LONTAR

20
Media Informasi VECO Indonesia Edisi 1 September 2008 Consolidating a Scattered Agriculture Chain From Land Conflict to Processing of Agricultural Products Helping Producers, Empowering Consumers

description

LONTAR adalah media internal VECO Indonesia yang terbit setiap tiga bulan sekali. Tabloid ini berisi berbagai kegiatan VECO Indonesia di daerah program

Transcript of LONTAR

Page 1: LONTAR

M e d i a I n f o r m a s i V E C O I n d o n e s i a

Edisi 1September 2008

Consolidating a ScatteredAgriculture Chain

From Land Conflict to Processingof Agricultural Products

Helping Producers, Empowering Consumers

Page 2: LONTAR

Pengantar

Lontar (n) daun pohon lontar (Borassus flabellifer) yang digunakan untuk menulis cerita; (n) naskah kuno yang tertulis pada daun lontar; (v) melempar. Maka Lontar bagi kami adalah kata kerja (v) sekaligus kata benda (n). Lontar adalah media informasi untuk menyampaikan informasi tentang pertanian yang memperhatikan nilai-nilai lokal, sesuatu yang terus VECO Indonesia perjuangkan.

Tim RedaksiPenasihat: Rogier Eijkens. Penanggungjawab: Imam Suharto. Penulis: Anton Muhajir. Fotografer: Jelle Goossens.

Alamat RedaksiVECO IndonesiaJl Kerta Dalem No 7 Sidakarya DenpasarTelp: 0361- 7808264, Fax: 0361- 723217Email: [email protected] [email protected]

M e d i a I n f o r m a s i V E C O I n d o n e s i a

Daftar isi

Hal 3

Hal 8

Hal 14

Memadukan Rantai Pertanian yang BerserakanConsolidating a Scattered Agriculture Chain

Dari Rebutan Lahan ke Pengolahan Hasil PertanianFrom Land Conflict to Processing of Agricultural Products

Membantu Produsen, Mengingatkan KonsumenHelping Producers, Empowering Consumers

Pembuka

Kata Pengantar VECO Indonesia Hal 2

Edisi 1September 2008

Foreword

Following on from its success in low external input sustainable agriculture (LEISA), VECO Indonesia has made some changes to its programme for the period 2008-2013. For the next six years, VECO Indonesia will focus on four areas: Sustainable Agriculture Chain Development (SACD), Advocacy, Consumer Awareness and Learning Organization.

The purpose of the new SACD programme is to turn existing, dissipated agricultural chains into integrated sustainable agriculture chains. Production, marketing, collaboration with multi stakeholders, and gender equity are now priority areas.

The following articles are examples of VECO Indonesia’s SACD, advocacy and consumer awareness programmes. Each programme has taken outstanding examples from one particular region. For the SACD programme, the examples are the production success in Munting, Manggarai Barat; the ability of small farmers in Lontoh village, Manggarai Barat to organise themselves; and the coffee farmers’ marketing group in Arus, Manggarai.

The advocacy programme selected activities in Watuata Nature Reserve, Ngada, and post-harvest management in Nagekeo district, Flores. These two are examples of land advocacy and post-harvest management advocacy. For consumer awareness, a new programme, the examples were Boyolali district and Solo, Jawa Tengah.

As a learning organisation, VECO Indonesia hopes to learn from these three sample programmes. And we hope that you will learn from them, too.

Denpasar, July 2008

Rogier EijkensCountry Representative

Jl Kerta Dalem No 7 Sidakarya DenpasarTelp: 0361- 7808264, Fax: 0361- 723217

Consolidating a Scattered Agriculture Chain

Dari Rebutan Lahan ke Pengolahan Hasil PertanianFrom Land Conflict to Processing of Agricultural Products

Membantu Produsen, Mengingatkan KonsumenHelping Producers, Empowering ConsumersHelping Producers, Empowering Consumers

Melanjutkan keberhasilannya di bidang low external input for sustainable agriculuture (LEISA), VECO Indonesia pun mengubah programnya pada tahun program 2008-2013. Enam tahun ke depan, VECO Indonesia melaksanakan empat fokus program yaitu sustainable agriculture chain development (SACD), advokasi, consumer awareness (penyadaran konsumen), dan organizational learning.

SACD sebagai program baru dilaksanakan untuk menggabungkan rantai pertanian berkelanjutan yang selama ini masih berserak, terpisah satu sama lain. Aspek produksi, pemasaran, kerjasama dengan multi stake holder, dan kesetaraan gender merupakan hal-hal yang kini mendapat prioritas.

Tulisan berikut merupakan contoh program-program VECO Indonesia di bidang SACD, advokasi, dan consumer awareness. Tiap program ini mengambil contoh di satu daerah dengan kegiatan yang menonjol. Untuk program SACD, contoh yang diambil adalah keberhasilan produksi di Desa Munting, Manggarai Barat; kemampuan petani kecil untuk mengorganisir diri di Desa Lontoh, Manggarai Barat; dan kelompok pemasaran petani kopi di Desa Arus, Manggarai.

Adapun contoh program advokasi mengambil program di kawasan Cagar Alam Watuata, Ngada serta penanganan pasca-panen di Kabupaten Nagekeo, Flores. Dua tempat ini memadukan contoh advokasi kepemilikan lahan serta advokasi di bidang penanganan pasca-panen. Sedangkan consumer awareness, sebagai program baru, mengambil contoh di Kabupaten Boyolali dan Solo, Jawa Tengah.

Tiga contoh program tersebut kami harapkan bisa menjadi sarana untuk belajar sehingga VECO Indonesia sebagai learning organization bisa terwujud. Kami berharap, pembaca pun bisa belajar seperti kami.

Denpasar, Juli 2008

Rogier EijkensCountry Representative

Page 3: LONTAR

Program I: Pengembangan Rantai Pertanian BerkelanjutanProgramme I: Sustainable Agriculture Chain Development (SACD)

Rovinia Jenia, 28 tahun, semangat bercerita. Dia mengangkat tutup lancing (tempat penyimpanan gabah) di gudang lalu menunjukkan gabah di dalamnya. “Di sini kami bisa menyimpan gabah sampai dua bulan,” katanya. Lancing, wadah dari anyaman bambu, itu jadi tempat menyimpan gabah sekaligus harapan.

Sebelum 2004, Jenia dan petani lain di Desa Munting, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat tidak menyimpan hasil pertanian mereka dalam lancing. Mereka sudah menjualnya ke tengkulak ketika padi masih hijau. Sistem ijon ini tak hanya merugikan tapi juga menjebak petani dalam lingkaran hutang.

Petani di desa ini hanya menghitung padi secara kasar. Karena butuh uang, petani tidak punya posisi tawar. Apalagi secara sosial ekonomi, posisi mereka memang lebih rendah dibandingkan

tengkulak.

Rovinia Jenia, 28, chats happily as she lifts the lid of the rice storage container (lancing) and shows off the rice inside. “We can keep unhulled rice in here for up to two months,” she says. The woven bamboo lancing is a container for storing rice, and dreams.

Before 2004, Jenia and other farmers in Munting village in the Lembor subdistrict of Manggarai Barat did not store their rice in lancing. They had sold it all to middlemen before it had even ripened in the fields. Farmers lose out from this so-called ijon

system, and it traps them in a cycle

of debt.

Petani kalah meski potensi mereka sangat berlimpah.

Desa Munting berbeda dengan daerah lain di Flores, pulau dengan ribuan bukit. Desa ini berlokasi di kawasan lembah, dikepung bukit-bukit dengan sumber air berlimpah. Tiga bendungan besar yaitu Wae Kanta, Wae Rago, dan Wae Sele menyediakan air sepanjang tahun di kawasan seluas 5.100 hektar di Desa Munting dan sekitarnya. Daerah ini adalah penghasil padi utama di Manggarai Barat, bahkan Flores.

