Laut, Bangsa, Puisi

39
1 Kalam 25 / 2013 M enjelang dihukum mati oleh regu tembak tentara kolonial Spanyol, pahlawan nasional dan Bapak Nasionalisme Filipina, Jose Rizal (1861-1896), menulis puisi “Ultimo Adios”. 1 Puisi ini dikutip dalam buku terkenal Benedict Anderson tentang asal-usul nasionalisme, Imagined Communities (1983). 2 Dalam pandangan Anderson, puisi anak negeri jajahan yang ditulis dalam bahasa penjajah ini mencontohkan bagaimana bahasa mengilhamkan suatu keterikatan atau rasa cinta kepada “bangsa”, komunitas rekaan imajinasi itu. Merujuk pada “Ultimo Adios“, Anderson mencatat: Sesuatu yang termasuk intisari cinta politis ini dapat dibaca pada cara-cara bahasa menuturkan obyeknya: entah dalam khazanah kata yang merujuk kekerabatan (ibu pertiwi, Vaterland, patria), atau yang mengacu kepada rumah (heimat atau tanah air). Dua idiom tadi mencandrakan sesuatu yang membuat seseorang terikat secara alami. Seperti telah kita saksikan sebelumnya, segala 1 Puisi ini pernah diterjemahkan oleh Rosihan Anwar dengan judul “Salam Terakhir”. Konon, puisi ini dibacakan oleh para pejuang kemerdekaan RI sebelum pergi ke medan perang. 2 Benedict Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, terjemahan Omi Intan Naomi (Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 2001), 217, dengan sejumlah perbaikan berdasarkan versi Inggris Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, Revised Edition (London, New York: Verso, tenth impression, 2000),143. Laut, Bangsa, Puisi Menarasikan Keindonesiaan di “Bawah-SadarPuisi Indonesia Arif Bagus Prasetyo

Transcript of Laut, Bangsa, Puisi

Page 1: Laut, Bangsa, Puisi

1 PB

Kalam 25 / 2013

Menjelang dihukum mati oleh regu tembak tentara kolonial

Spanyol, pahlawan nasional dan Bapak Nasionalisme

Filipina, Jose Rizal (1861-1896), menulis puisi “Ultimo

Adios”.1 Puisi ini dikutip dalam buku terkenal Benedict Anderson

tentang asal-usul nasionalisme, Imagined Communities (1983).2 Dalam

pandangan Anderson, puisi anak negeri jajahan yang ditulis dalam

bahasa penjajah ini mencontohkan bagaimana bahasa mengilhamkan

suatu keterikatan atau rasa cinta kepada “bangsa”, komunitas rekaan

imajinasi itu. Merujuk pada “Ultimo Adios“, Anderson mencatat:

Sesuatu yang termasuk intisari cinta politis ini dapat dibaca pada cara-cara bahasa menuturkan obyeknya: entah dalam khazanah kata yang merujuk kekerabatan (ibu pertiwi, Vaterland, patria), atau yang mengacu kepada rumah (heimat atau tanah air). Dua idiom tadi mencandrakan sesuatu yang membuat seseorang terikat secara alami. Seperti telah kita saksikan sebelumnya, segala

1 Puisi ini pernah diterjemahkan oleh Rosihan Anwar dengan judul “Salam Terakhir”. Konon, puisi ini dibacakan oleh para pejuang kemerdekaan RI sebelum pergi ke medan perang.

2 Benedict Anderson, Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, terjemahan Omi Intan Naomi (Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 2001), 217, dengan sejumlah perbaikan berdasarkan versi Inggris Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections

on the Origin and Spread of Nationalism, Revised Edition (London, New York: Verso, tenth impression, 2000),143.

Laut, Bangsa, Puisi

Menarasikan Keindonesiaan

di “Bawah-Sadar” Puisi Indonesia

Arif Bagus Prasetyo

Page 2: Laut, Bangsa, Puisi

2 PB

Kalam 25 / 2013

sesuatu yang “alami” pastilah mengandung sesuatu yang bukan-pilihan. Dengan begitu, kebangsaan dilebur ke dalam warna kulit, gender, keorangtuaan, serta zaman-kelahiran—alias segala hal yang tidak menolong sama sekali. Dan dalam “ikatan alami” ini orang merasakan apa yang mungkin bisa disebut sebagai “keindahan paguyuban (gemeinschaft)”.

Dalam formasi diskursif kebangsaan Indonesia pada awal abad

ke-20, pandangan Anderson tersebut tampak berlaku pada sejumlah

puisi Muhammad Yamin (1903-1962) yang sering dirujuk sebagai

karya sastra Indonesia pelopor yang menyuarakan nasionalisme,

aspirasi kebangkitan nasional dan persatuan keindonesiaan, terutama

puisi “Tanah Air”, “Bahasa, Bangsa”, “Indonesia, Tumpah Darahku” dan

“Bandi Mataram”.3 Sekitar dua dasawarsa sebelum Negara Kesatuan

Republik Indonesia dilahirkan di muka bumi, dalam sajak-sajak itu

Yamin menyemaikan bayangan/perasaan keindonesiaan dengan

mengoperasikan sederet idiom puitik yang menyiratkan ikatan-ikatan

“alami” dan “kodrati” yang mengkonstitusi identitas seseorang: tanah,

tanah air, tumpah darah, panorama alam tropis, ayah, ibu, istri, anak,

ninik, keluarga, moyang, kawan, saudara, handai-tolan, kampung,

badan, nyawa; seia sehidup semati, sekata sekumpul seikat sehati,

senyawa sebadan sungguh sejati, sedarah-sebangsa. Inilah mata-mata

rantai ikatan “alami-kodrati” yang terangkai menjadi “keindahan

paguyuban” kebangsaan: “Perasaan serikat menjadi padu / Dalam

bahasanya, permai merdu” (“Bahasa, Bangsa”). Yamin mengeksplisitkan

sebuah ciri kesadaran nasionalis bahwa, dalam ungkapan Anderson,

“sejak awal bangsa sudah dipahami dalam bahasa”: “Terlahir di bangsa,

3 H.B. Jassin, ed., Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (Jakarta: Gunung Agung, 1963),321-338.

Page 3: Laut, Bangsa, Puisi

3 PB

Kalam 25 / 2013

berbahasa sendiri”, “Tiada bahasa, bangsa pun hilang” (“Bahasa, Bangsa”),

“O, tanah, wahai pulauku / Tempat bahasa mengikat bangsa” (“Tanah Air”).

Dari Muhammad Yamin, mari sejenak kembali ke Jose Rizal.

Ditulis untuk mengantisipasi elmaut yang segera datang menjemput,

“Ultimo Adios” Jose Rizal mudah dibaca sebagai ucapan pamitan dari

seseorang yang hendak pergi meninggalkan dunia fana ke alam baka.

Tetapi, puisi ini juga terasa menyarankan bahwa tatapan sang penyair

tidak semata-mata tertuju pada negeri kematian. Kita baca bait ke-13:

Tanah pujaan, dengarkan selamat tinggalku!Filipina Cintaku, dukamu sangat laraku jua,Kutinggalkan kalian semua, yang sangat kucintai;‘Ku pergi ke sana, di mana tiada hamba tiada tiran berada,Di mana Keyakinan tiada merenggut nyawa,Dan Tuhan mahakuasa beradu.

Jose Rizal akan “pergi ke sana”, jelas ke negeri kematian, tapi

mungkin yang terbayang di benaknya bukan akhirat, melainkan

negara-bangsa Filipina pascakolonial: sebuah alamat politis yang

menjanjikan kebebasan, keadilan dan kesetaraan (“di mana tiada

hamba tiada tiran berada / Di mana Keyakinan tiada merenggut

nyawa”), dan janji itu dijamin dengan segel ilahiah sehingga tak dapat

diganggu-gugat oleh manusia fana, terutama penjajah (“Dan Tuhan

mahakuasa beradu”). Dalam bayangan maut yang tak terelakkan

dan kemahakuasaan Tuhan yang tak bisa dipatahkan, terwujudnya

negara-bangsa Filipina pascakolonial seakan-akan kodrat yang pasti

terjadi. Sang penyair dan bangsanya adalah satu (“Filipina Cintaku,

dukamu sangat laraku jua”). Penjajah boleh mematikan raga Rizal, tapi

tidak sukma sang penyair yang lebur dengan bangsanya, sebab mati

Page 4: Laut, Bangsa, Puisi

4 PB

Kalam 25 / 2013

hanyalah “tetirah”, istirahat, sebagaimana disimpulkan di akhir puisi.

Jika kodrat menghendaki sang penyair “pergi ke sana” menuju alamat

kemerdekaan di akhirat, maka kodrat yang sama meniscayakan

bangsa Filipina “pergi ke sana” menuju alamat kemerdekaan di dunia.

Inilah aspirasi nasionalisme yang menjadi terang-benderang dalam

bait terakhir puisi “Bandi Mataram” Muhammad Yamin: “Kini

bangsaku, insafkan diri / Berjalan ke muka, marilah mari / Menjelang

padang ditumbuhi mujari / Dicayai Merdeka berseri-seri.”

Motif “pergi ke sana” melatari puisi “Menuju ke Laut”4 karya

salah seorang tokoh perintis kesusastraan Indonesia lainnya, Sutan

Takdir Alisjahbana (1908-1994). Kita tahu, Alisjahbana adalah pendiri

dan pemimpin Poedjangga Baru, “Madjalah boelanan pembimbing

semangat baroe jang dinamis oentoek membentoek keboedajaan baroe,

keboedajaan persatoean Indonesia”, yang terbit pertama kali pada Juli

1933. Di bawah judul puisi “Menuju ke Laut”, yang dimuat di majalah

Pembangunan pada September 1946, Alisjahbana membubuhkan

frasa “Angkatan Baru”. Berkat sub-judul ini, ditambah dengan

aktivitas menonjol Alisjahbana sebagai sastrawan-intelektual yang

giat mempromosikan gagasan-gagasan tentang kiblat “kebudayaan

baru, kebudayaan persatuan Indonesia” yang merupakan antitesis

kebudayaan lama masyarakat pra-Indonesia, puisi “Menuju ke Laut”

dapat dibaca sebagai bagian dari pembentukan wacana kebangsaan

Indonesia. Puisi yang mengabarkan tentang hijrah fisik subyek dari

gunung ke laut ini menjadi isyarat hijrah rohani dari kebudayaan

lama ke kebudayaan baru, yakni kebudayaan persatuan Indonesia.

