LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

27
LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY & PSYCHIATRY DISUSUN OLEH : Dita Putri Widyantoro 31.211.0010 PRODI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

Transcript of LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

Page 1: LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I

MODUL NEUROLOGY & PSYCHIATRY

DISUSUN OLEH :

Dita Putri Widyantoro

31.211.0010

PRODI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2014

Page 2: LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

SKILL LAB

DISKUSI PENETAPAN FARMAKOTERAPI PEYAKIT STATUS EPILEPTIKUS PADA

ANAK

I. TUJUAN

• Agar pasien mendapatkan terapi yang tepat untuk penyakit status epileptikus.

• Untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit status epileptikus.

• Agar mahasiswa mampu menentukan pengobatan dengan metode SOAP untuk

penyakit status epileptikus.

II. LANDASAN TEORI

Definisi

Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang

akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto,

2007)

Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang

datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan

listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi

(Arif, 2000)

Etiologi

Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :

a. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu

menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum

alcohol, atau mengalami cidera.

b. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir

ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.

c. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak

d. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada anak-

anak.

e. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak

Page 3: LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

f. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak

g. Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (fku), sclerosis tuberose dan

neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.

h. Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena

ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan pada anak

1. Epilepsi Primer (Idiopatik)

Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan

kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan

keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang

abnormal.Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (Idiopatik).

Sering terjadi pada:

a. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum

b. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf

c. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol

d. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)

e. Tumor Otak

f. Kelainan pembuluh darah(Tarwoto, 2007)

2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)

Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan

otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan

parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan

anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan

metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU), defisiensi

vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia,

gangguan sirkulasi, dan neoplasma.

Patofisiologi

1. Patofisiologi

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus

kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.

Page 4: LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut.

Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat

apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu

kejang.

Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena

biokimiawi, termasuk yang berikut :

a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.

b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun

dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.

c. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu

dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam

gama-aminobutirat (GABA).

d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,

yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi

neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebiha

neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik. Perubahan-

perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian

disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron.

Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik

sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak

meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di

cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin

mengalami deplesi selama aktivitas kejang.

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti

histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan

struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan

fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus

kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter

fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.

Klasifikasi

Page 5: LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

1. Sawan Parsial adalah sawan – sawan yang berada dalam satu daerah cerebral

cortex. Ada tipe-tipe umum pada sawan parsial:

a. Sawan parsial sederhana

Anak dalam keadaan bangun dan terjaga. Gejala bervariasi tergantung pada

bagian apa dari otak yang terlibat. Gejala tersebut termasuk gerakan menyentak pada

salah satu bagian tubuh.Gejala emosional seperti ketakutan yang tidak jelas, muak

atau mencium bau yang tidak ada.

b. Sawan parsial kompleks

Dalam tipe ini anak kehilangan kesadaran akan sekeliling dan tidak responsif

ataupun hanya setengah responsif. Ada pandangan kosong, gerakan mengunyah,

menelan berkali-kali, atau aktifitas tidak beraturan lainnya. Mengikuti sawan anak

tidak mengingat akan apa yang telah terjadi. Anak menjadi bingung atau

mengucapkan kata-katanya secara ragu-ragu, berkeliling, mengmbil pakaiannya atau

mengulangi kata-kata atau frase yang tidak tepat.Gejala ini mirip dengan sawan

absence, tetapi diikuti dengan aktifitas yang tidak beraturan.

2. Sawan Umum melibatkan kedua hemisfer otak yang menyebabkan kedua sisi

tubuh bereaksi, terjadi kekakuan intens pada seluruh tubuh (tonik) yang diikuti

dengan kejang yang bergantian dengan relaksasi dan kontraksi otot (Klonik), disertai

dengan penurunan kesadaran. Sawan umum terdiri dari :

a. Sawan lena

b. Sawan tonik-klonik

c. Sawan tonik

d. Sawan klonik

e. Sawan mioklonik

f. Sawan atonik

g. Sawan tak tergolongkan

Manifestasi Klinis

1. Sawan Parsial (lokal, fokal)

a. Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal, dengan

gejala motorik:

- Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja

Page 6: LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

- Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar

meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.

- Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.

- Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu

- Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien

mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu

Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi

sederhana yang mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo.

- Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.

- Visual : terlihat cahaya

- Auditoris : terdengar sesuatu

- Olfaktoris : terhidu sesuatu

- Gustatoris : terkecap sesuatu

- Disertai vertigo

Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,

berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil). Dengan gejala psikis (gangguan

fungsi luhur)

- Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian

kalimat.

- Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,

mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa

di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.

- Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.

- Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.

- Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.

- Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat

suatu fenomena tertentu, dll.

b. Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)

Serangan parsial kompleks diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik

kemudian baru menurun.

Page 7: LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

- Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti pada golongan A1-

A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.

- Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan

sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali

seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara

tak menentu, dll.

- Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak

permulaan kesadaran.

- Hanya dengan penurunan kesadaran

- Dengan automatisme:

1. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik,

klonik)

2. Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.

3. Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.

4. Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu

berkembang menjadi bangkitan umum.

2. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif)

a. Sawan lena (absence)

Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak

membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara.

Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada

anak.

- Hanya penurunan kesadaran

- Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada

kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.

- Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot leher, lengan,

tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.

- Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher

atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke

belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.

- Dengan automatisme

Page 8: LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

- Dengan komponen autonom.

- Lena tak khas (atipical absence)

Dapat disertai:

- Gangguan tonus yang lebih jelas.

- Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

b. Sawan Mioklonik

Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah

sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat

dijumpai pada semua umur.

c. Sawan Klonik

Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal

multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.

d. Sawan Tonik

Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah

dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga

terjadi pada anak.

e. Sawan Tonik-Klonik

Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama

grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului

suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang

kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh.

Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat

lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa

karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan.

Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan

kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan

pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.

f. Sawan atonik

Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien

terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali

dijumpai pada anak.

Page 9: LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

g. Sawan Tak Tergolongkan

Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang

ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang

mendadak berhenti sederhana.

Pemeriksaan Diagnostik

1. Pungsi Lumbar

Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak

dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini

dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi.

a. Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)

b. Mengalami complex partial seizure

c. Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam

sebelumnya)

d. Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)

e. Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar

1 jam setelah kejang demam adalah normal.

f. Kejang pertama setelah usia 3 tahun

Pada anak dengan usia >18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda

peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi

sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi

antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti

itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.

2. EEG (electroencephalogram)

EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan

gelombang.Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam

yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada

penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau

segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang

tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran

gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat

prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.

Page 10: LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

3. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor,

magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama.

Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan

sekedar sebagai pemeriksaan rutin.

4. Neuroimaging

Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan

MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi

untuk pertama kalinya.

a. CT Scan, untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler

abnormal, gangguan degeneratif serebral

b. Magnetik resonance imaging (MRI)

c. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.

5. Pemeriksaan fisik

Inspeksi : membran mukosa, konjungtiva, ekimosis, epitaksis, perdarahan pada

gusi, purpura, memar, pembengkakan.

Palpasi : pembesaran hepar dan limpha, nyeri tekan pada abdomen.

Perkusi : perkusi pada bagian thorak dan abdomen.

Auskultasi : bunyi jantung, suara napas, bising usus.

6. Pemeriksaan psikologis dan psikiatris

Tidak jarang anak yang menderita epilepsi mempunyai tingkat kecerdasan yang

rendah (retardasi mental), gangguan tingkah laku (bihaviour disorders), gangguan

emosi, hiperaktif.Hal ini harus mendapat perhatian yang wajar, agar anak dapat

berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuannya. Hubungan antara

penderita dengan orang tuanya juga perlu mendapat perhatian, yaitu apakah tyerdapat

proteksi berlebihan, rejeksi atau overanxiety. Bila perlu dapat diminta bantuan dari

psikolog atau psikiater.

