LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …
Transcript of LARANGAN PENJUALAN PAKAIAN BEKAS IMPOR DI …
Bidang Unggulan : Sosial, Ekonomi Dan Bahasa
Kode/Bidang Ilmu : 596/Ilmu Hukum
LAPORAN AKHIR
HIBAH PENELITIAN UNGGULAN PROGRAM STUDI UDAYANA
LARANGAN PENJUALAN
PAKAIAN BEKAS IMPOR DI INDONESIA
Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun
Ketua/Anggota Tim
I MADE DEDY PRIYANTO, SH.,MKn; NIDN: 0011048401 (KETUA) PUTU EDGAR TANAYA, SH.,MH (ANGGOTA)
Dibiayai oleh
DIPA PNBP Universitas Udayana TA-2017
Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Penelitian
Nomor: 2127/UN14.2.4/PP/2017, tanggal 5 Juli 2017
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
NOVEMBER 2017
RINGKASAN PENELITIAN
LARANGAN PENJUALAN
PAKAIAN BEKAS IMPOR DI INDONESIA
Target dari penelitian ini adalah untuk menemukan kepastian hukum terkait
larangan penjualan pakaian bekas impor di Indonesia, permasalahan yang diangkat
diantaranya:
1. Apakah terjadi konflik norma hukum dan analisis hukum apakah yang tepat untuk
memecahkan konflik norma hukum apabila terjadi antara Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian
Bekas dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011
Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk
Atas Barang Impor?
2. Apakah terjadi kekaburan norma hukum dan analisis hukum apakah yang tepat
untuk memecahkan kekaburan norma apabila terjadi dalam Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian
Bekas?
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan jenis
pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan frasa. Sumber bahan hukum yang
digunakan diantaranya bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan terkait
larangan penjualan pakaian bekas impor di Indonesia), bahan hukum sekunder (buku-
buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis di bidang hukum yang dimuat di media
cetak maupun online), serta bahan hukum tersier yang bersifat penunjang (kamus, dan
ensiklopedia). Teknik analisis bahan hukum interpretasi digunakan dalam penelitian
ini khususnya dalam melakukan penafsiran gramatikal (arti kata/ bahasa), penafsiran
kontektual (konteks/ pemaknaan kalimat), asas-asas hukum, teori-teori hukum, serta
penafsiran peraturan perundang-undangan.
Terjadi konflik norma karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen masih memperbolehkan perdagangan pakaian bekas impor
dengan syarat pengusaha wajib memberikan informasi sejelas-jelasnya terkait
keadaan pakaian bekas, searah dengan hal ini penetapan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang
Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor mengatur tarif bagi impor
pakaian bekas, sedangkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-
DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas secara tegas melarang
perdagangan pakaian bekas impor. Aturan ini merupakan turunan dari Undang-
Undang Perdagangan sehingga berlaku asas preferensi yaitu: lex specialis derogat
legi generali sehingga Peraturan dari Menteri Perdagangan dapat mengesampingkan
peraturan mengenai perlindungn konsumen dan peraturan Menteri Keuangan. Terjadi
kekaburan norma hukum karena tidak ditemukan penjelasan yang jelas terkait
pakaian bekas impor sehingga analisis hukum yang tepat untuk memecahkan
kekaburan norma ini adalah dengan melakukan pendekatan peraturan perundang-
undangan untuk penafsirannya.
PRAKATA
Puji syukur yang tak terkira penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, karena berkatnyalah akhirnya penelitian yang berjudul Larangan Penjualan
Pakaian Bekas Impor Di Indonesia ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konflik norma hukum antara
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan
Impor Pakaian Bekas dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan
Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor serta untuk menganalisis
kekaburan norma hukum yang terjadi dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas
Akhir kata dalam penelitian ini tentu ada kekurangan atau kesalahan, karena
itu diharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaannya dan semoga
penelitian ini dapat bermanfaat khususnya bagi mahasiswa Fakultas Hukum
Univesitas Udayana.
Denpasar, 20 Oktober 2017
Penulis
I Made Dedy Priyanto SH.M.Kn
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN PENGESAHAN
RINGKASAN PENELITIAN
PRAKATA
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 8
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ……………………………… .............. 16
BAB IV METODE PENELITIAN ............................................................................................ 18
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................. 22
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………… .............. 34
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perdagangan pakaian bekas impor berkembang karena permintaan pasar dan
kebutuhan konsumen, konsumen lebih tertarik dengan pakaian bekas yang berasal
dari negara-negara yang memiliki merek terkenal (seperti Francis, Italia, Amerika,
yang banyak memiliki merek terkenal tersebar di kota-kota mode dunia) dari pada
membeli pakaian baru lokal serta impor yang kualitas serta mereknya tidak terkenal
seperti Cina dan Thailand (hal ini didasarkan pada pra penelitian di sekitar Kota
Denpasar). Namun sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014
Tentang Perdagangan yaitu pada pasal 47 ayat (1) ditentukan bahwa setiap Importir
wajib mengimpor barang dalam keadaan baru. Serta ditetapkannya Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian
Bekas yang dengan tegas menetapkan dan mewajibkan untuk memusnahkan pakaian
bekas impor yang dipasarkan di seluruh Indonesia setelah ditetapkannya peraturan ini
(tanggal 9 Juli 2015).
Alasan-alasan dilarangnya impor pakaian/baju bekas di seluruh Indonesia
karena dilatarbelakangi oleh ditemukannya bakteri dan jamur yang dapat
menyebabkan penyakit kulit, kelamin, gangguan pencernaan dan berbagai penyakit
menular lainnya oleh Kementerian Perdagangan bekerjasama dengan Direktorat
Jenderal Standarisasi Dan Perlindungan Konsumen maupun oleh Bea Cukai di
beberapa kota di Indonesia dengan mengambil sampel yang diduga pakain bekas
2
impor. Selain itu, kualitas pakain bekas impor yang tidak layak pakai banyak
ditemukan pada saat pengujian terhadap dua puluh lima sampel yang salah satunya
dari Pasar Senen, Jakarta, sampel yang diuji diantaranya pakaian wanita dewasa,
pakaian anak, dan juga pakaian pria dewasa. Alasan lainnya pakain bekas impor
dilarang dipasarkan di Indonesia karena dinilai dapat melemahkan pasaran produk
pakaian lokal.1
Penetapan pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang
Perdagangan serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015
Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas ternyata tidak harmonis dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menetapkan
pada pasal 8 ayat (2) bahwa “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang
rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar atas barang dimaksud”. Apabila diperhatikan ketentuan pasal tersebut dan
menganalisisnya dengan argumentum a contrario maka akan mengakibatkan
diperbolehkannya pelaku usaha untuk memperdagangkan barang bekas (termasuk
pakaian bekas impor) dengan syarat memberikan informasi yang sejelas-jelasnya dan
sebenar-benarnya kepada konsumen terkait keadaan dan kualitas barang bekas
(pakaian bekas) tersebut. Oleh karena ketentuan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ini belum dihapuskan, maka
1 Vicki Febrianto, 2015, “Pakaian impor bekas terbukti mengandung bakteri”,
http://www.antaranews.com/berita/478146/pakaian-impor-bekas-terbukti-mengandung-bakteri, diakses
tanggal 7-5-2016 Pukul 7:51 WITA.
3
tetap dapat dijadikan dasar hukum bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan
pakaian bekas impor di seluruh Indonesia.
Penetapan pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang
Perdagangan secara lengkap menetapkan sebagai berikut :
(1) Setiap Importir wajib mengimpor Barang dalam keadaan baru.
(2) Dalam hal tertentu Menteri dapat menetapkan Barang yang diimpor dalam
keadaan tidak baru.
(3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
keuangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Barang yang diimpor dalam
keadaan tidak baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Sehingga dapat dirangkum bahwa pelarangan impor barang dalam keadaan bekas
dapat dibatalkan/dikecualikan apabila dalam keadaan tertentu, serta dalam keadaan
tertentu tersebut ditetapkan klasifikasi barang bekas yang dimaksud dengan Peraturan
Menteri Perdagangan, kemudian disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk
ditetapkan Peraturan Mentri Keuangan terkait impor barang bekas. Sehingga dapat
dikatakan bahwa Peraturan Menteri Keuangan terkait impor barang bekas tidak
mungkin lahir tanpa persetujuan Menteri Perdagangan. Namun, terjadi
ketidaksesuaian norma hukum antara Peraturan Menteri Perdagangan dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
Ketidaksesuaian peraturan tersebut dapat dilihat dari ketentuan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem
4
Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor yang
masih menetapkan pada Nomor 5255, Pos III Tentang Pakaian Bekas dan Barang
Tekstil Bekas dinaikkan bea masuknya menjadi 35 persen. Peraturan ini ditetapkan
tanggal 9 Juli 2015, sehingga pada saat yang sama terdapat penetapan yang masih
memperbolehkan impor pakaian bekas, namun disisi lain lahir pula peraturan yang
melarang impor pakaian bekas.
Ketidaksesuaian ini mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam
perkembangannya, hal ini terlihat dari beberapa kasus yang diputuskan oleh hakim
Pengadilan Negeri, salah satunya yaitu kasus yang terjadi di Kota Surabaya dimana
hakim memenangkan importir dan memerintahkan kepada petugas Bea Cukai untuk
mengembalikan semua pakaian bekas impor yang telah disita dengan menyatakan
bahwa penyitaan yang dilakukan Bea Cukai batal demi hukum.2 Kasus lainnya terkait
dengan impor pakaian bekas terjadi di Sulawesi Tenggara dimana hakim juga
memenangkan pelaku usaha dengan pertimbangan bahwa yang dilarang adalah impor
(kegiatan perdagangan dari luar negeri ke dalam negeri), sedangkan perdagangan
pakaian bekas impor di dalam negeri belum dilarang/belum ada dasar hukum yang
kuat untuk menyita/menangkap pakaian bekas dari Sulawesi Tenggara ke Jawa Timur
tersebut.3 Namun apabila mengacu pada asas preferensi yaitu lex spesialis derogat
2 Intelijen Post, 2015, “Juragan Pakaian Bekas Pra Peradilan Bea Cukai Kalah Di Pengadilan
Negeri Surabaya”, http://intelijenpost.com/berita-700-juragan-pakaian-bekas--pra-peradilan-bea-cukai-
kalah-di-pengadilan-negeri-surabaya.html, diakses tanggal 7-5-2016 Pukul 10:42 WITA.
3 Estu Suryowati, 2015, “Pemerintah Siapkan Perpres Pelarangan Impor Pakaian Bekas”,
http://www.kemendag.go.id/id/news/2015/07/14/pemerintah-siapkan-perpres-pelarangan-impor-
pakaian-bekas, diakses tanggal 7-5-2016 Pukul 10:54 WITA.
