LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

61
Bidang Unggulan : Sosial, Ekonomi Dan Bahasa Kode/Bidang Ilmu : 596/Ilmu Hukum LAPORAN AKHIR HIBAH PENELITIAN UNGGULAN PROGRAM STUDI UDAYANA LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI INDONESIA Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun Ketua/Anggota Tim I MADE DEDY PRIYANTO, SH.,MKn; NIDN: 0011048401 (KETUA) PUTU EDGAR TANAYA, SH.,MH (ANGGOTA) Dibiayai oleh DIPA PNBP Universitas Udayana TA-2017 Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Penelitian Nomor: 2127/UN14.2.4/PP/2017, tanggal 5 Juli 2017 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA NOVEMBER 2017

Transcript of LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

Page 1: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

Bidang Unggulan : Sosial, Ekonomi Dan Bahasa

Kode/Bidang Ilmu : 596/Ilmu Hukum

LAPORAN AKHIR

HIBAH PENELITIAN UNGGULAN PROGRAM STUDI UDAYANA

LARANGAN PENJUALAN

PAKAIAN BEKAS IMPOR DI INDONESIA

Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun

Ketua/Anggota Tim

I MADE DEDY PRIYANTO, SH.,MKn; NIDN: 0011048401 (KETUA) PUTU EDGAR TANAYA, SH.,MH (ANGGOTA)

Dibiayai oleh

DIPA PNBP Universitas Udayana TA-2017

Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Penelitian

Nomor: 2127/UN14.2.4/PP/2017, tanggal 5 Juli 2017

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

NOVEMBER 2017

Page 2: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …
Page 3: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

RINGKASAN PENELITIAN

LARANGAN PENJUALAN

PAKAIAN BEKAS IMPOR DI INDONESIA

Target dari penelitian ini adalah untuk menemukan kepastian hukum terkait

larangan penjualan pakaian bekas impor di Indonesia, permasalahan yang diangkat

diantaranya:

1. Apakah terjadi konflik norma hukum dan analisis hukum apakah yang tepat untuk

memecahkan konflik norma hukum apabila terjadi antara Peraturan Menteri

Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian

Bekas dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang

Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011

Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk

Atas Barang Impor?

2. Apakah terjadi kekaburan norma hukum dan analisis hukum apakah yang tepat

untuk memecahkan kekaburan norma apabila terjadi dalam Peraturan Menteri

Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian

Bekas?

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan jenis

pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan frasa. Sumber bahan hukum yang

digunakan diantaranya bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan terkait

larangan penjualan pakaian bekas impor di Indonesia), bahan hukum sekunder (buku-

buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis di bidang hukum yang dimuat di media

cetak maupun online), serta bahan hukum tersier yang bersifat penunjang (kamus, dan

ensiklopedia). Teknik analisis bahan hukum interpretasi digunakan dalam penelitian

ini khususnya dalam melakukan penafsiran gramatikal (arti kata/ bahasa), penafsiran

kontektual (konteks/ pemaknaan kalimat), asas-asas hukum, teori-teori hukum, serta

penafsiran peraturan perundang-undangan.

Terjadi konflik norma karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen masih memperbolehkan perdagangan pakaian bekas impor

dengan syarat pengusaha wajib memberikan informasi sejelas-jelasnya terkait

keadaan pakaian bekas, searah dengan hal ini penetapan Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang

Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor mengatur tarif bagi impor

pakaian bekas, sedangkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-

DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas secara tegas melarang

perdagangan pakaian bekas impor. Aturan ini merupakan turunan dari Undang-

Undang Perdagangan sehingga berlaku asas preferensi yaitu: lex specialis derogat

Page 4: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

legi generali sehingga Peraturan dari Menteri Perdagangan dapat mengesampingkan

peraturan mengenai perlindungn konsumen dan peraturan Menteri Keuangan. Terjadi

kekaburan norma hukum karena tidak ditemukan penjelasan yang jelas terkait

pakaian bekas impor sehingga analisis hukum yang tepat untuk memecahkan

kekaburan norma ini adalah dengan melakukan pendekatan peraturan perundang-

undangan untuk penafsirannya.

Page 5: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

PRAKATA

Puji syukur yang tak terkira penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi

Wasa, karena berkatnyalah akhirnya penelitian yang berjudul Larangan Penjualan

Pakaian Bekas Impor Di Indonesia ini dapat terselesaikan dengan baik.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konflik norma hukum antara

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan

Impor Pakaian Bekas dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan

Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor serta untuk menganalisis

kekaburan norma hukum yang terjadi dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor

51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas

Akhir kata dalam penelitian ini tentu ada kekurangan atau kesalahan, karena

itu diharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaannya dan semoga

penelitian ini dapat bermanfaat khususnya bagi mahasiswa Fakultas Hukum

Univesitas Udayana.

Denpasar, 20 Oktober 2017

Penulis

I Made Dedy Priyanto SH.M.Kn

Page 6: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

HALAMAN PENGESAHAN

RINGKASAN PENELITIAN

PRAKATA

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 8

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ……………………………… .............. 16

BAB IV METODE PENELITIAN ............................................................................................ 18

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................. 22

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………… .............. 34

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 7: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perdagangan pakaian bekas impor berkembang karena permintaan pasar dan

kebutuhan konsumen, konsumen lebih tertarik dengan pakaian bekas yang berasal

dari negara-negara yang memiliki merek terkenal (seperti Francis, Italia, Amerika,

yang banyak memiliki merek terkenal tersebar di kota-kota mode dunia) dari pada

membeli pakaian baru lokal serta impor yang kualitas serta mereknya tidak terkenal

seperti Cina dan Thailand (hal ini didasarkan pada pra penelitian di sekitar Kota

Denpasar). Namun sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014

Tentang Perdagangan yaitu pada pasal 47 ayat (1) ditentukan bahwa setiap Importir

wajib mengimpor barang dalam keadaan baru. Serta ditetapkannya Peraturan Menteri

Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian

Bekas yang dengan tegas menetapkan dan mewajibkan untuk memusnahkan pakaian

bekas impor yang dipasarkan di seluruh Indonesia setelah ditetapkannya peraturan ini

(tanggal 9 Juli 2015).

Alasan-alasan dilarangnya impor pakaian/baju bekas di seluruh Indonesia

karena dilatarbelakangi oleh ditemukannya bakteri dan jamur yang dapat

menyebabkan penyakit kulit, kelamin, gangguan pencernaan dan berbagai penyakit

menular lainnya oleh Kementerian Perdagangan bekerjasama dengan Direktorat

Jenderal Standarisasi Dan Perlindungan Konsumen maupun oleh Bea Cukai di

beberapa kota di Indonesia dengan mengambil sampel yang diduga pakain bekas

Page 8: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

2

impor. Selain itu, kualitas pakain bekas impor yang tidak layak pakai banyak

ditemukan pada saat pengujian terhadap dua puluh lima sampel yang salah satunya

dari Pasar Senen, Jakarta, sampel yang diuji diantaranya pakaian wanita dewasa,

pakaian anak, dan juga pakaian pria dewasa. Alasan lainnya pakain bekas impor

dilarang dipasarkan di Indonesia karena dinilai dapat melemahkan pasaran produk

pakaian lokal.1

Penetapan pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang

Perdagangan serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015

Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas ternyata tidak harmonis dengan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menetapkan

pada pasal 8 ayat (2) bahwa “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang

rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan

benar atas barang dimaksud”. Apabila diperhatikan ketentuan pasal tersebut dan

menganalisisnya dengan argumentum a contrario maka akan mengakibatkan

diperbolehkannya pelaku usaha untuk memperdagangkan barang bekas (termasuk

pakaian bekas impor) dengan syarat memberikan informasi yang sejelas-jelasnya dan

sebenar-benarnya kepada konsumen terkait keadaan dan kualitas barang bekas

(pakaian bekas) tersebut. Oleh karena ketentuan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ini belum dihapuskan, maka

1 Vicki Febrianto, 2015, “Pakaian impor bekas terbukti mengandung bakteri”,

http://www.antaranews.com/berita/478146/pakaian-impor-bekas-terbukti-mengandung-bakteri, diakses

tanggal 7-5-2016 Pukul 7:51 WITA.

Page 9: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

3

tetap dapat dijadikan dasar hukum bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan

pakaian bekas impor di seluruh Indonesia.

Penetapan pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang

Perdagangan secara lengkap menetapkan sebagai berikut :

(1) Setiap Importir wajib mengimpor Barang dalam keadaan baru.

(2) Dalam hal tertentu Menteri dapat menetapkan Barang yang diimpor dalam

keadaan tidak baru.

(3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada

menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

keuangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Barang yang diimpor dalam

keadaan tidak baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan

Peraturan Menteri.

Sehingga dapat dirangkum bahwa pelarangan impor barang dalam keadaan bekas

dapat dibatalkan/dikecualikan apabila dalam keadaan tertentu, serta dalam keadaan

tertentu tersebut ditetapkan klasifikasi barang bekas yang dimaksud dengan Peraturan

Menteri Perdagangan, kemudian disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk

ditetapkan Peraturan Mentri Keuangan terkait impor barang bekas. Sehingga dapat

dikatakan bahwa Peraturan Menteri Keuangan terkait impor barang bekas tidak

mungkin lahir tanpa persetujuan Menteri Perdagangan. Namun, terjadi

ketidaksesuaian norma hukum antara Peraturan Menteri Perdagangan dengan

Peraturan Menteri Keuangan.

Ketidaksesuaian peraturan tersebut dapat dilihat dari ketentuan Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem

Page 10: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

4

Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor yang

masih menetapkan pada Nomor 5255, Pos III Tentang Pakaian Bekas dan Barang

Tekstil Bekas dinaikkan bea masuknya menjadi 35 persen. Peraturan ini ditetapkan

tanggal 9 Juli 2015, sehingga pada saat yang sama terdapat penetapan yang masih

memperbolehkan impor pakaian bekas, namun disisi lain lahir pula peraturan yang

melarang impor pakaian bekas.

Ketidaksesuaian ini mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam

perkembangannya, hal ini terlihat dari beberapa kasus yang diputuskan oleh hakim

Pengadilan Negeri, salah satunya yaitu kasus yang terjadi di Kota Surabaya dimana

hakim memenangkan importir dan memerintahkan kepada petugas Bea Cukai untuk

mengembalikan semua pakaian bekas impor yang telah disita dengan menyatakan

bahwa penyitaan yang dilakukan Bea Cukai batal demi hukum.2 Kasus lainnya terkait

dengan impor pakaian bekas terjadi di Sulawesi Tenggara dimana hakim juga

memenangkan pelaku usaha dengan pertimbangan bahwa yang dilarang adalah impor

(kegiatan perdagangan dari luar negeri ke dalam negeri), sedangkan perdagangan

pakaian bekas impor di dalam negeri belum dilarang/belum ada dasar hukum yang

kuat untuk menyita/menangkap pakaian bekas dari Sulawesi Tenggara ke Jawa Timur

tersebut.3 Namun apabila mengacu pada asas preferensi yaitu lex spesialis derogat

2 Intelijen Post, 2015, “Juragan Pakaian Bekas Pra Peradilan Bea Cukai Kalah Di Pengadilan

Negeri Surabaya”, http://intelijenpost.com/berita-700-juragan-pakaian-bekas--pra-peradilan-bea-cukai-

kalah-di-pengadilan-negeri-surabaya.html, diakses tanggal 7-5-2016 Pukul 10:42 WITA.

