Laporan Tebu Mega
-
Upload
sigit-satria-putra -
Category
Documents
-
view
158 -
download
20
Transcript of Laporan Tebu Mega
LAPORAN PRAKTIKUM
TEKNOLOGI PENGOLAHAN
KOMODITI HASIL PERKEBUNAN HULU
“GULA”
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Sih Yuwanti, M. P
oleh
Tria Mega Puspitasari 111710101068
Kelompok B5
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2012
BAB 1. METODOLOGI PRAKTIKUM
1.1 Alat dan Bahan
1.1.1 Alat
- Hand Refractometer
- Beaker Glass
- Alat Pemanas
- Pengaduk Magnetik
- Kertas Lakmus
- Colour Reader
- Neraca
- Mesin Pengayak
- Ayakan 12, 16, 20,30, dan 50 mesh
- Timbangan Analitik atau Semi Analitik Ketelitian 0,1 mg
- Erlenmeyer 300 mL
- Buret Mikro 10 mL
- Magnetic Stirrer
- Cawan Timbang
1.1.2 Bahan
- Nira Dari Tebu (bersama kulit dan yang dikupas kulitnya)
- 2 Macam Gula Kristal Putih Dengan Warna Berbeda (Gulaku dan
Gula Curah)
- 2 Macam Gula Merah Tebu Dengan Warna Berbeda
- Larutan Iodium (Setara dengan ± 0,2 mg SO2/mL)
- Larutan Standar Tiosulfat
- HCl 5%
- Larutan Kanji 0,2%
- Aquades
Nira Tebu(Dikupas/tidak dikupas)
Teteskan pada refraktometer
Amati derajat brix nira (3 kali pengamatan)
Bandingkan derajat brix kedua jenis nira
Nira Tebu(Dikupas/tidak dikupas)
Panaskan hingga suhu ± 70°C
pH netral
Susu kapur
Panaskan kembali (15’) sambil diaduk
Tunggu hingga dingin
Teteskan pada refraktometer
1.2 Skema Kerja
1.2 Skema Kerja
1.2.1 Derajat Brix Nira
1.2.2 Defekasi
2 macam gula kristal putih (berbeda warna)
Masukkan dalam plastik tebal
Amati warna (kecerahan) dengan color reader(3 kali pengamatan nilai L)
Bandingkan kecerahan kedua jenis gula kristal putih
Susunan ayakan sesuai dengan ukuran mesh(16, 18, 29, 30 dan 50 mesh)
Timbang @60 gram 2 macam gula kristal putih
Pengayakan (10’ dengan 2 kali ulangan)
Timbang gula di setiap ayakan
Hitung persentase besar jenis gula
Bandingkan dengan SNI
1.2.3 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih
1.2.4 Besar Jenis Butir Gua Kristal Putih
150 mL aquades
Titrasi dengan larutan Iodium hingga terbentuk warna ungu muda
+10 mL indikator kanji dan 10 mL HCl
50 gram sampel
Larutkan dalam 150 mL aquades
+10 mL indikator kanji dan 10 mL HCl
Titrasi dengan larutan Iodium hingga terbentuk warna ungu muda
1.2.5 Penentuan Residu Belerang Oksida (SO2)
Blanko (v)
Sampel (t)
BAB 2. HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN
2.1.1 Hasil Pengamatan
Derajat Brix Nira Dan Defekasi
Nira Drajat brix Derajat Brix
setelah defekasi
Nira tebu bersama kulitnya 1. 22
2. 22
3. 22
1. 22,2
2. 22,4
3. 22,2
Nira tebu yang dikupas kulitnya 1. 21,6
2. 21,6
3. 21,6
1. 22,2
2. 21,8
3. 21,8
Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih
Gula kristal putih Nilai L
A
Gulaku
1. 43,1
2. 42,3
3. 43,3
B
Gula Curah
1. 37,5
2. 36,6
3. 38,6
Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih
Gula kristal putih Berat (gram) ulangan 1 Berat (gram) ulangan 2
A
Gula curah
Fraksi I : 12,93
Fraksi II : 2,95
Fraksi II : 2,11 y =59,8
Fraksi IV : 34,09