5
legi generali maka peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Perdaganganlah yang
seharusnya dimenangkan karena bersifat khusus dibandingkan peraturan yang
dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen. Namun, masih diperlukan pengkajian mendalam
terkait hal ini karena Peraturan Menteri berada di bawah Undang-Undang
berdasarkan pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan sehingga berlaku asas preferensi lex superior derogat
legi inferiori. Namun disisi lain, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-
DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas merupakan salah satu
instrument perlindungan hukum. Hal ini menjadi menarik dan urgen untuk diteliti
sehingga dapat ditemukan kepastian hukum terkait impor pakaian bekas di Indonesia.
Pentingnya dilakukan penelitian ini juga tdak terlepas dari pemaknaan impor
pakaian bekas itu sendiri yang apabila diihat ketentuan pasal 1 ayat (1) Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor
Pakaian Bekas, maka pengertian impor adalah “kegiatan memasukkan barang ke
dalam daerah pabean”, kemudian pasal 2 Peraturan Menteri ini menetapkan bahwa
“Pakaian Bekas dilarang untuk diimpor ke dalam wilayah Negara kesatuan Republik
Indonesia” maka dapat dikomentari bahwa yang dimaksud dilarang adalah kegiatan
memasukkan barang dari luar negeri ke wilayah Indonesia, sedangkan apabila
pakaian bekas tersebut telah terlanjur berada di Indonesia maka tetap diperbolehkan
untuk diperdagangkan (hal ini sesuai dengan putusan hakim pada uraian sebelumnya).
Namun ketentuan selanjutnya yaitu pasal 3 Peraturan Menteri ini menetapkan bahwa
6
“Pakaian Bekas yang tiba di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada atau
setelah tanggal Peraturan Menteri ini berlaku wajib dimusnahkan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan”, maka yang dimusnahkan disini adalah pakaian
bekas sebagai objek peraturan, sehingga walaupun pakaian bekas tersebut terlanjur
ada di Indonesia tetap dapat dimusnahkan/ dilarang keberadaannya. Menjadi urgen
dan penting untuk dilakukan penelitian karena terjadi multi tafsir terhadap ketentuan
pelarangan penjualan pakaian bekas impor ini, tafsiran pertama menekankan pada
kegiatannya yang dilarang, namun penafsiran kedua lebih fokus kepada obyek
(pakaian bekas) yang dilarang, sehingga dapat dikatakan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian
Bekas dalam hal ini belum dapat mencerminkan kepastian hukum.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini diantaranya :
1. Apakah terjadi konflik norma hukum dan analisis hukum apakah yang tepat untuk
memecahkan konflik norma hukum apabila terjadi antara Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian
Bekas dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011
Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk
Atas Barang Impor?
7
2. Apakah terjadi kekaburan norma hukum dan analisis hukum apakah yang tepat
untuk memecahkan kekaburan norma apabila terjadi dalam Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian
Bekas?
1.3. Luaran Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya akan dipublikasikan di dalam Seminar Nasional
Sains dan Teknologi (SENASTEK) Universitas Udayana, sehingga dapat diketahui
oleh khalayak luas karena dipublikasikan secara cetak maupun online.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. PAKAIAN BEKAS IMPOR
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan
memberikan pengertian Barang “adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak
berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak
dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan
oleh konsumen atau Pelaku Usaha.” Namun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 1 angka 4 menetapkan pengertian
Barang “adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat
untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.”
Terjadi penyempitan cakupan pengaturan dimana Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen tidak mengatur cakupan pengertian barang
yang dapat dipergunakan juga oleh pelaku usaha. Hal ini untuk memisahkan ruang
lingkup konsumen dengan pelaku usaha yang jelas diatur dalam Pasal 1 angka 2
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Sehingga apabila barang (termasuk
pakaian bekas impor) dipergunakan, dan tidak untuk diperdagangkan lagi, maka yang
mempergunakan ini disebut konsumen.
9
Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang
Perdagangan memberikan pengertian resmi Impor “adalah kegiatan memasukkan
Barang ke dalam Daerah Pabean.” Daerah Pabean dijelaskan dalam pasal 1 angka 15
Undang-Undang ini yaitu “wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
meliputi wilayah darat, perairan, ruang udara di atasnya, serta tempat tertentu di Zona
Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang
Kepabeanan.” Selanjutnya Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014
Tentang Perdagangan memberikan pengertian resmi Importir adalah “orang
perseorangan atau lembaga atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum, yang melakukan Impor”. Di berbagai peraturan
perundang-undangan setelah ditelusuri tidak ditemukan perbedaan pengertian terkait
impor maupun importir, sehingga tidak diperlukan uraian atau komentar terkait
pengertian impor maupun importir.
Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-
DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas, pakaian bekas “adalah
produk tekstil yang digunakan sebagai penutup tubuh manusia, yang termasuk dalam
Pos Tarif/HS 6309.00.00.00.” Terkait dengan Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. tidak
ditemuan penjelasannya dalam peraturan ini, selanjutnya dilakukan pendekatan
peraturan perundang-undangan yaitu dengan menelusuri makna Pos Tarif/HS
6309.00.00.00. pada peraturan perundang-undangan lain, sehingga ditemukan
penjelasan pada Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan
10
Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan
Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Ketentuan Lampiran Nomor 5255 Pos Tarif
6309.00.00.00. yaitu “Pakaian bekas dan barang bekas lainnya”, disini terdapat
ketidakjelasan pengaturan, karena dapat ditafsirkan lain (lebih dari satu penafsiran)
terhadap Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. yang muncul dalam pengertian pakaian bekas.
Penafsiran pertama, bahwa pakaian bekas adalah produk tekstil penutup tubuh
manusia (pengertian secara luas/umum) yang termasuk dalam Pos Tarif …. (dapat
diartikan penekanan yang memberikan makna menyempit termasuk juga ….)
sehingga seluruh produk tekstil penutup tubuh manusia (termasuk Pos Tarif/HS
6309.00.00.00.) adalah pakaian bekas. Namun, terdapat penafsiran kedua yaitu
Pakaian bekas “adalah produk tekstil yang digunakan sebagai penutup tubuh
manusia, yang termasuk dalam Pos Tarif/HS 6309.00.00.00.” yang berarti bahwa
hanya yang termasuk dalam Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. yang dikategorikan sebagai
pakaian bekas, sedangkan kategori lainnya bukanlah pakaian bekas. Hal inilah yang
kemudian dapat diteliti lebih mendalam sehingga pemaknaan pakaian bekas menjadi
jelas.
Penelusuran dalam kamus umum bahasa Indonesia ditemukan pengertian
bekas adalah “tanda-tanda yang ketinggalan (sesudah dipegang, diinjak, dilalui,
dsb)….”, “pakaian yang telah dipakai ….”, “barang-barang bekas adalah barang-
barang lama (sudah dipakai)….”, “sesuatu yang ketinggalan sebagai sisa (…. rusak,
11
terbakar, tidak terpakai lagi, dsb)….”.4 Apabila dipadu-padankan dengan makna
pakaian yang merupakan produk tekstil penutup tubuh manusia, dapat dikatakan
bahwa ruang lingkup pakaian bekas diantaranya:
1. Produk tekstil yang sudah pernah digunakan sebelumnya sebagai penutup tubuh
manusia;
2. Produk tekstil yang ketinggalan masanya sehingga menjadi produk sisa karena
tidak laku dipasarkan; dan
3. Produk tekstil yang dinilai telah rusak atau tidak (layak) dipakai lagi oleh
pemiliknya terdahulu.
Kebalikan dari bekas adalah baru, seperti yang diatur dalam pasal 47 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan yaitu mewajibkan
setiap importir untuk mengimpor barang (termasuk pakaian bekas) dalam keadaan
baru, sehingga pengertian baru adalah tidak bekas, dalam artian tidak pernah
digunakan sebelumnya, tidak kadaluarsa, tidak mengalami lampau waktu (sisa), tidak
mengalami kerusakan/tidak layak pakai.
2.2. KONFLIK NORMA HUKUM
Penelusuran dalam kamus umum bahasa Indonesia ditemukan pengertian
konflik adalah “pertentangan, percekcokan” sedangkan pertentangan berarti
“berlawanan, perselisihan yang sangat (ketidak cocokan)”.5 Unsur-unsur konflik
4 W.J.S. Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h.
118. 5 Ibid, h. 610, dan h. 1251.
12
norma seperti yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon dan Titiek Sri Djatmiati
diantaranya:
1. Terjadi pertentangan antara dua atau lebih peraturan perundang-undangan;
2. Peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut masih berlaku atau sama-sama
diterapkan terhadap suatu kasus.6
Sehingga dapat pula dikatakan bahwa peraturan yang satu membolehkan terhadap
perbuatan/objek sedangkan yang lain melarang.
Asas preferensi yang dikemukakan oleh I Dewa Gede Atmadja merupakan
solusi yang dapat diterapkan terhadap konflik norma, diantaranya :
a. Asas lex posteriori derogat legi priori, yaitu aturan hukum yang baru (ditetapkan
kemudian) dapat mengesampingkan aturan hukum yang lama (ditetapkan
sebelumnya).
b. Asas lex spesialis derogat legi generali, yaitu aturan hukum yang bersifat khusus
dapat mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum.
c. Asas lex superior derogat legi inferiori, yaitu aturan hukum yang lebih tinggi
tingkatannya dapat mengesampingkan aturan hukum yang lebih rendah.7
Hirarki yang dimaksud yaitu hirarki peraturan perundang-undangan yang diatur
dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan yang menetapkan bahwa :
6 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta. h.31. 7 I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran Hukum dan Arguentasi Hukum (Legal
Reasoning and Legal Argumentation an Introduction), Bali Aga, Denpasar. h.33.
13
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
2.3. KEKABURAN NORMA HUKUM
Kekaburan, seperti yang ditemukan dalam penelusuran kamus umum bahasa
Indonesia diartikan “keadaan kabur”, sedangkan kabur berarti “kurang tegas (jelas)”.8
Unsur-usur kekaburan orma hukum dapat ditarik sebagai berikut :
1. Norma hukum yang tidak jelas dalam pengaturannya; sehingga
2. Menimbulkan multi tafsir.
Kekaburan norma dapat diselesaikan melalui metode penafsiran hukum yaitu :
penafsiran sistematis, penafsiran tata bahasa, penafsiran teleologi, penafsiran sejarah
hukum, dst.9 Yang pada intinya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Interpretasi gramatika/penafsiran tata bahasa, yaitu menafsirkan kata-kata yang
tertuang dalam peraturan perundang-undangan dengan pemaknaan tata bahasa;
2. Interpretasi sistematis, yaitu penafsiran yang menggunakan aturan/ ketentuan lain
untuk memaknai peraturan/ ketentuan yang dikaji.
3. Interpretasi sejarah hukum, yaitu penafsiran yang menggunakan sejarah lahirnya
peraturan perudang-undangan untuk menemukan makna dari suatu aturan.
8 W.J.S. Poerwadarminta, Op.Cit, h. 502.
9 I Dewa Gede Atmadja, Op.Cit, h.35.
14
4. Interpretasi teologis, yaitu penafsiran yang menggunakan tujuan hukum sesuai
dengan perkembangan sosiologis masyarakat saat terbentuknya peraturan untuk
memaknai aturan yang dikaji.
