LAPORAN sken2

23
LAPORAN KELOMPOK TUTORIAL SKENARIO 2 BLOK TRAUMATOLOGI Syok dan Pneumothoraks Sebagai Komplikasi dari Trauma Disusun oleh: Hastin Mutiara Surga G0007084 Ika Maharani G0007086 Intan Rengganis G0007088 Irine Puspita S G0007090 Khumaidi G0007092 Farah Hafidzah R G0007196 I Putu Karisma G0007198 Joice Marlina G0007200 Khonita Adian U G0007202 Linda Soebroto G0007204

description

it's an report of a skenario in traumatology blok,..

Transcript of LAPORAN sken2

Page 1: LAPORAN sken2

LAPORAN KELOMPOK TUTORIALSKENARIO 2

BLOK TRAUMATOLOGI

Syok dan Pneumothoraks Sebagai Komplikasi dari Trauma

Disusun oleh:

Hastin Mutiara Surga G0007084Ika Maharani G0007086Intan Rengganis G0007088Irine Puspita S G0007090Khumaidi G0007092Farah Hafidzah R G0007196I Putu Karisma G0007198Joice Marlina G0007200Khonita Adian U G0007202Linda Soebroto G0007204

Nama Tutor : dr. Ida Bagus Metria, Sp. BD

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Page 2: LAPORAN sken2

2010

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahDewasa ini, kasus kasus yang berkaitan dengan Trauma banyak sekali terjadi.

Hampir tiap hari ditemukan pasien dengan trauma baik itu akibat benda tumpul, tajam maupun akibat kecelakaan lalu lintas. Pada pasien trauma, kegawatdaruratan yang terjadi pada pasien harus segera di tatalaksana untuk mencegah semakin memburuknya keadaan pasien.

ATLS (Advance Trauma Live Support), perlu dimiliki oleh seorang dokter umum, sebagai pengambil tindakan pertama pada pasien dengan kasus traumatologi. Sehingga, dengan basic ATLS yang baik, diharapkan semakin banyak pasien pasien dengan kasus Trauma diperbaiki kondisinya sebelum dilakukan rujukan lebih lanjut ke bagiannya masing masing.

B. Rumusan Masalah1. Apakah pada pasien di dalam skenario, terjadi cidera yang menyebabkan fraktur?2. Apa indikasi dari pemeriksaan Radiologi yang dilakukan pada pasien?3. Apa yang menyebabkan terjadinya perbaikan vital sign pada pasien didalam

skenario setelah dibawa ke rumah sakit?4. Apa maksud pemberian oksigen 10-12 liter/menit pada pasien didalam

skenario??5. Apa yang menyebabkan Respirasi rate pada pasien meningkat?6. Bagaimana prosedur dilakukannya Needle Thoracosintesis dan WSD?7. Apa tujuan dari infus RL hangat?8.Jelaskan mengenai status GCS dan kekuatan motorik pada pasien.

C. Tujuan PenulisanPenulisan laporan ini bertujuan untuk :1. Memenuhi kompetensi mahasiswa di dalam blok Traumatologi 2.  Menambah pengetahuan dan pemahaman di bidang Traumatologi3.   Mengetahui akibat-akibat yang muncul karena proses trauma pada seseorang.4.  Mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan terkini di bidang traumatologi

D. Manfaat PenulisanMahasiswa diharapkan mampu:1.      Membentuk pola pikir mahasiswa menjadi terarah dan sistematis2.      Mahasiswa mampu menyusun tulisan ilmiah yang baik dan benar3.      Menambah pengetahuan mahasiswa di bidang traumatologi

Page 3: LAPORAN sken2

4.     Menambah pengetahuan mahasiswa tentang penatalaksanan yang efektif sebagai dokter umum dalam menghadapis kasus kasus trauma pada suatu kecelakaan.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. TENSION PNEUMOTORAKS

Tension pneumotoraks merupakan keadaan gawat darurat bedah yang memerlukan diagnosis dan penanganan segera. Tension pneumotoraks berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melaui dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta akan menekan paru kontralateral.

Penyebab tersering dari tension pneumotoraks adalah komplikasi penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada pleura viseral. Tension pneumotoraks dapat timbul sebagai komplikasi dari pneumotoraks sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna. Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension pneumotoraks, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut (occlusive dressings) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme flap-valve. Tension pneumotoraks juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures).