Fraksi V : 7,49
Fraksi VI : 0,23
11,08
25,13
9,27 y=59,57
8,66
5,08
0,35
B
Gulaku
Fraksi I : 4,35
Fraksi II : 0,74
Fraksi II : 1,29 y=59,53
Fraksi IV : 34,07
Fraksi V : 17,05
Fraksi VI : 2,03
2,16
11,36
8,62 y=59,93
14,90
18,59
4,30
Faktor ayakan : fraksi I = 7,1
fraksi II = 8,55
fraksi III = 10,0
fraksi IV = 14,1
fraksi V = 24,0
fraksi VI = 48,0
Residu Belerang Oksida (SO2)
1 mol lod setara dengan = 0,1995 mg SO2/ml
Berat contoh = 50 gr
Gula Titran (ml)
contoh
Titran (ml) contoh
Gula Kristal Putih A
Gulaku
1. 26,1
2. 28,4
2,3
1. volume awal = 25
2 .volume akhir = 26,1 1,1
Gula Kristal Putih B
Gula curah
1. 20
2. 24.6 4,6
1. volume awal = 25
2 .volume akhir = 26,1 1,1
Gula Kristal Putih A
Gulaku
1. 24,6
2. 32,1 7,
5
1. volume awal = 25
2 .volume akhir = 26,1 1,1
Gula Kristal Putih B
Gula curah
1. 32,1
2. 37,7 5,6
1. volume awal = 25
2 .volume akhir = 26,1 1,1
BAB 3. PEMBAHASAN
Tebu (Saccarum officinarum L) termasuk famili rumput- rumputan.
Tanaman ini memerlukan udara panas yaitu 24- 30 ºC dengan perbedaan suhu
musiman tidak lebih dari 6 ºC, perbedaan suhu siang dan malam tidak lebih dari
10 ºC. Tanah yang ideal bagi tanaman tebu adalah tanah berhumus dengan pH
antara 5,7- 7. Batang tebu mengandung serat dan kulit batang (12,5%) dan nira
yang terdiri dari air, gula, mineral dan bahan non gula lainnya (87,5%)
(Notojoewono, 1981).
3.1 Derajat Brix Nira
Nira tebu pada dasarnya terdiri dari dua zat yaitu zat padat terlarut yang
(terdiri atas gula dan bukan gula) dan air. Brix merupakan zat padat kering
terlarut (dalam gr) dalam setiap 100 gr larutan dan sebagai yang dihitung
sebagai sukrosa, selain terdiri dari gula brix juga mengandung zat padat terlarut
lainnya (Subagio 2008). Zat yang terlarut sebagai gula (sukrosa, glukosa,
fruktosa, dan lain-lain), atau garam-garam klorida atau sulfat dari kalium, natrium,
kalsium, dan lain-lain merespon dirinya sebagai brix dan dihitung sebagai
sukrosa, jadi kadar sukrosa pada suatu larutan sama dengan kadar brix. Baik
buruknya kualitas ni
Satuan brix merupakan satuan yang digunakan untuk menunjukkan kadar
gula yang terlarut dalam suatu larutan. Semakin tinggi derajat brix nya maka
semakin manis larutan tersebut. Sebagai contoh kasus dalam pengolahan nira
bahwa nilai Brix adalah gambaran seberapa banyak zat padat terlarut dalam nira
(Buckle, 1985).
Pemurnian cara defekasi merupakan cara yang paling sederhana dengan
menggunakan bahan pembantu berupa kapur tohor. Kapur tohor hanya
digunakan untuk menetralkan asam-asam yang terdapat dalam nira. Nira yang
telah diperoleh dari mesin penggiling diberi kapur sampai diperoleh harga pK
sedikit alkalis (pH 7,2). Nira yang telah diberi kapur kemudian dipanaskan sampai
mendidih. Endapan yang terjadi dipisahkan.
Berdasarkan data dari tabel derajat brix nira dan defekasi, derajat brix
nira tebu bersama kulitnya memiliki rata-rata derajat brix yang lebih besar yaitu
22 dibandingkan dengan derajat brix nira tebu yang dikupas kulitnya yaitu 21,6.
Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa nira tebu yang kulitnya tidak dikupas
memiliki kandungan sukrosa yang lebih tinggi. Hal tersebut dapat disimpulkan
dari besar nya nilai brix maka semakin manis larutan tersebut. Perbedaan brix
tersebut dimungkinkan karena pada nira dari tebu yang tidak dikupas bagian
kulitnya ikut terekstrak dan akan menambah padatan terlarut (sukrosa).
Sedangkan derajat brix setelah defekasi, nira tebu bersama kulitnya memiliki
rata-rata derajat brix lebih besar yaitu 22,3 jika dibandingkan dengan derajat brix
nira tebu yang telah dikupas kulitnya yaitu 21,93. Dari hal tersebut dapat
diketahui bahwa terjadi peningkatan nilai brix pada saat nira belum didefekasi
dan setelah didefekasi. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah gram sukrosa
dalam 100 gram lrutan mengalami peningkatan setelah didefekasi yang dapat
disebabkan karena pada saat defekasi, ion Ca pada kapur akan bereaksi dengan
phosphat dalam nira kemudian membentuk garam phospat. Garam ini akan
menyerap dan merangkan bahan non gula lainnya membentuk flokulan (Yuwanti,
2012). Sehingga jumlah padatan yang terlarut semakin besar akibat padatan non
sukrosa dalam nira berkurang akibat adanya penggumpalan.
3.2 Warna (Kecerahan) Gula Kristal Putih
Gula Kristal dapat dibagi menjadi beberapa yang dilihat dari keputihannya
dengan menggunakan standar ICUMSA (Iternational Commision For Uniform
Methods of Sugar Analysis). ICUMSA telah membuat grade kualitas warna gula,
system grade ini dilakukan berdasar warna gula yang menunjukkan kemurnian
dan banyaknya kotoran yang terdapat dalam gula tersebut (Risvan, 2009). Untuk
gula Kristal putih, grade ICUMSA yang diberikan sebesar 81-259, berdasarkan
standard SNI gula yang boleh dikonsumsi langsung adalah gula dengan warna
ICUMSA 250 dan warna kristal gula berkisar antara 4,0 – 7,5 CT. Pada
umumnya pabrik gula sulfitasi dapat memproduksi gula dengan warna <300.
Untuk mengukur warna gula, kita dapat menggunakan colour reader yang
memiliki system notasi warna hunter (system warna L, a, b). L merupakan
parameter untuk kecerahan (brighness) dengan nila 0 (hitam) sampai 100 (putih),
a dan b merupakan koordinat-koordinat kromatisitas yang menyatakan warna
kromatik campuran merah hijau dengan nilai +a dari 0 sampai +60 untuk warna
dan –a dari 0 sampai -60 untuk warna hijau. Nilai b menyatakan warna kromatik
campuran kuning biru dengan nilai +b dari 0 sampai +60 untuk warna kuning dan
nilai –b dari 0 sampai -60 untuk warna, biru (Sudarmadji 1982).
Dapat dilihat dari hasil pengamatan, nilai L dari gulaku sebesar 42,9 lebih
besar dibandingkan dengan gula curah yang bernilai 37,57. Dapat disimpulkan
bahwa gulaku memiliki kristal yang lebih putih jika dibangdingkan dengan gula
curah, hal ini dapat disebabkan oleh proses pemurnian yang berbeda. Pada
proses pembuatan gulaku digunakan proses pemurnian secara bertingkan
sehingga dihasilkan kristal gula yang lebih putih, pada pembuatan gula curah
menggunakan pemurnian biasa sehingga Kristal gula yang dihasilkan tidak
seputih kristal gulaku. Dari hasil pengamatan tidak dapat dibandingkan dengan
standard SNI karena satuan yang digunakan dan cara pengukurannya berbeda
3.3 Besar Jenis Butir Gula Kristal Putih
Berat jenis butir gula merupakan ukuran rata-rata butir Kristal gula yang
dinyatakan dalam ukuran mm. kulitas gula akan semakin baik dilihat dari tingkat
keseragaman kristal gula yang tinggi.SNI menetapkan besar jenis gula adalah
0,8-1,2 (Sumarno, 1994)
Berdasarkan perhitungan besar jenis butir gula Kristal putih yang
menggunakan sampel gula curah dan gula kemasan. Gula curah menghasilkan
besar jenis butir 0,85 mm, sedangkan gula kemasan menghasilkan besar jenis
butir 0,60 mm. Data tersebut menunjukkan bahwa gula curah memiliki besar jenis
butir lebih tinggi dibandingkan dengan gula kemasan. Hal ini dikarenakan pada
proses pembuatan gula curah hanya dilakuka proses defekasi tanpa sulfitasi,
sehingga flokulan yang seharusnya dibuang terikut masuk pada proses
kristalisasi yang menyebabkan gula mengkristal dengan ukuran yang besar dan
tidak rata.
