LaporanPemicu 3 Ginjal Dan Cairan Tubuh

66
BAB I PENDAHULUAN Pemicu 3 Tn. S, usia 45 tahun datang berobat ke UGD dengan keluhan panas tinggi, sakit kepala dan menggigil sejak 4 hari yang lalu disertai kencing berwarna merah kehitaman. Sejak kemarin sore tidak buang air kecil dan merasa sesak nafas. Dua minggu sebelumnya tuan S pergi keperluan dinas di Papua selama 2 hari. 1.1. Kata Kunci - Tn. S, umur 45 tahun. - Panas tinggi. - Sakit kepala dan menggigil. - Kencing berwarna merah kehitaman. - Tidak BAK sejak kemarin. - Sesak napas. - Keperluan dinas ke Papua. 1.2. Rumusan Masalah Tn. S, 45 tahun dengan keluhan sakit kepala dan menggigil, panas tinggi dan kencing berwarna merah kehitaman.

description

ginjal dan cairan tubuh

Transcript of LaporanPemicu 3 Ginjal Dan Cairan Tubuh

BAB I

PENDAHULUAN

Pemicu 3

Tn. S, usia 45 tahun datang berobat ke UGD dengan keluhan panas tinggi, sakit

kepala dan menggigil sejak 4 hari yang lalu disertai kencing berwarna merah

kehitaman. Sejak kemarin sore tidak buang air kecil dan merasa sesak nafas. Dua

minggu sebelumnya tuan S pergi keperluan dinas di Papua selama 2 hari.

1.1. Kata Kunci

- Tn. S, umur 45 tahun.

- Panas tinggi.

- Sakit kepala dan menggigil.

- Kencing berwarna merah kehitaman.

- Tidak BAK sejak kemarin.

- Sesak napas.

- Keperluan dinas ke Papua.

1.2. Rumusan Masalah

Tn. S, 45 tahun dengan keluhan sakit kepala dan menggigil, panas tinggi dan

kencing berwarna merah kehitaman.

1.3. Hipotesis

1.4. Analisis Masalah

1.5. Pertanyaan Diskusi

1. Apa yang dimaksud dengan gagal ginjal?

2. Bagaimana epidemiologi gagal ginjal?

3. Apa penyebab gaga ginjal?

4. Apa klasifikasi gagal ginjal?

5. Bagaimana patofisiologi gagal ginjal?

6. Apa gejala klinis gagal ginjal?

7. Apa faktor resiko dan predisposisi gagal ginjal?

8. Apa saja pemeriksaan penunjang gagal ginjal?

9. Bagaimana menegakkan diagnosis pada gagal ginjal?

10. Bagaimana tatalaksana gagal ginjal?

11. Apa yang dimaksud dengan gagal ginjal akut?

12. Bagaimana klasifikasi gagal ginjal akut?

13. Apa yang dimaksud dengan sindrom nefrotik?

14. Apa yang dimaksud dengan glomerulonefritis?

15. Apa yang dimaksud dengan blackwater fever?

16. Apa itu malaria?

17. Jelaskan mengenai analisis gas darah!

18. Mengapa tn. S mengalami sesak nafas?

19. Mengapa air kencing tn. S berwarna merah kehitaman?

20. Mengapa tn. S tidak buang air kecil 1 hari sebelumnya?

21. Bagaimana perbedaan gagal ginjal akut dan kronis?

22. Bagaimana perbedaan gagal ginjal, glomerulonefritis dan blackwater

fever?

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Gagal Ginjal

a. Definisi

Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga

minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung

reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa

metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan

dan elektrolit.

Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya

normal (AKI “klasik”) atau tidak normal (acute on chronic kidney

disease). Dahulu, hal di atas disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak

ada definisi operasional yang seragam, sehingga parameter dan batas

parameter gagal ginjalakut yang digunakan berbeda-beda pada

berbagai kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain

kesulitan membandingkan hasil penelitian untuk kepentingan meta-

analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat diagnosis dini

dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan

dapat menggambarkan prognosis pasien.

Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI)

yang beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika pada

tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian

istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman

masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi

injury dianggap lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal.

Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut beberapa hal

antara lain (1) kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap

penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum

ternyata mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis

mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan

urine output (UO) yang seringkali mendahului peningkatan Cr serum;

(4) penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO dan

LFG mengingat belum adanya penanda biologis (biomarker)

penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di mana saja.

ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE

yang terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum

atau penurunan LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya

penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggambarkan

prognosis gangguan ginjal, seperti yang terlihat pada tabel.

Tabel 1

Kategori Peningkatan kada cr serum

Penurunan LFG Kriteria Output Urin

Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,>6 jam

Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,>12 jam

Failure >3,0 kali nilai dasaratau >4 mg/dL

dengan kenaikan akut > 0,5 mg/dL

>75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam,>24 jam atau

anuria >12 jam

Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 mingguEnd stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 bulan

b. Patofisiologi

Sebagian besar penyakit ginjal menyerang nefron, mengakibatkan

kehilangan kemampuannya untuk menyaring. Kerusakan pada nefron

dapat terjadi secara cepat, sering sebagai akibat pelukaan atau

keracunan. Tetapi kebanyakan penyakit ginjal menghancurkan nefron

secara perlahan dan diam-diam. Kerusakan hanya tertampak setelah

beberapa tahun atau bahkan dasawarsa. Sebagian besar penyakit ginjal

menyerang kedua buah ginjal sekaligus.

Gagal ginjal terminal terjadi bila fungsi ginjal sudah sangat buruk,

dan penderita mengalami gangguan metabolisme protein, lemak, dan

karbohidrat. Ginjal yang sakit tidak bisa menahan protein darah

(albumin) yang seharusnya tidak dilepaskan ke urin. Awalnya terdapat

dalam jumlah sedikit (mikro-albuminuria). Bila jumlahnya semakin

parah akan terdapat pula protein lain (proteinuria). Jadi, berkurangnya

fungsi ginjal menyebabkan terjadinya penumpukan hasil pemecahan

protein yang beracun bagi tubuh, yaitu ureum dan nitrogen.

Kemampuan ginjal menyaring darah dinilai dengan perhitungan

Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) atau juga dikenal dengan Glomerular

Filtration Rate (GFR). Kemampuan fungsi ginjal tersebut dihitung dari

kadar kreatinin (creatinine) dan kadar nitrogen urea (blood urea

nitrogen/BUN) di dalam darah. Kreatinin adalah hasil metabolisme sel

otot yang terdapat di dalam darah setelah melakukan kegiatan, ginjal

akan membuang kretinin dari darah ke urin. Bila fungsi ginjal

menurun, kadar kreatinin di dalam darah akan meningkat. Kadar

kreatinin normal dalam darah adalah 0,6-1,2 mg/dL. LFG dihitung dari

jumlah kreatinin yang menunjukkan kemampuan fungsi ginjal

menyaring darah dalam satuan ml/menit/1,73m.

Kemampuan ginjal membuang cairan berlebih sebagai urin

(creatinine clearence unit) di hitung dari jumlah urin yang dikeluarkan

tubuh dalam satuan waktu, dengan mengumpulkan jumlah urin

tersebut dalam 24 jam, yang disebut dengan C_crea (creatinine

clearence). C_cre normal untuk pria adalah 95-145 ml/menit dan

wanita 75-115 ml/menit.

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada gagal ginjal kronik menurut Doenges

(1999) adalah :

1) Urine

a) Volume, biasnya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau

urine tidak ada.

b) Warna, secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh

pus, bakteri, lemak, pertikel koloid, fosfat atau urat.

c) Berat jenis urine, kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010

menunjukkan kerusakan ginjal berat)

d) Klirens kreatinin, mungkin menurun

e) Natrium, lebih besar dari 40 meq/L karena ginjal tidak mampu

mereabsobsi natrium.

f) Protein, derajat tinggi proteinuria (3-4 +) secara kuat

menunjukkan kerusakan glomerulus.

2) Darah

a) Hitung darah lengkap, Hb menurun pada adaya anemia, Hb

biasanya kurang dari 7-8 gr .

b) Sel darah merah, menurun pada defesien eritropoetin seperti

azotemia.

c) GDA, pH menurun, asidosis metabolik (kurang dari 7,2)

terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk

mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil akhir katabolisme

prtein, bikarbonat menurun, PaCO2 menurun.

d) Kalium, peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai

perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan)

e) Magnesium fosfat meningkat

f) Kalsium menurun

g) Protein (khusus albumin), kadar serum menurun dapat

menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan

cairan, penurunan pemasukan atau sintesa karena kurang asam

amino esensial.

h) Osmolaritas serum: lebih beasr dari 285 mOsm/kg, sering

sama dengan urin.