Namun, penggunaan benih, pupuk, dan pestisida kimia berlebihan untuk menghasilkan padi sebanyak-

Farmers in this village only had a rough idea of the value of their rice. Because they were in desperate need of cash, they had no bargaining position. And their socio-economic position was much lower than that of the middlemen. Farmers lost out, despite their vast potential.

Munting village is different from other parts of Flores, an island covered in hills. This village is in a valley nestling in the hills, with an abundant supply of water. Three big reservoirs—Wae Kanta, Wae Rago, and Wae Sele—supply water year round to this 5,100 ha area in Munting village and neighbouring areas. This is the rice producing centre not just of Manggarai Barat, but of Flores.

But excessive use of chemical seed,

fertiliser, and pesticides to maximise yields had

VECO Indonesia merajut rantai pengembangan pertanian berkelanjutan dari produksi hingga pemasaran.

VECO Indonesia knits sustainable agriculture chain development, from production to marketing.

Consolidating a Scattered Agriculture Chain

Page 4: LONTAR

banyaknya justru jadi bumerang. Petani pun bergantung pada asupan luar sangat tinggi dan mengeluarkan biaya lebih banyak meski harus hutang ke tengkulak. Untuk membayar hutang, petani menjual padi ke tengkulak di mana harganya ditentukan secara sepihak oleh tengkulak.

Kondisi ini berubah setelah pada 2004, Yayasan Komodo Indonesia Lestari (Yakines), LSM di bidang konservasi lingkungan hidup dan pertanian berkelanjutan, memulai program di Desa Munting melalui penerapan System of Rice

Intensification (SRI). Yakines merupakan mitra VECO Indonesia di Flores yang mendapat bantuan teknis, pelatihan, dan dana program.

Ketika masih menggunakan pestisida kimia, hama wereng dan walang sangit lebih banyak. Setelah menerapkan pestisida organik hamanya berkurang. Hasil padi pun meningkat hampir dua kali lipat. Dulu hanya menghasilkan 4-5 ton per hektar, sekarang bisa mencapai 8-9 ton per hektar. Petani juga sadar perlunya berorganisasi. Ketika masih bertani anorganik, petani malas berkelompok karena bisa melakukan pekerjaan sendiri. Namun dengan pertanian organik, petani harus saling membantu dari mengolah tanah hingga memanen. Lahirlah kelompok tani.

Suksesnya kelompok tani mendorong berdirinya Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP) yang juga mengurus lumbung pangan. Petani menyimpan gabah di lancing untuk bibit dan pangan selama

a boomerang effect. Farmers were almost completely dependent on external inputs, and costs spiralled. Meanwhile loans still had to be repaid to the middlemen. To do this, the farmers sold their rice to middlemen at whatever price they asked.

Things changed in 2004, when Yayasan Komodo Indonesia Lestari (Yakines), an NGO working for environmental conservation and sustainable agriculture, started a programme in Munting that adopted the system of rice intensification (SRI). Yakines is a partner of VECO Indonesia in Flores that receives technical assistance, training and programme funding support.

When the farmers still used chemical pesticides, infestation of rice stem borers and green paddy bugs were a huge problem. After switching to organic pesticides, the were fewer pest infestations. And yields increased almost two fold. From 4-5 tons per hectare, to up to 8-9 tons per hectare today. The farmers are also aware of the need to organise. When practicing non organic farming, they could not be bothered to organise in groups because they could do

the work by themselves. But with organic farming, the farmers have to help each other do everything from work the soil to harvest the crops. So farmer groups were born.

The success of the farmer groups promoted the establishment of a credit union, which is also responsible for management of the rice storage. Farmers store their unhulled rice in lancing to be used as seed and for food during the fallow season, and to put into storage to provide food for the farmers and to send their children to school in Labuan Bajo. “Now the group members can think about sending their children to town to get an education,” explains Jenia.

The problem of productivity had been solved. But now they faced a new problem: marketing. “The problem we had was that we didn’t have enough buyers, and the price of organic rice is much higher than the price of non-organic,” says Gabriela Uran, Director Yakines. So the credit union, set up in 2005, started marketing the rice in the towns, cutting out the middlemen.

Munting farmers, with the help of Yakines, market door to door. Their customers include civil

Petani perempuan di Manggarai Barat menjemur padi organik.

Program I: Pengembangan Rantai Pertanian BerkelanjutanProgramme I: Sustainable Agriculture Chain Development (SACD)

Page 5: LONTAR

musim bera serta beras di lumbung untuk kebutuhan pangan dan anak-anak mereka yang sekolah di Labuan Bajo. “Sekarang kami anggota kelompok bisa memikirkan pendidikan anak-anaknya di kota,” ujar Jenia.

Masalah di tingkat produksi memang sudah selesai. Namun mereka menghadapi masalah baru: pemasaran. “Kami menghadapi masalah kurangnya pembeli dan harga yang tidak jauh berbeda dengan beras anorganik,” kata Gabriela Uran, Direktur Yakines. Maka sejak berdiri pada 2005, UBSP melakukan kegiatan pemasaran ke kota, tanpa lewat tengkulak.

Petani Desa Munting, dengan bantuan Yakines melakukan pemasaran secara door to door. Konsumennya antara lain pegawai negeri sipil,

masyarakat umum, dan anggota LSM sendiri. Pemasaran dengan cara ini bisa memutus panjangnya rantai pemasaran produk pertanian.Sejalan dengan makin baiknya UBSP, muncul pula kesadaran baru di tingkat petani untuk menghargai perempuan. Sebab seluruh anggota UBSP adalah petani perempuan. Sebelumnya perempuan hanya dilibatkan dalam pekerjaan seperti menanam, merawat, dan menanam. Perempuan jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan seperti rapat atau dalam pelatihan.

“Namun seiring dengan peningkatan pengetahuan perempuan serta kesadaran terhadap isu-isu terkait, perempuan mulai berani untuk bersuara. Mereka terlibat diskusi dengan DPR dan pemda, termasuk bupati,” kata Ela.

servants, members of the public, and members of the NGO itself. Marketing in this way breaks the long agricultural product marketing chain. As the credit union improved, so a new awareness of respect for women grew among the farmers. Because all the members of the credit union are women farmers. Previously, women hand only been involved in work like planting, weeding and harvesting. They were seldom involved in decision making at meetings or in training.

Program I: Pengembangan Rantai Pertanian BerkelanjutanProgramme I: Sustainable Agriculture Chain Development (SACD)

Petani di Desa Munting sudah menyelesaikan masalah produksi. Namun, masalahnya, petani di desa itu terlihat masih menghadapi masalah lain yaitu susahnya pemasaran.

Masalah ini terjadi pula di

Desa Arus,

“But now, as the women’s knowledge and awareness of issues has grown, they are beginning to have the courage to speak out. They have been involved in discussions with local parliament and local government, including the district head,” says Ela.

Farmers in Muting have solved their production problems. But now they have another problem: difficulties with marketing.

This is also a problem in Arus village in the Poco Ranaka subdistrict of Manggarai in Flores. As well as producing rice for their own consumption, farmers in this village in the Bantang Camang

Kecamatan Poco Ranaka, Kabupaten Manggarai, Flores. Selain padi untuk konsumsi sendiri-sendiri, petani di desa yang berada di tengah perbukitan Bantang Camang ini juga memproduksi kopi. Namun, mereka menghadapi masalah

Desa Arus Memutus Panjangnya Rantai PemasaranArus Village Breaks the Long Marketing Chain

Page 6: LONTAR

Petani di Desa Arus memeriksa tanaman kopi.

Laporan penjualan kopi di kelompok pemasaran.

6

Program I: Pengembangan Rantai Pertanian BerkelanjutanProgramme I: Sustainable Agriculture Chain Development (SACD)

klasik melawan tengkulak yaitu sistem ijon.