III. URAIAN KASUS

Seorang siswa SD (6 tahun ) menderita TBC dan epilepsi general tonoc-clonic, tiba2

menjadi tidak responsif sewaktu dipanggil dan kejang, matanya berputar keatas dan

Page 11: LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

melotot, ibunya khawatir, dan mencoba menepuk-nepuk pipi dan menggoyangkan

bahu anak tersebut agar sadar, tapi bukannya sadar, wajah anak tersebut semakin

membiru (hipoksia) kemudian si ibu memanggi ambulan, ambulan tiba 10 menit

kemudian, dan anak tersebut masih kejang. Di dalam ambulan , anak tersebt ditolong

dengan oksigen dan I.V lorazepam 0,1 mg/kg, akan tetapi anak tersebut masih kejang

sampai di rumah sakit.

IV. PENYELESAIAN KASUS DENGAN METODE SOAP

(S) Subjective Identitas pasien : siswa SD (6 tahun )Keluhan pasien : tiba2 menjadi tidak responsif sewaktu dipanggil dan kejang, matanya berputar keatas dan melototRiwayat penyakit keluarga : - Riwayat penyakit penderita : TBC dan epilepsi general tonoc-clonicRiwayat pengobatan : -Kebiasaan/perilaku hidup : -

(O) ObjectiveData vital sign: -Data laboratorium: -

(A) AssesmentProblem medik : Status EpilepticusTerapi yg diperoleh : oksigen dan I.V lorazepam 0,1 mg/kgDRPDRPs yang ditemukan dalam kasus ini antara lain:1. Over dose : -2. Under Dose : -3. Pemilihan obat tidak tepat : - 4. Adverse Drug Reaction:

Page 12: LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

5. Interaksi obat :

6. obat tanpa indikasi : -7. indikasi tanpa obat : -8. kepatuhan (compliance) pasien : tidak diketahui

( P ) PlanPenetapan tujuan terapi :

Page 13: LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

Solusi dari problem DRPs: lorazepam di ganti phenitoin sebagai anticonvulsant (algoritma)

Pemilihan terapi farmakologi berdasarkan farmakoterapi rasional meliputi : 4T1W 1. Tepat Indikasi lorazepam

phenytoin

Page 14: LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

infus dextroseRehidrasi, penambah kalori secara parenteral, basic soln.

2. Tepat Dosis lorazepam

phenytoin

Page 15: LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

infus dextrose

3. Tepat Obat lorazepam

Sedatif hipnotik dengan onset pendek efek dan paruh relatif panjang; dengan meningkatkan aksi gamma-aminobutyric acid (GABA), yang merupakan neurotransmitter inhibisi utama dalam otak, lorazepam dapat menekan semua tingkat SSP, termasuk pembentukan limbic dan reticular phenytoin

Meningkatkan Na + penghabisan atau penurunan Na + masuknya dari membran neuron di korteks motorik; menstabilkan membran neuronal Memperlambat kecepatan konduksi

Page 16: LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

4. Tepat Pasien lorazepam

phenytoin

5. Waspada terhadap efek samping obat lorazepamSedation, Dizziness, Unsteadiness, Weakness, Fatigue, Drowsiness, Amnesia, Confusion, Disorientation, Depression, Suicidal ideation/attempt. Vertigo. Ataxia, Sleep apnea, Asthenia, Extrapyramidal symptoms, Respiratory depression, Tremor, Convulsions/seizures, Visual disturbances, Dysarthria, Hypotension, Blood dyscrasias, Change in libido, Impotence, Jaundice, Increased bilirubin, Increased liver transaminases, Increase in ALP, Hypersensitivity reactions, Nausea, Constipation, Change in appetite, Paradoxical reactions (anxiety, excitation, agitation, hostility, aggression, rage) phenytoin