Diagnosis tension pneumotoraks ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan terapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologi. Tension pneumotoraks ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernapasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakea, hilangnya suara napas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosis merupakan manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gejala antara tension pneumothorax dan tamponade jantung maka sering membingungkan pada awalnya tetapi perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara napas pada hemitoraks yang terkena pada tension pneumotoraks dapat membedakan keduanya. Tension pneumotoraks membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada spatium intercostale 2 linea midclavicula pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi pneumotoraks sederhana. Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemasangan selang dada (chest tube) pada spatium intercostale 5 di antara garis anterior dan midaxillaris (Komisi Trauma IKABI, 1997)

Page 4: LAPORAN sken2

Prinsip penatalaksanaan/manajemen tension pneumotoraks  (Parwaningtyas, 2008):

1. Penatalaksanaan mengikuti prinsip penatalaksanaan pasien trauma secara umum (primary survey – secondary survey).

2. Tidak dibenarkan melakukan langkah-langkah: anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara konsekutif (berturutan)

3. Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya bisa dilakukan bila pasien stabil), adalah portable x-ray, portable blood examination, portable bronchoscope. Tidak dibenarkan melakukan pemeriksaan dengan memindahkan pasien dari ruang emergency.

4. Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis akan tetapi terutama untuk menemukan masalah yang mengancam nyawa dan melakukan tindakan penyelamatan nyawa.

5. Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan atau setelah melakukan prosedur penanganan trauma.

6. Penanganan pasien trauma toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah memiliki sertifikasi pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support).

7. Oleh karena langkah-langkah awal dalam primary survey (airway, breathing, circulation) merupakan bidang keahlian spesialistik Ilmu Bedah Toraks Kardiovaskular, sebaiknya setiap RS yang memiliki trauma unit/center memiliki konsultan bedah toraks kardiovaskular.

B. SYOK NEUROGENIK

Syok neurogenik merupakan syok yang disebabkan kegagalan pusat vasomotor yang ditandai dengan hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh sehingga terjadi penurunan tekanan darah secara massif.Etiologi

1. Disfungsi saraf simpatis, disebabkan oleh trauma tulang belakang dan spinal syok (trauma medulla spinalis dengan quadriflegia atau paraflegia)

2. Rangsangan hebat yang tidak menyenangkan,misal nyeri hebat3. Rangsangan pada medulla spinalis, misalnya penggunaan obat anestesi4. Rangsangan parasimpatis pada jantung yang menyebabkan bradikardi jantung

mendadak. Hal ini terjadi pada orang yang pingan mendadak akibat gangguan emosional

Patofisiologi

Page 5: LAPORAN sken2

Cedera pada tulang belakang atau medulla spinalis menyebabkan kegagalan pada pusat vasomotor sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan darah pada vena perifer. Gagalnya pusat vasomotor akan diikuti dengan hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak diseluruh tubuh sehingga terjadi penurunan darah sistemik akibat vasodilatasi pembuluh darah perifer dan penurunan curah jantung Selain karena cedera, rangsangan pada medulla spinalis juga bisa disebabkan oleh penggunaan obat ansestesi spinal. Sedangkan letupan rangang parasimpatis ke jantung dapat memperlambat denyut jantung dan menurunkan rangsangan simpatis pada pembuluh darah. Proses ini terjadi ketika seseorang mendapatkan rangsangan emosional yang sangat kuat, misal mendengar/menyaksikan sesuatu yang membuatnya sangat marah atau sedih (Purnawan, 2009).

C. HIPOTERMIA

Hipotermia adalah rendahnya suhu tubuh sampai dibawah 350C. Gejala hipotermia dapat dibagi menjadi 3 stadium (tanpa ada trauma):

1. Stadium Perangsangan (hipotermia ringan, 32 – 35 drajatC): terjadi tremor otot hingga maksimal, akibatnya kecepatan metabolisme basal sangat meningkat, semua sumber glukosa dipakai (hiperglikemia), dan penggunaan O2 meningkat sampai 6 kalinya. Takikardia dan vasokonstriksi menimbulkan peningkatan tekanan darah; vasokonstriksi di daerah ujung-ujung kaki menimbulkan nyeri. Pasien pada awalnya berada dalam kesadaran penuh, lalu menjadi bingung dan bahkan apatis, dan akhirnya kemampuan penilaiannya menjadi terganggu.