3) Pemeriksaan radiologik

a) Foto ginjal, ureter dan kandung kemih (kidney, ureter dan

bladder/KUB): menunjukkan ukuran ginjal, ureter, kandung

kemih, dan adanya obstruksi (batu).

b) Pielogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan

mengidentifikasi ekstravaskuler, masa

c) Sistouretrogram berkemih; menunjukkan ukuran kandung

kemih, refluks kedalam ureter dan retensi.

d) Ultrasonografi ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanya

masa, kista, obstruksi pada saluran perkemuhan bagian atas.

e) Biopsy ginjal: mungkin dilakukan secara endoskopik, untuk

menentukan seljaringan untuk diagnosis hostologis.

f) Endoskopi ginjal dan nefroskopi: dilakukan untuk menentukan

pelis ginjal (keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor

selektif).

g) Elektrokardiografi/EKG: mingkin abnormal menunjukkan

ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.

h) Fotokaki, tengkorak, kolumna spinal dan tangan, dapat

menunjukkan demineralisasi, kalsifikasi.

i) Pielogram intravena (IVP), menunjukkan keberadaan dan

posisi ginjal, ukuran dan bentuk ginjal.

j) CT scan untuk mendeteksi massa retroperitoneal (seperti

penyebararn tumor).

k) Magnetic Resonan Imaging / MRI untuk mendeteksi struktur

ginjal, luasnya lesi invasif ginjal

d. Faktor Resiko

Faktor yang dapat meningkatkan risiko gagal ginjal kronis, antara lain:

diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, merokok, kegemukan,

kolesterol tinggi, ras Afrika-Amerika, penduduk asli Amerika atau ras

Asia-Amerika, Riwayat keluarga dengan penyakit ginjal, usia 65 tahun

atau lebih.

e. Pencegahan

1) Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk

menghindari diri dari berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan

yang dapat dilakukan, antara lain:

a) Modifikasi gaya hidup

Pola hidup memegang peranan penting dalam menentukan

derajat kesehatan seseorang. Mengatur pola makan rendah

lemak dan mengurangi garam, minum air yang cukup

(disarankan 10 gelas atau dua liter per hari), berolahraga secara

teratur dan mengatur berat badan ideal, hidup dengan santai

merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga fungsi

organ tubuh untuk dapat bekerja maksimal. Bernafas dalam dan

perlahan selama beberapa menit perhari dapat menurunkan

hormon kortisol sampai 50%. Kortisol adalah hormon stress

yang apabila terdapat dalam jumlah berlebihan akan

mengganggu fungsi hampir semua sel di dalam tubuh.

Bersantai dan melakukakn latihan relaksasi serta

mendengarkan musik juga merupakan alternatif untuk

mengurangi stress.

b) Hindari pemakaian obat-obat atau zat-zat yang bersifat

nefrotoksik tanpa sepengetahuan dokter, misalnya obat pereda

nyeri yang dijual bebas dan mengandung ibuprofen maupun

obat-obatan herbal yang belum jelas kandungannya.

c) Monitoring fungsi ginjal yang teliti pada saat pemakaian obat-

obat yang diketahui nefrotoksik.

2) Pencegahan Sekunder

a) Penegakan diagnosa secara tepat

Pengelolaan terhadap penyakit ginjal yang efektif hanya

dapat dimungkinkan apabila diagnosisnya benar. Pemeriksaan

fisis yang diteliti dan pemilahan maupun interpretasi

pemeriksaan laboratorium yang tepat amat membantu

penegakan diagnosis dan pengelolaannya. Ginjal mempunyai

kaitan yang erat dengan fungsi organ-organ lain dan demikian

pula sebaliknya, oleh karena itu haruslah penderita dihadapi

secara utuh bukan hanya ginjalnya saja, baik pada pengambilan

anamnesis maupun pada pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan

lainnya.

b) Penatalaksanaan medik yang adekuat

Pada penderita gagal ginjal, penatalaksanaan medik

bergantung pada proses penyakit. Tujuannya untuk memelihara

keseimbangan kadar normal kimia dalam tubuh, mencegah

komplikasi, memperbaiki jaringan, serta meredakan atau

memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif. Tindakan

yang dilakukan diantaranya:

- Penyuluhan pasien/keluarga

Pasien lebih mampu menerima pendidikan setelah

tahap akut. Materi yang dapat dimasukkan dalam

pendidikan kesehatan meliputi: penyebab kegagalan

ginjal, obat yang dipakai (nama obat, dosis, rasional, serta

efek dan efek samping), terapi diet termasuk pembatasan

cairan (pembatasan kalium, fosfor dan protein, makan

sedikit tetapi sering), perawatan lanjutan untuk

gejala/tanda yang memerlukan bantuan medis segera

(perubahan haluaran urine, edema, berat badan bertambah

tibatiba, infeksi, meningkatnya gejala uremia).

- Pengaturan diet protein, kalium, natrium.

Pengaturan makanan dan minuman menjadi sangat

penting bagi penderita gagal ginjal. Bila ginjal mengalami

gangguan, zat-zat sisa metabolisme dan cairan tubuh yang

berlebihan akan menumpuk dalam darah karena tidak bisa

dikeluarkan oleh ginjal. Konsumsi protein terlalu banyak

dapat memperburuk kondisi kerusakan ginjal karena hasil

metabolismenya yang paling berbahaya, urea, menumpuk

didalam darah sehingga terjadi peningkatan Blood Urea

Nitrogen (BUN). Diet gagal ginjal juga didukung dengan

pembatasan asupan natrium (garam) untuk mengatur

keseimbangan cairan-elektrolit, pemberian makanan yang

kaya kalsium untuk mencegah osteotrofi ginjal (penurunan

masa jaringan, kelemahan otot) dan memperbaiki

gangguan irama jantung yang tidak seimbang (aritmia).

- Pengaturan kebutuhan cairan dan keseimbangan elektrolit.

Perubahan kemampuan untuk mengatur air dan

mengekskresi natrium merupakan tanda awal gagal ginjal.

Tujuan Dari pengendalian cairan adalah memepertahankan

status normotensif (tekanan darah dalam batas normal)

dan status normovolemik (volume cairan dalam batas

normal). Dapat dilakukan dengan pengendalian elektrolit,

seperti: Hiperkalemia dikendalikan dengan mengurangi

asupan makanan yang kaya dengan kalium (pisang, jeruk,

kentang, kismis, dan sayuran berdaun hijau).

3) Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier merupakan langkah yang bisa dilakukan

untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat, kecacatan

dan kematian. Pengobatan penyakit yang mendasari, sebagai

contoh: masalah obstruksi saluran kemih dapat diatasi dengan

meniadakan obstruksinya, nefropati karena diabetes dengan

mengontrol gula darah, dan hipertensi dengan mengontrol tekanan

darah.

a) Cuci Darah (dialisis)

Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air

mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori

dari satu kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya.

Hemodialisis dan dialysis merupakan dua teknik utama yang

digunakan dalam dialysis, dan prinsip dasar kedua teknik itu

sama, difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisis

sebagai respons terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan

tertentu.

- Hemodialisis klinis di rumah sakit

Cara yang umum dilakukan untuk menangani gagal ginjal

di Indonesia adalah dengan menggunakan mesin cuci

darah (dialiser) yang berfungsi sebagai ginjal buatan.

- Dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan atau CAPD

Dialisis peritoneal adalah metode cuci darah dengan

bantuan membran selaput rongga perut (peritoneum),

sehingga darah tidak perlu lagi dikeluarkan dari tubuh

untuk dibersihkan seperti yang terjadi pada mesin dialisis.

CAPD merupakan suatu teknik dialisis kronik dengan

efisiensi rendah sehingga perlu diperhatikan kondisi

pasien terhadap kerentanan perubahan cairan (seperti

pasien diabetes dan kardiovaskular).

b) Transplantasi Ginjal

Transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal

mengatasi gagal ginjal karena menghasilkan rehabilitasi yang

lebih baik disbanding dialysis kronik dan menimbulkan

perasaan sehat seperti orang normal. Transplantasi ginjal

merupakan prosedur menempatkan ginjal yang sehat berasal

dari orang lain kedalam tubuh pasien gagal ginjal. Ginjal yang

baru mengambil alih fungsi kedua ginjal yang telah mengalami

kegagalan dalam menjalankan fungsinya. Seorang ahli bedah

menempatkan ginjal yang baru (donor) pada sisi abdomen

bawah dan menghubungkan arteri dan vena renalis dengan

ginjal yang baru. Darah mengalir melalui ginjal yang baru

yang akan membuat urin seperti ginjal saat masih sehat atau

berfungsi. Ginjal yang dicangkokkan berasal dari dua sumber,

yaitu donor hidup atau donor yang baru saja meninggal (donor

kadaver).

f. Komplikasi

Gagal ginjal kronis dapat mempengaruhi hampir setiap bagian dari

tubuh Anda. Potensi komplikasi dapat mencakup:

1) Retensi cairan, yang dapat menyebabkan pembengkakan pada

lengan dan kaki, tekanan darah tinggi, atau cairan di paru-paru

(edema paru).

