ma dengan sekitar 80 Refleksi Paradoks Mimpi Besar · double-digit (di atas 10%) sela-ma lima tahun...

1
S etiap kali memasuki awal tahun yang baru, banyak orang merumuskan reso- lusinya masing-masing. Resolu- si yang dimaksud umumnya berupa pencapaian yang ingin diraih di tahun mendatang, se- ringkali dengan target yang serba “wah”. Yang masih karyawan biasa, ingin segera menjadi manajer; yang gajinya pas-pasan, ingin mengubah koceknya menjadi tebal; yang masih jomblo, ingin segera menikah. Intinya, ingin berubah ke arah yang lebih baik, dan kalau bisa dengan cara melompat ala kodok, yang dikenal juga istilah frog-leap Ternyata, urusan resolusi yang wah dan “kencang” ini bukan hanya terjadi di level in- dividu, namun juga di aras orga- nisasi. Para pegiat manajemen menyebutnya sebagai “stretch goal”. Banyak perusahaan be- sar, seperti Apple, 3M atau pun Boeing, yang dengan gagah be- rani mengatakan bahwa kesuk- sesan mereka selalu diawali oleh mimpi-mimpi besar alias stretch- goals. Bagi mereka, stretch-goals adalah pompa adrenalin terbesar yang mem- buat mereka mam- pu “mengubah du- nia”. Pandangan ini sejalan dengan pe- tuah Jim Collins dan Jerry Porras dalam buku best-seller me- reka di tahun 1990, Built to Last, yang menjadikan “ big, hairy and audacio- us goals” sebagai salah satu ciri yang dimiliki perusahaan pemenang. Namun, alih-alih mengantar kepada kemajuan, stretch-goals justru seringkali mengakibat- kan sebuah organisasi tak ke mana-mana. Bahkan, mungkin membuat perusahaan terpero- sok ke lembah kegagalan yang lebih dalam. Ketika Marissa Mayer diang- kat sebagai CEO Yahoo pada Juli 2012, pendapatan tahunan Yahoo telah turun dari US$ 7,2 miliar menjadi US$ 4,9 miliar selama empat tahun terakhir. Karyawan juga dalam keadaan yang tak bersemangat dan kul- tur perusahaan secara keselu- ruhan pun sudah tak sehat. Ringkas kata, Yahoo sedang menyusuri lorong kerugian yang tampak berkepanjangan. Mayer menjawab persoalan- persoalan di atas dengan mem- proklamasikan stretch goal , yakni “membawa perusahaan ikonik tersebut kembali ke ke- jayaannya”. Dengan ambisius, ia mene- tapkan sasaran utama yang sa- ngat amat sulit, yakni meraih pertumbuhan tahunan sebesar double-digit (di atas 10%) sela- ma lima tahun ke depan. Tak lupa pula, ia pun menambahkan delapan target tambahan yang tak kalah menantangnya. Pada tahun 2016, dari delapan target yang dicanangkannya, ada enam yang realisasinya jauh dari harapan. Demikian pula, target utama berupa per- tumbuhan tahunan di atas 10% pun tak terwujud. Pendapatan Yahoo bergeming datar di ang- ka US$ 4,9 miliar. Lebih buruk lagi, pada 2015, Yahoo dilapor- kan merugi sebesar US$ 4,4 mi- liar. Pada Juli 2016, diberitakan bahwa Verizon setuju untuk mengambil alih kepemilikan perusahaan tersebut (walaupun hingga tulisan ini dimuat, belum dicapai kata akhir dan resmi untuk pembelian tersebut). Ha- sil tersebut jelas merupakan pencapaian yang buruk dari se- buah rencana besar yang telah dirumuskan tegas oleh Mayer. Kinerja & sumber daya Sim B. Sitkin dkk, dalam arti- kelnya di Harvard Business Re- view (January–February, 2017) menyebut kegagalan Mayer di atas sebagai the stretch-goal paradox. Alih-alih mendatangkan lom- patan keberhasilan ke tempat yang tinggi, stretch-goal justru mengantar organisasi kepada jurang kegagalan yang begitu dalam. Paradoks bukan? Lebih lanjut, Sitkin dkk juga mendeteksi dua faktor yang membuat organisasi tak berha- sil meraih stretch-goal-nya. Se- sungguhnya kedua hal tersebut tampak begitu jelas, namun se- ringkali diabaikan oleh para pelaku organisasi. Pertama, faktor kinerja orga- nisasi yang terkini. Perusahaan yang