2. Stadium Kelelahan (hipotermia sedang, 28 – 32 drajatC): sumber glukosa tidak ada lagi (hipoglikemia); terjadi bradikardia, aritmia dan depresi pernapasan. Pasien mulai berhalusinasi dan berperilaku menyimpang, yang segera menjadi tidak sadar dan tidak dapat lagi merasakan nyeri.

3. Stadium Paralisis (hipotermia berat, sekitar <28 drajatC): koma; refleks pupil hilang (tetapi tidak ada tanda kematian otak); akhirnya diikuti fibrilasi ventrikel, asistol, dan apnea. Semakin rendah penurunan suhu yang terjadi sampai aliran darah ke otak terhenti, maka semakin lama otak bisa menoleransi terhentinya sirkulasi (30 drajatC: 10 – 15 menit, 18 drajatC: 60-90 menit). Hal ini menjelaskan mengapa beberapa orang dapat bertahan dalam keadaan hipotermia yang sangat ekstrim (<20 drajatC). Terhentinya sirkulasi yang lama dapat menoleransi suhu yang rendah dan hal ini juga digunakan untuk hipotermia terapeutik (operasi jantung terbuka dan penyimpanan organ untuk transplantasi) Upaya pemanasan kembali pada pasien hipotermia sebaiknya tetap dapat dilakukan walaupun suhu inti telah turun sampai dibawah 20 drajatC. Akan tetapi, pemanasan kembali dapat menimbulkan komplikasi yang dapat menyebabkan kematian, terutama bila dilakukan dari luar dan terlalu cepat, artinya lebih cepat dari beberapa drajatC/jam. Pada stadium 1 (>32 drajatC) dilakukan pemanasan dari luar dan secara pasif (ruangan hangat, selimut, dialasi kertas timah). Pada stadium 2, pemanasan harus dilakukan secara aktif (selimut listrik, infuse hangat, mungkin juga hemodialisis/cuci darah dengan penggantian panas) di bawah pengawasan monitor. Pada hipotermia stadium III

Page 6: LAPORAN sken2

dengan sirkulasi yang terhenti, pemanasan aktif dengan sirkulasi ekstrakorporeal (mesin jantung-paru) merupakan metode pemanasan kembali yang paling efektif.Untuk penderita trauma, rawan rawan mengalami hipotermi dan setiap derajat dari

hipotermi sistemik pada penderita trauma, akan diperberat dengan cederanya. Suhu inti dibawah 360C, pada pasien trauma sudah dianggap hipotermi dan suhu dibawah 320C merupakan hipotermia berat. Secara fisiologis tubuh melakukan respon kompensasi dengan menaikkan suhu tubuh, dan ini dapat mengganggu usaha resusitasi. Termogenesis dengan menggigil akan meningkatkan konsumsi oksigen.

Bahaya hipotermi disebabkan metabolisme aerob yang tidak adekuat karena kebutuhan O2

tidak tercukupi karena adanya trauma, sehingga akan terjadi metabolism anaerob yang menyebabkan terbentuknya asam laktat berlebihan. Bahayanya muncul jika tubuh mengalami asidosis metabolik.

Untuk perawatan terhadap hipotermi pada intinya diberi pemanasan. Pada hipotermia ringan (> 320C) pemanasan pasif dengan bahan penyekat/ isolasi dan menempatkan pasien di lingkungan yang hangat (>210C). Untuk hipotermia sedang sampai berat (<320C) biasanya diberi pemanasan inti. Ada berbagai macam pemanasan inti seperti levase mediastinum, sirkulasi ekstrakorporeal, pemanasan arteri vena rutin (CAVR) yang digunakan pada pasien dengan penyakit kritis. CAVR berkaitan dengan membaiknya kelangsungan hidup setelah trauma sedang berat dan berkurangnya secara bermakna kebutuhan darah dan cairan, gagal organ, dan lama rawat di ICU.

D. PEMERIKSAAN KESADARAN

Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS, yakni metode EMV (Eyes, Verbal, Movement)

1. Kemampuan membuka kelopak mata (E) Secara spontan 4 Atas perintah 3 Rangsangan nyeri 2 Tidak bereaksi 1

2. Kemampuan komunikasi (V) Orientasi baik 5 Jawaban kacau 4 Kata-kata tidak berarti 3 Mengerang 2 Tidak bersuara 1

3. Kemampuan motorik (M) Kemampuan menurut perintah 6 Reaksi setempat 5 Menghindar 4 Fleksi abnormal 3 Ekstensi 2 Tidak bereaksi 1

Page 7: LAPORAN sken2

Tingkat kesadaran dapat dibagi atas: kesadaran yang normal (kompos mentis), somnolen, sopor, koma-ringan dan koma.