3 Estu Suryowati, 2015, “Pemerintah Siapkan Perpres Pelarangan Impor Pakaian Bekas”,

http://www.kemendag.go.id/id/news/2015/07/14/pemerintah-siapkan-perpres-pelarangan-impor-

pakaian-bekas, diakses tanggal 7-5-2016 Pukul 10:54 WITA.

Page 11: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

5

legi generali maka peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Perdaganganlah yang

seharusnya dimenangkan karena bersifat khusus dibandingkan peraturan yang

dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen. Namun, masih diperlukan pengkajian mendalam

terkait hal ini karena Peraturan Menteri berada di bawah Undang-Undang

berdasarkan pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan sehingga berlaku asas preferensi lex superior derogat

legi inferiori. Namun disisi lain, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-

DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas merupakan salah satu

instrument perlindungan hukum. Hal ini menjadi menarik dan urgen untuk diteliti

sehingga dapat ditemukan kepastian hukum terkait impor pakaian bekas di Indonesia.

Pentingnya dilakukan penelitian ini juga tdak terlepas dari pemaknaan impor

pakaian bekas itu sendiri yang apabila diihat ketentuan pasal 1 ayat (1) Peraturan

Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor

Pakaian Bekas, maka pengertian impor adalah “kegiatan memasukkan barang ke

dalam daerah pabean”, kemudian pasal 2 Peraturan Menteri ini menetapkan bahwa

“Pakaian Bekas dilarang untuk diimpor ke dalam wilayah Negara kesatuan Republik

Indonesia” maka dapat dikomentari bahwa yang dimaksud dilarang adalah kegiatan

memasukkan barang dari luar negeri ke wilayah Indonesia, sedangkan apabila

pakaian bekas tersebut telah terlanjur berada di Indonesia maka tetap diperbolehkan

untuk diperdagangkan (hal ini sesuai dengan putusan hakim pada uraian sebelumnya).

Namun ketentuan selanjutnya yaitu pasal 3 Peraturan Menteri ini menetapkan bahwa

Page 12: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

6

“Pakaian Bekas yang tiba di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada atau

setelah tanggal Peraturan Menteri ini berlaku wajib dimusnahkan sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan”, maka yang dimusnahkan disini adalah pakaian

bekas sebagai objek peraturan, sehingga walaupun pakaian bekas tersebut terlanjur

ada di Indonesia tetap dapat dimusnahkan/ dilarang keberadaannya. Menjadi urgen

dan penting untuk dilakukan penelitian karena terjadi multi tafsir terhadap ketentuan

pelarangan penjualan pakaian bekas impor ini, tafsiran pertama menekankan pada

kegiatannya yang dilarang, namun penafsiran kedua lebih fokus kepada obyek

(pakaian bekas) yang dilarang, sehingga dapat dikatakan Peraturan Menteri

Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian

Bekas dalam hal ini belum dapat mencerminkan kepastian hukum.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini diantaranya :

1. Apakah terjadi konflik norma hukum dan analisis hukum apakah yang tepat untuk

memecahkan konflik norma hukum apabila terjadi antara Peraturan Menteri

Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian

Bekas dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang

Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011

Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk

Atas Barang Impor?

Page 13: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

7

2. Apakah terjadi kekaburan norma hukum dan analisis hukum apakah yang tepat

untuk memecahkan kekaburan norma apabila terjadi dalam Peraturan Menteri

Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian

Bekas?

1.3. Luaran Penelitian

Hasil penelitian ini nantinya akan dipublikasikan di dalam Seminar Nasional

Sains dan Teknologi (SENASTEK) Universitas Udayana, sehingga dapat diketahui

oleh khalayak luas karena dipublikasikan secara cetak maupun online.

Page 14: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PAKAIAN BEKAS IMPOR

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

memberikan pengertian Barang “adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak

berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak

dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan

oleh konsumen atau Pelaku Usaha.” Namun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 1 angka 4 menetapkan pengertian

Barang “adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak

maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat

untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.”

Terjadi penyempitan cakupan pengaturan dimana Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen tidak mengatur cakupan pengertian barang

yang dapat dipergunakan juga oleh pelaku usaha. Hal ini untuk memisahkan ruang

lingkup konsumen dengan pelaku usaha yang jelas diatur dalam Pasal 1 angka 2

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk

hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Sehingga apabila barang (termasuk

pakaian bekas impor) dipergunakan, dan tidak untuk diperdagangkan lagi, maka yang

mempergunakan ini disebut konsumen.

Page 15: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

9

Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang

Perdagangan memberikan pengertian resmi Impor “adalah kegiatan memasukkan

Barang ke dalam Daerah Pabean.” Daerah Pabean dijelaskan dalam pasal 1 angka 15

Undang-Undang ini yaitu “wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

meliputi wilayah darat, perairan, ruang udara di atasnya, serta tempat tertentu di Zona

Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang

Kepabeanan.” Selanjutnya Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014

Tentang Perdagangan memberikan pengertian resmi Importir adalah “orang

perseorangan atau lembaga atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum

maupun bukan badan hukum, yang melakukan Impor”. Di berbagai peraturan

perundang-undangan setelah ditelusuri tidak ditemukan perbedaan pengertian terkait

impor maupun importir, sehingga tidak diperlukan uraian atau komentar terkait

pengertian impor maupun importir.

Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-

DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas, pakaian bekas “adalah

produk tekstil yang digunakan sebagai penutup tubuh manusia, yang termasuk dalam

Pos Tarif/HS 6309.00.00.00.” Terkait dengan Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. tidak

ditemuan penjelasannya dalam peraturan ini, selanjutnya dilakukan pendekatan

peraturan perundang-undangan yaitu dengan menelusuri makna Pos Tarif/HS

6309.00.00.00. pada peraturan perundang-undangan lain, sehingga ditemukan

penjelasan pada Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan

Page 16: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

10

Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan

Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor yang merupakan bagian tidak

terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Ketentuan Lampiran Nomor 5255 Pos Tarif

6309.00.00.00. yaitu “Pakaian bekas dan barang bekas lainnya”, disini terdapat

ketidakjelasan pengaturan, karena dapat ditafsirkan lain (lebih dari satu penafsiran)

terhadap Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. yang muncul dalam pengertian pakaian bekas.

Penafsiran pertama, bahwa pakaian bekas adalah produk tekstil penutup tubuh

manusia (pengertian secara luas/umum) yang termasuk dalam Pos Tarif …. (dapat

diartikan penekanan yang memberikan makna menyempit termasuk juga ….)

sehingga seluruh produk tekstil penutup tubuh manusia (termasuk Pos Tarif/HS

6309.00.00.00.) adalah pakaian bekas. Namun, terdapat penafsiran kedua yaitu

Pakaian bekas “adalah produk tekstil yang digunakan sebagai penutup tubuh

manusia, yang termasuk dalam Pos Tarif/HS 6309.00.00.00.” yang berarti bahwa

hanya yang termasuk dalam Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. yang dikategorikan sebagai

pakaian bekas, sedangkan kategori lainnya bukanlah pakaian bekas. Hal inilah yang

kemudian dapat diteliti lebih mendalam sehingga pemaknaan pakaian bekas menjadi

jelas.

Penelusuran dalam kamus umum bahasa Indonesia ditemukan pengertian

bekas adalah “tanda-tanda yang ketinggalan (sesudah dipegang, diinjak, dilalui,

dsb)….”, “pakaian yang telah dipakai ….”, “barang-barang bekas adalah barang-

barang lama (sudah dipakai)….”, “sesuatu yang ketinggalan sebagai sisa (…. rusak,

Page 17: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

11

terbakar, tidak terpakai lagi, dsb)….”.4 Apabila dipadu-padankan dengan makna

pakaian yang merupakan produk tekstil penutup tubuh manusia, dapat dikatakan

bahwa ruang lingkup pakaian bekas diantaranya:

1. Produk tekstil yang sudah pernah digunakan sebelumnya sebagai penutup tubuh

manusia;

2. Produk tekstil yang ketinggalan masanya sehingga menjadi produk sisa karena

tidak laku dipasarkan; dan

3. Produk tekstil yang dinilai telah rusak atau tidak (layak) dipakai lagi oleh

pemiliknya terdahulu.

Kebalikan dari bekas adalah baru, seperti yang diatur dalam pasal 47 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan yaitu mewajibkan

setiap importir untuk mengimpor barang (termasuk pakaian bekas) dalam keadaan

baru, sehingga pengertian baru adalah tidak bekas, dalam artian tidak pernah

digunakan sebelumnya, tidak kadaluarsa, tidak mengalami lampau waktu (sisa), tidak

mengalami kerusakan/tidak layak pakai.

2.2. KONFLIK NORMA HUKUM

Penelusuran dalam kamus umum bahasa Indonesia ditemukan pengertian

konflik adalah “pertentangan, percekcokan” sedangkan pertentangan berarti

“berlawanan, perselisihan yang sangat (ketidak cocokan)”.5 Unsur-unsur konflik

4 W.J.S. Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h.

118. 5 Ibid, h. 610, dan h. 1251.

Page 18: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

12

norma seperti yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon dan Titiek Sri Djatmiati

diantaranya:

1. Terjadi pertentangan antara dua atau lebih peraturan perundang-undangan;

2. Peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut masih berlaku atau sama-sama

diterapkan terhadap suatu kasus.6

Sehingga dapat pula dikatakan bahwa peraturan yang satu membolehkan terhadap

perbuatan/objek sedangkan yang lain melarang.

Asas preferensi yang dikemukakan oleh I Dewa Gede Atmadja merupakan

solusi yang dapat diterapkan terhadap konflik norma, diantaranya :

a. Asas lex posteriori derogat legi priori, yaitu aturan hukum yang baru (ditetapkan

kemudian) dapat mengesampingkan aturan hukum yang lama (ditetapkan

sebelumnya).

b. Asas lex spesialis derogat legi generali, yaitu aturan hukum yang bersifat khusus

dapat mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum.

c. Asas lex superior derogat legi inferiori, yaitu aturan hukum yang lebih tinggi

tingkatannya dapat mengesampingkan aturan hukum yang lebih rendah.7

Hirarki yang dimaksud yaitu hirarki peraturan perundang-undangan yang diatur

dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan yang menetapkan bahwa :

6 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta. h.31. 7 I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran Hukum dan Arguentasi Hukum (Legal

Reasoning and Legal Argumentation an Introduction), Bali Aga, Denpasar. h.33.

Page 19: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

13

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

2.3. KEKABURAN NORMA HUKUM

Kekaburan, seperti yang ditemukan dalam penelusuran kamus umum bahasa

Indonesia diartikan “keadaan kabur”, sedangkan kabur berarti “kurang tegas (jelas)”.8

Unsur-usur kekaburan orma hukum dapat ditarik sebagai berikut :

1. Norma hukum yang tidak jelas dalam pengaturannya; sehingga

2. Menimbulkan multi tafsir.

Kekaburan norma dapat diselesaikan melalui metode penafsiran hukum yaitu :

penafsiran sistematis, penafsiran tata bahasa, penafsiran teleologi, penafsiran sejarah

hukum, dst.9 Yang pada intinya dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Interpretasi gramatika/penafsiran tata bahasa, yaitu menafsirkan kata-kata yang

tertuang dalam peraturan perundang-undangan dengan pemaknaan tata bahasa;

2. Interpretasi sistematis, yaitu penafsiran yang menggunakan aturan/ ketentuan lain

untuk memaknai peraturan/ ketentuan yang dikaji.

