Learning Issue.docx

15
Nama : Naufal Karyna Putri Kelas : Alpha NIM : 0411281419129 Learning Issue Diabetes Melitus Tipe 2 Definisi Diabetes Mellitus (DM) Tipe II merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap di hasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) Etiologi DM tipe II disebabkan kegagalan relatif sel β dan resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glikosa oleh hati. Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defensiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa. Faktor Resiko Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM tipe II (Smeltzer & Bare, 2002) antara lain: a. Kelainan genetik Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes, karena gen yang mengakibatkan tubuh tak dapat menghasilkan insulin dengan baik. b. Usia Umumnya penderita DM tipe II mengalami perubahan fisiologi yang secara drastis, DM tipe II sering muncul setelah usia 30 tahun ke atas dan pada mereka yang berat

description

DM 2

Transcript of Learning Issue.docx

Page 1: Learning Issue.docx

Nama : Naufal Karyna PutriKelas : AlphaNIM : 0411281419129

Learning Issue

Diabetes Melitus Tipe 2

Definisi

Diabetes Mellitus (DM) Tipe II merupakan penyakit hiperglikemi akibat insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap di hasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)

Etiologi

DM tipe II disebabkan kegagalan relatif sel β dan resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glikosa oleh hati. Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defensiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa.

Faktor Resiko

Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM tipe II (Smeltzer & Bare, 2002) antara lain:

a. Kelainan genetik Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes, karena

gen yang mengakibatkan tubuh tak dapat menghasilkan insulin dengan baik. b. Usia

Umumnya penderita DM tipe II mengalami perubahan fisiologi yang secara drastis, DM tipe II sering muncul setelah usia 30 tahun ke atas dan pada mereka yang berat badannya berlebihan sehingga tubuhnya tidak peka terhadap insulin.

c. Gaya hidup stress Stres kronis cenderung membuat seseorang makan makanan yang manis-manis

untuk meningkatkan kadar lemak seretonin otak. Seretonin ini mempunyai efek penenang sementara untuk meredakan stresnya. Tetapi gula dan lemak berbahaya bagj mereka yang beresiko mengidap penyakit DM tipe II.

d. Pola makan yang salah Pada penderita DM tipe II terjadi obesitas (gemuk berlebihan) yang dapat

mengakibatkan gangguan kerja insulin (resistensi insulin). Obesitas bukan karena makanan yang manis atau kaya lemak, tetapi lebih disebabkan jumlah konsumsi yang terlalu banyak, sehingga 9 cadangan gula darah yang disimpan didalam tubuh sangat berlebihan. Sekitar 80% pasien DM tipe II adalah mereka yang tergolong gemuk.

Page 2: Learning Issue.docx

Nama : Naufal Karyna PutriKelas : AlphaNIM : 0411281419129

Manifestasi Klinis

PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) membagi alur diagnosis DM menjadi 2 bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejal khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia,polifagia, dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pada pria) dan pruritus vulva (wanita).

Patofisiologi

Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu:

1. Resistensi insulin

2. Disfungsi sel pancreas

Akhir-akhir ini banyak juga dibahas mengenai peran sel pancreas, amilin dan sebagainya. Resistensi insulin adalah keadaan dimana insulin tidak dapat bekerja optimal pada sel-sel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel hepar. Keadaan resisten terhadap efek insulin menyebabkan sel pancreas mensekresi insulin dalam kuantitas yang lebih besar untuk mempertahankan homeostasis glukosa darah ,sehingga terjadi hiperinsulinemia kompensatoir untuk mempertahankan keadaan euglikemia. Pada fase tertentu dari perjalanan penyakit DM tipe 2, kadar glukosa darah mulai meningkat walaupun dikompensasi dengan hiperinsulinemia; disamping itu juga terjadi peningkatan asam lemak bebas dalam darah.

Keadaan glukotoksistas dan lipotoksisitas akibat kekurangan insulin relatif (walaupun telah dikompensasi dengan hiperinsulinemia) mengakibatkan sel pancreas mengalami disfungsi dan terjadilah gangguan metabolisme glukosa berupa Glukosa Puasa Terganggu, Gangguan Toleransi Glukosa dan akhirnya DM tipe 2. Akhir-akhir ini diketahui juga bahwa pada DM tipe 2 ada peran sel pancreas yang menghasilkan glukagon. Glukagon berperan pada produksi glukosa di hepar pada keadaan puasa.

Pengetahuan mengenai patofisiologi DM tipe 2 masih terus berkembang, masih banyak hal yang belum terungkap. Hal ini membawa dampak pada pengobatan DM tipe 2 yang mengalami perkembangan yang sangat pesat, sehingga para ahli masih bersikap hati-hati dalam membuat panduan pengobatan.