5. Interpretasi antisipatif, yaitu penafsiran yang menggunakan nilai-nilai yang masih
merupakan gagasan dalam rancangan peraturan perundang-undangan.
6. Interpretasi evolutif-dinamis, yaitu penafsiran yang mendobrak ketentuan
peraturan perundang-undangan dengan menggunakan perubahan pandangan
masyarakat, sosial, nilai-nilai susila, serta perubahan kepentingan dan teknologi
yang berkembang di masyarakat, sehingga peraturan perundang-undangan disini
dinilai telah tidak sesuai dan patut diperbaharui.
7. Interpretasi ekstensif, yaitu menafsirkan secara luas makna yang tersurat dalam
peraturan perundang-perundangan.
8. Interpretasi restriktif, yaitu menafsirkan secara sempit makna yang tersurat dalam
peraturan perundang-undangan.
9. Interpretasi otentik, yaitu menafsirkan peraturan sesuai dengan apa yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan. 10
Agar terhindar dari kesesatan berlogika digunakan silogisme, yaitu “argumen
yang kesimpulannya secara pasti diambil dari premis-premis yang menyatakan
permasalahan yang berlainan”.11
10
I Dewa Gede Atmadja, Op.Cit, h. 42-46. 11
Mundiri, 1996, Logika, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 85.
15
Diantara pembagian berbagai macam silogisme, yang digunakan dalam
penelitia ini adalah silogisme kategorik, yaitu silogisme yang premis mayornya
bersifat universal (umum), sedangkan premis minornya bersifat lebih
mengkhusus/spesifik.12
Misalya : premis mayornya adalah ‘semua barang yang
diimpor harus dalam keadaan baru’, sedangkan premis minornya adalah ‘pakaian
bekas termasuk salah satu objek barang yag diimpor’, maka kesimpulanya adalah
‘dilarang mengimpor pakaian bekas karena keadaannya yang tidak baru’. Selain itu,
penelitian ini juga menggunakan bahan hukum tersier khususnya ilmu bahasa dalam
menguji teks, konteks, serta kontekstual kalimat dalam peraturan perundang-
undangan yang dikaji.
Sesuai dengan tujuannya, penelitian ini bertujuan untuk menemukan kepastian
hukum terkait dengan larangan penjualan pakaian bekas impor di Indonesia.
Berdasarkan penelitian kepustakaan yang telah dilakukan ditemukan bahwa :
Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang
boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum
yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum
bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya
konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan
putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.13
12
Ibid, h. 86. 13
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group,
Jakarta, h. 158.
16
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dapat dipersamakan dengan sasaran yang ingin dituju oleh
peneliti, sehingga tujuan dari penelitian ini diantaranya:
1. Dapat mengetahui dan memahami permasalahan konflik dan kekaburan norma
hukum, khususnya terkait dengan larangan penjualan pakaian bekas impor di
Indonesia.
2. Dapat menemukan kepastian hukum terkait dengan larangan penjualan pakaian
bekas impor di Indonesia.
3. Dapat melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dibidang
penelitian.
3.2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat bagi peneliti, masyarakat, hakim, maupun
pemerintah, yaitu:
1. Mengembangkan pemikiran-pemikiran dibidang hukum, khususnya terkait
dengan pengaturan larangan penjualan pakaian bekas impor di Indonesia.
2. Sebagai dasar/pedoman untuk memecahkan permasalahan terkait dengan
penjualan pakaian bekas impor di Indonesia.
17
3. Sebagai dasar/pedoman dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan agar
konflik dan multi tafsir norma hukum tidak terjadi lagi.
18
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
“Ciri khas ilmu hukum adalah sifatnya yang normatif”.14
Penelitian ini
menggunakan jenis peneitian hukum normatif karena terdapat konflik norma hukum
antara Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang
Larangan Impor Pakaian Bekas dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan
Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor. Alasan lain dipilihnya penelitian
hukum normatif yaitu adanya kekaburan norma hukum/ multi tafsir dalam Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor
Pakaian Bekas. Sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan penelitian
dibidang norma hukum/ normatif.
4.2. Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan yang dilakukan dalap penelitian ini yaitu : jenis pendekatan
perundang-undangan, dan pendekatan frasa. Pendekatan perundang-undangan, yaitu
dilakukan analisis terhadap norma hukum terkait penjualan pakaian bekas impor di
Indonesia dengan menelusuri sebanyak-banyaknya bahan hukum primer (aturan-
14
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Op.Cit, h.1.
19
aturan dan penjelasannya) terkait dengan objek penelitian yang dapat menjelaskan
secara pasti makna dari aturan yang dikaji, sehingga dapat memberikan kepastian
hukumnya. Sedangkan pada pendekatan frasa dilakukan dengan bantuan bahan
hukum sekunder (doktrin para sarjana hukum), serta bahan hukum tersier (diluar
bidang ilmu hukum) khususnya bidang ilmu bahasa untuk memberikan kejelasan
terkait dengan pemaknaan kata, serta kalimat (subjek-predikat-objek) yang tertuang
dalam aturan-aturan yang dikaji, sehingga dapat memberikan kejelasan makna dan
maksud dari aturan tersebut.
4.3. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalampenelitian ini diantaranya :
bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan terkait larangan penjualan
pakaian bekas impor di Indonesia), bahan hukum sekunder (buku-buku hukum,
jurnal-jurnal hukum, karya tulis di bidang hukum yang dimuat di media cetak
maupun online), serta bahan hukum tersier yang bersifat penunjang (kamus, dan
ensiklopedia).
4.4. Data Penunjang
Demi kesempurnaan temuan dan rekomendasi penelitian ini, maka digunakan
data penunjang yaitu : hasil wancara dengan para pakar Hukum Perdata, Hukum
Dagang, Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata Negara, Hukum Internasional
dilingkungan Fakultas Hukum Udayana sebagai informan yang dilengkapi dengan
surat persetujuan sebagai informan (sebagaimana ditentukan dalam Buku Pedoman
Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013, halaman 76).
20
4.5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini menggunakan sistem
pencatatan, dan sistem download data. Pada sistem pencatatan dilakukan dengan
mencatat secara manual pada kertas (seperti sistem kartu, namun menggunakan
kertas, bukan kartu) dan/atau langsung pada file komputer yang disediakan untuk
pengumpulan bahan hukum yang berasal dari penelusuran kepustakaan bahan hukum
primer, sekunder, tersier, serta data penunjang. Sedangkan pada sistem download
data dilakukan pengambilan bahan-bahan hukum dengan download bahan-bahan
hukum yang ditelusuri dari media online. Kedua sistem ini kemudian disatukan dalam
satu file data pada komputer yang kemudian dipilah-pilah, dan diklasifikasikan
berdasarkan pokok-pokok bahasan, sehingga memudahkan peneliti untuk
menggunakan bahan hukum tersebut dalam menganalisis objek penelitian.
4.6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang terkumpul setelah dipilah-pilah dan diklasifikasikan,
maka dilakukan teknik analisis bahan-bahan hukum tersebut dengan menggunakan
teknik analisis deskriptif, yaitu menggambarkan hasil-hasil temuan yang ditelusuri
dengan apa adanya ke dalam pembahasan. Teknik ini dilakukan untuk menghindari
kesesatan dalam berlogika oleh peneliti, sehingga kutipan-kutipan langsung (tidak
dipenggal-penggal) akan diuraikan sama persis dengan sumbernya (dengan
menyebutkan sumbernya penelitipun terhindar dari plagiarisme).
Teknik analisis bahan hukum interpretasi juga digunakan dalam penelitian ini
khususnya dalam melakukan penafsiran gramatikal (arti kata/ bahasa), penafsiran
21
kontektual (konteks/ pemaknaan kalimat), asas-asas hukum, teori-teori hukum, serta
penafsiran peraturan perundang-undangan.
22
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Konflik Norma Hukum Antara Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas Dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan
Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor
Berbicara mengenai kebijakan publik, maka akan banyak menemukan istilah
sebagai padanan kata, misalnya policy, wisdom, virtues, kemudian sering juga
diidentikan dengan istilah program, keputusan, ketentuan-ketentuan dan lainnya.
Banyaknya padanan kata mengenai kebijakan ini kemudian akan terlihat berbeda
makna apabila kemudian diselusuri definisi ataupun pengertian dari masing-masing
istilah tersebut. Pada dasarnya terdapat banyak batasan mengenai apa yang dimaksud
dengan kebijakan publik. Setiap definisi memberi penekanan yang berbeda-beda
sehingga tampak ada batasan perbedaan pengertian dari kebijakan tersebut.
23
Edi Suharto menyatakan bahwa kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak
yang dipilih untuk mengarahkan pengambil keputusan15
. Jadi kebijakan merupakan
pedoman untuk bertindak menyangkut pelaksanaan suatu program, aktivitas-aktivitas
tertentu atau suatu perencanaan untuk masa yang akan datang.
Berkenaan dengan definifi kebijakan, Budi Winarno menyatakan bahwa
dalam mendefinisikan kebijakan haruslah melihat apa yang sebenarnya dilakukan dari
pada apa yang diusulkan16
. Sehingga kebijakan juga diartikan suatu proses yang
mencakup pula tahap implementasi dan evaluasi. Kebijakan sebagai langkah tindakan
yang sengaja dilakukan seseorang berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan
tertentu.
Berdasarkan beberapa pengertian kebijakan maka kebijakan diartikan sebagai
upaya-upaya yang dilakukan oleh penguasa dalam menghadapi masalah-masalah
masyarakat, dengan kata lain bahwa kebijakan publik merupakan keputusan-
keputusan penguasa guna memecahkan masalah-masalah publik. Kebijakan pulik
diartikan juga merupakan jawaban atas suatu masalah yang dihadapi pejabat-pejabat
public. menentukan langkah-langkah yang dapat dianbil untuk mengatasi persoalan
atau masalahyang dihadapi. Studi kebijakan publik merupakan suatu studi yang
bermaksud untuk menggambarkan, menganalisa dan menjelaskan berbagai sebab dan
akibat dari tindakan penguasa.
15
Edi Suharto, 2005, Analisis kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung, h.7 16
Budi Winarno,2005, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Press, Yogyakarta, h.5
24
Berkait dengan konteks pemerintahan maka persoalan kebijakan public
menjadi sangat urgen untuk diketahui. Kebijakan public dipelajari dengan maksud
untuk memperoleh pengetahuan yang luas dan mendalam tentang asal atau sebab,
proses perkembangan, serta konsekwensi-konsekwensi kebijakan publik bagi
masyarakat17
. Dalam konteks ini dapat diketahui pengaruh kekuasaaan atau
kelompok-kelompok penekan terhadap kebijakan public yang dikeluarkan oleh
penguasa serta dampak yang ditimbulkanya bagi masyarakat.