3. Interpretasi sejarah hukum, yaitu penafsiran yang menggunakan sejarah lahirnya

peraturan perudang-undangan untuk menemukan makna dari suatu aturan.

8 W.J.S. Poerwadarminta, Op.Cit, h. 502.

9 I Dewa Gede Atmadja, Op.Cit, h.35.

Page 20: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

14

4. Interpretasi teologis, yaitu penafsiran yang menggunakan tujuan hukum sesuai

dengan perkembangan sosiologis masyarakat saat terbentuknya peraturan untuk

memaknai aturan yang dikaji.

5. Interpretasi antisipatif, yaitu penafsiran yang menggunakan nilai-nilai yang masih

merupakan gagasan dalam rancangan peraturan perundang-undangan.

6. Interpretasi evolutif-dinamis, yaitu penafsiran yang mendobrak ketentuan

peraturan perundang-undangan dengan menggunakan perubahan pandangan

masyarakat, sosial, nilai-nilai susila, serta perubahan kepentingan dan teknologi

yang berkembang di masyarakat, sehingga peraturan perundang-undangan disini

dinilai telah tidak sesuai dan patut diperbaharui.

7. Interpretasi ekstensif, yaitu menafsirkan secara luas makna yang tersurat dalam

peraturan perundang-perundangan.

8. Interpretasi restriktif, yaitu menafsirkan secara sempit makna yang tersurat dalam

peraturan perundang-undangan.

9. Interpretasi otentik, yaitu menafsirkan peraturan sesuai dengan apa yang diatur

dalam peraturan perundang-undangan. 10

Agar terhindar dari kesesatan berlogika digunakan silogisme, yaitu “argumen

yang kesimpulannya secara pasti diambil dari premis-premis yang menyatakan

permasalahan yang berlainan”.11

10

I Dewa Gede Atmadja, Op.Cit, h. 42-46. 11

Mundiri, 1996, Logika, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 85.

Page 21: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

15

Diantara pembagian berbagai macam silogisme, yang digunakan dalam

penelitia ini adalah silogisme kategorik, yaitu silogisme yang premis mayornya

bersifat universal (umum), sedangkan premis minornya bersifat lebih

mengkhusus/spesifik.12

Misalya : premis mayornya adalah ‘semua barang yang

diimpor harus dalam keadaan baru’, sedangkan premis minornya adalah ‘pakaian

bekas termasuk salah satu objek barang yag diimpor’, maka kesimpulanya adalah

‘dilarang mengimpor pakaian bekas karena keadaannya yang tidak baru’. Selain itu,

penelitian ini juga menggunakan bahan hukum tersier khususnya ilmu bahasa dalam

menguji teks, konteks, serta kontekstual kalimat dalam peraturan perundang-

undangan yang dikaji.

Sesuai dengan tujuannya, penelitian ini bertujuan untuk menemukan kepastian

hukum terkait dengan larangan penjualan pakaian bekas impor di Indonesia.

Berdasarkan penelitian kepustakaan yang telah dilakukan ditemukan bahwa :

Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya

aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang

boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi

individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum

yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh

dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum

bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya

konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan

putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.13

12

Ibid, h. 86. 13

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group,

Jakarta, h. 158.

Page 22: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

16

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dapat dipersamakan dengan sasaran yang ingin dituju oleh

peneliti, sehingga tujuan dari penelitian ini diantaranya:

1. Dapat mengetahui dan memahami permasalahan konflik dan kekaburan norma

hukum, khususnya terkait dengan larangan penjualan pakaian bekas impor di

Indonesia.

2. Dapat menemukan kepastian hukum terkait dengan larangan penjualan pakaian

bekas impor di Indonesia.

3. Dapat melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dibidang

penelitian.

3.2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat bagi peneliti, masyarakat, hakim, maupun

pemerintah, yaitu:

1. Mengembangkan pemikiran-pemikiran dibidang hukum, khususnya terkait

dengan pengaturan larangan penjualan pakaian bekas impor di Indonesia.

2. Sebagai dasar/pedoman untuk memecahkan permasalahan terkait dengan

penjualan pakaian bekas impor di Indonesia.

Page 23: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

17

3. Sebagai dasar/pedoman dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan agar

konflik dan multi tafsir norma hukum tidak terjadi lagi.

Page 24: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

18

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

“Ciri khas ilmu hukum adalah sifatnya yang normatif”.14

Penelitian ini

menggunakan jenis peneitian hukum normatif karena terdapat konflik norma hukum

antara Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang

Larangan Impor Pakaian Bekas dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan

Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor. Alasan lain dipilihnya penelitian

hukum normatif yaitu adanya kekaburan norma hukum/ multi tafsir dalam Peraturan

Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor

Pakaian Bekas. Sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan penelitian

dibidang norma hukum/ normatif.

4.2. Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang dilakukan dalap penelitian ini yaitu : jenis pendekatan

perundang-undangan, dan pendekatan frasa. Pendekatan perundang-undangan, yaitu

dilakukan analisis terhadap norma hukum terkait penjualan pakaian bekas impor di

Indonesia dengan menelusuri sebanyak-banyaknya bahan hukum primer (aturan-

14

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Op.Cit, h.1.

Page 25: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

19

aturan dan penjelasannya) terkait dengan objek penelitian yang dapat menjelaskan

secara pasti makna dari aturan yang dikaji, sehingga dapat memberikan kepastian

hukumnya. Sedangkan pada pendekatan frasa dilakukan dengan bantuan bahan

hukum sekunder (doktrin para sarjana hukum), serta bahan hukum tersier (diluar

bidang ilmu hukum) khususnya bidang ilmu bahasa untuk memberikan kejelasan

terkait dengan pemaknaan kata, serta kalimat (subjek-predikat-objek) yang tertuang

dalam aturan-aturan yang dikaji, sehingga dapat memberikan kejelasan makna dan

maksud dari aturan tersebut.

4.3. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalampenelitian ini diantaranya :

bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan terkait larangan penjualan

pakaian bekas impor di Indonesia), bahan hukum sekunder (buku-buku hukum,

jurnal-jurnal hukum, karya tulis di bidang hukum yang dimuat di media cetak

maupun online), serta bahan hukum tersier yang bersifat penunjang (kamus, dan

ensiklopedia).

4.4. Data Penunjang

Demi kesempurnaan temuan dan rekomendasi penelitian ini, maka digunakan

data penunjang yaitu : hasil wancara dengan para pakar Hukum Perdata, Hukum

Dagang, Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata Negara, Hukum Internasional

dilingkungan Fakultas Hukum Udayana sebagai informan yang dilengkapi dengan

surat persetujuan sebagai informan (sebagaimana ditentukan dalam Buku Pedoman

Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013, halaman 76).

Page 26: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

20

4.5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini menggunakan sistem

pencatatan, dan sistem download data. Pada sistem pencatatan dilakukan dengan

mencatat secara manual pada kertas (seperti sistem kartu, namun menggunakan

kertas, bukan kartu) dan/atau langsung pada file komputer yang disediakan untuk

pengumpulan bahan hukum yang berasal dari penelusuran kepustakaan bahan hukum

primer, sekunder, tersier, serta data penunjang. Sedangkan pada sistem download

data dilakukan pengambilan bahan-bahan hukum dengan download bahan-bahan

hukum yang ditelusuri dari media online. Kedua sistem ini kemudian disatukan dalam

satu file data pada komputer yang kemudian dipilah-pilah, dan diklasifikasikan

berdasarkan pokok-pokok bahasan, sehingga memudahkan peneliti untuk

menggunakan bahan hukum tersebut dalam menganalisis objek penelitian.

4.6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang terkumpul setelah dipilah-pilah dan diklasifikasikan,

maka dilakukan teknik analisis bahan-bahan hukum tersebut dengan menggunakan

teknik analisis deskriptif, yaitu menggambarkan hasil-hasil temuan yang ditelusuri

dengan apa adanya ke dalam pembahasan. Teknik ini dilakukan untuk menghindari

kesesatan dalam berlogika oleh peneliti, sehingga kutipan-kutipan langsung (tidak

dipenggal-penggal) akan diuraikan sama persis dengan sumbernya (dengan

menyebutkan sumbernya penelitipun terhindar dari plagiarisme).

Teknik analisis bahan hukum interpretasi juga digunakan dalam penelitian ini

khususnya dalam melakukan penafsiran gramatikal (arti kata/ bahasa), penafsiran

Page 27: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

21

kontektual (konteks/ pemaknaan kalimat), asas-asas hukum, teori-teori hukum, serta

penafsiran peraturan perundang-undangan.

Page 28: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

22

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Konflik Norma Hukum Antara Peraturan Menteri Perdagangan Nomor

51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas Dengan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang

Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor

213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan

Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor

Berbicara mengenai kebijakan publik, maka akan banyak menemukan istilah

sebagai padanan kata, misalnya policy, wisdom, virtues, kemudian sering juga

diidentikan dengan istilah program, keputusan, ketentuan-ketentuan dan lainnya.

Banyaknya padanan kata mengenai kebijakan ini kemudian akan terlihat berbeda

makna apabila kemudian diselusuri definisi ataupun pengertian dari masing-masing

istilah tersebut. Pada dasarnya terdapat banyak batasan mengenai apa yang dimaksud

dengan kebijakan publik. Setiap definisi memberi penekanan yang berbeda-beda

sehingga tampak ada batasan perbedaan pengertian dari kebijakan tersebut.

Page 29: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

23

Edi Suharto menyatakan bahwa kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak

yang dipilih untuk mengarahkan pengambil keputusan15

. Jadi kebijakan merupakan

pedoman untuk bertindak menyangkut pelaksanaan suatu program, aktivitas-aktivitas

tertentu atau suatu perencanaan untuk masa yang akan datang.

Berkenaan dengan definifi kebijakan, Budi Winarno menyatakan bahwa

dalam mendefinisikan kebijakan haruslah melihat apa yang sebenarnya dilakukan dari

pada apa yang diusulkan16

. Sehingga kebijakan juga diartikan suatu proses yang

mencakup pula tahap implementasi dan evaluasi. Kebijakan sebagai langkah tindakan

yang sengaja dilakukan seseorang berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan

tertentu.

Berdasarkan beberapa pengertian kebijakan maka kebijakan diartikan sebagai

upaya-upaya yang dilakukan oleh penguasa dalam menghadapi masalah-masalah

masyarakat, dengan kata lain bahwa kebijakan publik merupakan keputusan-

keputusan penguasa guna memecahkan masalah-masalah publik. Kebijakan pulik

diartikan juga merupakan jawaban atas suatu masalah yang dihadapi pejabat-pejabat

public. menentukan langkah-langkah yang dapat dianbil untuk mengatasi persoalan

atau masalahyang dihadapi. Studi kebijakan publik merupakan suatu studi yang

bermaksud untuk menggambarkan, menganalisa dan menjelaskan berbagai sebab dan

akibat dari tindakan penguasa.