2) Kenaikan mendadak pada kadar kalium dalam darah

(hiperkalemia), yang dapat mengganggu kemampuan jantung

untuk berfungsi dan dapat mengancam jiwa.

3) Jantung dan penyakit pembuluh darah (penyakit kardiovaskular)

4) Lemah tulang dan peningkatan risiko patah tulang

5)  Anemia.

6) Penurunan dorongan seksual atau impotensi

7) Kerusakan sistem saraf pusat Anda, yang dapat menyebabkan

perubahan kepribadian kesulitan berkonsentrasi, atau kejang

8) Penurunan respon kekebalan, yang membuat Anda lebih rentan

terhadap infeksi.

9) Perikarditis, peradangan pada pembungkus kantung-seperti yang

menyelubungi jantung Anda (perikardium)

10) Komplikasi Kehamilan yang membawa risiko bagi ibu dan janin

yang sedang berkembang.

11) Kerusakan permanen pada ginjal (stadium akhir penyakit ginjal),

akhirnya ginjal membutuhkan dialysis atau transplantasi ginjal

untuk bertahan hidup

2.2. Gagal Ginjal Akut

a. Definisi

Gagal ginjal akut merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai

dengan fungsi ginjal yang menurun secara cepat (biasanya dalam

beberapa hari) yang menyebabkan azotemia berkembang cepat.

b. Etiologi Ginjal

GGA renal intrinsic akut dapat terjadi akibat paparan berbagai agen

farmakologik. Paling banyak yaitu nephrotoxins, insiden GGA

meningkat pada lanjut usia dan pasien dengan insufisiensi ginjal

kronis, hypovolemia nyata atau papararan terhadap toxin yang lain

Vasokonstriksi intrarenal merupakan kejadian awal pada GGA

yang dipicu oleh radiocontrast, siklosporin, dan tacrolimus.

Sehubungan dengan patofisiologi ini, agen tersebut memicu GGA

yang memiliki kemiripan dengan GGA prerenal: yaitu penurunan akut

dari aliran darah ginjal dan GFR2, sedimen urin yang relatif ringan, dan

eksresi natrium yang rendah. Kasus berat dapat memperlihatkan bukti

klinis atau patologik dari adanya ATN. Nefropati toksik akibat zat

kontras umumnya memperlihatkan peningkatan akut (onset 24-48 jam)

dari BUN dan kreatinin namun reversibel (resolusi dalam 1 minggu)

dan paling umum terjadi pada individu dengan insufisensi renal kronik,

DM, CHF, hipovolemik, atau myeloma multipel. Sindrom ini

sepertinya terkait dengan dosis dan insidennya sedikit berkurang pada

individu resiko tinggi dengan memakai agen kontras yang lebih mahal,

nonionik kontras

Toksisitas langsung terhadap sel epitel tubuler dan atau obstruksi

intratubuler adalah kejadian patofisiologis utama pada GGA yang

disebabkan oleh antibiotik dan antikanker. Zat yang sering merusak

adalah agen antimicrobial seperti acyclovir, foscarnet, aminoglikosida,

amphotericin B, dan pentamidini, dan agen kemoterapi seperti

cisplatin, carboplatin, dan ifosfamide. GGA terjadi pada 10 sampai

30% penggunaan aminoglikosida walaupun dengan kadar terapeutik.

Amfoterisin B menyebabkan GGA- terkait dosis melalui

vasokonstriksi intrarenal dan toksisitas langsung pada epitel tubulus.

Cisplatin dan carboplatin seperti aminoglikosida terkumpul oleh sel

tubulus proksimalis dan memprovokasi GGA setelah 7 hingga 10 hari

dari paparan dengan cara merusak mitokondria, inhibisi dari aktivitas

ATPase, transpor larutan, trauma yang dimediasi radikal bebas

terhadap membran sel, apoptosis, dan nekrosis

Nephrotoxin endogen yang paling umum adalah kalsium,

myoglobin, hemoglobin, urat, oxalate, dan myeloma rantai ringan.

Hyperkalsemia dapat menurunkan GFR, kebanyakan dengan memicu

vasokonstriksi intrarenal. Deposisi kalsium fosfat didalam ginjal juga

berkontribusi. Rhabdomyolisis dan hemolisis dapat memicu GGA,

umumnya pada pasien dengan hipovolemik atau asidosis.

Myoglobinuric GGA terjadi kurang lebih 30% kasus dari

rhabdomyolisis. Kasus umum ini termasuk cedera trauma

tabrakan, iskemia otot akut, kejang, olahraga berlebihan, heat stroke,

atau gangguan metabolisme. GGA akibat hemolisis biasanya jarang

dan diperlihatkan dari reaksi pada transfuse darah yang massif. Telah

menjadi postulat bahwa myoglobin dan hemoglobin atau komponen

lain yang dilepaskan oleh otot atau sel darah merah menimbulkan

GGA melalui efek toksik pada sel epitel tubuler, dengan mempromosi

stress oksidatif pada intrarenal dan dengan memicu pembentukan

serpihan padat intratubuler. Hipovolemia atau asidosis dapat

berkontribusi pada patogenesis GGA dalam keadaan ini dengan

pembentukan serpihan padat intratubuler.

Sebagai tambahan, hemoglobin dan myoglobin adalah penghambat

yang kuat dari bioactivitas nitrit-oxide dan dapat mencetuskan

vasokonstriksi intrarenal dan inskemik pada pasien dengan

hypoperfusion ringan. Serpihan padat intratubuler ini mengandung

immunoglobulin rantai ringan dan protein lainnya, termasuk Tamm-

Horsfall protein yang diproduksi oleh sel thick ascending limb , yang

merupakan pemicu utama terjadinya GGA pada pasien dengan

multiple (myeloma cast nephropathy). Sebagai tambahan, rantai ringan

dapat secara langsung menjadi racun untuk sel epithelial tubuler.

Obstruksi intratubuler juga merupakan sebab penting terjadinya GGA

pada pasien dengan hyperuricosuria atau hyperoxaluria. Nephropati

asam urat akut biasanya muncul pada pengobatan gangguan

lymphoproliferative atau myeloproliferative namun lebih sering terjadi

akibat hyperurisemia jika urin terkonsentrasi.

Penyebab lain

1) GGA Renal.

Pasien dengan atherosclerosis berat dapat mengalami GGA

setelah manipulasi aorta atau arteri renalis pada saat operasi atau

angiography, setelah suatu trauma, atau yang lebih jarang, adanya

embolisasi kristal kolesterol pada pembuluh darah ginjal

(atheroembolic GGA). Kristal kolesterol tersumbat di dalam lumen

arteri berukuran kecil atau sedang. Kemudian memicu reaksi sel

giant dan reaksi fibrosis di dalam dinding pembuluh darah dengan

penyempitan atau penyumbatan dari lumen pembuluh darah.

Atheroembolic GGA biasanya ireversibel.

Sangat banyak struktur agen pharmalogis yang memicu

GGA akibat reaksi hipersensitivitas berupa interstitial nephritis,

suatu penyakit yang ditandai dengan adanya infiltrate pada

tubulointerstritium berupa granulosit (biasanya namun tidak selalu,

eosinophils), makrofag, dan/atau limfosit dan dengan interstitial

oedema. Obat yang tersering adalah antibiotic seperti penicillins,

cephalosporins, trimethoprim, sulfonamides, rifampicin dan

NSAID

2) GGA Postrenal

Prevalensi ostruksi saluran kemih sebagai penyebab GGA

kurang dari 5% kasus GGA. Hal ini dikarenakan ginjal mempunyai

kapasitas klirens untuk mengeksresi produk limbah nitrogenous

setiap harinya, GGA akibat obstruksi hanya terjadi jika terdapat

sumbatan aliran urin dari urethral meatus externum dan kandung

kemih, obstruksi bilateral ureter, atau sumbatan ureter unilateral

pada pasien dengan 1 ginjal yang berfungsi.Obstruksi buli-buli

merupakan sebab umum terjadinya GGA postrenal dan biasanya

disebabkan oleh penyakit prostate (seperti Bengn Prostat

Hypertrophy, tumor, atau infeksi). Penyebab yang lebih jarang

yaitu obstruksi saluran kemih bagian bawah termasuk bekuan

darah, calculus, dan urtheritis disertai spasme. Obstruksi ureter

dapat disebabkan oleh obstruksi intraluminal (kalkulus), infiltrasi

dinding ureter (neoplasia) atau kompresi eksternal (retroperitoneal

fibrosis, neoplasia, atau abses) Selama tahap awal obstruksi (jam

sampai hari), filtrasi glomerulus yang berkontinu akan

meningkatkan tekanan intraluminal di atas dari lokasi obstruksi.