4 S. Takdir Alisjahbana, Lagu Pemacu Ombak (Jakarta: Dian Rakyat, cetakan kedua, 1984). Puisi-puisi Alisjahbana lainnya yang dibahas dalam tulisan ini termaktub dalam buku tersebut.

Page 5: Laut, Bangsa, Puisi

5 PB

Kalam 25 / 2013

Motif “pergi ke sana” yang diungkapkan dengan kiasan “menuju ke

laut” dalam puisi ini mengisyaratkan gerak pencarian “kebudayaan

persatuan Indonesia” yang didefinisikan oleh “kemajuan” di bawah

debur-gelora proyek modernitas—sebuah bangsa Indonesia progresif

yang berangkat menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain di

muka bumi.

Bayangan keindonesiaan dalam puisi “Menuju ke Laut”

dikonstruksi dengan memutus ikatan dengan sesuatu yang “alami” dan

“kodrati”, sikap yang kontras dengan karakter ekspresi seni nasionalis

Andersonian maupun puisi-puisi nasionalis Muhammad Yamin.

Berbeda dari puisi nasionalis “Ultimo Adios” Jose Rizal, gerak “pergi

ke sana” dalam puisi “Menuju ke Laut” Alisjahbana bukan didorong

oleh kodrat, nasib atau takdir, melainkan oleh pilihan, kesadaran

dan agensi subyek. Kontras dengan puisi nasionalis Yamin, puisi

Alisjahbana ini menegasi sesuatu yang membuat seseorang “terikat

secara alami”, bahkan sampai dua kali (pada bait pertama dan bait

terakhir):

Kami telah meninggalkan engkau,tasik yang tenang, tiada beriak,diteduhi gunung yang rimbundari angin dan topan.Sebab sekali kami terbangunDari mimpi yang nikmat.

Sementara Yamin melegitimasi keindonesiaan dengan

menggaungkan ikatan-ikatan lama yang “alami” dan “kodrati”,

Alisjahbana meluncurkan langkah retorik yang memutus ikatan-

ikatan itu untuk menjalin identitas keindonesiaan baru. Nasionalisme

Page 6: Laut, Bangsa, Puisi

6 PB

Kalam 25 / 2013

Yamin berpijak pada genealogi kesinambungan dan persamaan,

nasionalisme Alisjahbana bertumpu pada teleologi keterputusan

dan perbedaan. Aspirasi nasional Yamin berbasis “muasal”, aspirasi

nasional Alisjahbana berbasis “tujuan”. Lewat puisi “Menuju ke Laut”,

Alisjahbana terasa menampik anggapan bahwa bangsa Indonesia

tumbuh dari masa lampau ke masa kini, dan sebagai gantinya, ia

menempatkan lokasi formatif keindonesiaan pada matriks yang

terbentang dari masa kini ke masa depan. Sebab “ketenangan lama”,

muasal silam itu, identik dengan “rasa beku” dan “rasa pengalang” bagi

“berontak hati hendak bebas / menyerang segala apa mengadang”. Maka

sang penyair modernis memilih hengkang dari “ketenangan lama”,

menyongsong cakrawala masa depan, meski “betapa sukarnya jalan,

badan terhempas, kepala tertumbuk, hati hancur, pikiran kusut”.

Dengan memutus “ikatan kodrati” dengan muasal silam,

kemudian mengarungi laut luas nan ganas di hadapan, apakah

berarti subyek melepaskan “keindahan paguyuban”? Tercerabut dari

kolektivitas yang mengungkung dan menjadi individu yang bebas,

dengan segala berkah dan kutuk kebebasan itu? Bagi Alisjahbana,

tampaknya tidak demikian. Yang berbicara dalam puisi “Menuju ke

Laut” adalah “kami”, subyek kolektif, dan suara paguyuban ini tetap

solid dari awal sampai akhir puisi. “Menuju ke Laut” bersinonim

dengan “Menuju kebudayaan dan masyarakat baru”—judul prosa-

liris Alisjahbana bertahun 1939. Kolektivitas “beku” dan “pengalang”

itu adalah masyarakat lama, yang ditinggalkan demi terciptanya

kolektivitas baru, bagaikan senyawa lama yang terurai menjadi

atom-atom yang membentuk senyawa baru. Persenyawaan baru ini

dimungkinkan karena sang penyair dapat membayangkan bahwa

di seberang lautan ada tanah, “ikatan kodrati”, yang menunggu.

Page 7: Laut, Bangsa, Puisi

7 PB

Kalam 25 / 2013

Dalam puisi “Nikmat Nakhoda Menuju Pelabuhan” bertahun 1937,

subyek otonom-bebas yang telah mengembara di lautan luas naik

kapal dengan “layar compang-camping dan kemudi gila” pada akhirnya

melihat pelabuhan dan memaklumkan, sampai dua kali: “Dari kapal

beta tahulah beta, bahwa masih ada tanah daratan.” Demikian pula dalam

puisi “Kerabat Kita” yang bertahun 1962. Setelah pergi merantau

meninggalkan bunda, mengembara ke berbagai belahan dunia

dan menghanyut dalam lautan manusia, subyek pulang ke ibunya

dengan “berita girang” yang mengabarkan kolektivitas baru: “Bunda,

/ Alangkah luasnya dan dahsyatnya kerabat kita, / kaya budi kaya hati,

/ pusparagam ciptaan dan dambaan.” “Ikatan kodrati” lama memang

diputus, tapi hanya sebagai syarat untuk menjalin “ikatan kodrati”

baru: suatu komunitas terbayang di seberang “laut”.

Pemutusan dari “ikatan kodrati” itu menjadi tragis pada visi

puitik Amir Hamzah (1911-1946), sang “Raja Penyair Pujangga

Baru”, terutama dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi (1935).5 Dalam

puisi “Ibuku Dehulu”, Amir Hamzah tampak mengidentikkan figur

ibu dengan “ikatan kodrati” yang mendudukkan dan menundukkan

subyek di tengah tatanan sosial: “Demikian engkau: / Ibu, bapa, kekasih

pula / Berpadu satu dalam dirimu / Mengawas daku dalam dunia”.

Figur ibu dalam puisi ini dipandang sebagai bagian integral dari

otoritas kolektif “engkau” yang mengontrol subyek di bawah tatapan

kuasanya, menormalkan perversi subyek, dan menjamin status

terhormat subyek:

5 Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi (Jakarta: Dian Rakyat, cetakan kedelapan, 1978), 25. Selanjutnya ditulis Nyanyi Sunyi. Puisi-puisi Hamzah yang dibahas dalam tulisan ini termaktub dalam buku tersebut. Pembahasan tentang puisi-puisi Hamzah di bawah ini berbasis pada Arif Bagus Prasetyo, “Membaca (Kembali) Nyanyi Sunyi”, makalah diskusi publik “Mendaras Amir Hamzah” di Freedom Institute, Jakarta, 24 Juni 2010.

Page 8: Laut, Bangsa, Puisi

8 PB

Kalam 25 / 2013

Matanya terus mengawas dakuWalaupun bibirnya tiada bergeraMukanya masam menahan sedanHatinya pedih karena lakuku

Terus aku berkesal hatiMenurutkan setan mengacau-balauJurang celaka terpandang dimukaKusongsong juga—biar cedera

Bangkit ibu dipegangnya akuDirangkumnya segera dikucupnya sertaDahiku berapi pancaran nerakaSejak sentosa turun ke kalbu

Dibaca sebagai personifikasi otoritas kolektif yang mengontrol

individu, tokoh ibu dalam puisi “Batu Belah” dapat menyimbolkan

masyarakat lama (adat), rahim sosio-kultural yang telah melahirkan

sang penyair. Puisi ini menyiratkan kekecewaan sang penyair

terhadap “ikatan kodrati” lama yang tidak mampu mengakomodasi

keinginan individualnya. Kepada ibunya, si anak menuntut “Telur

kemahang minta carikan / Untuk lauk di nasi sejuk”, tetapi si ibu tidak

sanggup memenuhi permintaan itu: “Tiada sayang; / Dalam rimba

telur kemahang / Mana daya ibu mencari / Mana tempat ibu meminta”.

Masyarakat lama, yang membuat sang penyair terikat secara “kodrati”

itu, tak punya tempat untuk menampung aspirasi baru individu,

karena masyarakat ini telah lapuk, tinggal menunggu ambruk: si ibu

akhirnya menemui ajal dimangsa batu belah.

Tetapi, Amir Hamzah berbeda dari Sutan Takdir Alisjahbana

yang berani meninggalkan “ikatan kodrati” lama untuk menyongsong

masyarakat baru. Menyaksikan kematian sang ibu kultural, Hamzah

Page 9: Laut, Bangsa, Puisi

9 PB

Kalam 25 / 2013

tidak melihat kemungkinan lain kecuali menyongsong mautnya

sendiri. Si anak menyusul mati ibunya ke mulut batu belah, karena

“sudah demikian kuperbuat janji”. “Ikatan kodrati” itu terlalu kuat

untuk diputus. Dalam puisi “Terbuka Bunga”, Hamzah melihat

“terbuka bunga dalam hati”, dan tahu bahwa “dengan mengelopaknya

bunga ini, layulah bunga lampau”, tetapi ia sangsi bakal menemukan

“bunga sejati yang tiadakan layu”. Dalam puisi “Taman Dunia”, sang

penyair menyadari bahwa keterputusan dari “ikatan kodrati” yang

membimbing, mengarahkan dan menata kehidupannya hanya

membuatnya “termangu aku gilakan rupa”: terdampar sendirian

di pulau subyektivisme radikal, medan daya-daya dan dorongan-

dorongan subyektif yang saling bertentangan. Maka ia memilih

untuk tak jadi terkutuk, “insyaf diriku dera durhaka”, sebagaimana

dikatakannya dalam puisi “Insyaf”, meskipun itu berarti serasa

binasa (“Tahu aku / Kini hari menuai api / Mengetam ancam membelam

redam”): mati ditelan “ikatan kodrati” lama seperti dalam puisi “Batu

Belah”, atau mati gila dan kesepian seperti dalam puisi “Padamu Jua”,

di mana “Pulang kembali aku padamu / Seperti dahulu” berakhir tragis

dengan “nanar aku, gila sasar” dan “menunggu seorang diri [. . .] Mati

hari – bukan kawanku. . . .”