1. Somnolen : keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang. Somnolen disebut juga sebagai letargi, obtundasi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh mudahnya penderita dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.

2. Sopor (Stupor) :Kantuk yang dalam. Penderita masih dapat dibangunkan dengan rangsangan yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia masih dapat mengikuti suruhan yang singkat, dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri penderita tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari penderita. Gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.

3. Koma-ringan (semi-koma) :pada keadaan ini tidak ada respons terhadap rangsang verbal. Refleks (kornea, pupil dan lain sebagainya) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai respons terhadap rangsang nyeri. Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi. Penderita sama sekali tidak dapat dibangunkan.

4. Koma :tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.

Tabel 9. Derajat Kekuatan Otot

Skor Hasil Pemeriksaan

0

1

2

3

4

5

NT

Kelumpuhan Total

Teraba atau terasanya kontraksi

Gerakan tanpa menahan gays berat

Gerakan melawan gays berat

Gerakan kesegala arch, tetapi kekuatan kurang

Kekuatan normal

Tak dapat diperiksa

E. PERUBAHAN VITAL SIGN PADA SYOK

Pemeriksaan vital sign terdiri dari pemeriksaan tekanan darah, nadi, respiration rate, dan suhu tubuh. Penyebab dari syok sendiri dapat beranekaragam baik karena kehilangan voume darah yang berlebihan (syok hopovolemik), kegagalan jantung memompa darah secara adekuat (syok kardiogenik), vasodilatasi arteriol luas akibat zat-zat vasodilator toksik atau alergik (syok vasogenik), atau tonus vasokonstriktor (syok neurogenik). Dalam

Page 8: LAPORAN sken2

keadaan syok maka dapat terjadi perubahan dalam vital sign sebagai kompensasi perubahan sirkulasi tubuh. Segala jenis kasus syok akan berakibat pada penurunan tekanan arteri rata-rata. Apabila pasien kehilangan cairan tubuh akibat perdarhan yang berlebihan akan mengakibatkan penurunan volume darah sehingga curah jantung tidak akan adekuat. Pada syok kardiogenik penurunan curah jantung terjadi akibat kontraksi jantung yang melemah. Pada syok vasogenik baik syok septik ataupun syok anafilaktik, zat-zat vasodilator akan mengakibatkan vasodilatasi yang luas pada arteri sehingga terjadi penurunan resistensi perifer total yang juga mengakibatkan penurunan tekanan darah. Syok neurogenik mengakibatkan penurunan aktivitas saraf simpatis yang mengakibatkan hilangnya tonus vaskuler. Dengan demikian akan terjadi vasodilatasi yang luas disertai penurunan tekanan darah.

Saat terjadi syok maka tubuh akan melakukan beberapa kompensasi untuk mempertahankan aliran darah ke otak. Respon refleks baroreseptor terhadap penurunan tekanan darah adalah peningkatan aktivitas simpatis dan penurunan aktivitas parasimpatis. Dengan demikian akan terjadi peningkatan denyut jantung. Namun pada kehilangan cairan tubuh yang hebat denyut nadi melemah karena penurunan volume sekuncup. Jadi pada perabaan nadi akan teraba cepat namun lemah. Selain melalui peningkatan heart rate dan kontraktilitas jantung, kompensasi lain yaitu berupa vasokonstriksi arteri dan vena. Konstriksi dari arteri akan mengurangi aliran darah ke daerah yang kurang membutuhkan dan konstriksi vena akan menurunkan waktu sirkulasi dan meningkatkan sirkulasi menuju ke arteri.

Temuan obektif pada pemeriksan yang menandakan adanya penurunan perfusi organ dan mekanisme kompensasi antara lain takikardia, kulit yang dingin, pucat, dan lembab karena pengisian kapiler terlambat, tekanan nadi kecil, tekanan darah menurun, takipneu, dilatasi pupil, hingga penurunan pengeluaran urine.

