat pada dirinya akan membawa ciri khas tersendiri untuk tampil di

tengah-tengah masyarakat. Hal ini terjadi karena dalam diri mahasiswa akan dilekatkan berbagai stigma.

Mahasiswa yang kehidupan sehari-harinya diplorkan pada lingkungan kampus perguruan tinggi bukan

semata-mata membawa amanah dan misi individualis, akan tetapi lebih dari itu mahasiswa menjadi tumpuan

harapan berjuta-juta orang diluar dirinya. Hal inilah yang menempatkan mahasiswa dalam kerangka Piramida

Disampaikan: pada diskusi Komisariat PMII STIT-NU Cianjur (08-12-2012)

Page 4: Mahasiswa dan tanggung jawab sosial

Maslow dalam posisi yang ideal dimana mahasiswa tersebut menjadi penjembatan atas aspirasi dari kaum

akar rumput (masyarakat bawah) dengan penentu kebijakan yaitu kaum elitis. Oleh karena itu, jelas bahwa

keberadaan mahasiswa di sebuah perguruan tinggi mengemban tanggung jawab sosial dari masyarakat.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah seperti apa tanggungjawab yang harus diemban oleh mahasiswa?

Posisi seorang mahasiswa seperti dalam Piramida Maslow yang telah saya kemukakan di atas sangat

strategis untuk dimanfaatkan, dimana mahasiswa mempunyai peluang untuk menjadi salah satu control power

terhadap kebijakan-kebijakan kaum elitis dalam memberikan respon terhadap aspirasi masyarakat awam.

Sangat dipahami bahwa terkadang kebijakan elitis yang lahir tidak sesuai dengan harapan masyarakat.

Terhadap fenomena ini, mahasiwa harus muncul sebagai penjembatan dan berfungsi sebagai social control

(Kontrol sosial), Agent Of Change (Insan Pembaharu/perubahan), dan Change Of Development. Perlu diingat

bahwa tanggungjawab sosial mahasiswa dalam mengontrol berbagai kebijakan elitis bukan hanya pada aspek

politis, akan tetapi lebih dari itu mahasiswa harus mampu mengakomodir dan memberikan respon secara

general terhadap keseluruhan peraturan dalam berbagai aspek kehidupan.

Akan tetapi, sebenarnya selama ini ada kekeliruan mahasiswa dalam menafsirkan peran dan

fungsinya yang mengaspirasi kepentingannya selalu dalam bentuk demonstrasi dan terkesan anarkis.

Melakukan gerakan dalam rangka pembaharuan dan perubahan kebijakan yang sesuai dengan aspirasi

masyarakat adalah sesuatu yang sah, akan tetapi satu hal yang perlu diingat oleh mahasiswa adalah bahwa

dalam menyampaikan aspirasi harus senantiasa berdasarkan pada azas logika, etika dan estetika.

Secara keseluruhan, tidak semua mahasiswa bisa mengemban tanggungjawab sosial seperti yang

telah dikemukakan di atas. Penyebabnya adalah karena karakteristik dari setiap mahasiswa itu berbeda-beda.

Dalam kategorisasi karakter mahasiswa, sekurang-kurangnya terdapat tiga jenis mahasiswa, antara lain;

1. Mahasiswa Passifis, adalah bentuk mahasiswa yang tidak mau peduli terhadap orang lain, cenderung cuek dan

apatis,

2. Mahasiswa Akademis, adalah mahasiswa yang menggunakan parameter keberhasilan dengan angka dan nilai

(IPK) yang tinggi, selesai kuliah dengan cepat, sehingga waktunya dihabiskan untuk kuliah secara monoton

tanpa menimbulkan simpati dan empati dalam dirinya terhadap orang lain dan realitas eksternal mereka. Jenis

mahasiswa ini setelah menyelesaikan studinya sering disebut sebagai “sarjana karbitan” dan

3. Mahasiswa Aktifis, adalah mahasiswa yang kehadirannya dalam sebuah perguruan tinggi bukan semata-mata

menjadi pecundang-pecundang mata kuliah dengan akreditasi “cum laude” akan tetapi mereka mempunyai

kepedulian terhadap realitas eksternal mereka, tanpa meninggalkan tugas utamanya sebagai mahasiswa

(kuliah).

Dari ketiga karakter mahasiswa tersebut di atas, maka sudah sangat jelas bahwa mahasiswa yang akan

mampu memegang amanah menjalankan tanggungjawab sosial adalah mereka yang termasuk dalam

komunitas mahasiswa aktifis. Hal ini disebabkan karena adanya kesadaran mereka untuk memposisikan diri

bukan semata-mata sebagai seorang egaliter yang sangat egois terhadap status yang melekat pada dirinya

sebagai mahasiswa yang harus dilayani oleh orang tuanya dan masyarakat yang memberikan amanah kepada

mereka. Akan tetapi lebih dari itu seorang aktifis mampu memadukan antara kepentingan dirinya sebagai

aksentuasi dari amanah orang tuanya dengan realitas di luar dirinya.

Disampaikan: pada diskusi Komisariat PMII STIT-NU Cianjur (08-12-2012)