Urgensi lainnya bahwa studi kebijakan publik adalah untuk menghimpun
pengetahuan ilmiah guna memecahkan masalah-masalah sosial sehari-hari dalam
masyarakat dan menerapkan pengetahuan ilmiah tersebut kepada penyelesaian
masalah-masalah social praktis18
. Penting untuk mengetahui fakta-fakta guna
membantu membentuk kebijakan publik dan dengan pengetahuan ilmiahnya
diketahui konsekwensi-konsekwensi dari kebijakan yang mungkin timbul. Jadi
pengetahuan yang didasarkan pada fakta adalah sangat urgen untuk menentukan dan
menghadapi masalah-masalah masyarakat.
Bagi pemerintah, pengetahuan tentang kebijakan publik pada dasarnya
menjadi urgen agar pemerintah dapat menempuh kebijakan yang tepat guna untuk
mencapai tujuan yang tepat pula19
. Jadi disini kebijakan publik diarahkan untuk
memastikan apakah pemerintah telah mengambil kebijakan yang pantas dan wajar
17
Solichin Abdul Wahab, 2004, Analisis Kebijakan Dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara Jakarta, h. 12 18
Budi Winarno, op.cit. h. 23 19
Solichin Abdul Wahab, op.cit. h. 13
25
untuk mencapai tujuan – tujuan yang tepat dalam mengatasi persoalan di masyarakat.
Kebijakan publik merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan, dan bukan
tindakan yang bersifat insidental. Kebijakan publik merupakan tindakan yang
direncanakan, terdiri dari tindakan-tindakan yang saling terkait dan berpola yang
mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan aparatur pemerintah. Kebijakan publik
tidak hanya putusan yang bersifat mengatur akan tetapi termasuk putusan tentang
implementasi dan cara-cara pemberlakuan dari kebijakan publik.
Ada beberapa jenis kebijakan publik dalam khasanah pengetahuan, Rian
Nugroho membagi jenis kebijakan publik menjadi 3 (tiga) kategori20
. Kategori
pertama didasarkan pada makna yaitu bahwa kebijakan publik adalah hal-hal yang
diputuskan untuk dikerjakan dan hal-hal yang diputuskan untuk tidak dikerjakan.
Kategori kedua, pembagian jenis kebijakan publik didasarkan pada lembaga
pembuatnya, yaitu kebijakan publik yang dibuat oleh lembaga legislatif,
kedudukannya dianggap tertinggi. Kemudian kebijakan publik yang dibuat dalam
bentuk kerjasama antara legislatif dan eksekutif. Kerjasama ini dibangun
mencerminkan kompleksitas permasalahan yang tidak memungkinkan legislatif
bekerja sendiri. Produk kebijakan publik hasil kerjasama ini adalah undang-undang di
tingkat nasional dan peraturan daerah di tingkat daerah. Kategori ketiga dari
pembagian jenis kebijakan yaitu kebijakan publik yang dibuat oleh lembaga
20
Riant Nugroho,2004, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Gramedia,
Jakarta, h. 54-57
26
eksekutif. Kebijakan publik ini merupakan kebijakan publik pelaksanaan yang
berfungsi sebagai kebijakan publik turunan dari kebijakan publik diatasnya.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan yaitu pada pasal
47 ayat (1) ditentukan bahwa setiap Importir wajib mengimpor barang dalam keadaan
baru. Serta ditetapkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-
DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas yang dengan tegas
menetapkan dan mewajibkan untuk memusnahkan pakaian bekas impor yang
dipasarkan di seluruh Indonesia setelah ditetapkannya peraturan ini.
Penetapan pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang
Perdagangan serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015
Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas ternyata tidak harmonis dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menetapkan
pada pasal 8 ayat (2) bahwa “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang
rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar atas barang dimaksud”. Apabila diperhatikan ketentuan pasal tersebut dan
menganalisisnya dengan argumentum a contrario maka akan mengakibatkan
diperbolehkannya pelaku usaha untuk memperdagangkan barang bekas (termasuk
pakaian bekas impor) dengan syarat memberikan informasi yang sejelas-jelasnya dan
sebenar-benarnya kepada konsumen terkait keadaan dan kualitas barang bekas
(pakaian bekas) tersebut. Oleh karena ketentuan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ini belum dihapuskan, maka
27
tetap dapat dijadikan dasar hukum bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan
pakaian bekas impor di seluruh Indonesia.
Ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011
Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk
Atas Barang Impor yang masih menetapkan pada Nomor 5255, Pos III Tentang
Pakaian Bekas dan Barang Tekstil Bekas dinaikkan bea masuknya menjadi 35 persen.
Peraturan ini ditetapkan tanggal 9 Juli 2015, sehingga pada saat yang sama terdapat
penetapan yang masih memperbolehkan impor pakaian bekas, namun disisi lain lahir
pula peraturan yang melarang impor pakaian bekas yaitu Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian
Bekas.
Peraturan Menteri berada di bawah Undang-Undang berdasarkan pasal 7
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan sehingga berlaku asas preferensi lex superior derogat legi inferiori.
Namun lahirnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015
Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas merupakan turunan dari pasal 47 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan sehingga berlaku Asas
lex spesialis derogat legi generali, yaitu aturan hukum yang bersifat khusus dapat
mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum. Dengan demikian Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan dan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian
28
Bekas dapat mengesampingkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen yaitu pasal 8 ayat (2).
5.2 Kekaburan Norma Hukum Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas
Menurut Lon L. Fuller dalam bukunya “The Morality of Law”, sistem hukum
yang baik tidak akan pernah terwujud jika terdapat delapan sebab sebagai berikut: 21
1. Kegagalan untuk merumuskan suatu aturan, sehingga setiap masalah harus
diputuskan secara ad-hoc.
2. Kegagalan untuk mempublikasikan, atau setidaknya membuat pihak-pihak yang
terkena mengetahui, aturan-aturan yang diharapkan dipatuhi.
3. Pemberlakuan aturan yang bersifat retroaktif, sehingga bukan saja dengan
sendirinya gagal mengarahkan suatu perbuatan, tetapi juga mengakibatkan
turunnya integritas aturan-aturan yang bersifat prospektif karena ia selalu terancam
oleh perubahan aturan yang bersifat retrospektif.
4. Kegagalan untuk membuat aturan yang dapat dimengerti.
5. Pengundangan aturan-aturan yang saling bertentangan.
6. Adanya aturan-aturan yang mempersyaratkan hal-hal yang tak mungkin dipenuhi
karena berada diluar kendali atau kemampuan pihak yang terkena aturan itu.
7. Terlalu sering dilakukan perubahan aturan sehingga subyek aturan itu tidak dapat
menentukan benar salah perbuatannya.
21
Lon F. Fuller, 1969, The Morality of Law, Yale University Press, London, h. 39.
29
8. Kegagalan untuk menyesuaikan antara aturan yang telah diumumkan dan
pelaksanaan yang sebenarnya dari aturan itu.
Sehingga Lon Fuller menyebutkan ada 8 syarat suatu hukum disebut baik,
diantaranya: 22
1. Undang-undang dan peraturan hukum lain harus bersifat umum, tidak boleh
berlaku khusus atau individu tertentu. Suatu sistem hukum harus mengandung
peraturan-peraturan sehingga tidak boleh mengandung sekedar keputusan-
keputusan yang bersifat ad-hoc.
2. Setiap peraturan hukum harus dipublikasikan. Jika hukum/peraturan berbelit-belit
dan sering berubah, sulit untuk mengetahui hukum yang berlaku.
3. Undang-undang dan peraturan tidak boleh berlaku surut. Misalnya, perusahaan
tidak boleh dihukum karena mencemari lingkungan karena undang-
undang perlindungan lingkungan belum ada.
4. Undang-undang harus bisa dimengerti, bahasanya mudah dimengerti dan tidak
berbelit-belit.
5. Sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan yang kontradiktif.
6. Hukum harus terjangkau kesanggupan warga negara untuk memenuhinya.
Undang-undang yang memerintahkan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan tentu
tidak baik sebagai hukum bahkan tidak adil.
7. Undang-undang harus memiliki stabilitas tertentu sepanjang waktu. Jika peraturan
berubah-ubah maka sistem hukum tidak dapat berfungsi dengan baik. Ini terjadi di
22
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 51.
30
negara-negara yang sering berganti pemerintahan karena partai politik kalah atau
menang dalam pemilu.
8. Harus ada kesesuaian antara hukum dan cara melaksanakannya. Ganjaran bagi
yang taat hukum dan sanksi bagi yang melanggar. Peraturan yang tidak
dilaksanakan dengan konsekuen akan menjatuhkan martabat hukum itu sendiri.
Tidak dipenuhinya salah satu dari kedelapan hal tersebut menjadikan sistem
hukum yang berlaku tersebut menjadi buruk, mengakibatkan bahwa sistem hukum
yang berjalan tersebut tidak pantas untuk disebut dengan suatu sistem hukum yang
layak, yang tidak dapat berlaku secara efektif dan baik. Menurut Fuller, hukum dan
moralitas adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itu Fuller membagi
moralitas ke dalam moralitas kewajiban (morality of duty) dan moralitas aspirasi
(morality of aspiration) yang menjadikannya hukum. Moralitas kewajiban adalah
suatu ketentuan yang minimum harus ada dalam suatu masyarakat agar masyarakat
tersebut dapat berjalan dengan baik. Sedangkan moralitas aspirasi memungkinkan
manusia untuk mencapai hal yang terbaik dalam hidup manusia. Moralitas aspirasi ini
dalam pandangan Fuller masih dapat dibagi Moralitas eksternal mengatur hal-hal
yang ideal yang seharusnya ada sebagai substansi dari suatu aturan hukum yang ada
dalam masyarakat, sedangkan moralitas internal adalah suatu proses, suatu moralitas
31
yang memungkinkan kehidupan manusia diatur dengan baik berdasarkan aturan-
aturan hukum yang dibuat tersebut (the morality that makes law possibles).23
Penelusuran kekaburan norma hukum mengarah pada pengertian pakaian
bekas yang dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-
DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas, pakaian bekas “adalah
produk tekstil yang digunakan sebagai penutup tubuh manusia, yang termasuk dalam
Pos Tarif/HS 6309.00.00.00.” Terkait dengan Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. tidak
ditemuan penjelasannya dalam peraturan ini, selanjutnya dilakukan pendekatan
peraturan perundang-undangan yaitu dengan menelusuri makna Pos Tarif/HS
6309.00.00.00. pada peraturan perundang-undangan lain, sehingga ditemukan
penjelasan pada Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan
Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Ketentuan Lampiran Nomor 5255 Pos Tarif
6309.00.00.00. yaitu “Pakaian bekas dan barang bekas lainnya”, disini terdapat
ketidakjelasan pengaturan, karena dapat ditafsirkan lain (lebih dari satu penafsiran)
terhadap Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. yang muncul dalam pengertian pakaian bekas.
Penafsiran pertama, bahwa pakaian bekas adalah produk tekstil penutup tubuh
manusia (pengertian secara luas/umum) yang termasuk dalam Pos Tarif …. (dapat
23
Gunawan Widjaja, 2006, “Lon Fuller, Pembuatan Undang-Undang Dan Penafsiran
Hukum”, Jurnal Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VI, No. 1, Juli 2006.,
h. 21-22.
