Lap.pkl kep. slayar vrs mitra bahari

68
I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu ekosistem perairan tropik yang paling unik yaitu terumbu karang. Ekosistem ini banyak menarik perhatian sebab bersifat alamiah yang memiliki nilai ekologi dan estetika yang tinggi serta kaya akan keanekaragaman biota ( Nybakken, 1988). Terumbu karang, khususnya terumbu karang tepi dan penghalang berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut. Selain itu, terumbu karang mempunyai peran utama sebagai tempat tinggal (habitat), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), dan tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai biota yang hidup di sekitar dan atau berasosiasi dengan terumbu karang (Bengen, 1995). Indonesia merupakan negara yang terletak pada pusat segitiga terumbu karang (The Coral Triangel) yang memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, kondisi terumbu karang di Indonesia mengalami degradasi yang cukup menghawatirkan, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti, tingginya pemanfaatan 1

Transcript of Lap.pkl kep. slayar vrs mitra bahari

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Salah satu ekosistem perairan tropik yang paling unik yaitu terumbu karang.

Ekosistem ini banyak menarik perhatian sebab bersifat alamiah yang memiliki nilai

ekologi dan estetika yang tinggi serta kaya akan keanekaragaman biota ( Nybakken,

1988). Terumbu karang, khususnya terumbu karang tepi dan penghalang berperan

penting sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal

dari laut. Selain itu, terumbu karang mempunyai peran utama sebagai tempat

tinggal (habitat), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan

pembesaran (nursery ground), dan tempat pemijahan (spawning ground) bagi

berbagai biota yang hidup di sekitar dan atau berasosiasi dengan terumbu karang

(Bengen, 1995).

Indonesia merupakan negara yang terletak pada pusat segitiga terumbu

karang (The Coral Triangel) yang memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi.

Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, kondisi terumbu karang di Indonesia

mengalami degradasi yang cukup menghawatirkan, hal ini disebabkan oleh

beberapa faktor seperti, tingginya pemanfaatan oleh manusia atau disebabkan

karena bencana alam (Nontji, 1984).

Meningkatnya laju pembangunan menyebabkan peningkatan pemanfaatan

sumberdaya alam, tidak terkecuali terumbu karang. Hal ini berlanjut pada makin

besarnya perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup, khususnya lingkungan

ekologi. Nilai ekonomis yang tinggi dan ketergantungan terhadap sumberdaya

terumbu karang telah menyebabkan eksploitasi besar-besaran yang menyebabkan

kerusakan ekologis yang sangat memprihatinkan pada ekosistem ini. Menurut

Suprihayono (2000), hampir 71% terumbu karang di Indonesia mengalami

kerusakan yang cukup berat, yang relatif baik sekitar 22,5% sedangkan yang

1

kondisinya cukup baik hanya sekitar 6,5%. Untuk itu dibutuhkan upaya-upaya untuk

melindungi dan melestarikan (konservasi), serta mencegah kerusakan habitat lebih

lanjut.

Salah satu metode yang digunakan pada lokasi DPL di wilayah Indonesia

Bagian Timur, untuk pencatatan kondisi adalah metode “Point Intercept Transect”

(PIT). Metode ini cukup mudah dilakukan, tidak memerlukan keahlian khusus,

hasilnya cepat dan dapat meliputi area yang luas dalam waktu yang relatif singkat.

Yang diperlukan ialah si pencatat dapat membedakan antara mana karang batu

yang hidup dengan komponen biota bentik atau komponen substrat dasar lainnya

(Manuputty dan Djuwariah, 2009).

Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan untuk memperbaiki kondisi dan

kualitas terumbu karang di Indonesia melalui berbagai program. Salah satunya

adalah COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program), atau

Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang, yakni salah satu program

jangka panjang yang diprakarsai oleh Pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk

melindungi, merehabilitasi, dan mengelola pemanfaatan secara lestari terumbu

karang serta ekosistem terkait di Indonesia, yang pada gilirannya akan menunjang

kesejahteraan masyarakat pesisir.

Adapun salah satu wilayah kerja COREMAP II adalah Kabupaten selayar

yang terkenal dengan Taman Nasional Laut Taka Bonerate, memiliki terumbu

karang seluas 530. 765 ha ( TNL. Taka Bonerate) dan merupakan atol terbesar

ketiga di dunia. Sedangkan Luas terumbu karang di luar TNL Taka Bonerate adalah

1. 220 ha.

Kabupaten Selayar sendiri terletak pada posisi geografis  120Ý 54’ – 121Ý

21’ Bujur Timur dan 6Ý 23’ – 7Ý 05’ Lintang Selatan.  Kabupaten Selayar memiliki

2

luas wilayah 1.188,28 km2 Wil. Daratan (5,32%) dan 21.138,41 Km2 Wil. Lautan

(94,68%) yang terdiri dari 123 Pulau Besar dan Kecil.

Program COREMAP II di Kabupaten Selayar mengambil lokasi pembinaan

desa-desa pesisir yang memiliki area terumbu karang. Pada tahun 2007 COREMAP

II Selayar menetapkan lokasi binaan sebanyak 52 Desa yang tersebar di 9

kecamatan, 4 kecamatan di daratan selayar dan 5 kecamatan di kepulauan yang

dibagi dalam 6 Zona yakni : Zona Kec.Bontomanai-Bontomatene (9 Desa), Zona

Kec.Bontoharu-Bontosikuyu (14 Desa), Zona Kec. Taka Bonerate (8 Desa), Zona

Kec. Pasilambena (5 Desa), Zona Kec. Pasimasunggu (10 Desa), dan Zona Kec.

Pasimarannu (6 Desa). Dimana untuk setiap desa binaan telah dibentuk masing-

masing 1 DPL (Daerah Perlindungan Laut) sehingga DPL yang ada sebanyak 52

DPL dengan luas 4269 Ha dan Luas karangnya + 3593,48 Ha. (COREMAP- PSTK,

2010).

Akan tetapi besarnya manfaat yang dirasakan masyarakat sekitar dengan

adanya DPL (Daerah Perlindungan Laut) tersebut maka inisiatif itu datangnya dari

masyarakat sendiri untuk menambah DPL (Daerah Perlindungan Laut) di desa

masing-masing sehingga sampai pada tahun 2011 jumlah DPL di Kabupaten

Selayar mengalami penambahan yakni 58 DPL (Daerah Perlindungan Laut).

Salah satu diantaranya, Daerah Perlindungan Laut yang menarik perhatian

adalah DPL Desa Patikarya, berhubung karena lokasinya yang merupakan daerah

pesisir sehingga sebagai seorang pemula ada keinginan untuk melihat sebaran dan

tutupan karang yang ada disana. Apalagi ada informasi yang mengatakan bahwa

DPL Desa Patikarya memilki keunikan tersendiri karena lokasinya berada pada

salah satu Taka yang ada disana, yaitu Taka Maharayya.

Sehubungan dengan itu, salah satu upaya yang dilakukan COREMAP

adalah membuat suatu model pengelolaan yang berbasis kepada masyarakat,

3

berupa pendekatan pengelolaan sumber daya alam yang meletakkan pengetahuan

dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya, maka

perlu dilakukan penilaian terhadap kondisi ekosistem terumbu karang serta upaya-

upaya yang dilakukan dalam mengurangi tekanan terhadap terumbu karang melalui

kerja sama antara Mitra Bahari dan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi

Sulawesi Selatan yang disinergiskan dengan COREMAP II dalam bentuk Praktek

Kerja Lapang (PKL) dari mahasiswa agar dapat mendukung implementasi program-

program kelautan dan perikanan.

I.2. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari kegiatan praktik kerja lapang ini adalah untuk mendapatkan

pengetahuan praktis pada salah satu program COREMAP II sebagai alternatif

perkembangan terumbu karang Kabupaten Selayar antara lain :

1. Mengetahui kondisi terumbu karang yang ada di Kabupaten Selayar, khususnya

pada DPL (Daerah Perlindungan Laut) Desa Patikarya.