Diagnosis

Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dl diagnosis DM sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl juga dapat digunakan untuk pedoman diagnosis DM. Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan investigasi lebih lanjut yaitu GDP ≥ 126 mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain atau hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl. Alur penegakkan diagnosis DM dapat dilihat pada skema di gambar

Page 3: Learning Issue.docx

Nama : Naufal Karyna PutriKelas : AlphaNIM : 0411281419129

(Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2014)

Komplikasi

Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Di Amerika Serikat, DM merupakan penyebab utama dari end-stage renal disease (ESRD), nontraumatic lowering amputation, dan adult blindness.

Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan glukosa darah, terutama setelah ditemukannya insulin, angka kematian penderita diabetes akibat komplikasi akut bisa menurun drastis. Kelangsungan hidup penderita diabetes lebih panjang dan diabetes dapat dikontrol lebih lama. Komplikasi kronis yang dapat terjadi akibat diabetes yang tidak terkendali adalah:

1. Kerusakan saraf (Neuropati) Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan sumsum

tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ lain, serta susunan saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal ini biasanya terjadi

Page 4: Learning Issue.docx

Nama : Naufal Karyna PutriKelas : AlphaNIM : 0411281419129

setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal maka akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik (diabetic neuropathy). Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan saraf mana yang terkena. Prevalensi Neuropati pada pasien DM tipe 1 pada populasi klinik berkisar 3% s/d 65.8% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 12.8% s/d 54%. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi neuropati pada populasi klinik berkisar 7.6% s/d 68.0% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 13.1% s/d 45.0%.6

2. Kerusakan ginjal (Nefropati) Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh darah kecil

yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan darah. Bahan yang tidak berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal bekerja selama 24 jam sehari untuk membersihkan darah dari racun yang masuk ke dan yang dibentuk oleh tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor ke luar. Semakin lama seseorang terkena diabetes dan makin lama terkena tekanan darah tinggi, maka penderita makin mudah mengalami kerusakan ginjal. Gangguan ginjal pada penderita diabetes juga terkait dengan neuropathy atau kerusakan saraf.

Prevalensi mikroalbuminuria dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 4.3% s/d 37.6% pada populasi klinis dan 12.3% s/d 27.2% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi mikroalbuminuria pada populasi klinik berkisar 2.5% s/d 57.0% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 18.9% s/d 42.1%.

Prevalensi overt nephropathy dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 0.7% s/d 27% pada populasi klinis dan 0.3% s/d 24% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi overt nephropathy pada populasi klinik berkisar 5.4% s/d 20.0% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 9.2% s/d 32.9%.6

3. Kerusakan mata (Retinopati) Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan menjadipenyebab utama

kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh diabetes, yaitu: 1) retinopati, retina mendapatkan makanan dari banyak pembuluh darah kapiler yang sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah retina; 2) katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan transparan menjadi keruh sehingga menghambat masuknya sinar dan makin diperparah dengan adanya glukosa darah yang tinggi; dan 3) glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga merusak saraf mata. Prevalensi retinopati dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 10.8% s/d 60.0% pada polpulasi klinik dan 14.5% s/d 79.0% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi leading article 12 MEDICINUS Vol. 27, No.2, Agustus 2014 retinopati pada populasi klinik berkisar 10.6% s/d 47.3% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 10.1% s/d 55.0%.6

4. Penyakit jantung koroner (PJK) Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak

di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke

Page 5: Learning Issue.docx

Nama : Naufal Karyna PutriKelas : AlphaNIM : 0411281419129

otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak bisa terjadi.

Prevalensi Penyakit jantung koroner dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 25.2% pada polpulasi klinik dan 1.8% s/d 43.4% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi penyakit jantung koroner berkisar 0.5% s/d 8.7% dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar 9.8% s/d 22.3% dengan Diabetes tipe 2.

5. Stroke Prevalensi stroke dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 11.3%

pada populasi klinik dan 8% s/d 12.5% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi stroke berkisar 0.5% and 4.3% dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar 4.1% and 6.7% dengan Diabetes tipe 2.

6. Hipertensi Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhanyang dramatis

seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat hipertensi dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Risiko serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila penderita diabetes juga terkena hipertensi.

7. Penyakit pembuluh darah perifer Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang dinamakan

Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan prosesnya lebih cepat pada penderita diabetes daripada orang yang tidak mendertita diabetes. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping diikuti gangguan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh, pasien biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung.