baru saja meraih “keme- nangan dan prestasi” signifikan akan lebih siap untuk menang- gapi stretch-goal. Karyawan-karyawannya akan menunjukkan optimisme tinggi, terampil melihat pelu- ang, gigih mencari informasi, dan menemukan solusi. Seba- liknya, perusahaan yang sedang mengalami kinerja buruk, umumnya tak siap menghadapi strecth-goal. Karyawan-karyawannya cen- derung melihat sa- saran yang menan- tang itu sebagai an- caman, gampang khawatir, bersikap defensif, serta sulit berpikir jernih dan sistematis. Kedua, faktor ke- tersediaan sumber daya yang cukup. Jika ketersediaan sumber daya (ma- nusia, uang, penge- tahuan, peralatan, dsb.) “melebihi” ke- butuhan organisasi saat ini, maka sur- plus sumber daya tersebut dapat digu- nakan untuk menciptakan ide baru serta melakukan eksperi- mentasi inovatif. Perusahaan-perusahaan de- ngan sumber daya yang terpe- nuhi baik akan lebih siap meng- hadapi stretch-goal. Bukan ha- nya karena mereka memiliki “cadangan uang”, namun ter- utama “cadangan emosi”. “Cadangan emosi” ini tentu- nya akan meningkatkan kesiap- an dan ketahanan (resilience) mental mereka dalam mengha- dapi sesuatu yang sulit, menan- tang dan penuh risiko, yang merupakan ciri utama dari stretch-goal. Akhirul kalam, tulisan ini tak bermaksud untuk mengajak pembaca menghindari stretch- goal. Tak ada produk teknologi canggih seperti iPhone atau pun pesawat ruang angkasa yang mengantar manusia ke bulan jika tak ada stretch-goal yang hidup di benak pemimpi-pe- mimpi besar. Namun, patut dicatat pula bahwa kesuksesan dan kejaya- an tak melulu datang dari lom- patan kodok yang dramatis. Seringkali, justru datang dari langkah-langkah kecil, yang di- ayunkan dan dijalani dengan tekun. Refleksi an perusahaan terhadap kese- hatan karyawan. Sebab, sejatinya, karyawan yang sehat bisa lebih produktif dalam be- kerja. Selanjutnya, perusahaan pun bisa berhemat dalam hal premi asuransi kesehatan bagi karyawan. “Kita memang ingin ada human touch dalam plat- form ini,” tutur Lenny. Perusahaan juga bisa leluasa memasukkan program-program lainnya. Sebab, platform ini sa- ngat memungkinkan modifikasi (customized). Misalnya, per- usahaan bisa memasukkan aca- ra pelatihan dan berapa poin yang diberikan bagi karyawan yang melakukan check in dan klik attend pada acara tersebut. Perusahaan juga bisa mengatur poin bagi karyawan yang mam- pu mencapai target atau bonus tambahan poin bagi yang berha- sil melewati target tersebut. Platform SKOR juga bisa di- manfaatkan untuk mengkampa- nyekan kultur perusahaan. Mi- salnya, perusahaan ingin mem- berantas budaya jam karet. Nah, HRD bisa menentukan berapa point reward bagi mere- ka yang datang tepat waktu. Nah, setelah terkumpul, kar- yawan bisa mencairkan atau membelanjakan points reward tersebut sesuai dengan pilihan- nya. Ada beberapa kriteria pi- lihan, yakni Health & Fitness, Lifestyle & Recreation, serta Essential & More. Tak cuma itu. SKOR juga memberikan nilai lebih bagi para penggunanya. Sebab, se- lain points reward, SKOR juga menawarkan discount reward, yakni penghargaan berupa program diskon di sejumlah merchant. Kebanyakan tempat makan. “Saat ini, untuk points reward, kami telah bekerjasa- ma dengan sekitar 80 mer- chants. Adapun, untuk program diskon, ada sekitar 100 mer- chants di Jakarta, Bali, Yogya, dan Solo,” kata Lenny. Merchant yang menjadi mitra pun tak perlu membayar apa pun. Bahkan, mereka menda- patkan Merchant Dashboard, sehingga bisa memantau trans- aksi yang terjadi lewat SKOR. Bagi perusahaan, keberadaan points reward tersebut bisa menjadi alat ukur untuk menen- tukan kenaikan gaji atau pun bonus bagi masing-masing kar- yawan. Jadi, tidak