2. Mengetahui batas wilayah DPL (Daerah Perlindungan Laut) di Kabupaten

Selayar, khususnya pada DPL (Daerah Perlindungan Laut) Desa Patikarya.

3. Mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan ekosistem terumbu karang serta

cara pelestariaannya.

Sedangkan kegunaannya adalah untuk menambah wawasan mahasiswa

dalam upaya pengelolaan dan rehabilitasi ekosistem terumbu karang khususnya

dalam bidang pendataan dan penilaian ekosistem terumbu karang.

I.3. Sasaran

Sebagai masyarakat yang hidup dalam wilayah kepulauan yang potensi

sumberdaya laut tergantung di laut, maka sasaran yang ingin dicapai adalah :

1. Peningkatan taraf hidup masyarakat melalui pola penangkapan ikan yang

berkelanjutan dengan memperhatikan norma-norma konservasi.

4

2. Peningkatan pemahaman masyarakat tentang pelestarian lingkungan

terutama ekosistem terumbu karang.

I.4. Waktu dan Tempat

Praktek Kerja Lapang ini dilaksanakan di COREMAP Kabupaten Selayar,

tepatnya Desa Patikarya dengan waktu pelaksanaan tanggal 21 Juni sampai 21

Agustus 2011. Pengambilan data karang yakni di daerah perlindungan laut (DPL) di

desa Patikarya, Kec.Bontosikuyu, Kab.Selayar.

I.5. Metode Pengambilan Data

Menggunakan metode PIT, dimana metode ini dapat memperkirakan kondisi

terumbu karang di daerah berdasarkan persen tutupan karang batu hidup dengan

mudah dan cepat. Secara teknis, metode Point Intercept Transect (PIT) adalah cara

menghitung persen tutupan (% cover) substrat dasar secara acak, dengan

menggunakan tali bertanda di setiap jarak 0,5 meter atau juga dengan pita berskala

(roll meter).

Kondisi ekosistem terumbu karang ditentukan berdasarkan persen tutupan

karang batu hidup dengan kriteria CRITC-COREMAP LIPI berdasarkan Gomez &

Yap (1988) sebagai berikut:

rusak bila persen tutupan karang hidup antara 0-24,9%.

sedang bila persen tutupan karang hidup antara 25-49,9%

baik bila persen tutupan karang hidup antara 50-74,9%, dan

sangat baik apabila persen tutupan karang batu hidup 75-100%

Indikator kesehatan ekosistem terumbu karang dapat terdiri dari :kondisi fisik

ekologi terumbu karang (dalam bentuk ”persen tutupan karang batu hidup”/LC) dan

biota asosisasi terumbu karang yang mempengaruhi LC.

5

Pengambilan Data Karang

Posisi pulau ditentukan dengan menggunakan GPS.

Kedalaman ditentukan antara 3 – 5 meter, transek ditarik sejajar garis

pantai, dan pulau atau bagian daratan berada di sebelah kiri si pengamat.

Sebaiknya transek dilakukan di daerah lereng terumbu bagian atas, dengan

asumsi bahwa di pertumbuhan karang cukup baik daerah ini.

Pita berskala (roll meter) sepanjang 25 meter atau tali bertanda diletakkan

didasar, ditentukan atau diikatkan pada titik nol (0).

Tiap koloni karang, yang berada di bawah tali transek, dicatat berapa kali

(jumlah) kehadirannya per titik, dimulai dari titik ke 1, 2, 3 danseterusnya.

(skala ke: 50, 100, 150, ……..) dan seterusnya sampai ke ujung akhir yaitu

skala ke 2500 atau pada titik ke 50 (ujung meter ke 25). Diutamakan untuk

karang, pencatatan dilakukan pada karang batu hidup. Biota lain atau

substrat dasar, dicatat sesuai dengan keberadaannya di bawah masing-

masing titik.

Kategori yang dicatat : karang batu, dengan kode AC dan NA, biota lain dan

substrat dan seterusnya, dapat dilihat dalam Tabel .

Jumlah titik yang dibawahnya terdapat koloni karang batu atau biota lain

atau substrat, masing-masing dikelompokkan dan dihitung sebagai

persentase tutupan (%).

Data pengamatan selanjutnya disusun dalam bentuk tabel untuk analisa

selanjutnya dengan rumus yang sederhana, sebagai berikut :

Jumlah tiap Komponen% Tutupan Komponen = ----------------------------------- X 100 %

50 ( Total Komponen)

6

Tabel . Kode pencatatan data pada transek permanen dalam kegiatan Monitoring kesehatan terumbu karang (Reef Health Monitoring, RHM),versi CRITC-COREMAP (Manuputty dkk.,2006).

Kode Kategori Biota Keterangan

AC Acropora Karang acropora

NA Non Acropora Karang non acropora

DC Death Coral Karang mati yang masih berwarna putih

DCA Death Coral Algae Karang mati yang telah ditumbuhi algae

SC Soft Coral Jenis-jenis karang lunak

FC Fleshy Seaweed Jenis-jenis makro algae

R Rubble Patahan karang bercabang (mati)

RK Rock Substrat dasar yang keras (batu)

S Sand Pasir

SI Silt Lumpur

Skema cara pencatatan karang dan biota bentik serta substrat pada waktu

transek dapat dilihat dalam Gambar .

Gambar 1. Skema cara pencatatan karang hidup, biota lain dan substrat dasar terumbu karang dengan metode PIT

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi DPL

Daerah perlindungan laut meliputi kawasan pesisir, pulau-pulau kecil atau

perairan lepas dengan ciri khas tertentu yang dikelola untuk memelihara dan

meningkatkan kualitas keanekaragaman hayati dan nilainya dengan tetap

mempertimbangkan potensi pemanfaatan dan keberlanjutannya.

Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) merupakan

kawasan pesisisir dan laut yang dapat meliputi terumbu karang, hutan mangrove,

lamun dan habitat lainnya secara sendiri atau bersama-sama yang dipilih dan

ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan

biota laut, dan pengelolaannya yang dilakukan secara bersama antara pemerintah,

masyarakat dan pihak lain, dalam merencanakan, memantau, dan mengevaluasi

pengelolaannya (Tulungen et at, 2003).

II.2. Tujuan DPL

Tujuan pembentukan DPL-BM antara lain:

Meningkatkan dan mempertahankan produksi perikanan di sekitar

Menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati terumbu karang, ikan, dan

biota lainnya

Dapat dikembangkan menjadi tempat tujuan wisata

Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pengguna

Memperkuat masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang

Mendidik masyarakat dalam konservasi dan pemanfaatan sumberdaya

berkelanjutan

Sebagai lokasi penelitian dan pendidikan tentang keanekaragaman hayati laut

8

II.3. Zonasi Kawasan DPL

DPL haruslah mempunyai perencanaan zonasi, yang ditetapkan secara

sederhana, artinya mudah dipahami dan dilaksanakan, serta dipatuhi oleh

masyarakat. Zona yang umum dipunyai oleh DPL adalah Zona Inti dan Zona

Penyangga, sedang di luarnya adalah Zona Pemanfaatan. Zona Inti adalah suatu

areal yang di dalamnya kegiatan penangkapan ikan dan aktivitas pengambilan

sumberdaya alam laut lainnya sama sekali tidak diperbolehkan. Begitu pula

kegiatan yang merusak terumbu karang, seperti pengambilan karang, pelepasan

jangkar serta penggunaan galah untuk mendorong perahu juga tidak diperbolehkan.

Sedang kegiatan yang tidak ekstraktif, seperti berenang, snorkling dan menyelam

untuk tujuan rekreasi masih diperbolehkan. Namun demikian perlu kesepakatan

dengan masyarakat kegiatan apa saja yang boleh dilakukan di zona inti, sehingga

fungsi zona tersebut dapat optimal.

II.4. Peran DPL untuk Pengelolaan Perikanan

Berfungsinya DPL secara pengelolaan adalah apabila terdapatnya suatu

zona inti di dalam DPL, yaitu suatu zona larang ambil permanen. Di dalam zona inti

atau dapat dikatakan zona tabungan perikanan, tidak diperkenankan adanya

kegiatan eksploitatif atau penangkapan ikan. Kegiatan eksploitasi hewan laut seperti

karang, teripang, kerang-kerangan atau organisme hidup lainnya dilarang untuk

diambil.

Zona inti biasanya berisi ekosistem terumbu karang yang sehat, karena

tidak mengalami gangguan oleh manusia, sehingga biota karang termasuk ikan

karang, mempunyai kesempatan untuk kembali pada keadaan terumbu karang yang

baik. Zona inti cenderung dipilih yang mempunyai kondisi dan tututan karang yang

baik, dan dihuni oleh beberapa biota dari berbagai ukuran, termasuk pemangsa

besar, seperti kerapu dan hiu.

9

Diharapkan bahwa zona inti yang tidak diganggu oleh kegiatan

penangkapan ikan atau sangat jarang dikunjungi oleh nelayan, akan memiliki

ukuran ikan yang besar dan ikan-ikan yang hidup di zona inti akan menjadi induk

yang sehat. Ukuran rata-rata ikan yang ada di zona inti yang berfungsi baik,

cenderung memiliki ukuran yang lebih besar dari pada ikan yang ada di luar zona

inti (zona pemanfaatan). Dari penelitian diketahui bahwa, semakin panjang dan

besar ukuran induk ikan akan memberikan telur yang jauh lebih besar secara

exponensial. Apabila rata-rata umur dan ukuran ikan semakin muda dan kecil, maka

telur dan larva yang akan dihasilkan juga semakin sedikit. Sehingga, salah satu

peran dari zona inti yang ditutup dari kegiatan penangkapan ikan adalah, untuk

menghindari kegagalan perikanan akibat tidak tersedianya induk ikan yang mampu

berkembang biak untuk menghasilkan juvenil ikan, yang akan menjadi besar dan

siap untuk dimanfaatkan oleh kegiatan perikanan.

II.5. Lokasi dan Ukuran DPL

Wilayah DPL dibentuk dan ditetapkan langsung oleh masyarakat

berdasarkan data-data dasar potensi dan bentuk pemanfaatan sumberdaya serta

kehidupan sosial ekonomi masyarakat di sekitar wilayah DPL. Prinsip dasar

pembentukan DPL didasarkan pada besarnya potensi sumberdaya perairan serta

tingginya tingkat ketergantungan masyarakat sekitar, namun menunjukkan adanya

kecenderungan ancaman degradasi terhadap sumberdaya tersebut (Manuputty dan

Djuwariah, 2009).

Jika suatu pulau atau suatu desa sudah terpilih menjadi lokasi DPL, maka

penentuan lokasi yang sesuai dengan lokasi zona inti dan penyangga DPL perlu

disepakati oleh masyarakat. Pemilihan lokasi biasanya merupakan suatu kompromi

antara pertimbangan kebutuhan praktis (kemudahan pengelolaan) dan prinsip-

10

prinsip konservasi (kondisi terumbu karang yang baik dengan keanekaragaman

hayati yang tinggi).

Berbagai hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan sebuah

Daerah Perlindungan Laut adalah kemampuan masyarakat desa dalam mengawasi

kawasan di mana kegiatan eksploitatif tidak diperkenankan. Hal ini sangat

mempengaruhi pemilihan lokasi dan besar ukuran daerah perlindungan laut. Hal lain

yang harus diperhatikan adalah kualitas aspek estetika kawasan ditinjau dari

kualitas terumbu karang dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya,

kesepakatan masyarakat tentang pengelolaan dan pemanfaatan daerah

perlindungan laut, dan tingkat ancaman terhadap kelestarian terumbu karang.

Berdasarkan hal-hal tersebut, sejumlah kriteria diajukan untuk menentukan daerah

perlindungan laut yang dikelola oleh masyarakat desa.

IUCN (Salm et al, 2002) telah membuatkan kriteria dalam penentuan

Kawasan Konservasi. Walaupun kriteria dari IUCN diperuntukkan kepada Kawasan

Konservasi yang luas, namun dapat digeneralisasikan untuk digunakan pada DPL

berbasis desa. Kita mengetahui bahwa kawasan-kawasan terumbu karang yang

merupakan ”bank ikan karang” dan mempunyai ketahanan terhadap bleaching

akibat perubahan iklim, menjadi prioritas untuk dilindungi. Namun demikian, kita

harus mempertimbangkan juga faktor-faktor sosial ekonomi, seperti kepentingan

publik, peluang ekonomi dan politik. Faktor sosial-ekonomi dan budaya pada masa

lalu masih belum merupakan kriteria dalam penentuan DPL ataupun jaringan DPL

atau MPA (Marine Protected Area) yang kadang-kadang disebut MMA (Marine

Management Area). Berikut adalah daftar faktor-faktor atau kriteria yang dapat

digunakan dalam memutuskan bahwa suatu kawasan harus termasuk dalam

sebuah MMA atau untuk menentukan batas-batas MMA:

11

• Kealamiahan kawasan

• Kepentingan biogeografi

• Kepentingan ekologi

• Kepentingan ekonomi

• Kepentingan sosial

• Kepentingan ilmiah

• Kepentingan nasional dan internasional

• Kepraktisan dan kelayakan

II.6. Metode Pengelolaan DPL

Kawasan DPL berhubungan langsung dengan ekosistem terumbu karang.

Untuk mengetahui kondisi awal suatu terumbu karang perlu dilakukan studi baseline

ekologi di lokasi tersebut. Untuk itu diperlukan suatu panduan (manual) yang berisi

petunjuk teknis untuk kegiatan di lapangan, yang berisi metode kerja yang harus

dilakukan oleh staf, teknisi atau penanggung jawab kegiatan di lapangan

(Manuputty dan Djuwariah, 2009).

Untuk kegiatan di lokasi DPL di wilayah Indonesia Bagian Timur, sudah

disepakati, pencatatan kondisi karang dilakukan dengan metode “Point Intercept

Transect” (PIT). Metode ini cukup mudah dilakukan, tidak memerlukan keahlian

khusus, hasilnya cepat dan dapat meliputi area yang luas dalam waktu yang relatif

singkat. Yang diperlukan ialah si pencatat dapat membedakan antara mana karang

batu yang hidup dengan komponen biota bentik atau komponen substrat dasar

lainnya (Manuputty dan Djuwariah, 2009).

Metode PIT merupakan metode yang baru diterapkan di dalam kegiatan

survei CRITC COREMAP, dan belum banyak dimengerti oleh pelaku survei. Untuk

keseragaman kegiatan di lapangan, maka CRITC COREMAP LIPI mencoba

menyusun panduan kegiatan survei di terumbu karang dengan metode PIT.

12

Tujuannya agar pelaku survei di daerah dapat melakukan kegiatan studi baseline

terumbu karang dan monitoring di daerah DPL nya masing-masing dengan satu

metode yang sama (Manuputty dan Djuwariah, 2009).

Walaupun DPL yang akan dibentuk adalah DPL yang berbasiskan

masyarakat, tetapi pembentukan dan pengelolaannya harus dilakukan bersama

antara masyarakat, pemerintah setempat dan para pihak (stakeholder) yang ada di

desa. Pemerintah Daerah, terutama Pemerintah Desa, haruslah bekerjasama dalam

proses penentuan lokasi dan aturan DPL, pendidikan masyarakat, bantuan teknis

dan pendanaan awal. Tanggung jawab dalam menentukan lokasi dan tujuan

pengelolaan DPL ditetapkan oleh masyarakat, sedangkan bantuan teknis dan

pendanaan, serta persetujuan terhadap peraturan ditetapkan oleh pemerintah atas

kesepakatan masyarakat. Masyakarat dapat bekerja sama dengan pihak lain,

seperti LSM dan Swasta untuk pengelolaan DPL supaya lebih efektif.

Pada umumnya, DPL-BM dikelola oleh Kelompok Masyarakat Pengelola

DPL, atau nama lain. Kelompok masyarakat atau Pokmas adalah kelompok kecil

yang dibentuk di tingkat desa. Proses pembentukan kelompok masyarakat

difasilitasi oleh fasilitator lapangan. Dalam satu desa dapat dibentuk beberapa

kelompok masyarakat menurut kesamaan minat.

Penguatan Pokmas adalah suatu proses meningkatkan kemampuan dan

peran suatu kelompok masyarakat ke arah bidang kegiatan tertentu (konservasi,

produksi, peningkatan peran dan kemampuan perempuan), agar dapat berperan

aktif dalam pelaksanaan pengelolaan terumbu karang. Pembentukan Pokmas

adalah suatu proses membentuk kelompok atau organisasi masyarakat yang akan

mempunyai peran dan fungsi bidang tertentu (konservasi, produksi, peningkatan

peran dan kemampuan perempuan).

13

Pokmas mempunyai tugas dan tanggung jawab utama:

1) Menyebarluaskan informasi kepada masyarakat tentang arti dan nilai penting

ekosistem terumbu karang, adanya ancaman terhadap kelestarian ekosistem

terumbu karang serta upaya-upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan

kualitas dan menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang.

2) Berperan aktif dalam penyusunan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang

Terpadu (RPTK Terpadu) yang mencakup Program Pengelolaan Terumbu

Karang, Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif, Pengembangan

Prasarana Dasar dan Peningkatan Kapasitas dan Kesadaran Masyarakat.

3) Mengimplementasikan RPTK Terpadu sesuai dengan bidang Pokmas yang

bersangkutan, misalnya Pokmas Konservasi melaksanakan program-program

pengelolaan terumbu karang.

4) Membuat laporan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan program kegiatan

masing-masing Pokmas.

Persyaratan pembentukan kelompok masyarakat:

1) Kelompok masyarakat dianjurkan dibentuk dengan anggota antara 5 (lima)

sampai 9 (sembilan) orang dengan anggota yang memiliki kesamaan minat;

2) Kelompok masyarakat memilih 2 (dua) orang pengurus, yaitu ketua dan

bendahara, yang bertanggung jawab dalam aspek administrasi teknis dan

keuangan,

3) Pengurus kelompok harus memiliki kemampuan baca dan tulis;

4) Anggota kelompok terdiri dari laki-laki dan perempuan secara proporsional;

5) Anggota kelompok yang dipilih adalah orang yang tergolong dewasa;

6) Kelompok masyarakat disahkan oleh Kepala Desa;

II.7. Partisipasi Masyarakat

14

Dalam pandangan masyarakat desa, partisipasi masyarakat sangat penting

dalam menunjang keberhasilan program pengelolaan sumberdaya pesisir. Dari hasil

survei di masyarakat yang memiliki DPL Pulau Sebesi, menunjukkan bahwa 98%

masyarakat menilai partisipasi sangat penting dengan bebagai alasan. Misalnya,

dengan proses partisipasi, masyarakat akan lebih merasakan manfaat dari program

yang dilaksanakan. Selain itu, masyarakat juga akan membantu dalam

implementasi program dan terlibat aktif dalam pemeliharaan selama dan sesudah

program dilaksanakan.

DPL berbasis masyarakat yang dimaksudkan adalah co-management

(pengelolaan kolaboratif), yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat

bersama-sama dengan pemerintah setempat. Pengelolaan berbasis masyarakat

bertujuan untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan perencanaan dan

pelaksanaan suatu pengelolaan DPL. Pengelolaan DPL berbasis masyarakat

berawal dari pemahaman bahwa masyarakat mempunyai kemampuan sendiri untuk

memperbiki kualitas kehidupannya, sehingga dukungan yang diperlukan adalah

menyadarkan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya. Namun demikian, pada kenyataannya pengelolaan yang murni

berbasis masyarakat kurang berhasil, oleh karena itu dukungan dan persetujuan

dari pemerintah dalam hal memberikan pengarahan, bantuan teknis dan bantuan

aspek hukum suatu kawasan konservasi sangat diperlukan. Beberapa manfaat yang

dapat diperoleh karena proses partisipatif dalam merencanakan dan mengelola DPL

adalah:

• Pelibatan masyarakat dapat membantu bahkan bertanggung jawab dalam

penegakan aturan, sehingga biaya penegakkan hukum dan pengawasan

kawasan menjadi kecil.

15

• Masyarakat merasa memiliki DPL, dan dapat membuat aturan sendiri untuk

ditetapkan di lingungannya

• Masyarakat akan membuat program penggalangan dana untuk operasional

DPL melalui kegiatan ekonomi, seperti pariwisata dan tarif masuk, dll.

• Menciptakan kesempatan kepada masyarakat untuk bekerjasama dalam

bentuk organisasi di tingkat desa.

II.8. Aturan Hukum tentang DPL

Agar pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat dapat

dilaksanakan secara berdaya guna dan berhasil guna (efisien dan efektif) maka

keberadaan DPL perlu ditunjang dengan sebuah aturan hukum yang memiliki

kekuatan hukum kuat di tingkat desa. Idealnya DPL hendaknya didukung dengan

sebuah Peraturan Desa (Perdes), atau minimal Keputusan Desa (Kepdes).

Keberadaan Perdes atau Kepdes mutlak diperlukan untuk mendukung keberhasilan

pengelolaan suatu kawasan DPL. Keberhasilan pengelolaan suatu kawasan DPL

sangat tergantung pada aturan-aturan yang dibuat dan ditetapkan berdasarkan

kesepakan masyarakat. Perdes atau Kepdes tentang DPL merupakan sebuah

peraturan perundang-undangan formal yang memiliki kekuatan hukum terkuat di

tingkat desa. Perdes ini harus mengikat masyarakat di dalam dan luar desa,

sehingga masyarakat, Pemerintah Desa, dan Pokmas Konservasi yang mengelola

DPL mempunyai kekuatan atau dasar hukum untuk melarang atau menindak pelaku

pelanggaran.

Untuk memayungi Peraturan Desa atau Keputusan Desa tentang Daerah

Perlindungan Laut idealnya dibuat Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Laut Terpadu di tingkat Kabupaten/Kota dan di tingkat Provinsi.

Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu di tingkat

Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut terpadu di tingkat

16

Kabupaten/Kota dan di tingkat Provinsi dimaksudkan untuk mengantisipasi

terjadinya permasalahan yang bersifat lintas desa dan atau lintas kabupaten/kota.

Apabila terjadi permasalahan lintas desa dan atau lintas kabupaten/kota maka

sudah ada perangkat hukumnya untuk mengatasinya.

17

III. IDENTIFIKASI MASALAH

Bermacam-macam isu ataupun permasalahan yang terdapat di desa

Patikarya berdampak secara nyata dalam berbagai kegiatan sosial, budaya, politik

dan ekonomi masyarakat. Isu atau permasalahan tersebut dapat dikelompokkan

sebagai berikut.

III.1. Bidang Perikanan Budidaya

Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat secara umum sehingga belum

memiliki pemahaman tentang pemanfaatan SDA secara optimal khususnya

untuk budidaya perikanan.

III.2. Bidang Perikanan Tangkap

Masih kurangnya kesadaran masyarakat tentang batas-batas wilayah

penangkapan tradisional, khususnya nelayan dari luar yang masuk ke

wilayah penangkapan tradisional sehingga menimbulkan konflik.

Belum optimalnya penegakan PERDES tentang DPL karena lokasi DPL

belum dilengkapi dengan rambu-rambu atau tanda batas DPL.

Belum optimalnya penegakan hukum oleh aparat dalam menindak

penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.

III.3. Bidang Pengolahan Hasil Perikanan

Masih rendahnya pendapatan masyarakat yang mengelola dan

memanfaatkan.

Upaya untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan masih kurang, baik

yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta.

Minimnya porsi pembiayaan yang disediakan untuk mendukung pengelolaan

sumberdaya laut;

Kurangnya skill / keterampilan yang dimiliki masyarakat.

18

III.4. Bidang Lingkungan Perairan

Rusaknya terumbu karang akibat aktifitas manusia seperti penangkapan

ikan dengan menggunakan bom dan bius serta penambangan karang.

Menurunnya kualitas lingkungan akibat aktivitas masyarakat yang

membuang sampah dan limbah rumah tangga secara sembarang di pinggir

pantai/ laut.

Terjadinya abrasi dan erosi pantai akibat ombak besar dan angin kencang.

Ketersedian air bersih pada musim kemarau tidak mencukupi kebutuhan

masyarakat, akibat debit air yang kecil.

Masih kurangnya sistem pengawasan masyarakat dalam pelestarian

terumbu karang.

Masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang lingkungan, seperti

membuang sampah / limbah dan tinja dipinggir laut.

19

IV. ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

IV.1. Strategi dan Kegiatan Dalam Bidang Perikanan Budidaya

Pelatihan budidaya rumput laut dan ikan kerapu serta pelatihan pelatihan

lainnya yang mendukung bidang perikanan budidaya.

IV.2. Strategi dan Kegiatan Dalam Bidang Perikanan Tangkap

Pembuatan Daerah Perlindungan Laut / DPL ( yaitu : 1O % dari luas

terumbu karang yang terdapat di Desa Patikarya ).

Pembentukan dan Penguatan kelompok pengawasan berbasis

masyarakat/SISWASMAS dalam menjaga terumbu karang.

Penegakan PERDES tentang Larangan Pemanfaatan Sumberdaya Laut

dalam wilayah DPL.

Penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan.

Penyadaran dan pendidikan masyarakat tentang arti penting sumberdaya

terumbu karang.

IV.3. Strategi dan Kegiatan Dalam Bidang Pengolahan Hasil Perikanan

Pembentukan LKM (Lembaga Keuangan Mikro) di desa dengan sistem

manajemen standar.

Pemberian skema kredit bagi pengembangan usaha masyarakat.

Pelatihan Pengelolaan Keuangan Mikro dan pembukuan bagi pengurus

LKM.

Upaya pengembangan mata pencaharian alternative (MPA) yang dapat

mengurangi tekanan terhadap ekosistem terumbu karang serta memiliki nilai

tambah yang mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Melakukan beberapa pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan keterampilan

masyarakat (pelatihan pembuatan abon ikan, pembuatan es untuk

ikan/kulkas produksi, dan ikan hias)

20

IV.4. Strategi dan Kegiatan Dalam Bidang Lingkungan Perairan

Penanaman bakau/mangrove

Pembangunan Gedung Pertemuan/Meeting Hold.

Pengadaan sarana Pengawasan Terumbu Karang (perahu lolloro)

Pembangunan lnfo Center

Pembangunan pos pemantau terumbu karang.

Pengadaan HT, teropong dan GPS.

Pembangunan Tanggul penahan ombak.

Pembangunan MCK

Pembangunan TPA

Pembangunan sistem drainase

Penyediaan air bersih (sumur bor)

Pengadaan sistem perpipaan

Pembuatan pagar permanen Meeting Hold

Pembangunan tambatan perahu

Rehab/pemeliharaan sarana pengawasan/jolloro'

21

V. PELAKSANAAN PROGRAM

Praktek Kerja Lapang dilaksanakan di Desa Patikarya, Kecamatan

Bontosikuyu, dan beberapa desa di wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar,

Sulawesi Selatan. Pelaksanaan kegiatan praktek kerja lapang terdiri atas kegiatan

umum dan kegiatan khusus yang berlangsung pada tanggal 21 Juli - 21 Agustus

2011.

V.1. Kegiatan Umum

Kegiatan umum terdiri dari beberapa kegiatan dan materi, yaitu meliputi :

1. Organisasi dan kelembagaan COREMAP II

2. Menjalankan Kuisioner wawancara dari Mitra bahari di beberapa desa di

Kabupaten Kepulauan Selayar (Desa Bontoborusu, Desa Kahu-Kahu, Desa

Bontosunggu, Desa Barat Lambongan, Desa Bontolebang, dan Desa Patikarya)

3. Menginput data profil desa yang ada di Kabupaten Kepulauan Selayar

4. Menginput data (CREEL) pada tingkat desa yang ada di Kabupaten Kepulauan

Selayar

V.2. Kegiatan Khusus

Kegiatan khusus adalah kegiatan yang sesuai dengan judul Praktek Kerja

Lapang yaitu Monitoring Ekosistem Terumbu Karang di desa Patikarya, Kecamatan

Bontosikuyu, Kabupaten Kepulauan Selayar.

22

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI.1. Gambaran Umum Lokasi

VI.1.1. Kondisi Geografis

Desa Patikarya merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah

administratif Kecamatan Bontosikuyu. Secara geografis Desa Patikarya terletak di

pesisir pantai barat bagian selatan pulau Selayar, dengan batas wilayah: sebelah

utara Desa patilereng dan Desa Bontotangnga, sebelah selatan Desa Harapan,

sebelah timur Desa Harapan/Desa Patilereng dan sebelah barat berbatasan dengan

laut Frores. Luas wilayah daratan Desa Patikarya secara keseluruhan mencapai

13,45 km2, dan pemerintahan terbagi menjadi 4 (empat) buah dusun, yaitu : Dusun

Tile-Tile Utara, Tile-Tile Selatan, Lembangia dan Bontote'ne dengan jumlah RK dan

RT 11 orang.

Jarak antara Desa Patikarya dengan ibukota Kecamatan Bontosikuyu

(Pariangan) adalah 3,5 km dengan waktu tempuh 15 menit dengan menggunakan

kendaraan roda dua dan roda empat, sedangkan jarak dengan ibukota Kabupaten

(Benteng) adalah 15 km, dengan waktu tempuh 30 menit.

VI.1.2. Kondisi Iklim

Secara umum bentuk topografi daratan Desa Patikarya relatif datar pada

bagian barat (daerah pantai), sedangkan pada bagian barat agak berbukit (Dusun

Bontote,ne dan Dusun lembangia) dengan ketinggian dari permukaan laut sekitar 0

- 200 meter dengan curah hujan rata-rata pertahun sebesar 214 mm. Di Desa

patikarya dikenal ada 5 musim, yaitu: musim Barat (Bulan Desember - Februari ),

musim Timur.{Bulan Mei - Agustus), Pancaroba (September - November dan Maret

- Mei), musim Hujan (November - Januari), dan musim Kemarau (Juli - November)

dengan suhu rata-rata sebesar 25 -380 C.

23

Di sepanjang pantai/perairan Desa Patikarya terdapat dua taka, yaitu Taka

Rompong dan Taka Harayya, dimana menurut hasil penelitian yang telah dilakukan

oleh CRLTC Coremap ll Selayar Taka Harayya masih dikategorikan dalam kondisi

bagus dan atas kesepakatan masyarakat dan pemerintah Desa Patikarya, Taka

Harayya ditetapkan sebagai Daerah Perlindungan Laut (DPL).

VI.1.3. Kondisi Sosial Budaya

A. Pendidikan

Tingkat pendidikan penduduk desa patikarya masih tergolong rendah. Hal ini

terlihat dari tingkat pendidikan rata-rata penduduk yang hanya tamatan SD (Sekolah

Dasar). Adapun orang yang dijadikan sebagai tokoh masyarakat/panutan di desa ini

kebanyakan adalah pegawai negeri sipil yang sudah pensiun, dimana peran dari

tokoh masyarakat tersebut cukup besar.

B. Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk Desa Patikarya berdasarkan pengkajian demografi yaitu

sebanyak 1.366 jiwa yang terdiri dari laki-laki 651 jiwa dan perempuan 715 jiwa

dengan jumlah KK sebanyak 340 KK. Berikut ini tabel komposisi jumlah penduduk

Desa patikarya.

Tabel 2. KomposisiJumlah Penduduk Desa patikarya

Kondisi Sosial Budaya. Penduduk Desa patikarya umumnya didominasi oleh

penduduk asli Selayar, hanya beberapa orang saja suku Bugis, yaitu sebanyak lima

orang dan satu orang suku jawa. Penduduk yang bukan asli orang selayar tersebut

24

merupakan pendatang dan akhirnya menetap di desa tersebut karena berkeluarga

dengan penduduk setempat.

Dalam kehidupan sosial masyarakat tidak terdapat perbedaan strata sosial

yang tajam, tercermin dari pola hidup yang homogen, sifat kekeluargaan dan

kegotongroyongan yang sangat kental dalam kehidupan kemasyarakatan.

Perbedaan strata hanya ditandai dari jenis mata pencaharian, konstruksi rumah dan

nilai ketokohan. Model rumah masyarakat Desa Patikarya sudah sangat beragam,

mulai dari rumah panggung sampai permanen, dimana penduduk yang mempunyai

konstruksi rumah yang sudah permanen umumnya bermata pencaharian sebagai

pedagang dan pegawai negeri, sedangkan model rumah panggung kebanyakan

pemiliknya adalah bermata pencaharian sebagai nelayan.

Dari aspek gender, perempuan memberikan kontribusi dalam keluarga yang

cukup besar, selain mengurus rumah tangga, perempuan juga bekerja membantu

perekonomian keluarga, seperti membuat minyak kelapa, mencari kayu bakar,

menjual ikan, menjual kue.

C. Tingkat Perekonomian

Perekonomian Desa Patikarya bertumpu pada sektor jasa perdagangan,

perikanan dan kelautan pada daerah pesisir pantai (sebelah barat), sedangkan

pada bagian timur masyarakat hidup dari pertanian, perkebunan, kehutanan serta

peternakan. Di samping itu terdapat pula sektor jasa transportasi dan usaha

kerajinan/keterampilan. Berikut adalah jenis mata pencaharian penduduk Desa

patikarya.

25

Berdasarkan Tabel 3, dapat terlihat bahwa pada umumnya masyarakat Desa

patikarya berprofesi sebagai petani (pertanian tanaman pangan), seperti: jagung

dan ubi kayu. Luas lahan pertanian sekitar 53 ha, jumlah rumah tangga petani

adalah 151 RTP yang terdiri dari 101 RTP memiliki lahan pertanian lebih dari 0,5 ha

dan 50 RTP memiliki lahan pertanian 0-0,5 ha, sedang hasil hutan yang menonjol

adalah bambu dengan kapasitas 100 batang pertahun.

Profesi sebagai nelayan menempati urutan kedua, dimana terdapat 75 (tujuh

puluh lima) orang masyarakat Desa patikarya yang menjadikan laut sebagai

tumpuan ekonomi melalui usaha penangkapan dan budidaya ikan.

Pancing dan jaring merupakan dua jenis alat tangkap yang rata-rata

digunakan oleh nelayan di Desa Patikarya. Jenis tangkapan dengan menggunakan

pancing adalah ikan kakap, tinumbu, cakalang dan ikan sunu, sedangkan yang

menggunakan jaring adalah ikan padang lamun. Adapun sarana yang digunakan

26

untuk menangkap ikan adalah perahu mesin dan perahu tanpa mesin. sedangkan

lokasi penangkapan adalah di sekitar terumbu karang.

D. Sarana dan prasarana

Jenis sarana dan prasarana yang terdapat di Desa patikarya, secara umum

sudah memadai, walaupun sebagian masih ada yang kurang, seperti: jalan desa

yang panjangnya 2 km masih tanah atau belum teraspal, sehingga pada musim

hujan jalannya tergenang air dan licin. Ketersediaan sarana lingkungan juga masih

kurang yaitu tidak ditemukannya bak pembuangan sampah. Tidak adanya bak

penampungan sampah, menyebabkan masyarakat sebagian besar masih

membuang sampah di laut walaupun sebagian ada yang di bakar dan ada juga

yang ditanam. Permasalahan kurangnya sistem drainase menyebabkan air tidak

dapat mengalir ke pembuangan akhir yaitu sungai, sehingga pada musim hujan

menyebabkan pada lokasi lokasi tertentu tergenang air dan dampaknya rentang

terhadap sumber bibit penyakit.

Sedangkan masalah yang ketiga adalah masih banyaknya masyarakat yang

tidak memiliki jamban keluarga, sehingga masih banyak yang membuang hajat di

pinggir laut. Hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran masyarakat dan

rendahnya tingkat ekonomi, sehingga untuk membuat jamban keluarga mereka

27

kurang mampu dan golongan ini adalah sebagian besar bermata pencaharian

sebagai nelayan.

E. Kelembagaan

Untuk menggerakkan kegiatan produktif, maka di Desa patikarya juga telah

dibentuk lembaga keuangan mikro/LKM dengan usaha simpan pinjam dimana

pemanfaatnya sampai saat ini berjumlah 65 orang dan usaha 1 buah koperasi desa

dengan beberapa jenis usaha dengan jumlah anggota 25 orang.

Organisasi politik yang menonjol adalah: PAN, GOLKAR, PPP, PKB dan

PDIP, sedangkan organisasi kemasyarakatan yang ada adalah: PKK dengan

28

jumrah anggota 18 orang, organisasi olah raga 56 orang, karang taruna dan

kepemudaan 18 orang.

Organisasi dan Kelembagaan COREMAP II di Desa Patikarya

Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coral Reef

Rehabilitations and Managemen Program) COREMAP adalah salah satu program

pemerintah RI yang secara langsung bertujuan merehabilitasi, memelihara dan

melestarikan kondisi terumbu karang di Indonesia. Dalam perencanaannya

COREMAP terbagi kedalam tiga fase, yakni fase I (Inisiasi), fase II ( Akselerasi) dan

fase III (Institutionalisasi). Pembiayaan untuk program COREMAP didukung oleh

Asian Development Bank dan World Bank.

Struktur organisasi COREMAP ( Gambar.1) pada hakekatnya merupakan

struktur hierarki fungsional atau hubungan tugas, wewenang dan tanggung jawab

dari para pelaku COREMAP dalam rangka pelaksanaan program. Struktur tersebut

telah mempertimbangkan kebutuhan lingkup kerja COREMAP serta sistem

informasi yang akan digunakan. Agar struktur yang dimaksud dapat berjalan sesuai

dengan rencana, maka perlu adanya dukungan kemampuan berkomunikasi dan

koordinasi dari tiap unsur yang ada.

Pelaku utama COREMAP adalah masyarakat selaku pengambil keputusan

di desa. Sedangkan pelaku-pelaku di tingkat kecamatan, kabupaten dan seterusnya

lebih berfungsi sebagai fasilitator, pembimbing dan pembina agar tujuan, prinsip-

prinsip, kebijakan, prosedur dan mekanisme COREMAP dapat tercapai, dipenuhi

dan dilaksanakan secara benar dan konsisten. Struktur kelembagaan COREMAP

berdasarkan hirarki fungsional terbagi menjadi 5 tingkatan, yakni Nasional, Provinsi,

Kabupaten, Kecamatan dan Desa.

Dalam penyusunan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang fungsi

masyarakat sebagai pihak yang paling berkepentingan dalam penbuatan RPTK

29

akan diwakilkan kepada Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang

(LPSTK) yang juga akan menjadi lembaga pelaksana RPTK sebagaimana yang

diatur dalam strategi CBM COREMAP II. LPSTK akan membentuk Tim Penyusun

terdiri dari beberapa orang dari anggota LPSTK yang bertugas secara teknis

mempersiapkan, melaksanakan, menyusun dan konsultasi publik sebagai rangkaian

kegiatan pembuatan.

30

Dari semua pihak yang ada, yang akan berperan paling penting di tingkat

desa adalah pemerintah desa atau badan yang dibentuk sebagai penanggung

jawab pelaksana rencana pengelolaan yaitu Lembaga Pengelola Sumberdaya

Terumbu Karang (LPSTK). Untuk mempermudah alur pelaksanaan tugas dan

tanggung jawab pelaksanaan rencana pengelolaan di tingkat desa, maka ditata

struktur atau bagian pelaksana rencana pengelolaan seperti gambar berikut:

Gambar 3. Struktur Pelaksana Rencana Pengelolaan Tingkat DesaTugas dan Tanggung Jawab:

1. Kepala Desa dan BPD

Fungsi dan peran Kepala Desa adalah sebagai pembina dan pengendali

kelancaran serta keberhasilan pelaksanaan COREMAP, kepala desa bersama-

sama BPD akan memberikan konsultasi kepada LPSTK dalam proses penyusunan

Rencana Pengelolaan Terumbu Karang. Untuk memperkuat pelaksanaan rencana

pengelolaan terumbu karang maka Kepala Desa dan BPD akan membuat PERDES

tentang RPTK dan system pengawasan sumberdaya ekosistem terumbu karang

berbasis masyarakat.

31

2. Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK)

Lembaga Pengelola Sumberdaya TerumbuKarang (LPSTK) adalah suatu

organisasi yang terdiri dari wakil-wakil Pokmas ditambah dengan Motivator Desa.

Pembentukan LPSTK ini difasilitasi oleh Fasilitator Masyarakat dengan melibatkan

pemerintah desa dan BPD. LPSTK bertanggungjawab kepada masyarakat dan

PMU. LPSTK mempunyai peran Memberikan dukungan operasional kepada

Pokmas khususnya untuk meningkatkan kinerja Pokmas pada masing-masing

sesuai bidang kiprahnya.

LPSTK terdiri dari anggota kelompok masyarakat yang dipilih melalui

musyawarah desa, yang secara umum mempunyai fungsi dan peran mengelola

kegiatan yang didanai oleh COREMAP. Struktur organisasi LPSTK terdiri dari

Ketua, Sekretaris dan Bendahara masing-masing memiliki tugas dan tanggung

jawab sendiri.

Adapun tugas LPSTK antara lain:

1. Menerima dan menyalurkan dana bantuan desa untuk pembangunan

prasarana social (Village Grant) kepada masyarakat.

2. Mencatat dan mendokumentasikan kegitan Pokmas.

3. Membukukan penggunaan dana bantuan.

4. Membantu Pembuatan RPTK.

5. Membantu mengatasi penyelesaian Pokmas bermasalah.

6. Melakukan pemeriksaan pembukuan Pokmas.

7. Berperan sebagai tim vertifikasi dalam memeriksa usulan proposal Pokmas.

8. Membantu melakukan identifikasi seluruh potensi dan mengembangkan.

9. Membantu menyeleksi lembaga keuangan penyalur seed fund.

10. Mengevaluasi kinerja Motivator Desa dan melakukan pelaporan ke PMU.

11. Mengelola Pusat lnformasi masyarakat.

32

12. Membuat pelaporan pelaksanaan RPTK kepada pemerintah desa.

3. Lembaga Keuangan Mikro (LKM)

Lembaga Keungan Mikro adalah lembaga perkreditan masyarakat yang

dijadikan sebagai wadah simpan pinjam. LKM mengelola dana-dana yang

diperuntukkan bagi masyarakat yang sifatnya bergulir. LKM tidak bertanggung

jawab langsung kepada kepala desa ataupun BPD, tetapi LKM bertanggung jawab

kepada anggotanya. LKM akan mendukung kebutuhan permodalan bagi kegiatan

produktif masyarakat yang layak untuk mendapatkan bantuan. LKM juga dapat

menerima dukungan dana dari pihak ketiga untuk memperkuat modal dengan

ketentuan-ketentuan khusus.

4. Motivator Desa

Motivator desa merupakan motor penggerak dari proses pelaksanaan

berbagai kegiatan yang dilaksanakan di tingkat desa, meskipun dalam struktur

Motivator Desa tidak mempunyai hirarki dengan kepala desa dan BPD akan tetapi

motivator dapat memberikan masukan-masukan penyempurnaan rencana

pengelolaan termasuk mengkritisi jika terjadi kekeliruan dalam pelaksanaan rencana

pengelolaan.

5. Kelompok Masyarakat {Pokmas}

Kelompok masyarakat adalah suatu organisasi atau kelompok masyarakat

desa yang telah ada atau sengaja dibentuk di desa. Pokmas berfungsi sebagai

wadah aspirasi, fikiran dan tuiuan bersama untuk memudahkan diseminasi

informasi atau melibatkan seiumlah masvarakat di desa.

VI.2. Batas Wilayah DPL Patikarya

Lokasi DPL desa Patikarya terletak di Dusun Patikarya (pantai barat Pulau

Selayar), yang terletak 300 m dari bibir pantai. Luas keseluruhan DPL desa

Patikarya adalah 10,4 ha yang hanya terdiri dari 2 zona yakni zona inti (3 ha) dan

33

zona pemanfaatan (7,4 ha karena tidak ada batas antara zona penyangga dengan

zona pemanfaatan). Hal ini dikarenakan pemahaman masyarakat yang masih

sangat kurang akan adanya pembagian zona tersebut. Karena menurut mereka

wilayah penangkapannya akan semakin sempit. Sehingga para pembina dari

COREMAP memutuskan untuk menyerahkan kepada masyarakat dengan

ketentuan DPL tersebut dijaga dengan sebaik baiknya.

Adapun batas wilayah DPL desa Patikarya adalah sebelah utara berbatasan

dengan desa Bontotangnga dan desa Bontosunggu (Padang), sebelah Barat

berbatasan dengan pulau Pasi dan laut Sulawesi, sebelah Selatan berbatasan

dengan laut Flores dan sebelah Timur berbatasan dengan pantai Patikarya.