Sadar bahwa tengkulak makin menghisap mereka, maka para petani pun mendirikan koperasi pada 25 November 2002. Petani pun tidak perlu hutang uang pada tengkulak ketika musim paceklik. Cukup dengan membayar Rp 3000 per bulan, mereka bisa meminjam uang di koperasi mereka sendiri dengan bunga 2 persen tiap bulan. “Kalau untung juga larinya untuk kami sendiri,” kata Donatus Matur, Ketua Kelompok Petani Bantang Camang.

Dari 10 petani ketika baru berdiri, anggota koperasi saat ini sudah 45 orang. Sebagian anggotanya dari desa lain, tidak hanya Desa Arus. Komposisinya hampir separuh laki-laki, separuh perempuan. Makin banyaknya petani jadi anggota, menurut Matur, karena petani merasa terbantu oleh koperasi. Misal, mudahnya akses ke Dinas Koperasi untuk mendapat kredit lunak dengan bunga 1 persen dan bisa dicicil selama 24 bulan.

Namun, petani masih mendapat masalah pemasaran kopi. Misal harga yang tergantung

pada pembeli, transportasi yang terlalu jauh, dan terbatasnya areal pemasaran. Maka, Delsos, LSM di Ruteng, Manggarai, punmendorong adanya kelompok pemasaran bagi petani setempat pada September 2004. Kelompok pemasaran ini melengkapi kelompok tani dan kelompok perempuan di desa ini.

Dengan bantuan dari VECO Indonesia, Delsos memfasilitasi pendirian koperasi. Tidak hanya membantu modal Rp 10 juta, Delsos juga menyumbang alatpemecah kulit kopi.

Kelompok Pemasaran ini berbeda dengan koperasi. Koperasi menekankan pada aspek simpan pinjam, sedangkan kelompok pemasaran menekankan upaya pemasaran yang lebih memihak pada petani kecil di desa ini. Sebelum ada kelompok pemasaran, petani harus menjual kopi mereka sendiri ke kota. Dengan jarak sangat jauh dan jalan tidak bagus, petani perlu biaya besar untuk menjual kopi tersebut ke Ruteng, Ibu kota Kabupaten Manggarai, sekiatr 40 km dari desa Arus.

mountains also produce coffee. But they had the classic problem of fighting middlemen and the ijon system.

Realising that the middlemen were sucking them dry, the farmers set up a cooperative on November 22, 2002. They no longer had to borrow money from middlemen during the fallow season. By paying in just Rp 3,000 a month, they were entitled to borrow from their own cooperative, at 2 percent a month. “That way, the profit goes back to us, too,” says Donatus Matu, head of the Bantang Camang farmer group.

From an original membership of 10, the cooperative now has 45 members. Some are from other villages. Around half are men, half women. More and more farmers are joining the group, says Matur, because they believe that the cooperative helps them. For example, it facilitates

access to the local government agency for cooperatives, where they can get soft loans at 1% interest, repayable over 24 months.

But the farmers still had a problem marketing their coffee. Prices set by buyers, high cost of transport, and the limited market were just some of the difficulties they faced. So, Delsos, an NGO in Ruteng, Manggarai, encouraged the local farmers to set up a marketing group in September 2004 This marketing group complements the farmer groups and women groups in this village.

With assistance from VECO Indonesia, Delsos facilitated the establishment of a cooperative. In addition to capital of Rp 10 million, Delsos also contributed a coffee peeler.

This marketing group is different from the cooperative. While the

Page 7: LONTAR

7

Program I: Pengembangan Rantai Pertanian BerkelanjutanProgramme I: Sustainable Agriculture Chain Development (SACD)

Menurut Matur, dulu biaya transportasi membawa kopi ke Ruteng bisa sampai Rp 1,5 juta per petani. Namun sekarang cukup Rp 300 ribu per orang. “Kami tinggal urunan untuk bayar transportasi ke kota,” katanya. Karena dilakukan secara berkelompok, maka petani juga memiliki posisi tawar lebih tinggi.

Untuk menjaga posisi tawar dalam penentuan harga itu, maka petani membuat struktur kelompok pemasaran tersebut. Selain pengurus seperti ketua, sekretaris,

dan bendahara, ada beberapa

orang yang bertugas untuk kegiatan khusus.

Antara lain seksi

lobi bertugas melakukan lobi

konsumen dan penentuan

harga sedangkan seksi informasi bertugas mencari info harga kopi di pasar sebagai referensi untuk seksi lobi.

Selain itu, adanya kelompok pemasaran juga memudahkan petani kopi untuk mendapat informasi lain di luar daerah, seperti trend pemasaran kopi secara nasional maupun global. Peningkatan kapasitas ini dilakukan melalui kerjasama dengan pihak lain yang juga mitra VECO Indonesia. Misalnya melalui pelatihan pasca-panen kopi, magang di daerah lain untuk anggota kelompok pemasaran, studi banding koperasi, hingga business coffee meeting di Jakarta.

Saat ini, tengkulak dan sistem ijon memang masih ada di Desa Arus, namun setidaknya makin berkurang. Makin sedikit petani yang berhutang pada tengkulak. “Kami pun makin sadar pada masalah lain di luar pertanian seperti kesehatan dan pendidikan. Kami yakin anak cucu kami akan lebih baik dari kami saat ini,” kata Matur.

cooperative focuses on the savings-loan aspect, the marketing group concentrates on fairer marketing for the small farmers in this village. Before the marketing group, farmers had to go to town to sell their coffee themselves. The farmers had to pay out a substantial amount for the long and rough journey to Ruteng, the district capital of Manggarai, about 40 km from Arus.

Matur says that in the past, farmers had to spend up to Rp 1.5 million each to get their coffee to Ruteng. But now, they only have to pay Rp 300,000 each. “We just have to chip in for the cost of transport to town,” he continues. Because they are doing it together, the farmers have a stronger bargaining position.

To maintain their bargaining position, the farmers made a structure for the marketing group. As well as a board, with a chair, secretary and treasurer, for example, several people have been appointed to specific tasks. The job of the lobby

section, for instance, is to lobby consumers and set prices, and the information section sources information on coffee prices for the lobby section to use as a reference.

The marketing group also makes it easier for coffee farmers to get external information, such as information about trends on the national and global coffee markets. This capacity building is done in collaboration with other VECO partners. For example post-harvest coffee training, internships in other locations for members of the marketing group, comparative studies of cooperatives, and business coffee meetings in Jakarta.

Middlemen and the ijon system are still to be found in Arus, but less so than in the past. Fewer farmers are in debt to middlemen. “We have even become more aware for issues outside agriculture, such as health and education. We believe that our grandchildren will be better off than we are,” says Matur.

ada beberapa orang yang

bertugas untuk kegiatan khusus.

Antara lain seksi lain seksi

lobi bertugas melakukan lobi

konsumen dan penentuan

studi banding koperasi, hingga business coffee meeting di Jakarta.

dan sistem ijon memang masih ada di Desa Arus, namun setidaknya makin namun setidaknya makin berkurang. Makin sedikit petani yang berhutang pada tengkulak. “Kami pun makin sadar pada masalah lain di luar pertanian seperti kesehatan dan pendidikan. Kami yakin anak cucu kami akan lebih baik dari kami saat ini,” kata Matur.kata Matur.

lain seksi lain seksi lobi bertugas

melakukan lobi konsumen dan penentuan

anak cucu kami akan lebih baik dari kami saat ini,” kata Matur.

Page 8: LONTAR

Sejak sebelum Indonesia merdeka, warga adat di tepi hutan Watuata, Kabupaten Ngada sudah hidup dari hasil pertanian mereka termasuk kopi. “Kami sudah di sini sejak zaman Belanda,” kata Vinsensius Loki, petani di kawasan sekitar 10 km barat kota Ngada itu. Hutan itu sekaligus tempat warga adat untuk menjaga hubungan dengan leluhur. “Kami punya cara sendiri untuk menjaga hutan,” tambahnya.