15

Edi Suharto, 2005, Analisis kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung, h.7 16

Budi Winarno,2005, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Press, Yogyakarta, h.5

Page 30: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

24

Berkait dengan konteks pemerintahan maka persoalan kebijakan public

menjadi sangat urgen untuk diketahui. Kebijakan public dipelajari dengan maksud

untuk memperoleh pengetahuan yang luas dan mendalam tentang asal atau sebab,

proses perkembangan, serta konsekwensi-konsekwensi kebijakan publik bagi

masyarakat17

. Dalam konteks ini dapat diketahui pengaruh kekuasaaan atau

kelompok-kelompok penekan terhadap kebijakan public yang dikeluarkan oleh

penguasa serta dampak yang ditimbulkanya bagi masyarakat.

Urgensi lainnya bahwa studi kebijakan publik adalah untuk menghimpun

pengetahuan ilmiah guna memecahkan masalah-masalah sosial sehari-hari dalam

masyarakat dan menerapkan pengetahuan ilmiah tersebut kepada penyelesaian

masalah-masalah social praktis18

. Penting untuk mengetahui fakta-fakta guna

membantu membentuk kebijakan publik dan dengan pengetahuan ilmiahnya

diketahui konsekwensi-konsekwensi dari kebijakan yang mungkin timbul. Jadi

pengetahuan yang didasarkan pada fakta adalah sangat urgen untuk menentukan dan

menghadapi masalah-masalah masyarakat.

Bagi pemerintah, pengetahuan tentang kebijakan publik pada dasarnya

menjadi urgen agar pemerintah dapat menempuh kebijakan yang tepat guna untuk

mencapai tujuan yang tepat pula19

. Jadi disini kebijakan publik diarahkan untuk

memastikan apakah pemerintah telah mengambil kebijakan yang pantas dan wajar

17

Solichin Abdul Wahab, 2004, Analisis Kebijakan Dari Formulasi ke Implementasi

Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara Jakarta, h. 12 18

Budi Winarno, op.cit. h. 23 19

Solichin Abdul Wahab, op.cit. h. 13

Page 31: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

25

untuk mencapai tujuan – tujuan yang tepat dalam mengatasi persoalan di masyarakat.

Kebijakan publik merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan, dan bukan

tindakan yang bersifat insidental. Kebijakan publik merupakan tindakan yang

direncanakan, terdiri dari tindakan-tindakan yang saling terkait dan berpola yang

mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan aparatur pemerintah. Kebijakan publik

tidak hanya putusan yang bersifat mengatur akan tetapi termasuk putusan tentang

implementasi dan cara-cara pemberlakuan dari kebijakan publik.

Ada beberapa jenis kebijakan publik dalam khasanah pengetahuan, Rian

Nugroho membagi jenis kebijakan publik menjadi 3 (tiga) kategori20

. Kategori

pertama didasarkan pada makna yaitu bahwa kebijakan publik adalah hal-hal yang

diputuskan untuk dikerjakan dan hal-hal yang diputuskan untuk tidak dikerjakan.

Kategori kedua, pembagian jenis kebijakan publik didasarkan pada lembaga

pembuatnya, yaitu kebijakan publik yang dibuat oleh lembaga legislatif,

kedudukannya dianggap tertinggi. Kemudian kebijakan publik yang dibuat dalam

bentuk kerjasama antara legislatif dan eksekutif. Kerjasama ini dibangun

mencerminkan kompleksitas permasalahan yang tidak memungkinkan legislatif

bekerja sendiri. Produk kebijakan publik hasil kerjasama ini adalah undang-undang di

tingkat nasional dan peraturan daerah di tingkat daerah. Kategori ketiga dari

pembagian jenis kebijakan yaitu kebijakan publik yang dibuat oleh lembaga

20

Riant Nugroho,2004, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Gramedia,

Jakarta, h. 54-57

Page 32: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

26

eksekutif. Kebijakan publik ini merupakan kebijakan publik pelaksanaan yang

berfungsi sebagai kebijakan publik turunan dari kebijakan publik diatasnya.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan yaitu pada pasal

47 ayat (1) ditentukan bahwa setiap Importir wajib mengimpor barang dalam keadaan

baru. Serta ditetapkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-

DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas yang dengan tegas

menetapkan dan mewajibkan untuk memusnahkan pakaian bekas impor yang

dipasarkan di seluruh Indonesia setelah ditetapkannya peraturan ini.

Penetapan pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang

Perdagangan serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015

Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas ternyata tidak harmonis dengan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menetapkan

pada pasal 8 ayat (2) bahwa “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang

rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan

benar atas barang dimaksud”. Apabila diperhatikan ketentuan pasal tersebut dan

menganalisisnya dengan argumentum a contrario maka akan mengakibatkan

diperbolehkannya pelaku usaha untuk memperdagangkan barang bekas (termasuk

pakaian bekas impor) dengan syarat memberikan informasi yang sejelas-jelasnya dan

sebenar-benarnya kepada konsumen terkait keadaan dan kualitas barang bekas

(pakaian bekas) tersebut. Oleh karena ketentuan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ini belum dihapuskan, maka

Page 33: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

27

tetap dapat dijadikan dasar hukum bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan

pakaian bekas impor di seluruh Indonesia.

Ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang

Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011

Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk

Atas Barang Impor yang masih menetapkan pada Nomor 5255, Pos III Tentang

Pakaian Bekas dan Barang Tekstil Bekas dinaikkan bea masuknya menjadi 35 persen.

Peraturan ini ditetapkan tanggal 9 Juli 2015, sehingga pada saat yang sama terdapat

penetapan yang masih memperbolehkan impor pakaian bekas, namun disisi lain lahir

pula peraturan yang melarang impor pakaian bekas yaitu Peraturan Menteri

Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian

Bekas.

Peraturan Menteri berada di bawah Undang-Undang berdasarkan pasal 7

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan sehingga berlaku asas preferensi lex superior derogat legi inferiori.

Namun lahirnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015

Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas merupakan turunan dari pasal 47 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan sehingga berlaku Asas

lex spesialis derogat legi generali, yaitu aturan hukum yang bersifat khusus dapat

mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum. Dengan demikian Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan dan Peraturan Menteri

Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian

Page 34: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

28

Bekas dapat mengesampingkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen yaitu pasal 8 ayat (2).

5.2 Kekaburan Norma Hukum Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor

51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas

Menurut Lon L. Fuller dalam bukunya “The Morality of Law”, sistem hukum

yang baik tidak akan pernah terwujud jika terdapat delapan sebab sebagai berikut: 21

1. Kegagalan untuk merumuskan suatu aturan, sehingga setiap masalah harus

diputuskan secara ad-hoc.

2. Kegagalan untuk mempublikasikan, atau setidaknya membuat pihak-pihak yang

terkena mengetahui, aturan-aturan yang diharapkan dipatuhi.

3. Pemberlakuan aturan yang bersifat retroaktif, sehingga bukan saja dengan

sendirinya gagal mengarahkan suatu perbuatan, tetapi juga mengakibatkan

turunnya integritas aturan-aturan yang bersifat prospektif karena ia selalu terancam

oleh perubahan aturan yang bersifat retrospektif.

4. Kegagalan untuk membuat aturan yang dapat dimengerti.

5. Pengundangan aturan-aturan yang saling bertentangan.

6. Adanya aturan-aturan yang mempersyaratkan hal-hal yang tak mungkin dipenuhi

karena berada diluar kendali atau kemampuan pihak yang terkena aturan itu.

7. Terlalu sering dilakukan perubahan aturan sehingga subyek aturan itu tidak dapat

menentukan benar salah perbuatannya.

21

Lon F. Fuller, 1969, The Morality of Law, Yale University Press, London, h. 39.

Page 35: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

29

8. Kegagalan untuk menyesuaikan antara aturan yang telah diumumkan dan

pelaksanaan yang sebenarnya dari aturan itu.

Sehingga Lon Fuller menyebutkan ada 8 syarat suatu hukum disebut baik,

diantaranya: 22

1. Undang-undang dan peraturan hukum lain harus bersifat umum, tidak boleh

berlaku khusus atau individu tertentu. Suatu sistem hukum harus mengandung

peraturan-peraturan sehingga tidak boleh mengandung sekedar keputusan-

keputusan yang bersifat ad-hoc.

2. Setiap peraturan hukum harus dipublikasikan. Jika hukum/peraturan berbelit-belit

dan sering berubah, sulit untuk mengetahui hukum yang berlaku.

3. Undang-undang dan peraturan tidak boleh berlaku surut. Misalnya, perusahaan

tidak boleh dihukum karena mencemari lingkungan karena undang-

undang perlindungan lingkungan belum ada.

4. Undang-undang harus bisa dimengerti, bahasanya mudah dimengerti dan tidak

berbelit-belit.

5. Sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan yang kontradiktif.

6. Hukum harus terjangkau kesanggupan warga negara untuk memenuhinya.

Undang-undang yang memerintahkan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan tentu

tidak baik sebagai hukum bahkan tidak adil.

7. Undang-undang harus memiliki stabilitas tertentu sepanjang waktu. Jika peraturan

berubah-ubah maka sistem hukum tidak dapat berfungsi dengan baik. Ini terjadi di

22

Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 51.

Page 36: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

30

negara-negara yang sering berganti pemerintahan karena partai politik kalah atau

menang dalam pemilu.

8. Harus ada kesesuaian antara hukum dan cara melaksanakannya. Ganjaran bagi

yang taat hukum dan sanksi bagi yang melanggar. Peraturan yang tidak

dilaksanakan dengan konsekuen akan menjatuhkan martabat hukum itu sendiri.

Tidak dipenuhinya salah satu dari kedelapan hal tersebut menjadikan sistem

hukum yang berlaku tersebut menjadi buruk, mengakibatkan bahwa sistem hukum

yang berjalan tersebut tidak pantas untuk disebut dengan suatu sistem hukum yang

layak, yang tidak dapat berlaku secara efektif dan baik. Menurut Fuller, hukum dan

moralitas adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itu Fuller membagi

moralitas ke dalam moralitas kewajiban (morality of duty) dan moralitas aspirasi

(morality of aspiration) yang menjadikannya hukum. Moralitas kewajiban adalah

suatu ketentuan yang minimum harus ada dalam suatu masyarakat agar masyarakat

tersebut dapat berjalan dengan baik. Sedangkan moralitas aspirasi memungkinkan

manusia untuk mencapai hal yang terbaik dalam hidup manusia. Moralitas aspirasi ini

dalam pandangan Fuller masih dapat dibagi Moralitas eksternal mengatur hal-hal

yang ideal yang seharusnya ada sebagai substansi dari suatu aturan hukum yang ada

dalam masyarakat, sedangkan moralitas internal adalah suatu proses, suatu moralitas

Page 37: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

31

yang memungkinkan kehidupan manusia diatur dengan baik berdasarkan aturan-

aturan hukum yang dibuat tersebut (the morality that makes law possibles).23

Penelusuran kekaburan norma hukum mengarah pada pengertian pakaian

bekas yang dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-

DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas, pakaian bekas “adalah

produk tekstil yang digunakan sebagai penutup tubuh manusia, yang termasuk dalam

Pos Tarif/HS 6309.00.00.00.” Terkait dengan Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. tidak

ditemuan penjelasannya dalam peraturan ini, selanjutnya dilakukan pendekatan

peraturan perundang-undangan yaitu dengan menelusuri makna Pos Tarif/HS

6309.00.00.00. pada peraturan perundang-undangan lain, sehingga ditemukan

penjelasan pada Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan

Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor yang merupakan bagian tidak

terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Ketentuan Lampiran Nomor 5255 Pos Tarif

6309.00.00.00. yaitu “Pakaian bekas dan barang bekas lainnya”, disini terdapat

ketidakjelasan pengaturan, karena dapat ditafsirkan lain (lebih dari satu penafsiran)

terhadap Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. yang muncul dalam pengertian pakaian bekas.