Sebagai hasilnya, terjadi distensi berangsur dai ureter proksimal,

renal pelvis, dan calyces, dan penurunan pada GFR. Obstruksi akut

mulanya berkaitan dengan peningkatan ringan aliran darah ginjal

namun vasokonstriksi arteriolar segera terjadi mendadak,

mengarahkan pada penurunan filtrasi glomerulus lebih lanjut.

c. Patofisiologi

Aliran darah ginjal total (RBF) dapat berkurang sampai 30% dari

normal pada GGA oliguria. Tingkat RBF ini dapat disertai GFR yang

cukup besar. Pada kenyataannya, RBF pada GGK sering sama

rendahnya atau bahkan lebih rendah dibandingkan dengan bentuk akut,

tetapi fungsi ginjal masih memadai atau berkurang. Selain itu, bukti-

bukti percobaan menunjukkan bahwa RBF harus kurang dari 5%

sebelum terjadi kerusakan parenkim ginjal. Dengan demikian

hipoperfusi ginjal saja tidak bertanggung jawab terhadap besar

penurunan GFR dan lesi-lesi tubulus yang ditemukan pada GGA.

Meskipun demikian, terdapat bukti-bukti perubahan yang nyata

pada distribusi intrarenal aliran darah dari kortex ke medulla selama

hipotensi akut atau hipotensi yang berkepanjangan. Dimana kita

ketahui ginjal normal kira-kira 90% darah didistribusi dikortex (tempat

dimana terdapat gromeruli) dan 10% menuju medulla. Dengan

demikian, ginjal dapat memekatkan kemih dan menjalankan fungsinya.

Sebaliknya pada GGA, perrbandingan antara distribusi kortex  dan

medulla ginjal menjadi terbalik, sehingga  terjadi iskemia relatif pada

kortex ginjal. Kontriksi dari anterior aferen merupakan dasar vaskular

dari penurunan GFR yang nyata. Iskemia ginjal akan mengaktifasi

sistem renin angiotensin dan memperberat iskemia kortex setelah

hilangnya rangsangan awal. Kadar renin tertinggi ditemukan pada

kortex ginjal, tempat dimana iskemia paling berat terjadi selama

berlangsungnya GGA. Beberapa ahli mengajukan teori mengenai

prostaglandin dalam disfungsi vasomotor pada GGA. Dalam keadaan

normal, hipoksia ginjal merangsang ginjal mensintesis PGE dan PGA

(vasodilator yang kuat), sehingga aliran darah ginjal diredistribusi

kekortex yang mengakibatkan diuresis. Agaknya iskemia akut yang

berat atau berkepanjangan dapat menghambat ginjal untuk mensintesis

prostaglandin. Penghambat prostaglandin seperti aspirin diketahui

dapat menurunkan RBF pada orang normal dan dapat menyebabkan

NTA.

Teori tubuloglomerolus menganggap bahwa kerusakan primer

teerjadi pada tubulud proksimal. Tubulus proksimal yang dapat

menjadi rusak akibat iskemia atau nefrotoksin, gagal untuk menyerap

jumlah normal natrium yang terfiltrasi dan air. Akibatnya, makula

densa mendeteksi adanya peningkatan kadar natrium pada caairan

tubulus distal dan rangsang meningkatnya produksi renin dari sel-sel

juksta gromerulus. Terjadi aktifasi angiotensin II yang menyebabkan

vasokonstriksi arteriol aferen, mengakibatkan penurunan aliran darah

ginjal dan GFR.

Kejadian awal umumnya akibat gangguan iskemia dan/atau

nefrotoksin yang merusak tubulus atau gromeruli, atau menurunkan

aliran darah ginjal. Gagal ginjal akut kemudian menetap melalui

beberapa mekanisme yang dapat ada atau tidak, dan merupakan akibat

cedera awal. Setiap mekanisme berbeda kepentingannya dalam

patogenesis, sesuai dengan teori-teori yang dikemukakan tadi.

Agaknya kepentingan dari mekanisme-mekanisme ini bervariasi sesuai

keadaan dan bergantung pada perjalanan proses penyakit, dan derajat

kerusakan patologi. Banyak hal-hal yang belum diketahui mengenai

patofisiologi GGA dan masih harus diteliti lebih jauh untuk

mengetahui hubungan antara beberapa faktor yang mempengaruhinya.

d. Pemeriksaan penunjang pada gagal ginjal akut:

1) Urine : Volume, Warna, Sedimen, Berat jenis, Kreatinin, Protein.

2) Darah : BUN/kreatinin, Hitung darah lengkap, Sel darah merah,

natrium serum, Kalium, Magnesium fosfat, Protein, Osmolaritas

serum.

3) KUB Foto : Menunjukkan ukuran ginjal/ureter/kandung kemih dan

adanya obstruksi .

4) Pielografi retrograd : Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan

ureter.

5) Arteriogram ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi

ekstraskular, massa.

6) Sistouretrogram berkemih : Menunjukkan ukuran kandung

kemih,refluks ureter,retensi

7) Ultrasono ginjal : Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan

adanya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian

atas.

8) Biopsi ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk

menetukan sel jaringan untuk diagnosis histologis

9) Endoskopi ginjal nefroskopi : Dilakukan untuk menemukan pelvis

ginjal ; keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif

10) EKG : Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan

elektrolit dan asam basa, aritmia, hipertrofi ventrikel dan tanda-

tanda perikarditis.

2.3. Sindrom Nefrotik

a. Definisi

Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik

glomerulonefritis yang ditandai dengan proteinuria masif (≥ 3 – 3,5

g/hari atau rasio protein kreatinin pada urin sewaktu > 300-350

mg/mmol), hipoalbuminemia (<25 g /l), hiperkolesterolemia(total

kolesterol > 10 mmol/L), dan manifestasi klinis edema periferal. Pada

proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua

gejala tersebut harus ditemukan. 

SN dapat terjadi pada semua usia, dengan perbandingan pria dan

wanita 1:1 pada orang dewasa. SN terbagi menjadi SN primer yang

tidak diketahui kausanya dan SN sekunder yang dapat disebabkan oleh

infeksi, penyakit sistemik, metabolik, obat-obatan, dan lain-lain.

Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang

berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam

urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai

komplikasi yang terjadi pada SN.Hipoalbuminemia, hiperlipidemia,

dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas,

gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering

dijumpai pada SN.Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali

pada sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap

akhir. Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan

menunjukkan respon yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian

lagi dapat berkembang menjadi kronik.

b. Etiologi

Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer

dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung

(connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit

sistemik.

Klasifikasi dan penyebab sindrom nefrotik didasarkan pada

penyebab primer ( gangguan glomerular karena umur), dan sekunder

(penyebab sindrome nefrotik).

1) Penyebab Primer

Umumnya tidak diketahui kausnya dan terdiri atas sindrome

nefrotik idiopatik (SNI) atau yang sering disebut juga SN primer

yang bila berdasarkan gambaran dari histopatologinya, dapat

terbagi menjadi:

a) Sindroma nefrotik kelainan minimal

b) Nefropati membranosa

c) Glomerulonephritis proliferative membranosa

d) Glomerulonephritis stadium lanjut 

2) Penyebab Sekunder

a) Infeksi : malaria, hepatitis B dan C, GNA pasc infeksi, HIV,

sifilis, TB, lepra, skistosoma

b) Keganasan : leukemia, Hodgkin’s disease,

adenokarsinoma :paru, payudara, colon, myeloma multiple,

karsinoma ginjal

c) Jaringan penghubung : SLE, artritis rheumatoid, MCTD

(mixed connective tissue disease)

d) Metabolik : Diabetes militus, amylodosis

e) Efek obat dan toksin : OAINS, preparat emas, penisilinami,

probenesid, kaptopril, heroin

f) Berdasarkan respon steroid, dibedakan respon terhadap steroid

(sindrom nefrotik yang sensitive terhadap steroid (SNSS) yang

lazimnya berupa kelainan minimal, tidak perlu biopsy), dan

resisten steroid atau SNRS yang lazimnya bukan kelainan

minimal dan memerlukan biopsy.

c. Epidemiologi

Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%)

dijumpai pada usia 2-7 tahun. Rasio laki-laki : perempuan= 2:1,

sedangkan pada masa remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1:1.