Hal lain yang harus diperhatikan pada pemeriksaan vital sign adalah respiration rate dan suhu tubuh. Respiration rate yang meningkat dapat menandakan adanya suatu kebutuhan oksigen yang meningkat baik diakibatkan oleh gangguan pada saluran pernapasan ataupun adanya gangguan sirkulasi oksigen ke jaringan. Dengan demikian pembebasan jalan napas dan pemberian bantuan ventilasi merupakan hal yang perlu diperhatikan pada kasus trauma dan kegawatan lain. Pemeriksaan suhu merupakan hal yang penting untuk memantau terjadinya hipotermia. Hipotermia dapat mengakibatkan terjadinya metabolisme anaerob dalam tubuh yang dapat berakibat asidosis. Penurunan suhu tubuh hingga dibawah 36 0C perlu mendapat pertolongan secepatnya (Sheerwood, 2001; Bresler, 2006)

F. PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Penggunaan cross table lateral sendiri tidak cukup untuk menyingkirkan cedera tulang belakang leher, melainkan memiliki sensitivitas antara 57% dan 85% ,58-60 MacDonald et al menemukan bahwa penambahan anteroposterior dan pandangan yg mirip gigi-mulut terbuka ke lateral crosstable sensitivitas meningkat dari 83% menjadi 99%. al-hal yang harus diperhatikan mengenai Cross Table yaitu:1. Lihat Juga

Page 9: LAPORAN sken2

a. C-Spine Xray

b. Buka mulut yg mirip gigi

2. Interpretasi Teknik (mnemonic: ABCDS)

a. Film yang memadai dan Keselarasan

b. Kurus landmark

c. Kartilaginosa ruang

d. Disc

e. Jaringan lunak spasi

3. Kriteria film yang memadai

a. Visualisasikan semua tujuh tulang (termasuk C7-T1)

b. Manuver untuk meningkatkan pandangan yang lebih rendah C-Spine C7-T1

1) Tarik ke bawah pada lengan selama lintas meja lateral

2) Lihat perenang

3) Spine serviks CT

4. digynakan untuk

a. Kriteria penilaian

1) Tengara harus sesuai dengan <3mm perbedaan

b. untuk memeriksa bagian tulang

1) Anterior vertebra

2) Posterior vertebra

3) Facet

4) Proses spinosus (spinolaminar line)

1. Anterior garis tengah proses keras sampai C1-C3

c. Normal varian: Pseudosubluxation C2 dan C3

1) Normal pada anak-anak

2) Dilihat dalam 20% dari anak di bawah usia 8 tahun

d. Temuan Abnormal

Page 10: LAPORAN sken2

1) Subluksasi dari> = 3 mm abnormal

2) Angulation> 11 derajat tidak stabil

5. untuk menandai untuk bagian

a. Trace garis tak terputus dari setiap vertebra

b. Trace garis yg mirip gigi dari tulang C2

6. Kartilaginosa ruang

a. Predental ruang

1) Jarak dari sarang ke C1 tubuh

b. Nilai normal

1) Dewasa: 3mm

2) Anak: 5mm

7. Disc

a. Menilai simetri ruang disk

8. Soft Tissue spasi

a. Soft Tissue stripe

1) Normal C2 stripe: 5 mm

2) Normal C5 strip: 2 mm

b. Normal Lemak jaringan <stripe 3 mm

Sebuah radiograf antero posterior diperlukan untuk mengevaluasi tulang belakang leher. Pandangan ini harus mencakup C3 untuk T1 karena fakta bahwa mandibula mengaburkan C1 dan C2. Penyelarasan tulang belakang dan proses keras sangat penting untuk menafsirkan film; proses keras harus membentuk garis lurus di tengah tubuh vertebral. Satu proses spinosus tampaknya berada di luar garis dibandingkan dengan yang lain, pasien tersebut mungkin mengalami facet melompat. Jarak antara proses keras harus kira-kira sama, tidak ada ruang harus menjadi 50% lebih luas daripada yang langsung di atas atau di bawah. Kelainan sejalan atau jarak bisa menjadi indikasi dislokasi atau fraktur unifacet permukaan mengartikulasikan lateral. Temuan ini harus meminta Anda untuk berhati-hati meneliti tampilan lateral dan mungkin agar film miring. CT scan dapat membantu jika abnormalitas ditemukan.

G. PENATALAKSANAAN

Page 11: LAPORAN sken2

1. Needle ThoracocentesisNeedle thoracocentesis adalah memasukkan jarum atau kateter ke dalam cavum pleura untuk mengeluarkan akumulasi udara atau cairan di dalam cavum pleura. Indikasi adalah untuk tension pneumothorax dan spontaneous simple pneumothorax. Prosedur Pemakaian:a. Posisi - pasien telentang.b. Identifikasi vena jugularis, dan garis mid-klavikularis di sisi pasien yang terkena c. Tentukan tempat pemasangan di sela iga 2d. Bersihkan tempat yang akan dipasang dengan cairan antiseptice. Pasang kateter IV 10-16 gauge 2-4 inci ke 3-10 cc jarum suntik. Pasang katup

flapperf. Masukkan jarum ke dalam sela iga 2 g. Lepaskan jarum dan alat suntik, tinggalkan kateter dan katup flapper di tempat. h. Pasang balutan kecil di sekitar kateter. i. Letakkan pasien dalam posisi tegak lurus untuk membantu memudahkan respirasi.j. Monitoring respon pasien (respiratory rate, suara pernapasan, warna kulit pasienk. Terus memonitor pasien dan meninjau kembali diperlukan.

(Field Medical Service School, 2001)

2. Water Sealed Drainage (WSD)Water Sealed Drainage (WSD) adalah suatu sIstem drainase yang menggunakan water seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari cavum pleura. Indikasi pemasangan WSD yaitu hemothorax, efusi pleura, pneumothorax dan frail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator. Sedangkan kontraindikasinya adalah infeksi pada tempat pemasangan dan gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol. Cara Pemasangan WSD:

a. Tentukan tempat untuk pemasangan WSD. Bila di kanan pada sela iga ke-7 atau ke-8. Bila di kiri pada sela iga ke-8 atau ke-9 di garis aksilaris posterior atau kira-kira sama tinggi dengan sela iga dari angulus inferior scapula. Bila di dada bagian depan dipilih sela iga ke-2 di garis midklavikuler kanan atau kiri.

b. Secara steril diberi tanda pada selang WSD dari lubang terakhir selang WSD setebal dinding thorax

c. Bersihkan tempat yang akan dipasang WSD dan sekitarnya dengan cairan antiseptic

d. Tutup dengan duk sterile. Daerah tempat masuk selang WSD dan sekitarnya dianestesi setempat secara

infiltrasi dan blokf. Insisi kulit subkutis dan otot dada di tengah sela igag. Irisan diteruskan secara tajam (tusukan) menembus pleurah. Dengan klem arteri lurus lubang diperlebar secara tumpuli. Selang WSD diklem dengan arteri klem dan didorong masuk ke rongga pleura

dengan sedikit tekananj. Fiksasi selang WSD k. Daerah luka dibersihkan dan diberi salep steril agar kedap udara

Page 12: LAPORAN sken2

l. Selang WSD disambung dengan botol WSD sterilm. Bila mungkin pasang penghisap continue dengan tekanan -24 sampai -32 cm H2O (Mansjoer, 2000)

3. Pemberian Oksigen 10-12 lt/menit dengan non rebreathing maskPada pasien mengalami sesak napas yang mengindikasikan terjadi hipoksia.

Hipoksia disebabkan oleh adanya perubahan tekanan intra pleura yang sering menyertai trauma thorax. Akibat dari trauma thorax atau dada yang terjadi, menyebabkan gagal ventilasi (keluar masuknya udara), kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar (organ kecil pada paru yang mirip kantong), kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik (sirkulasi darah). Ketiga faktor ini dapat menyebabkan hipoksia (kekurangan suplai O2) seluler yang berkelanjutan pada hipoksia jaringan.

Salah satu dari terapi pernapasan dalam mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat adalah terapi oksigen (O2). Secara klinis tujuan utama pemberian oksigen adalah :a. Untuk mengatasi keadaan hipoksemia sesuai dengan hasil analisa gas darahb. Untuk menurunkan kerja nafas dan menurunkan kerja miokard.Syarat-syarat Pemberian Oksigen Meliputi :a. Dapat mengontrol konsentrasi oksigen udara inspirasib. Tahanan jalan nafas yang rendahc. Tidak terjadi penumpukan CO2

d. Efisiene. Nyaman untuk pasien

Non rebreathing mask merupakan teknik pemberian oksigen dengan konsentrasi oksigen mencapai 99% dengan aliran 8-12 liter/menit dimana udara inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi. Keuntungan penggunaannya adalah konsentrasi oksigen yang diperoleh dapat mencapai 100% dan tidak mengeringkan selaput lendir (Asuhan Keperawatan, 2009)

4. Larutan Ringer LactatLarutan ringer laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan

untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Pada pasien diberikan infuse cairan ringer laktat untuk mengatasi syok neurogenik yang dialamni pasien.

