Lupus Eritematosus Sistemik_alifa

16
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Disusun oleh : Alifa Indriastuti Purnama Sari NIM : 01.211.6319 Pembimbing: dr. Nurul Aisyah, Sp.PD KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG

description

LES

Transcript of Lupus Eritematosus Sistemik_alifa

Page 1: Lupus Eritematosus Sistemik_alifa

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Disusun oleh :

Alifa Indriastuti Purnama Sari

NIM : 01.211.6319

Pembimbing:

dr. Nurul Aisyah, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG

RST BHAKTI WIRA TAMTAMA

SEMARANG

2015

Page 2: Lupus Eritematosus Sistemik_alifa

1. DEFINISI

Lupus Eritomatosus Sistemik (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai

adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau system dalam tubuh.

Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga

mengakibatkan kerusakan jaringan .

Etiopatlogi dari SLE belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang

kompleks dan multifaktorial antara variasi genetic dan factor lingkungan. Factor genetik

diduga berperanan penting dalam predisposisi penyakit ini. Pada kasus SLE yang terjadi secara

sporadic tanpa identifikasi factor genetic, berbagai factor lingkungan diduga terlibat atau

belum diketahui factor yang bertanggung jawab.

Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal (HPA)

mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya gangguan dalam mekanisme

pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun

merupakan konstributor yang penting dalam perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi

imun, meningkatnya beban antigenic (antigenic load), bantuan sel T yang berlebihan,

gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari T helper 1 (Th1) ke Th2 menyebabkan

hiperaktivitas sel B dan memproduksi autoantibody patogenik. Respon imun yang terpapar

faktor eksternal/lingkungan seperti radiasi ultraviolet (UV) atau infeksi virus dalam periode

yang cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi system imun.

2. ETIOLOGI

Page 3: Lupus Eritematosus Sistemik_alifa

Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor predisposisi

dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa faktor predisposisi

tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling dominan berperan dalam

timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam

timbulnya penyakit SLE :

1. Faktor Genetik

Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk

autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah

ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar

dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE

adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit

ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.15,1 Studi mengenai

genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan

SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnyaHLA- DR2 (Human

Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan

pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang

dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan

berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari

struktur komplemen reseptor , akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.

2. Faktor Imunologi

Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :

a. Antigen

Page 4: Lupus Eritematosus Sistemik_alifa

Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan

memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang

berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya

sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan

reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel

T.

b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi

menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan

memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis

sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.

c. Kelainan antibodi Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti

substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu

limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya

peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di

jaringan.

3. Faktor Hormonal

Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi menemukan

korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga

menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai

faktor resiko terjadinya SLE.

4. Faktor Lingkungan

Page 5: Lupus Eritematosus Sistemik_alifa

Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh dan

berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:

a. Infeksi virus dan bakteri

Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen

infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan

Clebsiella.

b. Paparan sinar ultra violet Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,

sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah

berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin

sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran

pembuluh darah.

c. Stres

Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki

kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan

terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan

SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.

d. Obat-obatan Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat

menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat

menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid,

dan isoniazid.

3. PATOFISIOLOGI

Page 6: Lupus Eritematosus Sistemik_alifa

Patogenesis SLE diawali dari interaksi antara faktor gen predisposisi dan lingkungan yang

akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon ini termasuk :

1. Aktivasi dari imunitas oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun, dan RNA dalam

RNA/protein self-antigen.

2. Ambang aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit antigen-specific T dan Limfosit

B)

3. Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+

4. Berkurangnya klirens sel apoptotic dan kompleks imun. Self-antigen (protein/DNA

nukleosomal, RNA/protein, fosfolipid) dapat ditemukan oleh sistem imun pada gelembung

permukaan sel apoptotik, sehingga antigen autoantibody, dan kompleks imun tersebut

dapat bertahan untuk beberapa jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan

penyakit berkembang.

Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti dengan

peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon tipe 1

dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta

Interleukin (IL) 10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu

petanda genetik SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2

dan transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi

CD8+. Akibatnya adalah produksi autoantibody yang terus menerus dan terbentuknya

kompleks imun, dimana akan berikatan dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi

komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel darah yang berikatan dengan Ig.

Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan kemotaksin,

sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada keadaan inflamasi kronis,

Page 7: Lupus Eritematosus Sistemik_alifa

akumulasi growth factors dan sel imun akan memicu pelepasan keomtaxin, sitokin,

chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada peradangan yang kronis, akumulasi

dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan terhadap kerusakan jaringan

ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya.