Biasanya 1 dari 4 penderita sindrom nefrotik adalah penderita dengan

usia>60 tahun. Namun secara tepatnya insiden dan prevalensi sindrom

nefrotik pada lansi tidak diketahui karena sering terjadi salah diagnosa.

d. Patofisiologi

1) Proteinuria

Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler

terhadap protein akibat kerusakan glomerulus ( kebocoran

glomerulus) yang ditentukan oleh besarnya molekul dan muatan

listrik, dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus

(proteinuria tubular). Proteinuria sebagian berasal dari kebocoran

glomerulus (proteinuria glomerular) dahn hanya sebagaian kecil

berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular). Perubahan

integritas membrane basalis glomerulus menyebabkan peingkatan

permeabilitas glomerulus terhadap perotein plasma dan protein

utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin.

2) Hipoalbuminemia

Hipoalbumin disebabka oleh hilangnya albumin melalui

urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis

protein di hati biasanya meningkat ( namun tidak memadai untuk

mengganti kehilagan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal

menurun

Peningkatan permeabilitas glomerulus menyebabkan

albuminuria dan hipoalbumineia. Sebagai akibatnya

hipoalbuminemia menurunkan tekanan onkotik plasma koloid,

meyebabkan peningkatan filtrasi transkapiler cairan keluar tubuh

dan menigkatkan edema.

3) Hiperlipidemia

Kolesterol serum, VLDL (very low density lipoprotein),

LDL (low density lipoprotein), trigliserida meningkat sedangkan

HDL (high density lipoprotein) dapat meningkat, normal atau

meningkat.Hal ini disebabkan sintesis hipotprotein lipid disintesis

oleh penurunan katabolisme di perifer.Peningkatan albumin serum

dan penurunan tekanan onkotik.

4) Hiperkoagulabilitas

Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT)

III, protein S, C, dan plasminogen activating factor dalam urin dan

meningkatnya factor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen,

peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta

menurunnya factor zymogen.

e. Tanda dan Gejala

Gejala pertama yang muncul meliputi anorexia,rasa lemah, urin

berbusa (disebabkan oleh konsentrasi urin yang tinggi). Retensi cairan

menyebabkan sesak nafas (efusi pleura), oligouri, arthralgia, ortostatik

hipotensi, dan nyeri abdomen (ascites). Untuk tanda dan gejala yang

lain timbul akibat komplikasi dari sindromnefrotik.

f. Diagnosa

Diagnose SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan

laboratorium berupa proteinuria massif >3,5 g/1,73 m2 luas permukaan

tubuh/hari), hipoalbuminemia <3 g/dl, edema, hiperlipideia, lipiduria,

dan hiperkoagulabilitas. Pemeriksaan tambahan seperti venerologi

diperlukan untuk menegakkan diagnose thrombosis vena yang dapat

terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk menentukan

jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan

respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.

g. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa

pemeriksaan penunjang berikut:

1) Urinalisis

Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindromk

nefrotik.Proteinuria berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik,

atau melalui tes semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat.3+

menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih,

yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk dalam nephrotic range.

2) Pemeriksaan sedimen urin

Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat

bodies: epitel sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-

kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak hialin dan torak eritrosit.

3) Pengukuran protein urin

Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed

collection atau single spot collection. Timed collection dilakukan

melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari jam 7 pagi hingga

waktu yang sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total

protein urin ≤ 150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan

kriteria diagnosis. Single spot collection lebih mudah dilakukan.

Saat rasio protein urin dan kreatinin > 2g/g, ini mengarahkan pada

kadar protein urin per hari sebanyak ≥ 3g.2,8.

h. Penatalaksanaan

Tata laksana sindrom nefrotik dibedakan atas pengobatan dengan

imunosupresif dan atau imunomodulator, dan pengobatan suportif atau

simtomatik. Penatalaksanaan ini meliputi terapi spesifik untuk kelainan

dasar ginjal atau penyakit penyebab (pada SN sekunder), mengurangi

atau menghilangkan proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemia, serta

mencegah dan mengatasi penyulit.2

Terapi Kortikosteroid

Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua

kelainan yang memberikan respon terapi yang baik terhadap

steroid.Pengobatan dengan kortikosteroid dibedakan antara pengobatan

inisial dan pengobatan relaps. Regimen penggunaan kortikosteroid

pada SN bermacam-macam, di antaranya pada orang dewasa adalah

prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 –

8minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4-12

minggu, tapering di 4 bulan berikutnya.Sampai 90% pasien akan

remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggunamun 50% pasien

akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan.

Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi

lengkap, remisi parsial dan resisten.Dikatakan remisi lengkap jika

proteinuria minimal (< 200 mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl,

kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang.

Remisi parsial jika proteinuria<3,5 g/hari, albumin serum >2,5 g/dl,

kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema.

Dikatakan resisten jika klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan

perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan

kortikosteroid.

Kelompok SNSS dalam perjalanan penyakit dapat dibagi menjadi 4

kelompok, yaitu SN non-relaps (30%), SN relaps jarang (10-20%), SN

relaps sering dan SN dependen steroid (40-50%).

Sindrom nefrotik non relaps ialah penderita yang tidak pernah

mengalami relaps setelah mengalami episode pertama penyakit ini.

Sindrom nefrotik relaps jarang ialah anak yang mengalami relaps

kurang dari 2 kali dalam periode 6 bulan atau kurang dari 4 kali dalam

periode 12 bulan setelah pengobatan inisial. Sindrom nefrotik relaps

sering ialah penderita yang mengalami relaps >2 kali dalam periode 6

bulan pertama setelah respons awal atau > 4 kali dalam periode 12

bulan. Sindrom nefrotik dependen steroid bila dua relaps terjadi

berturut-turut pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam waktu 14

hari setelah pengobatan dihentikan. 

Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid dapat diberikan

dengan steroid jangka panjang, yaitu setelah remisi dengan prednison

dosis penuh dilanjutkan dengan steroid alternating dengan dosis yang

diturunkan bertahap sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan

relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kg secara alternating. Dosis ini disebut

sebagai dosis treshold, diberikan minimal selama 3-6 bulan, kemudian

dicoba untuk dihentikan.

Pengobatan lain adalah menggunakan terapi nonsteroid

yaitu:Siklofosfamid, Klorambusil, Siklosporin A, Levamisol, obat

imunosupresif lain, dan ACE inhibitor.Obat-obat ini utamanya

digunakan untuk pasien-pasien yang non-responsif terhadap steroid.

i) Prognosis

Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan salah satu penyebab

kematian tersering pada SN.Pengobatan SN dan komplikasinya saat

ini telah menurunkan morbiditas dan mortalitas yang berhubungan

dengan sindrom.Saat ini, prognosis pasien dengan SN bergantung

pada penyebabnya. Remisi sempurna dapat terjadi dengan atau tanpa

pemberian kortikosteroid.

Hanya sekitar 20 % pasien dengan glomerulosklerosis fokal

mengalami remisi proteinuria, 10 % lainnya membaik namun tetap

proteinuria. Banyak pasien yang mengalami frequent relaps, menjadi

dependen-steroid, atau resisten-steroid. Penyakit ginjal kronik dapat

muncul pada 25-30 %  pasien dengan glomerulosklerosis fokal

segmental dalam 5 tahun dan 30-40 % muncul dalam 10 tahun.

Orang dewasa dengan minimal-change nephropathymemiliki

kemungkinan relaps yang sama dengan anak-anak. Namun, prognosis

jangka panjang pada fungsi ginjal sangat baik, dengan resiko rendah

untuk gagal ginjal.2Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap

pada 67% kasus SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau

parsialpada 50% SN nefropati membranosa dan 20%-40% pada

glomerulosklerosis fokal segmental.Perlu diperhatikan efek samping

pemakaian kortikosteroid jangka lama di antaranya nekrosis aseptik,

katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes mellitus.

Respon yang kurang terhadap steroid dapat menandakan luaran

yang kurang baik. Prognosis dapat bertambah buruk disebabkan (1)

peningkatan insidens gagal ginjal dan komplikasi sekunder dari SN,

termasuk episode trombotik dan infeksi, atau (2) kondisi terkait

pengobatan, seperti komplikasi infeksi dari pemberian

imunosupressive.2Penderita SN non relaps dan relaps jarang

mempunyai prognosis yang baik, sedangkan penderita relaps sering

dan dependen steroid merupakan kasus sulit yang mempunyai risiko

besar untuk memperoleh efek samping steroid. SN resisten steroid

mempunyai prognosis yang paling buruk.

Pada SN sekunder, prognosis tergantung pada penyakit primer

yang menyertainya.Pada nefropati diabetik, besarnya proteinuria

berhubungan langsung tingkat mortalitas.Biasanya, ada respon yang

baik terhadap blockade angiotensin, dengan penurunan proteinuria,

dan level subnefrotik.Jarang terjadi remisi nyata. Resiko penyakit

kardiovaskular meningkat seiring penurunan fungsi ginjal, beberapa

pasienakan membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal.

Pada amiloidosis primer, prognosis tidak baik, bahkan dengan

kemoterapi intensif. Pada amiloidosis sekunder, remisi penyebab

utama, seperti rheumatoid arthritis, diikuti dengan remisi amiloidosis

dan ini berhubungan dengan SN.

2.4 Glomerulonefritis

Merupakan penyakit peradangan bilateral yang bermanifestasi sebagai

proteinuria dan hematuria. Lesi teruama di glomerulus tetapi seluruh nefron

pada akhirnya akan mengalami kerusakan, sehingga terjadi gagal ginjal

kronik.

a. Glomerulonefritis akut

Terjadi setelah infeksi streptococcus pada tenggorokan atau

kadang-kadang pada kulit sesudah elaten 1 sampai 2 minggu. Organisme

penyebab : streptococcus beta haemolitikus. Diduga terdapat suatu

antibodi yang ditujukan terhadap antigen khusus yang merupakan unsur

membran plasma streptococcus spesifik.

Terbentuk komplek antigen antibodi dalam darah dan bersirkulasi

ke dalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis

terperangkap dalam membran basalis. Komplemen akan terfiksasi

mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit (PMN) dan

trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisozim

yang merusak endotel dan membran basalis glomerulus. Respon yang

terjadi timbul proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium

dan selanjutny sel-sel epitel.

Semakin meningkatnya kebocoran kapiler glomerulus

menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urin yang

sedang dibentuk oleh ginjal sebagai proteinuria dan hematuria. 2

APSGN

Usia : 3-7 tahun

Gambaran klinis

Hematuria, proteinuria,oelah, anoreksia dan oliguria, edema dan

hipertensi. Gejala sistemik rasa lelah,anoreksia an kadang demam, sakit

kepala, mual, dan muntah. Terjadi peningkatan ASO (Antibodi terhadap

streptococcus).

Pemeriksaan makroskopik : silindruria, eritrosit dan selinder eritrosit, berat

jenis meningkat dan azotemia.

Pengobatan : Penisilin, tetapi karena sudah banyak yang resisten

digunakan ampisilin. 2

b. Glomerulonefritis Progresif Cepat (RPGN)

Disebut juga sebagai glomerulusnefritis crensentik. Merupakan

penyakit injal fulminan. Terdapat hematuria, proteinuria dan aZotemia

progresif cepat sehingga akan mengakibatkan kematian dalam jangka

waktu 2 tahun. Sindrom good pasture pada laki-laki muda, akut disertai

erdarahan paru an hemoptisis. Ditandai dengan penurunan fungsi ginjal

yang cepat dan progrsif disertai oliguria berat dan kematian gagal ginjal

dalam beberapa minggu-bulan. Gambaran histologinya adanaya bulan

sabit disebagian besar GN, proliferasi sel epitel parietal di kapsula

bowman dan sebagian oleh sebukan limfosit dan makrofag. Ada 3 tipe

RPGN :

CrGN tipe 1 ( Anti GBM (Glomerular asement membran)

- Idiopatik’

- Goodpasture

CrGN tipe II (Komplek imun)

- Idiopatik

- LSE

- Pasca infeksi

- Purpura henoch schonlein

CrGN tipe III (pausi imun) terkait ANCA (Antibiotik antisitoplasma

netrofil)

- Idiopatik

- Granulomatosis Wegener

- Poliartritis mikroskopik

c. Glomerulonefritis Kronik

CGN ditandai dengan kerusakan glomeruluus secara progresif

lambat akibat glomerulonefritis yang sedang berlangsung lama. Tidak

berhubungan dengan APSGN/RPGN cenderung timbul tanpa diketahui

asal usulnya dan biasanya baru ditemukan pada stadium lanjut ketika

timbul insufiensi ginjal.

2.5 Blackwater Fever

a. Defenisi

Blackwater fever merupakan komplikasi dari malaria di mana sel-

sel darah merah pecah dalam aliran darah (hemolisis),lalu melepaskan

hemoglobin langsung ke pembuluh darah dan ke dalam urin, dan sering

menyebabkan gagal ginjal.

b. Etiologi

Penyebab hemolitik pada penyakit ini tidak diketahui (terutama

karena hemolisis intravaskular). Ada kerusakan yang cepat dan besar pada

sel darah merah dengan produksi hemoglobinemia (hemoglobin dalam

darah, tetapi di luar sel-sel darah merah atau bukan dalam sel-sel darah

merahnya), hemoglobinuria (hemoglobin dalam urin), ikterus intens,

anuria (melewati kurang dari 50 mililiter urin dalam hari), dan akhirnya

kematian pada sebagian besar kasus.

Penjelasan yang paling mungkin untuk blackwater fever adalah

reaksi autoimun tampaknya disebabkan oleh interaksi dari parasit malaria

dan penggunaan kina. Blackwater fever disebabkan oleh parasitasi berat

sel darah merah dengan Plasmodium falciparum. setidaknya ada satu

kasus, bagaimanapun, Plasmodium vivax dikaitkan dengan Blackwater

fever yang merupakan komplikasi serius dari malaria, tetapi malaria

serebral memiliki tingkat kematian lebih tinggi. Blackwater fever jauh

kurang umum hari ini daripada sebelum 1950. Mungkin kina berperan

dalam memicu kondisi, dan obat ini tidak lagi umum digunakan untuk

profilaksis malaria. Kina tetap penting untuk pengobatan malaria kecuali

bila parasit resisten terhadap klorokuin, masalah yang telah meningkat

sejak tahun 1990.

c. Gejala Klinis

Onset kejadian dalam beberapa hari dapat terjadi menggigil, kaku,

demam tinggi, sakit kuning (ikterus), muntah, anemia progresif cepat, dan

urin berwarna merah atau hitam gelap.

d. Pengobatan

Pengobatan adalah dengan kemoterapi antimalaria, cairan intravena

dan kadang-kadang perawatan pendukung seperti perawatan intensif dan

dialisis.

2.6 Malaria

a. Definisi

Malaria adalah suatu penyakit protozoa dari genus Plasmodium

yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Dapat

ditularkan langsung melalui tranfusi darah, jarum suntik serta ibu hamil.

b. Etiologi

Agent penyakit malaria adalah genus plasmodia, family

plasmodiidae, dan order Coccidiidae. Ada empat jenis parasit malaria,

yaitu:

1) Plasmodium falciparum

Menyebabkan malaria falciparum atau malaria tertiana yang

maligna (ganas) atau dikenal dengan nama lain sebagai malaria

tropika yang menyebabkan demam setiap hari.

2) P. vivax

Menyebabkan malaria vivax atau disebut juga malaria tertiana

benigna (jinak).

3) P. malariae

Menyebabkan malaria kuartana atau malaria malariae.

4) P. ovale

Jenis ini jarang sekali dijumpai, umumnya banyak di Afrika dan

Pasifik Barat, menyebabkan malaria ovale.

Seorang penderita dapat dihinggapi oleh lebih dari satu jenis

plasmodium. Infeksi demikian disebut infeksi campuran (mixed

infection). Biasanya paling banyak dua jenis parasit, yakni campuran

antara P. falciparum dengan P. vivax atau P. malariae. Kadang-kadang

dijumpai tiga jenis parasit sekaligus, meskipun hal ini jarang sekali

terjadi. Infeksi campuran biasanya terdapat di daerah yang tinggi angka

penularannya.

c. Masa Inkubasi

Masa inkubasi malaria atau waktu antara gigitan nyamuk dan

munculnya gejala klinis sekitar 7-14 hari untuk P. falciparum, 8-14

hari untukP. vivax dan P. ovale, dan 7-30 hari untuk P. malariae. Masa

inkubasi ini dapat memanjang antara 8-10 bulan terutama pada

beberapa strain P. vivax di daerah tropis. Pada infeksi melalui transfusi

darah, masa inkubasi tergantung pada jumlah parasit yang masuk dan

biasanya singkat tetapi mungkin sampai 2 bulan. Dosis pengobatan

yang tidak adekuat seperti pemberian profilaksis yang tidak tepat dapat

menyebabkan memanjangnya masa inkubasi.

d. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium demam malaria pada penderita dengan

melakulan pemeriksaan darah tepi secara mikroskopis merupakan

standar emas (gold standard). Pemeriksaan mikroskop dilakukan

dengan membuat tetes tebal (thick-smear) atau dengan hapusan darah

tipis (thin-smear). Tetes tebal dilakukan untuk menentukan diagnosis

malaria secara cepat, tetapi belum dapat ditentukan spesies parasit

Plasmodium. Hapusan darah tipis dapat digunakan untuk menentukan

spesies parasit penyebab malaria.

