LTM 1 Hipersensitivitas Tipe II Dan IV

download LTM 1 Hipersensitivitas Tipe II Dan IV

of 7

Transcript of LTM 1 Hipersensitivitas Tipe II Dan IV

Hipersensitivitas Tipe II dan IV Oleh Arini Purwono, 0906507822 Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut reaksi hipersensitivitas. Komponen-komponen sistem imun yang bekerja pada proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara. Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip HH Gell (1963) dibagi dalam 4 tipe reaksi. REAKSI TIPE II ATAU SITOTOKSIK ATAU SITOLITIK Reaksi hipersensitivitas Tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul aksesori dan metabolisme sel dilibatkan. Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Reaksi Tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik. Antibodi spesifik terhadap antigen sel dan jaringan dapat berdeposit di jaringan dan menyebabkan jejas dengan menginduksi inflamasi lokal, atau mengganggu fungsi sel normal. Antibodi terhadap antigen jaringan menginduksi inflamasi dengan memanggil dan mengaktivasi leukosit. Antibodi IgG dari subkelas IgG1 dan IgG3 terikat pada reseptor Fc neutrofil dan makrofag dan mengaktivasi leukosit-leukosit ini, menyebabkan inflamasi. IgM mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur klasik, menyebabkan produksi zat-zat yang dihasilkan komplemen yang merekrut leukosit dan menginduksi inflamasi. Ketika leukosit teraktivasi di situs deposit antibodi, sel-sel ini memproduksi substansi seperti intermediet reaktif oksigen dan enzim lisosom yang merusak jaringan disekitarnya. Jika antibodi terikat pada sel, seperti eritrosit dan platelet, sel akan teropsonisasi dan dapat dicerna dan dihancurkan oleh fagosit penjamu. Beberapa antibodi dapat menyebabkan penyakit tanpa secara langsung menyebabkan jejas jaringan. Misalnya pada antibodi terhadap reseptor hormon yang dapat menghambat fungsi reseptor; pada beberapa kasus myasthenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin menghambat transmisi neuromuskular dan menyebabkan paralisis. Antibodi lainnya dapat mengaktivasi reseptor tanpa adanya hormon fisiologis; seperti pada Graves disease, dimana antibodi terhadap reseptor TSH menstimulasi sel tiroid bahkan tanpa keberadaan hormon tiroid. Banyak kelainan hipersensitivitas kronik pada manusia yang terkait dengan antibodi antijaringan. Terapi untuk kelainan ini terutama untuk membatasi inflamasi dan konsekuensi jejasnya, dengan obat seperti kortikosteroid. Pada kasus yang parah, plasmaferesis digunakan untuk mengurangi kadar antibodi yang bersirkulasi. Terdapat ketertarikan untuk mencoba pendekatan pada inhibisi produksi autoantibodi (misal. dengan antagonis yang memblok ligan CD40 sehingga menghambat aktivasi sel B dependen sel Th). 1

Reaksi transfusi Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai gen. Bila darah individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi, oleh karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravaskular. Reaksi dapat cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi bersifat toksik. Gejala khasnya berupa demam, menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri pinggang bawah dan hemoglobinuria. Reaksi transfusi darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat transfusi berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah lainnya. Reaksi terjadi 2 sampai 6 hari setelah transfusi. Darah yang ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap berbagai antigen membran golongan darah, tersering adalah golongan Rhesus, Kidd, Kell, dan Duffy.

Gambar 1 Tiga Mekanisme Utama Hipersensitivitas Tipe II Hemolytic diseases of the newborn (HDN) Terjadi ketidaksesuaian faktor Rhesus (Rhesus incompatibility) dimana anti-D IgG yang berasal dari ibu menembus plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi darah janin dan melapisi permukaan eritrosi janin kemudian mencetuskan reaksi hipersensitivitas tipe II. HDN terjadi apabila seorang ibu memiliki Rhesus negatif dan mempunyai janin dengan Rhesus positif. Sensitisasi pada ibu umumnya terjadi pada saat persalinan pertama, karena itu HDN umumnya tidak timbul pada bayi pertama. Baru pada kehamilan berikutnya, limfosit ibu akan membentuk anti-D IgG yang dapat menembus placenta dan mengadakan interaksi dengan faktor rhesus pada permukaan eritrosit janin (eritroblastosis fetalis). 2

Anemia hemolitik Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorpsi nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.

Penyakit Anemia hemolitik autoimun

Antigen Target Protein membran eritrosit (antigen kelompok darah Rh, antigen I) Protein membran platelet (integrin gpIIb:IIIa) Protein di junction interseluler dari sel epidermal (kaderin epidermal) Protein nonkolagen di membran basal glomeruli ginjal dan alveoli paru Antigen dinding sel streptococcus; antibodi bereaksi silang dengan antigen miokardium Reseptor asetilkolin

Mekanisme Penyakit Opsonisasi dan fagositosis eritrosit

Manifestasi Klinikopatologis Hemolisis, anemia

Purpura trombositopenik autoimun (idiopatik) Pemphigus vulgaris

Opsonisasi dan fagositosis platelet

Perdarahan

Goodpastures syndrome

Aktivasi protease yang dimediasi antibodi, disrupsi adhesi interseluler Inflamasi yang dimediasi komplemen atau Fc reseptor Inflamasi; aktivasi makrofag

Vesikel kulit (bullae)

Nefritis, perdarahan paru

Demam reumatik akut

Miokarditis, arthritis

Myasthenia gravis

Graves disease (hipertiroidisme) Anemia pernisiosa

Reseptor TSH

Faktor intrinsik dari sel parietal lambung

Antibodi menghambat ikatan asetilkolin, mengakibatkan down-modulate dari reseptor Stimulasi reseptor TSH yang dimediasi antibodi Netralisasi dari faktor intrinsik, menurunkan absorpsi vitamin B12

Kelemahan otot, paralisis

Hipertiroidisme

Abnormal eritropoiesis, anemia

Tabel 1 Contoh Penyakit-Penyakit yang Dimediasi Antibodi (Hipersensitivitas Tipe II) REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV Sebagian besar hipersensitivitas tipe IV dipercaya merupakan penyebab dari autoimunitas. Reaksi autoimun biasanya ditargetkan langsung terhadap antigen sel dengan distribusi jaringan yang terbatas. Sehingga penyakit autoimun yang dimediasi sel T cenderung terbatas pada 3

beberapa organ atau biasanya tidak sistemik. Jejas jaringan dapat juga mengiringi respon sel T normal terhadap mikroba. Sebagai contoh, pada tuberkulosis, terdapat respon imun terhadap M. tuberculosis, dan responsnya menjadi kronik karena infeksinya sulit untuk dieradikasi. Inflamasi granulomatosa yang dihasilkan merupakan penyebab utama dari jejas pada jaringan normal pada situs infeksi dan kerusakan fungsional. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak bersifat sitopatik tinggi, tapi respons limfosit T sitolitik terhadap hepatosit yang terinfeksi yang menyebabkan jejas pada liver. Pada penyakit yang dimediasi sel T, jejas jaringan disebabkan oleh DTH yang dimediasi oleh sel T CD4+ atau lisis dari sel penjamu oleh limfosit T sitolitik CD8+. Mekanisme jejas jaringan adalah sama dengan mekanisme yang digunakan sel T untuk mengeliminasi mikroba yang terkait sel. Sel T CD4+ dapat bereaksi terhadap antigen sel atau jaringan dan menyekresi sitokin yang menginduksi inflamasi lokal dan mengaktivasi makrofag. Jejas jaringan aslinya disebabkan oleh makrofag dan sel radang lainnya. Sel T CD8+ spesifik untuk antigen pada sel autolog dapat langsung membunuh sel-sel tersebut. Pada banyak penyakit autoimun yang dimediasi sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ spesifik untuk antigen penjamu, dan keduanya berkontribusi dalam jejas jaringan. Sel T melepas sitokin, bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya menimbulkan respons inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat. Contohnya dermatitis kontak yang diinduksi oleh etilendiamine, neomisin, anestesi topikal, antihistamin topikal dan steroid topikal. Terapi untuk hipersensitivitas yang dimediasi sel T didesain untuk mengurangi inflamasi, menggunakan kortikosteroid dan antagonis terhadap sitokin seperti TNF, dan untuk menghambat respons sel T dengan obat imunosupresif seperti siklosporin. Antagonis TNF telah dibuktikan bermanfaat pada pasien dengan rheumatoid arthritis dan inflammatory bowel disease. Banyak agen-agen baru yang dikembangkan untuk menghambat respons sel T. Hal ini meliputi antagonis terhadap reseptor untuk sitokin seperti IL-2, dan agen yang memblok kostimulator seperti B7. Dewasa ini reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi dalam DTH yang terjadi melalui sel CD4+ dan T Cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+.

Neutrophil enzymes, reactive oxygen intermediates

Gambar 2 Mekanisme dari Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV 4

Penyakit Diabetes Mellitus DependenInsulin (Tipe I) Rheumatoid Arthritis

Spesifisitas Sel T Patogen Antigen sel islet (insulin, asam glutamat dekarboksilase, dll) Antigen yang tidak diketahui di synovial sendi Antigen protein dari myelin saraf perifer

Manifestasi klinikopatologis Insulitis (inflamasi kronik di islet), destruksi sel ; diabetes Arthritis kronik dengan inflamasi, destruksi kartilago sendi dan tulang Neuritis, paralisis

Peripheral neuropathy; GuillainBarr syndrome? Experiment al allergic encephalom yelitis (multipel sklerosis)

Myelin basic protein, protein proteolipid

Demyelinisasi di SSP dengan inflamasi perivaskular; paralisis; lesi okular

Tabel 2 Contoh Penyakit-Penyakit yang Dimediasi Sel T (Hipersensitivitas Tipe IV)

Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV Contoh klasik dari DTH adalah reaksi tuberculin, yang diproduksi oleh injeksi intrakutan dari tuberculin, suatu protein-lipopolisakarida yang merupakan komponen dari tuberkel bacillus. Pada individu yang sebelumnya telah tersensitisasi, terjadi kemerahan dan indurasi pada situs dalam waktu 8-12 jam, mencapai puncak dalam 24-72 jam, dan berkurang. Secara morfologis, DTH dikarakterisasi oleh akumulasi sel mononuklear disekeliling vena kecil dan venula, menghasilkan sebuah perivascular cuffing. Terdapat asosiasi mengenai peningkatan permeabilitas mikrovaskular yang disebabkan mekanisme yang sama dengan inflamasi lainnya. Sehingga protein plasma akan keluar dan menyebabkan edema dermal dan deposisi fibrin di interstisial. Yang terakhir menjadi penyebab utama terjadinya indurasi, yang menjadi ciri DTH. Pada lesi yang telah berkembang penuh, venula yang dikelilingi limfosit akan Gambar 3 Formasi Granuloma menunjukkan hipertrofi atau hiperplasia endotel. pada Hipersensitivitas Tipe IV Dengan antigen persisten atau yang sulit didegradasi, seperti tuberkel bacilli yang berkolonisasi di paru atau jaringan lain, infiltrat limfosit perivaskular yang muncul di awal akan digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 atau 3 minggu. Makrofag yang terakumulasi seringkali mengalami perubahan morfologis menjadi sel epiteloid (mirip sel epitel). Secara mikroskopis, agregat sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit, disebut dengan granuloma. Pola inflamasi yang kadang terlihat pada hipersensitivitas tipe IV ini disebut dengan inflamasi granulomatosa. Tahapan selular dari DTH dapat dimisalkan oleh reaksi tuberculin. Ketika seorang individu pertama kali terekspos terhadap antigen protein dari tuberkel bacilli, sel CD4+ T nave mengenali peptida turunan antigen dan terkait dengan molekul kelas II pada permukaan APC. Hal ini memicu diferensiasi dari sel T CD4+ nave menjadi sel Th1. Induksi sel Th1 merupakan hal yang penting 5

karena ekspresi DTH bergantung pada sebagian besar sitokin yang disekresi oleh sel Th1. Beberapa sel Th1 akan memasukin sirkulasi dan tetap berada pada pool memori sel T untuk waktu yang lama. Atau injeksi intrakutan dari tuberculin pada seseorang yang sebelumnya terekspos tuberkel bacilli, dimana sel memori Th1 akan mengenali antigen yang ditampilkan APC dan teraktivasi. Sel-sel Th1 ini akan menyekresi sitokin, terutama IFN-, yang bertanggung jawab terhadap ekspresi DTH. Sitokin-sitokin yang paling relevan dalam reaksi ini dan kerja mereka adalah sbb:

IL-12, sitokin yang diproduksi makrofag dan sel dendritik, penting untuk induksi respons Th1 dan DTH. Pada tahap awal melawan mikroba, makrofag dan sel dendritik menyekresi IL-12, yang menginduksi diferensiasi sel T CD4+ menjadi sel Th1. Hal ini akan menyebabkan diproduksinya sitokin lain, yang disebutkan di bawah ini. IL-12 juga merupakan inducer poten dari sekresi IFN- oleh sel T dan sel NK. IFN- akan memperbanyak diferensiasi sel Th1. IFN- memiliki banyak efek dan merupakan mediator kunci pada DTH. Paling penting adalah merupakan aktivator makrofag yang kuat. Makrofag yang teraktivasi berperan dalam mengeliminasi antigen yang menyerang; jika aktivasi tetap berlangsung maka inflamasi tetap berlanjut dan terbentuk fibrosis. IL-2 menyebabkan proliferasi parakrin dan autokrin dari sel T, menyebabkan akumulasi di situs DTH. TNF dan limfotoksin merupakan 2 sitokin yang memiliki efek terhadap sel endotel: (1) peningkatan sekresi dari prostasiklin, yang meningkatkan aliran darah dan menyebabkan vasodilatasi lokal; (2) peningkatan ekspresi P-E-selektin, molekul adhesi yang mempromosikan penempelan limfosit dan monosit; dan (3) induksi dan sekresi kemokin seperti IL-8. Kemokin yang diproduksi sel T dan makrofag merekrut lebih banyak lagi leukosit ke situs reaksi. Tipe inflamasi ini terkadang disebut inflamasi imun.

Hipersensitivitas tipe IV merupakan mekanisme utama pertahanan terhadap beragam patogen intrasel, termasuk mycobacteria, jamur, dan parasit tertentu, dan juga berperan dalam rejeksi transplant dan imunitas tumor. Namun di sisi lain, DTH juga dapat menyebabkan penyakit. Dermatitis kontak merupakan contoh umum dari jejas jaringan yang disebabkan oleh DTH. Hal ini dapat terjadi akibat kontak dengan urushiol, komponen antigen dari poison ivy atau poison oak dan bermanifestasi dalam bentuk dermatitis vesikular. Mekanisme dasarnya mirip dengan yang dijelaskan sebelumnya untuk sensitivitas tuberculin. Pada pajanan berulang terhadap tanaman tersebut, sel CD4+ yang tersensitisasi terakumulasi di dermis, kemudian bermigrasi menuju antigen di epidermis. Di sana mereka melepaskan sitokin yang merusak keratinosit, menyebabkan pemisahan dari sel=sel ini dan pembentukan vesikel intraepidermal. T Cell-Mediated Cytotoxicity Pada varian hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ yang tersensitisasi membunuh sel target antigen. Sel efektor tersebut disebut cytotoxic T lymphocyte (CTL). Destruksi jaringan oleh CTL merupakan komponen penting dari banyak penyakit yang dimediasi sel T. CTL yang menyerang langsung antigen permukaan sel berperan penting dalam rejeksi graft. Hal ini juga berperan penting dalam resistensi terhadap infeksi virus. Pada sel yang terinfeksi virus, peptida virus terkait dengan molekul kelas 1 di dalam sel, dan keduanya ditransportasikan ke permukaan sel dalam 6

bentuk kompleks yang dikenali oleh TCR dari limfosit T CD8+ sitotoksik. Lisis dari sel yang terinfeksi menyebabkan eliminasi dari infeksi. Dua mekanisme utama dari kerusakan yang dimediasi sel T telah diketahui: (1) perforingranzyme-dependent killing, dan (2) Fas-Fas ligand-dependent killing. Perforin dan granzyme merupakan mediator yang telah dibentuk yang terdapat di dalam granula mirip lisosom dari CTL. Perforin dapat memperforasi membran plasma dari sel target yang sedang diserang limfosit CD8+. Pada awalnya, sel T CD8+ mendekati sel taget, kemudian terjadi polimerisasi dari molekul perforin yang dilepaskan dan insersinya ke membran sel target, menyebabkan terbentuknya lubang-lubang di membran. Granul-granul CTL mengandung protease yang disebut granzyme, yang diantarkan ke sel target melalui pori-pori yang dibentuk perforin. Saat berada di dalam sel, granzyme akan mengaktivasi kaspase, yang menginduksi apoptosis sel target. Sebagai tambahan, pori-pori perforin menyebabkan air masuk ke dalam sel, menyebabkan lisis osmotik. Fasdependent killing juga menginduksi apoptosis sel target namun dengan mekanisme yang berbeda. CTL mengekspresikan Fas ligan, molekul yang homolog dengan TNF, yang dapat terikat dengan Fas yang diekpresikan oleh sel target. Interaksi ini akan menyebabkan terjadi apoptosis. Referensi Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. Edisi 9. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010: p. 380-95.

Kumar, Abbas, Fausto. Robbins and Cotran: Pathologic basis of disease. 7th ed. China: Elsevier Saunders; 2005. Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology. 3rd ed. Elsevier Saunders; 2009: p. 201-7.

7