4. MANIFESTASI KLINIS

Penderita systemic lupus erythematosus (SLE) 90% adalah pada wanita periode usia muda-

dewasa muda, dan ras negroid lebih cenderung tiga kali lipat menderita SLE dibanding

dengan ras lain. Gejala yang umum pada SLE, antara lain :

1. Konstitusional : kelelahan, demam, malaise, kehilangan berat badan

2. Kulit : Rash (terutama “butter fly rush”), fotosensitif, Vaskulitis, alofesia, ulkus oral

3. Sendi : Peradangan

4. Hematologis : anemia (biasanya hemolitik), neutropenia, trombositopenia, linfadenopati,

spenomegali, trombosis arteri atau vena.

5. Kardio-pulmonal : Pleuritis, pericarditis, mycorditis, endokarditis

6. Ginjal : nephritis, gagal ginjal

7. Gastrointestinal : peritonitis, vaskulitis

8. Mata : keratokonjungtivitis sicca, retinopati, episkleritis dan skleritis, uveitis, dan

Koroidopati.

9. Saraf : kejang, psikosis, serebritis.

5. DIAGNOSIS

Page 8: Lupus Eritematosus Sistemik_alifa

Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American

College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi

SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis SLE dapat ditegakkan. Criteria

tersebut adalah :

1. Ruam malar

2. Ruam diskoid

3. Fotosensitifitas

4. Ulserasi di mulut atau nasofaring

5. Artritis

6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis

7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten >0,5 gr/hari, atau adalah silinder sel

8. Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang atau psikosis

9. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik, atau lekopenia atau limfopenia atau

trombositopenia

10. Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti DNA positif atau anti Sm positif atau

tes serologic untuk sifilis yang positif palsu

11. Anti antinuclear (Antinuclear antibody, ANA) positif .

Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai 2 (dua) atau lebih keterlibatan organ

sebagaimana tercantum dibawah ini yaitu :

1. Jender wanita pada rentang usia reproduksi.

2. Gejala konstitusional : kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan

3. Muskuloskeletal : arthritis, antralgia, miositis

Page 9: Lupus Eritematosus Sistemik_alifa

4. Kulit : ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, SLEi membrane

mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.

5. Ginjal : hematuria, proteinuria, cetakan, sindroma nefrotik

6. Gastrointestinal : mual, muntah, nyeri abdomen

7. Paru-paru : pleurisy, hipertensi pulmonal, SLEi parenkim paru

8. Jantung : perikarditis, endokarditis, miokarditis paru

9. Retinokulo-endotel : organmegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)

10. Hematologi : anemia, leucopenia, dan trombositopenia

11. Neuropsikiatri : psikosis, kejang, sindroma otak organic, mielitis transversa, neuropati

cranial dan perifer.

6. PENATALAKSANAAN

Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan terapi

dapat tercapai.

Berikut pilar terapi SLE :

a. Edukasi dan Konseling Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat

dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri.

Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan

dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti

melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi

infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau

terjadinya osteoporosis.

b. Program Rehabilitasi

Page 10: Lupus Eritematosus Sistemik_alifa

Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien SLE,

antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas,

kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain.

d. Terapi Medikasi Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari

NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid, imunosupresan

dan obat terapi lain sesuai manifestasi klinis yang dialami:

1. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)

NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada tingkatan yang

ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi dan jaringan

lain. Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan tersebut

dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan seperti mual,

muntah, diare dan perdarahan lambung.

2. Kortikosteroid

Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian

lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau tinggi sesuai tingkat

keparahan penyakit untuk pengendalian penyakit. Penggunaan kortikosteroid dapat

dilakukan secara oral, injeksi pada sendi, dan intravena. Contoh : Metilprednisolon.

Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis yang tinggi, namun tidak

disertai kontrol dan dalam waktu yang lama. Beberapa efek samping dari

mengonsumsi kortikosteroid terdiri dari meningkatkan berat badan, penipisan kulit,

osteoporosis, meningkatnya resiko infeksi virus dan jamur, perdarahan

gastrointestinal, memperberat hipertensi dan moon face

3. Antimalaria

Page 11: Lupus Eritematosus Sistemik_alifa

Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri dari

hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih sering digunakan

dibanding kloroquin karena resiko efek samping pada mata lebih rendah. Obat

antimalaria efektif untuk SLE dengan gejala fatique, kulit, dan sendi. Baik untuk

mengurangi ruam tanpa meningkatkan penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada

mata berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif, sehingga selama dosis tidak

melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksakan

ketajaman visual setiap enam bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama

pengobatan

4. Immunosupresan

Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk menekan sistem

imun tubuh. Ada beberapa jenis obat immunosupresan yang biasa dikonsumsi

pasien SLE seperti azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil (MMF),

methotrexate, cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab.