LP ELIMINASI

28
LAPORAN PENDAHULUAN KEBUTUHAN DASAR MANUSIA ELIMINASI Oleh : ENNO DIAN GUSDIANI L. S.Kep KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

Transcript of LP ELIMINASI

Page 1: LP ELIMINASI

LAPORAN PENDAHULUAN

KEBUTUHAN DASAR MANUSIA

ELIMINASI

Oleh :

ENNO DIAN GUSDIANI L. S.Kep

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEPERAWATAN

PURWOKERTO

2010

Page 2: LP ELIMINASI

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik

berupa urin atau bowel (feses). Miksi adalah proses pengosongan kandung

kemih bila kandung kemih terisi. Sistem tubuh yang berperan dalam

terjadinya proses eliminasi urine adalah ginjal, ureter, kandung kemih, dan

uretra. Proses ini terjadi dari dua langkah utama yaitu : Kandung kemih

secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya meningkat diatas nilai

ambang, yang kemudian mencetuskan langkah kedua yaitu timbul refleks

saraf yang disebut refleks miksi (refleks berkemih) yang berusaha

mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal, setidak-tidaknya

menimbulkan kesadaran akan keinginan untuk berkemih. Meskipun refleks

miksi adalah refleks autonomik medula spinalis, refleks ini bisa juga

dihambat atau ditimbulkan oleh pusat korteks serebri atau batang otak.

Kandung kemih dipersarafi araf saraf sakral (S-2) dan (S-3). Saraf

sensori dari kandung kemih dikirim ke medula spinalis (S-2) sampai (S-4)

kemudian diteruskan ke pusat miksi pada susunan saraf pusat. Pusat miksi

mengirim signal pada kandung kemih untuk berkontraksi. Pada saat destrusor

berkontraksi spinter interna berelaksasi dan spinter eksternal dibawah kontol

kesadaran akan berperan, apakah mau miksi atau ditahan. Pada saat miksi

abdominal berkontraksi meningkatkan kontraksi otot kandung kemih,

biasanya tidak lebih 10 ml urine tersisa dalam kandung kemih yang diusebut

urine residu. Pada eliminasi urine normal sangat tergantung pada individu,

biasanya miksi setelah bekerja, makan atau bangun tidur., Normal miksi

sehari 5 kali.

Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga

disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat

bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu.

Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik

Page 3: LP ELIMINASI

mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam

rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk

defekasi.

Eliminasi yang teratur dari sisa-sisa produksi usus penting untuk

fungsi tubuh yang normal. Perubahan pada eliminasi dapat menyebabkan

masalah pada gastrointestinal dan bagian tubuh yang lain. Karena fungsi usus

tergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pola eliminasi dan kebiasaan

masing-masing orang berbeda. Klien sering meminta pertolongan dari

perawat untuk memelihara kebiasaan eliminasi yang normal. Keadaan sakit

dapat menghindari mereka sesuai dengan program yang teratur. Mereka

menjadi tidak mempunyai kemampuan fisik untuk menggunakan fasilitas

toilet yang normal ; lingkungan rumah bisa menghadirkan hambatan untuk

klien dengan perubahan mobilitas, perubahan kebutuhan peralatan kamar

mandi. Untuk menangani masalah eliminasi klien, perawata harus mengerti

proses eliminasi yang normal dan faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi

B. Tujuan

1. Memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan eliminasi

urin

2. Memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan eliminasi

fekal

Page 4: LP ELIMINASI

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian

1. Gangguan Eliminasi Urin

Gangguan eliminasi urin adalah keadaan dimana seorang individu

mengalami atau berisiko mengalami disfungsi eliminasi urine. Biasanya

orang yang mengalami gangguan eliminasi urin akan dilakukan kateterisasi

urine, yaitu tindakan memasukan selang kateter ke dalam kandung kemih

melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine.

2. Gangguan Eliminasi Fekal

Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu

mengalami atau berisiko tinggi mengalami statis pada usus besar,

mengakibatkan jarang buang air besar, keras, feses kering. Untuk mengatasi

gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan huknah, baik huknah tinggi

maupun huknah rendah. Memasukkan cairan hangat melalui anus sampai ke

kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti.

