BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus ...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Lupus Eritematosus ...
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
1. Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun yang
ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau
sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi
dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Isbagio dkk,
2009).
LES adalah suatu penyakit multisystem yang berkaitan dengan sejumlah
kelainan imunologik, termasuk pembentukan autoantibodi,
hipergamaglobulinemia, kelainan sel T penekan, penurunan kadar komplemen
serum, dan peningkatan kadar kompleks imun dalam darah (Harrison, 2012).
Lupus adalah penyakit sistemik yang menampilkan spektrum yang luas dari
manifestasi klinis dan imunologi. Penyakit ini disebabkan oleh satu set
kompleks interaksi antara gen, hormon dan lingkungan, yang mengakibatkan
kelainan utama dari sistem kekebalan tubuh (Koroma A, 2012).
LES adalah penyakit sistemik yang menyerang system jaringan ikat dan
vaskular dengan karakteristik adanya antinuclear antibody (Siregar, 2013).
14
LES merupakan kelainan reumatik autoimmune dengan etiologinya yang
belum jelas benar dengan gambaran klinik yang sangat bervariasi dari kelainan
berupa rash (kemerahan) pada kulit, anemia, trombositopenia,
glomerulonephritis dan dapat mengenai organ lainnya dalam tubuh. (Suntoko,
2015)
Perjalanan penyakitnya LES bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode
sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ
yang berbeda - beda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang
ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah
dan jenis antibody yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan penyakit
LES sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian. Penyebab terjadinya
LES belum diketahui. Berbagai faktor dianggap berperan dalam disregulasi
sistem imun.
2. Etiologi
Etiologi dari LES belum diketahui secara pasti, ada dugaan melibatkan
interaksi yang kompleks dan multifaktoral antara hormone, variasi genetik dan
faktor lingkungan. Faktor genetik diduga berperan paling penting dalam
predisposisi penyakit ini. Banyak kasus LES yang terjadi secara sporadic tanpa
identifikasi dari tanda dan gejala, ada juga kasus dimana seseorang terkena
LES yang sembuh dengan sendirinya (Isbagio dkk, 2009). Penelitian
epidemiologis telah dilakukan pada hampir semua penyakit autoimmune
mengarah pada kerentanan genetic paling penting berada pada
15
histokompabilitas mayor (major histocompability complex) MHC, merupakan
suatu seri gen kromosom 6 yang mengkode untuk antigen, termasuk system
human leukocyte antigen (HLA) (Grennstein & Wood, 2010).
Serangan pertama kali LES pada wanita jarang terjadi pada usia prepubertas
dan setelah menopause, LES lebih banyak menyerang wanita usia produktif
antara 15-45 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan terdapat adanya
hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan sistem imun
(Suarjana, 2015). Salah satu peranan penting estrogen dalam kehidupan
seorang wanita adalah selama masa pubertas. Selama periode ini, peningkatan
kadar estrogen mendorong perkembangan karakteristik seksual pada wanita.
Estrogen atau hormone wanita juga dapat meningkatkan autoimmunity dan
secara tidak langsung menimbulkan peradangan serta meningkatkan resiko
terjadinya LES. Sifat estrogen berkebalikan dengan hormone androgen atau
hormone pria yang berfungsi untuk menekan autoimmunity (Wallace DJ, 2007)
dan (Mansjoer dkk, 2009). Konsenstrasi testosterone plasma yang rendah dan
meningkatnya luitenizing hormone (LH) ditemukan pada laki-laki, estrogen
yang berlebihan dengan aktifitas androgen yang tidak adekuat pada laki-laki
dan perempuan ditengarai bertanggung jawab terhadap perubahan proses imun.
Estrogen diproduksi oleh ovarium selama maturasi folikel, dan menstimulasi
proliferasi kelenjar pada bagian dalam atau endometrium uteri dengan cara
FSH (follicle stimulating hormone) yang memacu pertumbuhan folikel dan
menginduksi reseptor LH (luteinizing hormone) selanjutnya menstimulasi
produksi estrogen (Grennstein & Wood, 2010). Hormone estrogen selain
16
berfungsi sebagai pendorong perkembangan karakteristik seksual pada wanita,
estrogen juga berfungsi untuk mengaktivasi sel B poliklonal sehingga
mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES (Murray &
May, 2003). Selain itu estrogen juga memperburuk penderita LES dengan
memperpanjang hidup sel-sel autoimun, meningkatkan produksi sitokin sel T
dan menstimulus sel B untuk memproduksi autoantibodi (Suarjana, 2015).
Persentase kejadian LES yang juga dilaporkan lebih tinggi terjadi pada kembar
monozigotik (25%) dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%), peningkatan
frekuensi LES pada keluarga penderita LES dibandingkan dengan control sehat
dan peningkatan prevalensi LES pada kelompok etnik tertentu, menguatkan
dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam pathogenesis LES (Suarjana,
2015). Menurut Hahn dalam Isselbacher dkk (2012) frekuensi terjadinya LES
akan semakin besar apabila pasien memiliki lebih dari satu anggota keluarga
berpenyakit serupa dan korelasi gen tertentu juga mempengaruhi, terutama
dengan penyakit dan autoantibodi.
Ada penelitian yang menunjukkan bahwa ada banyak sekali gen (lebih dari 100
gen) yang berperan, terutama pada gen yang mengkode unsur-unsur sistem
imun. Dugaan yang berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada
kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 (ras Asia/Jepang)
dan HLA-DR3 (ras Kaukasia) serta dengan komponen komplemen yang
berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen (C1q, C1r, C1s, C4, dan C2)
telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang
17
mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin (Mok & Lau, 2003 dan
Wachjudi dkk, 2006). LES ditandai oleh banyaknya gangguan dalam system
imun yang meliputi sel B, SEL T dan turunan dari sel-sel monositik yang
mengakibatkan aktivasi sel B poliklonal, peningkatan jumlah sel inilah yang
memproduksi antibody, hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi dan
pembentukan kompleks imun (Suarjana, 2015). Autoantibodi yang lain seperti
anti-Sm(small nuclear ribonuclear protein) dan anti-nRNP (nuclear
ribonuklear protein) muncul hanya dalam beberapa bulan sebelum diagnosis
SLE. Sedangkan autoantibodi anti-dsDNA berada dipertengahan antara kedua
kelompok autoantibodi tersebut (Isbagio dkk, 2009 dan Suarjana, 2015).
Sifat sel T pertama kali diperlihatkan dengan jelas adalah sifat yang membantu
sel B untuk membentuk autoantibodi. Bantuan oleh sel T diperlukan untuk
sekresi sebagian besar antibody oleh sel B, salah satunya adalah untuk
mengaktivasi makrofag guna membunuh pathogen intraselular (Playfair &
Fair, 2012). Ditemukan juga bukti bahwa aktivasi sel B oleh sel T pada
penderita LES lebih sensitive terhadap efek stimulasi dari sitokin seperti IL-6
(mediator penting dalam respon fase akut inflamasi) dibandingkan dengan sel
B bukan penderita LES, sitokin sangat berperan penting dalam regulasi
aktivitas penyakit dan terlibat dalam organ yang berbeda pada LES (Suarjana,
2015).
Faktor lingkungan juga dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, bahan kimia, bakteri dan virus. Ada
18
keterkaitan erat antara lupus dan sinar matahari. Matahari memancarkan sinar
ultraviolet dalam tiga berkas yang dikenal dengan A, B, dan,C. dua yang
pertama, ultraviolet A (UVA) dan B (UVB) sangat berbahaya bagi penderita
lupus. Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa ketika berkas-berkas sinar
ultraviolet tersebut mangenai kulit, mereka bisa merusak lapisan atas DNA
(Wallace, 2007).
Simard JF (2011) dalam Suntoko (2015) mengatakan paparan sinar UV akan
mencetuskan flare up penyakitnya termasuk didalamnya foto sensitifitas,
demam, dan gejala sistemik lainnya. Hahn (2012) dalam Isselbacher dkk
(2012) juga menuturkan bahwa radiasi sinar UV bisa mencetuskan dan
mengekserbasi ruam fotosintesis pada LES, telah ditemukan bukti bahwa sinar
UV memang dapat merubah struktur DNA yag menyebabkan terbetuknya
autoantibodi sinar UV juga bisa menginduksi apoptosis keratinosit manusia
yang menghasilkan blebs nuclear dan autoantigen sitoplasmik pada permukaan
sel (Suarjana, 2015).
Aromatic amine atau amino lipogenik aromatik adalah perantara kimia yang
dapat menyebarkan atau memeprburuk penyakit pada LES, termasuk
didalamnya adalah asap rokok, pewarna rambut, dan tartazine (pewarna
makanan atau bahan pengawet makanan. Sifat dari aromatic amine yang
mudah melebur di dalam tubuh melalui sebuah proses yang dinamakan
acetylation. Mekanisme pasti dimana aromatic amine menyebabkan reaksi
19
imunologis kurang dipahami dan hanya sebagian kecil orang yang terkena
aromatic amine mengalami penyakit kekebalan klinis (Wallace, 2007).
Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus.
NSAIDS (Nonsteroidal Anti inflammatory Drugs) tertentu membuat
pemakainya sesnsitif dengan sinar matahari dan radiasi racun telah dilaporkan
dalam beberapa kasus. Berhati-hatilah terhadap penggunaan piroxicam
(feldene), senyawa phenylbutazone dilaporkan telah menyebabkan reaksi
hipersensitif pada pasien lupus, yang mungkin mengakibatkan kekambuhan
(Wallace, 2007). Penderita LES juga harus diingatkan untuk menghindari
pemakaian antibiotika tertentu seperti sulfonamide, Echinacea (obat flu
alternative yang berupa stimulant system imun) karena dapat menimbulkan
flare up (Wachjudi, 2006).
3. Klasifikasi
Klasifikasi lupus eritematosus menurut Myers SA and Mary HE, (2001) lupus
eritematosus dibagi ke dalam 4 bagian besar, yaitu: pertama Chronic
Cutaneous Lupus Erythematosus (CCLE) Dibagi lagi ke dalam 2 subtipe
Discoid Lupus Erythematosus (DLE) dibagi kembali dalam tiga subtipe yang
jarang terjadi, palmar-palmar lupus erythematosus, oral discoid lupus
erythematosus dan lupus erythematosus panniculitis dan subtype kedua dari
CCLE adalah Hypertrophic Lupus Erythematosus (HLE). Kedua Subacute
Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE) memiliki subtipe yang jarang terjadi
yaitu : Neonatal lupus Erythematosus (NLE). Ketiga Systemic Lupus
20
Erythematosus (SLE) dan yang terakhir Drug-Induced Lupus Erythematosus
(DILE).
Sedangkan Menurut European Assosiation of Oral Medicine, (2005) lupus
eritematosus diklasifikasikan menjadi 9 jenis : Discoid Lupus Erythematosus
(DLE), Systemic Lupus Erythematosus (SLE), Bullous form, Neonatal form
(NLE), Acute Cutaneous form (ACLE), Subacute Cutaneous form (SCLE),
Chronic Cutaneous form (CCLE), Childhood onset (CSLE) dan Drug Induced
(DILE)
4. Manifestasi klinis
Penyakit LES atau lebih dikenal dengan istilah ”lupus”, memiliki manifestasi
klinis yang bervariasi, dan melibatkan multiorgan yaitu sekitar 80% melibatkan
persendian, kulit, dan darah, sekitar 30-50% melibatkan ginjal, jantung, sistem
saraf, dan sekitar 10-30% melibatkan trombosis arteri dan vena (Manzi S,
2001). Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam dan sering kali pada
keadaan awal tidak dikenai sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena
manifesati klinik penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan.
Seseorang dapat saja selama beberapa lama mengeluhkan nyeri sendi yang
berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh
manifestasi klinis lainnya seperti fotosintesitas dan sebagainya yang pada
akhirnya akan memenuhi kriteria LES. Gambaran klinis keterlibatan sendi atau
musculoskeletal dijumpai pada 90% kasus LES, walaupun artritis sebagai
manifestasi awal hanya dijumpai pada 55% kasus. Kecurigaan akan penyakit
21
LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria sebagaimana
tercantum di bawah ini, yaitu :
a. Gejala konstitusional
Gejala seperti demam, lesu, nafsu makan turun, dan penurunan berat
badan adalah kondisi yang dialami pasien LES pertama kali dan sangat
sering dijumpai (Wallace, 2007). Keluhan demam pada pasein LES
menurut Dubois (2011) dalam Suntoko (2015) berkiar antara 41-83%,
kasus-kasus LES yang dikumpulkan selama periode tahun 1950-1980an
terlihat kecenderungan demam semakin menurun pada tiap dekede ini
dikarenakn kemampuan dokter dalam memahami penyakit dan
kesempatan menggunakan obat anti inflamasi non steroid (OAINS).
Keluhan lainnya pada penderita LES adalah atralgia (pegal dan linu di
dalam sendi) bisa juga terjadi artritis akut pada dua atau lebih sendi
perifer, biasanya berlangsung selama beberapa hari, lokasi terjadinya
artritis biasanya pada sendi tangan, pergelangan tangan, lutut dan biasanya
simetris pada satu tubuh (Mansjoer dkk, 2000). Kelelahan dan malaise
(rasa tidak enak badan) sering timbul bila keadaan penyakitnya yang
masih aktif, penderita cepat lelah dan tidak enak badan merupakan proses
dari inflamasinya yang sedang berjalan (Isbagio dkk, 2009 dan Suntoko,
2015)
b. Manifestasi muskuloskeletal
Hampir 90% pasien LES memiliki keluhan nyeri sendi, sendi kaku, dan
encok pada pinggang (Wallace, 2007). Kekakuan sendi pada pasien LES
22
banyak muncul pada pagi hari (Smeltzer dkk, 2008). Keluhan nyeri otot
(myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu artitis dimana
tampak jelas adanya bukti inflamasi sendi (Isbagio dkk, 2009). Keluhan
ini sering kali dianggap sebagai manifestasi artritis reumatoid karena
keterlibatan sendi yang banyak dan simetris (D’Cruz dkk, 2010). Hanh
(2005) dalam Isselbacher dkk (2012) dan Sukanto (2015) mengungkapkan
bahwa 10% pasien LES mengalami deformitas leher angsa (swan neck)
hal ini terjadi bukan karena kerusakan sendi tetapi karena peradangan pada
kapsul sendi yang mengalami kekenduran jaringan ikat sendi. Nyeri yang
muncul karena adanya inflamasi sendi, paling sering mengenai sendi
antarfalang proksimal (AFP) dan metakarpofalang (MKF) pada tangan,
pergelangan tangan dan lutut biasa disebut dengan fusiform joint. Pada
pemeriksaan radiologi tidak dijumpai kelainan erosi dan destruksi pada
sendi meskipun inflamasi sudah berlangsung lama hingga bertahun-tahun.
c. Manifestasi kulit
Gejala yang paling khas yang diderita lebih dari 50% pasien LES adalah
kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES yaitu fotosensitivitas,
butterfly rash, lesi discoid serta lesi mukokutan pada mulut (Smeltzer dkk,
2008). Kelainan kulit paling ringan adalah fotosensitivitas dimana dapat
dirasakan langsung oleh penderita seperti rasa terbakar. Paparan langsung
sinar matahari juga dapat menmunculkan rash atau ruam pada kulit
terkhusus pada wajah, mulai dari pipi hingga ke pangkal hidung terkadang
meluaas ke dagu dan telinga, ruam tidak menimbulkan jaringan parut tapi
23
dapat menimbulkan talangiektasia, ruam akan berkurang sampai hilang
setelah paparan sinar matahari dihindari (Sukanto, 2015). Menurut Hanh
(2005) dalam Isselbacher dkk (2012), lesi discoid yang diderita oleh
penderita LED (lupus Eritematosus DIskoid) merupakan ruam kronis yang
dapat menimbulkan kecacatan apabila tidak tertangani secara tepat, lesi ini
terjadi pada sekitar 20% penderita LES. Lesi discoid mempunyai ciri
khusus berbentuk lingkaran berwarna kemerahan dan ditandai oleh batas
eritematosus yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan
talangiektasia. Lesi ini bisa muncul di kulit kepala, telinga, wajah, dan
bagian terpajan dari wajah, leher, kulit belakang kepala, lengan,
punggung, dan dada. Lesi discoid dapat menyebabkan pembentukan
jaringan parut dan perubahan pigmentasi kulit (Smeltzer dkk, 2008). Lesi
kulit pada penderita LES yang lebih jarang adalah vaskulitis, eritema,
tromboplebitis, petekie, purpura, psoriasis, bulae, urtikaria, ulkus kaki,
alopesia, dan sklerodaktili (Wallace, 2007, Siregar, 2013 dan Sukanto,
2015).
d. Manifestasi paru
Manifestasi LES pada paru sangat bervariasi dari pleuritis lupus,
pneumonitis (radang interstitial parenkim paru), perdarahan paru, emboli
paru dan hipertensi pulmonal. Pleuritis merupakan manifestasi tersering
pada penderita LES sekitar 41-56%, ciri khas gejala adanya demam, batuk,
sesak, nyeri dada baik pada satu atau pada kedua sisi, umumnya akan
menjadi efusi pleura (Sukanto, 2015). Penyebab tersering terjadinya
24
infiltrate paru pada pasien LES adalah infeksi. Pneumonitis lupus dapat
terjadi secara akut dan berlanjut secara kronik, pada keadaan akut biasanya
penderita akan merasa sesak, batuk kering dan mulai dijumpai ronkhi di
daerah basal paru. Keadaan ini sebagai akibat deposisi kompleks imun
pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak
(Isbagio, 2009). Perdarahan pada paru sebenarnya terjadi karena adanya
vaskulitis yang massif pada kapiler paru dan arteri kecil paru. Meskipun
jarang dilaporkan kasus pada penderita LES tetap saja perdarahan paru
merupakan keadaan yang sangat serius dan merupakan salah satu
penyebab kematian 50-90% pada penderita LES, meskipun tidak
signifikan perdarahan paru pada penderita LES ditandai dengan sesak
secara mendadak, batuk, demam dan ronkhi menyeluruh pada lapang paru
serta hemoglobin yang turun dengan cepat disebabkan adanay perdarahan
intraalveolar masif. (Smeltzer dkk, 2008) dan (Sukanto, 2015). Hanh
dalam Isselbacher dkk (2012) dan Kasron (2012), Hipertensi pulmonal
mengakibatkan hipertropi serabut otot jantung yang pada akhirnya akan
meningkatkan beban kerja jantung, hipertensi pulmonal merupakan
manifestasi yang paling berat dan paling jarang terjadi pada penderita
LES, namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi karena
menyebabkan distress pernapasan pada penderita. Sepertiga pasien lupus
juga memiliki antibodi antiphospolipid, dan sepertiga dari jumlah tersebut
memiliki gumpalan atau fase thrombolytic selama masa penyakit mereka
gumpalan darah yang bergerak melalui pembuluh darah di paru disebut
sebagai pulmonary emboli atau emboli paru, dilaporkan bahwa 5-10%
25
penderita LES akan mengalami emboli paru. Manifestasi klinik dari pasien
yang mengalami emboli paru akan mengeluhkan sesak napas, sianosis, dan
nyeri dada akut, dalam beberapa hari akan menunjukan adanya infarction
(jaringan sel yang mati) (Wallace, 2007).
e. Manifestasi kardiologi
Kelainan kardiovaskular pada LES dapat mengenai pericardium,
miokardium, system kelistrikan jantung, katup jantung dan pembuluh
darahnya (Sukanto, 2015). Pericarditis merupakan gejala yang paling
banyak muncul pada penderita LES dengan berupa perikarditis ringan,
efusi perikardial sampai penebalan pericardial. Pada pericarditis, cairan
pericardial mngandung ribuan sel darah putih dan pada beberapa bagian
membrane menunjukan bahwa limfosit dan sel plasma muncul di jaringan
sel pericardial, pemeriksaan dengan menggunakan auskultasi dokter bisa
mendengar adanya suara gesekan (Wallace, 2007).
Hanh dalam Isselbacher dkk (2012) menjelaskan bahwa trombosis pada
pembuluh darah dengan segala ukuran dapat menimbulkan masalah serius,
ada penelitian yang menunjukan vaskulitis merupakan penyebab dasar dari
thrombosis. Perubahan degenerative pada pembuluh darah setelah
bertahun - tahun terpajan kompleks imun dalam darah bisa menimbulkan
arteri coroner degenerative. Dalam penelitain yang dilakukan oleh Diaz
dkk (2012) mengatakan coronary artery calcifications (pengerasan
pembuluh darah arteri coroner) bisa menyerang siapa saja baik laki-laki
26
maupun wanita penderita LES, wanita yang sudah mengalami post
menopaused merupakan kelompok paling beresiko tinggi. Penyakit
jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan
bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung
kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES usia
muda dengan jangka penyakit yang panjang serta penggunaan steroid
jangka panjang (Isbagio dkk, 2009).
f. Manifestasi renal
Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak sebelum
terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk menilai keterlibatan
ginjal pada penderita LES perlu dilakukan biopsi ginjal. Namun demikian
adanya proteinuria, piuria serta buruknya bersihan kreatinin dapat
diakibatkan sebab lain seperti infeksi, glomerulonephritis, efek toksik obat
pada ginjal (Isbagio dkk, 2009). Ciri khas lupus pada ginjal adalah adanya
pembengkakan ringan pada pergelangan kaki, para pasien mungkin
mengeluhkan bengkak yang tidak nyaman pada keaki mereka.
Pemeriksaaan laboratoirum protein pada urine penderita LES dalam 24
jam terjadi kenaikan 3,5 gram, pemeriksaan lain yang menandakan
seseorang terkena syndrome nefrotik adalah kadar albumin yang jatuh di
bawah 2,8 gram perdesiliter (Wallace, 2007)
27
g. Manifestasi gastrointestinal
Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES,
secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric
valkulitis, inflamantory bowel syndrome (IBS), pankreatitis dan penyakit
hati. Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik,
splenomegali, peritonitis aseptik. Selain itu, ditemukan juga peningkatan
SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis
autoimun (Isbagio dkk, 2009). Pada beberapa kekeluhan nyeri abdomen
ditemukan pre-rektum baik pada usus besar maupun usus halus dan bila ini
terjadi diperlukan investigasi lebih seksama untuk mencegah terjadinya
perforasi (Kasjmir dkk, 2015). Wallace (2007 menambahkan 1% dari
penderitaa LES mengalami malabsorpsi nutrisi, diare serius dengan jumlah
serum protein (albumin) yang sangat rendah jarang dialami pasien LES,
akan tetapi bila ini terjadi dan tidak segera di obati pasien tersebut akan
menderita protein losing enteropathy (protein hilang melalui malabsorpsi).
h. Manifestasi hematologik
Anemia akibat penyakit kronik terjadi pada sebagian penderita LES yang
aktif dibuktikan dengan Coombs test (pemeriksaan antibody pada sel darah
merah) menunjukan hasil positif. Leukopenia juga sering ditemukan tetapi
jarang menyebabkan infeksi rekuren dan tidak memerlukan terapi ditandai
dengan penurunan leukosit <4.000/mm3. Trombositopenia ringan sampai
berat disertai perdarahaan dan purpura terjadi pada 5% pasien, ditandai
dengan penurunan trombosit dibawah 100.000/mm3, dan harus dilakukan
28
terapi glukokortikoid dosis tinggi, untuk perbaikan jangka pendek dapat
dicapai dengan pemberian globulin gama intravena (Hahn dalam
Isselbracher, 2012) dan (Wahjudi 2007). Pada LES, terjadi peningkatan
Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia normositik
normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit
ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik
autoimun. Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-
80% kasus. Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi.
Trombositopenia pada LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang
mula-mula menunjukkan gambaran trombositopenia idiopatik (ITP),
seringkali kemudian berkembang menjadi LES setelah ditemukan
gambaran LES yang lain (D’Cruz dkk 2010).
Diperkirakan sepertiga pasien LES memiliki antibodi antiphospolipid
karena adanya faktor-faktor kecenderungan yang unik itulah menyebabkan
penggumpalan abnormal pada penderita LES, sepertiga dari mereka juga
mengalami komplikasi akibat antibody ini, karena antibody ini bisa
menyebabkan penggumpalan darah dulu penyakit ini disebut sindrom
anticardiolipin. Antibodi antiphospolipid dan lupus anticoagulant bisa
menyebabkan penggumpalan darah dan penggumpalan darah bisa terjadi
di bagian tubuh mana saja, khususnya pada pembuluh darah vena dan
arteri. Jika gumpalan terjadi di otak bisa mengakibatkan stroke (Wallace,
2007).
29
i. Manifestasi neuropsikiatrik
Manifestasi neurologi pada LES yang sering adalah disfungsi kognitif
(gangguan daya ingat, abstrak, dan pengambilan keputusan) hal ini cukup
seering terjadi pada pasien lupus, untuk mengetahuinya bisa dilakukan tes
batere neuropsikologi. Stroke juga menjadi salah satu manifestasi
neurologi pada penderita LES, stroke pada penderita LES disebabkan oleh
suatu antibody antiphospolipid beberapa literature menyebutkan
kebanyakan serangan stroke ini muncul dalam lima tahun pertama
penyakit (Smeltzer dkk, 2008). Wijaya (2015) juga menyebutkan
manifestasi lain yaitu kejang terjadi pada 10-20% pasien, kejang yang
terjadi dapat berupa kejang umum dan parsial kejang dapat merupakan
manifestasi awal lupus atau dapat muncul dalam perjalanan penyakitnya,
penyebab kejang sangat bervariasi dapat diakibatkan oleh adanya
inflamasi atau kerusakan jaringan cerebri. Nyeri kepala, gangguan
neuropati, psikosis adalah gangguan proses berpikir yang aneh diiringi
dengan sering munculnya delusi atau halusinasi (Wachjudi, 2007).
Gejala lain seperti ansietas dan depresi juga sering muncul pada penderita
LES terutama pada mereka yang belum bisa menerima penyakit tersebut.
Depresi dan kecemasan akan merefleksikan reaksi atau pandangan pasien
terhadap penyakit kronis dan konsekuensi yang akan dia hadapi dalam
hidupnya, keterbatasan gaya hidup yang harus dijalani, ketegantungan
dengan orang lain, termasuk kesulitan kehamilan, mudah lelah,
keterbatasan dengan dengan paparan sinar matahari serta pemikiran untuk
30
minum obat setiap hari seumur hidup. ODAPUS (orang dengan lupus)
biasanya akan membaik dalam kurun waktu 1 tahun, tentu saja dengan
dukungan dari keluarga, pemberian informasi mengenai dari dokter,
perawat dan petugas kesehatan lainnya (Wallace, 2007) dan (Isbagio dkk,
2009).
5. Diagnosis
Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011) menuturkan bahwa
kecurigaan akan penyakit LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih
kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
a. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
b. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan.
c. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, myositis
d. Kulit: butterfly atau malar rash, fotosensitivitas, lesi membrana mukosa,
alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
e. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
f. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
g. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi pada parenkhim paru.
h. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis.
i. Retikulo-endotel: limfadenopati, splenomegali, hepatomegaly
j. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
k. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis
transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
31
Tabel 2.1 kriteria diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik menurut American
College of Rheumatology (ACR) yang sudah di revisi pada tahun (1997) dalam
Baratawidjaja & Rengganis, (2014) adalah sebagai berikut :
No Kelainan Batasan
1 Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol,
pada daerah malar dan Cenderung tidak
melibatkan lipat nasolabial.
2 Ruam diskoid
Plak eritema menonjol dengan keratotik dan
sumbatan folikular. Pada LES lanjut dapat
ditemukan parut atrofik
3 fotosensitivitas
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi
abnormal terhadap sinar matahari, baik dari
anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa
4 Ulkus mulut
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak
nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa.
5 Artitritis
Artritis non erosif yang melibatkan dua atau
lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan,
bengkak atau efusia.
6 serositis
a. Pleuritis
Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction
rub yang didengar oleh dokter pemeriksa
32
b. Perikarditis
atau terdapat bukti efusi pleura.
Terbukti dengan rekaman EKG atau
pericardial friction rub atau terdapat bukti
efusi perikardium
7 Gangguan renal
Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau
>3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan
kuantitatif. atau Silinder seluler : - dapat
berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
granular, tubular atau campuran.
8 Gangguan neurologi
a. Kejang yang bukan disebabkan oleh
obat-obatan atau gangguan metabolik
(misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit). atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh
obat-obatan atau gangguan metabolik
(misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).
9 Gangguan hematologi
a. Anemia hemolitik dengan retikulosis.
atau
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali
pemeriksaan atau lebih.
atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali
33
pemeriksaan atau lebih.
atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa
disebabkan oleh obat-obatan
10 Gangguan imunologik
a. Anti -DNA: antibodi terhadap native
DNA dengan titer yang abnormal.
atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap
antigen nuklear Sm.
atau
c. Temuan positif terhadap antibodi anti
fosfolipid yang didasarkan atas: 1)
kadar serum antibodi anti kardiolipin
abnormal baik IgG atau IgM, 2) Tes
lupus anti koagulan positif
menggunakan metoda standard, atau 3)
hasil tes serologi positif palsu terhadap
sifi lis sekurangkurangnya selama 6
bulan dan dikonfi rmasi dengan test
imobilisasi Treponema pallidum atau tes
fluoresensi absorpsi antibodi
treponemal.
11 Antibodi antinuclear
positif (ANA)
Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear
berdasarkan pemeriksaan imunofluoreseni
34
atau pemeriksaan setingkat pada setiap
kurun waktu perjalanan penyakit tanpa obat.
Klasifikikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4
dari kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang
waktu. Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki
sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan
salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis
bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka
kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi
klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang
diperlukan (Kasjmir, 2015)
6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang minimal yang diperlukan untuk diagnosis dan
monitoring yang direkomendasikan oleh, Perhimpunan Reumatologi Indonesia
(2011) :
a. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED) khusus
pemeriksaan LED dlakukan setiap 3-6 bulan bila stabil.
b. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila
diperlukan kreatinin urin.
c. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid) dilakukan setiap 3-
6 bulan sekali bila stabil.
d. PT, APTT pada sindroma antifosfolipid.
35
e. Serologi ANA (pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan
untuk monitoring), anti-dsDNA (Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan
penyakit ginjal aktif), komplemen †(C3,C4).
f. Foto polos thorax
ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin
time Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu
pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.
Pemeriksaan Serologi pada Lupus Eritematosus Sistemik (LES) meliputi tes
imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis LES adalah tes
ANA generic (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan / diperiksa
hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada LES (Kasjmir,
2015) pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%,
akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang
mempunyai gambaran klinis menyerupai LES misalnya infeksi kronis
(tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease
(MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang
normal (Kavanaugh dkk, 2000).
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,
tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali dinamis
dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan
datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Beberapa
36
tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi
terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA),
La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil
ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk LES, jarang
didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-
dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan
dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi
pada pasien yang bukan LES (Kavanaugh dkk, 2000 dan Wachjudi, 2006)
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang
diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan
adanya SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -30% pasien LES, tes ini
jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm relatif
spesifik untuk LES, dan dapat digunakan untuk diagnosis LES. Titer anti-Sm
yang tinggi lebih spesifik untuk LES. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang
negatif tidak menyingkirkan diagnosis (Kavanaugh dkk, 2000 dan Kasjmir,
2015)
Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011) juga menyatakan bahwa test ANA
merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk LES. Test ANA
dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap LES. Test Anti dsDNA
positif menunjang diagnosis LES, namun jika negatif tidak menyingkirkan
diagnosis LES.
37
7. Penatalaksanaan
Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011) baik untuk LES ringan,
sedang ataupun berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan atau disebut
pilar pengobatan. Pilar pengobatan LES ini sseharusnya dilakukan secara
bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Tiga faktor
penting pilar pengobatan lupus eritematosus sistemik tersebut adalah edukasi
dan konseling, program rehabilitasi dan pengobatan medikamentosa, seperti
yang sudah dijelaskan dibawah ini :
a. Edukasi/konseling
Pada dasarnya pasien LES memerlukan informasi yang benar dan
dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu
dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien
memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas fisik, mengurangi atau
mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar
matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi;
melakukan latihan secara teratur (Perhimpunan Reumatologi Indonesia,
2011). Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi, karena infeksi
sering terjadi pada penderita SLE, maka penderita harus selalu diingatkan
bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada
penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obatan
sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di
kulit dan mukosa (Kasjmir, 2015 dan Wallace, 2007) Perlu pengaturan diet
agar tidak terjadi kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi
dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi
38
organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian
obat-obatan (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Profilaksis
antibiotika juga diperlukan dan harus dipertimbangkan pada penderita SLE
yang akan menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur
invasive lainnya. Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita SLE
terutama penderita yang mendapat obat-obatan kontraindikasi untuk
kehamilan seperti anti-malaria atau siklofosfamid. (Isbagio 2009).
Terkait dengan pendekatan biopsikososial dalam penatalaksanaan SLE,
maka setiap pasien SLE perlu dianalisis adanya masalah neuro-psikologik
maupun sosial. Berdasarkan data penelitian yang dilakukan di RSCM
(2010) ditemukan adanya gangguan fungsi kognitif sebesar 86,49%.
Adanya stigma pada keluarga pasien masih memerlukan pembuktian lebih
lanjut. Namun adanya gangguan•fisik dan kognitif pada pasien SLE dapat
memberikan dampak buruk bagi pasien didalam lingkungan sosialnya baik
ditempat kerja atau dirumah (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).
Seperti yang diungkapkan oleh Friedman (2010) salah satu fungsi pokok
keluarga adalah fungsi sosialisasi dan fungsi penempatan sosial dimana
terjadi proses perkembangan dan perubahan individu keluarga, tempat
anggota keluarga berinteraksi sosial dan belajar berperan di lingkungan.
Secara lebih spesifik keberadaan dukungan social yang adekuat terbukti
menurunkan angka mortalitas, memotivasi untuk sembuh dari sakit,
mencegah penurunan fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi
39
(Hernilawati, 2013) Edukasi pada keluarga diarahkan untuk memangkas
dampak stigma psikologik akibat adanya keluarga dengan SLE,
memberikan informasi perlunya dukungan keluarga yang tidak berlebihan.
Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE dapat dimengerti oleh pihak
keluarganya dan mampu mandiri dalam kehidupan kesehariannya
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).
b. Terapi rehabilitasi
Salah satu hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga
30% apabila pasien dengan LES dibiarkan dalam kondisi immobilitas
selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan
terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan
diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas•fisik
seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa
nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas
lainnya seperti Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)
memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau
kekakuan otot. Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis
pelaksanaan program rehabilitasi adalah istirahat, terapi fisik (umumnya
bersama dengan fisioterapi), terapi dengan modalitas, ortotik, dan lain-lain
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).
40
c. Terapi medikamentosa/Pengobatan
Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang banyak dipakai pada penderita
LES serta pemantauannya berdasarkan rekomendasi Perhimpunan
Reumatologi Indonesia, (2011) dan Kasjmi dkk (2015) dapat dilihat pada
tabel 2.2 dibawah ini :
Jenis Obat Dosis Jenis
toksisitas
Evaluasi
Awal
Pemantauan
Klinis Laborat
orik
OAINS
Tergant
ung
OAINS
Perdarahan
saluan
cerna,
hepatotoksi
k, sakit
kepala,
hipertensi,
aseptik
meningitis,
nefrotoksik.
Darah
rutin,
kretinin,
urin
rutin,
AST/AL
T*.
Gejala
gastrointest
inal
Darah
rutin,
kreatini
n,
AST/AL
T*
setiap 6
bulan.
Kotikosteroid Tergant
ung
derajat
SLE
Cushingoid,
hipertensi,
dislipidemia
,
osteonekros
Gula
darah,
profil
lipid,
DXA,
Tekanan
darah
Glukosa
41
is,
hiperglisemi
a, katarak,
osteoporosis
.
tekanan
darah.
Klorokuin
Hidroksikloro
kuin
*hidroksiklor
okuin saat ini
belum
tersedia di
Indonesia
250
mg/hari
(3,5-4
mg/kg
BB/hr)
200-400
mg/ hari
Retinopati,
keluhan
GIT, rash,
mialgia,
sakit kepala,
anemia
hemolitik
pada pasien
dengan
defisiensi
G6PD.
Evaluasi
mata,
G6PD
pada
pasien
berisiko.
Funduskop
i dan
lapangan
pandang
mata setiap
3-6 bulan.
Azatioprin 50-150
mg per
hari,
dosis
terbagi
Mielosupres
if,
hepatotoksi
k, gangguan
limfoprolife
Darah
tepi
lengkap,
kreatinin
, AST /
Gejala
mielosupre
sif
Darah
tepi
lengkap
setiap 1-
2
42
1-3,
tergantu
ng berat
badan.
ratif. ALT*. minggu
dan
selanjut
nya 1-3
bulan
interval.
AST
tiap
tahun
dan pap
smear
secara
teratur.
Siklofosfami
d
Per oral:
50-150
mg per
hari. IV:
500-750
mg/m2
dalam
Dextros
e 250
ml,
infus
Mielosupres
if, gangguan
limfoprolife
ratif,
keganasan,
imunosupre
si, sistitis
hemoragik,
infertilitas
sekunder.
Darah
tepi
lengkap,
hitung
jenis
leukosit,
urin
lengkap
Gejala
mielosupre
sif,
hematuria
dan inferti
litas.
Darah
tepi
lengkap
dan urin
lengkap
setiap
bulan,
sitologi
urin dan
pap
smear
43
selama
1 jam.
tiap
tahun
seumur
hidup.
Metotreksat 7.5 – 20
mg /
minggu,
dosis
tunggal
atau
terbagi
3. Dapat
diberika
n pula
melalui
injeksi.
Mielosupres
if, fi brosis
hepatik,
sirosis, infi
ltrat
pulmonal
dan fibrosis.
Darah
tepi
lengkap,
foto
toraks,
serologi
hepatitis
B dan C
pada
pasien
risiko
tinggi,
AST,
fungsi
hati,
kreatinin
.
Gejala
mielosupre
sif, sesak
nafas, mual
dan
muntah,
ulkus
mulut.
Darah
tepi
lengkap
terutama
hitung
trombos
it tiap 4-
8
minggu,
AST /
ALT*
dan
albumin
tiap 4-8
minggu,
urin
lengkap
dan
kreatini
n.
44
Siklosporin A 2.5–5
mg/kg
BB,
atau
sekitar
100 –
400 mg
per hari
dalam 2
dosis,
tergantu
ng berat
badan.
Pembengka
kan, nyeri
gusi,
peningkatan
tekanan
darah,
peningkatan
pertumbuha
n rambut,
gangguan
fungsi
ginjal, nafsu
makan
menurun,
tremor.
Darah
tepi
lengkap,
krea•
nin, urin
lengkap,
LFT*.
Gejala
hipersensiti
fitas
terhadap
castor oil
(bila obat
diberikan
injeksi),
tekanan
darah,
fungsi hati
dan ginjal.
Kreatini
n, LFT,
Darah
tepi
lengkap.
Mikofenolat
mofetil
1.000 –
2.000
mg
dalam 2
dosis.
Mual, diare,
leukopenia.
Darah
tepi
lengkap,
feses
lengkap
Gejala
gastrointest
inal seperti
mual,
muntah.
Darah
tepi
lengkap
terutama
leukosit
dan
hitung
jenisnya
.
45
Keterangan :
OAINS: Obat Anti Inflamasi Non Steroid, AST/ALT: Aspartate Serum
Transaminase / Alanine Serum Transaminase, dan LFT: Liver Function Test
B. Peran Dan Fungsi Perawat
Mubarak & Chayatin (2013), Andarmoyo (2012), dan (Friedman, 2010)
manjelaskan Peran perawat baik pada individu, keluarga maupun komunitas terbagi
menjadi lima peran penting yaitu, perawat sebagai pelaksana kesehatan, peran ini
mencakup seluruh kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat dan puskesmas dalam
mencapai tujuan kesehatan yang komprehensif melalui kerja sama lintas sektoral
dengan tim kesehatan lain. Perawat sebagai pendidik, peran ini dapat dilakukan oleh
perawat komunitas, perawat keluarga atau petugas kesehatan lain, pembelajaran
yang diberikan bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatan
individu, keluarga, maupun masyarakat dari yang tidak sehat menjadi sehat atau
menjadi lebih sehat lagi. Perawat sebagai administrator, perawat membantu
keluarga dalam melihat masalah objektif akan keuntungan dan kerugian yang
ditimbulkan dari maslah tersebut, ia juga bertanggung jawab melakukan
pengelolaan suatu kasus atau permasalahan yang terjadi di dalam suatu keluarga
atau masyarakat, memecahkan masalah dan mengambil keputusan atas
permasalahan tersebut. Perawat sebagai konselor atau konsultan, perawat dijadikan
sebagai sumber informasi kesehatan oleh individu, keluarga dan masyarakat guna
mengatasi masalah – masalah kesehatan yang ada, sebagai konselor perawat harus
menggunakan metode pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
klien, serta harus melibatkan sumber-sumber lain (Potter & Perry, 2010). Perawat
46
sebagai peneliti, perawat melakukan identifikasi terhadap fenomena yang terjadi di
masyarakat, mencari faktor pencetus dan penyebab yang dapat mempengaruhi
penurunan kesehatan bahkan mengancam kesehatan
Fungsi perawat kesehatan keluarga tidak hanya fungsi esensial dan dasar dari
keluarga, fungsi yang sebenarnya adalah untuk mengemban fokus sentral dalam
keluarga yang berfungsi dengan baik dan sehat. Pemenuhan fungsi keluarga dapat
menjadi sulit bilamana mempengaruhi faktor internal dan eksternal seperti struktur
keluarga dan system pelayanan kesehatan. Agar keluarga bisa menjadi sumber
kesehatan utama (primer), keluarga harus dilibatkan dalam proses terapi dan
menjadi bagian tim kesehatan. Sejalan dengan peran perawat sebagai pelaksana
kesehatan peran serta keluarga inilah yang sangat dibutuhkan guna peningkatan
kesehatan (promotif), pencegahan terjadinya penyakit (preventif), dan pengobatan
(kuratif) (Mubarak & Chayatin, 2013) dan (Friedman, 2010).
Saat perawat melakukan pengkajian pada sebuah keluarga terutama saat ada
anggota keluarga yang sakit atau mengalami masalah kesehatan, perawat tersebut
harus mengkaji kemampuan keluarga dalam membarikan perawatan diri, motivasi
keluarga, dan kemampuan keluarga dalam menangani masalah kesehatan. Keluarga
perlu diberi pemahaman mengenai status kesehatan, dan masalah kesehatannya
sendiri serta langkah tindakan yang ddiperlukan guna memperbaiki atau
memelihara kesehatan keluarga dalam upaya tanggung jawab terhadap perawatan
dirinya sendiri (Friedman, 2010)
47
C. Definisi Keluarga
Potter & Perry (2010) mendefinisikan keluarga sebagai dua atau lebih individu yang
bekerja sama dengan ikatan saling berbagi dan kedekatan emosi dan keluarga
adalah unit yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak mereka dan memperlihatkan
pembagian kerja menurut jenis kelamin
Menurut Duval, 1972 dalam Zaidin Ali. H, (2010) dan Hernilawati, (2013)
menuturkan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh
ikatan perkawinan, adopsi kelahiran yang bertujuan menciptakan dan
mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental,
emosional dan social dari tiap anggota keluarga.
Keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh kebersamaan dan
kedekatan emosional serta yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari
keluarga. Keluarga juga didefinisikan sebagai kelompok individu yang tinggal
bersama dengan atau tidak adanya hubungan darah, pernikahan, adopsi dan hanya
terbatas pada keanggotaan dalam suatu rumah tangga (Friedman, 2010).
D. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga menurut Francis dan Satiadarma (2004) merupakan
bantuan/sokongan yang diterima salah satu anggota keluarga dari anggota keluarga
lainnya dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi yang terdapat di dalam sebuah
keluarga.
48
Friedman (2010) menyatakan dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan
penerimaan keluarga terhadap anggotanya. Anggota keluarga dipandang sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dalam lingkungan keluarga. Anggota keluarga
memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan
pertolongan dan bantuan jika di perlukan.
Dukungan yang dimiliki oleh seseorang dapat mencegah berkembangnya masalah
akibat tekanan yang dihadapi. Seseorang dengan dukungan yang tinggi akan lebih
berhasil menghadapi dan mengatasi masalahnya dibanding dengan yang tidak
memiliki dukungan (Taylor, 2006).
Pendapat diatas diperkuat oleh pernyataan dari (Commission on the Family, 1998
dalam Dolan dkk, 2006) bahwa dukungan keluarga dapat memperkuat setiap
individu, menciptakan kekuatan keluarga, memperbesar penghargaan terhadap diri
sendiri, mempunyai potensi sebagai strategi pencegahan yang utama bagi seluruh
keluarga dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari serta mempunyai
relevansi dalam masyarakat yang berada dalam lingkungan yang penuh dengan
tekanan. Dukungan keluarga juga merupakan suatu proses hubungan antara
keluarga dengan lingkungan (Setiadi, 2008). Dukungan keluarga merupakan juga
menjadi salah satu faktor penguat atau pendorong terjadinya suatu perilaku (Green,
1980 dalam Notoatmodjo, 2007).
Kaplan (2010) dan Friedman (2010) menyatakan keluarga sebagai sistem
pendukung yang berarti sehingga dapat memberikan petunjuk tentang kesehatan
49
mental, fisik dan emosi lanjut usia. Dukungan keluarga itu dapat dibagi menjadi
empat aspek yaitu dukungan penilaian/penghargaan, dukungan instrumental (nyata),
dukungan informasional dan dukungan emosional.
Komponen pendukung keluarga menurut Friedman, (2010) yaitu :
1. Dukungan penghargaan
Dukungan penghargaan meliputi pertolongan pada individu untuk memahami
kejadian depresi dengan baik dan juga sumber depresi dan strategi koping yang
dapat digunakan dalam menghadapi stressor. Dukungan ini juga merupakan
dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap
individu. Individu mempunyai seseorang yang dapat diajak bicara tentang
masalah mereka, terjadi melalui ekspresi pengaharapan positif individu kepada
individu lain, penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan
seseorang dan perbandingan positif seseorang dengan orang lain, misalnya
orang yang kurang mampu. Dukungan keluarga dapat membantu meningkatkan
strategi koping individu dengan strategi-strategi alternatif berdasarkan
pengalaman yang berfokus pada aspek-aspek tertentu dengan cara pemberian
umpan balik (fedd back) yang positif (Bomar, 2004) dan (Friedman, 2010)
House, (1994) dalam Setiadi, (2008) menuturkan bahwa bantuan penilaian yaitu
suatu bentuk penghargaan yang diberikan seseorang kepada pihak lain
berdasarkan kondisi sebenarnya dari penderita, penilaian tersebut bisa bermakna
positif atau negative yang mana pengaruhnya bisa sangat berarti bagi seseorang,
akan tetapi penilaian yang sangat berpengaruh adalah penilaian yang positif.
50
Friedman, (2010) menunjukan bahwa dukungan penilaian/penghargaan juga
merupakan bentuk fungsi afektif keluarga yang meningkatkan status psikososial
pada keluarga yang sakit
2. Dukungan nyata (instrumental)
Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah seperti pelayanan,
bantuan finansial dan material berupa bantuan nyata (instrumental support and
material support), suatu kondisi dimana barang atau jasa yang akan membantu
memecahkan masalah, termasuk di dalam dukungan nyata adalah bantuan
langsung, seperti saat seseorang memberi atau meminjamkan uang, membantu
pekerjaan tugas sehari-hari, menyampaikan pesan, menyediakan transportasi,
menjaga dan merawat saat sakit ataupun saaat mengalami depresi yang dapat
membantu memecahkan masalah. Pada dukungan nyata keluarga sebagai
sumber utama untuk mencapai tujuan praktis dan tujuannya (Friedman, 2010).
Dukungan instrumental merupakan suatu dukungan atau bantuan penuh
keluarga dalam bentuk memberikan bantuan tenaga, finansial, mapun sarana
dan prasarana serta menyediakan waktu luang untuk melayani dan
mendengarkan keluarga yang sakit dalam menyampaikan perasaannya (Peterson
& Bredow, 2004) dan (Bomar, 2004).
Dukungan instrumental ini bertujuan untuk mempermudah seseorang dalam
melakukan aktifitasnya berkaitan dengan persoalan yang tengah dihadapinya,
atau menolong secara langsung kesulitan yang tengah dihadapi, misalnya
dengan menyediakan obat-obatan yang rutin diminum (Setiadi, 2008). Dengan
51
adanya dukungan instrumental ini pada penderita LES ini diharapkan kondisi
ODAPUS (orang dengan lupus)dapat terjaga dengan baik sehingga dapat
meningkatkan status kesehatannya.
Dukungan instrumental ini termasuk kedalam lima fungsi utama keluarga
menurut Friedman, yaitu fungsi kesehatan keluarga dan fungsi ekonomi, yang
mana keluarga harus mampu memberikan pemenuhan sandang, pangan, dan
papan serta mampu merawat anggota keluarga yang sakit dan sejauh mana
keluarga mengetahui tentang masalah kesehatan yang sedang dialami. Dari segi
ekonomi keluarga berfungsi untuk menyediakan sumber dana yang cukup,
pengalokasian dana dan alokasi efektif misalnya dengan membuat asuransi
kesehatan keluarga (Andarmoyo, 2012).
3. Dukungan informasi
Jenis dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung jawab bersama,
termasuk di dalamnya memberikan solusi dari masalah, memberikan nasehat,
pengarahan, saran, atau umpan balik tentang apa yang dilakukan oleh seseorang.
Keluarga dapat menyediakan informasi dengan menyarankan tentang dokter,
terapi yang baik bagi dirinya, dan tindakan spesifik bagi individu untuk
melawan stressor. Individu yang mengalami depresi dapat keluar dari
masalahnya dan memecahkan masalahnya dengan dukungan dari keluarga
dengan menyediakan feed back (Sheiley, 1995). Pada dukungan informasi ini
keluarga sebagai penghimpun informasi dan pemberi informasi.
52
Bomar (2004) mengatakan dukungan informasi keluarga merupakan suatu
dukungan atau bantuan yang diberikan keluarga dalam bentuk memberikan
saran atau masukan, nasehat atau arahan, dan memberikan informasi-informasi
penting yang dibutuhkan keluarga yang sakit dalam upaya meningkatkan status
kesehatannya. Dukungan informasi yang diberikan keluarga merupakan salah
satu bentuk fungsi perawatan keluarga terhadap anggota keluarga yang sakit,
keluarga memberi promosi kesehatan dan perawatan kesehatan preventif, serta
berbagai perawatan bagi anggota keluarga yang sakit (Friedman, 2010).
Bantuan informasi yang disediakan agar dapat digunakan oleh seseorang dalam
menanggulani persoalan-persoalan yang dihadapi, meliputi pemberian nasehat,
pengarahan serta ide atau informasi lainnya yang dibutuhkan dan informasi
tersebut harus bisa disampaikan kepada orang lain yang mungkin saja
mengalami permasalahan yang sama (Setiadi, 2008).
Pada penderita LES sangat membutuhkan dukungan dari orang lain dalam arti
dukungan informasi bisa diberikan oleh keluarga, masyarakat, dokter, perawat
dan tenaga kesehatan lainnya, dukungan informasi dapat berupa pemberian
informasi yang dibutuhkan terkait dengan kondisi kesehatannya, kapan dan
waktu yang tepat minum obat, saran- saran kesehatan hingga informasi
mengenai kelompok atau perkumpulan yang memiliki kondisi yang hampir
sama.
53
4. Dukungan emosional
Dukungan emosional selama depresi berlangsung, individu sering menderita
secara emosional, sedih, cemas, dan kehilangan harga diri. Jika depresi
mengurangi perasaan seseorang akan hal dimiliki dan dicintai. Dukungan
emosional memberikan individu perasaan nyaman, merasa dicintai saat
mengalami depresi, bantuan dalam bentuk semangat, empati, rasa percaya,
perhatian sehingga individu yang menerimanya merasa berharga. Pada
dukungan emosional ini keluarga menyediakan tempat istirahat dan memberikan
semangat.
Peterson & Bredow (2004) menyatakan dukungan emosional melibatkan aspek
kekuatan jasmaniah dan keinginan untuk percaya pada orang lain, sehingga
orang tersebut mampu memberikan cinta dan kasih sayang kepadanya. Seperti
yang dikatakan Duvall (1977) dalam Friedman (2010) kebahagian keluarga
diukur oleh kekuatan cinta keluarga. Keluarga harus memenuhi kebutuhan kasih
sayang anggota keluarganya karena respon kasih sayang satu anggota keluarga
ke anggota keluarga yang lain memberikan dasar penghargaan pada kehidupan
keluarga.
Memberikan dukungan emosional pada penderita LES merupakan salah satu
fungsi afektif keluarga, fungsi afektif ini berhubungan dengan fungsi di dalam
keluarga itu sendiri guna memberikan perlindungan psikososial dan dukungan
terhadap anggota keluarga yang sakit. Friedman (2010) menyatakan bahwa
adanya dukungan emosional dalam keluarga secara positif akan bisa
54
mampengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anggota dalam keluarga
tersebut.
Nugroho (2000) juga mengatakan bahwa dukungan emosional merupakan
bentuk dukungan berupa rasa aman, cinta kasih, memberikan semangat,
mengurangi perasaan putus asa, mengurangi rasa rendah diri dan keterbatasan
terhadap ketidak kemampuan fisik atau penurunan fisik yang tengah dialami.
House (1994) dalam setiadi (2008) mengatakan bahwa bentuk dukungan
emosional berupa dukungan simpati, dan empati, cinta, kepercayaan dan
penghargaan. Dengan demikian dukungan ini melibatkan ekspresi, rasa empati
dan perhatian terhadap seseorang sehingga merasa lebh baik, memperoleh
kembali keyakinannya, merasa dimiliki dan dicintai pada saat stress.
Komunikasi dan interaksi antar anggota keluarga yang lain sangat diperlukan
untuk memahami situasi anggota keluarga. Bila nanti muncul masalah depresi
pada pasien bantuan medis atau tenaga ahli mungkin dibutuhkan. Akan tetapi
yang tidak kalah pentingnya adanya dukungan keluarga mendorong pasien
dapat mengendalikan emosi dan waspada terhadap hal yang mungkin terjadi.
E. Definisi Kepatuhan
Sarafino (1990) dalam Slamet B (2007), mendefinisikan kepatuhan (ketaatan)
sebagai tingkat penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang
disarankan oleh dokter atau orang lain.
55
Menurut kamus besar bahasa Indonesia patuh adalah suka menurut perintah, taat
pada perintah, sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin
(Pranoto, 2007),
Kepatuhan adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan ketaatan atau pasrah pada
tujuan yang telah ditentukan (Bastable, 2002).
Kepatuhan (obedience) merupakan satu jenis dari pengaruh social, dimana
seseorang mentaati dan mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan teingkah
laku tertentu karena adanya unsur power (Baron, Branscombe, & Byrne, 2008
dalam Sarwono dan Meinarno, 2009).
Kepatuhan juga dapat didefinisikan sebagai perilaku positif penderita dalam
mencapai tujuan terapi (Degresi, 2005)
Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasehat
medis atau kesehatan dan menggambarkan penggunaaan obat sesuai dengan
petunjuk pada resep serta mencakup penggunaannya pada waktu yang benar
(Siregar, 2006)
Kepatuhan sebutan ketaatan (adherence) adalah derajat dimana pasien mengikuti
anjuran klinis dari dokter yang mengobatinya (Kaplan, 1997 dalam Safitri, 2013).
56
Jadi dari beberapa definisi kepatuhan diatas peneliti menyimpulkan kepatuhan
adalah sikap dan perilaku seseorang baik secara pasrah atau karena unsur paksaan,
yang mengikuti dan mentaati anjuran dan saran nasehat medis dalam upaya
memperbaiki derajat kesehatan.
Kepatuhan pada program kesehatan merupakan perilaku yang dapat diobservasi dan
dengan begitu dapat langsung diukur. Dalam literature keperawatan-kesehatan
mengemukakan bahwa kepatuhan berbanding lurus dengan tujuan yang dicapai
pada program pengobatan yang telah ditentukan (Bastable, 2002). Menurut Eraker
dkk, (1984), Levanthal & Cameron (1987) dalam Bastable (2002), menuturkan
bahwa kepatuhan pasien program kesehatan dapat ditinjau dari berbagai perspektif
teoritis pertama biomedis yang mencakup demografi pasien, keseriusan penyakit,
dan kompleksitas program pengobatan, kedua adalah teori perilaku/pembelajaran
sosial, yang menggunakan pendekatan behavioristic dalam hal reward (hadiah),
petunjuk, kontrak, dan dukungan sosial, ketiga adalah perputaran umpan balik
komunikasi dalam hal mengirim, menerima, memahami, menyimpan dan
penerimaan, keempat adalah teori keyakinan rasional, yang menimbang manfaat
pengobatan dan risiko penyakit melalui penggunaan logika cost benefit, dan terakhir
yang kelima adalah system pengaturan diri, pasien dilihat sebagai pemecah masalah
yang mengatur perilakunya berdasarkan persepsi atas penyakit, keterampilan
kognitif, dan pengalaman masa lalu yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk
membuat rencana dan mengatasi penyakit.
57
Secara umum, hal-hal yang perlu diperhatikan dan dipahami dalam meningkatkan
kepatuhan adalah pasien membutuhkan dukungan keluarga bukan disalahkan,
konsekuensi dari ketidakpatuhan terhadap terapi jangka panjang adalah tercapainya
tujuan terapi dan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan, peningkatan kepatuhan
pasien dapat meningkatkan keamanan penggunaan obat kepatuhan merupakan
faktor penentu yang cukup penting dalam mencapai efektifitas suatu system
kesehatan, memperbaiki kepatuhan dapat merupakan intervensi terbaik dalam
penanganan secara efektif suatu penyakit kronis, system kesehatan harus terus
berkembang agar selalu dapat menghadapi berbagai tantangan baru, diperlukan
pendekatan secara multidisiplin dalam menyelesaikan ketidakpatuhan(WHO, 2003)
F. Definisi Ketidakpatuhan
Ketidakpatuhan menggambarkan penolakan seseorang mengikuti program yang
telah ditentukan (Bastable, 2002). Menurut Niven (2012) faktor-faktor yang
mempengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian :
1. Pemahaman tentang instruksi
Tidak seorangpun dapat mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang
instruksi yang diberikan padanya. Anderson (1986) dalam Niven (2012),
mengungkapkan penelitian tentang komunikasi dokter dan pasiennya di
Hongkong, mendapatkan bahwa pasien yang rata-rata diberi 18 jenis informasi
untuk diingat dalam setiap konsultasi, hanya mampu mengingat sebanyak 31%
saja.
58
2. Kualitas interaksi
Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian
yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan (Niven, 2012). Pentingnya
keterampilan interpersonal dalam memacu kepatuhan terhadap pengobatan di
ungkapkan oleh DiNicola dan DiMatteo (1984): Riset tentang faktor-faktor
interpersonal yang mempengaruhi kepatuhan terhadap pengobatan menunjukan
pentingnya sensitifitas dokter terhadap kounikasi verbal dan nonverbal pasien,
dan empati terhadap peerasaan pasien, akan menghasilkan suatu kepatuhan
sehingga akan menghasilkan suatu kepuasan.
3. Isolasi sosial dan keluarga
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan
keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang
program pengobatan yang dapat mereka terima (Niven, 2012). Isolasi sosial
merupakan suatu keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya,
pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu
membina hubungan dengan orang lain (Anna K, 2006 )
4. Keyakinan, sikap dan kepribadian
Becker et al (1979) dalam Neil Niven (2012) telah membuat suatu usulan bahwa
model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya
ketidakpatuhan. Mereka menggambarkan kegunaan model tersebut dalam suatu
penelitian bersama Hartman dan Becker (1978) dalam Neil Niven (2012)
59
memperkirakan ketidakpatuhan terhadap ketentuan untuk pasien hemodialisa
kronis. 50 orang pasien dengan gagal ginjal kronis tahap akhir yang harus
mematuhi program pengobatan yang kompleks, meliputi diet, pembatasan
cairan, pengobatan dan dialisa. Penelitian tersebut menemukan bahwa
pengukuran dari tiap-tiap dimensi yang utama dari model tersebut sangat
berguna sebagai peramal dari kepatuhan terhadap pengobatan. Jadi memang ada
bukti hasil penelitian yang penting bahwa hubungan antara professional
kesehatan dan pasien, keluarga dan teman, keyakinan tentang kesehatan dan
kepribadian seseorang berperan dalam menentukan respon pasien terhadap
anjuran pengobatan
Menurut Bastable, (2002) kadang – kadang perilaku ketidakpatuhan mungkin
diinginkan dan dapat dianggap sebagai respon defensive yang diperlukan terhadap
situasi yang penuh tekanan.
60
G. Kerangka Teoritis
Lupus
Eritematosus
Sistemik
Etiologi
Hormon
Genetik
Lingkungan Manifestasi umum
1. Butterfly rush di
wajah
2. Kelelahan
3. Fotosensitifitas
terhadap matahari
Penatalaksanaan
1. Edukasi
2. Rehabilitasi
3. pengobatan
Pemeriksaan
penunjang
1. Darah Lengkap
2. Urine rutin
3. Kimia darah
(ureum,
kreatinin, fungsi
hati, profil lipid
4. Pemeriksaan
masa pembekuan
darah
5. ANA test
6. Foto thorax Kepatuhan Minum Obat
Support System
Keluarga
1. Dukungan
penghargaan
2. Dukungan
nyata/instrumental
3. Dukungan
Sumber: Modifikasi: Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011), Isbagio, dkk (2015),
Friedman (2010), Wallace (2007)