ada lagi per- lakuan yang sama rata bagi mereka yang berbeda kinerja- nya. Mereka yang lebih, tentu akan mendapatkan lebih pula. Direktur Human Resources Iris Worldwide Indonesia Sandy Nugraha mengakui manfaat SKOR bagi perusahaannya. De- ngan SKOR, perusahaannya bisa lebih mendorong engage- ment karyawan yang kebanyak- an dari Gen Y yang sangat aktif menggunakan gawai. Selain itu, perusahaan juga bisa mendo- rong karyawan memiliki gaya hidup yang lebih seimbang. “Dengan reward, bisa mendo- rong atau memotivasi mereka untuk memberikan lebih bagi perusahaan,” kata dia. Aktivitas komunikasi untuk program perusahaan pun bisa berjalan lebih efektif. Sandy juga merasa SKOR meningkat- kan produktivitas karyawan- nya. “Jadi, SKOR sangat mem- bantu kami,” ungkap dia. Berdasarkan survei sekitar dua bulan lalu, indeks employee engagement di Iris meningkat menjadi 65%. “Sebelumnya di bawah 60%,” imbuh Sandy. Jadi, tak akan mudah tergoda jadi kutu loncat kan? Secara definisi, employee engangement merupakan komitmen emosional yang dimiliki karyawan terhadap perusahaan tempat dia bekerja berikut tujuan-tujuan organisasinya. Itu berarti, karya- wan benar-benar peduli terhadap pekerjaannya dan perusaha- annya. Tidak melulu bekerja demi gaji atau pun promosi selan- jutnya. “Sifatnya beyond transactional, bukan karena dibayar perusahaan, tapi karena saya cinta,” ujar Ekuslie Goestiandi, seorang pengamat manajemen dan kepemimpinan. Itu berarti, employee engagement tidak mesti berarti karyawan merasa bahagia dalam bekerja. Tidak selalu berarti juga bahwa karyawan merasa puas dalam bekerja. Yang jelas, employee engagement ini pada ujungnya akan meningkatkan layanan yang lebih baik, tingkat kepuasan pelanggan yang lebih tinggi, penjualan dan laba yang meningkat, dan otomatis juga membe- rikan keuntungan yang lebih tinggi kepada pemegang saham. Dus, untuk menilai apakah platform digital seperti SKOR akan mampu meningkatkan employee engagement, perlu sebuah studi yang lebih serius. Pasalnya, lewat platform ini, perusahaan memberikan berbagai reward dan insentif yang notabene sesua- tu yang bersifat transaksional. Nah, jika reward dan insentif ini ditiadakan, menurut Ekuslie, belum tentu seorang karyawan te- tap peduli dengan perusahaan dan bekerja dengan baik demi tercapainya tujuan perusahaan. “Tapi, apakah platform ini mem- buat bekerja lebih fun? Saya bilang, iya!” imbuh dia. Ekuslie menambahkan, platform seperti ini cocok bagi karya- wan yang berasal dari generasi Y yang memang cenderung di- gital freak dan menyukai segala sesuatu yang berhubungan de- ngan gawai dan teknologi informasi. Nah, mengingat generasi Y saat ini mencapai sekitar 70% dari angkatan kerja di Indonesia, adalah sebuah keniscayaan platform engagement digital seper- ti SKOR akan menjadi sebuah tren. “Mereka akan jadi penentu tren,” imbuh Ekuslie. Dus, tidak ada salahnya apabila manajemen perusahaan mulai mengantisipasi tren tersebut. Yang jadi persoalan, meski gene- rasi Y mendominasi angkatan kerja, masih sedikit dari mereka yang berada di posisi pembuat kebijakan perusahaan. Jabatan manajemen saat ini masih lebih banyak dipegang oleh generasi yang lebih tua. “Masalahnya berada di perusahaan masing-ma- sing dan manajemen HRD, apakah mereka sudah siap untuk menggunakan teknologi yang merupakan keniscayaan ini?” tutur Ekuslie. Jika Anda manajemen perusahaan, siapkah Anda? Cocok untuk Generasi Y yang Digital Freak Paradoks Mimpi Besar Ekuslie Goestiandi, Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan Kesuksesan dan kejayaan tak melulu datang dari lompatan kodok yang dramatis. 16 Januari - 22 Januari 2017 Marketing 27

Transcript of ma dengan sekitar 80 Refleksi Paradoks Mimpi Besar · double-digit (di atas 10%) sela-ma lima tahun...

Page 1: ma dengan sekitar 80 Refleksi Paradoks Mimpi Besar · double-digit (di atas 10%) sela-ma lima tahun ke depan. Tak lupa pula, ia pun menambahkan ... nuhi baik akan lebih siap meng-hadapi

Setiap kali memasuki awal tahun yang baru, banyak orang merumuskan reso-

lusinya masing-masing. Resolu-si yang dimaksud umumnya berupa pencapaian yang ingin diraih di tahun mendatang, se-ringkali dengan target yang serba “wah”.

Yang masih karyawan biasa, ingin segera menjadi manajer; yang gajinya pas-pasan, ingin mengubah koceknya menjadi tebal; yang masih jomblo, ingin segera menikah. Intinya, ingin berubah ke arah yang lebih baik, dan kalau bisa dengan cara melompat ala kodok, yang dikenal juga istilah frog-leap

Ternyata, urusan resolusi yang wah dan “kencang” ini bukan hanya terjadi di level in-dividu, namun juga di aras orga-nisasi. Para pegiat manajemen menyebutnya sebagai “stretch goal”. Banyak perusahaan be-sar, seperti Apple, 3M atau pun Boeing, yang dengan gagah be-rani mengatakan bahwa kesuk-sesan mereka selalu diawali oleh mimpi-mimpi besar alias stretch-goals.

Bag i mereka , stretch-goals adalah pompa adrenalin terbesar yang mem-buat mereka mam-pu “mengubah du-nia”. Pandangan ini sejalan dengan pe-tuah Jim Collins dan Jerry Porras dalam buku best-seller me-reka di tahun 1990, Built to Last, yang menjadikan “big, hairy and audacio-us goals” sebagai salah satu ciri yang dimiliki perusahaan pemenang.

Namun, alih-alih mengantar kepada kemajuan, stretch-goals justru seringkali mengakibat-kan sebuah organisasi tak ke mana-mana. Bahkan, mungkin membuat perusahaan terpero-sok ke lembah kegagalan yang lebih dalam.

Ketika Marissa Mayer diang-kat sebagai CEO Yahoo pada Juli 2012, pendapatan tahunan Yahoo telah turun dari US$ 7,2 miliar menjadi US$ 4,9 miliar selama empat tahun terakhir. Karyawan juga dalam keadaan yang tak bersemangat dan kul-tur perusahaan secara keselu-ruhan pun sudah tak sehat.

Ringkas kata, Yahoo sedang menyusuri lorong kerugian yang tampak berkepanjangan. Mayer menjawab persoalan-persoalan di atas dengan mem-proklamasikan stretch goal, yakni “membawa perusahaan ikonik tersebut kembali ke ke-jayaannya”.

Dengan ambisius, ia mene-tapkan sasaran utama yang sa-ngat amat sulit, yakni meraih pertumbuhan tahunan sebesar double-digit (di atas 10%) sela-ma lima tahun ke depan. Tak lupa pula, ia pun menambahkan delapan target tambahan yang

tak kalah menantangnya.Pada tahun 2016, dari delapan

target yang dicanangkannya, ada enam yang realisasinya jauh dari harapan. Demikian pula, target utama berupa per-tumbuhan tahunan di atas 10% pun tak terwujud. Pendapatan Yahoo bergeming datar di ang-ka US$ 4,9 miliar. Lebih buruk lagi, pada 2015, Yahoo dilapor-

kan merugi sebesar US$ 4,4 mi-liar.

Pada Juli 2016, diberitakan bahwa Verizon setuju untuk mengambil alih kepemilikan perusahaan tersebut (walaupun hingga tulisan ini dimuat, belum dicapai kata akhir dan resmi untuk pembelian tersebut). Ha-sil tersebut jelas merupakan pencapaian yang buruk dari se-buah rencana besar yang telah dirumuskan tegas oleh Mayer.

Kinerja & sumber daya

Sim B. Sitkin dkk, dalam arti-kelnya di Harvard Business Re-view (January–February, 2017) menyebut kegagalan Mayer di atas sebagai the stretch-goal paradox.

Alih-alih mendatangkan lom-patan keberhasilan ke tempat yang tinggi, stretch-goal justru mengantar organisasi kepada jurang kegagalan yang begitu dalam. Paradoks bukan?

Lebih lanjut, Sitkin dkk juga mendeteksi dua faktor yang membuat organisasi tak berha-sil meraih stretch-goal-nya. Se-sungguhnya kedua hal tersebut tampak begitu jelas, namun se-ringkali diabaikan oleh para pelaku organisasi.

Pertama, faktor kinerja orga-nisasi yang terkini. Perusahaan yang baru saja meraih “keme-nangan dan prestasi” signifi kan akan lebih siap untuk menang-gapi stretch-goal.

Karyawan-karyawannya akan menunjukkan optimisme tinggi, terampil melihat pelu-ang, gigih mencari informasi, dan menemukan solusi. Seba-liknya, perusahaan yang sedang mengalami kinerja buruk, umumnya tak siap menghadapi strecth-goal.

Karyawan-karyawannya cen-derung melihat sa-saran yang menan-tang itu sebagai an-caman, gampang khawatir, bersikap defensif, serta sulit berpikir jernih dan sistematis.

Kedua, faktor ke-tersediaan sumber daya yang cukup. Jika ketersediaan sumber daya (ma-nusia, uang, penge-tahuan, peralatan, dsb.) “melebihi” ke-butuhan organisasi saat ini, maka sur-plus sumber daya tersebut dapat digu-

nakan untuk menciptakan ide baru serta melakukan eksperi-mentasi inovatif.

Perusahaan-perusahaan de-ngan sumber daya yang terpe-nuhi baik akan lebih siap meng-hadapi stretch-goal. Bukan ha-nya karena mereka memiliki “cadangan uang”, namun ter-utama “cadangan emosi”.

“Cadangan emosi” ini tentu-nya akan meningkatkan kesiap-an dan ketahanan (resilience) mental mereka dalam mengha-dapi sesuatu yang sulit, menan-tang dan penuh risiko, yang merupakan ciri utama dari stretch-goal.

Akhirul kalam, tulisan ini tak bermaksud untuk mengajak pembaca menghindari stretch-goal. Tak ada produk teknologi canggih seperti iPhone atau pun pesawat ruang angkasa yang mengantar manusia ke bulan jika tak ada stretch-goal yang hidup di benak pemimpi-pe-mimpi besar.

Namun, patut dicatat pula bahwa kesuksesan dan kejaya-an tak melulu datang dari lom-patan kodok yang dramatis. Seringkali, justru datang dari langkah-langkah kecil, yang di-ayunkan dan dijalani dengan tekun. ❏

Refleksi an perusahaan terhadap kese-hatan karyawan. Sebab, sejatinya, karyawan yang sehat bisa lebih produktif dalam be-kerja. Selanjutnya, perusahaan pun bisa berhemat dalam hal premi asuransi kesehatan bagi karyawan. “Kita memang ingin ada human touch dalam plat-form ini,” tutur Lenny.

Perusahaan juga bisa leluasa memasukkan program-program lainnya. Sebab, platform ini sa-ngat memungkinkan modifi kasi (customized). Misalnya, per-usahaan bisa memasukkan aca-ra pelatihan dan berapa poin yang diberikan bagi karyawan yang melakukan check in dan klik attend pada acara tersebut. Perusahaan juga bisa mengatur poin bagi karyawan yang mam-pu mencapai target atau bonus tambahan poin bagi yang berha-sil melewati target tersebut.

Platform SKOR juga bisa di-manfaatkan untuk mengkampa-nyekan kultur perusahaan. Mi-salnya, perusahaan ingin mem-berantas budaya jam karet. Nah, HRD bisa menentukan berapa point reward bagi mere-ka yang datang tepat waktu.

Nah, setelah terkumpul, kar-yawan bisa mencairkan atau membelanjakan points reward tersebut sesuai dengan pilihan-nya. Ada beberapa kriteria pi-lihan, yakni Health & Fitness, Lifestyle & Recreation, serta Essential & More.

Tak cuma itu. SKOR juga memberikan nilai lebih bagi para penggunanya. Sebab, se-lain points reward, SKOR juga menawarkan discount reward, yakni penghargaan berupa program diskon di sejumlah merchant. Kebanyakan tempat makan. “Saat ini, untuk points reward, kami telah bekerjasa-

ma dengan sekitar 80 mer-chants. Adapun, untuk program diskon, ada sekitar 100 mer-chants di Jakarta, Bali, Yogya, dan Solo,” kata Lenny.

Merchant yang menjadi mitra pun tak perlu membayar apa pun. Bahkan, mereka menda-patkan Merchant Dashboard, sehingga bisa memantau trans-aksi yang terjadi lewat SKOR.

Bagi perusahaan, keberadaan points reward tersebut bisa menjadi alat ukur untuk menen-tukan kenaikan gaji atau pun bonus bagi masing-masing kar-yawan. Jadi, tidak ada lagi per-lakuan yang sama rata bagi mereka yang berbeda kinerja-nya. Mereka yang lebih, tentu akan mendapatkan lebih pula.

Direktur Human Resources Iris Worldwide Indonesia Sandy Nugraha mengakui manfaat SKOR bagi perusahaannya. De-ngan SKOR, perusahaannya bisa lebih mendorong engage-ment karyawan yang kebanyak-an dari Gen Y yang sangat aktif menggunakan gawai. Selain itu, perusahaan juga bisa mendo-rong karyawan memiliki gaya hidup yang lebih seimbang. “Dengan reward, bisa mendo-rong atau memotivasi mereka untuk memberikan lebih bagi perusahaan,” kata dia.

Aktivitas komunikasi untuk program perusahaan pun bisa berjalan lebih efektif. Sandy juga merasa SKOR meningkat-kan produktivitas karyawan-nya. “Jadi, SKOR sangat mem-bantu kami,” ungkap dia.

Berdasarkan survei sekitar dua bulan lalu, indeks employee engagement di Iris meningkat menjadi 65%. “Sebelumnya di bawah 60%,” imbuh Sandy.

Jadi, tak akan mudah tergoda jadi kutu loncat kan? ❏

Secara definisi, employee engangement merupakan komitmen emosional yang dimiliki karyawan terhadap perusahaan tempat dia bekerja berikut tujuan-tujuan organisasinya. Itu berarti, karya-wan benar-benar peduli terhadap pekerjaannya dan perusaha-annya. Tidak melulu bekerja demi gaji atau pun promosi selan-jutnya. “Sifatnya beyond transactional, bukan karena dibayar perusahaan, tapi karena saya cinta,” ujar Ekuslie Goestiandi, seorang pengamat manajemen dan kepemimpinan.

Itu berarti, employee engagement tidak mesti berarti karyawan merasa bahagia dalam bekerja. Tidak selalu berarti juga bahwa karyawan merasa puas dalam bekerja. Yang jelas, employee engagement ini pada ujungnya akan meningkatkan layanan yang lebih baik, tingkat kepuasan pelanggan yang lebih tinggi, penjualan dan laba yang meningkat, dan otomatis juga membe-rikan keuntungan yang lebih tinggi kepada pemegang saham.

Dus, untuk menilai apakah platform digital seperti SKOR akan mampu meningkatkan employee engagement, perlu sebuah studi yang lebih serius. Pasalnya, lewat platform ini, perusahaan memberikan berbagai reward dan insentif yang notabene sesua-tu yang bersifat transaksional. Nah, jika reward dan insentif ini ditiadakan, menurut Ekuslie, belum tentu seorang karyawan te-tap peduli dengan perusahaan dan bekerja dengan baik demi tercapainya tujuan perusahaan. “Tapi, apakah platform ini mem-buat bekerja lebih fun? Saya bilang, iya!” imbuh dia.

Ekuslie menambahkan, platform seperti ini cocok bagi karya-wan yang berasal dari generasi Y yang memang cenderung di-gital freak dan menyukai segala sesuatu yang berhubungan de-ngan gawai dan teknologi informasi. Nah, mengingat generasi Y saat ini mencapai sekitar 70% dari angkatan kerja di Indonesia, adalah sebuah keniscayaan platform engagement digital seper-ti SKOR akan menjadi sebuah tren. “Mereka akan jadi penentu tren,” imbuh Ekuslie.

Dus, tidak ada salahnya apabila manajemen perusahaan mulai mengantisipasi tren tersebut. Yang jadi persoalan, meski gene-rasi Y mendominasi angkatan kerja, masih sedikit dari mereka yang berada di posisi pembuat kebijakan perusahaan. Jabatan manajemen saat ini masih lebih banyak dipegang oleh generasi yang lebih tua. “Masalahnya berada di perusahaan masing-ma-sing dan manajemen HRD, apakah mereka sudah siap untuk menggunakan teknologi yang merupakan keniscayaan ini?” tutur Ekuslie.

Jika Anda manajemen perusahaan, siapkah Anda? ❏

Cocok untuk Generasi Y yang Digital Freak

Paradoks Mimpi Besar

Ekuslie Goestiandi, Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan

Kesuksesan dan kejayaan tak melulu datang dari lompatan kodok yang dramatis.

16 Januari - 22 Januari 2017 Marketing 27