32
diartikan penekanan yang memberikan makna menyempit termasuk juga ….)
sehingga seluruh produk tekstil penutup tubuh manusia (termasuk Pos Tarif/HS
6309.00.00.00.) adalah pakaian bekas. Namun, terdapat penafsiran kedua yaitu
Pakaian bekas “adalah produk tekstil yang digunakan sebagai penutup tubuh
manusia, yang termasuk dalam Pos Tarif/HS 6309.00.00.00.” yang berarti bahwa
hanya yang termasuk dalam Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. yang dikategorikan sebagai
pakaian bekas, sedangkan kategori lainnya bukanlah pakaian bekas.
Penelusuran dalam kamus umum bahasa Indonesia ditemukan pengertian
bekas adalah “tanda-tanda yang ketinggalan (sesudah dipegang, diinjak, dilalui,
dsb)….”, “pakaian yang telah dipakai ….”, “barang-barang bekas adalah barang-
barang lama (sudah dipakai)….”, “sesuatu yang ketinggalan sebagai sisa (…. rusak,
terbakar, tidak terpakai lagi, dsb)….”.24
Apabila dipadu-padankan dengan makna
pakaian yang merupakan produk tekstil penutup tubuh manusia, dapat dikatakan
bahwa ruang lingkup pakaian bekas diantaranya:
1. Produk tekstil yang sudah pernah digunakan sebelumnya sebagai penutup
tubuh manusia;
2. Produk tekstil yang ketinggalan masanya sehingga menjadi produk sisa
karena tidak laku dipasarkan; dan
3. Produk tekstil yang dinilai telah rusak atau tidak (layak) dipakai lagi oleh
pemiliknya terdahulu.
24
W.J.S. Poerwadarminta, loc.cit.
33
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang
Larangan Impor Pakaian Bekas yang dengan tegas menetapkan dan mewajibkan
untuk memusnahkan pakaian bekas impor yang dipasarkan di seluruh Indonesia
setelah ditetapkannya peraturan ini sehingga tidak hanya kegiatan impor yang
dilarang, namun juga pakaian bekas yang berasal dari impor juga dilarang
diperdagangkan di Indonesia, keduanya dilarng, kegiatan mupun objeknya, sehingga
keberadaannya menjadi illegal di Indonesia.
34
BAB VI
PENUTUP
6.1 KESIMPULAN
1. Terjadi konflik norma hukum antara Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan
Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor.
Analisis hukum yang tepat untuk memecahkan konflik norma hukum antara
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang
Larangan Impor Pakaian Bekas dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan
Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor adalah dengan menerapkan asas
lex spesialis derogat legi generali karena ternyata Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas
merupakan aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang
Perdagangan. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang
Perdagangan dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015
35
Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dapat mengesampingkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu pasal 8 ayat (2).
2. Terjadi kekaburan norma hukum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. Analisis hukum
yang tepat untuk memecahkan kekaburan norma ini adalah dengan menelusuri
pengertian pakaian bekas impor, sehingga menemukan kesimpulan bahwa tidak
hanya kegiatan impor yang dilarang, namun juga pakaian bekas yang berasal dari
impor juga dilarang diperdagangkan di Indonesia, keduanya dilarang, kegiatan
mupun objeknya, sehingga keberadaannya menjadi illegal di Indonesia.
6.2 SARAN
1. Tujuan dari pembentukan peraturan perundang-undangan adalah untuk melindungi
seluruh bangsa Indonesia, sehingga disarankan agar aparatur negara tetap
menegakkan paraturan perundang-undangan. Terkait konflik norma, hendaknya
diselesaikan dengan asas preverensi dan dilaksanakan peraturan perundang-
undangan yang dimenangkan.
2. Kekaburan norma dapat menghambat penegakan hukumnya, untuk itu disarankan
agar pembentuk peraturan perundang-undangan jelas menentukan dan mengatur
pengertian otentikya sehingga tidak menimbulkan multi tafsir.
36
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Atmadja, I Dewa Gede., 2009, Pengantar Penalaran Hukum dan Arguentasi Hukum
(Legal Reasoning and Legal Argumentation an Introduction), Bali Aga,
Denpasar.
Fuller, Lon F., 1969, The Morality of Law, Yale University Press, London.
Hadjon, Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmiati., 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Marzuki, Peter Mahmud., 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media
Group, Jakarta.
Mundiri., 1996, Logika, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Nugroho, Riant, 2004, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi,
Gramedia, Jakarta.
Poerwadarminta, W.J.S., 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Suharto, Edi, 2005, Analisis kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung.
Wahab, Solichin Abdul, 2004, Analisis Kebijakan Dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara Jakarta.
Winarno, Budi, 2005, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Press, Yogyakarta.
Artikel
Febrianto., Vicki, 2015, “Pakaian impor bekas terbukti mengandung bakteri”,
http://www.antaranews.com/berita/478146/pakaian-impor-bekas-terbukti-
mengandung-bakteri, diakses tanggal 7-5-2016 Pukul 7:51 WITA.
Post, Intelijen., 2015, “Juragan Pakaian Bekas Pra Peradilan Bea Cukai Kalah Di
Pengadilan Negeri Surabaya”, http://intelijenpost.com/berita-700-juragan-
37
pakaian-bekas--pra-peradilan-bea-cukai-kalah-di-pengadilan-negeri-
surabaya.html, diakses tanggal 7-5-2016 Pukul 10:42 WITA.
Suryowati, Estu., 2015, “Pemerintah Siapkan Perpres Pelarangan Impor Pakaian
Bekas”, http://www.kemendag.go.id/id/news/2015/07/14/pemerintah-siapkan-
perpres-pelarangan-impor-pakaian-bekas, diakses tanggal 7-5-2016 Pukul
10:54 WITA.
Widjaja, Gunawan, 2006, “Lon Fuller, Pembuatan Undang-Undang Dan Penafsiran
Hukum”, Jurnal Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan,
Vol. VI, No. 1, Juli 2006., h. 21-22.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan
Impor Pakaian Bekas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga
Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang
Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas
Barang Impor.
Lampiran 1. Dukungan sarana dan prasarana penelitian Sarana dan prasarana yang telah tersedia diantaranya : 1. Kendaraan, yang berfungsi digunakan oleh peneliti untuk kegiatan pengambilan bahan,
wawancara (penelusuran data penujang). 2. Ruang LKBH FH UNUD, yang akan dijadikan ruangan rapat kerja tim peneliti dalam berbagai
kegiatan seperti : penyusunan proposal penelitian, pengumpulan bahan, penyusunan laporan enelitian, penyusunan draft luaran hasil penelitian.
LAMPIRAN 2. FORMAT BIODATA KETUA DAN ANGGOTA TIM PENELITI/ TIM
PELAKSANA (Wajib ditandatangani asli dengan tinta WARNA BIRU)
KETUA TIM PENELITI :
A. Identitas Diri
1.
Nama Lengkap (dengan gelar) I MADE DEDY PRIYANTO,SH.,MKn L 2.
Jabatan Fungsional ASISTEN AHLI 3.
Jabatan Struktural III.b/PENATA MUDA TINGKAT I 4.
NIP 198404112008121003 5.
NIDN 0011048401 6.
Tempat dan Tanggal Lahir DENPASAR 11 APRIL 1984 7 Alamat Rumah JL. PADANG UDAYANA NO.7
DENPASAR 8.
Nomor Telepon/Faks /HP 081999941337
9.
Alamat Kantor JL. PULAU BALI NO.1 DENPASAR 10 Nomor Telepon/Faks 0361222666 11 Alamat e-mail [email protected]
12 Lulusan yang telah dihasilkan S-1= 108 orang 13 Mata Kuliah yg diampu 1. HUKUM KETENAGAKERJAAN
2. HUKUM PENGANGKUTAN
3. HUKUM ISLAM
4. HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
5. HUKUM DAGANG
B. Riwayat Pendidikan
Program S-1 S-2 S-3
Nama Perguruan Tinggi UNIVERSITAS
UDAYANA
UNIVERSITAS
GADJAHMADA
-
Bidang Ilmu HUKUM KENOTARIATAN -
Tahun Masuk 2001 2005 -
Tahun Lulus 2005 2008 -
Judul Skripsi/Thesis/Disertasi PENERTIBAN
PENDUDUK
PENDATANG DI KOTA
DENPASAR
DAMPAK PENGENAAN
PAJAK BUMI DAN
BANGUNAN
TERHADAP
EKSISTENSI TANAH
PEKARANGAN DESA
DI KOTA DENPASAR
-
Nama Pembimbing/Promotor DR. I WAYAN
SUANDI,SH.,MHUM
COK ISTRI ANOM
PEMAYUN,SH.,MH
PROF.DR.SUDJITO,SH.,
MSi
-
C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir (Bukan Skripsi, Tesis, maupun Disertasi)
No.
Tahun
Judul Penelitian Pendanaan
Sumber *) Jml (Juta Rp.)
1 2016 PELAKSANAAN BATAS WAKTU
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL MELALUI
MEDIASI PADA DINAS SOSIAL DAN
TENAGA KERJA KOTA DENPASAR
MANDIRI 10
1. 2015 EFEKTIFITAS PERAN POLISI
PARIWISATA DALAM
PENANGGULANGAN KEJAHATAN
DIBIDANG PARIWISATA PADA
WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN
DAERAH PROVINSI BALI
HIBAH DOSEN
MUDA
10
2. 2014 MODEL PENGATURAN CITY HOTEL
WIRAUSAHA LOKAL BERBASIS
PENGUATAN KEMITRAAN DENGAN
BERBAGAI STAKEHOLDERS BAGI
KETAHANAN DAN
KEBERLANGSUNGAN EKONOMI
MASYARAKAT BALI DALAM
KEGIATAN KEPARIWISATAAN
HIBAH GRUP RISET
UDAYANA
50
3. 2013 STANDARISASI KLAUSULA-
KLAUSULA PERJANJIAN YANG
DILAKUKAN PEMERINTAH DALAM
PENGADAAN BARANG/JASA.
HIBAH
PASCASARJANA
(MAGISTER
KENOTARIATAN)
10
4. 2012 PERANAN PRAJURU DESA DALAM
MENYELESAIKAN SENGKETA
PEREBUTAN TANAH KUBURAN
(SETRA) (STUDI KASUS DI DESA
PAKRAMAN KEROBOKAN DAN
DESA PAKRAMAN PADANG
SAMBIAN.
HIBAH UNGGULAN
UDAYANA
50
5. 2011 TINJAUAN YURIDIS PERATURAN
GUBERNUR BALI NOMOR 12 TAHUN
2009 TENTANG PEMBATALAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN
TABANAN NOMOR 6 TAHUN 2008
TENTANG RETRIBUSI PEMAKAIAN
KEKAYAAN MILIK DAERAH
KABUPATEN TABANAN
HIBAH DOSEN
MUDA
10
*) Tuliskan sumber pendanaan : PDM, SKW, Hibah Dosen Muda, Fundamental, Hibah Bersaing, Hibah Pekerti, Hibah Pascasarjana, Hikom, Stranas, Kerjasama Luar Negeri dan Publikasi Internasional, RAPID, Unggulan Stranas, Hibah Unggulan Udayana, Hibah Grup Riset Udayana, atau sumber lainnya.