B. Masalah-masalah pada Gangguan Eliminasi

1. Masalah-masalah dalam eliminasi urin :

a. Retensi, yaitu adanya penumpukan urine didalam kandung kemih dan

ketidak sanggupan kandung kemih untuk mengosongkan diri.

b. Inkontinensi urine, yaitu ketidaksanggupan sementara atau permanen

otot sfingter eksterna untuk mengontrol keluarnya urine dari kandung

kemih.

c. Enuresis, Sering terjadi pada anak-anak, umumnya terjadi pada malam

hari (nocturnal enuresis), dapat terjadi satu kali atau lebih dalam

semalam.

d. Urgency, adalah perasaan seseorang untuk berkemih.

e. Dysuria, adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih.

Page 5: LP ELIMINASI

f. Polyuria, Produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal,

seperti 2.500 ml/hari, tanpa adanya peningkatan intake cairan.

g. Urinari suppresi, adalah berhenti mendadak produksi urine

2. Masalah eliminasi fekal yang sering ditemukan yaitu:

a. Konstipasi, merupakan gejala, bukan penyakit yaitu menurunnya

frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses yang sulit, keras, dan

mengejan. BAB yang keras dapat menyebabkan nyeri rektum. Kondisi

ini terjadi karena feses berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak

air diserap.

b. Impaction, merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur, sehingga

tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa dikeluarkan. Impaction

berat, tumpukan feses sampai pada kolon sigmoid.

c. Diare, merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak

berbentuk. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat.

Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan

meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya feses menjadi encer

sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB.

d. Inkontinensia fecal, yaitu suatu keadaan tidak mampu mengontrol

BAB dan udara dari anus, BAB encer dan jumlahnya banyak.

Umumnya disertai dengan gangguan fungsi spingter anal, penyakit

neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor spingter anal eksternal.

Pada situasi tertentu secara mental pasien sadar akan kebutuhan BAB

tapi tidak sadar secara fisik. Kebutuhan dasar pasien tergantung pada

perawat.

e. Flatulens, yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal, dinding usus

meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram. Biasanya gas

keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus). Hal-hal yang

menyebabkan peningkatan gas di usus adalah pemecahan makanan

oleh bakteri yang menghasilkan gas metan, pembusukan di usus yang

menghasilkan CO2.

Page 6: LP ELIMINASI

f. Hemoroid, yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding rektum

(bisa internal atau eksternal). Hal ini terjadi pada defekasi yang keras,

kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati menahun. Perdarahan dapat

terjadi dengan mudah jika dinding pembuluh darah teregang. Jika

terjadi infla-masi dan pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal.

Kadang-kadang BAB dilupakan oleh pasien, karena saat BAB

menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami konstipasi.

C. Etiologi

1. Gangguan Eliminasi Urin

a. Intake cairan

Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang

mempengaruhi output urine atau defekasi. Seperti protein dan sodium

mempengaruhi jumlah urine yang keluar, kopi meningkatkan

pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan, akibatnya output

urine lebih banyak.

b. Aktivitas

Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus otot.

Eliminasi urine membutuhkan tonus otot kandung kemih yang baik

untuk tonus sfingter internal dan eksternal. Hilangnya tonus otot

kandung kemih terjadi pada masyarakat yang menggunakan kateter

untuk periode waktu yang lama. Karena urine secara terus menerus

dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu tidak pernah merenggang

dan dapat menjadi tidak berfungsi. Aktifitas yang lebih berat akan

mempengaruhi jumlah urine yang diproduksi, hal ini disebabkan

karena lebih besar metabolisme tubuh

c. Obstruksi; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, striktur urethra

d. Infeksi

e. Kehamilan

f. Penyakit; pembesaran kelenjar ptostat

g. Trauma sumsum tulang belakang

Page 7: LP ELIMINASI

h. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih,

urethra.

i. Umur

j. Penggunaan obat-obatan

2. Gangguan Eliminasi Fekal

a. Pola diet tidak adekuat/tidak sempurna:

Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses.

Cukupnya selulosa, serat pada makanan, penting untuk memperbesar

volume feses. Makanantertentu pada beberapa orang sulit atau tidak

bisa dicerna. Ketidakmampuan ini berdampak pada gangguan

pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan feses. Makan

yang teratur mempengaruhi defekasi. Makan yang tidak teratur dapat

mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada

waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu,

respon fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola

aktivitas peristaltik di colon.

b. Cairan

Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika

pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine,

muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh melanjutkan

untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang colon.

Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan

feses yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan

memperlambat perjalanan chyme di sepanjang intestinal, sehingga

meningkatkan reabsorbsi cairan dari chyme

c. Meningkatnya stress psikologi

Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit-

penyakit tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis,

bisa jadi mempunyai komponen psikologi. Diketahui juga bahwa

beberapa orang yagn cemas atau marah dapat meningkatkan aktivitas

Page 8: LP ELIMINASI

peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi orang yagn depresi bisa

memperlambat motilitas intestinal, yang berdampak pada konstipasi

d. Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.

Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan gerak

peristaltic dan dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rectum

dalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga feses

mengeras

e. Obat-obatan

Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh

terhadap eliminasi yang normal. Beberapa menyebabkan diare; yang

lain seperti dosis yang besar dari tranquilizer tertentu dan diikuti

dengan prosedur pemberian morphin dan codein, menyebabkan

konstipasi. Beberapa obat secara langsung mempengaruhi eliminasi.

Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus dan

memudahkan eliminasi feses. Obat-obatan ini melunakkan feses,

mempermudah defekasi. Obat-obatan tertentu seperti dicyclomine

hydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan kadang-

kadang digunakan untuk mengobati diare

f. Usia; Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga

pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya

sampai sistem neuromuskular berkembang, biasanya antara umur 2 –

3 tahun. Orang dewasajuga mengalami perubahan pengalaman yang

dapat mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di antaranya

adalah atony (berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot-otot

polos colon yang dapat berakibat pada melambatnya peristaltik dan

mengerasnya (mengering) feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot

perut yagn juga menurunkan tekanan selama proses pengosongan

lambung. Beberapa orang dewasa juga mengalami penurunan kontrol

terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada proses

defekasi.

Page 9: LP ELIMINASI

g. Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan

pada spinal cord dan tumor.

Cedera pada sumsum tulang belakan dan kepala dapat menurunkan

stimulus sensori untuk defekasi. Gangguan mobilitas bisa membatasi

kemampuan klien untuk merespon terhadap keinginan defekasi ketika

dia tidak dapat menemukan toilet atau mendapat bantuan. Akibatnya,

klien bisa mengalami konstipasi. Atau seorang klien bisa mengalami

fecal inkontinentia karena sangat berkurangnya fungsi dari spinkter

ani

D. Faktor predisposisi/Faktor pencetus

1. Respon keinginan awal untuk berkemih atau defekasi.

Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan mengabaikan respon awal untuk

berkemih atau defekasi. Akibatnya urine banyak tertahan di kandung kemih.

Begitu pula dengan feses menjadi mengeras karena terlalu lama di rectum dan

terjadi reabsorbsi cairan.

2. Gaya hidup.

Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal eliminasi urine

dan defekasi. Tersedianya fasilitas toilet atau kamar mandi dapat

mempengaruhi frekuensi eliminasi dan defekasi. Praktek eliminasi keluarga

dapat mempengaruhi tingkah laku.

3. Stress psikologi

Meningkatnya stress seseorang dapat mengakibatkan meningkatnya frekuensi

keinginan berkemih, hal ini karena meningkatnya sensitif untuk keinginan

berkemih dan atau meningkatnya jumlah urine yang diproduksi.

4. Tingkat perkembangan.

Tingkat perkembangan juga akan mempengaruhi pola berkemih. Pada wanita

hamil kapasitas kandung kemihnya menurun karena adanya tekanan dari fetus

atau adanya lebih sering berkemih. Pada usia tua terjadi penurunan tonus otot

kandung kemih dan penurunan gerakan peristaltik intestinal.

5. Kondisi Patologis.

Page 10: LP ELIMINASI

Demam dapat menurunkan produksi urine (jumlah & karakter).

6. Obat-obatan, diuretiik dapat meningkatkan output urine. Analgetik dapat

terjadi retensi urine.

E. Patofisiologi

1. Gangguan Eliminasi Urin

Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah dijelaskan

di atas. Masing-masing gangguan tersebut disebabkan oleh etiologi yang

berbeda. Pada pasien dengan usia tua, trauma yang menyebabkan cedera

medulla spinal, akan menyebabkan gangguan dalam mengkontrol urin/

inkontinensia urin. Gangguan traumatik pada tulang belakang bisa

mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis. Lesi traumatik pada medulla

spinalis tidak selalu terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur atau

dislokasi. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek

traumatiknya bisa mengakibatkan efek yang nyata di medulla spinallis. Cedera

medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan fungsi

saraf termasuk pada persyarafan berkemih dan defekasi.

Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik

dikaitkan dengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan sebagai

syok spinal. Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada

medulla spinalis (areflexia) di bawah tingkat cedera. Dalam kondisi ini, otot-

otot yang dipersyarafi oleh bagian segmen medulla yang ada di bawah tingkat

lesi menjadi paralisis komplet dan fleksid, dan refleks-refleksnya tidak ada.

Hal ini mempengaruhi refleks yang merangsang fungsi berkemih dan defekasi.

Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi refleks yang dapat

diatasi dengan dekompresi usus (Brunner & Suddarth, 2002). Hal senada

disampaikan Sjamsuhidajat (2004), pada komplikasi syok spinal terdapat

tanda gangguan fungsi autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat

dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan

defekasi.

Page 11: LP ELIMINASI

Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu pengisian dan

penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling

berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung kemih

dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem saraf

otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis

terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan

resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan

sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan

peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal uretra.

Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang

simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh

sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu

asetilkholin, suatu agen kolinergik. Selama fase pengisian, impuls afferen

ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral

segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak

menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase

pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral

dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.

Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi

pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus

pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna.

Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi saluran yang minimal. Pasien post

operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan

retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan

edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural anestesi,

obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik,

nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang

mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine

pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung

kemih yang adekuat.

Page 12: LP ELIMINASI

2. Gangguan Eliminasi Fekal

Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga

disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat

bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu.

Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik

mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam

rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk

defekasi.

Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks

defekasi instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan

dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus

mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon

sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus.

Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak

menutup dan bila spingter eksternal tenang maka feses keluar.

Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam

rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 – 4) dan

kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal –

sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan

spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter

anus individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal tenang

dengan sendirinya.

Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan

diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh kontraksi

muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan feses melalui

saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi paha yang

meningkatkan tekanan di dalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan

tekanan kebawah kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika

defekasi dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus

spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara berulang dapat

Page 13: LP ELIMINASI

menghasilkan rektum meluas untuk menampung kumpulan feses. Cairan feses

di absorpsi sehingga feses menjadi keras dan terjadi konstipasi.

F. Tanda dan gejala

1. Tanda Gangguan Eliminasi urin

a. Retensi Urin

1). Ketidak nyamanan daerah pubis.

2). Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih.

3). Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang.

4). Meningkatnya keinginan berkemih dan resah

5). Ketidaksanggupan untuk berkemih

b. Inkontinensia urin

1). pasien tidak dapat menahan keinginan BAK sebelum sampai di WC

2). pasien sering mengompol

2. Tanda Gangguan Eliminasi Fekal

a. Konstipasi

1). Menurunnya frekuensi BAB

2). Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan

3). Nyeri rektum

b. Impaction

1). Tidak BAB

2). anoreksia

3). Kembung/kram

4). nyeri rektum

c. Diare

1). BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk

2). Isi intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat

3). Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan

meningkatkan sekresi mukosa.

Page 14: LP ELIMINASI

4). feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan

menahan BAB.

d. Inkontinensia Fekal

1). Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus,

2). BAB encer dan jumlahnya banyak

3). Gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal

cord dan tumor spingter anal eksternal

e. Flatulens

1). Menumpuknya gas pada lumen intestinal,

2). Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram.

3). Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus (flatus)

f. Hemoroid

1). pembengkakan vena pada dinding rectum

2). perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang

3). merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi

4). nyeri

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan USG

2. Pemeriksaan foto rontgen

3. Pemeriksaan laboratorium urin dan feses

H. Pengkajian

1. Riwayat keperawatan eliminasi

Riwayat keperawatan eliminasi fekal dan urin membantu perawat

menentukan pola defekasi normal klien. Perawat mendapatkan suatu

gambaran feses normal dan beberapa perubahan yang terjadi dan

mengumpulkan informasi tentang beberapa masalah yang pernah terjadi

berhubungan dengan eliminasi, adanya ostomy dan faktor-faktor yang

mempengaruhi pola eliminasi.

Page 15: LP ELIMINASI

Pengkajiannya meliputi:

a. Pola eliminasi

b. Gambaran feses dan perubahan yang terjadi

c. Masalah eliminasi

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi seperti : penggunaan alat bantu,

diet, cairan, aktivitas dan latihan, medikasi dan stress.