Page 17: LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

Drowsiness, Fatigue, Ataxia, Irritability, Headache, Restlessness, Slurred speech, Nervousness, Nystagmus, Dizziness, Vertigo, Dysarthria, Paresthesia, Rash

Terapi Non Farmakologi:Tanda-tanda vital harus dinilai, saluran udara yang memadai dan dilindungi harus ditetapkan, ventilasi harus dijaga, dan oxygen harus diberikan. Sering arteri penentuan gas darah harus dilakukan untuk menilai asidosis metabolik, yang harus diobati dengan natrium bikarbonat jika pH kurang dari 7,2. Bantuan ventilasi harus digunakan untuk mengoreksi asidosis pernafasan. Beberapa pasien mungkin terus memiliki kejang listrik di tidak adanya manifestasi klinis bermotor. Bagi mereka yang terus telah mengubah kesadaran setelah kontrol klinis kejang mereka, sebuah EEG harus dilakukan. Meskipun hipoglikemia merupakan penyebab yang jarang dari GCSE, orang dewasa harus diberikan 50 mL larutan dekstrosa 50%, dan anak-anak harus menerima 1 mL / kg dari dekstrosa solution.7 25%, Karena Wernicke encephalopathy dapat berkembang pada pecandu alkohol, orang dewasa harus menerima IV tiamin (100 mg) sebelum glucose. Serum konsentrasi glukosa harus ditentukan untuk menilai kebutuhan suplementasi lebih lanjut.Monitoring

Obat yang digunakan :

Page 18: LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

phenytoin infus dextro

Page 19: LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

V. PEMBAHASAN

Status epileptikus merupakan kejang umum yang terjadi selama 5 menit atay lebih

atau kejadian kejang 2x atau lebih tanpa pemulihan kesadaran di antara dua kejadian

tersebut. Penyebab dari status epileptikus adalah antiepileptikus potensi rendan dan

penyakit serebrocakular. Tapi dapat juga disebabkan oleh hipoglikemia, hipoksemia,

trauma, adanya infeksi seperti meningitis, abses otak. Namun, pada kasus di atas

penyebab dari status epileptikus yaitu penggunaan obat TBC yaitu isoniazid.

Pada kasus di atas pasien mendapatkan terapi lorazepam namun kejang- kejang

masih berlanjut sampai pasien tiba di murah sakit, tugas seorang farmasis pada kasus

tersebut yaitu mengidektifikasi penggunaan lorazepam. Lorazepam merupakan lini

pertama untuk kejang, namun pada kasus ini lorazepam tidak menimbulkan efek yang

Page 20: LAPORAN RESMI SKILL LAB II LBM I MODUL NEUROLOGY.docx

di inginkan yaitu sebagai anticonvulsant, sehingga perlu penggantian obat. Obat yang

di pilih yaitu phenytoin dengan load dose yaitu 15-20 mg/kg secara iv perlahan.

Untuk obat isoniazid tetap dapat diberikan karena obat TBC jika dihentikan makan

pengobatannya perlu di ulangi dari awal. Untuk isoniazid dapat diberikan secara

peroral. Lalu pantau interaksi kedua obat tersebut.

VI. KESIMPULAN

Isoniazid dapat memicu terjadinya penyakit status epileptikus

Evidence based lorazepam sebagai lini pertama anticonvulsant bila tidak terjdi

efek yang diinginkan maka dapat di ganti dengan phenytoin.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Nia Kania, dr., SpA., MKes,Kejang pada Anak, Disampaikan pada acara Siang Klinik

Penanganan Kejang Pada Anak di AMC Hospital Bandung, 12 Februari 2007.

Darto Saharso,Status Epileptikus. Divisi Neuropediatri Bag./SMF Ilmu Kesehatan

Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

Huff, Steven. Status Epilepticus. Available from: http://emedicine.medscape.com/

Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W. The

treatment of convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child 2000;

83:415-19.

Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin North Am

2001;48:683-94.