D. Pengalaman Pengabdian kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No.
Tahun Judul Pengabdian Kepada
Masyarakat
Pendanaan Sumber *) Jml (Juta Rp.)
1 2016 SOSIALISASI ASPEK HUKUM
PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN
BAGI CALON TENAGA KERJA
INDONESIA YANG AKAN BEKERJA KE
LUAR NEGERI
DIPA 10
1. 2015 SOSIALISASI UNDANGA-UNDANG
DASAR NEGARA RI 1945 BERBAHASA
BALI DI DESA PAKRAMAN WANGSEAN
KECAMATAN SIDEMEN KABUPATEN
KARANGASEM
DIPA 5
2. 2014 SOSIALISASI PENTINGNYA AKTA
NOTARIS/PPAT DALAM TRANSAKSI
JUAL-BELI TANAH DI DESA BUAHAN
KAJA, KECAMATAN PAYANGAN,
KABUPATEN GIANYAR, PROVINSI
BALI
DIPA 5
3. 2013 KONSULTASI HUKUM MANDIRI 5 4. 2012 SOSIALISASI PERATURAN
GUBERNUR BALI NOMOR 113 TAHUN
2011 TENTANG UPAH MINIMUM
KABUPATEN/KOTA DI YAYASAN HCS
PUTRA BALI
DIPA 5
5. 2011 SOSIALISASI UNDANG-UNDANG
KDRT BAGI PERLINDUNGAN
PEREMPUAN DI IWABA DAERAH
BALI
DIPA 5
*) Tuliskan sumber pendanaan : Penerapan IPTEKS – SOSBUD, Vucer, Vucer Multitahun, UJI, Sibermas, atau sumber dana lainnya.
E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir
No. Judul Artikel Ilmiah Volume/Nomor Nama Jurnal
1 PERTANGGUNGJAWABAN
UD. P. JATAYU KABUPATEN
BADUNG TERHADAP
PEKERJA ANAK YANG
MENGALAMI KECELAKAAN
KERJA
VOL. 04, NO. 05,
OKTOBER 2016
JURNAL KERTA SEMAYA
FH.UNUD
1 PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP KESELAMATAN
DAN KESEHATAN BAGI
PEKERJA DI DALAM PROSES
PRODUKSI PADA PT
SATYALOKA TIRTA AMERTA
DI KABUPATEN BANGLI
VOL. 05, NO. 01,
JANUARI 2017
JURNAL KERTA SEMAYA
FH.UNUD
1. HAK ANAK ANGKAT
TERHADAP PEMBAGIAN
WARISAN
VOL. 03, NO. 05,
SEPTEMBER 2015
JURNAL KERTA SEMAYA
FH.UNUD
2. PEMBERIAN UANG
PESANGON TERHADAP
PEKERJA KONTRAK WAKTU
TERTENTU YANG
DIBERHENTIKAN PADA
DINAS PERKEBUNAN
PROVINSI BALI
VOL. 02, NO. 03,
JUNI 2014
JURNAL KERTA SEMAYA
FH.UNUD
3. AKIBAT HUKUM
BERAKHIRNYA HUBUNGAN
KERJA PADA PERUSAHAAN
YANG DINYATAKAN PAILIT
VOL.1 NO.4, MEI
2013
JURNAL KERTA SEMAYA
FH.UNUD
4. PERLINDUNGAN HUKUM
TENAGA KERJA INDONESIA
DI LUAR NEGERI
VOLUME 7 NO.2,
NOVEMBER 2012
JURNAL KONSTITUSI P3KP
UNIVERSITAS JAMBI.
5. INSTRUMEN HUKUM
PEMBATALAN PERDA
SYARIAH DI INDONESIA.
VOLUME I NO.2,
NOVEMBER 2011
JURNAL KONSTITUSI PKK-
UNIVERSITAS
PENDIDIKAN NASIONAL
DENPASAR
F. Pengalaman Penyampaian Makalah Secara Oral pada Pertemuan/ Seminar Ilmiah dalam 5 Tahun Terakhir
No. Nama
Pertemuan ilmiah/
Seminar
Judul Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat
1 LOKAKARYA
JURNAL
PROGRAM
STUDI DOKTOR
(S3) ILMU
HUKUM
PROCRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
UDAYANA
PROBLEM VALIDASI JURNAL 29 NOVEMBER
2016, FH UNUD
1. WORKSHOP PENULISAN NASKAH JURNAL 2015,
PASCASARJANA
(S2) ILMU
HUKUM UNUD
2. LATIHAN
KETERAMPIL
AN
MANAJEMEN
MAHASISWA
MEREALISASIKAN TEORI KEPEMIMPINAN
MEMBENTUK IDEOLOGI INDIVIDU
BERKARAKTER
2014, GEDUNG
KSIRARNAWA
ART CENTRE
DENPASAR
3. SEMINAR
RESEARCH
EXCELLENT
UNUD
PERANAN PRAJURU DESA DALAM
MENYELESAIKAN SENGKETA PEREBUTAN
TANAH KUBURAN (SETRA) (STUDI KASUS
DI DESA PAKRAMAN KEROBOKAN DAN
DESA PAKRAMAN PADANG SAMBIAN.
2013, GEDUNG
GDLN UNUD
4. SEMINAR
NASIONAL
PERANAN PRAJURU DESA DALAM
MENYELESAIKAN SENGKETA PEREBUTAN
TANAH KUBURAN (SETRA) (STUDI KASUS
DI DESA PAKRAMAN KEROBOKAN DAN
DESA PAKRAMAN PADANG SAMBIAN.
2012, JURUSAN
ILMU
KOMUNIKASI
FISIP UNSOED
G. Pengalaman Penulisan Buku dalam 5 Tahun Terakhir No. Judul Buku Tahun Jumlah
Halaman Penerbit
1. KLINIK HUKUM PERDATA 2015 117 UDAYANA
UNIVERSITY
PRESS
No. Judul/Thema HKI Tahun Jenis No.P/ID
1. - - - -
2. PERANAN PRAJURU DESA DALAM
MENYELESAIKAN SENGKETA
PEREBUTAN TANAH KUBURAN (SETRA)
(STUDI KASUS DI DESA PAKRAMAN
KEROBOKAN DAN DESA PAKRAMAN
PADANG SAMBIAN.
2012 18 Prosiding Jurusan
Ilmu Komunikasi
FISIP UNSOED,
ISBN : 978-979-
9204-63-9
H. Pengalaman Perolehan HKI dalam 5 – 10 Tahun Terakhir
I. Pengalaman Merumuskan Kebijakan Publik/Rekayasa Sosial Lainnya dalam 5 Tahun
Terakhir
No. Judul/Tema/Jenis Rekayasa Sosial Lainnya
yang Telah Diterapkan Tahun Tempat
Penerapan Respon
Masyarakat
1. REVIEW RANPERDA GIANYAR
NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH
KABUPATEN GIANYAR 2012 – 2032.
2012 KABUPATEN
GIANYAR
BAIK
J. Penghargaan yang Pernah Diraih dalam 10 tahun Terakhir (dari pemerintah, asosiasi atau institusi lainnya)
No. Jenis Penghargaan Institusi Pemberi
Penghargaan Tahun
1. - - -
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila dikemudian hari ternyata dijumpai ketidak-
sesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima risikonya. Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan penelitian : HIBAH DOSEN MUDA FH UNUD
Denpasar, 18 Mei 2016
Pengusul,
Tanda tangan & materai
(I MADE DEDY PRIYANTO,SH.,MKn)
NIP : 198404112008121003
ANGGOTA TIM PENELITI :
IDENTITAS DIRI
Nama : Putu Edgar Tanaya, SH., MH.
Tempat dan Tanggal Lahir : Denpasar, 08 November 1991
Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan
Status Perkawinan : Kawin Belum Kawin Duda/Janda
Agama : Hindu
Golongan/Pangkat : -
Jabatan Fungsional Akademik : -
Perguruan Tinggi : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Alamat : Jln. P. Bali No.1 Denpasar 80114
Tlp/Fax : (0361) 222666/ Fax. 234888
Pekerjaan : Dosen
Alamat Rumah : Jl. Tukad Balian No. 161 Denpasar
Tlp./Fax : 081916264343
Alamat e-mail : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
Tahun
Lulus
Jenjang Sekolah Jurusan/ Bidang Studi
2003 SD SDN 3 Sanur -
2006 SMP SMPN 9 Denpasar -
2009 SMA SMAN 2 Denpasar -
2013 S1 Universitas Udayana Ilmu Hukum
2015 S2 Universitas Gadjah Mada Magister Hukum
PENGALAMAN MENGAJAR
Tahun Matakuliah Jenjang Program/Institusi
2016 Hukum Administrasi Negara S1 Program Reguler Sore Fakultas
Hukum Universitas Udayana
2016 Ilmu Administrasi Negara S1 Program Reguler Sore Fakultas
Hukum Universitas Udayana
2016 Ilmu Administrasi Negara S1 Program Reguler Pagi Fakultas
Hukum Universitas Udayana
2016 Hukum Agraria S1 Program Reguler Sore Fakultas
Hukum Universitas Udayana
2016 Hukum Lingkungan S1 Program Reguler Pagi Fakultas
Hukum Universitas Udayana
PENGALAMAN PENELITIAN
Tahun Judul Penerbit/Jurnal
2013 Pengaturan Surat Pengalihan Piutang Atas
Nama (Cessie) Yang Dibuat Dengan Akta
Dibawah Tangan Dikaitkan Dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia
Skripsi
2015 Akibat Hukum Tidak Dipenuhinya
Kewajiban Divestasi Saham Dalam Bidang
Pertambangan Oleh Penanam Modal Asing
Kepada Negara
Tesis
2016 Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap
Corporate Social Responsibility (CSR)
Sebagai Etika Bisnis dan Etika Sosial
Jurnal Komununikasi Hukum
Universitas Pendidikan Ganesha
2016 Divestasi Sebagai Pilihan Alternatif Untuk
Mempertahankan Keberlangsungan
Ekonomi Indonesia (Dalam Analisis
Ekonomi Perspektif Hukum)
Jurnal Advokasi Hukum
Universitas Mahasaraswati
2017 Akibat Hukum Kepailitan Badan Usaha
Milik Negara Pasca Berlakunya Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara
Jurnal Komununikasi Hukum
Universitas Pendidikan Ganesha
KEGIATAN PROFESIONAL/PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
Tahun Kegiatan
2016 Sosialisasi Kenakalan Remaja Terkait Penyalahgunaan Narkoba di Puri
Glogor, Denpasar
2016 Pengabdian Masyarakat dalam Rangka BKFH Fakultas Hukum Universitas
Udayana di Bukit Jimbaran dan Kampus Denpasar
Semua data yang tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum. Apabila dikemudian hari ternyata dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan,
saya sanggup menerima resikonya.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan
dalam pengajuan penelitian : HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI.