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik abdomen terkait dengan eliminasi alvi meliputi

inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi dikhususkan pada saluran

intestinal. Auskultasi dikerjakan sebelum palpasi, sebab palpasi dapat

merubah peristaltik. Pemeriksaan rektum dan anus meliputi inspeksi dan

palpasi. Inspeksi feses, meliputi observasi feses klien terhadap warna,

konsistensi, bentuk permukaan, jumlah, bau dan adanya unsur-unsur

abdomen. Perhatikan tabel berikut :

KARAKTERISTIK FESES NORMAL DAN ABNORMAL

Karakteristik Normal Abnormal Kemungkinan penyebab

Warna Dewasa : kecoklatan

Bayi : kekuningan

Pekat / putih Adanya pigmen empedu (obstruksi empedu); pemeriksaan diagnostik menggunakan barium

Hitam / spt ter. Obat (spt. Fe); PSPA (lambung, usus halus); diet tinggi buah merah dan sayur hijau tua (spt. Bayam)

Merah PSPB (spt. Rektum), beberapa makanan spt bit.

Pucat Malabsorbsi lemak; diet tinggi susu dan produk susu dan rendah daging.

Page 16: LP ELIMINASI

Orange atau hijau

Infeksi usus

Konsistensi Berbentuk, lunak, agak cair / lembek, basah.

Keras, kering Dehidrasi, penurunan motilitas usus akibat kurangnya serat, kurang latihan, gangguan emosi dan laksantif abuse.

Diare Peningkatan motilitas usus (mis. akibat iritasi kolon oleh bakteri).

Bentuk Silinder (bentuk rektum) dgn Æ 2,5 cm u/ orang dewasa

Mengecil, bentuk pensil atau seperti benang

Kondisi obstruksi rektum

Jumlah Tergantung diet (100 – 400 gr/hari)

Bau Aromatik : dipenga-ruhi oleh makanan yang dimakan dan flora bakteri.

Tajam, pedas Infeksi, perdarahan

Unsur pokok

Sejumlah kecil bagian kasar makanan yg tdk dicerna, potongan bak-teri yang mati, sel epitel, lemak, protein, unsur-unsur kering cairan pencernaan (pigmen empedu dll)

Pus Mukus ParasitDarahLemak dalam

jumlah besar

Benda asing

Infeksi bakteriKonsidi peradanganPerdarahan

gastrointestinalMalabsorbsiSalah makan

3. Pemeriksaan Diagnostik

Page 17: LP ELIMINASI

Pemeriksaan diagnostik saluran gastrointestinal meliputi tehnik visualisasi

langsung / tidak langsung dan pemeriksaan laboratorium terhadap unsur-

unsur yang tidak normal.

I. Diagnosa Keperawatan

1. Perubahan dalam eliminasi urine berhubungan dengan retensi urine,

inkontinensi dan enuresis

2. Perubahan dalam eliminasi fekal berhubungan dengan konstipasi, diare,

inkontinensia usus, hemoroid, impaction

3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya inkontinensi urine

4. Perubahan dalam rasa nyaman berhubungan dengan dysuria, nyeri saat

mengejan

5. Resiko infeksi berhubungan dengan retensi urine, pemasangan kateter

6. Perubahan konsep diri berhubungan dengan inkontinensi

7. Self care defisit : toileting jika klien inkontinesi

8. Potensial defisit volume cairan berhubungan dengan gangguan fungsi

saluran urinary akibat proses penyakit

Page 18: LP ELIMINASI

Daftar Pustaka

Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Eliminasi. Terdapat pada :

http://911medical.blogspot.com/2007/06/asuhan-keperawatan-klien-dengan-

masalah.html

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. enerbit

Kedokteran EGC: Jakarta.

Harnawatiaj. 2010. Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Fekal.

Terdapat pada : http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/14/konsep-dasar-

pemenuhan-kebutuhan-eliminasi-fecal/

Septiawan, Catur E. 2008. Perubahan Pada Pola Urinarius. Terdapat pada:

www.kiva.org

Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Medikal Bedah. Penerbit Kedokteran EGC:

Jakarta.

Supratman. 2000. askep Klien Dengan Sistem Perkemihan

Andi Visi Kartika. Retensi Urin Pospartum.

Http://www.jevuska.com/2007/04/19/retensi-urine-post-partum

Siregar, c. Trisa , 2004, Kebutuhan Dasar Manusia Eliminasi BAB, Program Studi

Ilmu Keprawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Johnson M., Meridean, M., Moorhead, 2000. NANDA, NIC, NOC. PENERBIT:

MOSBY