Apakah keindonesiaan sebagai sebuah konsesus kekitaan

baru serta-merta hadir tanpa masalah dengan dirombaknya konsensus

kekitaan lama, teristimewa dengan mengikrarkan “satu nusa, satu

bangsa, satu bahasa” pada 28 Oktober 1928 di gedung Keramat 106

Jakarta Raya? Para penyair seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan

Amir Hamzah, mungkin jauh di lubuk jiwa mereka, tampaknya

menyadari bahwa soalnya tidaklah mudah. Integrasi kekitaan baru

mempersyaratkan bukan transformasi, melainkan disintegrasi,

Page 10: Laut, Bangsa, Puisi

10 PB

Kalam 25 / 2013

kekitaan lama—dengan segala prosesnya yang menyakitkan. Senyawa

lama harus diuraikan dulu menjadi atom-atom untuk kemudian,

dengan upaya jatuh-bangun trial and error, ditempa kembali menjadi

senyawa baru. Rangkaian integrasi-disintegrasi-reintegrasi kekitaan

ini melibatkan pergolakan pikiran dan kemelut perasaan yang tidak

mudah dinavigasi. Pada Alisjahbana, sesudah meninggalkan tasik yang

tenang, jatuh, mengerang, keluh, badan terhempas, kepala tertumbuk,

hati hancur, pikiran kusut (“Menuju ke Laut”), setelah mengembara

dengan kapal yang layarnya compang-camping dan kemudinya gila

yang akan terkandas hancur di karang (“Nikmat Nakhoda Menuju

Pelabuhan”), sepulang dari rantau menjelajah banyak selat-sungai-

gunung-gurun, beragam warna-bahasa-budaya dan bersantap-

bercengkerma-bercumbu-bertengkar-berselisih (“Kerabat Kita”),

barulah subyek melihat “masih ada tanah daratan” (“Nikmat Nakhoda

Menuju Pelabuhan”) dan dapat kembali ke haribaan bunda dengan

membawa “berita girang” (“Kerabat Kita”). Model disintegrasi kekitaan

pada Alisjahbana adalah eksodus, dengan kemungkinan reintegrasi di

seberang “laut”. Sementara pada Hamzah, proses disintegrasi kekitaan

lama sebagai syarat pembentukan kekitaan baru terasa lebih telak dan

total.

Jika “kita” terbentuk dari kesatuan/kesamaan/kebersamaan dari

“aku” dan “kau”, maka Nyanyi Sunyi Amir Hamzah mengumandangkan

keterpisahan/kebedaan/kesendiri-sendirian antara “aku” dan “kau”.

Nyanyi Sunyi menandai krisis batin hebat yang mengiringi kelahiran

subyek atomik-individual dari retakan senyawa kolektivitas. Dalam

puisi “Hari Menuai”, Hamzah menulis:

Page 11: Laut, Bangsa, Puisi

11 PB

Kalam 25 / 2013

Lamanya sudah tiada bertemuTiada kedengaran suatu apaTiada tempat duduk bertanyaTiada teman kawan beberita Lipu aku diharu senduSamar sapur cuaca mataSesak sempit gelanggang dadaSenak terhentak raga kecewa

Hibuk mengamuk hati tergariMelolong meraung menyentak rentakMembuang merangsang segala petuaTiada percaya pada siapa

(Nyanyi Sunyi, 28)

“Tiada percaya pada siapa”. Model disintegrasi kekitaan Hamzah

adalah eksklusi/ekskomunikasi. Seperti Alisjahbana yang melihat

“masih ada tanah daratan” (“Nikmat Nakhoda Menuju Pelabuhan”),

sebetulnya Hamzah juga membayangkan kemungkinan reintegrasi

kekitaan baru dari puing-puing kekitaan lama. “Tiada bersua dalam

dunia / Tiada mengapa hatiku sayang,” kata Hamzah dalam puisi

“Astana Rela”. Sebab, meski bukan di dunia sekarang, masih ada

kebersamaan yang membahagiakan di dunia kelak: “Disitu baru kita

berdua / Sama merasa, sama membaca / Tulisan cuaca rangkaian mutiara”.

Namun eksklusi/ekskomunikasi memang menyarankan pemisahan

yang lebih radikal dari, dan tidak tertebus oleh, eksodus.

Alisjahbana bersemangat pergi ke laut karena tahu akan

mencapai daratan kekitaan di seberang sana: “Dari kapal beta tahulah

beta, bahwa masih ada tanah daratan” (“Nikmat Nakhoda Menuju

Page 12: Laut, Bangsa, Puisi

12 PB

Kalam 25 / 2013

Pelabuhan”). Optimisme demikian tampaknya ditampik oleh

Hamzah. Dalam puisi “Hanya Satu”, Hamzah melihat laut sebagai

situs katastrofe yang membuat “manusia kecil lintang pukang”. Baginya,

“Terapung naik jung bertundung / Tempat berteduh nuh kekasihmu”

bukan saja menghasilkan “Bebas lepas lelang lapang / Ditengah gelisah,

swara sentosa”, tetapi juga menimbulkan perpecahan baru: “Kini

kami bertikai pangkai / Diantara dua, mana mutiara”. Lautan memang

menjanjikan daratan kekitaan di seberang sana, tapi orang yang

menyeberangi laut bisa mati tenggelam sebelum daratan itu tergapai,

sebagaimana disuarakan dalam puisi “Hanyut Aku”:

Hanyut aku, kekasihku!Hanyut aku!Ulurkan tanganmu, tolong aku.Sunyinya sekelilingku!Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati, tiada air menolak ngelak.Dahagakan kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku sebabkan diammu.Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam.Tenggelam dalam malam.Air diatas menindih keras.Bumi dibawah menolak keatasMati aku, kekasihku, mati aku!

(Nyanyi Sunyi, 12)

Berbeda dari puisi “Hanya Satu” yang jelas-jelas berlatar

kisah mitologis pelayaran Nuh mengarungi samudra-banjir, puisi

“Hanyut Aku” tidak memberikan isyarat yang jelas apakah lanskap

perairan yang ditunjuknya adalah laut, sungai atau danau. Tetapi, dari

Page 13: Laut, Bangsa, Puisi

13 PB

Kalam 25 / 2013

kuatnya energi alam yang digambarkan (langit menyerkap, air berlepas

tangan, air diatas menindih keras, bumi dibawah menolak keatas) dan

asosiasi tentang keluasan ruang yang disiratkan oleh frasa “tenggelam

dalam malam”, lebih mudah membayangkan laut sebagai latar puisi

“Hanyut Aku”. Selain itu, puisi ini juga tidak menginformasikan

apakah kekitaan yang dibayangkan “aku” ketika berseru minta tolong

kepada “kau” berada di masa silam atau masa depan. Hamzah tidak

memberi tahu apakah “aku” membayangkan kolektivitas lama dengan

menghasratkan “kau” yang telah ditinggalkan, atau membayangkan

kolektivitas baru dengan menghasratkan “kau” yang akan dituju

di seberang sana. Namun kita tahu, dengan cukup yakin, bahwa

dengan berada di laut, subyek terputus dari “kau” yang (pernah/

akan) membentuk ikatan “kita”; dan bahwa, secara paradoksal, justru

kesendirian total yang ditemukan “aku” di laut itulah yang pada

akhirnya, di ambang kematian, menghidupkan kembali “kita” (dalam

seruan minta tolong kepada “kau”).

Dalam puisi “Hanya Satu” Hamzah, laut menceraiberaikan

kolektivitas (“Manusia kecil lintang pukang”), lalu membentuk kembali

kebersamaan (“Teriak riuh redam terbelam”) dan ikatan kekerabatan

(“Juriat jelita bapaku iberahim / Keturunan intan dua cahaya / Pancaran

putera berlainan bunda”); laut menghasilkan perpecahan (“Kini kami

bertikai pangkai / Di antara dua, mana mutiara”), tapi juga mengantarkan

ke persatuan ultim (“Hanya satu kutunggu hasrat / Merasa dikau

dekat rapat / Serupa musa dipuncak tursina.”). Sementara dalam puisi

Alisjahbana, “Nikmat Nakhoda Menuju Pelabuhan” dan “Menuju ke

Laut”, samudra—dengan segala dera dan bahayanya—memikat subyek

untuk bercerai dari ikatan lama, dengan menjanjikan ikatan baru di

seberang sana.

Page 14: Laut, Bangsa, Puisi

14 PB

Kalam 25 / 2013

Sebagai kaum terpelajar, para penyair pada masa pra-

maupun pascakemerdekaan tentu sangat menyadari bahwa Hindia-

Belanda atau Indonesia adalah negeri kepulauan yang sebagian besar

wilayahnya terdiri dari lautan. Lautan bersama daratan membentuk

kesatuan “tanah air” Indonesia, di mana laut menjadi bagian (dominan)

dari lingkungan dalam negeri. Tetapi, sebagian besar tapal batas

Indonesia yang bersinggungan dengan wilayah non-Indonesia juga

berada di lautan, sehingga perbatasan teritorial itu hanya kasatmata

dalam imajinasi, ketika ditarik sebagai garis imajiner pada peta.

Sementara dalam kenyataan, batas lautan Indonesia selalu terlihat

homogen dan bercampur dengan wilayah laut luar negeri. Laut

seakan-akan berada di dalam dan sekaligus di luar “rumah” Indonesia.

Karakter geografis khas negeri kepulauan ini meresapi lanskap

imajinasi puitik banyak penyair Indonesia pada masa sebelum maupun

sesudah Perang Dunia Kedua. Laut tak pernah surut dari repertoar

tema, metafora, simbol dan citra dalam khazanah puisi berbahasa

Indonesia, sejak dulu sampai kini. Penyair Indonesia bahkan tak segan

menyatakan secara lugas kecintaannya kepada laut, misalnya “aku cinta

pada laut” (Abdul Hadi W.M., “Laut”, 1973), “aku ingin sendiri dengan

laut / di mana kulontarkan cinta kelam” (Subagio Sastrowardoyo,

“Soneta Laut”, 1989), “aku mencintai laut” (Adi Wicaksono, “Laut”,

1990-1993). Mirip dengan laut dalam realitas geografi Indonesia, laut

dalam imajinasi puitik banyak penyair Indonesia cenderung menjadi

situs diskursif untuk merepresentasikan daerah perbatasan, suatu

frontier, yang membatasi dan sekaligus melebur kategori-kategori yang

bertentangan: individualitas/kolektivitas, keterikatan/kebebasan,

keakraban/keasingan, jauh/dekat, soliter/solider, perpecahan/

persatuan, dulu/kini, tradisi/modern, kampung halaman/rantau,

Page 15: Laut, Bangsa, Puisi

15 PB

Kalam 25 / 2013

muasal/tujuan, nyata/maya, hidup/mati dan seterusnya.

Goenawan Mohamad, dalam esai “Melupakan: Puisi dan

Bangsa, Satu Motif dalam Modernisme Sastra Indonesia Sesudah

1945”,6 memasukkan “Laut” sebagai salah satu sub-tema pembahasan.

Di sana ia mengutip, antara lain, puisi Chairil Anwar, “Kabar dari

Laut” (1946),7 yang lengkapnya sebagai berikut:

KABAR DARI LAUT Aku memang benar tolol ketika itu,mau pula membikin hubungan dengan kau;lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu,berujuk kembali dengan tujuan biru.

Di tubuhku ada luka sekarang,bertambah lebar juga, mengeluar darah,di bekas dulu kau cium napsu dan garang;lagi aku pun sangat lemah serta menyerah.

Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi.Pembatasan cuma tambah menyatukan kenang.Dan tawa gila pada whisky tercermin tenang.

Dan kau? Apakah kerjamu sembahyang dan memuji,Atau di antara mereka juga terdampar,Burung mati pagi hari di sisi sangkar?

6 Goenawan Mohamad, “Melupakan: Puisi dan bangsa, sebuah motif dalam modernisme sastra Indonesia setelah tahuh 1945”, dalam Keith Foulcher dan Tony Day, ed., Clearing

A Space: Kritik Pasca Kolonial tentang Sastra Indonesia Modern (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & KITLV-Jakarta, 2006), 224-280. Selanjutnya ditulis Clearing A Space.

7 Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang: Koleksi Sajak 1942-1949, disunting oleh Pamusuk Eneste (Jakarta: Gramedia, cetakan keenam, 1993), 57. Selanjutnya ditulis Aku Ini

Binatang Jalang. Puisi-puisi Anwar lainnya yang dibahas dalam tulisan ini termaktub dalam buku tersebut.

Page 16: Laut, Bangsa, Puisi

16 PB

Kalam 25 / 2013

Dalam pandangan Mohamad:

Apa yang menonjol mengenai puisi ini adalah bahwa yang ditinggalkan bukanlah suatu jalan untuk pulang, atau suatu pelayaran menuju asal-usul, melainkan ke ‘tujuan biru’. Laut adalah rumah si asing, atau mungkin malah antitesisnya. Si pelaut menjadi sosok yang romantik, seorang Sinbad kecil tanpa dongeng-dongeng mukjijat dan kekuatan magis, melainkan suatu kisah tentang perlawanan, tentang keberanian sendiri, tentang kesendirian yang membanggakan, tentang mobilitas tanpa kekang dan pengembaraan yang menggairahkan (Clearing A Space, 255).

Bagi Mohamad, gerak metaforis pergi ke laut merefleksikan

tindak melupakan: suatu “pemberontakan dalam melupakan”

(merujuk pada puisi “Cerita buat Dien Tamaela” Anwar, 1946);

“suasana hati dari kehidupan tanpa titik pusat”, “perasaan hidup

menggelandang yang hebat” (merujuk pada puisi “Perhitungan”

Anwar, 1943); “terbang, lari, berharap tidak mencapai apa-apa pada

akhirnya”, “melupakan secara aktif” (merujuk pada puisi “Buat Gadis

Rasid” Anwar, 1948); bahwa “mempunyai alamat tidak penting

lagi” (merujuk pada larik penutup menggetarkan, “Ini juga kutulis di

kapal, di laut tidak bernama!” dalam puisi “Pemberian Tahu” Anwar,

1946). Catat Mohamad: “[p]uisi Indonesia setelah Perang Dunia II,

yang ditandai dengan lirikisme yang intens dan digarisbawahi oleh

karya-karya Chairil Anwar, mendapatkan bahwa adalah hal alami

untuk membebaskan diri dari ingatan dan memilih ‘laut’. Ada suatu

kekuatan murni yang bisa dirasakan dalam tindak melupakan. Yang

mengherankan mengenai hal ini adalah bahwa itu semua terjadi di

suatu masa ketika para penyair sendiri secara tuntas dibaptis dalam

suatu kesadaran tentang batas dan belonging yang muncul dari

Page 17: Laut, Bangsa, Puisi

‘materialitas’ bangsa ini.”

Tetapi puisi Chairil Anwar tampaknya juga menyarankan

bahwa berbeda dari lupa, “melupakan”—sebagai sebuah aktivitas

sadar—selalu berkorespondensi dengan tindak “mengingat”. Orang

tak dapat melupakan apa yang tidak diingatnya. Begitu juga sebaliknya,

orang tak bisa mengingat sesuatu tanpa melupakan sesuatu yang lain.

Arus bolak-balik antara “melupakan” dan “mengingat” ini terekam

pada puisi “Kabar dari Laut”, “Pemberian Tahu” dan “Buat Album

D.S.”—tiga karya Chairil Anwar dari 1946 yang bersinggungan

dengan wacana laut:

“Kabar dari Laut” “Pemberian Tahu” “Buat Album D.S.”

Melupakan Aku memang benar

tolol ketika itu, /

mau pula membikin

hubungan dengan kau;

/ lupa kelasi tiba-tiba

bisa sendiri di laut

pilu, / berujuk kembali

dengan tujuan biru.

Bukan maksudku

mau berbagi nasib,

/ nasib adalah

kesunyian masing-

masing. / Kupilih

kau dari yang

banyak, tapi /

sebentar kita sudah

dalam sepi lagi

terjaring.

Seorang gadis lagi

menyanyi / Lagu

derita di pantai

yang jauh, / Kelasi

bersendiri di laut

biru, dari / Mereka

yang sudah lupa

bersuka.

Mengingat Di tubuhku ada luka

sekarang, / bertambah

lebar juga, mengeluar

darah, / di bekas dulu

kau cium nafsu dan

garang; / lagi aku pun

sangat lemah serta

menyerah.

Aku pernah ingin

benar padamu, /

Di malam raya,

menjadi kanak-

kanak kembali,

// Kita berpeluk

ciuman tidak jemu,

/ Rasa tak sanggup

kau kulepaskan.

Kami rasa bahagia

tentu ‘kan tiba, /

Kelasi mendapat

dekapan di

pelabuhan / Dan

di negeri kelabu

yang berhiba /

Penduduknya

bersinar lagi, dapat

tujuan.

Page 18: Laut, Bangsa, Puisi

Melupakan Hidup berlangsung

antara buritan dan

kemudi. / Pembatasan

cuma tambah

menyatukan kenang.

/ Dan tawa gila pada

whisky tercermin

tenang.

Jangan satukan

hidupmu dengan

hidupku, / Aku

memang tidak bisa

lama bersama /

Ini juga kutulis di

kapal, di laut tidak

bernama!

Lagu merdu! apa

mengertikah

adikku kecil / yang

menangis mengiris

hati / Bahwa

pelarian akan terus

tinggal terpencil, /

Juga di negeri jauh

itu surya tidak

kembali?

Dalam tiga puisi tersebut, pergi ke laut, “bersendiri di laut biru”

(“Buat Album D.S.”), menandai terputusnya “aku” dari “hubungan

dengan kau” (“Kabar dari Laut”) yang pernah membentuk kolektivitas

“kita” atau “kami”. Laut mencerminkan wajah individualistis sang

penyair soliter yang berpuisi mendesahkan kesadaran humanis tragis:

“Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-

masing” (“Pemberian Tahu”).

Chairil Anwar dikenal banyak menulis puisi tentang problem

eksistensial yang dihadapi dengan heroik dan tragis oleh seorang

individualis-modernis.8 Sang Aku dengan perih-megap-meriang

banyak bertutur tentang hubungan asmara yang jalang dan/atau

getir, kesepian, kehampaan hidup, pencarian religius, maut, dan

pergolakan batin lainnya yang bersifat personal. Ditulis pada dekade

1940-an, kurun mahagenting dalam sejarah bangsa Indonesia dalam

merebut dan mempertahankan kemerdekaan, banyak puisi Anwar

menampilkan “aku” yang cenderung muram, terkesan menjauh dari

gelora semangat kolektif sebuah bangsa di tengah suasana revolusi.

8 Pembahasan tentang puisi-puisi Chairil Anwar di bawah ini berdasarkan Arif Bagus Prasetyo, “Chairil Anwar dan Semangat Kebangsaan”, Tempo, Edisi 19-25 Mei 2008.

Page 19: Laut, Bangsa, Puisi

Kesan ini bahkan membayangi puisi yang judulnya menggelorakan

semangat nasionalisme, “Merdeka” (1943). Setelah pada bait awal

mengumandangkan kobar hasrat aku-lirik untuk “bebas dari segala”

dan “merdeka”, puisi dikunci dengan bait bernada sendu-pilu-kelu:

“Ah! Jiwa yang menggapai-gapai, / Mengapa kalau beranjak dari sini /

Kucoba dalam mati.”

Namun Anwar juga populer sebagai penyair yang, lebih

daripada penyair lainnya di sepanjang sejarah sastra Indonesia,

paling representatif membawa pijar semangat kebangsaan. Semangat

kebangsaan, atau nasionalisme dan patriotisme, seakan melekat pada

citra Chairil Anwar di mata masyarakat sastra maupun khalayak

umum di negeri ini. Banyak pakar sastra Indonesia yang menyepakati

bahwa nasionalisme/patriotisme adalah bagian penting dari riwayat

Chairil Anwar. Sekadar contoh, dalam esai “Chairil Anwar Kita”, yang

menutup buku koleksi lengkap puisi Chairil Anwar, Aku Ini Binatang

Jalang (1986), Sapardi Djoko Damono menulis: “Bagaimanapun,

Chairil Anwar tampil lebih menonjol sebagai sosok yang penuh

semangat hidup dan sikap kepahlawanan. . . . Bahkan sebenarnya

Chairil Anwar adalah salah seorang penyair kita yang memperhatikan

kepentingan sosial dan politik bangsa.” Dami N. Toda, dalam esai “Pada

‘Malam Chairil Anwar’ KNPI Pusat 29 April 1980”,9 bahkan tegas

menyatakan: “Sehubungan dengan kelibatan sosial yang bermakna

Patriotisme, Chairil Anwar sepenuhnya menginsafi getar denyut

dan tuntutan bangsanya. Seluruh perjuangan estetik dengan seluruh

peralatan analisis rasional yang tajam, diabdikan kepada bangsa.”

Puisi-puisi Anwar berjudul “Merdeka”, “Diponegoro”, “Cerita Buat

9 Dami N. Toda, Hamba-Hamba Kebudayaan (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984), 90-93.

Page 20: Laut, Bangsa, Puisi

Dien Tamaela”, “Kerawang-Bekasi”, “Persetujuan dengan Bung

Karno”, “Catetan Tahun 1946”, “Prajurit [sic] Jaga Malam”, bahkan

“Aku” yang terkesan merayakan individualisme, dalam pandangan

Toda, “adalah jelas sajak-sajak patriotik”.

Memang, “keakuan” Anwar dalam puisi tidak mutlak harus

ditafsirkan sebagai “sikap individualistis” pribadi, tapi bisa juga

dimaknai sebagai pernyataan eksistensial dari komunitas nasional

yang baru merdeka dan ingin mandiri-berdikari: sebuah “bangsa

muda menjadi” yang “baru bisa bilang ‘aku’” (“Buat Gadis Rasid”). Itu

sebabnya Toda memasukkan puisi “Aku” dalam kelompok “sajak-

sajak patriotik”. Tapi sebaliknya, Damono mengatakan bahwa puisi

yang sama mencerminkan sikap individualistis Anwar: “Boleh

dikatakan berdasarkan sajak inilah ia dianggap seorang individualis.”

Barangkali Toda membaca aku-lirik puisi “Aku” sebagai personifikasi

bangsa Indonesia, suatu pars pro toto dari “kami bangsa Indonesia”,

sedangkan Damono membacanya sebagai manifesto ego-pribadi.

Kedua tafsir sama-sama sah.

Menarik, dalam “Persetujuan dengan Bung Karno”, sebuah

puisi bernada patriotik-nasionalis yang dicap Damono sebagai

“sama sekali tidak mencerminkan sikap individualistis dan jalang”,

metafora laut dimunculkan Anwar untuk menunjuk kolektivitas.

Ini kontras dengan laut yang dijadikan indeks individualitas dalam

puisi “Kabar dari Laut”, “Pemberian Tahu” dan “Buat Album D.S.”.

Puisi “Persetujuan dengan Bung Karno” cukup jelas menggambarkan

transformasi “aku” menjadi kolektivitas massa yang tersihir retorika

Bung Karno yang terkenal mampu membius khalayak ramai: setelah

“Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, / dipanggang atas apimu,

digarami oleh lautmu”, maka “Aku melangkah ke depan berada rapat di

Page 21: Laut, Bangsa, Puisi

sisimu / Aku sekarang api aku sekarang laut”. Laut melebur “aku” ke

dalam gerak gelora kolektivitas bangsanya di bawah pimpinan sang

singa podium “penyambung lidah rakyat Indonesia”: “Bung Karno! Kau

dan aku satu zat satu urat / Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar /

Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh”. Laut menjadi

“ikatan kodrati” yang menautkan subyek individual pada bangsa.

Laut tampaknya bukan saja memutus ikatan dengan

kolektivitas lama, tapi juga memfasilitasi ikatan dengan kolektivitas

baru. Pada kasus Chairil Anwar, kolektivitas baru ini adalah “bangsa

Indonesia” yang sedang menggeliat merdeka, massa revolusioner

yang cenderung menihilkan eksistensi pribadi. Maka pergi ke laut

menjadi suatu strategi intelektualisme defensif, di mana sang penyair

Anwar membina suatu kehidupan introspeksi batin di seberang

gelora aktivitas revolusi. Inilah mekanisme pertahanan diri yang

secara spiritual melindungi sang penyair dari lenyap terseret arus

massa revolusioner. Namun pada tataran lain, laut juga menebus

keterasingan subyek individual, melebur kembali sang penyair

ke dalam gegap-gempita massa di bawah bendera revolusi. Dua

penggunaan metafora laut dalam perbendaharaan puisi Chairil

Anwar ini mengisyaratkan bahwa subyek pergi ke laut bukan untuk

melupakan saja, namun lebih untuk mencari suatu keseimbangan

batin antara melupakan dan mengingat, antara individualisme dan

kolektivisme, antara kesoliteran dan solidaritas. Laut mencerminkan

strategi sang penyair dalam menavigasi subyektivitas individualnya

di tengah disposisi kolektivitas dan ikatan.

Pergi ke laut, yang mudah terbaca sebagai aksi melupakan

(daratan, rumah, ikatan, asal-usul), tampaknya bisa menjadi suatu

jalan berputar untuk mengingat, untuk menyelamatkan keping-

Page 22: Laut, Bangsa, Puisi

keping ingatan. Dalam puisi Chairil Anwar, “Kabar dari Laut”,

“Pemberian Tahu” dan “Buat Album D.S.”, dapat kita lihat bahwa

di laut, subyek justru banyak berbicara tentang yang ditinggalkan di

darat, meski secara negatif. Hal ini terbaca lebih jelas dalam puisi Sitor

Situmorang, penyair seangkatan Chairil Anwar yang terkenal sebagai

sosok pengembara lahir-batin Barat-Timur. Pada 1940-an, kurang-

lebih bersamaan dengan masa aktif kepenyairan Chairil Anwar,

Situmorang menulis puisi “Pelaut (1)” dan “Pelaut (2)”.10 Dalam puisi

“Pelaut (1)”, subyek sedang berlayar di laut menghadapi angin, ombak,

sinar dan burung camar, tetapi ingatannya justru melayang pada

keluarga yang ditinggalkan di darat: “Di tepi sekali tuan syahbandar.

/ Mungkin ada isteri, sebuah / kamar / Anak main pelaut di geladak /

sekunar.” Meskipun “memikirkannya sukar”, ikatan kekeluargaan itu

samar-samar dipulihkan di laut yang telah jauh memisahkan individu

dari kolektivitas. Dalam puisi “Pelaut (2)”, proyek melupakan bahkan

ditolak dengan tegas. Subyek pergi ke laut bukan untuk melupakan,

tapi justru untuk menebus disintegrasi ingatan:

Berpaling dari benuaMenghadap samudraSudah ia cobaMengatasi segala

Bukan untuk melupaAtau mencari apaHanya hendak dicobaMenyatukan segala

10 Sitor Situmorang, Bunga di Atas Batu (Si Anak Hilang) (Jakarta: Gramedia, 1989), 14-15.

Page 23: Laut, Bangsa, Puisi

Laut memulihkan kesadaran akan ikatan/tambatan yang

berpotensi meredakan kesepian eksistensial:

Pelaut dapat ikutan baru

Ini kali di luar rindu

Di dalam pandang mahatahu

Mungkin. Siapa tahu.

Sunyi pelaut tak terduga.

Dalam puisi “Lautan”,11 Rendra menegaskan, sampai dua

kali, bahwa “daratan adalah rumah kita”. Frasa “rumah kita” dapat

diartikan sebagai “rumah milik kita”, tapi juga “rumahnya kita”,

“rumah kekitaan”: daratan menunjuk kolektivitas dalam ikatan

yang “alami” dan “kodrati”. Dipertentangkan dengan daratan, lautan

menunjuk individualitas di luar rumah, di luar ikatan asal-usul, batas

atau kepemilikan bersama yang mendasari makna kekitaan. Rendra

mendefinisikan lautan sebagai “kebebasan” (“lautan adalah kebebasan”),

tapi juga “rahasia” (“lautan adalah rahasia”). Lautan menjanjikan

kebebasan subyek dari ikatan alami-kodrati yang mengekang (ingat,

puisi ini memosisikan “lautan”, yang diidentikkan dengan “kebebasan”,

sebagai antipoda “daratan”). Namun begitu subyek telah berada di laut

untuk menjemput kebebasan, ternyata laut tidak memberikan apa-apa

(“Sedang lautan memandang saja. / Lautan memandang saja.”), kecuali

hanya cermin yang membongkar subyek sebagai Liyan (The Other):

“Di hadapan wajah lautan / nampak diriku yang pendusta.” Dusta adalah

11 Rendra, Sajak-Sajak Sepatu Tua (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), 42-43.

Page 24: Laut, Bangsa, Puisi

sesuatu yang menyembunyikan, seperti halnya “rahasia”. Terbongkar

sebagai Liyan, subyek merasa tak ada gunanya berbicara (“Tak usah

bersuara! Janganlah bersuara! Suara dan kata terasa dena.”), karena di

lautan “kebebasan” itu ia hanya bisa berbicara dengan bahasa lain,

bahasa Liyan, bahasa “rahasia” yang mematikan komunikasi dan

mengasingkan subyek. Dengan karakter rahasianya, laut tak bisa

mengartikulasikan kebebasan individu pada wilayah di luar daratan

kolektivitas, ikatan yang mengekang, tapi mungkin penuh makna.