Penafsiran pertama, bahwa pakaian bekas adalah produk tekstil penutup tubuh

manusia (pengertian secara luas/umum) yang termasuk dalam Pos Tarif …. (dapat

23

Gunawan Widjaja, 2006, “Lon Fuller, Pembuatan Undang-Undang Dan Penafsiran

Hukum”, Jurnal Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VI, No. 1, Juli 2006.,

h. 21-22.

Page 38: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

32

diartikan penekanan yang memberikan makna menyempit termasuk juga ….)

sehingga seluruh produk tekstil penutup tubuh manusia (termasuk Pos Tarif/HS

6309.00.00.00.) adalah pakaian bekas. Namun, terdapat penafsiran kedua yaitu

Pakaian bekas “adalah produk tekstil yang digunakan sebagai penutup tubuh

manusia, yang termasuk dalam Pos Tarif/HS 6309.00.00.00.” yang berarti bahwa

hanya yang termasuk dalam Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. yang dikategorikan sebagai

pakaian bekas, sedangkan kategori lainnya bukanlah pakaian bekas.

Penelusuran dalam kamus umum bahasa Indonesia ditemukan pengertian

bekas adalah “tanda-tanda yang ketinggalan (sesudah dipegang, diinjak, dilalui,

dsb)….”, “pakaian yang telah dipakai ….”, “barang-barang bekas adalah barang-

barang lama (sudah dipakai)….”, “sesuatu yang ketinggalan sebagai sisa (…. rusak,

terbakar, tidak terpakai lagi, dsb)….”.24

Apabila dipadu-padankan dengan makna

pakaian yang merupakan produk tekstil penutup tubuh manusia, dapat dikatakan

bahwa ruang lingkup pakaian bekas diantaranya:

1. Produk tekstil yang sudah pernah digunakan sebelumnya sebagai penutup

tubuh manusia;

2. Produk tekstil yang ketinggalan masanya sehingga menjadi produk sisa

karena tidak laku dipasarkan; dan

3. Produk tekstil yang dinilai telah rusak atau tidak (layak) dipakai lagi oleh

pemiliknya terdahulu.

24

W.J.S. Poerwadarminta, loc.cit.

Page 39: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

33

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang

Larangan Impor Pakaian Bekas yang dengan tegas menetapkan dan mewajibkan

untuk memusnahkan pakaian bekas impor yang dipasarkan di seluruh Indonesia

setelah ditetapkannya peraturan ini sehingga tidak hanya kegiatan impor yang

dilarang, namun juga pakaian bekas yang berasal dari impor juga dilarang

diperdagangkan di Indonesia, keduanya dilarng, kegiatan mupun objeknya, sehingga

keberadaannya menjadi illegal di Indonesia.

Page 40: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

34

BAB VI

PENUTUP

6.1 KESIMPULAN

1. Terjadi konflik norma hukum antara Peraturan Menteri Perdagangan Nomor

51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dengan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan

Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor.

Analisis hukum yang tepat untuk memecahkan konflik norma hukum antara

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang

Larangan Impor Pakaian Bekas dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan

Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor adalah dengan menerapkan asas

lex spesialis derogat legi generali karena ternyata Peraturan Menteri Perdagangan

Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas

merupakan aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang

Perdagangan. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang

Perdagangan dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015

Page 41: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

35

Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dapat mengesampingkan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu pasal 8 ayat (2).

2. Terjadi kekaburan norma hukum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor

51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. Analisis hukum

yang tepat untuk memecahkan kekaburan norma ini adalah dengan menelusuri

pengertian pakaian bekas impor, sehingga menemukan kesimpulan bahwa tidak

hanya kegiatan impor yang dilarang, namun juga pakaian bekas yang berasal dari

impor juga dilarang diperdagangkan di Indonesia, keduanya dilarang, kegiatan

mupun objeknya, sehingga keberadaannya menjadi illegal di Indonesia.

6.2 SARAN

1. Tujuan dari pembentukan peraturan perundang-undangan adalah untuk melindungi

seluruh bangsa Indonesia, sehingga disarankan agar aparatur negara tetap

menegakkan paraturan perundang-undangan. Terkait konflik norma, hendaknya

diselesaikan dengan asas preverensi dan dilaksanakan peraturan perundang-

undangan yang dimenangkan.

2. Kekaburan norma dapat menghambat penegakan hukumnya, untuk itu disarankan

agar pembentuk peraturan perundang-undangan jelas menentukan dan mengatur

pengertian otentikya sehingga tidak menimbulkan multi tafsir.

Page 42: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

36

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Atmadja, I Dewa Gede., 2009, Pengantar Penalaran Hukum dan Arguentasi Hukum

(Legal Reasoning and Legal Argumentation an Introduction), Bali Aga,

Denpasar.

Fuller, Lon F., 1969, The Morality of Law, Yale University Press, London.

Hadjon, Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmiati., 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah

Mada University Press, Yogyakarta.

Marzuki, Peter Mahmud., 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media

Group, Jakarta.

Mundiri., 1996, Logika, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Nugroho, Riant, 2004, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi,

Gramedia, Jakarta.

Poerwadarminta, W.J.S., 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Suharto, Edi, 2005, Analisis kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung.

Wahab, Solichin Abdul, 2004, Analisis Kebijakan Dari Formulasi ke Implementasi

Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara Jakarta.

Winarno, Budi, 2005, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Press, Yogyakarta.

Artikel

Febrianto., Vicki, 2015, “Pakaian impor bekas terbukti mengandung bakteri”,

http://www.antaranews.com/berita/478146/pakaian-impor-bekas-terbukti-

mengandung-bakteri, diakses tanggal 7-5-2016 Pukul 7:51 WITA.

Post, Intelijen., 2015, “Juragan Pakaian Bekas Pra Peradilan Bea Cukai Kalah Di

Pengadilan Negeri Surabaya”, http://intelijenpost.com/berita-700-juragan-

Page 43: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

37

pakaian-bekas--pra-peradilan-bea-cukai-kalah-di-pengadilan-negeri-

surabaya.html, diakses tanggal 7-5-2016 Pukul 10:42 WITA.

Suryowati, Estu., 2015, “Pemerintah Siapkan Perpres Pelarangan Impor Pakaian

Bekas”, http://www.kemendag.go.id/id/news/2015/07/14/pemerintah-siapkan-

perpres-pelarangan-impor-pakaian-bekas, diakses tanggal 7-5-2016 Pukul

10:54 WITA.

Widjaja, Gunawan, 2006, “Lon Fuller, Pembuatan Undang-Undang Dan Penafsiran

Hukum”, Jurnal Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan,

Vol. VI, No. 1, Juli 2006., h. 21-22.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan

Impor Pakaian Bekas

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga

Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang

Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas

Barang Impor.

Page 44: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

Lampiran 1. Dukungan sarana dan prasarana penelitian Sarana dan prasarana yang telah tersedia diantaranya : 1. Kendaraan, yang berfungsi digunakan oleh peneliti untuk kegiatan pengambilan bahan,

wawancara (penelusuran data penujang). 2. Ruang LKBH FH UNUD, yang akan dijadikan ruangan rapat kerja tim peneliti dalam berbagai

kegiatan seperti : penyusunan proposal penelitian, pengumpulan bahan, penyusunan laporan enelitian, penyusunan draft luaran hasil penelitian.

Page 45: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

LAMPIRAN 2. FORMAT BIODATA KETUA DAN ANGGOTA TIM PENELITI/ TIM

PELAKSANA (Wajib ditandatangani asli dengan tinta WARNA BIRU)

KETUA TIM PENELITI :

A. Identitas Diri

1.

Nama Lengkap (dengan gelar) I MADE DEDY PRIYANTO,SH.,MKn L 2.

Jabatan Fungsional ASISTEN AHLI 3.

Jabatan Struktural III.b/PENATA MUDA TINGKAT I 4.

NIP 198404112008121003 5.

NIDN 0011048401 6.

Tempat dan Tanggal Lahir DENPASAR 11 APRIL 1984 7 Alamat Rumah JL. PADANG UDAYANA NO.7

DENPASAR 8.

Nomor Telepon/Faks /HP 081999941337

9.

Alamat Kantor JL. PULAU BALI NO.1 DENPASAR 10 Nomor Telepon/Faks 0361222666 11 Alamat e-mail [email protected]

12 Lulusan yang telah dihasilkan S-1= 108 orang 13 Mata Kuliah yg diampu 1. HUKUM KETENAGAKERJAAN

2. HUKUM PENGANGKUTAN

3. HUKUM ISLAM

4. HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

5. HUKUM DAGANG

B. Riwayat Pendidikan

Program S-1 S-2 S-3

Nama Perguruan Tinggi UNIVERSITAS

UDAYANA

UNIVERSITAS

GADJAHMADA

-

Bidang Ilmu HUKUM KENOTARIATAN -

Tahun Masuk 2001 2005 -

Tahun Lulus 2005 2008 -

Judul Skripsi/Thesis/Disertasi PENERTIBAN

PENDUDUK

PENDATANG DI KOTA

DENPASAR

DAMPAK PENGENAAN

PAJAK BUMI DAN

BANGUNAN

TERHADAP

EKSISTENSI TANAH

PEKARANGAN DESA

DI KOTA DENPASAR

-

Nama Pembimbing/Promotor DR. I WAYAN

SUANDI,SH.,MHUM

COK ISTRI ANOM

PEMAYUN,SH.,MH

PROF.DR.SUDJITO,SH.,

MSi

-

Page 46: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …
Page 47: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir (Bukan Skripsi, Tesis, maupun Disertasi)

No.

Tahun

Judul Penelitian Pendanaan

Sumber *) Jml (Juta Rp.)

1 2016 PELAKSANAAN BATAS WAKTU

PENYELESAIAN PERSELISIHAN

HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI

MEDIASI PADA DINAS SOSIAL DAN

TENAGA KERJA KOTA DENPASAR

MANDIRI 10

1. 2015 EFEKTIFITAS PERAN POLISI

PARIWISATA DALAM

PENANGGULANGAN KEJAHATAN

DIBIDANG PARIWISATA PADA

WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN

DAERAH PROVINSI BALI

HIBAH DOSEN

MUDA

10

2. 2014 MODEL PENGATURAN CITY HOTEL

WIRAUSAHA LOKAL BERBASIS

PENGUATAN KEMITRAAN DENGAN

BERBAGAI STAKEHOLDERS BAGI

KETAHANAN DAN

KEBERLANGSUNGAN EKONOMI

MASYARAKAT BALI DALAM

KEGIATAN KEPARIWISATAAN

HIBAH GRUP RISET

UDAYANA

50

3. 2013 STANDARISASI KLAUSULA-

KLAUSULA PERJANJIAN YANG

DILAKUKAN PEMERINTAH DALAM

PENGADAAN BARANG/JASA.