3.4 Residu Belerang Dioksida (SO2)
Sulfitasi adalah proses pengolahan gula yang di dalam proses
pemurniannya menggunakan kapur dan SO2 sebagai bahan pemurni. Gula yang
di dapat dari proses ini berwana putih. Sebelum memulai proses ini di tangki nira
mentah dilakukan penambahan asam phospat (H3PO4) sebanyak 210 kg/ 8 jam
(250-300 ppm), yang bertujuan untuk menyerap koloid dan zat warna,
menurunkan kadar kapur nira mentah, melunakkan kerak evaporator,
mempermudah proses pengendapan, sehingga nira yang dihasilkan lebih jernih.
(Sudarmadji, 2003). Sedangkan penambahan SO2 berfungsi untuk Penambahan
gas SO2 suhu 70-80°C bertujuan untuk :
1. Menetralkan kelebihan susu kapur (menetralkan pH nira), dan sebagai
bleaching agent (zat pemutih).
2. Mengikat unsur-unsur lain yang bereaksi pada defekator.
3. Menurunkan pH, dan membentuk CaSO4 untuk mengikat kotoran dalam
nira. Pada suhu tersebut, kelarutan CaSO4 rendah, sehingga proses
pengendapan akan optimal. (Marianto,2008)
Pemakaian SO2 yang ditetapkan oleh SNI adalah 30 ppm. Hal ini
menunjukkan bahwa gula curah maupun gulaku tidak memenuhi standar. Karena
residu belerang dioksida pada gula curah adalah 1,824 x 10-3 ppm dan kadar SO2
pada gulaku adalah 2,884 x 10-4 ppm. Residu belerang merupakan endapan yang
tersisa saat sulfitasi dilakukan.
Dari data pengamatan tersebut, terlihat bahwa residu gula kemasan lebih
kecil dibandingkan dengan residu gula curah. Hal ini sesuai dengan pengamatan
warna pada praktikum sebelumnya yang menyatakan bahwa gula kemasan lebih
putih dibandingkan dengan gula curah. Karena semakin sedikit residu belerang
yang tertinggal, maka semakin banyak gas SO2 yang dikeluarkan dan digunakan.
Sehingga semakin pucat nira, dan semakin putih gula yang dihasilkan.
BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Derajat brix pada nira sebelum defekasi memiliki nilai yang kecil
dibandingkan dengan derajat brix nira yang telah di defekasi.
2. Gula curah memiliki kecerahan yang lebih kecil dibandingkan dengan
gula yang dikemas.
3. Gula curah memiliki berat jenis butir lebih tinggi dibandingkan dengan
gula yang dikemas.
4. Residu belerang oksida (SO2) terbesar pada gula kemasan dibandingkan
dengan gula curah.
4.2 Saran
Sebaiknya praktikum dilakukan secara maksimal, dikonsdisikan agar
praktikan tidak ramai dan gaduh. Sehingga seharusnya asisten lebih tegas
kepada praktikan.
DAFTAR PUSTAKA
Buckle, K.A.1985. Ilmu Pangan. Terjemahan oleh H. Purnomo. 1987. Jakarta: UI Press.
Notojoewono. 1981. Pengolahan Gula Industri. Yogyakarta : Bina Usaha
Subagio. 2008. Budidaya Tanaman Tebu. Yogyakarta :UGM
Sudarmaji, Slamet. 1982. Bahan- bahan Pemanis. Jakarta : Erlangga
Sumarno. 1994. Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam Proses Pemurnian Tebu. Pasuruan : P3GI
Yuwanti. 2012. Analisa Bahan Makanan Dan Pertanian. Bandung : ITB