Rendra terasa memandang laut tanpa keinginan berlayar seperti

Alisjahbana pada 1930-an, atau Anwar dan Situmorang pada 1940-

an. Laut masih dipandangnya mengulurkan kesendirian, tapi bukan

“kesendirian yang membanggakan”; menyodorkan mobilitas tanpa

kekang dan pengembaraan, tapi bukan “mobilitas tanpa kekang

dan pengembaraan yang menggairahkan”—meminjam komentar

Mohamad terhadap puisi “Kabar dari Laut” Chairil Anwar. Ditulis

pada awal 1970-an, puisi “Lautan” Rendra seperti mengisyaratkan

kesulitan subyek untuk mengidentifikasi diri secara otentik dan

bermakna di antara identitas lokal-tradisional lama yang kian surut

dan identitas nasional-modern baru yang makin dikentalkan secara

top-down dalam proyek nasionalisme persatuan (mono-)kultural

negara Orde Baru yang bangkit dari reruntuhan tragedi perpecahan

internal dan perang saudara pascarevolusi.

Pada 1973, Abdul Hadi W.M. menulis puisi “Laut”.12 Dalam

puisi ini, laut seakan-akan bukan lagi ranah ekskomunikasi yang

memutus ikatan kebersamaan, seperti dalam beberapa puisi Chairil

Anwar. Justru sebaliknya, puisi ini mempersonifikasi laut sebagai

12 Abdul Hadi W.M., Meditasi (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), 24-25.

Page 25: Laut, Bangsa, Puisi

teman bercakap-cakap yang memungkinkan terjadinya komunikasi.

Laut membuka ruang kebersamaan dalam suatu hubungan

komunikasi intersubyektif. Dengan akrab “aku” menyapa laut, dan

laut menanggapi aku-lirik dengan hangat, membalas sapaannya,

“mendengar semua yang kubisikkan padanya perlahan-lahan”. “Aku”

dan “laut” bercakap-cakap membentuk kebersamaan “kami”. Tetapi

kita tahu, dari awal sampai akhir puisi ini, sesungguhnya hanya

“aku” yang bersuara—menceritakan interaksi antara dirinya dan laut.

Suara tunggal “aku” memproyeksikan kesendirian/keterasingan,

tapi kehadiran laut menyembunyikan kesendirian/keterasingan itu

di balik ilusi kebersamaan. Laut hanya bersuara kepada “aku”, dan

ikatan “kami” hanya terbentuk sebatas klaim oleh “aku”. Di luar “aku”,

mungkin tak ada yang bersuara, tidak ada “kami”, kecuali kebisuan.

Abdul Hadi menutup puisi “Laut” dengan sebuah simpulan:

begitulah tak ada yang sebenarnya kami tawakan dan percakapkan kecuali sebuah sajak lama:aku cinta pada laut, laut cinta padaku dan cinta kami seperti kata-kata dan hati yang mengucapkannya.

Dalam hubungannya dengan konstruksi “kami”, ada dua tafsir

yang dapat diberikan pada pernyataan akhir Abdul Hadi tersebut.

Pertama, ikatan “kami” hanya muncul ketika kebersamaan didasari

“cinta”, yang berarti terbukanya ruang ekspresi di mana “kata-kata”

adalah ungkapan dari “hati yang mengucapkannya”. Integrasi “kami”

terselenggara bukan dengan menindas identitas elemen-elemen

pembentuknya demi proyek persatuan, tapi justru sebaliknya, dengan

membuka kanal ekspresi identitas-identitas parsial: “cinta kami”,

Page 26: Laut, Bangsa, Puisi

suatu kesatuan “kami” yang sejati, tercipta dari “aku” yang mendengar

“laut” (“selalu kudengar selamat paginya dengan ombak berbuncah-

buncah”) dan “laut” yang mendengar “aku” (“laut mendengar semua

yang kubisikkan padanya perlahan-lahan”). Di tengah keterasingan

dan kesendiriannya dalam situasi “kami” yang ilusif, monolitik dan

totaliter, aku-lirik membayangkan konstruksi “kami” yang inklusif,

toleran dan partisipatif—suatu “kami” yang tidak membisukan dan

mengasingkan. Dibaca seperti ini, puisi “Laut” Abdul Hadi seperti

mereaksi proses-proses totalisasi keindonesiaan “resmi” versi negara

Orde Baru yang aktif merepresi kemajemukan identitas kultural di

bawah karpet stabilitas nasional, atau menjadikannya sekadar dekor-

dekor “Bhinneka Tunggal Ika” yang menghiasi ideologi pembangunan.

Puisi ini terasa menyodorkan narasi tanding terhadap narasi “kami”

(bangsa Indonesia) dalam wacana Orde Baru, yang bersifat instruktif-

indoktrinatif dan dioperasikan di bawah pengaturan dan pengawasan

pemerintah.

Tafsir kedua, pernyataan bahwa “tak ada yang sebenarnya

kami tawakan dan percakapkan kecuali sebuah sajak lama” seperti

mengafirmasi keterasingan puisi Indonesia itu sendiri dalam

konstruksi “kami” sebagai subyek nasional. Puisi ini mengkonstruksi

“kami” dari wacana internal tentang puisi sendiri, mengisyaratkan

keterputusan/keterpisahan dari wacana “kami” di luar puisi.

Ditulis dalam bahasa Indonesia yang secara historis dan

politis terpilih menjadi alat pemersatu penduduk yang berbeda-beda

budaya dan bahasa lokal, tapi dibayangkan sebagai satu kesatuan

“bangsa Indonesia”, puisi Indonesia sejak awal adalah ujung tombak

dalam formasi keindonesiaan. Pada satu kakinya, puisi Indonesia

seolah menyeret nasionalisme. Sementara pada kaki lain, puisi

Page 27: Laut, Bangsa, Puisi

Indonesia diganduli oleh modernisme yang mendorong gerak maju

terus-menerus untuk meninggalkan kebudayaan dan masyarakat

lama menuju kebudayaan dan masyarakat baru. Ada masanya ketika

beban nasionalisme dan modernisme ini seiring-sejalan dalam

politik pemaknaan yang dijalankan oleh puisi Indonesia. Seruan

puitik modernis Rustam Effendi pada 1926 bahwa “Seloka lama beta

buang beta singkiri”, atau Chairil Anwar pada 1943 bahwa “Aku ini

binatang jalang / Dari kumpulannya terbuang // Biar peluru menembus

kulitku / Aku tetap meradang menerjang”, atau Alisjahbana pada 1946

bahwa “kami telah meninggalkan engkau, tasik yang tenang”, tak pelak

merepresentasikan nasionalisme juga.

Tetapi Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan

1945 yang disusul dengan pemerintahan revolusioner Orde Lama,

dan naiknya Orde Baru pada paruh kedua 1960-an, membentuk

rangkaian proses yang mengentalkan “kami bangsa Indonesia”

menjadi suatu “institusi” dengan negara sebagai wakil satu-satunya

yang sah. Proses institusionalisasi keindonesiaan ini mengeras dengan

dijadikannya nasionalisme sebagai obyek wacana kekuasaan politik,

termasuk melalui pelembagaan bahasa Indonesia dan sensor. Paham

nasionalisme, yang telah dikooptasi negara, kian tampak sebagai

“seloka lama” atau “tasik yang tenang” yang mengandung kejahilan,

dan oleh sebab itu, mungkin tanpa disadari, menjadi sesuatu yang

musti “disingkiri” atau “ditinggalkan” oleh kesadaran modernisme

dalam puisi Indonesia. Dwi-tunggal nasionalisme-modernisme dalam

puisi Indonesia seakan-akan retak. Simtom keretakan ini tampak

pada kinerja mainstream puisi Indonesia yang cenderung sangat aktif,

bahkan mungkin hiperaktif, mentrasformasikan bahasa Indonesia

menjadi sebentuk bahasa esoteris yang hidup dalam rumah tangga

Page 28: Laut, Bangsa, Puisi

semiotiknya sendiri, terpisah dari fungsi komunikatifnya sebagai

bahasa persatuan bangsa Indonesia.

Dengan menulis puisi menggunakan bahasa yang secara

material sama dengan, tapi secara substansial berbeda dari bahasa

komunikasi nasional yang dipakai oleh semua orang Indonesia,

penyair membebaskan keindonesiaan dari proses pembekuan dan

totalisasi makna dalam wacana nasionalisme resmi. Tetapi proyek

pembebasan ini harus dibayar dengan keterasingan puisi Indonesia

dari masyarakat umum Indonesia. Meminjam metafora Rendra

dalam puisi “Lautan”, ketika “daratan rumah kita” telah diambil-alih

negara, penyair pergi ke laut untuk menyongsong “kebebasan”—tapi

juga menemui “rahasia”. Puisi, dalam kata-kata Octavio Paz, menjadi

“keriangan pesta bawah-tanah” untuk “berkata Tidak pada segala

kekuasaan yang karena belum puas dengan mengatur hidup kita, ingin

juga memerintah kesadaran kita”.13 Puisi: sebuah pesta percintaan

“kami” yang terisolasi dari wacana publik, sebagaimana diperagakan

oleh puisi “Laut” Abdul Hadi yang akhirnya mengakui, “begitulah tak

ada yang sebenarnya kami tawakan dan percakapkan kecuali sebuah sajak

lama”.

Keterasingan puisi Indonesia kian kompleks manakala watak

modernis puisi Indonesia harus berkonfrontasi dengan percepatan

gerak modernisasi masyarakat Indonesia pascakemerdekaan yang

didorong oleh mesin pertumbuhan ekonomi nasional, dengan segala

efek dan eksesnya yang sering “mencederai” kesadaran moral penyair.

Dalam membayangkan keindonesiaan, puisi bukan saja dihadang oleh

hegemoni teks-teks nasionalisme negara, tapi juga oleh proliferasi

13 Octavio Paz, Octavio Paz: Puisi dan Esai Terpilih, terjemahan Arif B. Prasetyo (Yogyakarta: Bentang, 2002), 152-153.

Page 29: Laut, Bangsa, Puisi

teks-teks modernisasi masyarakat yang diturunkan negara dalam

skema pembangunan, yang justru mendasarkan progresinya pada

pragmatisme ekonomi dengan dukungan arus modal internasional

dan/atau transnasional. Dalam situasi seperti ini, puisi seakan-

akan mengalami “alienasi keindonesiaan” akibat kesulitan penyair

membayangkan prospek kekitaan hakiki yang lebih bermakna

daripada kekitaan ideologis yang dikonstruksi negara maupun

kekitaan pragmatis yang berlangsung di masyarakat luas.

Pada 1978, D. Zawawi Imron menulis puisi “Pemandangan”

(1978):14

Kubiarkan bakau-bakau di rawa pantai itu melanjutkan pesanmu, awan jingga, langit jingga, angin jingga dan laut jinggaRiak air yang belas padaku menghiba sepanjang lagu, dahan-dahan yang sudah mati kembali menari-nari menyambut embunmu senjahariDi tengah laut namamu bermain cahaya, aku sangat ingin ke sana, tapi terasa dengan sampan seribu tahun aku tak sampaiDengan keharuan, mungkinkah cukup satu denyutan?

Ungkapan “Di tengah laut namamu bermain cahaya, aku sangat

ingin ke sana, tapi terasa dengan sampan seribu tahun aku tak sampai”

menyarankan ketidaksanggupan subyek membayangkan prospek

kekitaan. “Kau” dalam puisi ini memang dapat ditafsirkan sebagai

Tuhan, bukan sesama manusia. Tapi kalau demikian, nada religius

puisi ini pun memperkuat isyarat bahwa ketika laut tidak menjanjikan

daratan kekitaan di seberang sana, subyek berpaling pada dirinya

sendiri, undur ke kedalaman lubuk batinnya sendiri: “Dengan keharuan,

14 D. Zawawi Imron, Bulan Tertusuk Lalang (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), 30.

Page 30: Laut, Bangsa, Puisi

mungkinkah cukup satu denyutan?” Laut tidak lagi menjadi perspektif

yang terbentang ke luar, tapi sebaliknya, surut ke dalam. Imron

adalah salah satu penyair Indonesia yang banyak memainkan citraan

laut dalam puisi. Dari sekian buku kumpulan puisinya, sedikitnya ada

tiga yang judulnya berhubungan dengan laut: Madura, Akulah Lautmu

(1971), Berlayar di Pamor Badik dan Lautmu Tak Habis Gelombang

(1996). Dalam puisi-puisi Imron, laut cenderung dimaknai secara

simbolis sebagai “laut spiritual” yang terbentang di dalam diri. Tipikal

dalam puisi-puisi Imron adalah ungkapan-ungkapan seperti berikut:

“yang kukaji adalah ombak / yang berdeburan hati sendiri” (“Kidung”,

1975), “di laut yang gulita hatimu berendam” (“Tamsil Laut Saat Gulita”,

1975), “Dari dalam lautkah suara ini / Seperti ada bisik sungai dan muara

/ Akupun lupa, diri ini milik siapa” (“Aku Menunggu”, 1976), “Tapi aku

yang bernama sampan / masih saja terus berlayar / ke laut di hati ombak”

(“Perpisahan”, 1984).15

Laut yang terbentang di dalam diri dalam puisi-puisi Imron

dapat dikatakan merupakan antitesis dari laut yang tergelar di

luar diri dalam puisi Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar atau Sitor

Situmorang. Motif lain dari antitesis laut yang dikumandangkan para

penyair modernis awal Indonesia ini adalah laut sebagai perspektif

yang mengarah ke belakang, ke sumber/muasal di masa silam—bukan

ke tujuan di masa depan—sebagaimana terbaca dalam puisi Subagio

Sastrowardoyo dari tahun 1989, “Soneta Laut”:16

Laut, di mana mata airmusupaya aku bisa kembali ke asalmu

15 D. Zawawi Imron, Lautmu Tak Habis Gelombang (Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia, 1996), 4, 14, 18, 63.

16 Subagio Sastrowardoyo, Dan Kematian Makin Akrab (Jakarta: Grasindo, 1995), 109.

Page 31: Laut, Bangsa, Puisi

Laut, di mana mata anginmusupaya aku bisa mengikuti arusmu

Dalam mencari keberartian (“Jika kehadiran tak membekas / di

pasir sedang keharuan / begitu dalam mengukir”) dan orientasi (“Jika

alamat tak menjamin / datangnya surat ditunggu / sedang dari jauh

terdengar / sayup kepak-kepak rindu”), subyek menghasratkan pulang

ke asal-usul yang menjanjikan kekitaan yang intim dan tulus:

Aku ingin sendiri dengan lautdi mana kulontarkan cinta kelamtenggelam dalam gelombang surut

Namun pergi ke laut untuk menyongsong “tanah daratan”

baru seperti Alisjahbana pada 1930-an (dalam puisi “Nikmat Nakhoda

Menuju Pelabuhan”), atau mengarungi “tujuan biru” seperti Anwar

pada 1940-an (dalam puisi “Kabar dari Laut”) atau “kembali ke asal”

seperti Sastrowardoyo pada 1980-an (dalam puisi “Soneta Laut”), pada

1990-an tampaknya bukan lagi pilihan yang menjanjikan kebebasan,

kebanggaan atau kehidupan baru yang lebih berarti. Laut hadir

sebagai bayangan horor dan teror yang menebar kengerian, kegilaan

dan kematian.

Dalam puisi “Laut” (1990-1993),17 Adi Wicaksono

mengonstruksi “kita” dari narasi kematian di sekitar panorama

laut yang begitu suram, mencekam dan tanpa harapan. Laut adalah

pertanda buruk yang mengisyaratkan bahwa “kematian ada di mana-

mana”. Pelayaran pada akhirnya “memaksa kita mabuk habis-habisan”

17 Horison, No. 7 Tahun XXVII, Juli 1993.

Page 32: Laut, Bangsa, Puisi

untuk kemudian “menemui ajal di tempat yang sangat buruk”, “karena

kita segera ke darat, kita ke kota”. Sebagai antipoda “darat” atau “kota”

yang dipersepsi sebagai “tempat yang sangat buruk”, “laut” juga bukan

suaka yang menyelamatkan “kita”. Di darat atau laut, “kita” takkan

selamat.

Dalam puisi-puisi Zen Hae dalam kumpulan Paus Merah

Jambu (2007),18 wajah laut bahkan begitu gelap tertutup kalibut

kebrutalan dan kebinasaan yang menggemakan kiamat, sebagaimana

dicontohkan oleh kutipan-kutipan berikut ini:

orang pantai menjemur-jemur diri di pasirmimpi menjadi karang. meminta laut jadi ranjangbagi kota mabuk, langit mejan, musim laknat di wajah anaktapi laut hanya menanak badai. memanggang pedihsepanjang sumsum tulang belakangalangkah payah tubuh menahan tamasya atau ziarah, tuan? gembira atau sungkawa, puan?

akar angin menjalin ombak. perahu-perahu patah tiang

tubuh kejang dibopong todak. di altar biru ia meregang

(“orang pantai”, 1993, 8)

dan aku mencium maut dan aku menuju laut

di dasar laut—di perut seekor ikan besaraku beriman dalam kegelapan pijar. menulis selarik ayat

18 Zen Hae, Paus Merah Jambu (Yogyakarta: Akar Indonesia, 2007). Puisi-puisi Hae lainnya yang disebut dalam tulisan ini termaktub dalam buku tersebut.

Page 33: Laut, Bangsa, Puisi

seirama degup perih jantungku. mengukir ketakutankupada dinding-dinding karang merah tua

(“kitab pelarian”, 1993, 11)

Dalam puisi “negeri karang” (1995), “aku”, “kau, “kami” dan

“mereka” terisap dalam semacam skizofrenia di antara pelayaran

tanpa arah (“simpan saja kompas dan peta. tamasya ini / dalam pusaran.

bintang-bintang bukan lagi perlambang nasib / biarkan ombak dan angin

sakal memijarkan darah kita”) dan daratan tanpa makna (“kampung

sia! kampung aing!”), untuk akhirnya memaklumkan kekacauan “kita”:

“inilah negeri karang. kita kesurupan di atasnya”. Sementara dalam puisi

“bandar” (2000), Hae menyinggung intervensi kekuatan besar yang

membunuh sebuah negeri, sebentuk ikatan kekitaan juga: “tangan

petirmu mengubah laut jadi maut / cahaya jadi bahaya // sungguh, ini

negeri sekarat / tak ada obat tak ada tobat / hanya jerat!”

Bahkan dengan tatapan religius yang memaknai laut sebagai

“laut-Mu”, lautan ilahiah, puisi Zawawi Imron pada 1995, “Lautmu

Tak Habis Gelombang”, tak urung juga mengidentifikasi laut sebagai

tempat pembuangan korban pembunuhan, di mana identitas manusia

dihilangkan untuk menutupi jejak kekejaman: “Selembar rambut yang

lepas dari kepala / melayang di atas pantai / Orang-orang tak ada yang

tahu / bahwa, di laut ia ikut gelombang // ‘Katakan saja ia hilang! […]

Siapa bilang ia tak dibutuhkan, kelak / dalam sebuah persidangan /

Untuk saksi sebuah kekejaman” (Lautmu Tak Habis Gelombang, 88). Dari

generasi penyair mutakhir, Ahmad Faisal Imron melihat laut nyaris

tidak bisa lagi diidentifikasi, kecuali melalui fungsi metaforisnya

yang melantunkan histeria kepedihan: “sangat sulit mendengar kepak

Page 34: Laut, Bangsa, Puisi

sayap ratusan camar / atau lambaian tangan saat melepas kepergian

sebuah kapal / tak ada jaring nelayan ataupun mercusuar / perawan-

perawan bugil ataupun gerak cuaca / laut ini untukku, yang lebih gila

dari khayalanku / angin yang kusut mengangkat pasir-pasir ke udara /

inilah anggur neraka!” (“Bahasa Laut Itu”, 1999).19 Sejak 1990-an, laut

menjadi medan khaotik dan katastrofik yang begitu sulit dinavigasi

oleh penyair.