Pada 5 Mei 1992, Menteri Kehutanan menetapkan kawasan itu sebagai Kawasan Cagar Alam. Melalui Surat

Keputusan No 432, warga

adat dilarang masuk

Since before Indonesian independence, agriculture—including coffee farming— has been a way of life for villagers living at the edge of Watuata forest in Ngada subdistrict. “We have been here since Dutch colonial times,” says Vinsensius Loki, a farmer in this

location, which is

about 10 km west of

the town of Ngada. The forest

is also where the local people maintain

their links with their ancestors. “We have our own ways of guarding the forest,” he adds.

On May 5, 1992, the Ministry of Forestry declared this area a nature reserve. Decree No. 432 prohibits the local people

wilayah cagar alam. Warga pun tidak bisa bercocok tanam di kawasan hutan. Mereka juga kehilangan hak ulayat mereka.

Puncaknya, pada tahun 2000, pondok-pondok warga dibakar oleh pemerintah. Padahal di tepi cagar alam seluas 4.298 hektar ini, tinggal sekitar 15.000 jiwa meliputi 10 desa di dua kecamatan. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan polisi menuduh warga telah memasuki kawasan cagar alam tersebut.

Di sisi lain, masyarakat tetap ngotot menggunakan lahan di kawasan

cagar alam

sebagai tempat bertani

kopi. “Kalau tidak di sana, di mana lagi

kami harus bertani,”

from entering the nature reserve. Nor are they allowed to farm in the forest area. They also lost their traditional communal land rights.

Things came to a head in 2000, when the government burned down the villagers’ huts. Even though there were only around 15,000 people in 10 villages in two subdistricts living around the edge of this 4,298 ha nature reserve. The Office for Conservation of Natural Resources and the police accused the villagers of going into the nature reserve.

The villagers continue to use land inside the nature reserve to farm coffee. “If we don’t do it there, where else can we do it?” asks Loki, chair

VECO Indonesia memfasilitasi petani mempertahankan tanah ulayatnya dan mengolah hasil pertanian untuk menaikkan harga jual.VECO Indonesia facilitates farmers to keep their traditional communal lands and to process agricultural products to add value.

Program II: AdvokasiProgramme II: Advocacy

Advokasi Tanah di Kawasan Watuata Land Advocacy in Watuata

From Land Confl ict to Processing of Agricultural Products

menetapkan kawasan itu sebagai Kawasan Cagar Alam. Melalui Surat

Keputusan No 432, warga

adat dilarang masuk

location, which is

about 10 km west of

the town of Ngada. The forest

is also where the local people maintain

their links with their ancestors. “We have our own ways of guarding the forest,” he adds.

On May 5, 1992, the Ministry of Forestry declared this area a nature reserve. Decree No. 432 prohibits the local people

Di sisi lain, masyarakat tetap ngotot menggunakan lahan di kawasan

cagar alam

sebagai tempat bertani

kopi. “Kalau tidak di sana, di mana lagi

kami harus bertani,”

Page 9: LONTAR

ujar Loki, yang juga Ketua Forum Koordinasi Manajemen Kebun Famasa Desa Beiwali, Kecamatan Bajawa. Forum ini berdiri sejak 1999 dengan 36 anggota saat ini.

Melihat potensi konflik antara pemerintah dengan masyarakat adat, Lembaga Advokasi dan Penguatan Masyarakat Sipil (Lapmas), LSM di Ngada mendorong berdirinya Forum Masyarakat Watuata (Formata). Tujuannya mencari jalan keluar agar kepentingan dua belah pihak, pemerintah dengan ekologis dan masyarakat adat dengan sosial budayanya, bisa terjembatani.

Lapmas adalah lembaga mitra VECO Indonesia di Kabupaten Ngada, Flores. Dengan dukungan pendanaan program dan fasilitasi dari VECO Indonesia, Lapmas memberikan ide, mendorong, mengawal, serta memberikan masukan tentang strategi mewujudkan misi tersebut.

Advokasi oleh Lapmas dan Formata dilaksanakan melalui lima kegiatan utama yaitu advokasi kebijakan, peningkatan

kapasitas,

publikasi, pengembangan data base, serta penguatan dan pengembangan kelembagaan.

Konsolidasi dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak terkait: pemerintah, LSM, dan warga adat sendiri. Dari yang semula saling beda pendapat, kelompok-kelompok ini lalu sepakat melebur dalam satu tim persiapan formal.

Tim ini kemudian mendapat legitimasi dari Bupati Ngada melalui Surat Keputusan No 36/Kep/BAP/2007 tentang Pembentukan Tim Persiapan Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Watuata. “Adanya tim ini memudahkan kami untuk merumuskan strategi dan langkah ke depan,” kata Koli.

Tugas Tim Kolaborasi ini, antara lain, membuat kajian tentang perlunya kawasan pinggir hutan sebagai penyangga kehidupan bagi warga setempat. Laporan itu akan dibahas pada pertemuan lebih tinggi yaitu Kongres Masyarakat

of Forum Koordinasi Manajemen Kebun Famasa in Beiwali, Bajawa subdistrict. Set up in 1999, the forum currently has 36 members.

Seeing the potential for conflict between government and the villagers, Lembaga Advokasi dan Penguatan Masyarakat Sipil (Lapmas), an NGO in Ngada, facilitated the setting up of Forum Masyarakat Watuata (Formata). The aim was to find a solution that would satisfy both sides, bridging the gap between government and its ecological interests, and the villagers and their social-cultural concerns.

Lapmas is a partner of VECO Indonesia in the Ngada district of Flores. With programme funding support and facilitation from VECO Indonesia, Lapmas offered ideas, encouragement, initiative, and input on strategies to realise this vision.

Advocacy by Lapmas and Formata involves five main activities: policy advocacy, capacity

building,

publications, data base development, and institutional strengthening and development.

Consolidation was achieved with the involvement of stakeholders including government, NGOs and the villagers. With all their different points of view, these groups decided to merge into one formal preparatory team.

The team was then legitimised by the Ngada governor via Decree 36/Kep/BAP/2007 concerning Formation of a Preparatory Team for Collaborative Management of the Watuata Nature Reserve. “Having this team makes it easier for us to formulate strategies and moves,” says Koli.

One of the team’s tasks is to study the need for a buffer zone at the edge of the forest for the villagers’ use. This report will be discussed at a higher level meeting, the Watu Ata Congress. “Then the draft will be brought before the Minister for Forestry for revision of the decree on the Watuata nature reserve,” Koli explains.

Program II: AdvokasiProgramme II: Advocacy

Page 10: LONTAR

Watu Ata. “Selanjutnya draft itu akan dibawa ke Menteri Kehutanan agar ada revisi SK tentang cagar alam Watuata,” ujarnya.

Kalau draft itu disetujui Menhut, lanjut Koli, akan ada perubahan SK Menhut tentang kawasan Cagar Alam Watuata. “Menteri harus meninjau kembali soal pengelolaan cagar alam. Warga lokal harus diperbolehkan mengelola dan mengontrol kawasan,” harap Koli. Meski belum mendapat hasil maksimal, advokasi pengelolaan lahan bagi petani di sekitar kawasan Cagar Alam Watuata mulai mendapat titik terang.

Advokasi kebijakan ini juga tidak hanya melalui lobi. Ada pula upaya, misalnya, melalui aksi massa. “Kalau pemerintah keras, kami akan keras juga,” tegas Loki. Demonstrasi ke kantor pemerintah dan DPRD setempat pernah dilakukan beberapa kali seperti ketika ada sebagian petani yang ditangkap.

Selain melalui advokasi kebijakan, Lapmas juga mengadvokasi petani miskin di sekitar kawasan Cagar Alam Watuata dengan penguatan kapasitas. Misalnya melalui pertemuan kampung untuk mendapatkan masukan dari berbagai desa, suku, dan kelompok tani di sekitar kawasan cagar alam.