- BAB IIIPEMBAHASANSeorang laki-laki 25 tahun baru saja jatuh dari atap setinggi 3 meter . Dia dirujuk dengan keluhan sesak nafas dan gelisah, dan kedua tungkai sulit digerakkan. Berdasarkan pemeriksaan tanda vital yang dilakukan oleh dokter jaga di IGD, pasien dikatakan mengalami syok neurogenik. Tekanan darah: 80/40 mmHg, nadi: 120X/menit, reguler, lemah. Akral dingin.Pada primary survey, jalan napas bebas sehingga pasien bisa bernapas bebas. Namun dokter perlu memberikan oksigen 10-12 lt/menit dengan masker. Hal ini bertujuan agar pasien mendapat bantuan perfusi sehubungan dengan syok yang dialaminya. Pada pemeriksaan breathing, terdapat peningkatan JVP (jugular venous pressure),

Page 13: LAPORAN sken2

trachea bergeser ke kanan, RRnya 40X/menit serta tampak sianotik. Jika airway tidak ada masalah, maka masalah breathing ini dipastikan karena ada gangguan dari paru ataupun organ dalam. Pada pemeriksaan paru didapatkan jejas di hemithorak sinistra depan, akibat trauma, maka jejas ini nantinya akan mengganggu pernapasan pasien. Terbukti dengan pengembangan dinding dada yang tertinggal, retraksi suprasternal. Kemudian berdasarkan perkusi yang hipersonor menunjukkan bahwa paru terisi dengan udara yang banyak karena normal perkusi paru adalah sonor. Pada auskultasi suara dasar vesikel sinistra menghilang. Pada pasien ini, hipotesa adalah tension pneumothoraks akibat adanya jejas dada kiri karena jatuh dari atap. Tension penumothoraks menyebabkan cavum pleura terisi udara, akibatnya adalah jejas tadi mengenai pleura sehingga ada jalan untuk udara masuk ke dalam cavum pleura, menyebabkan paru kirinya kolaps dan mengecil. Masuknya udara yang cukup banyak ini akan menggeser letak jantung dan trakhea ke sisi yang kontralateral. Pada pemeriksaan jantung, suara jantung normal sedangkan letaknya bergeser ke kanan. Hal inilah yang menyebabkan keterlambatan pengembalian darah ke jantung sehingga mengakibatkan distensi pada vena jugularis dan pasien kekurangan suplai darah bersih di jaringan yang ditunjukkan dengan sianotik. Peningkatan denyut jantung dan peningkatan respiratory rate, adalah kompensasi tubuh agar jaringan segera mendapat darah dan oksigen.Maka oksigen 10-12 liter tadi berguna untuk membantu pasien mendapatkan perfusi pada tubuh. Kemudian, dokter perlu melakukan needle thoracocenthesis untuk mengambil contoh cairan adan jumlah cairan yang ada. Kemudian follow up nya adalah pemasangan chest tube atau sistem darinage menggunakan water seal untuk mengalirkan udara dari cavum pelura pasien sehingga tekanan rongga tersebut kembali menjadi negatif.Pada pemeriksaan Circulation, tanda vital pasien tampak mengalami perbaikan. Tensi naik menjadi 100/70 mmHg, nadi turun menjadi 100X/menit, reguler, dan akral menjadi hangat. Hal ini karena dokter sudah memberikan oksigen pada awalnya untuk peningkatan perfusi jaringan. Namun dokter perlu memberikan cairan untuk mengatasi kehilangan cairan setelah syok mengalami perbaikan dan diuresis terjadi akibat kelanjutan dari syok nya. Prinsip pemberian cairan ini adalah cairan yang sesuai dengan yang dikeluarkan pasien. Maka dokter memberinya RL hangat dengan tetesan maintenace. Untuk mencegah hipotermy, pasien perlu dihangatkan agar tidak terjadi komplikasi. Diuresis perlu terus diperhatikan, perlu dicek volumenya, warna cairan, untuk keperluan pengembalian jumlah cairan. Sehingga pasien perlu di cek setiap jam.Pemeriksaan disability adalah untuk mengetahui sejauh mana pasien kemampuan pasien dalam beraktivitas. Meliputi pemeriksaan kesadaran dengan GCS dan melihat apakah ada tanda-tanda kerusakan syaraf. Pada pasien ini kesadaran pasien normal, ditunjukkan dengan angka GCS yang termasuk normal yaitu 15. dan tidak ada tanda-tanda kerusakan SSP ditunjukkan dengan saraf pupil mata normal, pupil masih tetap simetris atau isokor.Kemudian untuk menilai adanya jejas dan trauma lain serta untuk menilai apakah ada kelainan yang sifatnya life threatening, pasien dibuka pakaiannya. Setelah itu, segera diselimuti guna mencegah hipotermi.Setelah itu, dokter melakukan pemeriksaan penunjang seperti