Asal sediaan darah dapat berasal dari kegiatan Active Case

Detection (ACD) yaitu pencarian penderita seacara aktif oleh petugas-

petugas kesehatan; sediaan darah yang berasal dari kegiatan Passive

Case Detection (PCD) yang merupakan pencarian penderita secara

pasif (menunggu datangnya penderita) oleh petugas kesehatan di

rumah sakit dan Puskesmas; sediaan darah yang berasal dari kegiatan

Contact survey dan follow up dan sediaan darah yang berasal dari

kegiatan survei malaria seperti malariometric survey dan mass blood

survey (Depkes, 2006).

Diagnosis defenitif malaria ditegakkan dengan ditemukannya

parasit Plasmodium dalam darah penderita. Pemeriksaan mikroskopis

yang dilakukan satu kali dan memberikan hasil negatif, tidak

menyingkirkan diagnosis demam malaria. Untuk itu diperlukan

pemeriksaan serial dengan interval antar pemeriksaan satu hari.

Sediaan darah tebal terdiri dari tumpukan sediaan darah merah ,

volume darah yang diambil yaitu darah kapiler (finger prick) sebanyak

1,0 mikroliter untuk sediaan darah tipis dan 3,0-5,0 mikroliter untuk

sediaan darah tebal. Mikroskopis sediaan darah tebal dan tipis

merupakan pemeriksaan yang terpenting. Interpretasi pemeriksaan

miroskopis yang terbaik adalah berdasarkan perhitungan dengan

identifikasi parasit yang tepat (Warrell, 2002).

e. Diagnosis Malaria

Diagnosis malaria pada umumnya didasarkan pada manifestasi

klinis, uji imunoserologis dan ditemukannya parasit Plasmodium di

dalam penderita malaria. Dikarenakan manifestasi klinis malaria tidak

khas dan menyerupai penyakit infeksi lain seperti demam dengue dan

demam tifoid, sehingga menyulitkan para klinisi untuk mendiagnosis

malaria dengan hanya mengandalkan pengamatan manifestasi klinis

saja, untuk itu diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk menunjang

diagnosis malaria sedini mungkin. Hal ini penting mengingat infeksi

oleh Plasmodium, terutama Plasmodium .falsiparum dapat

berkembang dengan cepat (Purwaningsih, 2000)

Diagnosis demam malaria secara garis besar digolongkan menjadi

2 kelompok yaitu pemeriksaan mikroskopis, termasuk menggunakan

Quantitative Buffy Coat (QBC) dan uji imunoserologis untuk

menditeksi antigen spesifik atau antibodi spesifik terhadap

Plasmodium dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR).

Penelitian terbaru telah mengembangkan metode diagnostik yang

dapat diperbandingkan dengan metode yang lazim (konvensional).

WHO bersama para ilmuwan, ahli laboratorik, serta peklinik

mengembangkan alat uji diagnostik cepat (Rapid Diagnostic

Test/RDTs) yang mudah dilakukan, tepat, sensitif, dan sesuai biaya

(cost-effective). Rapid test merupakan cara mendeteksi antigen malaria

dengan dipstick. Hasil rapid test dapat diketahui dalam waktu 10 menit

dan tidak memerlukan mikroskop.

Sebagian besar RDTs malaria berdasarkan asas imunokromatografi

yang menggunakan antibodi monoklonal yaitu HRP-2 (Histidine Rich

Protein) untuk Plasmodium falciparum dan pLDH (parasite Lactate

Dehydrogenase) sebagai indikator infeksi dari Plasmodium vivax

(Makler 1998 dan Mason, 2002).

Beberapa kit antigen yang sudah tersedia saat ini antara lain

antigen histidine rich protein-2 (HRP-2), enzim parasite lactate

dehidrogenase (p-LDH) dan antigen pan-malarial. Antigen HRP2

(histidine rich protein 2) dihasilkan oleh trofozoit dan gametosit muda

P. falsiparum. Jenis pemeriksaannya antara lain PF test, ICT test dan

paracheck.

Penelitian di berbagai negara memperlihatkan sensitivitas rapid test

untuk antigen HRP2 antara 84-100% dan spesifisitas 82,5-97%. Salah

satu kekurangan tes antigen HRP2 adalah hasil positif palsu dari orang

yang sudah berhasil diobati walaupun parasitnya tidak ditemukan lagi

secara mikroskopik dalam darah. Penyebabnya antara lain faktor

rheumatoid, sisa antigen HRP2 yang diproduksi stadium gametosit

muda atau mungkin stadium aseksual P. falsiparum tidak seluruhnya

tereliminasi oleh obat yang diberikan (Sutanto, 2005).

Enzim parasite Lactate Dehidrogenase (p-LDH) diproduksi oleh

bentuk aseksual dan seksual keempat spesies Plasmodium. Kelemahan

pemeriksaan ini adalah kurang sensitif bila jumlah parasit <100/ul

darah dan tidak dapat mendeteksi infeksi campur (Sutanto, 2005).

2.7 Analisa Gas Darah

Salah satu faktor utama yang mempengaruhi oksigenasi sel atau jaringan

adalah jumlah oksigen yang terkandung dalam darah. Tekanan gas darah

tersebut dapat diukur dengan menganalisa darah arteri secara langsung atau

melalui pulse oksimetri dengan melihat saturasi hemoglobin. Analisa gas

darah (AGD) telah banyak digunakan untuk mengukur pH, PaO2, dan PCO2.

Akan tetapi, makna dari hasil pengukuran tersebut tergantung pada

kemampuan dokter untuk menginterpretasikannya.

AGD biasanya diambil dari arteri radialis, meskipun dapat juga dari arteri

lainnya seperti arteri femoralis. Pengambilan darah arteri dapat berakibat

spasme, kloting intralumen, perdarahan, dan hematoma yang pada akhirnya

akan menimbulkan obstruksi arteri bagian distal. Hal ini tidak terjadi jika

arteri yang ditusuk memiliki kolateral yang cukup. Arteri radialis lebih dipilih

karena memiliki cukup kolateral untuk menghindari terjadinya obstruksi

dibandingkan dengan arteri brakhialis atau femoralis. Selain itu, letak arteri

radialis lebih superfisial, mudah diraba dan difiksasi. Darah arteri diambil

sebanyak 3 ml pada spuit yang sebelumnya telah diberikan heparin 0,2 ml.

Sampel darah yang telah diambil harus terbebas dari gelembung udara dan

dianalisa secepatnya. Hal ini disebabkan komponen seluler pada sampel masih

aktif bermetabolisme, sehingga akan mempengaruhi tekanan gas.

Interpretasi Hasil AGD

Secara singkat, hasil AGD terdiri atas komponen:

a. pH atau ion H+, menggambarkan apakah pasien mengalami asidosis atau

alkalosis. Nilai normal pH berkisar antara 7,35 sampai 7,45.

b. PO2, adalah tekanan gas O2 dalam darah. Kadar yang rendah

menggambarkan hipoksemia dan pasien tidak bernafas dengan adekuat.

PO2 dibawah 60 mmHg mengindikasikan perlunya pemberian oksigen

tambahan. Kadar normal PO2 adalah 80-100 mmHg

c. PCO2, menggambarkan gangguan pernafasan. Pada tingkat metabolisme

normal, PCO2 dipengaruhi sepenuhnya oleh ventilasi. PCO2 yang tinggi

menggambarkan hipoventilasi dan begitu pula sebaliknya. Pada kondisi

gangguan metabolisme, PCO2 dapat menjadi abnormal sebagai

kompensasi keadaan metabolik. Nilai normal PCO2 adalah 35-45 mmHg

d. HCO3-, menggambarkan apakah telah terjadi gangguan metabolisme,

seperti ketoasidosis. Nilai yang rendah menggambarkan asidosis metabolik

dan begitu pula sebaliknya. HCO3- juga dapat menjadi abnormal ketika

ginjal mengkompensasi gangguan pernafasan agar pH kembali dalam

rentang yang normal. Kadar HCO3- normal berada dalam rentang 22-26

mmol/l

e. Base excess (BE), menggambarkan jumlah asam atau basa kuat yang harus

ditambahkan dalam mmol/l untuk membuat darah memiliki pH 7,4 pada

kondisi PCO2 = 40 mmHg dengan Hb 5,5 g/dl dan suhu 37C0. BE bernilai

positif menunjukkan kondisi alkalosis metabolik dan sebaliknya, BE

bernilai negatif menunjukkan kondisi asidosis metabolik. Nilai normal BE

adalah -2 sampai 2 mmol/l.

f. Saturasi O2, menggambarkan kemampuan darah untuk mengikat oksigen.

Nilai normalnya adalah 95-98 %

Dari komponen-komponen tersebut dapat disimpulkan menjadi empat keadaan

yang menggambarkan konsentrasi ion H+ dalam darah yaitu:

Asidosis respiratorik

Adalah kondisi dimana pH rendah dengan kadar PCO2 tinggi dan kadar

HCO3- juga tinggi sebagai kompensasi tubuh terhadap kondisi asidosis

tersebut. Ventilasi alveolar yang inadekuat dapat terjadi pada keadaan seperti

kegagalan otot pernafasan, gangguan pusat pernafasan, atau intoksikasi obat.