Gambar 4. Peta Lokasi DPL Desa Patikarya

34

VI.3. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang

Gambar 5. Peta lokasi monitoring terumbu karang di desa Patikarya

Monitoring kondisi ekosistem terumbu karang di DPL desa Patikarya

dilakukan di 2 titik yang berbeda yakni titik 1 pada kedalaman 3 m (DPL 1) dan titik

2 pada kedalaman 10 m (DPL 2). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kondisi

terumbu karang pada lokasi DPL 1 tergolong sedang. Hal ini ditunjukkan dengan

persentase tutupan karang hidup pada lokasi ini hanya mencapai 42% sedangkan

tutupan karang mati sebesar 38% dan komponen abiotik memiliki tutupan seluas

20% di atas transek yang ditarik sepanjang 25 meter. Sedangkan kondisi terumbu

karang pada lokasi DPL 2 tergolong baik. Hal ini ditunjukkan dengan persentase

tutupan karang hidup pada lokasi ini mencapai 58% sedangkan tutupan karang mati

sebesar 34% dan komponen abiotik memiliki tutupan seluas 8%. Jika dilihat dari

data yang ada maka bisa dikatakan titik 2 (DPL 2) kondisi terumbu karangnya jauh

lebih baik dibandingkan titik 1 (DPL 1)

35

Gambar 6. Persentase tutupan karang di DPL Patikarya menggunakan metode PIT

Gambar 7. Persentase tutupan karang di DPL desa Patikarya

36

Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011

Gambar 8. Persentase tutupan karang di DPL Patikarya menggunakan metode PIT

Gambar 9. Persentase tutupan karang di DPL Patikarya dari tahun 2009 - 2011

37

Monitoring kondisi ekosistem terumbu karang di DPL desa Patikarya yang

dilakukan dari tahun 2009, 2010, dan 2011 (DPL 2) diambil pada titik yang sama.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang pada tahun 2009

tergolong baik. Hal ini ditunjukkan dengan persentase tutupan karang hidup pada

tahun tersebut mencapai 60% sedangkan tutupan karang mati sebesar 38% dan

komponen abiotik memiliki tutupan seluas 2% di atas transek yang ditarik sepanjang

25 meter. Sebaliknya kondisi terumbu karang pada tahun 2010 justru menurun

(tergolong sedang). Hal ini ditunjukkan dengan persentase tutupan karang hidup

yang hanya mencapai 48% sedangkan tutupan karang mati sebesar 36% dan

komponen abiotik memiliki tutupan seluas 16%. Dan pada tahun 2011 kondisi

terumbu karang kembali membaik (tergolong baik). Hal ini bisa dilihat dengan

persentase tutupan karang hidupnya yang mencapai 58% sedangkan tutupan

karang mati sebesar 34% dan komponen abiotik memiliki tutupan seluas 8%.

VII. PENUTUP

VII.1. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kegiatan praktek lapang di wilayah kerja COREMAP II

dalam hal ini Desa Patikarya, Kecamatan Bontosikuyu, Kabupaten Kepulauan

Selayar maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Kondisi ekosistem terumbu karang di desa Patikarya tergolong baik di tahun

2011 ( tutupan karang hidup sebesar 58% untuk DPL 2 dan 42% untuk DPL 1

atau rata-rata tutupan karang hidup 50%).

2. Kondisi ekosistem terumbu karang di desa Patikarya dari tahun 2009 – 2011

sangat tidak stabil. Pada tahun 2009 kondisi terumbu karang tergolong baik

38

(tutupan karang hidup 60%) akan tetapi terjadi penurunan drastis pada tahun

2010 (tutupan karang hidup 48%) meskipun di tahun 2011 kondisi terumbu

karangnya kembali membaik ( tutupan karang hidup sebesar 58% untuk DPL 2

dan 42% untuk DPL 1 atau rata-rata tutupan karang hidup 50%).

3. Pelaksanaan Program dan Kegiatan COREMAP II di Desa Patikarya,

Kecamatan Bontosikuyu, Kabupaten Kepulauan Selayar terlaksana dengan

baik. Hal ini terlihat dengan banyaknya fasilitas dari COREMAP yang ada di

desa tersebut dan masih dimanfaatkan serta masih terawat sampai saat ini.

Selain itu masyarakat cukup antusias melaksanakan kegiatan – kegiatan

COREMAP dan terutama pengawasan DPLnya yang bagus.

VII.2. SARAN

Supaya program PKL yang akan datang untuk lebih dimaksimalkan lagi, baik

itu program yang akan dikerja peserta PKL maupun yang berkaitan dengan judul

mahasiswa itu supaya tidak terjadi tumpang tindih dalam proses pelaksanaan PKL.

DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D.G. dan Widinugraheni, P., 1995. Sebaran spasial karang Scleractinia dan asosiasinya dengan karakteristik habitat di pantai Blebu dan Pulau Sekepal, Lampung Selatan. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Terumbu Karang, 10-12 Oktober 1995, Jakarta

English, S. C. Wilkinson and V.Baker, 1997. Survey Manual For Tropical marine Resources 2nd ed. Australian Institute of Marine Science, Townville.

Gomez, E.D. and H.T. Yap, 1988. Monitoring reef condition In : R.A. Kenchington & B.E.T. Hudson (eds). Coral Reef Management handbook, UNESCO Jakarta : 187-195.

Manuputty Anna, E.W. 2006. Manual Monitoring Kesehatan Karang (Reef Health Monitoring). CRITIC. Jakarta.

Manuputty, A.E.W., dan Djuwariah, 2009. Panduan Metode Point intercept Trakseck (PIT) untuk Masyarakat. CRITC COREMAP Indonesia : Jakarta

39

Nontji, A., 1984. Peranan Zooxanthellae dalam Ekosistem Terumbu Karang. LON-LIPI, Jakarta.

Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut; Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia, Jakarta.

Supriharyono, 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan, Jakarta

40

Lamp. 1 Data Lapangan

(Karang) Menggunakan Metode PIT

41

No

Pati Karya 1 Pati Karya 2

Transect Categori TransectCategor

i26 13 RCK 13 NA27 13,5 AC 13,5 S28 14 DCA 14 AC29 14,5 AC 14,5 DCA30 15 DCA 15 AC31 15,5 DCA 15,5 DCA32 16 S 16 DCA33 16,5 DCA 16,5 NA34 17 S 17 SC35 17,5 S 17,5 R36 18 S 18 NA37 18,5 DCA 18,5 SC38 19 DCA 19 DCA39 19,5 NA 19,5 S40 20 NA 20 DCA41 20,5 S 20,5 NA42 21 DCA 21 NA43 21,5 DCA 21,5 AC44 22 DCA 22 NA45 22,5 S 22,5 S46 23 DCA 23 DCA47 23,5 NA 23,5 S48 24 DCA 24 AC49 24,5 NA 24,5 NA50 25 DCA 25 NA

No

Pati Karya 1 Pati Karya 2

Transect Categori TransectCategor

i1 0,5 S 0,5 AC2 1 DCA 1 DCA3 1,5 NA 1,5 NA4 2 NA 2 AC5 2,5 DCA 2,5 DCA6 3 NA 3 AC7 3,5 R 3,5 DCA8 4 NA 4 AC9 4,5 NA 4,5 DCA

10 5 S 5 SC11 5,5 NA 5,5 NA12 6 DCA 6 DCA13 6,5 DCA 6,5 AC14 7 NA 7 NA15 7,5 AC 7,5 NA16 8 DCA 8 DCA17 8,5 NA 8,5 A18 9 DCA 9 AC19 9,5 NA 9,5 DCA20 10 NA 10 DCA21 10,5 S 10,5 DCA22 11 SC 11 SC23 11,5 NA 11,5 NA24 12 NA 12 NA25 12,5 SC 12,5 DCA

Lamp. 2 Gambar Karang Dan Substrat

AC (Acropora)

NA (Non Acropora)

42

NoCategor

i Keterangan Golongan 1 AC Acropora

Karang Hidup

2 NA Non Acropora3 SC Soft Coral4 SP Sponge5 OT Others6 A Algae7 R Rubble

Karang mati

8 DCA Dead Coral with Algae9 DC Dead Coral

10 RCK Rock

Abiotik11 S Sand12 Si Silt

43

44

RB (RUBLE) DAN R (ROCK)

Lamp. 3 Struktur Pengurus PMB COREMAP II dan Organisasi LPSTK Desa Patikarya

45

Lamp. 4 Peta Lokasi DPL Kab. Selayar dan Fasilitas Coremap Di Desa Patikarya

46

Lamp. 5 Foto Kegiatan Wawancara Dengan Masyarakat Nelayan

47

Lamp. 6 Foto Kegiatan Pengambilan Data Di Lokasi DPL Patikarya

Lamp. 7 Foto Atribut DPL (Pelampung, Bendera, Papan

Nama)

48

49

50