HIBAH

PASCASARJANA

(MAGISTER

KENOTARIATAN)

10

4. 2012 PERANAN PRAJURU DESA DALAM

MENYELESAIKAN SENGKETA

PEREBUTAN TANAH KUBURAN

(SETRA) (STUDI KASUS DI DESA

PAKRAMAN KEROBOKAN DAN

DESA PAKRAMAN PADANG

SAMBIAN.

HIBAH UNGGULAN

UDAYANA

50

Page 48: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

5. 2011 TINJAUAN YURIDIS PERATURAN

GUBERNUR BALI NOMOR 12 TAHUN

2009 TENTANG PEMBATALAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN

TABANAN NOMOR 6 TAHUN 2008

TENTANG RETRIBUSI PEMAKAIAN

KEKAYAAN MILIK DAERAH

KABUPATEN TABANAN

HIBAH DOSEN

MUDA

10

*) Tuliskan sumber pendanaan : PDM, SKW, Hibah Dosen Muda, Fundamental, Hibah Bersaing, Hibah Pekerti, Hibah Pascasarjana, Hikom, Stranas, Kerjasama Luar Negeri dan Publikasi Internasional, RAPID, Unggulan Stranas, Hibah Unggulan Udayana, Hibah Grup Riset Udayana, atau sumber lainnya.

D. Pengalaman Pengabdian kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir

No.

Tahun Judul Pengabdian Kepada

Masyarakat

Pendanaan Sumber *) Jml (Juta Rp.)

1 2016 SOSIALISASI ASPEK HUKUM

PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN

BAGI CALON TENAGA KERJA

INDONESIA YANG AKAN BEKERJA KE

LUAR NEGERI

DIPA 10

1. 2015 SOSIALISASI UNDANGA-UNDANG

DASAR NEGARA RI 1945 BERBAHASA

BALI DI DESA PAKRAMAN WANGSEAN

KECAMATAN SIDEMEN KABUPATEN

KARANGASEM

DIPA 5

2. 2014 SOSIALISASI PENTINGNYA AKTA

NOTARIS/PPAT DALAM TRANSAKSI

JUAL-BELI TANAH DI DESA BUAHAN

KAJA, KECAMATAN PAYANGAN,

KABUPATEN GIANYAR, PROVINSI

BALI

DIPA 5

3. 2013 KONSULTASI HUKUM MANDIRI 5 4. 2012 SOSIALISASI PERATURAN

GUBERNUR BALI NOMOR 113 TAHUN

2011 TENTANG UPAH MINIMUM

KABUPATEN/KOTA DI YAYASAN HCS

PUTRA BALI

DIPA 5

5. 2011 SOSIALISASI UNDANG-UNDANG

KDRT BAGI PERLINDUNGAN

PEREMPUAN DI IWABA DAERAH

BALI

DIPA 5

Page 49: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

*) Tuliskan sumber pendanaan : Penerapan IPTEKS – SOSBUD, Vucer, Vucer Multitahun, UJI, Sibermas, atau sumber dana lainnya.

E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir

No. Judul Artikel Ilmiah Volume/Nomor Nama Jurnal

1 PERTANGGUNGJAWABAN

UD. P. JATAYU KABUPATEN

BADUNG TERHADAP

PEKERJA ANAK YANG

MENGALAMI KECELAKAAN

KERJA

VOL. 04, NO. 05,

OKTOBER 2016

JURNAL KERTA SEMAYA

FH.UNUD

1 PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP KESELAMATAN

DAN KESEHATAN BAGI

PEKERJA DI DALAM PROSES

PRODUKSI PADA PT

SATYALOKA TIRTA AMERTA

DI KABUPATEN BANGLI

VOL. 05, NO. 01,

JANUARI 2017

JURNAL KERTA SEMAYA

FH.UNUD

1. HAK ANAK ANGKAT

TERHADAP PEMBAGIAN

WARISAN

VOL. 03, NO. 05,

SEPTEMBER 2015

JURNAL KERTA SEMAYA

FH.UNUD

2. PEMBERIAN UANG

PESANGON TERHADAP

PEKERJA KONTRAK WAKTU

TERTENTU YANG

DIBERHENTIKAN PADA

DINAS PERKEBUNAN

PROVINSI BALI

VOL. 02, NO. 03,

JUNI 2014

JURNAL KERTA SEMAYA

FH.UNUD

3. AKIBAT HUKUM

BERAKHIRNYA HUBUNGAN

KERJA PADA PERUSAHAAN

YANG DINYATAKAN PAILIT

VOL.1 NO.4, MEI

2013

JURNAL KERTA SEMAYA

FH.UNUD

4. PERLINDUNGAN HUKUM

TENAGA KERJA INDONESIA

DI LUAR NEGERI

VOLUME 7 NO.2,

NOVEMBER 2012

JURNAL KONSTITUSI P3KP

UNIVERSITAS JAMBI.

5. INSTRUMEN HUKUM

PEMBATALAN PERDA

SYARIAH DI INDONESIA.

VOLUME I NO.2,

NOVEMBER 2011

JURNAL KONSTITUSI PKK-

UNIVERSITAS

PENDIDIKAN NASIONAL

DENPASAR

Page 50: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

F. Pengalaman Penyampaian Makalah Secara Oral pada Pertemuan/ Seminar Ilmiah dalam 5 Tahun Terakhir

No. Nama

Pertemuan ilmiah/

Seminar

Judul Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat

1 LOKAKARYA

JURNAL

PROGRAM

STUDI DOKTOR

(S3) ILMU

HUKUM

PROCRAM

PASCASARJANA

UNIVERSITAS

UDAYANA

PROBLEM VALIDASI JURNAL 29 NOVEMBER

2016, FH UNUD

1. WORKSHOP PENULISAN NASKAH JURNAL 2015,

PASCASARJANA

(S2) ILMU

HUKUM UNUD

2. LATIHAN

KETERAMPIL

AN

MANAJEMEN

MAHASISWA

MEREALISASIKAN TEORI KEPEMIMPINAN

MEMBENTUK IDEOLOGI INDIVIDU

BERKARAKTER

2014, GEDUNG

KSIRARNAWA

ART CENTRE

DENPASAR

3. SEMINAR

RESEARCH

EXCELLENT

UNUD

PERANAN PRAJURU DESA DALAM

MENYELESAIKAN SENGKETA PEREBUTAN

TANAH KUBURAN (SETRA) (STUDI KASUS

DI DESA PAKRAMAN KEROBOKAN DAN

DESA PAKRAMAN PADANG SAMBIAN.

2013, GEDUNG

GDLN UNUD

4. SEMINAR

NASIONAL

PERANAN PRAJURU DESA DALAM

MENYELESAIKAN SENGKETA PEREBUTAN

TANAH KUBURAN (SETRA) (STUDI KASUS

DI DESA PAKRAMAN KEROBOKAN DAN

DESA PAKRAMAN PADANG SAMBIAN.

2012, JURUSAN

ILMU

KOMUNIKASI

FISIP UNSOED

G. Pengalaman Penulisan Buku dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul Buku Tahun Jumlah

Halaman Penerbit

1. KLINIK HUKUM PERDATA 2015 117 UDAYANA

UNIVERSITY

PRESS

Page 51: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

No. Judul/Thema HKI Tahun Jenis No.P/ID

1. - - - -

2. PERANAN PRAJURU DESA DALAM

MENYELESAIKAN SENGKETA

PEREBUTAN TANAH KUBURAN (SETRA)

(STUDI KASUS DI DESA PAKRAMAN

KEROBOKAN DAN DESA PAKRAMAN

PADANG SAMBIAN.

2012 18 Prosiding Jurusan

Ilmu Komunikasi

FISIP UNSOED,

ISBN : 978-979-

9204-63-9

H. Pengalaman Perolehan HKI dalam 5 – 10 Tahun Terakhir

I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun

Terakhir

No. Judul/Tema/Jenis Rekayasa Sosial Lainnya

yang Telah Diterapkan Tahun Tempat

Penerapan Respon

Masyarakat

1. REVIEW RANPERDA GIANYAR

NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH

KABUPATEN GIANYAR 2012 – 2032.

2012 KABUPATEN

GIANYAR

BAIK

J. Penghargaan yang Pernah Diraih dalam 10 tahun Terakhir (dari pemerintah, asosiasi atau institusi lainnya)

No. Jenis Penghargaan Institusi Pemberi

Penghargaan Tahun

1. - - -

Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila dikemudian hari ternyata dijumpai ketidak-

sesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima risikonya. Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan penelitian : HIBAH DOSEN MUDA FH UNUD

Denpasar, 18 Mei 2016

Pengusul,

Tanda tangan & materai

(I MADE DEDY PRIYANTO,SH.,MKn)

NIP : 198404112008121003

Page 52: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

ANGGOTA TIM PENELITI :

IDENTITAS DIRI

Nama : Putu Edgar Tanaya, SH., MH.

Tempat dan Tanggal Lahir : Denpasar, 08 November 1991

Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan

Status Perkawinan : Kawin Belum Kawin Duda/Janda

Agama : Hindu

Golongan/Pangkat : -

Jabatan Fungsional Akademik : -

Perguruan Tinggi : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Alamat : Jln. P. Bali No.1 Denpasar 80114

Tlp/Fax : (0361) 222666/ Fax. 234888

Pekerjaan : Dosen

Alamat Rumah : Jl. Tukad Balian No. 161 Denpasar

Tlp./Fax : 081916264343

Alamat e-mail : [email protected]

RIWAYAT PENDIDIKAN

Tahun

Lulus

Jenjang Sekolah Jurusan/ Bidang Studi

2003 SD SDN 3 Sanur -

2006 SMP SMPN 9 Denpasar -

2009 SMA SMAN 2 Denpasar -

2013 S1 Universitas Udayana Ilmu Hukum

2015 S2 Universitas Gadjah Mada Magister Hukum

PENGALAMAN MENGAJAR

Tahun Matakuliah Jenjang Program/Institusi

2016 Hukum Administrasi Negara S1 Program Reguler Sore Fakultas

Hukum Universitas Udayana

2016 Ilmu Administrasi Negara S1 Program Reguler Sore Fakultas

Hukum Universitas Udayana

2016 Ilmu Administrasi Negara S1 Program Reguler Pagi Fakultas

Hukum Universitas Udayana

2016 Hukum Agraria S1 Program Reguler Sore Fakultas

Page 53: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

Hukum Universitas Udayana

2016 Hukum Lingkungan S1 Program Reguler Pagi Fakultas

Hukum Universitas Udayana

PENGALAMAN PENELITIAN

Tahun Judul Penerbit/Jurnal

2013 Pengaturan Surat Pengalihan Piutang Atas

Nama (Cessie) Yang Dibuat Dengan Akta

Dibawah Tangan Dikaitkan Dengan

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

Tentang Jaminan Fidusia

Skripsi

2015 Akibat Hukum Tidak Dipenuhinya

Kewajiban Divestasi Saham Dalam Bidang

Pertambangan Oleh Penanam Modal Asing

Kepada Negara

Tesis

2016 Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap

Corporate Social Responsibility (CSR)

Sebagai Etika Bisnis dan Etika Sosial

Jurnal Komununikasi Hukum

Universitas Pendidikan Ganesha

2016 Divestasi Sebagai Pilihan Alternatif Untuk

Mempertahankan Keberlangsungan

Ekonomi Indonesia (Dalam Analisis

Ekonomi Perspektif Hukum)

Jurnal Advokasi Hukum

Universitas Mahasaraswati

2017 Akibat Hukum Kepailitan Badan Usaha

Milik Negara Pasca Berlakunya Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang

Keuangan Negara

Jurnal Komununikasi Hukum

Universitas Pendidikan Ganesha

KEGIATAN PROFESIONAL/PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

Tahun Kegiatan

2016 Sosialisasi Kenakalan Remaja Terkait Penyalahgunaan Narkoba di Puri

Glogor, Denpasar

2016 Pengabdian Masyarakat dalam Rangka BKFH Fakultas Hukum Universitas

Udayana di Bukit Jimbaran dan Kampus Denpasar

Page 54: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

Semua data yang tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan

secara hukum. Apabila dikemudian hari ternyata dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan,

saya sanggup menerima resikonya.

Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan

dalam pengajuan penelitian : HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI.

Denpasar, 2 Februari 2017

(Putu Edgar Tanaya, SH., MH.)

NIP. 1991110820160612001

Page 55: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

1

LARANGAN PENJUALAN

PAKAIAN BEKAS IMPOR DI INDONESIA

I Made Dedy Priyanto

1)

Bagian Hukum Perdata, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Jalan Pulau Bali No.1, Denpasar, 80114 Telpn/Fax : (0361) 222666, E-mail : [email protected]

Abstract

The purpose of this research is to find legal certainty related ban on imported used clothing in Indonesia, this research uses normative juridical research method, with approach type of legislation, and phrase approach. Sources of legal materials used include primary legal materials (legislation related to the ban on the sale of imported used clothing in Indonesia), secondary legal materials (law books, legal journals, legal papers published in print and online), as well as tertiary tertiary legal materials (dictionaries, and encyclopedias). The analytical techniques of interpretive law are used in this study, especially in the exegesis of grammatical interpretation, contextual interpretation, legal principles, legal theories, and the interpretation of laws and regulations. There is a conflict of norms because Law Number 8 Year 1999 on Consumer Protection still permits the trade of imported used clothing provided that the entrepreneur is obliged to provide information as clear as possible regarding the condition of used clothing, in line with this Regulation stipulation of the Trade Minister Number 132 / PMK.010 / 2015 Concerning Third Amendment to Regulation of the Trade Minister Number 213 / PMK.011 / 2011 On the Stipulation of Goods Classification System and Imposition of Import Duty Tariff on Imported Goods regulates tariffs for used clothing import while Trade Minister Regulation Number 51 / M-DAG / PER / 7 / 2015 Concerning the Prohibition on Import of Used Clothing expressly prohibits the trade of imported used clothing. This rule is a derivative of the Trade Act so that the principle preference applies: lex specialis derogat legi generali so that the Regulation of the Trade Minister may override the regulations concerning consumer protection and the regulation of the Trade Minister.

Key words: prohibition, sale, clothing, scrap, import.

Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan kepastian hukum terkait larangan penjualan pakaian bekas impor di Indonesia, penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan jenis pendekatan

perundang-undangan, dan pendekatan frasa. Sumber bahan hukum yang digunakan diantaranya bahan hukum primer

(peraturan perundang-undangan terkait larangan penjualan pakaian bekas impor di Indonesia), bahan hukum

sekunder (buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis di bidang hukum yang dimuat di media cetak maupun

online), serta bahan hukum tersier yang bersifat penunjang (kamus, dan ensiklopedia). Teknik analisis bahan hukum

interpretasi digunakan dalam penelitian ini khususnya dalam melakukan penafsiran gramatikal (arti kata/ bahasa),

penafsiran kontektual (konteks/ pemaknaan kalimat), asas-asas hukum, teori-teori hukum, serta penafsiran peraturan

perundang-undangan. Terjadi konflik norma karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen masih memperbolehkan perdagangan pakaian bekas impor dengan syarat pengusaha wajib memberikan

informasi sejelas-jelasnya terkait keadaan pakaian bekas, searah dengan hal ini penetapan Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor

213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang

Impor mengatur tarif bagi impor pakaian bekas, sedangkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-

DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas secara tegas melarang perdagangan pakaian bekas

impor. Aturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Perdagangan sehingga berlaku asas preferensi yaitu: lex

specialis derogat legi generali sehingga Peraturan dari Menteri Perdagangan dapat mengesampingkan peraturan

mengenai perlindungn konsumen dan peraturan Menteri Keuangan.

Kata Kunci: larangan, penjualan, pakaian, bekas, impor.

1. PENDAHULUAN

Penetapan pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas

Page 56: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

2

ternyata tidak harmonis dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menetapkan pada pasal 8 ayat (2) bahwa “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud”. Apabila diperhatikan ketentuan pasal tersebut dan menganalisisnya dengan argumentum a

contrario maka akan mengakibatkan diperbolehkannya pelaku usaha untuk memperdagangkan barang bekas (termasuk pakaian bekas impor) dengan syarat memberikan informasi yang sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya kepada konsumen terkait keadaan dan kualitas barang bekas (pakaian bekas) tersebut. Oleh karena ketentuan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ini belum dihapuskan, maka tetap dapat dijadikan dasar hukum bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan pakaian bekas impor di seluruh Indonesia.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang

Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor masih menetapkan pada Nomor 5255, Pos III Tentang Pakaian Bekas dan Barang Tekstil Bekas dinaikkan bea masuknya menjadi 35 persen. Peraturan ini ditetapkan tanggal 9 Juli 2015, sehingga pada saat yang sama terdapat penetapan yang masih memperbolehkan impor pakaian bekas, namun disisi lain lahir pula peraturan yang melarang impor pakaian bekas. Pentingnya dilakukan penelitian ini juga tdak terlepas dari pemaknaan impor pakaian bekas itu sendiri yang apabila diihat ketentuan pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas, maka pengertian impor adalah

“kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean”, kemudian pasal 2 Peraturan Menteri ini menetapkan bahwa “Pakaian Bekas dilarang untuk diimpor ke dalam wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia” maka dapat dikomentari bahwa yang dimaksud dilarang adalah kegiatan memasukkan barang dari luar negeri ke wilayah Indonesia, sedangkan apabila pakaian bekas tersebut telah terlanjur berada di Indonesia maka tetap diperbolehkan untuk diperdagangkan (hal ini sesuai dengan putusan hakim pada uraian sebelumnya). Namun ketentuan selanjutnya yaitu pasal 3 Peraturan Menteri ini menetapkan bahwa “Pakaian Bekas yang tiba di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada atau setelah tanggal Peraturan Menteri ini berlaku wajib dimusnahkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”, maka yang dimusnahkan disini adalah pakaian bekas sebagai objek peraturan, sehingga walaupun pakaian bekas tersebut terlanjur ada di Indonesia tetap dapat dimusnahkan/ dilarang keberadaannya. Menjadi urgen dan penting untuk dilakukan penelitian karena terjadi multi tafsir terhadap ketentuan pelarangan penjualan pakaian bekas impor ini, tafsiran pertama menekankan pada kegiatannya yang dilarang, namun penafsiran kedua lebih fokus kepada obyek (pakaian bekas) yang dilarang, sehingga dapat dikatakan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dalam hal ini belum dapat mencerminkan kepastian hukum.

2. METODE PENELITIAN

“Ciri khas ilmu hukum adalah sifatnya yang normatif”.1 Penelitian ini menggunakan jenis peneitian hukum normatif karena terdapat konflik norma hukum antara Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor

213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor. Alasan lain dipilihnya penelitian hukum normatif yaitu adanya kekaburan norma hukum/ multi tafsir dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. Sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan penelitian dibidang norma hukum/ normatif. Jenis pendekatan yang dilakukan dalap penelitian ini yaitu: jenis pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan frasa. Pendekatan perundang-undangan, yaitu dilakukan analisis terhadap norma hukum terkait penjualan pakaian bekas impor di Indonesia dengan

1 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, h.1.

Page 57: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

3

menelusuri sebanyak-banyaknya bahan hukum primer (aturan-aturan dan penjelasannya) terkait dengan objek penelitian yang dapat menjelaskan secara pasti makna dari aturan yang dikaji, sehingga dapat memberikan kepastian hukumnya. Sedangkan pada pendekatan frasa dilakukan dengan bantuan bahan hukum sekunder (doktrin para sarjana hukum), serta bahan hukum tersier (diluar bidang ilmu hukum)

khususnya bidang ilmu bahasa untuk memberikan kejelasan terkait dengan pemaknaan kata, serta kalimat (subjek-predikat-objek) yang tertuang dalam aturan-aturan yang dikaji, sehingga dapat memberikan kejelasan makna dan maksud dari aturan tersebut.

Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalampenelitian ini diantaranya: bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan terkait larangan penjualan pakaian bekas impor di Indonesia), bahan hukum sekunder (buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis di bidang hukum yang dimuat di media cetak maupun online), serta bahan hukum tersier yang bersifat penunjang (kamus, dan ensiklopedia). Teknik pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini menggunakan sistem pencatatan,

dan sistem download data. Pada sistem pencatatan dilakukan dengan mencatat secara manual pada kertas (seperti sistem kartu, namun menggunakan kertas, bukan kartu) dan/atau langsung pada file komputer yang disediakan untuk pengumpulan bahan hukum yang berasal dari penelusuran kepustakaan bahan hukum primer, sekunder, tersier, serta data penunjang. Sedangkan pada sistem download data dilakukan pengambilan bahan-bahan hukum dengan download bahan-bahan hukum yang ditelusuri dari media online. Kedua sistem ini kemudian disatukan dalam satu file data pada komputer yang kemudian dipilah-pilah, dan diklasifikasikan berdasarkan pokok-pokok bahasan, sehingga memudahkan peneliti untuk

menggunakan bahan hukum tersebut dalam menganalisis objek penelitian. Bahan hukum yang terkumpul setelah dipilah-pilah dan diklasifikasikan, maka dilakukan teknik analisis bahan-bahan hukum tersebut dengan menggunakan teknik analisis deskriptif, yaitu menggambarkan hasil-hasil temuan yang ditelusuri dengan apa adanya ke dalam pembahasan. Teknik ini dilakukan untuk menghindari kesesatan dalam berlogika oleh peneliti, sehingga kutipan-kutipan langsung (tidak dipenggal-penggal) akan diuraikan sama persis dengan sumbernya (dengan menyebutkan sumbernya penelitipun terhindar dari plagiarisme). Teknik analisis bahan hukum interpretasi juga digunakan dalam penelitian ini khususnya dalam

melakukan penafsiran gramatikal (arti kata/ bahasa), penafsiran kontektual (konteks/ pemaknaan kalimat), asas-asas hukum, teori-teori hukum, serta penafsiran peraturan perundang-undangan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan memberikan pengertian Barang “adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai,

digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau Pelaku Usaha.” Namun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 1 angka 4 menetapkan pengertian Barang “adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.” Terjadi penyempitan cakupan pengaturan dimana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tidak mengatur cakupan pengertian barang yang dapat dipergunakan juga oleh pelaku usaha. Hal ini untuk memisahkan ruang lingkup konsumen dengan

pelaku usaha yang jelas diatur dalam Pasal 1 angka 2 “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Sehingga apabila barang (termasuk pakaian bekas impor) dipergunakan, dan tidak untuk diperdagangkan lagi, maka yang mempergunakan ini disebut konsumen. Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan memberikan pengertian resmi Impor “adalah kegiatan memasukkan Barang ke dalam Daerah Pabean.” Daerah Pabean dijelaskan dalam pasal 1 angka 15 Undang-Undang ini yaitu “wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, ruang udara di atasnya, serta tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.” Selanjutnya Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan memberikan

Page 58: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

4

pengertian resmi Importir adalah “orang perseorangan atau lembaga atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang melakukan Impor”. Di berbagai peraturan perundang-undangan setelah ditelusuri tidak ditemukan perbedaan pengertian terkait impor maupun importir, sehingga tidak diperlukan uraian atau komentar terkait pengertian impor maupun importir.

Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas, pakaian bekas “adalah produk tekstil yang digunakan sebagai penutup tubuh manusia, yang termasuk dalam Pos Tarif/HS 6309.00.00.00.” Terkait dengan Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. tidak ditemuan penjelasannya dalam peraturan ini, selanjutnya dilakukan pendekatan peraturan perundang-undangan yaitu dengan menelusuri makna Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. pada peraturan perundang-undangan lain, sehingga ditemukan penjelasan pada Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan

Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Ketentuan Lampiran Nomor 5255 Pos Tarif 6309.00.00.00. yaitu “Pakaian bekas dan barang bekas lainnya”, disini terdapat ketidakjelasan pengaturan, karena dapat ditafsirkan lain (lebih dari satu penafsiran) terhadap Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. yang muncul dalam pengertian pakaian bekas. Penafsiran pertama, bahwa pakaian bekas adalah produk tekstil penutup tubuh manusia (pengertian secara luas/umum) yang termasuk dalam Pos Tarif …. (dapat diartikan penekanan yang memberikan makna menyempit termasuk juga ….) sehingga seluruh produk tekstil penutup tubuh manusia (termasuk Pos Tarif/HS 6309.00.00.00.) adalah pakaian bekas. Namun, terdapat penafsiran kedua yaitu Pakaian bekas “adalah produk tekstil yang digunakan sebagai penutup tubuh manusia, yang termasuk dalam Pos Tarif/HS 6309.00.00.00.” yang berarti bahwa hanya yang termasuk dalam Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. yang dikategorikan sebagai pakaian bekas, sedangkan kategori lainnya bukanlah pakaian bekas. Hal inilah yang kemudian dapat diteliti lebih mendalam sehingga pemaknaan pakaian bekas menjadi jelas.

Penelusuran dalam kamus umum bahasa Indonesia ditemukan pengertian bekas adalah “tanda-tanda yang ketinggalan (sesudah dipegang, diinjak, dilalui, dsb)….”, “pakaian yang telah dipakai ….”, “barang-barang bekas adalah barang-barang lama (sudah dipakai)….”, “sesuatu yang ketinggalan sebagai sisa (…. rusak, terbakar, tidak terpakai lagi, dsb)….”.2 Apabila dipadu-padankan dengan makna pakaian yang merupakan produk tekstil penutup tubuh manusia, dapat dikatakan bahwa ruang lingkup pakaian bekas diantaranya: 1. Produk tekstil yang sudah pernah digunakan sebelumnya sebagai penutup tubuh manusia; 2. Produk tekstil yang ketinggalan masanya sehingga menjadi produk sisa karena tidak laku dipasarkan;

dan 3. Produk tekstil yang dinilai telah rusak atau tidak (layak) dipakai lagi oleh pemiliknya terdahulu.

Kebalikan dari bekas adalah baru, seperti yang diatur dalam pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan yaitu mewajibkan setiap importir untuk mengimpor barang (termasuk pakaian bekas) dalam keadaan baru, sehingga pengertian baru adalah tidak bekas, dalam artian tidak pernah digunakan sebelumnya, tidak kadaluarsa, tidak mengalami lampau waktu (sisa), tidak mengalami kerusakan/tidak layak pakai.

Penelusuran dalam kamus umum bahasa Indonesia ditemukan pengertian konflik adalah “pertentangan, percekcokan” sedangkan pertentangan berarti “berlawanan, perselisihan yang sangat (ketidak cocokan)”.3 Unsur-unsur konflik norma seperti yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon dan Titiek Sri Djatmiati diantaranya: 1. Terjadi pertentangan antara dua atau lebih peraturan perundang-undangan; 2. Peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut masih berlaku atau sama-sama diterapkan terhadap

suatu kasus.4

2 W.J.S. Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 118.

3 Ibid, h. 610, dan h. 1251.

4 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta. h.31.

Page 59: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

5

Sehingga dapat pula dikatakan bahwa peraturan yang satu membolehkan terhadap perbuatan/objek sedangkan yang lain melarang.

Asas preferensi yang dikemukakan oleh I Dewa Gede Atmadja merupakan solusi yang dapat diterapkan terhadap konflik norma, diantaranya :

a. Asas lex posteriori derogat legi priori, yaitu aturan hukum yang baru (ditetapkan kemudian) dapat mengesampingkan aturan hukum yang lama (ditetapkan sebelumnya).

b. Asas lex spesialis derogat legi generali, yaitu aturan hukum yang bersifat khusus dapat mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum.

c. Asas lex superior derogat legi inferiori, yaitu aturan hukum yang lebih tinggi tingkatannya dapat mengesampingkan aturan hukum yang lebih rendah.5

Hirarki yang dimaksud yaitu hirarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menetapkan

bahwa: (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Kekaburan, seperti yang ditemukan dalam penelusuran kamus umum bahasa Indonesia diartikan “keadaan kabur”, sedangkan kabur berarti “kurang tegas (jelas)”.6 Unsur-usur kekaburan orma hukum dapat ditarik sebagai berikut:

1. Norma hukum yang tidak jelas dalam pengaturannya; sehingga

2. Menimbulkan multi tafsir.

Kekaburan norma dapat diselesaikan melalui metode penafsiran hukum yaitu : penafsiran sistematis, penafsiran tata bahasa, penafsiran teleologi, penafsiran sejarah hukum, dst.7 Yang pada intinya dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Interpretasi gramatika/ penafsiran tata bahasa, yaitu menafsirkan kata-kata yang tertuang dalam

peraturan perundang-undangan dengan pemaknaan tata bahasa; 2. Interpretasi sistematis, yaitu penafsiran yang menggunakan aturan/ ketentuan lain untuk memaknai

peraturan/ ketentuan yang dikaji. 3. Interpretasi sejarah hukum, yaitu penafsiran yang menggunakan sejarah lahirnya peraturan perudang-

undangan untuk menemukan makna dari suatu aturan. 4. Interpretasi teologis, yaitu penafsiran yang menggunakan tujuan hukum sesuai dengan perkembangan

sosiologis masyarakat saat terbentuknya peraturan untuk memaknai aturan yang dikaji. 5. Interpretasi antisipatif, yaitu penafsiran yang menggunakan nilai-nilai yang masih merupakan gagasan

dalam rancangan peraturan perundang-undangan. 6. Interpretasi evolutif-dinamis, yaitu penafsiran yang mendobrak ketentuan peraturan perundang-

undangan dengan menggunakan perubahan pandangan masyarakat, sosial, nilai-nilai susila, serta perubahan kepentingan dan teknologi yang berkembang di masyarakat, sehingga peraturan perundang-undangan disini dinilai telah tidak sesuai dan patut diperbaharui.

7. Interpretasi ekstensif, yaitu menafsirkan secara luas makna yang tersurat dalam peraturan perundang-perundangan.

5 I Dewa Gede Atmadja, 2009, Op.Cit. h.33.

6 W.J.S. Poerwadarminta, Op.Cit, h. 502.

7 I Dewa Gede Atmadja, Op.Cit, h.35.

Page 60: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

6

8. Interpretasi restriktif, yaitu menafsirkan secara sempit makna yang tersurat dalam peraturan perundang-undangan.

9. Interpretasi otentik, yaitu menafsirkan peraturan sesuai dengan apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. 8

3.2. Pembahasan

Sesuai dengan tujuannya, penelitian ini bertujuan untuk menemukan kepastian hukum terkait dengan larangan penjualan pakaian bekas impor di Indonesia. Berdasarkan penelitian kepustakaan yang telah dilakukan ditemukan bahwa: “Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa

pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.”9

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan yaitu pada pasal 47 ayat (1) ditentukan bahwa setiap Importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru. Serta ditetapkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas yang dengan tegas menetapkan dan mewajibkan untuk memusnahkan pakaian bekas impor yang

dipasarkan di seluruh Indonesia setelah ditetapkannya peraturan ini. Penetapan pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas ternyata tidak harmonis dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menetapkan pada pasal 8 ayat (2) bahwa “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud”. Apabila diperhatikan ketentuan pasal tersebut dan menganalisisnya dengan argumentum a contrario maka akan mengakibatkan

diperbolehkannya pelaku usaha untuk memperdagangkan barang bekas (termasuk pakaian bekas impor) dengan syarat memberikan informasi yang sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya kepada konsumen terkait keadaan dan kualitas barang bekas (pakaian bekas) tersebut. Oleh karena ketentuan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ini belum dihapuskan, maka tetap dapat dijadikan dasar hukum bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan pakaian bekas impor di seluruh Indonesia.

Peraturan Menteri berada di bawah Undang-Undang berdasarkan pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sehingga berlaku asas preferensi

lex superior derogat legi inferiori. Namun lahirnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas merupakan turunan dari pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan sehingga berlaku Asas lex spesialis derogat legi generali, yaitu aturan hukum yang bersifat khusus dapat mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dapat mengesampingkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu

pasal 8 ayat (2). Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor

Pakaian Bekas yang dengan tegas menetapkan dan mewajibkan untuk memusnahkan pakaian bekas impor yang dipasarkan di seluruh Indonesia setelah ditetapkannya peraturan ini sehingga tidak hanya kegiatan impor yang dilarang, namun juga pakaian bekas yang berasal dari impor juga dilarang diperdagangkan di Indonesia, keduanya dilarang, kegiatan maupun objeknya.

8 I Dewa Gede Atmadja, Op.Cit, h. 42-46.

9 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, h. 158.

Page 61: LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …

7

4. KESIMPULAN

Terjadi konflik norma karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen masih memperbolehkan perdagangan pakaian bekas impor dengan syarat pengusaha wajib memberikan informasi sejelas-jelasnya terkait keadaan pakaian bekas, searah dengan hal ini penetapan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor mengatur tarif bagi impor pakaian bekas, sedangkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas secara tegas melarang perdagangan pakaian bekas impor. Aturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Perdagangan sehingga berlaku asas preferensi yaitu: lex specialis derogat legi generali sehingga Peraturan dari Menteri Perdagangan dapat mengesampingkan peraturan mengenai perlindungn konsumen dan peraturan Menteri Keuangan.

Ucapan Terimakasih

Ucapan terimakasih disampaikan pada pihak-pihak yang mendukung penulisan makalah: 1. Rektor Universitas Udayana. 2. Ketua LPPM Universitas Udayana. 3. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana. 4. Ketua UPPM Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bagian Keuangan FH Universitas Udayana. 6. Seluruh sivitas akademika Fakultas Hukum Universitas Udayana, dan berbagai pihak yang tidak dapat

disebutkan satu-persatu.

5. DAFTAR PUSTAKA

Hadjon, Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmiati., 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati.

Marzuki, Peter Mahmud., 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group.

Poerwadarminta, W.J.S., 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.