Kegiatan lain untuk penguatan kapasitas adalah pelatihan konservasi dan pengelolaan lahan. Program di desa Aimere Timur, Beiwali, Wawowae, dan Susu ini melibatkan 184 petani. Pelatihan konservasi antara lain tentang pembuatan dan pengembangan teras, pembuatan pupuk cair, olah lubang, perencanaan kebun, hingga konservasi mata air. Upaya konservasi mata air ini dilakukan melalui penanaman anakan pohon beringin, waru, dan semacamnya.

Sejak 2005, advokasi Lapmas juga tidak hanya menyentuh pengelolaan lahan. “Kami mulai membuat program penguatan kapasitas pengolahan pasca-panen kopi,” kata Koli. Sebelum itu, petani setempat sudah mendapat bantuan dari Puslit berupa alat pengolah kopi dari pengupasan, fermentasi, penjemuran, sangrai, hingga penggilingan. Adanya alat ini memudahkan petani untuk mengolah kopi agar kualitas dan harganya meningkat.

Di sisi lain, VECO Indonesia dan Lapmas mendukungnya dengan memfasilitasi upaya pemasaran, misalnya, melalui Business Coffee Meeting oleh Jaringan Kerja Pertanian Organik (Jaker PO), jaringan VECO Indonesia. “Memfasilitasi pemasaran memang termasuk hal baru bagi

If the draft is approved by the minister, continues Koli, there will be a revision of the ministerial decree on the Watuata nature reserve. “The minister has to review the management of the nature reserve. Local villagers must be allowed to manage and control the area,” Koli emphasises. Although yet to achieve optimal results, land management advocacy for farmers around the Watuata nature reserve is starting to look promising.

There is more to this policy advocacy than just lobby. It involves mass action, as well. “If the government plays hard, we’ll play hard too,” stresses Loki. There have been several demonstrations at government offices and local parliament, at which farmers have been arrested.

As well as policy advocacy, Lapmas also advocates for poor farmers around the Watuata nature

reserve through capacity building. For example through local meetings to get input from villages, ethnic groups, and farmer groups living near the nature reserve.

Another capacity building activity is conservation and land management training. Carried out in Aimere Timur, Beiwali, Wawowae and Susu villages, this programme involves 184 farmers. Conservation training includes building and developing terracing, making liquid fertiliser, hole management, garden planning and water source conservation. Conservation of water sources involves planting banyan, hibiscus, and other seedlings.

Since 2005, Lapmas advocacy has been concerned not only with land management. “We started designing a capacity strengthening programme for post-harvest processing of coffee,” says Koli. Before

Program II: AdvokasiProgramme II: Advocacy

Pengolahan kopi, bentuk lain advokasi bagi petani di Ngada, Flores

10

Page 11: LONTAR

kami, namun ini bagian dari advokasi kami pada petani kecil,” kata Loki.

Penguatan ekonomi merupakan bagian integral dari advokasi. Karena itu, tidak bisa diabaikan begitu

that, local farmers had received assistance from Puslit in the form of peeling, fermentation, drying, roasting and milling machines. These tools help the farmers to process good quality coffee that fetches premium prices.

Support provided by VECO Indonesia and Lapmas involves facilitation of marketing initiatives, such as the business coffee meetings organised by VECO partner Jaringan Kerja Pertanian Organic (Jaker PO). “Facilitating marketing is a new area for us, but it is part of our advocacy for small farmers,” says Loki.

Program II: AdvokasiProgramme II: Advocacy

Advokasi Pemasaran Petani Mete di Boawae Marketing Advocacy for Cashew Farmers in Boawae

Berbicara tentang pemasaran, maka pengalaman Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) Ngada mengadvokasi petani mete di Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo, Flores, bisa jadi salah satu pelajaran. Dengan dukungan dari VECO Indonesia berupa asistensi, dana program, peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM), dan semacamnya, YMTM telah meningkatkan taraf kemampuan dan pendapatan petani kecil di daerah ini melalui pengolahan pasca-panen.

“Awalnya kami tidak tahu kalau ternyata biji mete itu bisa diolah.

Talking of marketing, lessons can be learned from Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) Ngada’s experience of advocating for cashew farmers in Boawae subdistrict of Nagekeo district, Flores. With support from VECO Indonesia in the form of assistance, programme

funding,

saja. Ketika persoalan produksi sudah selesai, maka tingkat selanjutnya adalaha pemasaran. Inilah upaya yang sekarang dikerjakan Lapmas dengan petani di Watuata.

Economic strengthening is an integral part of advocacy. When production problems have been resolved, the next stage is marketing. And this is what Lapmas is now working on with the farmers in Watuata.

Dulu kami hanya makan buahnya,” kata Emanuel Lado, petani di desa tersebut. Karena itu biji mete pun dijual gelondongan oleh petani sehingga harga jualnya murah. Padahal biji mete memiliki nilai jual jauh lebih tinggi apabila sudah diolah.

Sejak 2005, sebagian petani belajar mengolah biji mete mulai dari sortir dan grading, penjemuran, pengupasan kulit ari, pengemasan, sampai penggorengan

human resource capacity building and so on, YMTM has improved the standard of living and incomes of small farmers in this area through post-harvest processing.

“We had no idea that cashew could be processed. We just ate the fruit,” says Emanuel Lado, a farmer in the

Biji buah mete di Nagekeo, Flores siap diolah

Page 12: LONTAR

Program II: AdvokasiProgramme II: Advocacy

biji mete. Semua proses ini diadakan di kantor Koperasi Wina Mandiri. Koperasi yang berdiri pada 28 September 2000 ini dibentuk untuk menjawab terbatasnya akses petani pada lembaga keuangan. “Lemahnya akses petani ini diperparah dengan harga komoditas yang tidak stabil dan banyaknya rentenir,” kata Josef Maan, Direktur YMTM Ngada.

Koperasi yang semula hanya di bidang simpan pinjam kemudian juga membeli hasil pertanian anggota. Saat ini ada 789 anggota dari 35 kelompok tani. Cara yang dilakukan adalah melalui turun ke desa-desa saat ada rapat akhir tahun (RAT). “Dengan begitu, masyarakat desa bisa tahu tentang koperasi. Mereka pun kemudian ikut,” tambah Maan.

Pada RAT 2005, Koperasi membentuk unit baru, pemasaran. Koperasi pun membangun jaringan dengan pihak lain seperti Pemerintah Daerah, pengusaha lokal dan eksportir. Selain menjual dan membeli biji mete gelondongan (masih dengan kulitnya), petani juga mengolah sendiri biji mete tersebut.

Bahan baku mete olahan diperoleh dari petani di desa lain yaitu Desa Rowa. Di desa ini terdapat Kelompok Tani Organik yang bahkan sudah mendapat sertifikasi organik dari lembaga sertifikasi internasional (IMO) Swiss. “Dengan adanya sertifikasi ini diharapkan akan ada kepastian mutu mete kami,” kata Damianus Nagi, Kepala Desa Rowa.

village. So the farmers sold the unshelled cashew at very low prices, although processed, cashew have a far higher selling price.

In 2005, several farmers learned about processing cashew, from sorting and grading, to drying, shelling, packaging, and frying. This process took place at the offices of Koperasi Wina Mandiri. This cooperative was set up in September 2000 to provide farmers greater access to financial institutions. “This lack of access was exacerbated by the unstable prices the farmers were getting for their commodities and the widespread dependence on loan sharks,” explains Josef Maan, Director YMTM Ngada.

Starting out as a credit union, the cooperative later

began buying members’ produce. Today, it has a membership of 789, from 35 farmer groups. The cooperative gets new members by going to the villages when they are holding the end-of-year meeting, “That way, the villagers get to know about the cooperative. And they want to be a part of it,” adds Maan.

At the 2005 end-of-year meeting, the cooperative set up a new unit: marketing. The cooperative also networks with other stakeholders, such as local government, local traders and exporters. As well as selling and buying unshelled cashew, the farmers also process cashew themselves.