Denpasar, 2 Februari 2017
(Putu Edgar Tanaya, SH., MH.)
NIP. 1991110820160612001
1
LARANGAN PENJUALAN
PAKAIAN BEKAS IMPOR DI INDONESIA
I Made Dedy Priyanto
1)
Bagian Hukum Perdata, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Jalan Pulau Bali No.1, Denpasar, 80114 Telpn/Fax : (0361) 222666, E-mail : [email protected]
Abstract
The purpose of this research is to find legal certainty related ban on imported used clothing in Indonesia, this research uses normative juridical research method, with approach type of legislation, and phrase approach. Sources of legal materials used include primary legal materials (legislation related to the ban on the sale of imported used clothing in Indonesia), secondary legal materials (law books, legal journals, legal papers published in print and online), as well as tertiary tertiary legal materials (dictionaries, and encyclopedias). The analytical techniques of interpretive law are used in this study, especially in the exegesis of grammatical interpretation, contextual interpretation, legal principles, legal theories, and the interpretation of laws and regulations. There is a conflict of norms because Law Number 8 Year 1999 on Consumer Protection still permits the trade of imported used clothing provided that the entrepreneur is obliged to provide information as clear as possible regarding the condition of used clothing, in line with this Regulation stipulation of the Trade Minister Number 132 / PMK.010 / 2015 Concerning Third Amendment to Regulation of the Trade Minister Number 213 / PMK.011 / 2011 On the Stipulation of Goods Classification System and Imposition of Import Duty Tariff on Imported Goods regulates tariffs for used clothing import while Trade Minister Regulation Number 51 / M-DAG / PER / 7 / 2015 Concerning the Prohibition on Import of Used Clothing expressly prohibits the trade of imported used clothing. This rule is a derivative of the Trade Act so that the principle preference applies: lex specialis derogat legi generali so that the Regulation of the Trade Minister may override the regulations concerning consumer protection and the regulation of the Trade Minister.
Key words: prohibition, sale, clothing, scrap, import.
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan kepastian hukum terkait larangan penjualan pakaian bekas impor di Indonesia, penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan jenis pendekatan
perundang-undangan, dan pendekatan frasa. Sumber bahan hukum yang digunakan diantaranya bahan hukum primer
(peraturan perundang-undangan terkait larangan penjualan pakaian bekas impor di Indonesia), bahan hukum
sekunder (buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis di bidang hukum yang dimuat di media cetak maupun
online), serta bahan hukum tersier yang bersifat penunjang (kamus, dan ensiklopedia). Teknik analisis bahan hukum
interpretasi digunakan dalam penelitian ini khususnya dalam melakukan penafsiran gramatikal (arti kata/ bahasa),
penafsiran kontektual (konteks/ pemaknaan kalimat), asas-asas hukum, teori-teori hukum, serta penafsiran peraturan
perundang-undangan. Terjadi konflik norma karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen masih memperbolehkan perdagangan pakaian bekas impor dengan syarat pengusaha wajib memberikan
informasi sejelas-jelasnya terkait keadaan pakaian bekas, searah dengan hal ini penetapan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang
Impor mengatur tarif bagi impor pakaian bekas, sedangkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-
DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas secara tegas melarang perdagangan pakaian bekas
impor. Aturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Perdagangan sehingga berlaku asas preferensi yaitu: lex
specialis derogat legi generali sehingga Peraturan dari Menteri Perdagangan dapat mengesampingkan peraturan
mengenai perlindungn konsumen dan peraturan Menteri Keuangan.
Kata Kunci: larangan, penjualan, pakaian, bekas, impor.
1. PENDAHULUAN
Penetapan pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas
2
ternyata tidak harmonis dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menetapkan pada pasal 8 ayat (2) bahwa “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud”. Apabila diperhatikan ketentuan pasal tersebut dan menganalisisnya dengan argumentum a
contrario maka akan mengakibatkan diperbolehkannya pelaku usaha untuk memperdagangkan barang bekas (termasuk pakaian bekas impor) dengan syarat memberikan informasi yang sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya kepada konsumen terkait keadaan dan kualitas barang bekas (pakaian bekas) tersebut. Oleh karena ketentuan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ini belum dihapuskan, maka tetap dapat dijadikan dasar hukum bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan pakaian bekas impor di seluruh Indonesia.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang
Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor masih menetapkan pada Nomor 5255, Pos III Tentang Pakaian Bekas dan Barang Tekstil Bekas dinaikkan bea masuknya menjadi 35 persen. Peraturan ini ditetapkan tanggal 9 Juli 2015, sehingga pada saat yang sama terdapat penetapan yang masih memperbolehkan impor pakaian bekas, namun disisi lain lahir pula peraturan yang melarang impor pakaian bekas. Pentingnya dilakukan penelitian ini juga tdak terlepas dari pemaknaan impor pakaian bekas itu sendiri yang apabila diihat ketentuan pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas, maka pengertian impor adalah
“kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean”, kemudian pasal 2 Peraturan Menteri ini menetapkan bahwa “Pakaian Bekas dilarang untuk diimpor ke dalam wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia” maka dapat dikomentari bahwa yang dimaksud dilarang adalah kegiatan memasukkan barang dari luar negeri ke wilayah Indonesia, sedangkan apabila pakaian bekas tersebut telah terlanjur berada di Indonesia maka tetap diperbolehkan untuk diperdagangkan (hal ini sesuai dengan putusan hakim pada uraian sebelumnya). Namun ketentuan selanjutnya yaitu pasal 3 Peraturan Menteri ini menetapkan bahwa “Pakaian Bekas yang tiba di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada atau setelah tanggal Peraturan Menteri ini berlaku wajib dimusnahkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”, maka yang dimusnahkan disini adalah pakaian bekas sebagai objek peraturan, sehingga walaupun pakaian bekas tersebut terlanjur ada di Indonesia tetap dapat dimusnahkan/ dilarang keberadaannya. Menjadi urgen dan penting untuk dilakukan penelitian karena terjadi multi tafsir terhadap ketentuan pelarangan penjualan pakaian bekas impor ini, tafsiran pertama menekankan pada kegiatannya yang dilarang, namun penafsiran kedua lebih fokus kepada obyek (pakaian bekas) yang dilarang, sehingga dapat dikatakan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dalam hal ini belum dapat mencerminkan kepastian hukum.
2. METODE PENELITIAN
“Ciri khas ilmu hukum adalah sifatnya yang normatif”.1 Penelitian ini menggunakan jenis peneitian hukum normatif karena terdapat konflik norma hukum antara Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor. Alasan lain dipilihnya penelitian hukum normatif yaitu adanya kekaburan norma hukum/ multi tafsir dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. Sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan penelitian dibidang norma hukum/ normatif. Jenis pendekatan yang dilakukan dalap penelitian ini yaitu: jenis pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan frasa. Pendekatan perundang-undangan, yaitu dilakukan analisis terhadap norma hukum terkait penjualan pakaian bekas impor di Indonesia dengan
1 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, h.1.
3
menelusuri sebanyak-banyaknya bahan hukum primer (aturan-aturan dan penjelasannya) terkait dengan objek penelitian yang dapat menjelaskan secara pasti makna dari aturan yang dikaji, sehingga dapat memberikan kepastian hukumnya. Sedangkan pada pendekatan frasa dilakukan dengan bantuan bahan hukum sekunder (doktrin para sarjana hukum), serta bahan hukum tersier (diluar bidang ilmu hukum)
khususnya bidang ilmu bahasa untuk memberikan kejelasan terkait dengan pemaknaan kata, serta kalimat (subjek-predikat-objek) yang tertuang dalam aturan-aturan yang dikaji, sehingga dapat memberikan kejelasan makna dan maksud dari aturan tersebut.
Sumber bahan hukum yang dipergunakan dalampenelitian ini diantaranya: bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan terkait larangan penjualan pakaian bekas impor di Indonesia), bahan hukum sekunder (buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis di bidang hukum yang dimuat di media cetak maupun online), serta bahan hukum tersier yang bersifat penunjang (kamus, dan ensiklopedia). Teknik pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini menggunakan sistem pencatatan,
dan sistem download data. Pada sistem pencatatan dilakukan dengan mencatat secara manual pada kertas (seperti sistem kartu, namun menggunakan kertas, bukan kartu) dan/atau langsung pada file komputer yang disediakan untuk pengumpulan bahan hukum yang berasal dari penelusuran kepustakaan bahan hukum primer, sekunder, tersier, serta data penunjang. Sedangkan pada sistem download data dilakukan pengambilan bahan-bahan hukum dengan download bahan-bahan hukum yang ditelusuri dari media online. Kedua sistem ini kemudian disatukan dalam satu file data pada komputer yang kemudian dipilah-pilah, dan diklasifikasikan berdasarkan pokok-pokok bahasan, sehingga memudahkan peneliti untuk
menggunakan bahan hukum tersebut dalam menganalisis objek penelitian. Bahan hukum yang terkumpul setelah dipilah-pilah dan diklasifikasikan, maka dilakukan teknik analisis bahan-bahan hukum tersebut dengan menggunakan teknik analisis deskriptif, yaitu menggambarkan hasil-hasil temuan yang ditelusuri dengan apa adanya ke dalam pembahasan. Teknik ini dilakukan untuk menghindari kesesatan dalam berlogika oleh peneliti, sehingga kutipan-kutipan langsung (tidak dipenggal-penggal) akan diuraikan sama persis dengan sumbernya (dengan menyebutkan sumbernya penelitipun terhindar dari plagiarisme). Teknik analisis bahan hukum interpretasi juga digunakan dalam penelitian ini khususnya dalam
melakukan penafsiran gramatikal (arti kata/ bahasa), penafsiran kontektual (konteks/ pemaknaan kalimat), asas-asas hukum, teori-teori hukum, serta penafsiran peraturan perundang-undangan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan memberikan pengertian Barang “adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai,
digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau Pelaku Usaha.” Namun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 1 angka 4 menetapkan pengertian Barang “adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.” Terjadi penyempitan cakupan pengaturan dimana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tidak mengatur cakupan pengertian barang yang dapat dipergunakan juga oleh pelaku usaha. Hal ini untuk memisahkan ruang lingkup konsumen dengan
pelaku usaha yang jelas diatur dalam Pasal 1 angka 2 “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Sehingga apabila barang (termasuk pakaian bekas impor) dipergunakan, dan tidak untuk diperdagangkan lagi, maka yang mempergunakan ini disebut konsumen. Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan memberikan pengertian resmi Impor “adalah kegiatan memasukkan Barang ke dalam Daerah Pabean.” Daerah Pabean dijelaskan dalam pasal 1 angka 15 Undang-Undang ini yaitu “wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, ruang udara di atasnya, serta tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.” Selanjutnya Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan memberikan
4
pengertian resmi Importir adalah “orang perseorangan atau lembaga atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang melakukan Impor”. Di berbagai peraturan perundang-undangan setelah ditelusuri tidak ditemukan perbedaan pengertian terkait impor maupun importir, sehingga tidak diperlukan uraian atau komentar terkait pengertian impor maupun importir.
Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas, pakaian bekas “adalah produk tekstil yang digunakan sebagai penutup tubuh manusia, yang termasuk dalam Pos Tarif/HS 6309.00.00.00.” Terkait dengan Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. tidak ditemuan penjelasannya dalam peraturan ini, selanjutnya dilakukan pendekatan peraturan perundang-undangan yaitu dengan menelusuri makna Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. pada peraturan perundang-undangan lain, sehingga ditemukan penjelasan pada Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan
Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Ketentuan Lampiran Nomor 5255 Pos Tarif 6309.00.00.00. yaitu “Pakaian bekas dan barang bekas lainnya”, disini terdapat ketidakjelasan pengaturan, karena dapat ditafsirkan lain (lebih dari satu penafsiran) terhadap Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. yang muncul dalam pengertian pakaian bekas. Penafsiran pertama, bahwa pakaian bekas adalah produk tekstil penutup tubuh manusia (pengertian secara luas/umum) yang termasuk dalam Pos Tarif …. (dapat diartikan penekanan yang memberikan makna menyempit termasuk juga ….) sehingga seluruh produk tekstil penutup tubuh manusia (termasuk Pos Tarif/HS 6309.00.00.00.) adalah pakaian bekas. Namun, terdapat penafsiran kedua yaitu Pakaian bekas “adalah produk tekstil yang digunakan sebagai penutup tubuh manusia, yang termasuk dalam Pos Tarif/HS 6309.00.00.00.” yang berarti bahwa hanya yang termasuk dalam Pos Tarif/HS 6309.00.00.00. yang dikategorikan sebagai pakaian bekas, sedangkan kategori lainnya bukanlah pakaian bekas. Hal inilah yang kemudian dapat diteliti lebih mendalam sehingga pemaknaan pakaian bekas menjadi jelas.
Penelusuran dalam kamus umum bahasa Indonesia ditemukan pengertian bekas adalah “tanda-tanda yang ketinggalan (sesudah dipegang, diinjak, dilalui, dsb)….”, “pakaian yang telah dipakai ….”, “barang-barang bekas adalah barang-barang lama (sudah dipakai)….”, “sesuatu yang ketinggalan sebagai sisa (…. rusak, terbakar, tidak terpakai lagi, dsb)….”.2 Apabila dipadu-padankan dengan makna pakaian yang merupakan produk tekstil penutup tubuh manusia, dapat dikatakan bahwa ruang lingkup pakaian bekas diantaranya: 1. Produk tekstil yang sudah pernah digunakan sebelumnya sebagai penutup tubuh manusia; 2. Produk tekstil yang ketinggalan masanya sehingga menjadi produk sisa karena tidak laku dipasarkan;
dan 3. Produk tekstil yang dinilai telah rusak atau tidak (layak) dipakai lagi oleh pemiliknya terdahulu.
Kebalikan dari bekas adalah baru, seperti yang diatur dalam pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan yaitu mewajibkan setiap importir untuk mengimpor barang (termasuk pakaian bekas) dalam keadaan baru, sehingga pengertian baru adalah tidak bekas, dalam artian tidak pernah digunakan sebelumnya, tidak kadaluarsa, tidak mengalami lampau waktu (sisa), tidak mengalami kerusakan/tidak layak pakai.
Penelusuran dalam kamus umum bahasa Indonesia ditemukan pengertian konflik adalah “pertentangan, percekcokan” sedangkan pertentangan berarti “berlawanan, perselisihan yang sangat (ketidak cocokan)”.3 Unsur-unsur konflik norma seperti yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon dan Titiek Sri Djatmiati diantaranya: 1. Terjadi pertentangan antara dua atau lebih peraturan perundang-undangan; 2. Peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut masih berlaku atau sama-sama diterapkan terhadap
suatu kasus.4
2 W.J.S. Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 118.
3 Ibid, h. 610, dan h. 1251.
4 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta. h.31.
5
Sehingga dapat pula dikatakan bahwa peraturan yang satu membolehkan terhadap perbuatan/objek sedangkan yang lain melarang.
Asas preferensi yang dikemukakan oleh I Dewa Gede Atmadja merupakan solusi yang dapat diterapkan terhadap konflik norma, diantaranya :
a. Asas lex posteriori derogat legi priori, yaitu aturan hukum yang baru (ditetapkan kemudian) dapat mengesampingkan aturan hukum yang lama (ditetapkan sebelumnya).
b. Asas lex spesialis derogat legi generali, yaitu aturan hukum yang bersifat khusus dapat mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum.
c. Asas lex superior derogat legi inferiori, yaitu aturan hukum yang lebih tinggi tingkatannya dapat mengesampingkan aturan hukum yang lebih rendah.5
Hirarki yang dimaksud yaitu hirarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menetapkan
bahwa: (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Kekaburan, seperti yang ditemukan dalam penelusuran kamus umum bahasa Indonesia diartikan “keadaan kabur”, sedangkan kabur berarti “kurang tegas (jelas)”.6 Unsur-usur kekaburan orma hukum dapat ditarik sebagai berikut:
1. Norma hukum yang tidak jelas dalam pengaturannya; sehingga
2. Menimbulkan multi tafsir.
Kekaburan norma dapat diselesaikan melalui metode penafsiran hukum yaitu : penafsiran sistematis, penafsiran tata bahasa, penafsiran teleologi, penafsiran sejarah hukum, dst.7 Yang pada intinya dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Interpretasi gramatika/ penafsiran tata bahasa, yaitu menafsirkan kata-kata yang tertuang dalam
peraturan perundang-undangan dengan pemaknaan tata bahasa; 2. Interpretasi sistematis, yaitu penafsiran yang menggunakan aturan/ ketentuan lain untuk memaknai
peraturan/ ketentuan yang dikaji. 3. Interpretasi sejarah hukum, yaitu penafsiran yang menggunakan sejarah lahirnya peraturan perudang-
undangan untuk menemukan makna dari suatu aturan. 4. Interpretasi teologis, yaitu penafsiran yang menggunakan tujuan hukum sesuai dengan perkembangan
sosiologis masyarakat saat terbentuknya peraturan untuk memaknai aturan yang dikaji. 5. Interpretasi antisipatif, yaitu penafsiran yang menggunakan nilai-nilai yang masih merupakan gagasan
dalam rancangan peraturan perundang-undangan. 6. Interpretasi evolutif-dinamis, yaitu penafsiran yang mendobrak ketentuan peraturan perundang-
undangan dengan menggunakan perubahan pandangan masyarakat, sosial, nilai-nilai susila, serta perubahan kepentingan dan teknologi yang berkembang di masyarakat, sehingga peraturan perundang-undangan disini dinilai telah tidak sesuai dan patut diperbaharui.
7. Interpretasi ekstensif, yaitu menafsirkan secara luas makna yang tersurat dalam peraturan perundang-perundangan.
5 I Dewa Gede Atmadja, 2009, Op.Cit. h.33.
6 W.J.S. Poerwadarminta, Op.Cit, h. 502.
7 I Dewa Gede Atmadja, Op.Cit, h.35.
6
8. Interpretasi restriktif, yaitu menafsirkan secara sempit makna yang tersurat dalam peraturan perundang-undangan.
9. Interpretasi otentik, yaitu menafsirkan peraturan sesuai dengan apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. 8
3.2. Pembahasan
Sesuai dengan tujuannya, penelitian ini bertujuan untuk menemukan kepastian hukum terkait dengan larangan penjualan pakaian bekas impor di Indonesia. Berdasarkan penelitian kepustakaan yang telah dilakukan ditemukan bahwa: “Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa
pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.”9
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan yaitu pada pasal 47 ayat (1) ditentukan bahwa setiap Importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru. Serta ditetapkannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas yang dengan tegas menetapkan dan mewajibkan untuk memusnahkan pakaian bekas impor yang
dipasarkan di seluruh Indonesia setelah ditetapkannya peraturan ini. Penetapan pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas ternyata tidak harmonis dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menetapkan pada pasal 8 ayat (2) bahwa “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud”. Apabila diperhatikan ketentuan pasal tersebut dan menganalisisnya dengan argumentum a contrario maka akan mengakibatkan
diperbolehkannya pelaku usaha untuk memperdagangkan barang bekas (termasuk pakaian bekas impor) dengan syarat memberikan informasi yang sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya kepada konsumen terkait keadaan dan kualitas barang bekas (pakaian bekas) tersebut. Oleh karena ketentuan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ini belum dihapuskan, maka tetap dapat dijadikan dasar hukum bagi pelaku usaha untuk memperdagangkan pakaian bekas impor di seluruh Indonesia.
Peraturan Menteri berada di bawah Undang-Undang berdasarkan pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sehingga berlaku asas preferensi
lex superior derogat legi inferiori. Namun lahirnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas merupakan turunan dari pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan sehingga berlaku Asas lex spesialis derogat legi generali, yaitu aturan hukum yang bersifat khusus dapat mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dapat mengesampingkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu
pasal 8 ayat (2). Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor
Pakaian Bekas yang dengan tegas menetapkan dan mewajibkan untuk memusnahkan pakaian bekas impor yang dipasarkan di seluruh Indonesia setelah ditetapkannya peraturan ini sehingga tidak hanya kegiatan impor yang dilarang, namun juga pakaian bekas yang berasal dari impor juga dilarang diperdagangkan di Indonesia, keduanya dilarang, kegiatan maupun objeknya.
8 I Dewa Gede Atmadja, Op.Cit, h. 42-46.
9 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, h. 158.
7
4. KESIMPULAN
Terjadi konflik norma karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen masih memperbolehkan perdagangan pakaian bekas impor dengan syarat pengusaha wajib memberikan informasi sejelas-jelasnya terkait keadaan pakaian bekas, searah dengan hal ini penetapan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 Tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor mengatur tarif bagi impor pakaian bekas, sedangkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas secara tegas melarang perdagangan pakaian bekas impor. Aturan ini merupakan turunan dari Undang-Undang Perdagangan sehingga berlaku asas preferensi yaitu: lex specialis derogat legi generali sehingga Peraturan dari Menteri Perdagangan dapat mengesampingkan peraturan mengenai perlindungn konsumen dan peraturan Menteri Keuangan.
Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih disampaikan pada pihak-pihak yang mendukung penulisan makalah: 1. Rektor Universitas Udayana. 2. Ketua LPPM Universitas Udayana. 3. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana. 4. Ketua UPPM Fakultas Hukum Universitas Udayana.
5. Bagian Keuangan FH Universitas Udayana. 6. Seluruh sivitas akademika Fakultas Hukum Universitas Udayana, dan berbagai pihak yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu.
5. DAFTAR PUSTAKA
Hadjon, Philipus M. dan Tatiek Sri Djatmiati., 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati.
Marzuki, Peter Mahmud., 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group.
Poerwadarminta, W.J.S., 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.