8. Gangguan pada hati Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita diabetes tidak makan gula bisa

bisa mengalami kerusakan hati (liver). Anggapan ini keliru. Hati bisa terganggu akibat penyakit diabetes itu sendiri. Dibandingkan orang yang tidak menderita diabetes, penderita diabetes lebih mudah terserang infeksi virus hepatitis B atau hepatitis C. Oleh karena itu, penderita diabetes harus menjauhi orang yang sakit hepatitis karena mudah tertular dan memerlukan vaksinasi untuk pencegahan hepatitis. Hepatitis kronis dan sirosis hati (liver cirrhosis) juga mudah terjadi karena infeksi atau radang hati yang lama atau berulang. Gangguan hati yang sering ditemukan pada penderita diabetes adalah perlemakan hati atau fatty liver, biasanya (hampir 50%) pada penderita diabetes tipe 2 dan gemuk. Kelainan ini jangan dibiarkan karena bisa merupakan pertanda adanya penimbunan lemak di jaringan tubuh lainnya.

9. Penyakit paru Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberkulosis paru dibandingkan

orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara sosioekonomi cukup. Diabetes memperberat infeksi paru, demikian pula sakit paru akan menaikkan glukosa darah.

10. Gangguan saluran cerna Gangguan saluran cerna pada penderita diabetes disebabkan karena kontrol

glukosa darah yang tidak baik, serta gangguan saraf otonom yang mengenai saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai dari rongga mulut yang mudah terkena infeksi, gangguan rasa pengecapan sehingga mengurangi nafsu makan, sampai pada akar gigi

Page 6: Learning Issue.docx

Nama : Naufal Karyna PutriKelas : AlphaNIM : 0411281419129

yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah tanggal serta pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan muntah dan diare juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan saraf otonom pada lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran makan bisa juga timbul akibat pemakaian obat- obatan yang diminum.

11. Infeksi Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh dalam

menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga penderita diabetes mudah terkena infeksi. Tempat yang mudah mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paru-paru, kulit, kaki, kandung kemih dan alat kelamin. Kadar glukosa darah yang tinggi juga merusak sistem saraf sehingga mengurangi kepekaan penderita terhadap adanya infeksi.

Perubahan yang Terjadi

a. Perubahan FisiologiSetiap penderita DM tipe II yang mengalami perubahan fisik terdiri dari sering buang air, merasa lapar,mersa haus, berkeringat dingin, luka lama sembuh, gemetaran dan pusing, sehingga menimbulkan ketakutan atau stress.

b. Perubahan Psikologi Hidup dengan DM tipe II dapat memberikan beban psikologi bagi penderita maupun anggota keluarganya. Respon emosional negatif terhadap diagnosa bahwa seseorang mengidap penyakit DM tipe II dapat berupa penolakan atau tidak mau mengakui kenyataan, cemas, marah, merasa berdosa dan depresi.

Tata Laksana

Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM tipe-2, dan sebagian besar mengenai organ vital yang dapat fatal, maka tatalaksana DM tipe-2 memerlukan terapi agresif untuk mencapai kendali glikemik dan kendali faktor risiko kardiovaskular. Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011, penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis.

A. Edukasi Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang

memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi dilakukan secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki perilaku sehat.

Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/ komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat masih reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan.

Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.

B. Terapi Gizi Medis

Page 7: Learning Issue.docx

Nama : Naufal Karyna PutriKelas : AlphaNIM : 0411281419129

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari.

C. Latihan Jasmani Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama kurang

lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.

D. Intervensi Farmakologis Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan pasien,

pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.Obat yang saat ini ada antara lain:

I. OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL (OHO) Pemicu sekresi insulin: a. Sulfonilurea

• Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas • Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang • Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati dan ginjal serta malnutrisi

b. Glinid • Terdiri dari repaglinid dan nateglinid • Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada sekresi insulin fase pertama. • Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial

Peningkat sensitivitas insulin: a. Biguanid

• Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah Metformin. • Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin, dan menurunkan produksi glukosa hati. • Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk, disertai dislipidemia, dan disertai resistensi insulin.

b. Tiazolidindion• Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa perifer. • Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena meningkatkan retensi cairan.

Penghambat glukoneogenesis: a. Biguanid (Metformin).

• Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga mengurangi produksi glukosa hati. • Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan kreatinin serum > 1,5 mg/ dL, gangguan fungsi hati, serta pasien dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis

Page 8: Learning Issue.docx

Nama : Naufal Karyna PutriKelas : AlphaNIM : 0411281419129

• Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan sulfonylurea. • Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual) namun bisa diatasi dengan pemberian sesudah makan.