The cashew processed at the cooperative are sourced from neighbouring Rowa village. This village has an organic farmer group and organic certification from IMO Switzerland. “The certification is a guarantee of the quality of our cashew,” says Damianus Nagi, Rowa village head.

Organic certification helps to boost selling prices, minimise price competition, increase value added, and protect the environment and health. “Most important of all, it means meeting international quality standards,” says Nagi.

Farming 254 hectares,

the 128 organic cashew

Petani perempuan di Nagekeo, Flores menjemur mete organik

12

Page 13: LONTAR

Program II: AdvokasiProgramme II: Advocacy

Sertifikasi organik berperan untuk meningkatkan nilai jual, mengurangi persaingan harga, meningkatkan nilai tambah, serta menjaga kelestarian lingkungan dan kesehatan. “Paling penting adalah untuk memenuhi standar mutu internasional,” kata Nagi.

Dengan jumlah lahan

seluas 254 hektar dan anggota 128 orang, petani mete organik di desa Rowa bisa menghasilkan 55 ton selama tahun 2007 saja. Mete hasil petani di Desa Rowa inilah yang dibawa dan diolah di kantor koperasi.

Ada empat pekerja, semuanya perempuan, yang menangani pengolahan biji mete ini di kantor koperasi. Selain itu ada pula satu staf koperasi yang khusus menangani pemasaran dan dua staf YMTM yang membantu secara umum. Mereka mengerjakan proses mulai dari

menjemur, memecahkan kulit, mengepak, sampai menjual. Target produksi biji mete olahan ini 120 kg per bulan dan dijual Rp 60 ribu per kg. Bandingkan dengan harga mete gelondongan yang hanya Rp 7.500 per kg. “Kami bisa mendapat harga yang jauh lebih mahal dibandingkan harga gelondongan,” kata Emanuel Lado yang juga Ketua Koperasi.

Dari desa di tepi jalan raya antara Bajawa – Ende ini, mete organik Flores dipasarkan ke berbagai konsumen di Bajawa, Denpasar, dan Jakarta. “Sementara sih masih lokal saja dulu. Kami belum berani mengekspor,” kata Maan. Selain karena grade mete yang masih di bawah standar mutu untuk ekspor, kuantitas produksi juga belum sampai. Karena itu, lanjut Maan, ke depan koperasi di desa ini tidak hanya mengolah mete organik tapi juga mete anorganik.

farmers in Rowa produced 55 tons in 2007 alone. The cashew they produce are taken to and processed at the cooperative.

Four workers, all women, process the cashew at the cooperative. In addition, a cooperative staff member handles the marketing side, and two YMTM staff provide general assistance. They manage the entire process, from drying and shelling to packaging and sales. Target production of processed cashew is 120 kg a month. Processed cashew sell for Rp 60,000/kg, compared with Rp 7,500/kg for raw cashew. “We get much higher prices than we do for unshelled cashew,” says cooperative chair Emanuel Lado.

From this village on the main Bajawa-Ende

highway, organic Flores cashew are marketed to consumers in Bajawa, Denpasar and Jakarta. “The market is still local. We’re not ready to export yet,” says Maan. The cashew produced not high enough grade for export, and production is still too low. So, continues Maan, in the future, the village cooperative will process not only organic cashew, but non-organic cashew as well.

Pengolahan mete di Nagekeo, Flores meningkatkan nilai tambah mete

13

Page 14: LONTAR

Setelah divonis terkena diabetes 16 tahun lalu Nuraini mulai mengonsumsi beras organik. “Saya ingin menjaga kesehatan tanpa mengonsumsi beras yang tercemar pestisida,” kata ibu dua anak ini. Pegawai Fakultas Pertanian Universitas Tunas Pembangunan (UTP) Solo ini yakin bahwa beras organik lebih sehat dan bagus untuk mencegah dampak lebih buruk diabetes. “Sejauh ini saya bisa menjaga badan tetap sehat dan stabil,” katanya.

Karena ingin membagi pengalamannya, Nuraini juga menjual beras organik di kiosnya. Ada pula informasi kelebihan beras organik dibanding non-organik. Kios di bagian

Diagnosed with diabetes 16 years ago, Nuraini began eating organic rice. “I wanted to stay healthy and not eat rice contaminated with pesticides,” says the mother of two. A staff member at the Faculty of Agriculture at Tunas Pembangunan University in Solo, Nuraini believes that organic rice is healthier and helps minimise the negative effects of diabetes. “So far, I’ve kept myself healthy and my condition stable,” she adds.

Wanting to share her experience, Nuraini also sells organic rice at her kiosk. She also provides information about the advantages of organic rice over non-organic. The kiosk outside her home has become an information post on organic products for Nuraini’s neighbours.

Setelah produksi pertanian sudah terpenuhi, VECO Indonesia kini mendorong konsumen agar lebih peduli produk pertanian sehat. Having maximised agricultural production, VECO Indonesia is now encouraging consumers to care more about healthy agricultural products..

depan rumah ini jadi pos informasi produk organik bagi tetangga Nuraini.

Kios Nuraini hanya satu dari lima kios serupa di Solo, Jawa Tengah. Tak hanya menjual barang, kios ini sekaligus jadi pos informasi hasil pertanian berkelanjutan. Pos informasi itu merupakan bagian dari program Lembaga Studi Kemasyarakatan dan Bina Bakat (LSKBB), LSM pertanian berkelanjutan di Solo, untuk penguatan dan penyadaran konsumen (consumer awareness) agar mengonsumsi hasil pertanian berkelanjutan. Consumer awareness merupakan program baru tidak hanya bagi LSKBB Solo tapi juga VECO Indonesia, lembaga yang mendukung LSKBB.

Nuraini’s kiosk is just one of five similar kiosks in Solo, Jawa Tengah. Not only do they sell goods, these kiosks are also information posts on sustainable agriculture products. The posts are a part of a programme by Lembaga Studi Kemasyarakatan dan Bina Bakat (LSKBB),a sustainable agriculture NGO in Solo, to build consumer awareness and encourage people to eat sustainable agriculture

produce. Consumer awareness is a new

programme not only for SKBB Solo, but also

for VECO

Program III: Penyadaran KonsumenProgramme III: Consumer Awareness

Helping Producers, Empowering Consumers

stable,” she adds.

kiosk outside her home has become

post on organic

Nuraini’s neighbours.

produce. Consumer awareness is a new

programme not only for SKBB Solo, but also

for VECO

14

Page 15: LONTAR

Menurut Koordinator Program LSKBB Solo, Suswadi, program consumer awareness dilaksanakan karena panjangnya mata rantai distribusi hasil pertanian dari petani ke konsumen. Selama ini, lanjutnya, hasil pertanian menempuh perjalanan sangat panjang dari (1) petani individu ke (2) penebas dan penggilingan ke (3) pedagang besar ke (4) pengecer besar ke (5) pengecer kecil lalu baru ke (6) konsumen. “Akibatnya, harga di tingkat petani sangat rendah dan terjadi penurunan kualitas. Lalu di tingkat konsumen, harga pun naik dan kualitasnya rendah,” kata Suswadi.

Untuk memecahkan masalah ini, LSKBB kemudian mendorong organisasi petani dan kelompok konsumen agar bertemu langsung. Antara

lain pengembangan padi organik menggunakan benih lokal, ecological pest management (EPM) atau pengelolaan hama secara ekologis, pupuk organik, agen hayati, pengendalian, sampai penanganan pasca-panen. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan aspek penting dalam praktik pertanian berkelanjutan.

Sementara di sisi konsumen, penguata dilakukan melalui kampanye penyadaran pada produk pertanian berkelanjutan. Target program ini adalah kalangan ibu-ibu anggota PKK, pemerintah, serta lembaga pendidikan. Kelompok konsumen juga mengunjungi lokasi produksi pertanian organik. Mereka melihat langsung proses produksi, sumber mata air, hingga pengolahan pasca-panen padi.