Kondisi lain yang juga dapat meningkatkan PCO2 adalah keadaan

hiperkatabolisme. Ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan

ekskresi H+ dan retensi bikarbonat. Setelah terjadi kompensasi, PCO2 akan

kembali ke tingkat yang normal.

Alkalosis respiratorik

Perubahan primer yang terjadi adalah menurunnya PCO2 sehingga pH

meningkat. Kondisi ini sering terjadi pada keadaan hiperventilasi, sehingga

banyak CO2 yang dilepaskan melalui ekspirasi. Penting bagi dokter untuk

menentukan penyebab hiperventilasi tersebut apakah akibat hipoksia arteri

atau kelainan paru-paru, dengan memeriksa PaO2. Penyebab hiperventilasi

lain diantaranya adalah nyeri hebat, cemas, dan iatrogenik akibat ventilator.

Kompensasi ginjal adalah dengan meningkatkan ekskresi bikarbonat dan K+

jika proses sudah kronik.

Asidosis Metabolik

Ditandai dengan menurunnya kadar HCO3-, sehingga pH menjadi turun.

Biasanya disebabkan oleh kelainan metabolik seperti meningkatnya kadar

asam organik dalam darah atau ekskresi HCO3- berlebihan. Pada kondisi ini,

paru-paru akan memberi respon yang cepat dengan melakukan hiperventilasi

sehingga kadar PCO2 turun. Terlihat sebagai pernafasan kussmaul. Pemberian

ventilasi untuk memperbaiki pola pernafasan justru akan berbahaya, karena

menghambat kompensasi tubuh terhadap kondisi asidosis. Untuk mengetahui

penyebab asidosis metabolik, dapat dilakukan penghitungan anion gap melalui

rumus

(Na+ + K+) – (HCO3- + Cl-)

Batas normal anion gap adalah 10 – 12 mmol/l. Rentang normal ini harus

disesuaikan pada pasien dengan hipoalbumin atau hipofosfatemi untuk

mencegah terjadinya asidosis dengan anion gap yang lebih. Koreksi tersebut

dihitung dengan memodifikasi rumus diatas menjadi

(Na+ + K+) – (HCO3- + Cl-) – (0,2 x albumin g/dl + 1,5 x fosfat mmol/l)

Asidosis dengan peningkatan anion gap, disebabkan oleh adanya asam-asam

organik lain seperti laktat, keton, salisilat, atau etanol. Asidosis laktat biasanya

akibat berkurangnya suplai oksigen atau berkurangnya perfusi, sehingga

terjadilah metabolisme anaerob dengan hasil sampingan berupa laktat. Pada

keadaan gagal ginjal, ginjal tidak mampu mengeluarkan asam-asam organik

sehingga terjadi asidosis dengan peningkatan anion gap.

Asidosis dengan anion gap yang normal disebabkan oleh hiperkloremia dan

kehilangan bikarbonat atau retensi H+. Contohnya pada renal tubular asidosis,

gangguan GIT (diare berat), fistula ureter, terapi acetazolamide, dan yang

paling sering adalah akibat pemberian infus NaCl berlebihan.

Alkalosis metabolik

Adalah keadaan pH yang meningkat dengan HCO3- yang meningkat pula.

Adanya peningkatan PCO2 menunjukkan terjadinya kompensasi dari paru-

paru. Penyebab yang paling sering adalah iatrogenik akibat pemberian siuretik

(terutama furosemid), hipokalemia, atau hipovolemia kronik dimana ginjal

mereabsorpsi sodium dan mengekskresikan H+, kehilangan asam melalui GIT

bagian atas, dan pemberian HCO3- atau prekursornya (laktat atau asetat)

secara berlebihan. Persisten metabolik alkalosis biasanya berkaitan dengan

gangguan ginjal, karena biasanya ginjal dapat mengkompensasi kondisi

alkalosis metabolik.

3 Studi Kasus

a. Mengapa tn. S mengalami sesak nafas?

tn. S sesak nafas karena ia mengalami sindrom alkalosis metabolik

sehingga menyebabkan kelebihan dari kadar HCO3- akibatnya jumlah

untuk mengkompensasi hal tersebut paru-paru akan menahan jumlah

CO2 sehingga tn. S kekurangan O2.

b. Mengapa air kencing tn. S berwarna merah kehitaman?

Karena proses hemolisis sel darah merah dalam aliran darah akibat

parasit dari malaria sehingga hemoglobin yang terkandung dari dalam

darah di filtrasi lewat urin dan dikeluarkan melalui urin. Kencingnya

berwarna merah kehitaman disebabkan pecahnya sel darah merah di

dalam tubuh sehingga warnanya lebih kehitaman.

c. Mengapa tn. S tidak buang air kecil 1 hari sebelumnya?

tn. S tidak buang air kecil dikarenakan kerusakan dari struktur ginjal

menyebabkan pengeluaran urin berkurang bahkan tidak ada (anuria).

d. Bagaimana perbedaan gagal ginjal akut dan kronis?

Perbedaan gagal ginjal akut dan kronis dapat dilihat dari

klasifikasinya, terutama pada ginjal akut yang merupakan serangan

awal dari gagal ginjal, jika terus terjadi berulang hingga terjadi

penurunan fungsi yang irreversible dapat dikatakan kronik, juga dapat

kita lihat dari klasifikasi waktu terjadinya sudah berapa lama.

e. Bagaimana perbedaan gagal ginjal, glomerulonefritis dan

blackwater fever?

Gagal ginjal adalah penurunan fungsi ginjal (penurunan proses filtrasi

dari ginjal,

Glomerulonefritis merupakan kerusakan dari nefron akibat infeksi

bakteri yang nantinya juga dapat mengakibatkan gagal ginjal jika tidak

ditangani.

Blackwater fever merupakan komplikasi dari parasit malaria yang

berada dalam aliran darah sehingga memecah struktur dari sel darah

merah. Akibat dari reaksi antigen-antibodi dari parasit dan imunitas

dalam tubuh jika telah berada di ginjal nantinya juga dapat

menyebabkan gagal ginjal.

DAFTAR PUSTAKA

Alvin .C, 2008. Harrison : Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC.

Anonim. 2012. “Risk Factro”. http://www.mayoclinic.com/health/kidney-

failure/DS00280/DSECTION=risk-factors diakses tanggal 30 April 2013.

Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL,Fauci AS, Longo

DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editor.Harrison’s principle of

internal medicine. Ed 16. New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53.

Bruneel F, Gachot B, Wolff M, et al. (2002). "[Blackwater fever]". Presse

médicale (Paris, France : 1983) (in French) 31 (28): 1329–34..

Bruneel, F; Gachot, B; Wolff, M; Bedos, JP; Regnier, B; Danis, M; Vachon, F

(2002). "Blackwater fever". Presse medicale (Paris, France : 1983) 31 (28):

1329–34.

Fletcher S, Dhrampal A. Acid-Base Balance and Arterial Blood Gas Analysis.

Surgery 2003; 7:61-5

Hubble SMA. Acid-Base and Blood Gas Analysis. Anesthesia and Intensive Care

Medicine 2007; 11: 471-3.

Kaplan L, Frangos S. Clinical review: acid–base abnormalities in the intensive

care unit – part II. Crit Care 2005; 9: 198–203.

Kellum J. Clinical review: reunification of acid–base physiology. Crit Care 2005;

9: 500–7.

Kellum JA. Determinants of blood pH in health and disease. Crit Care 2000; 4: 6–

14.

Katongole-Mbidde E, Banura C, Kizito A (1988-03-19). "Blackwater fever caused

by Plasmodium vivax infection in the acquired immune deficiency

syndrome". Br Med J (Clin Res Ed) 296 (6625): 827.

Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and classification: time

for change?. J Am Soc Nephrol. 2003;14:2178-87.

Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, Molitoris BA, Ronco C, Warnock DG, et al.

Acute kidney injury network: report of an initiative toimprove outcomes in

acute kidney injury. Critical Care. 2007,11:R31.

Orlando Regional Healthcare. Interpretation of Arterial Blood Gas. Orlando

Regional Healthcare. 2004. p 4

Robbins dan Kumar.2011. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC

Price, Wilson.2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6.

Jakarta : EGC

Sinto, Robert dan Ginova Nainggolan.2010. Acute Kidney Injury: Pendekatan

Klinis dan Tata Laksana. Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Maj Kedokt Indon, Volum: 60,

Nomor: 2, Pebruari

Williams AJ. ABC of Oxygen: Assessing and Interpreting Arterial Blood Gases

and Acid-Base Balance. BMJ 1998; 317: 1213-16