Page 14: LAPORAN sken2

pemeriksaan radiologi untuk mendiagnosa kelainan pada paru-parunya, serta pada pelvis, di mana ada ketidakmampuan gerak ekstremitas bawah yang sebabnya mengacu pada kerusakan di pelvis. Tepatnya pada saraf lumbal yang mengatur motorik ekstremitas bawah. Karena setelah pemeriksaan head to toe, dokter tidak menemukan kelainan pada seluruh bagian badan kecuali pada ekstremitas bawah dengan kekuatan motorik 3 dan nyeri pada vertebra lumbal 1-2. Penatalaksanaan yang dilakukan adalah dokter melakukan immobilisasi pasien dengan long spine board sehingga pasien tidak mengalami gerakan atau cedera lain yang dapat menimbulkan masalah lain. Kemudian dokter perli mengkonsulkan pasien lebih lanjut untuk mendapatkan penatalaksanaan lebih baik. BAB IVKESIMPULAN DAN SARANA.KESIMPULANPada scenario ke dua ini pasien mengalami trama yang disebabkan karena terjatuh dari ketinggian. Pada pasien terjadi Pneumothoraks sebagai komplikasi dari trauma nya sendiri, sehingga needle thoracosentesis dan WSD dilakukan pada pasien untuk mencegah memburuknya keadaan pasien.Pasien juga mengalami cedera tulang belakang, sehingga menyebabkan syok neurogenik yang merupakan salah satu bentuk dari syok distributive. Pada pasien, setaelah mengalami jatuh dari ketinggian dan menciderai tulang belakang, terjadi kegagalan pusat vasomotor yang ditandai dengan hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh sehingga terjadi penurunan tekanan darah secara massif. Sehingga vital sign pada pasien menjadi buruk akibat mekanisme ini.B. SARANAdapun saran yang dapat diberikan untuk kasus ini ialah seoerti yang telah di jelaskan di dalam scenario. Setelah primary dan adjunct primary survey dilakukan oleh dokter, demi mempertahankan kondisi pasien maka dilakukan immobilisasi pasien dengan long spine board sehingga pasien tidak mengalami gerakan atau cedera lain yang dapat menimbulkan masalah lain. Kemudian dokter perlu mengkonsulkan pasien lebih lanjut untuk mendapatkan penatalaksanaan lebih baik. DAFTAR PUSTAKAAsuhan Keperawatan. 2009. Terapi Oksigen. http://nursingbegin.com/terapi-oksigen/ (Diakses pada tanggal 21 April 2010)Bresler andMichael J.2006. Manual Kedokteran Darurat.Edisi 6. Jakarta:EGC,pp.1-4.Field Medical Service School, 2001. needle thoracocentesis. http://www.brooksidepress.org/Products/OperationalMedicine/DATA/operationalmed/Manuals/FMSS/NEEDLETHORACENTESISFMST0411.htm (Diakes pada tanggal 25 April 2010)Komisi Trauma IKABI. 1997. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter. Jakarta: IKABIMansjoer, Arif.,dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga jilid kedua. Jakarta: Media Aesculapis FK UIParwaningtyas, H., 2008. Asuhan Keperawatan Tension Pneumothoraks. http://hafifahparwaningtyas.wordpress.com/2010/02/19/asuhan-keperawatan-tension-pneumothoraks/ (diakses tanggal 24 April 2010)Purnawan, Iwan. 2009. Syok. http://www.scribd.com/doc/21635014/SYOK (diakses tanggal 23 April

2010)Sheerwood L.2001.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta:EGC,pp.330-341.