Indonesia, the organisation that supports LSKBB.

LSKBB SoloProgramme Coordinator Suswadi says that the consumer awareness programme was introduced in response to the length of the chain of distribution of agricultural produce from farmers to consumers. He explains that agricultural products traverse a very long road from (1) individual farmers to (2) wholesalers and mills to (3) traders to (4) large retailers to (5) small retailers to (6) consumers. “As a result, at the farmer level prices are very low and quality deteriorates. And at the consumer level, prices increase and quality is low,” says Suswadi.

To avoid this, LSKBB encourages farmer organisations

and consumer groups to deal directly. LSKBB promotes, among others, development of organic rice using local seed, ecological pest management, organic fertiliser, bioagents, pest control, and post-harvest management. These activities are important aspects of sustainable agriculture.

On the consumer side, LSKBB empowers through consumer awareness campaigns on sustainable agriculture products. The programme targets women members of the family welfare movement, government and education institutes. Consumer groups also visit organic agriculture production locations. Here, they witness first-hand the production process, water sources, and post-harvest management.

Besides Nuraini and her neighbours in Mojosongo, another consumer group is the family welfare movement (PKK) in Gondang ward, Solo. The women membersof Komunitas Organik Solo gather at the home of one of the members to discuss the products that they consume.

“This group grew from discussions about healthy food. That’s how we know about organic products,” says group chair Dwi Rahayu. When they found out organic rice is healthier than non-organic

Kelompok konsumen berdiskusi tentang perlunya mengonsumsi produk organik

15

Program III: Penyadaran KonsumenProgramme III: Consumer Awareness

Page 16: LONTAR

Selain Nuraini dan tetangganya di Mojosongo, kelompok konsumen lain adalah PKK di Kelurahan Gondang, Solo. Salah satu rumah anggotanya menjadi tempat ibu-ibu yang tergabung dalam Komunitas Organik Solo untuk berdiskusi tentang produk yang mereka konsumsi sehari-hari.

“Kelompok ini berawal dari diskusi tentang pangan sehat. Dari situ kami tahu tentang produk organik,” kata Dwi Rahayu, Ketua PKK. Sadar bahwa beras organik lebih sehat dibanding non-organik, sebagian ibu pun kemudian beralih ke beras organik.

Anggota komunitas ini terus bertambah. Dari kelompok kecil di tingkat rukun tetangga (RT), kelompok berkembang jadi tingkat rukun warga (RW). Tidak ada data pasti berapa banyak anggota karena kelompok ini bersifat komunitas, tidak terikat. “Sekitar 40 sampai 50 oranglah,” kata Rahayu.

Untuk meyakinkan konsumen, LSKBB mengajak mereka berkunjung ke lokasi produksi. Misalnya ke Desa Dlingo, Kecamatan Mojosongo, Boyolali.Di desa ini ada Kelompok Tani Pangudi Boga yang didampingi LSKBB sejak 2004. “Kami jadi tahu bagaimana petani menggunakan bibit dan pupuk yang sehat. Jadi petani dan konsumen pun sehat,” kata Rahayu.

Desa Dlingo, berjarak sekitar 30 km ke arah barat dari Solo, merupakan sentra produksi beras untuk Boyolali dan sekitarnya. Dengan dukungan LSKBB dan VECO Indonesia, sebagian petani beralih dari bertani konvensional ke pertanian organik. “Awalnya kami tidak peduli dengan kesehatan hasil pertanian. Namun setelah tahu produk pertanian yang lebih sehat untuk kami dan konsumen, kami pun mengubahnya,” kata Cipto Mulyatmo, Pengurus Kelompok Tani Pangudi Boga.

Cipto dan puluhan petani lain di kawasan itu lalu beralih menggunakan asupan ramah lingkungan dan sehat. Misalnya kompos, pupuk cair, obat-obatan alami, dan pestisida alami. Dengan asupan luar rendah hasil petani setempat ternyata malah naik. Produksi gabah kering di sini 6,8 ton hingga 7 ton per hektar per musim.

Selesai masalah produksi, petani di sini pun menghadapi masalah modal dan pemasaran. Umumnya petani tergantung tengkulak dengan sistem ijonnya sehingga petani tidak bisa menjual sendiri hasil pertanian

rice, some of the women switched to organic rice.

This is a growing community. From a small sub-neighbourhood (RT) group, PKK has grown into a neighbourhood (RW) community. This is a loose community of people, so there are no firm data on the number of members. “Around 40 or 50 people,” says Rahayu.

To convince consumers, LSKBB invites them to visit production locations. Such as Dlingo village in the Mojosongo subdistrict of Boyolali. This village is home to Kelompok Tani Pangudi Boga, which has been supported by LSKBB since 2004. “We can see for ourselves the farmers using healthy seed and fertiliser. Which is good for the farmers and consumers,” explains Rahayu.

Dlingo village, which lies about

30 km west of

Solo, is a rice production centre for Boyolali and surrounding areas. With support from LSMBB and VECO Indonesia, some farmers have switched from conventional farming to organic farming. “We didn’t use to care whether agricultural products were healthy or not. But that changed when we found out that organic products are healthier for us and for consumers,” says Cipto Mulyatmo, leader of Kelompok Tani Pangudi Boga.

Cipto and dozens of other local farmers switched to healthy, environmental-friendly inputs, such as compost, liquid fertiliser, organic treatments, and natural pesticides. With low external inputs, the farmers’ yields actually increased. Production of dry unhulled rice here is 6.8 tons – 7 tons per hectare per season.

per musim.

Selesai masalah produksi, petani di sini pun menghadapi masalah modal dan pemasaran. Umumnya petani tergantung tengkulak dengan sistem ijonnya sehingga petani tidak bisa menjual sendiri hasil pertanian

30 km west of

16

Program III: Penyadaran KonsumenProgramme III: Consumer Awareness

Page 17: LONTAR

tersebut. Petani pun tidak peduli pada mutu padi karena apa pun mutunya pasti dibeli oleh tengkulak.

Dua tahun terakhir, LSKBB mulai menghubungkan petani dengan konsumen, termasuk kelompok konsumen di Solo. Karena langsung berhubungan dengan konsumen ini, maka mutu padi dan beras pun menjadi perhatian petani. “Kalau mutunya tidak bagus ya tidak ada yang membeli. Ini jadi motivasi tersendiri bagi petani,” ujar Cipto.

Untuk menjaga kualitas produk, kelompok tani memperhatikan proses budidaya hingga pengemasan produk. Begitu pula penggilingan beras organik. Sebelumnya, padi produksi Kelompok Tani Pangudi Boga digiling campur dengan padi non-organik. Tapi karena ada tuntutan konsumen, padi organik

With their production problems over, the farmers were faced with the problems of financing and marketing. Most farmers depended on agents buying their crops before they are harvested, which meant they could not sell their produce themselves. What’s more, the farmer did not care about the quality of their produce, because the agents would buy it, whatever the quality.

For the past two years, LSKBB has been connecting farmers with consumers, including consumer groups in Solo. As a result of this direct contact with consumers, farmers are more concerned about the quality of the rice they grow. “If the quality’s no good, nobody will want to buy it. That in itself is a motivation for farmers,” says Cipto.

To maintain product quality, farmer groups monitor the process from cultivation to packaging. And the milling of organic rice. In the past, rice produced by Kelompok Tani Pangudi Boga was milled along with non-organic rice. But in response to consumer demand, the organic rice is now milled in a separate mill that belongs to one of the group members.

From Dlingo, the rice is sent to consumers in cities including Semarang, Solo, Surabaya and Jakarta, and even to Bali. Most of the marketing is done through NGO networks and concerned individuals.