Dalam khazanah puisi Indonesia, laut juga menjadi tanda

simbolis yang mencerminkan nilai-nilai kultural dan standar-

standar etika/moralitas yang membedakan satu kelompok sosial dari

kelompok sosial lainnya. Puisi Mardi Luhung, “Penganten Pesisir”

(1993),20 menggunakan posisi marginal laut untuk mengidentifikasi

marka identitas yang membelah masyarakat Indonesia secara hierarkis

berdasarkan distingsi kelas. Laut dalam puisi ini berasosiasi dengan

kalangan masyarakat tradisional kelas bawah yang terpinggirkan

secara politis, terlecehkan secara kultural dan terkalahkan secara

ekonomi dalam struktur hierarki sosial yang dikonstruksi oleh

kelas menengah dan elit—suatu simtom keretakan “rumah tangga

Indonesia” dalam wacana modernitas:

dan tahukah yang paling aku benci?adalah ketika kita sama-sama ke sekolahdan sama-sama disebut: “Orang Laut,”

orang yang dianggap sangat kosro kurang adat dan keringatnya pun seamislendir kakap yang sebenarnya sangat mereka sukai

19 Ahmad Faisal Imron, Maliun Hawa (Bandung: Komunitas Malaikat, 2007), 55. 20 Mardi Luhung, Ciuman Bibirku yang Kelabu (Yogyakarta: Akar Indonesia, 2007), 3-4.

Page 35: Laut, Bangsa, Puisi

aku datang dalam itikad berumah tanggamelengkungkan janur, membikin primbon bahagiadan mengharapkan lahirnya bocah-bocah pantaimu

tapi, seperti juga mercusuar yang kini tinggal letakdan para nelayan kehilangan jaring dan perahuadakah masih sempat kita lakukan persetubuhan ombak

sementara itu, kertas-kertas kwitansitelah mengubah sperma-sperma kita menjadi lumut-lumut yang entah siapa panggilannya…

Puisi Nirwan Dewanto, “Masa Kanak-kanakku Mengambang

di Laut” (1985),21 membenturkan marginalitas-inferior “laut” dengan

sentralitas-superior “kota besar” untuk menelusuri kontradiksi-

kontradiksi kultural yang mengiringi proses migrasi lahir-batin

subyek dari kawasan rural-tradisional ke lingkungan urban-modern

di Indonesia kontemporer. Kontradiksi-kontradiksi ini tidak

bekerja dalam kerangka kutub-kutub esensialistis oposisional antara

kebaikan vs. keburukan, keberadaban vs. kebiadaban, atau budaya

tinggi vs. budaya rendah, melainkan bertumpang-tindih membentuk

lapisan-lapisan rawan dalam struktur kesadaran subyek. Dalam

gerak ke pusat untuk menjadi modern, bayangan-bayangan “laut”

dari masa silam primordial terus-menerus menciptakan kontradiksi

yang membongkar subyek sebagai Liyan, suara asing yang tidak

dapat mencerna atau dicerna ritme modernitas “kota besar”. Tetapi

bersama terbongkarnya kelainan subyek di hadapan modernitas,

terkuak pulalah kontradiksi internal modernitas itu sendiri, seperti

21 Linus Suryadi AG, ed., Tonggak 4: Antologi Puisi Indonesia Modern (Jakarta: Gramedia, 1987), 370-372.

Page 36: Laut, Bangsa, Puisi

yang terbaca dalam petikan-petikan berikut:

Masa kanak-kanakku mengambang di lautDi balik perahu-perahu ibuku pernah berseru:“Pergilah, dan naikilah tangga-tangga cahaya!”Tapi di sini tangga-tangga hanya dari bajaLagi pula darahku teraduk gorden-gorden jendela[. . .]Nelayan-nelayan tak mengajarkan sopan-santunPadahal aku mesti mengikuti ribuan angsa itu:“Marilah jadi penipu yang pandai menari!”Jadi kuminum obat agar mulutku tak terkunciLalu di balik kobaran api kulupakan namaku[. . .]Gusti, buat diriku sekaligus maling dan juru selamatDi atas meja kantor berkhianat dan hidup terhormatPasanglah layar-layar pada cerobong-cerobong besiDan tumbuhkan batu karang dari onggokan tahi

“Kini pakaianku menyimpan bau busuk kota besar,” catat

Dewanto dalam puisi “Masa Kanak-Kanakku Mengambang di Laut”.

“Kita akan menemui / Ajal di tempat yang sangat buruk / Itu karena kita

segera ke darat, kita ke kota,” tulis Wicaksono dalam puisi “Laut”. Dua

puisi ini menjadi bagian dari suara kritis penyair Indonesia terhadap

model keindonesiaan pascakemerdekaan yang cenderung berkiblat

pada modernitas urban, terutama berkat peran media massa nasional

yang umumnya berbasis di kota-kota besar.

Menulis-kembali Puisi, Membayangkan Indonesia

Saya telah berupaya mencari dan menempuh jalan alternatif untuk

membaca keindonesiaan dalam sastra Indonesia. Pembicaraan tentang

Page 37: Laut, Bangsa, Puisi

keindonesiaan sastra lazimnya berkisar pada: 1) Tema nasionalisme

dalam karya sastra (baik “nasionalisme klasik” yang terkait dengan

perjuangan kemerdekaan, maupun “nasionalisme kontemporer” yang

berhubungan dengan perjuangan mengatasi problem bangsa Indonesia

pada masa kini, seperti korupsi, kemiskinan dan kesenjangan sosial);

2) Muatan historis dari karya sastra yang diilhami oleh atau mengacu

pada peristiwa penting dalam perjalanan sejarah bangsa (misalnya

Pembantaian 1965, insiden-insiden pelanggaran HAM oleh rezim

militer Orba, Peristiwa Mei 1998); 3) Konstruksi identitas nasional

(di antara realitas multikultur-multietnis dan pengaruh global,

misalnya); 4) Pencarian akar tradisi; 5) Tegangan pusat-pinggiran

(termasuk dalam politik sastra); 6) Kedudukan sastra daerah

dalam sistem kesusastraan nasional; 7) masalah periodisasi sastra.

Ketimbang melakukan upaya-upaya semacam itu, saya menarasikan

suatu refleksi keindonesiaan di “bawah-sadar” puisi Indonesia—lewat

pembacaan terhadap sepilihan puisi yang mengangkat wacana laut

pada kurun 1930-an sampai 2000-an. Saya katakan “bawah-sadar”,

karena kebanyakan penyair yang puisinya saya bahas kemungkinan

besar tidak berpikir tentang “bangsa Indonesia” ketika menulis puisi

bersangkutan.

Pikiran tentang “bangsa Indonesia” adalah sesuatu yang saya

konstruksi dari pembacaan saya terhadap “mimpi-mimpi puitik”

tentang laut yang ditulis oleh sejumlah penyair Indonesia. Saya

membaca puisi mereka, sambil membayangkan Indonesia. Dalam hal

ini, saya membaca puisi dalam pengertian “membaca” yang dikatakan

Paul de Man sebagai “memasuki sebuah teks yang tadinya sesuatu

yang asing bagi kita dan kini kita jadikan milik kita sendiri dengan

Page 38: Laut, Bangsa, Puisi

tindakan memahami” (cetak miring dari saya).22 Bagi saya, membaca

untuk menjadikan puisi orang lain sebagai milik saya sendiri berarti

memproduksi makna baru, bukan mereproduksi atau mengevakuasi

makna orisinal yang diandaikan menghuni teks puisi yang dibaca.

Pembacaan produktif semacam ini saya pandang tak terelakkan dalam

membaca puisi, teks khas yang merayakan ambiguitas makna. Puisi

tidak meminta pembaca untuk mencari maknanya, mengurai pesan

tersembunyi yang disandikan dalam kata-kata puitik, melainkan

mengimbau pembaca untuk memaknainya, menjadikannya bermakna

bagi pembaca. Penyair bisa menuangkan isi tertentu ke dalam wadah

puisi, tapi begitu puisi sampai di tangan pembaca, puisi seakan-akan

tinggal wadah yang isinya harus diracik dan dituangkan oleh pembaca

sendiri ke dalam puisi—dengan bantuan pengetahuan, pengalaman

dan kepentingan pembaca. “Membaca” puisi tak bisa lain kecuali

“menulis-kembali” puisi. Dan saya telah “menulis-kembali” sejumlah

puisi dalam kerangka narasi keindonesiaan.

Jika keindonesiaan adalah sebentuk tatanan simbolis yang

melekat pada bahasa Indonesia, maka puisi berada di pinggir tatanan

simbolis ini, di daerah perbatasan antara order dan chaos: puisi

berada di dalam dan sekaligus di luar keindonesiaan yang tercermin

pada bahasa. Dengan marginalitasnya, puisi ibaratnya bermain di

papan catur keindonesiaan, tapi terus-menerus mengubah aturan

permainan catur itu. Marginalitas puisi dalam hubungannya dengan

keindonesiaan ini bergayung-sambut dengan kehadiran “laut” dalam

puisi: suatu frontier simbolis yang memungkinkan penyair untuk

22 Paul de Man, “Semiology and Rhetoric”, dalam Josue V. Harari, ed., Textual Strategies:

Perspectives in Post-Structuralist Criticism (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1979), 132.

Page 39: Laut, Bangsa, Puisi

menjajal posisi-posisi kritis di seberang kesadaran tentang “rumah”

kebangsaan dan kebahasaannya. Dalam pembacaan saya, wacana laut

dalam puisi adalah ajang bagi subyektivitas untuk bergerak dari esensi

ke posisi, dari mana suatu bayangan Indonesia muncul samar-samar

di cakrawala.