Penghambat glukosidase alfa : a. Acarbose

• Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus. • Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan sulfonilurea. • Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu kembung dan flatulens. • Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like peptide 1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk. GLP-1 merupakan perangsang kuat bagi insulin dan penghambat glukagon. Namun GLP-1 secara cepat diubah menjadi metabolit yang tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4 dapat meningkatkan penglepasan insulin dan menghambat penglepasan glukagon. I

II. OBAT SUNTIKAN Insulin a. Insulin kerja cepat b. Insulin kerja pendek c. Insulin kerja menengah d. Insulin kerja panjange. Insulin campuran tetap

Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM tipe 2 ini, maka dapat dipahami bahwa yang menjadi dasar utama adalah gaya hidup sehat (GHS). Semua pengobatan DM tipe 2 diawali dengan GHS yang terdiri dari edukasi yang terus menerus, mengikuti petunjuk pengaturan makan secara konsisten, dan melakukan latihan jasmani secara teratur. Sebagian penderita DM tipe 2 dapat terkendali kadar glukosa darahnya dengan menjalankan GHS ini. Bila dengan GHS glukosa darah belum terkendali, maka diberikan monoterapi OHO.

Pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Pemberian OHO berbeda-beda tergantung jenisnya. Sulfonilurea diberikan 15-30 menit sebelum makan. Glinid diberikan sesaat sebelum makan. Metformin bisa diberikan sebelum/sesaat/sesudah makan. Acarbose diberikan bersama makan suapan pertama. Tiazolidindion tidak bergantung pada jadwal makan, DPP-4 inhibitor dapat diberikan saat makan atau sebelum makan.

Bila dengan GHS dan monoterapi OHO glukosa darah belum terkendali maka diberikan kombinasi 2 OHO. Untuk terapi kombinasi harus dipilih 2 OHO yang cara kerja berbeda, misalnya golongan sulfonilurea dan metformin. Bila dengan GHS dan kombinasi terapi 2 OHO glukosa darah belum terkendali maka ada 2 pilihan yaitu yang pertama GHS dan kombinasi terapi 3 OHO atau GHS dan kombinasi terapi 2 OHO bersama insulin basal. Yang dimaksud dengan insulin basal adalah insulin kerja menengah atau kerja panjang, yang diberikan malam hari menjelang tidur.

Bila dengan cara diatas glukosa darah terap tidak terkendali maka pemberian OHO dihentikan, dan terapi beralih kepada insulin intensif. Pada terapi insulin ini diberikan kombinasi insulin basal untuk mengendalikan glukosa darah puasa, dan insulin kerja cepat atau kerja pendek untuk mengendalikan glukosa darah prandial. Kombinasi insulin basal dan prandial ini berbentuk basal

Page 9: Learning Issue.docx

Nama : Naufal Karyna PutriKelas : AlphaNIM : 0411281419129

bolus yang terdiri dari 1 x basal dan 3 x prandial. Algoritma tata laksana selengkapnya dapat dilihat pada gambar. Tes hemoglobin terglikosilasi (disingkat A1c), merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Pemeriksaan ini di - anjurkan setiap 3 bulan, atau minimal 2 kali setahun. Gambar menunjukkan panduan tatalaksana berdasarkan hasil A1c.

Algoritma DM Tipe 2 Tanpa Dekompensasi

Page 10: Learning Issue.docx

Nama : Naufal Karyna PutriKelas : AlphaNIM : 0411281419129

Algoritma DM Tipe 2 Berdasarkan Hasil HbA1c

Untuk mencegah komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes dinyatakan terkendali baik bila kadar glukosa darah, A1c dan lipid mencapai target sasaran.

Pedoman tatalaksana diabetes mellitus tipe-2 yang terbaru dari the American Diabetes Association/European Association for the Study of Diabetes (ADA/EASD) dan the American Association of Clinical Endocrinologists/American College of Endocrinology (AACE/ACE) merekomendasikan pemberian metformin sebagai monoterapi lini pertama. Rekomendasi ini terutama berdasarkan efek metformin dalam menurunkan kadar glukosa darah, harga relatif murah, efek samping lebih minimal dan tidak meningkatkan berat badan. Posisi Metformin sebagai terapi lini pertama juga diperkuat oleh the United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) yang pada studinya mendapatkan pada kelompok yang diberi Metformin terjadi penurunan risiko mortalitas dan morbiditas. UKPDS juga mendapatkan efikasi Metformin setara dengan sulfonilurea dalam mengendalikan kadar glukosa darah. Ito dkk dalam studinya menyimpulkan bahwa metformin juga efektif pada pasien dengan berat badan normal.