LSKBB has its own small kiosk at the Nusukan crossroads in Solo. This kiosk and information post was opened in January 2008. “We opened it up in partnership with some street kids,” said Suswadi. Visitors to the kiosk can

digiling di penggilingan tersendiri milik salah satu anggota.

Dari Dlingo beras itu kemudian dikirim ke konsumen di kota seperti Semarang, Solo, Surabaya, Jakarta, hingga sebagian ke Bali. Sampai saat ini, pemasaran lebih banyak melalui jaringan LSM atau individu yang peduli.

LSKBB sendiri punya kios kecil di simpang lima kawasan Nusukan, Solo. Kios dan pos informasi ini berdiri sejak Januari 2008 lalu. “Kami mendirikannya bekerja sama dengan bagian anak jalanan,” kata Suswadi. Pembeli tidak sekadar membeli tapi juga mendapat informasi tentang produk tersebut. Misalnya asal produk, pengolahan, manfaat, harga, dan lain-lain.

Sri Mulyanti, dari Pokja III Kelurahan Nusukan, yang bertanggung jawab

Pengolahan padi organik terpisah dari pengolahan padi anorganik

17

Page 18: LONTAR

pada masalah keluarga, termasuk di dalamnya pangan sehat, mengaku senang dengan adanya usaha pengenalan produk pertanian berkelanjutan oleh LSKBB ini. “Sebab warga kami jadi mudah kalau mau beli produk organik,” katanya.

Melibatkan pihak kelurahan, bagi LSKBB, memang sebuah strategi agar isu keamanan produk pertanian bisa masuk di birokrasi. “Itu juga bagian dari upaya penyadaran pada konsumen,” kata Suswadi. Dengan kewenangan yang dimiliki oleh birokrasi, menurut Suswadi, penyadaran konsumen lebih bisa dilakukan.

Selain pada ibu rumah tangga, PKK, dan kelurahan, LSKBB juga intens melakukan kampanye kesadaran konsumen melalui

not only buy, but also get information about the products. For example production location, processing, benefits, price, and so on.

Sri Mulyanti from Nusukan ward Working Group III (Pokja III), which is responsible for family matters, including healthy food, is pleased the LSKBB kiosk promoting sustainable agricultural products. “It is convenient for those of us who want buy organic products,” she says.

Involving the ward is a strategy LSKBB adopts to raise the issue of safety of agricultural products within the bureaucracy. “That’s a part of consumer awareness, too,” explains Suswadi. With the authority that the bureaucracy has, adds Suswadi, this strategy facilitates efforts to raise consumer awareness.

kampus, salah satunya di Universitas Tunas Pembangunan (UTP) Solo. Program ini dilakukan melalui mata kuliah di Fakultas Pertanian seperti tentang gizi dan pangan.

Ide ini mendapat sambutan positif dari jurusan. Apalagi secara umum, saat ini memang ada, pengarusutamaan (mainstreaming) isu-isu pertanian organik di kampus tersebut. “Kurikulum tentang pertanian organik sudah dimulai sejak empat tahun lalu melalui diskusi bersama pihak-pihak terkait seperti Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, Swasta, dan NGO. Di sisi lain isu back to nature juga sedang kuat. Makanya segera mendapat respon, termasuk dari kampus,” kata Dekan Fakultas Pertanian UTP.

As well as women, family welfare movement members, and wards, LSKBB also conducts intensive consumer awareness campaigns on campus, including at Tunas Pembangunan University in Solo. This programme is conducted through courses in the faculty of agriculture, such as nutrition and food.

This idea has received a positive response from faculty. And, more generally, there is a mainstreaming of organic agriculture issues on this campus. “Organic agriculture curriculums were introduced four years ago following discussions with stakeholders such as the agriculture and forestry services, private sector and NGOs. The ‘back to nature’ movement is strong at the moment too. So the response, including from universities, has been immediate,” explains the dean of the faculty of agriculture.

18

Program III: Penyadaran KonsumenProgramme III: Consumer Awareness

Kampanye penyadaran konsumen juga dilakukan Jaringan Kerja Pertanian Organik (Jaker PO), jaringan sesama petani organik di Sumatera, Kalimantan, Bali, Jawa, dan Sumba. “Consumer awareness terhadap produk pertanian berkelanjutan bukan fokus utama program kami. Hanya sampingan. Sebab program utama kami memang advokasi produk pertanian organik,” kata

The Organic Agriculture Network (Jaringan Kerja Pertanian Organic – Jaker PO), a network of organic farmers in Sumatera, Kalimantan, Bali, Java and Sumba, also conducts consumer awareness campaigns. “Consumer awareness of sustainable agricultural products is not the main focus of our programme. It’s just a side line. Our main programme is advocacy for organic agriculture products,” says

Nana Suhartana, Sekjen Jaker PO.

Advokasi itu dilakukan misalnya melalui pertemuan tingkat nasional sesama petani kopi organik atau pameran setahun sekali. “Tapi kami tidak langsung menghubungkan petani dengan konsumen. Hanya sebatas penyadaran,” lanjut Nana. Salah satu advokasi agar produk pertanian bisa mendapat

Nana Sukarta, Jakar PO Secretary General.

This advocacy is performed, for example, through national conferences of organic coffee farmers or annual exhibitions. “But we don’t link up farmers directly with consumers. We just do awareness,” continues Nana. One example of advocacy is Go Organic!, a national campagin to promote sustainable agriculture products.

Jaker PO Melibatkan EkspatriatOrganic Agriculture Network Involves Expatriates

Page 19: LONTAR

Kios penjualan di Solo, Jawa Tengah juga berfungsi sebagai pos informasi Konsumen pertanian organik mendapat informasi tambahan tentang produk yang dibeli

Program III: Penyadaran KonsumenProgramme III: Consumer Awareness

perhatian secara nasional adalah adanya Go Organic! yang dilaksanakan di tingkat nasional.

Kegiatan Jaker PO tersebut antara lain riset tentang pemasaran produk organik di Jawa dan NTT. “Kami mewawancarai produsen dan konsumen terkait apa yang mereka suka dari produk organik. Ini hanya sebatas assesment,” katanya. Jaker PO juga mengadakan business coffeee meeting di Jakarta yang mempertemukan petani kopi dari beberapa daerah seperti Jawa, Bali, dan Flores untuk bertemu dengan konsumen kopi. “Di sana hanya mempertemukan produsen dan pembeli. Tidak ada deal apa pun. Masih sebatas penjajagan,” ujar Nana.

Bentuk lain dari consumer awareness dilakukan pada Solo Expatriat Assosiation (SEA). Russ Cullinane, salah satu anggota SEA, mengaku tertarik mengonsumsi beras organik setelah mereka berdiskusi dengan pengurus Jaker PO. “Kami sebenarnya tertarik untuk tahu dan terlibat lebih banyak. Namun kami tidak punya cukup waktu,” kata Michael Micklem, anggota SEA yang lain.

Meski baru sebatas pilot project, program consumer awareness di Solo memang terlihat menjanjikan. Setelah tahu tentang produk pertanian berkelanjutan, setidaknya konsumen kini punya pilihan.

The network’s activities also include research on marketing of organic products in Java and NTT. “We interviewed producers and consumers about what they want from an organic product. It’s just an assessment,” Nana explains. Jaker Po also holds business coffee meetings in Jakarta, for coffee farmers from Java, Bali, Flores and other areas to meet up with coffee consumers. “These are just to introduce producers and consumers. No deals are cut. It’s still at the exploratory stage,” says Nana.

Another form of consumer awareness is carried out by the Solo Expatriate Association

(SEA). Russ Cullinane, a member of SEA, says they got interested in eating organic rice after talking to someone from Jaker PO. “We are interested in knowing more, and being more involved. But we don’t have the time,” says Michael Micklem, another SEA member.

Although only a pilot project at the moment, consumer awareness programmes in Solo look promising. Now that they know about sustainable agriculture products, at least consumers have a choice.

Page 20: LONTAR